Dukungan Keluarga pada Lansia dengan Penyakit Kronis di Kelurahan Kwala Bekala Kecamatan Medan Johor

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keluarga
2.1.1 Definisi Keluarga
Keluarga menurut WHO (1969) dalam Mubarak, dkk (2009) merupakan
beberapa individu yang terdiri dari kepala keluarga dan anggota rumah tangga
lainnya yang dihubungkan oleh pertalian darah, adopsi, dan perkawinan.
Keluarga menurut Departemen Kesehatan RI (1998) dalam Mubarak, dkk
(2009) adalah unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga
dan beberapa orang yang terkumpul serta bertempat tinggal di suatu tempat dalam
satu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Friedman (2010) mengatakan bahwa keluarga adalah sebuah kelompok kecil
yang terdiri dari individu-individu yang mempunyai hubungan erat satu sama lain
dan saling tergantung, yang diorganisir dalam satu unit tunggal dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah beberapa individu yang
berkumpul dalam satu atap yang dihubungkan dengan pertalian darah dan
memiliki hubungan erat satu sama lain.
Kozier (2011), keluarga merupakan unit dasar dari masyarakat. Keluarga
terdiri dari beberapa individu, pria maupun wanita, muda atau tua, terkait secara

genetik maupun tidak, yang dianggap satu sama lain sebagai orang terdekat.
Setiap individu dalam satu rumah akan saling berinteraksi dan ketergantungan
satu sama lain untuk mencapai satu tujuan bersama.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Efendi & Makhfudli (2009), keluarga merupakan suatu sistem yang
terbuka yang dapat dipengaruhi oleh lingkungan sebagai supra-sistemnya,
begitupun sebaliknya, keluarga sebagai sub-sistem dari lingkungan juga dapat
mempengaruhi masyarakat.
Dalam merawat lansia, keluarga memiliki peranan untuk menjaga dan
merawat kondisi fisik lansia, meningkatkan status mental lansia, mengantisipasi
adanya perubahan sosial dan ekonomi serta memotivasi dan memfasilitasi lansia
untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya (Mubarak, dkk, 2009). Dengan adanya
peran keluarga tersebut, diharapkan lansia tetap dalam keadaan optimal dan
produktif hingga akhir hayatnya.

2.1.2 Fungsi keluarga
Friedman (2010), fungsi keluarga terbagi menjadi lima bagian, diantaranya
fungsi afektif, sosialisasi, reproduksi, ekonomi, dan perawatan/pemulihan

kesehatan.
Fungsi afektif merupakan fungsi keluarga untuk mengajarkan segala sesuatu
untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain.
Sedangkan fungsi sosialisasi merupakan fungsi keluarga untuk mengembangkan
dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah
dan berhubungan dengan orang lain di luar rumah. Lain halnya dengan fungsi
reproduksi yang merupakan fungsi keluarga untuk mempertahankan generasi dan
menjaga kelangsungan keluarga.
Sementara itu, fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi
kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan

Universitas Sumatera Utara

kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan merupakan fungsi
keluarga untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap
memiliki produktivitas tinggi.

2.1.3 Tugas Keluarga dalam Kesehatan
Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas di

bidang kesehatan yang harus dilakukan, yaitu: 1) Mengenal masalah kesehatan
setiap anggotanya. Perubahan sekecil apapun yang dialami oleh anggota keluarga
secara tidak langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, sehingga
apabila terjadi perubahan segera dicatat perubahannya tersebut. 2) Mengambil
keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga. Keluarga mencari
pertolongan yang sesuai dengan keadaan keluarga dan di antara anggota keluarga
yang mempunyai kemampuan untuk menentukan tindakan keluarga untuk
melakukan tindakan yang tepat sehingga masalah kesehatannya dapat dikurangi
atau teratasi. 3) Memberikan pelayanan kesehatan kepada anggota keluarga yang
sakit atau mengalami kecacatan. Keluarga memfasilitasi kepada anggota keluarga
untuk memperoleh tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi.
4) Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarga. 5) Mempertahankan hubungan
timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan

Universitas Sumatera Utara

2.2 Dukungan Keluarga
2.2.1 Definisi Dukungan Keluarga
Friedman (2010) mengatakan bahwa dukungan keluarga adalah suatu proses

yang terjadi selama masa hidup, dengan sifat dan tipe dukungan sosial bervariasi
pada masing-masing tahap siklus kehidupan keluarga.
Cohen & Syme (1996 dalam Setiadi, 2008) berpendapat bahwa dukungan
keluarga adalah suatu dukungan yang diberikan kepada individu sehingga
individu tersebut merasa diperhatikan, dihargai, dan dicintai yang diharapkan
mampu meningkatkan kesehatan dan adaptasi individu dalam menjalankan
kehidupannya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga adalah suatu dukungan
yang diberikan oleh keluarga kepada individu sehingga individu tersebut merasa
lebih berharga dalam menjalankan kehidupannya.
Stuart & Sundeen (1995 dalam Tamher & Noorkasiani, 2009) mengatakan
bahwa dukungan dari keluarga merupakan unsur terpenting dalam menyelesaikan
masalah. Dengan adanya dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan
motivasi untuk menghadapi masalah yang terjadi akan meningkat pula. Dukungan
keluarga ini bersifat timbal balik, memiliki umpan balik, dan keterlibatan
emosional dalam hubungan sosialnya.
Menurut Friedman (2010), dukungan keluarga dapat berasal dari internal,
seperti dukungan dari suami/istri, anak dan saudara kandung, maupun dari
eksternal, seperti dukungan dari sahabat, tetangga, keluarga besar maupun praktisi
kesehatan.


Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Komponen Dukungan Keluarga
Caplan (1976 dalam Friedman, 2010) menjelaskan bahwa keluarga memiliki
delapan fungsi pendukung, meliputi dukungan sosial (keluarga berfungsi sebagai
pencari dan penyebar informasi mengenai dunia), dukungan penilaian (keluarga
bertindak sebagai sistem pembimbing umpan balik, membimbing dan
memerantarai pemecahan masalah, dan merupakan sumber serta validator
identitas anggota), dukungan tambahan (keluarga adalah sumber bantuan praktis
dan konkret), dan dukungan emosional (keluarga berfungsi sebagai pelabuhan
istirahat, pemulihan dan membantu penguasaan emosional serta meningkatkan
moral keluarga). Sementara itu, House dan Kahn (1985 dalam Friedman, 2010 &
Setiadi, 2008) mengemukakan bahwa dukungan keluarga memiliki empat
komponen, yaitu dukungan informasional, penilaian, instrumental, dan emosional.
Dukungan informasional yaitu keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor
dan diseminator (penyebar informasi). Informasi yang disediakan agar dapat
digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan-persoalan yang
dihadapi, meliputi pemberian nasehat, pengarahan, ide-ide atau informasi lainnya
yang dibutuhkan.

Dukungan penilaian yaitu keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan
umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai
sumber. Penilaian dalam bentuk penghargaan yang diberikan kepada pihak lain
berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita.
Dukungan instrumental yaitu keluarga merupakan sumber pertolongan praktis
dan konkrit. Dukungan ini bertujuan untuk mempermudah seseorang dalam
melakukan aktifitasnya berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya

Universitas Sumatera Utara

atau menolong secara langsung kesulitan yang dihadapi, misalnya dengan
menyediakan peralatan lengkap dan memadai bagi penderita dan menyediakan
obat-obat yang dibutuhkan.
Dukungan emosional yaitu keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan
damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi.
Dukungan ini berupa dukungan simpatik, empati, cinta, kepercayaan, dan
penghargaan. Dengan demikian, seseorang yang menghadapi persoalan merasa
dirinya tidak menanggung beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang
memperhatikannya, bersimpati, dan empati terhadap persoalan yang dihadapinya,
bahkan mau membantu memecahkan masalah yang dihadapinya.


2.3 Lansia
2.3.1 Definisi Lansia
Menjadi tua merupakan suatu proses yang alamiah dan melewati tahapan
kehidupan setelah anak, dewasa, dan tua. Menurut Bab 1 Pasal 1 ayat 2 UndangUndang No. 13 Tahun 1998, seseorang dikatakan lansia apabila sudah memasuki
usia 60 tahun ke atas (Tamher & Noorkasiani, 2009).
Smith dan Smith (1999) menggolongkan lansia ke dalam tiga bagian, yaitu
young old (65-74 tahun), middle old (75-84 tahun), dan old-old (lebih dari 85
tahun) (Tamher & Noorkasiani, 2009).
Namun, sedikit berbeda dengan Smith dan Smith, WHO memiliki
pendapatnya sendiri yang mengategorikan lansia ke dalam empat bagian, yaitu
middle age (45-59 tahun), elderly (60-74 tahun), old (75-90 tahun) dan very old
(di atas 90 tahun) (Efendi & Makhfudli, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Jadi, dapat disimpulkan bahwa lansia adalah seseorang yang sudah memasuki
usia 60 tahun ke atas dalam kehidupannya.
Pada usia lanjut akan mengalami kemunduran misalnya kemunduran fisik
yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai

ompong, pendengaran kurang kurang jelas, penglihatan semakin memburuk,
gerakan lambat, dan bentuk tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2008). Akan
tetapi, kemunduran yang terjadi pada lansia tidak semata-mata hanya secara fisik
saja, melainkan kemunduran secara psikologis dan sosial. Misalkan lansia akan
mengalami perubahan perilaku terhadap perubahan biologis yang dialaminya.
Kemunduran secara sosial akan tampak ketika lansia menarik diri dan perannya di
masyarakat mengalami penurunan.

2.3.2 Teori Penuaan
Menurut Maryam, dkk (2008), ada beberapa teori yang berkaitan dengan
proses penuaan, seperti teori biologi, psikologis, sosial, dan spiritual.
1. Teori biologi
Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi, immunology slow theory,
stres, radikal bebas, dan rantai silang.
a. Teori genetik dan mutasi
Menurut teori genetik dan mutasi, menua terjadi sebagai akibat dari
perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel
pada saatnya akan mengalami mutasi, sebagai contoh yang khas adalah mutasi
dari sel-sel kelamin (penurunan kemampuan fungsi sel).


Universitas Sumatera Utara

b. Immunology slow theory
Menurut Immunology slow theory, sistem imun menjadi efektif dengan
bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat menyebabkan
kerusakan organ tubuh.
c. Teori stres
Teori stres mengungkapkan bila menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang
biasa digunakan tubuh.
d. Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan
protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi.
e. Teori rantai silang
Pada teori ini diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua atau usang
menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini
menyebabkan kurangnya elastisitas, kekacauan dan hilangnya fungsi sel.

2. Teori psikologi
Pada usia lanjut, proses penuaan terjadi secara alamiah seiring dengan

penambahan usia. Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula
dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif.
Kepribadian individu yang terdiri atas motivasi dan inteligensi dapat menjadi
karakteristik konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat
menjadikan seorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai
yang ada.

Universitas Sumatera Utara

3. Teori sosial
Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori
interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan diri (disengangement
theory), teori aktivitas (activity theory), teori kesinambungan (continuity theory),
teori perkembangan (development theory), dan teori stratifikasi usia (age
stratification theory).
a. Teori interaksi sosial
Teori ini menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi tertentu,
yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Pada lansia, kekuasaan dan
prestisenya berkurang, sehingga menyebabkan interaksi sosial mereka juga
berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan mereka untuk

mengikuti perintah.
b. Teori penarikan diri
Teori ini merupakan teori sosial tentang penuaan yang paling awal dan
pertama kali diperkenalkan oleh Gumming dan Henry pada 1961. Kemiskinan
yang diderita lansia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang
lansia secara perlahan-lahan menarik diri.
c. Teori aktivitas
Teori aktivitas dikembangkan oleh Palmore pada 1965 dan Lemon et al. pada
1972 yang menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung dari bagaimana
seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas. Penerapan teori
aktivitas ini sangat positif dalam penyusunan kebijakan terhadap lansia, karena
memungkinkan para lansia untuk berinteraksi sepenuhnya di masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

d. Teori kesinambungan
Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan
lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya
kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup,
perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah meskipun ia telah menjadi
lansia.
e. Teori perkembangan
Menurut Erikson (1963) dalam Maryam, dkk (2008), tugas perkembangan
lansia berfokus pada integritas ego versus keputusasaan. Integritas ego mengacu
pada sikap penerimaan lansia terhadap perubahan gaya hidupnya dan kepercayaan
orang lain terhadap pilihan yang telah dibuatnya merupakan keputusan terbaik
bagi dirinya sehingga lansia tersebut masih dapat mengontrol dirinya sendiri.
Sedangkan keputusasaan yang merupakan kebalikan dari integritas ego
menunjukkan ketidakpuasan dan kekecewaan lansia dalam menerima penuaannya.
Berbeda halnya dengan Havighurst (1972) dalam Fatimah (2010)

yang

mengatakan bila tugas perkembangan lansia meliputi penurunan kesehatan fisik,
penurunan pendapatan, pensiun, kematian pasangan, dan beradaptasi dengan
peran sosial dengan cara yang fleksibel.
f. Teori stratifikasi usia
Wiley (1971) dalam Maryam, dkk (2008) menyusun stratifikasi usia
berdasarkan usia kronologis yang menggambarkan serta membentuk adanya
perbedaan kapasitas, peran, kewajiban, dan hak mereka berdasarkan usia.

Universitas Sumatera Utara

4. Teori spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hubungan
individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti kehidupan. James
Fowler dalam Maryam, dkk (2008) berpendapat bahwa perkembangan spiritual
pada lansia berada pada tahap penjelmaan dari prinsip cinta dan keadilan.

2.4 Penyakit Kronis
2.4.1 Definisi Penyakit Kronis
Penyakit kronis adalah suatu kondisi yang ditandai dengan kegagalan
organisme untuk beradaptasi dan mempertahankan homeostatis (Price & Wilson,
2005).
Menurut Lueckenotte (2000) penyakit kronis adalah suatu kegagalan yang
terjadi dalam jangka waktu tiga bulan/lebih dengan komplikasi psikososial dan
ekonomi, serta membutuhkan perawatan kesehatan profesional yang mendukung.
Smeltzer & Bare (2002) mengatakan bahwa penyakit kronis adalah suatu
keadaan yang menyebabkan parameter kesehatannya dibawah kisaran normal, dan
membutuhkan penatalaksanaannya dalam jangka waktu yang panjang untuk
memperoleh homeostatis dalam tubuhnya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyakit kronis adalah suatu keadaan yang
berlangsung 3 bulan/lebih yang dapat mengganggu kesehatannya sehingga
membutuhkan perawatan profesional untuk memperoleh kesehatan yang optimal.
Menurut Lueckenotte (2000), dikatakan penyakit kronis apabila keadaan yang
mengganggu kesehatannya bersifat permanen, meninggalkan sisa-sisa kecacatan

Universitas Sumatera Utara

akibat perubahan patologis nonreversible

sehingga membutuhkan suatu

pengobatan dalam jangka waktu yang lama.

2.4.2 Fase-fase Penyakit Kronis
Smeltzer & Bare (2002), progresi penyakit kronis akan berdampak pada
pasien dan keluarga. Fase perjalanan penyakit kronis ini diidentifikasi dalam
sembilan fase yang akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari, yaitu fase pre
trajectory, trajectory, stabil, tidak stabil, akut, krisis, pulih, penurunan, dan
kematian.
Fase pre trajectory merupakan tahapan dimana seorang individu berisiko
terhadap suatu penyakit kronis akibat dari faktor genetik maupun gaya hidup yang
meningkatkan kerentanannya terhadap faktor penyakit kronis.
Fase trajectory ini ditandai dengan mulai tampaknya gejala-gejala yang
berkaitan dengan penyakit kronis yang diderita, namun pada fase ini masih
dilakukan evaluasi dan pemeriksaan sehingga masih dalam hal ketidakpastian.
Fase stabil merupakan fase terkendalinya suatu gejala-gejala yang sudah
tampak dan perjalanan penyakitnya. Fase tidak stabil merupakan kebalikan dari
fase stabil, dimana terjadi ketidakstabilan terhadap gejala dari penyakit kronis
tersebut, yang ditandai dengan kekambuhan gejala-gejala maupun progresi
penyakit, sehingga mengganggu aktivitas si penderita.
Fase akut memiliki karakteristik gejala yang berat dan tidak dapat pulih
sehingga membutuhkan perawatan di rumah sakit. Fase krisis sudah memasuki
situasi krisis yang dapat mengancam keselamatan jiwa sehingga membutuhkan

Universitas Sumatera Utara

pengobatan darurat. Fase pulih adalah pulih kembali pada cara hidup yang dapat
diterima dalam batasan yang dibebani oleh penyakit kronis.
Fase penurunan terjadi ketika ketidakmampuan si penderita dalam mengatasi
gejala-gejala

penyakitnya

sementara

perjalanan

penyakitnya

semakin

berkembang. Fase kematian ditandai dengan penurunan fungsi tubuh secara
bertahap

maupun

cepat

serta

penghentian

hubungan

individu

dengan

kehidupannya.
2.4.3 Penyakit Kronis pada Lansia
Meskipun tidak semua lansia menderita masalah kesehatan, namun dalam
pendekatan kelompok, para lansia menunjukkan kecenderungan prevalensi yang
mencolok dalam kaitan gangguan-gangguan yang bersifat kronis.
Penyakit yang diderita lansia berdasarkan data dari National Center for
Health Statistic di Amerika Serikat meliputi sinusitis kronik, arthritis, gangguan
ortopedik, hipertensi, penyakit jantung, asma, gangguan visual, diabetes, dan
penyakit serebrovaskuler (Lueckenotte, 2000).
Berdasarkan The National Old People’s Welfare Council di Inggris, penyakit
atau gangguan umum pada lanjut usia ada 12 macam, yakni depresi mental,
gangguan pendengaran, bronkitis kronis, gangguan pada tungkai, gangguan pada
sendi panggul, anemia, demensia, gangguan penglihatan, ansietas, dekompensasi
kordis, diabetes mellitus, dan gangguan defekasi (Nugroho, 2008).
Tujuh golongan penyakit lainnya yang banyak dilaporkan dalam literatur
adalah arthritis, hipertensi, gangguan pendengaran, kelainan jantung, sinusitis
kronik, penurunan visus, dan gangguan pada tulang (Tamher & Noorkasiani,
2009).

Universitas Sumatera Utara