T2__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Motif Tindak Pidana Pembunuhan dalam Penjatuhan Pidana pada Proses Pembuktian dan Pertimbangan Putusan Hakim T2 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Membicarakan hukum pidana dalam ilmu hukum pidana
dibedakan dalam arti luas dan dalam arti sempit. EnschedeHeijder mengatakan bahwa: “menurut metodenya, maka hukum

pidana dapat dibedakan:
(1) Ilmu-ilmu hukum pidana sistematik: meliputi (a) hukum
pidana–hukum pidana materiel dan (b) hukum acara pidana–
hukum pidana formel; (2) Ilmu hukum pidana berdasarkan
pengalaman antara lain : (a) kriminologi–ilmu pengetahuan
tentang perbuatan jahat dan kejahatan; (b) kriminalistik–ajaran
tentang pengusutan; (c) psikiatri forensik dan psikologi forensik;
(d) sosiologi hukum pidana–ilmu tentang hukum pidana sebagai
gejala masyarakat, yang mengenai bekerjanya pelaksanaan
hukum pidana dalam arti yang luas di dalam masyarakat, jadi
tidak bekerjanya terhadap tersangka atau pembuat. Maksudnya
penataan hukum pidana di dalam masyarakat, tetapi tidak oleh
tersangka atau pembuat1”.
Memperhatikan apa yang dikemukakan oleh Enschede–
Heijder , ilmu-ilmu hukum pidana sistemik terdiri dari hukum


pidana materiel dan hukum pidana formil, yang oleh Samidjo
diberikan pengertian sebagai berikut:2
a. Hukum pidana materiel adalah peraturan-peraturan
yang menegaskan perbuatan apa yang dapat di hukum,
dengan hukum apa menghukum seseorang dan siapa
yang dapat di hukum. Jadi hukum pidana materiel
1

hlm. 1 – 2.

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana , Reneka Cipta, Jakarta, 1991,

2 Samidjo, Ringkasan & Tanggung Jawab Hukum Pidana, Armico,
Bandung, 1985, hlm. 3.

1

mengatur perumusan-perumusan dari kejahatankejahatan dan syarat-syarat bila orang itu dapat di
hukum. Bilamana orang mengatakan ”hukum pidana”

maka pada umumnya yang dimaksud adalah hukum
pidana materiel.
b. Hukum pidana formel adalah hukum yang mengatur
cara-cara untuk menghukum seseorang yang melanggar
peraturan pidana (merupakan pelaksanaan dari hukum
pidana materiel).
Berkaitan dengan hukum pidana materiel dapat dijelaskan
bahwa hukum pidana materiel tersebut di Indonesia dimuat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang
sistematikanya terdiri dari 3 (tiga) buku, yaitu: Buku I,
tentang Ketentuan Umum, Buku II tentang Kejahatan dan
Buku III tentang Pelanggaran. Di dalam Buku II dan Buku III
memuat perbuatan yang di larang ataupun yang diharuskan
dan sanksi pidana yang diancamkan. Lebih khusus dalam
Buku II tentang Kejahatan, didalamnya memuat perbuatan
yang di larang atau yang diharuskan, bentuk kesalahan dan
sanksi pidana yang diancamkan.
Perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam Buku II
dan Buku III tersebut sering dikenal sebagai perbuatan pidana
atau tindak pidana. Berkaitan dengan hal ini, Andi Hamzah

mengatakan sebagai berikut :
Hukum pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit,
kadang-kadang juga delict yang berasal dari Bahasa Latin
2

Delictum. Hukum Pidana negara-negara Anglo-Saxon
memakai istilah offense atau criminal act untuk maksud
yang sama. Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada
WvS Belanda, maka istilah aslinya pun sama, yaitu
strafbaar feit.3 Moeljatno dan Roeslan Saleh memakai
istilah perbuatan pidana, meskipun tidak untuk
menterjemahkan strafbaar feit itu. Selanjutnya Moeljatno
mengatakan bahwa perbuatan pidana dapat disamakan
dengan criminal act, jadi berbeda dengan strafbaar feit,
yang meliputi pula pertanggungjawaban pidana.4

Dengan demikian berbicara tentang strafbaar feit dalam
hukum pidana dibedakan antara perbuatan pidana atau tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut ilmu
hukum pidana dalam starfbaar feit dibedakan dalam dua

unsur, yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif. Berkaitan
dengan hal tersebut Andi Hamzah mengatakan bahwa syarat
pemidanaan dibagi menjadi dua yaitu:
a. actus reus (delictum) – perbuatan kriminal sebagai

syarat pemidanaan obyektif;
b. mens rea – pertanggungjawaban kriminal sebagai syarat
pemidanaan subyektif.5
Menurut Moeljatno bahwa perbuatan pidana adalah
perbuatan yang di larang oleh suatu aturan hukum larangan
mana di sertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi

3

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana , Reneka Cipta, Jakarta, 1991,

4

Ibid hlm. 88.
Ibid hlm. 90.


hlm. 86.
5

3

barang siapa yang melanggar larangan tersebut 6. Dapat juga
dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh
suatu aturan hukum di larang dan di ancam pidana, asal saja
dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada
perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan
oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan
kepada orang yang menimbulkan kejadian itu7.
Apa yang telah dikemukakan di atas, maka adanya
perbedaan pendapat para ahli pidana tentang isi (maksud) dari
tindak pidana, seperti apa yang telah dikatakan oleh Moeljatno
dalam Pidato Dies Natalis ke-6 Universitas Gadjah Mada pada
tanggal 19 Desember 1955 bahwa belum ada kesatuan
pendapat para ahli pidana dalam merumuskan pengertian
tindak pidana. Untuk adanya strafvoraussetzungen (syaratsyarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih

dahulu pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan
pidana), lalu sesudah itu dibuktikan schuld atau kesalahan
subjektif pembuat.8 Pembedaan unsur-unsur perbuatan dan
unsur-unsur pembuat delik dikemukakan oleh Moeljatno di
dalam Pidato Dies Natalis ke-6 Universitas Gadjah Mada pada
tanggal 19 Desember 1955 yang mengutip pendapat Herman

6

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2015. hlm.

59.
7

Ibid hlm 59.
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum
Pidana, pidato diucapkan pada Upacara Peringatan Dies Natalies VI
Universitas Gadjah Mada, tanggal 19 Desember 1955, (Jakarta: Bina Aksara,
1985), hlm. 22-23.
8


4

Kontorowicz (Tat und Schuld) secara jelas membedakan antara
merkmal der handlung (unsur-unsur perbuatan) dengan
merkmal der handelende (unsur-unsur pembuat).9 Adalah tidak

mungkin, hakim lebih dahulu menentukan terbuktinya
kesalahan (dalam arti luas) pembuat (dader ) tanpa lebih dahulu
membuktikan adanya segala unsur (elementen) dan bagian inti
(bestanddelen) suatu perbuatan. Pandangan Moeljatno tersebut
dapat dipandang sebagai teknik bagi hakim untuk menjatuhkan
pidana, yaitu dapat memudahkan hakim untuk memberikan
kualifikasi yang tepat bagi pembuat yang tak akan dijatuhkan
pidana. Kalau salah satu perbuatan pidana tidak terbukti, maka
bunyi putusannya ialah bebas (vrijspraak), sedangkan bila
semua unsur perbuatan terbukti, pembuat tak langsung di
pidana. Jika pembuat yang melakukan perbuatan tersebut
ternyata tidak mampu bertanggungjawab atau dinyatakan tidak
bersalah atau tidak lalai, ataupun ada alasan pemaaf, maka ia

lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsver
volging).

Menurut Moeljatno, dalam tindak pidana terdapat dua
aliran yaitu aliran monistis (tindak pidana keseluruhan pidana

9

Ibid hlm. 22-24.

5

untuk tindak pidana) dan aliran dualistis (membedakan unsur
obyektif dan unsur subyektif dalam tindak pidana). Dalam hal
ini memisahkan criminal act dan criminal liability. Criminal act
(perbuatan pidana) berarti kelakuan dan akibat, atau dengan lain
perkataan: akibat dari suatu kelakuan10. Sedangkan criminal
liability (pertanggungjawaban pidana) yaitu untuk dapat

dipidananya seseorang, selain daripada melakukan criminal act

(perbuatan pidana) orang itu juga harus mempunyai kesalahan
(guilt).11
Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup
dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi
disamping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat
dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis: tidak
di pidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld.
Ohne schul keine strafe).12 Oleh karena itu, dalam hukum

pidana, konsep liability atau “pertanggungjawaban” itu
merupakan konsep sentral yang di kenal dengan ajaran
kesalahan.13

10

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2015.

hlm. 62.
11


Ibid hlm. 63.
Ibid hlm. 63.
13 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2011. hlm. 107.
12

6

Perbuatan dan pelaku merupakan dua hal yang terkait
erat, di mana perbuatan dilakukan oleh pelaku. Ada suatu
perbuatan yang dirumuskan dalam hukum pidana, juga pada
pelaku ada suatu sikap batin atau keadaan psikis yang dapat
dicela atau kesalahan. Sekalipun perbuatan telah sesuai rumusan,
ada kemungkinan pelakunya tidak dapat di pidana karena pada
dirinya tidak ada kesalahan sama sekali, seperti tidak di pidana
karena keadaan psikisnya yakni penyakit jiwa yang berat.
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatan yaitu
sifat yang di larang dengan ancaman pidana jika di langgar.
Berdasarkan uraian di atas, maka jika unsur-unsur
obyektif atau subyektif yang itu terpenuhi pada diri terdakwa,

maka hakim dapat menjatuhkan putusan berupa pernyataan
terdakwa bersalah dan melakukan tindak pidana. Demikian pula
dalam kasus pembunuhan, baik pembunuhan biasa maupun
pembunuhan berencana maka hakim sudah mempunyai
pertimbangan dalam menjatuhkan putusan. Akan tetapi, jika
unsur obyektif dan unsur subyektif tersebut tidak dapat
dibuktikan, maka kemungkinan hakim akan menjatuhkan
putusan berupa pelepasan dari segala tuntutan hukum atau
pembebasan.

7

Sedangkan jika berbicara mengenai motif, dalam Black’s
Law Dictionary, pengertian motif yaitu: Motive. Cause or reason
that moves the will and introduces action. An idea, belief or
emotion that impels or incites one to act in accordance with his
states of mind or emotion14. Terjemahan: Motive. Penyebab atau

alasan yang menggerakkan dan melakukan tindakan. Sebuah ide,
kepercayaan atau emosi yang mendorong atau menghasut
pikiran seseorang untuk bertindak sesuai dengan keadaan atau
emosi.
Dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law
Dictionary, maka dapat dijelaskan bahwa motif merupakan

istilah yang dipergunakan untuk menjelaskan mengapa (alasan)
seseorang melakukan tindak pidana. Motif di maknai sebagai
alasan orang melakukan suatu perbuatan pidana, sehingga motif
dapat dikaitkan dengan niat seseorang melakukan suatu
perbuatan pidana.
Pada pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal
340 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja dan
dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain,

14 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary 6 th end, , Centennial
Edition (1891-1991).

8

diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Dipikirkan

terlebih

dahulu

dimaksudkan

bahwa

seseorang telah merencanakan sehingga di sebut pembunuhan
berencana. Dalam pembunuhan berencana mempunyai unsur
yaitu (1) unsur subyektif yaitu dengan sengaja dan dengan
rencana terlebih dahulu; (2) unsur obyektif yaitu perbuatan
menghilangkan nyawa dan obyeknya adalah nyawa orang lain.
Apa yang telah Penulis kemukakan di atas, jika dikaitkan
dengan kasus pembunuhan berencana yaitu kematian I Wayan
Mirna Salihin pada tanggal 6 Januari 2016 yang dikarenakan
keracunan kopi sianida maka akan di lihat kesenjangan das
sollen dan das sein dalam pembuktian perkara tersebut, karena

jika di lihat pada unsur obyektif dan subyektif yang seharusnya
cukup untuk membuktikan, akan tetapi dalam perkara tersebut
tidak demikian. Pada kasus tersebut adanya perbedaan pendapat
para ahli dimana memperdebatkan pembuktian motif dalam
tindak pidana, sedangkan diketahui bahwa motif bukanlah unsur
dalam Pasal 340 KUHP.

9

Pada kasus ini, ahli pidana Eddy O. S. Hiariej
berpendapat bahwa dalam pembunuhan berencana tidak
membutuhkan motif, Pasal 340 KUHP tidak mengisyaratkan
adanya motif. Kata terencana bukan berarti harus ada motif,
sehingga harus dibuktikan, tetapi kata terencana menandakan
bahwa pelaku memutuskan dengan kehendak tenang, ada jangka
waktu yang cukup antara pemutusan kehendak dan pelaksanaan
kehendak itu dilakukan dalam waktu tenang. Pasal 340 KUHP
hanya memerlukan 3 syarat sesuai Dolus Premeditatus. Dolus
Premeditatus adalah kesengajaan yang dilakukan dengan

rencana terlebih dahulu15. Tiga syarat dalam dolus premeditatus
tersebut: pertama, pelaku ketika memutuskan kehendak untuk
melakukan dalam keadaan tenang. Kedua, ada tenggang waktu
yang cukup untuk memutuskan kehendak dan melaksanakan
perbuatan. Ketiga, pelaksanaan dalam keadaan tenang16.
Berbeda pendapat dengan Prof Eddy, ahli pidana Dr.
Mudzakir berpendapat bahwa perbuatan di sebut pembunuhan
berencana seperti dalam Pasal 340 KUHP, harus ada unsur
kesengajaan dan niat. Di mana adanya niat berbuat jahat, ini

15

Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana , Cahaya
Atma Pusaka, Yogyakarta, 2016, hlm. 181-182.
16 Ibid hlm. 181-182.

10

bagian dari orang bertindak dalam motif karena itu sikap batin
totalitas untuk berbuat, apalagi memiliki resiko yang besar.
Menurut beliau, untuk membuktikan motif, penegak hukum bisa
melihat keterkaitan antara perbuatan dan niat jahat.
Seperti yang telah Penulis uraikan di atas, penelitian ini
hendak

melihat

tentang

pembuktian

motif

dalam

pertanggungjawaban pidana dalam proses pembuktian dan
pertimbangan hakim, karena adanya perbedaaan pendapat yang
mengatakan

harus

membuktikan

motif,

adapula

yang

mengatakan tidak memerlukan motif. Atas dasar itulah maka
Penulis tertarik untuk menulis dengan judul “MOTIF TINDAK
PIDANA

PEMBUNUHAN

PIDANA

PADA

PROSES

DALAM

PENJATUHAN

PEMBUKTIAN

DAN

PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka selanjutnya
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah motif merupakan unsur tindak pidana
pembunuhan?
2. Bagaimana

hakim

dalam

mempertimbangkan

pembuktian motif dalam tindak pidana pembunuhan?
11

C. TUJUAN PENELITIAN
Setiap penelitian memerlukan tujuan penelitian yang dapat
memberikan

arah

pada

penelitian

yang

dilakukan.

Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan di atas,
maka di susun tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apakah motif merupakan unsur
tindak pidana pembunuhan.
2. Untuk mengetahui bagaimana hakim mempertimbangkan motif dalam memutuskan perkara tindak pidana
pembunuhan.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat,
baik dari segi teoritis, maupun praktis.
a) Segi Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan
unsur tindak pidana.
b) Segi Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi positif sebagai bahan masukan
kepada para penegak hukum dalam hal ini Hakim dalam
12

menimbang putusan pada kasus perbuatan pembunuhan
berencana serta menyumbang untuk teori hukum pidana.
E. LANDASAN TEORI
1. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri
dari

unsur-unsur

lahiriah

(fakta)

oleh

perbuatan,

mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan
karenanya.17 Perumusan “Strafbaar feit“ menurut Simons
adalah: “Een Strafbaar feit” adalah suatu hendeling
(tindakan/perbuatan) yang di ancam dengan pidana oleh
undang-undang,

bertentangan

dengan

hukum

(onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh
seseorang

yang

mampu

bertanggungjawab.

Simons

membagikannya ke dalam dua golongan unsur yaitu:
a. Unsur obyektif yang berupa tindakan yang
dilarang/ diharuskan, akibat keadaan/masalah
tertentu;
b. Unsur subyektif yang berupa kesalahan dan
kemampuan bertanggung jawab dari petindak dan

17

Ibid hlm. 64.

13

atau strafbaar feit adalah perbuatan manusia yang
di larang dan di ancam hukuman oleh undangundang mempunyai sifat melawan hukum, yang
dilakukan

oleh

seorang

yang

dapat

dipertanggungjawabkan dan dipersalahkan.18
2. Unsur-Unsur Pada Pasal 338, 339 dan 340 KUHP
Kesalahan

merupakan

salah

satu

unsur

pertanggung jawaban pidana. Asas tersebut lebih berarti
dalam menjatuhinya pidana pada seseorang harus
berdasarkan

pada

kesalahan.

Pada

pembunuhan

dalam

Pasal

KUHP

338

pasal-pasal
berbunyi:

“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun”.
Rumusan delik pembunuhan (Pasal 338 KUHP),
di situ hanya ada dua bagian inti (bestenddelen) yaitu:
sengaja dan menghilangkan nyawa seorang lain.19 Dalam
rumusan ini terdapat bagian inti “sengaja”, karena ada

18 S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan
Penerapannya , Cet. 4, (Jakarta: Percetakan BPK Gunung Mulia, 1996),
hlm. 203.
19 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Perkembangannya , Sofmedia, Jakarta, 2012, hlm. 127.

14

delik menghilangkan nyawa orang lain dilakukan dengan
kealpaan (culpa ).20 Unsur yang terdapat dalam Pasal 338
KUHP terdiri dari:
a. Unsur obyektif: menghilangkan nyawa orang lain,
obyeknya nyawa orang lain.
b.

Unsur subyektif yaitu unsur dengan sengaja.
Perbuatan yang “Dengan sengaja” (Doodslag),
dimana kesengajaan itu harus timbul dengan spontan
sehingga perbuatan sengaja yang tersebut tidak
direncanakan terlebih dahulu.

Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain harus
memenuhi syarat antara lain adanya suatu perbuatan,
adanya suatu kematian, dan adanya hubungan sebab dan
akibat (causal verband ) antara perbuatan dan akibat
kematian (orang lain). Antara unsur subyektif sengaja
dengan wujud perbuatan menghilangkan terdapat syarat
yang harus dibuktikan, ialah pelaksanaan perbuatan
menghilangkan nyawa (orang lain) harus tidak lama
setelah timbulnya kehendak (niat) untuk menghilangkan
nyawa orang lain itu.21
Dengan demikian terdapat tenggang waktu yang
cukup lama sejak timbulnya atau terbentuknya kehendak
untuk membunuh dengan pelaksanaannya, di mana dalam
tenggang waktu yang cukup lama itu petindak dapat

20

Ibid hlm. 127.
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa ,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm.55.
21

15

memikirkan tentang berbagai hal. Pada Pasal 340 KUHP
berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja dan dengan
rencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain,
di pidana karena pembunuhan dengan rencana, dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu, paling lama 20 tahun”.
Pembunuhan berencana rumusan deliknya yaitu
terdiri dari unsur obyektif dan subyektif. Unsur Objektif
yaitu perbuatan menghilangkan nyawa dan objeknya
yaitu nyawa orang lain. Sedangkan Unsur Subjektif yaitu
dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu.
Pembunuhan berencana terdiri dari pembunuhan dalam
arti Pasal 338 KUHP di tambah dengan adanya unsur
rencana terlebih dahulu. Pasal 340 KUHP dirumuskan
dengan cara mengulang kembali seluruh unsur dalam
Pasal 338 KUHP, kemudian di tambah dengan suatu
unsur lagi yakni dengan rencana terlebih dahulu. Oleh
karena dalam Pasal 340 KUHP mengulang lagi seluruh
unsur-unsur Pasal 338 KUHP, maka pembunuhan
berencana dapat dianggap sebagai pembunuhan yang
berdiri sendiri.

16

3. Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan
Perkara Pidana
Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, kewenangan
Hakim untuk mengambil suatu kebijakan dalam hal
memutuskan perkara, dalam Pasal 5 ayat (1) berbunyi:
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”.
Dalam hal ini, Hakim di beri kewajiban untuk
mengggali dan mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum
serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sehingga
di dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan hal
yang penting di dalam pemeriksaan perkara di pengadilan.
Hal ini karena melalui tahapan pembuktian inilah terjadi
suatu

proses,

cara,

perbuatan

membuktikan

untuk

menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa terhadap
suatu perkara pidana di dalam sidang pengadilan. Dengan
adanya proses, cara serta pembuktian, Hakim dapat benarbenar melihat serta meneliti apakah terdakwa telah bersalah
melakukan tindak pidana.
17

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi
penggarisan

dan

pedoman

tentang

cara-cara

yang

dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
undang-undang

yang

boleh

dipergunakan

hakim

membuktikan kesalahan yang didakwakan.22
Hukum acara pidana yang mengatur macam-macam
alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut
dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang
mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk
menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.23 Dalam
Hukum

Acara

persidangan

pidana,

adalah

sumber

pembuktian

undang-undang,

doktrin

dalam
dan

yurisprudensi.
Dalam penjatuhan pidana oleh hakim, sistem peradilan
pidana pada umumnya dan hukum acara pidana khususnya

22

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP: Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali: Edisi Kedua , Jakarta, Sinar Grafika, 2002, hlm. 273.
23
Hari Sasangka dan Lily Rosita., Hukum Pembuktian Dalam Perkara
Pidana , Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 10.

18

dimana pada tahap pembuktian adalah hal yang sangat
penting dalam menentukan bersalah dan tidak bersalahnya
seorang

terdakwa.

sehingga

dapat

dijatuhi.

Dalam

menjatuhkan suatu putusan bisa dalam bentuk pemidanaan
dan menjatuhkan putusan bebas serta putusan lepas dari
segala tuntutan hukum. Putusan bebas akan dijatuhkan oleh
hakim jika dalam persidangan Hakim berpendapat bahwa
apa yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan.pada pertimbangan Hakim dalam
memutuskan perkara pidana adalah menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
4. Teori Pembuktian
Sistem atau teori pembuktian yang di kenal dalam
dunia hukum pidana yaitu conviction intime atau teori
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata-mata,
conviction rasionee atau teori pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang
logis, positif wettelijk bewijstheorie atau teori pembuktian
yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang di
sebut oleh undang-undang secara positif dan negatief
19

wettelijk beweijstheorie atau teori pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam
undang-undang secara negatif24.
Menurut M. Haryanto dalam bukunya Hukum Acara
Pidana, terdapat 3 (tiga teori) pembuktian yaitu:25
1. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara
Positif (Positif Wetelijke Bewijs Theori): yaitu teori
pembuktian yang berdasarkan pada alat-alat bukti yang
terdapat dalam Undang-Undang. Dikatakan pembuktian
secara positif, karena jika telah terbukti perbuatan sesuai
dengan alat-alat bukti dalam Undang-Undang, maka
keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali, sehingga
teori pembuktian ini di sebut juga Formele Bewijstheorie.
2. Teori Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction
Intime): yaitu theori ini didasarkan pada pendapat bahwa
pengakuan terdakwa tidak selalu dapat membuktikan
kebenaran.
Oleh karena itu bagaimanapun diperlukan juga
keyakinan hakim. Theori ini mendasarkan pada keyakinan
hati nurani hakim bahwa terdakwa telah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya oleh Penuntut
Umum. Dengan theori ini memungkinkan Hakim
menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya,
sehingga teori ini memberikan kebebasan kepada hakim
terlalu besar, akibatnya hakim sulit diawasi dengan
kebebasannya tersebut. Jika teori ini di ikuti oleh para
hakim, maka kedudukan terdakwa sangat lemah, karen
ajika hakim telah mempunyai keyakinan hati nuraninya,
maka terdakwa/penasihat hukumnya sulit mengadakan
pembelaan.
3. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan
yang logis (la Conviction Rais Onnee). Dalam Teori ini
24

Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Bandung,
Alumni, 2011, hlm.11.
25 M. Haryanto, Hukum Acara Pidana, Universitas Kristen Satya Wacana,
Salatiga, 2013, hlm. 117-119.

20

hakim memutuskan seseorang bersalah harus berdasarkan
keyakinannya, keyakinan tersebut harus didasarkan pada
dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan
(Conclusie) yang berlandaskan kepada peraturanperaturan pembuktian tertentu. Teori ini juga disebut teori
pembuktian bebas, karena dengan teori ini hakim bebas
untuk menyebutkan alasan-alasan tentang keyakinannya
(Vrije Bewijdtheorie). Selanjutnya teori ini terpecah
menjadi dua yaitu :
a. Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas
alasan yang logis (Conviction Raisonnee): teori ini
berpangkal pada keyakinan hakim yang didasarkan
pada suatu kesimpulan (conclusi) yang logis, yang tidak
didasarkan pada Undang-undang, tetapi menurut Ilmu
Pengetahuan sendiri, menurut pilihannya sendiri
tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan
digunakan.
b. Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif
(Negatief Wettlijke Bewijs theori): teori ini berpangkal
tolak dari aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan
secara limitatif dalam Undang-Undang, tetapi hal itu
harus diikuti dengan keyakinan hakim.
5. Teori Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana
Dalam teori kesalahan terbagi dua yaitu kehendak dan
pengetahuan. Kehendak yaitu keinginan untuk melakukan
tindak pidana. Pengetahuan yang artinya apakah ia seseorang
yang melakukan tindak pidana tersebut mengetahui dengan
perbuatan itu dapat balas dendam.
Pada pertanggungjawaban pidana ada tiga unsur yang
harus dipenuhi yaitu (a) kemampuan bertanggungjawab yang
artinya dalam pertanggung jawaban pidana harus adanya
kemampuan untuk membedakan-bedakan antara perbuatan
yang baik dan buruk, sesuai dengan hukum dan yang
melawan hukum (faktor akal) serta kemampuan untuk
menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik
21

dan buruknya perbuatan tadi (faktor perasaan/kehendak); (b)
Kesengajaan (Dolus) dan Kealpaan (Culpa ) yang artinya
dalam teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang
diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan
dalam wet (unsur-unsur delik dalam undang-undang)26, (c)
Alasan penghapus pidana yang artinya dalam alasan
penghapus pidana terdapat 2 (dua) yaitu: alasan tidak dapat
dipertanggungjawabkan seseorang yang terletak pada diri
orang itu dan alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya
seseorang yang terletak di luar orang itu.
Sehingga dengan penjelasan diatas, dimana jika
unsur-unsur kesalahan sesuai undang-undang yang berlaku
sudah terpenuhi maka seseorang dapat dijatuhi pidana sesuai
dengan undang-undang yang berlaku. Perbuatan pidana
hanya menunjukkan kepada di larang dan diancamnya
perbuatan dengan suatu pidana, apakah orang yang
melakukan

perbuatan

pidana

akan

dijatuhi

pidana

sebagaimana diancamkan akan di lihat apakah dalam
melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.27
Dalam hukum pidana terdapat asas Geen Straf Zonder
Schuld; Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sist Rea yang
artinya tidak di pidana jika tidak ada kesalahan.28 Dalam asas
ini memiliki arti bahwa dalam menentukan seseorang
bersalah atau tidak, tidak ditentukan oleh motif, melainkan
ditentukan oleh kesalahan. Kemampuan bertanggungjawab
merupakan unsur (elemen) kesalahan.29
26
27

Ibid hlm. 186.
Moeljatno, Unsur-Unsur Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002,

hlm. 165.
28
29

Ibid hlm. 165.
Ibid hlm. 181.

22

Untuk membuktikan adanya kesalahan maka unsur tadi
harus dibuktikan. Sehingga di dalam hukum pidana di
Indonesia, pertanggungjawaban pidana harus sesuai serta
terpenuhi unsur-unsur dalam pertanggungjawaban tersebut di
atas yaitu unsur kesalahan. Jikalau sudah terpenuhi unsur
kesalahan, maka seseorang yang melakukan tindak pidana
dapat dipidanakan sesuai dengan undang-undang yang
berlaku.
6. Alat Bukti Dan Barang Bukti Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pada Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah ialah:
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa. Barang Bukti jika mengacu pada Pasal
39 KUHAP berbunyi: “Yang dapat dikenakan penyitaan
adalah:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh
atau sebagian di duga diperoleh dari tindakan pidana atau
sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk
melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c.

benda yang digunakan
penyelidikan tindak pidana;

untuk

menghalang-halangi

d. benda yang khusus di buat atau diperuntukkan melakukan
tindak pidana;
23

e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan
tindak pidana yang dilakukan.
7. Pembuktian Tidak Langsung (Circumtantial Evidence)
Bukti tidak langsung

atau circumstantial evidence

merupakan suatu bukti yang didasarkan pada proses inferensi
dan bukan dalam pengetahuan atau observasi pribadi dan
Circumstantial evidence merupakan semua bukti yang tidak

diberikan oleh orang yang menjadi saksi mata dalam suatu
peristiwa30 M. Burrill, dalam bukunya yang berjudul A Treatise
on the Nature, Principles and Rules of Circumstantial Evidence

menuliskan:
“Indirect evidence (called by the civilians, oblique,
and more commonly known as circumstantial evidence) is
that which is applied to the principal fact, indirectly, or
through the medium of other facts, by establishing certain
circumstances or minor facts, already described as
evidentiary, from which the principal fact is extracted and
gathered by a process of special inference ....”31
Dalam penggunaan pembuktian tidak langsung atau
circumstantial evidence dalam suatu perkara ialah

relevansi antara fakta kejadian pelanggaran yang akan

30
Bryan A. Garner, Black's Law Dictionary 8th ed., West Group, Minnesota:
2004, h.1678. (Circumstantial evidence. 1. Evidence based on inference and not on
personal knowledge or observation. 2. All evidence that is not given by eyewitness
testimony).
31 Alexander M. Burrill, A Treatise on the Nature, Principles and Rules of
Circumstantial Evidence, Baker Voorhis and co., law Publisher, New York : 1868, h.4

24

hendak akan dibuktikan dengan fakta–fakta pendukung
yang digunakan untuk membuktikan fakta kejadian
pelanggaran tersebut.
Dalam hukum acara mengenal jenis pembuktian
tidak langsung atau circumstantial evidence. Menurut
Hendar Sutarna alat bukti petunjuk dalam KUHAP
merupakan alat bukti “yang tercipta”, berbeda dengan alat
bukti yang lain (alat bukti saksi, alat bukti surat, alat bukti
petunjuk) yang bernilai dan berkekuatan pembuktian atas
hakikatnya sendiri, alat bukti petunjuk terwujud karena
adanya persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan satu
sama lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri.32
F. METODE PENELITIAN
Penelitian ini berbicara tentang bagaimana motif dalam unsur
tindak pidana, oleh karena itu dengan adanya persoalan hukum ini,
maka

jenis

penelitiannya

adalah

penelitian

hukum

menggunakan pendekatan:

32 Hendar Soetarna, S.H., Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana,
alumni, Bandung, 2011, hlm. 75

25

yang

1. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach )
Pendekatan ini digunakan karena penelitian ini
beranjak pada dasar pijakan adalah pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum
guna membangun suatu konsep hukum33. Pendekatan ini akan
melihat bahwa konsep kesalahan sudah cukup dalam
pertanggung jawaban pidana.
2. Pendekatan Kasus (Case Aprroach)
Pendekatan kasus oleh peneliti adalah ratio decidendi,
yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk
sampai kepada putusannya34. Dalam pendekatan kasus, untuk
dapat memahami fakta materiel perlu diperhatikan tingkat
abstraksi rumusan fakta yang diajukan35. Sehingga kegunaan
dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau
penafsiran yang digunakan oleh hakimnya. Hal ini
bermanfaat untuk penyingkapan latar belakang terjadinya
suatu kasus pidana serta mengetahui penafsiran para hakim
dalam memutuskan suatu perkara dalam persidangan.

33 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana
Prenanda Media Group, Jakarta, 2013, hlm. 177-178.
34 Ibid hlm. 158.
35 Ibid hlm 164.

26

3. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Aprroach )
Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan
dengan menggunakan legislasi dan regulasi.36 Pendekatan
Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah peraturan
perundang-undangan

yang

bersangkut

paut

dengan

permasalahan atau isu hukum yang sedang diteliti oleh
Penulis.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Tesis ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam 4
(empat) bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab, hal
ini untuk lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan
permasalahan yang akan di teliti. Adapun urutan dan tata letak
masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai
berikut:
Bab I (Pendahuluan) berisi uraian latarbelakang masalah
yang berbicara tentang motif yang selalu dikaitkan dengan kasus
pembunuhan biasa dan pembunuhan berencana sehingga dalam
bab ini Penulis menjelaskan delik-delik pasal tersebut dan unsurunsur dalam pasal tersebut. Selanjutnya pada Bab II akan di bahas

36
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana
Prenanda Media Group, Jakarta, 2013, hlm. 137.

27

tentang unsur-unsur tindak pidana, motif dalam tindak pidana,
pembuktian dalam perkara pidana dan hal-hal yang dibuktikan
oleh hakim dalam perkara pidana dan pertimbangan hakim dalam
memutuskan perkara pidana. Pada BAB III berisi hasil penelitian
dan analisis, pada hasil penelitian akan dijabarkan kasus posisi
pembunuhan berencana, dakwaan, pembuktian hakim dalam
perkara kasus pembunuhan dan tuntutan dalam kasus tersebut.
Dalam analisis akan melihat putusan hakim serta pertimbangan
hakim dalam tuntutan tindak pidana pembunuhan terkait motif.
Pada BAB IV berisikan kesimpulan dalam penelitian ini serta
saran untuk kedepannya.

28

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24