Koping Lansia Terhadap Penyakit Kronis Yang Diderita Lansia Di Kelurahan Kedai Durian Kecamatan Medan Johor Medan

(1)

KOPING LANSIA TERHADAP PENYAKIT KRONIS

YANG DIDERITA LANSIA

DI KELURAHAN KEDAI DURIAN

KECAMATAN MEDAN JOHOR MEDAN

SKRIPSI

Oleh : Heppy Sahara

061101090

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Judul : Koping Lansia terhadap Penyakit Kronis yang Diderita Lansia di Kelurahan Kedai Durian Kecamatan Medan Johor Medan

Nama Mahasiswa : Heppy Sahara

N I M : 061101090

Jurusan : S1 Keperawatan

Tahun : 2010

Tanggal Lulus :

Pembimbing Penguji I

Iwan Rusdi, S.Kp, MNS Rosina Tarigan, S.Kp, M.Kep,Sp.KMB NIP. 1973 0909 200 03. 1. 001 NIP. 1973 1031 200212 2 002

Penguji II

Ismayadi, S.Kp,Ns

NIP. 19750629 200212 1 002

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara telah Menyetujui Skripsi ini sebagai bagian dari persyaratan kelulusan Sarjana Keperawatan (S.Kep).

Medan, Juli 2010 Pembantu Dekan I, Erniyati, S.Kp, MNS.


(3)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kekuatan dan kesempatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul Koping Lansia terhadap Penyakit Kronis yang Diderita Lansia di Kelurahan Kedai Durian, Kecamatan Medan Johor, Medan .

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis mendapatkan bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan butir-butir pemikiran yang sangat berharga bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Iwan Rusdi, S.Kp, MNS sebagai dosen pembimbing skripsi saya yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, bimbingan, dan ilmu yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Rosina Tarigan, S.Kp, MNS, Sp. KMB, dan Bapak Ismayadi S.Kp, Ns sebagai dosen penguji skripsi saya. Terima kasih atas masukan dan saran yang telah ibu berikan untuk perbaikan skripsi ini.

5. Ibu Ellyta Aizar, S.Kp selaku dosen pembimbing akademik, yang telah memberikan arahan-arahan untuk kelancaran proses perkuliahan saya.

6. Seluruh dosen dan staf pengajar serta civitas akademik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan dan nasehat selama perkuliahan berlangsung.


(4)

7. Lurah dan seluruh staf di Kelurahan Kedai Durian, Kecamatan Medan Johor, Medan yang telah yang telah membantu dan memberikan izin kepada saya untuk melakukan penelitian ini.

8. Ayahanda tercinta H. Hamzah Harahap, S.Pd dan Ibunda tercinta Hj. Mas Delima Siregar yang menjadi motivasi dalam hidup saya yang selalu berdo a dan menyayangi saya, memberi dorongan baik moril maupun materiil kepada saya.

Dan kepada Almarhum kakek tercinta H.Sutan Malim Harahap yang selalu memberikan semangat dan masukan yang positif bagi pendidikan saya.

9. Kedua kakak saya dr. Hotma Robiah Harahap dan Helmi Ade Pria Harahap SE. Dan ketiga adik saya Pinta Romaito Harahap, Ahmad Syukri Harahap, dan Masitah Amalia Harahap., serta semua keluarga yang mendukung saya dalam do a dan memberikan motivasi dan perhatiannya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaian skripsi ini.

10. Teman-teman mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara stambuk 2006 yang telah memberikan semangat dan masukan dalam penyusunan skripsi ini. Khususnya buat sahabatku Dwi Utama dan Afnijar Wahyu yang selalu bersama dalam suka dan duka. Firda, Paula, Desy, dan Nanda sebagai teman konsul yang kompak dari proposal sampai skripsi, terima kasih atas bantuannya dan sudah berjuang bersama. Terima kasih kepada Rosida Lubis S.Kp yang telah menjadi kakak asuh terbaik buat saya selama saya kuliah.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan pihak pihak yang membutuhkan.

Medan, Juni 2010


(5)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Ucapan Terima Kasih ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vii

Daftar Skema ... viii

Abstrak ... ix

BAB 1 Pendahuluan

1. Latar Belakang ... 1

2. Pertanyaan Penelitian ... 4

3. Tujuan Penelitian ... 4

4. Manfaat Penelitian ... 5

4.1. Bagi Praktek Keperawatan ... 5

4.2. Bagi Pendidikan Keperawatan ... 5

4.3. Bagi Penelitian Keperawatan ... 5

BAB 2 Tinjauan Pustaka

1. Defenisi Lansia... 7

1.1 Batasan-Batasan Lansia ... 7

1.2 Teori-Teori Penuaan ... 8

1.3 Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia ... 13

2. Penyakit Kronis ... 16

2.1 Defenisi Penyakit Kronis ... 16

2.2 Kategori Penyakit Kronis ... 17

2.3 Implikasi Penyakit Kronis ... 18

2.4 Fase-Fase Penyakit Kronis... 19

3. Koping ... 20

3.1 Defenisi Koping ... 20

3.2 Strategi Koping ... 21

BAB 3 Kerangka Penelitian

1. Kerangka Konsep ... 26

2. Defenisi Konseptual ... 27


(6)

BAB 4 Metodologi Penelitian

1. Desain Penelitian ... 29

2. Populasi, Sampel, dan teknik Sampling ... 29

2.1 Populasi... 29

2.2 Sampel... 29

2.3 Teknik Sampling ... 30

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

4. Pertimbangan Etik... 31

5. Instrumen Penelitian... 32

6. Uji Validitas ... 33

7. Uji Reliabilitas ... 33

8. Pengumpulan Data ... 34

9. Analisa Data... 34

BAB 5 Hasil dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian ... 36

1. 1 Karakterisrik Responden ... 36

1. 2 Koping yang Digunakan ... 38

2. Pembahasan ... 43

2.1 Karakteristik Responden ... 43

2.2 Koping yang Digunakan Lansia... 45

BAB 6 Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan ... 51

2. Saran ... 51

2.1 Bagi Profesi Keperawatan... 51

2.2 Bagi Penelitian Selanjutnya ... 51

Daftar Pustaka ... 53

Lampiran - lampiran ... 1. Inform Consent ... 56

2. Jadwal Tentatif Penelitian ... 58

3. Taksasi Dana ... 59

4. Instrumen Penelitian... 60

5. Riwayat Hidup ... 66 6. Surat Keterangan Izin Melakukan Survei Awal

7. Surat Keterangan Izin Penelitian dari Fakultas Keperawatan USU 8. Surat Keterangan Izin Penelitian dari Balitbang Kota Medan


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik

responden (N=53) ... 37 Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentase responden berdasarkan

koping lansia yang merasa optimis mengenai masa depan (N=53)... 39 Tabel 3. Distribusi frekuensi dan persentase responden berdasarkan

koping lansia yang menggunakan dukungan sosial (N=53)... 40 Tabel 4. Distribusi frekuensi dan persentase responden berdasarkan

koping lansia yang menggunakan sumber spiritual (N=53)... 41 Tabel 5. Distribusi frekuensi dan persentase responden berdasarkan

Koping lansia yang mencoba tetap mengontrol situasi dan

Perasaan (N=53)... 42 Tabel 6. Distribusi frekuensi dan persentase responden berdasarkan


(8)

DAFTAR SKEMA


(9)

Judul Penelitian : Koping Lansia terhadap Penyakit Kronis di Kelurahan Kedai Durian Kecamatan Medan Johor Medan

Nama Mahasiswa : Heppy Sahara

NIM : 061101090

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2010

==========================================================

Abstrak

Penyakit kronis dapat berdampak besar pada aktivitas atau gaya hidup seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya penyakit kronis merupakan stressor bagi lansia, sehingga dibutuhkan upaya-upaya yang dilakukan seorang lansia untuk mangatasi stressor baik dari dalam diri maupun dari lingkungan yang disebut dengan koping. Jenis-jenis koping antara lain merasa optimis mengenai masa depan, menggunakan dukungan sosial, menggunakan sumber spiritual, mengontrol situasi maupun perasaan dan menerima kenyataan yang ada. Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi koping yang digunakan lansia terhadap penyakit kronis yang dideritanya di Kelurahan Kedai Durian Kecamatan Medan Johor Medan dengan menggunakan desain penelitian deskriptif eksploratif. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 53 orang dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang terdiri dari kuesioner data demografi dan kuesioner koping lansia yang berisi 16 pernyataan. Hasil penelitian berdasarkan karakteristik responden menunjukkan mayoritas responden berumur 60-69 tahun (62,3%), jenis kelamin perempuan (75,5%), agama Islam (96,2%), suku batak (20,8%), pendidikan terakhir SD (50,9%), pekerjaan sebelumnya pegawai swasta/ wiraswasta (43,4%), jenis penyakit kronis Hipertensi dan Diabetes Melitus (masing-masing 32,1%) dan mayoritas lama menderita 0,5-1,5 tahun (37,7%). Hasil penelitian berdasarkan koping lansia terhadap penyakit kronis yaitu, koping yang merasa optimis mengenai masa depan (73,6%)sangat setuju akan adanya harapan akan kesembuhan penyakitnya, koping yang menggunakan dukungan sosial (64,2% ) sangat setuju berbicara dengan orang lain, koping yang menggunakan sumber spiritual (90,6%) sangat setuju percaya bahwa Tuhan akan memberikan kesembuhan, koping yang mencoba tetap mengontrol situasi dan perasaan (47,2%) sangat setuju menolak jika dikatakan pembawa masalah, koping yang mencoba menerima kenyataan yang ada (52,8%) sangat setuju menerima kenyataan hidup. Saran untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih besar sehingga hasilnya lebih akurat dan dengan menggunakan pengklasifikasian jenis koping yang lainnya, serta pada jenis penyakit kronis lainnya, sehingga dapat menggambarkan keadaan yang lebih sebenarnya tentang koping lansia dengan penyakit kronis.


(10)

Judul Penelitian : Koping Lansia terhadap Penyakit Kronis di Kelurahan Kedai Durian Kecamatan Medan Johor Medan

Nama Mahasiswa : Heppy Sahara

NIM : 061101090

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2010

==========================================================

Abstrak

Penyakit kronis dapat berdampak besar pada aktivitas atau gaya hidup seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya penyakit kronis merupakan stressor bagi lansia, sehingga dibutuhkan upaya-upaya yang dilakukan seorang lansia untuk mangatasi stressor baik dari dalam diri maupun dari lingkungan yang disebut dengan koping. Jenis-jenis koping antara lain merasa optimis mengenai masa depan, menggunakan dukungan sosial, menggunakan sumber spiritual, mengontrol situasi maupun perasaan dan menerima kenyataan yang ada. Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi koping yang digunakan lansia terhadap penyakit kronis yang dideritanya di Kelurahan Kedai Durian Kecamatan Medan Johor Medan dengan menggunakan desain penelitian deskriptif eksploratif. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 53 orang dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang terdiri dari kuesioner data demografi dan kuesioner koping lansia yang berisi 16 pernyataan. Hasil penelitian berdasarkan karakteristik responden menunjukkan mayoritas responden berumur 60-69 tahun (62,3%), jenis kelamin perempuan (75,5%), agama Islam (96,2%), suku batak (20,8%), pendidikan terakhir SD (50,9%), pekerjaan sebelumnya pegawai swasta/ wiraswasta (43,4%), jenis penyakit kronis Hipertensi dan Diabetes Melitus (masing-masing 32,1%) dan mayoritas lama menderita 0,5-1,5 tahun (37,7%). Hasil penelitian berdasarkan koping lansia terhadap penyakit kronis yaitu, koping yang merasa optimis mengenai masa depan (73,6%)sangat setuju akan adanya harapan akan kesembuhan penyakitnya, koping yang menggunakan dukungan sosial (64,2% ) sangat setuju berbicara dengan orang lain, koping yang menggunakan sumber spiritual (90,6%) sangat setuju percaya bahwa Tuhan akan memberikan kesembuhan, koping yang mencoba tetap mengontrol situasi dan perasaan (47,2%) sangat setuju menolak jika dikatakan pembawa masalah, koping yang mencoba menerima kenyataan yang ada (52,8%) sangat setuju menerima kenyataan hidup. Saran untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih besar sehingga hasilnya lebih akurat dan dengan menggunakan pengklasifikasian jenis koping yang lainnya, serta pada jenis penyakit kronis lainnya, sehingga dapat menggambarkan keadaan yang lebih sebenarnya tentang koping lansia dengan penyakit kronis.


(11)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Terdapat banyak perubahan yang terjadi pada lanjut usia mencakup perubahan-perubahan fisik, mental, psikososial, dan perkembangan spiritual. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia ini memiliki beberapa dampak yang mencakup semakin tingginya tingkat ketergantungan, masalah kesehatan, masalah psikologi, mental-spiritual, dan lain-lain (Hamid, 2001). Menurut dr. Heriawan Soejono dari Devisi Geriatri Departemen Penyakit Dalam FK UI, salah satu masalah penting yang dihadapi para lansia itu salah satunya terletak pada aspek penyakit kronis (Siti, dkk, 2008). Penyakit kronis yang sering terjadi misalnya, penyakit jantung, stroke, diabetes, kanker, parkinson, multiple sclerosis dan penyakit arteri (Christianson, 1998).

Penelitian telah menunjukkan peningkatan insidensi penyakit kronis terjadi pada saat orang bertambah tua. Data sensus tahun 1989 mengungkapkan bahwa pada usia 65 tahun, 70% pria dan 77% wanita yang telah disurvei memiliki satu atau lebih penyakit kronis. Pada usia 80 tahun, jumlah ini meningkat sampai 81% pada laki-laki dan 90% pada wanita (Stanlay & Patricia, 2006).

Menurut Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS, 1985) proporsi lanjut usia di Indonesia adalah 6,9% atau sekitar 11,5 juta jiwa dari total populasi. Selanjutnya, pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lanjut usia di Indonesia akan meningkat tiga


(12)

kali lipat yaitu 30,1 juta jiwa dari total populasi yang mencapai kurang lebih 262 juta jiwa (Depkes RI, 1999). Pertambahan jumlah lansia dalam kurun waktu tahun 1990-2005, tergolong tercepat di dunia (Palestin, 2006). Data BPS tahun 2000 disebutkan jumlah lansia berkisar 14,4 juta orang dengan jumlah lansia di perkotaan 5,26 juta orang dan di pedesaan 9,17 juta orang. Di antara jumlah tersebut, laki-laki berjumlah 6,88 juta orang dan perempuan berjumlah 7,55 juta orang (BKKBN, 2006). Pada tahun 2002, jumlah lansia di Indonesia berjumlah 16 juta orang dan diproyeksikan akan bertambah menjadi 25,5 juta orang pada tahun 2020 atau sebesar 11,37% penduduk dan ini merupakan peringkat keempat dunia, di bawah Cina, India dan Amerika Serikat. Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan sensus BPS 1998 adalah 63 tahun untuk pria dan 67 tahun untuk perempuan (Palestin, 2006).

Penyakit kronis dapat berdampak besar pada aktivitas atau gaya hidup seseorang seperti sulitnya berjalan dan perlunya bantuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebanyak 25% orang yang menderita penyakit kronis mempunyai keterbatasan aktivitas (Anderson, 2002). Fenomena di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya penyakit kronis merupakan stressor bagi lansia. Cara lansia mengatasi keluhan terhadap masalah kesehatan bersifat individual, setiap lansia memiliki caranya sendiri. Upaya mengatasi masalah yang dihadapi dikenal dengan istilah koping. Koping didefenisikan sebagai upaya-upaya yang dilakukan seseorang untuk mangatasi stressor baik dari dalam diri maupun dari lingkungan (Stuart GW, 1998).


(13)

Strategi koping (mekanisme koping) akan digunakan secara berbeda-beda dari satu individu dengan individu lainnya dan dari satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Umumnya setiap individu menggunakan strategi koping yang sudah pernah digunakan sebelumnya dan berhasil, bila koping tersebut tidak berhasil pada situasi tertentu strategi lain dapat dipertimbangkan (Nursasi dan Poppy, 2002).

Hasil dari suatu perawatan yang diberikan untuk lansia yang mengalami penyakit kronis dipengaruhi oleh bagaimana koping lansia tersebut dalam menghadapi masalah penyakitnya tersebut, karena keadaan kesehatan seseorang sangat berhubungan dengan kondisi psikologi individu itu sendiri. Oleh karena itu, mengetahui koping yang sering digunakan oleh lansia dengan penyakit kronis sangat penting, agar tenaga kesehatan dalam memberikan tindakan keperawatan tetap memperhatikan aspek koping dari lansia itu sendiri, sehingga hasilnya dapat lebih optimal. Namun, belum ada penelitian sebelumnya yang meneliti bagaimana koping yang digunakan lansia dalam menghadapi penyakit kronis secara umum. Pada penelitian sebelumnya, hanya meneliti koping lansia terhadap satu jenis penyakit kronis saja dan menggunakan pengidentifikasian jenis koping yang berbeda pula. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Astuti Yuni Nursasi dan Poppy Fitriyani pada tahun 2001 yang berjudul koping lansia terhadap penurunan fungsi gerak di Kelurahan Cipinang Muara Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur . Penelitian ini dilakukan pada 46 responden. Pengidentifikasian jenis koping yang digunakan berdasarkan pengidentifikasian menurut Folkman dan Lazarus. Dimana hasil penelitian ini adalah sebagai berikut, 32,61% responden mengunakan koping


(14)

konfrontasi, 32,61% menggunakan koping dukungan sosial, 19,57% responden menggunakan koping dengan penyelesaian masalah, 43,48% responden menggunakan koping kontrol diri, 21,74% responden mengggunakan koping penilaian yang positif, 34,78% responden menggunakan koping menerima tanggung jawab dan 26,09% responden menggunakan koping pengingkaran.

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Kedai Durian yang merupakan suatu kelurahan dari Kecamatan Medan Johor dan kelurahan ini memiliki banyak penduduk yang masuk pada kategori lansia. Dari data Puskesmas setempat juga memperlihatkan bahwa hampir 20% dari lansia di kelurahan ini mengalami penyakit kronis walaupun kebanyakan masih dalam tingkat yang ringan.

Karena alasan di atas maka peneliti tertarik dan merasa penting untuk melakukan penelitian tentang koping lansia terhadap penyakit kronis di Kelurahan Kedai Durian, Kecamatan Medan Johor, Medan.

2. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana gambaran koping lansia terhadap penyakit kronis yang dideritanya di Kelurahan Kedai Durian, Kecamatan Medan Johor, Medan?

3. Tujuan Penelitian

Mengidentifikasi koping yang digunakan lansia terhadap penyakit kronis yang dideritanya di Kelurahan Kedai Durian, Kecamatan Medan johor, Medan.


(15)

4. Manfaat Penelitian

4.1 Bagi praktek keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi kesehatan tentang koping yang digunakan lansia terhadap penyakit kronis yang dideritanya, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam memberikan asuhan keperawatan bagi lansia dengan penyakit kronis.

4.2 Bagi pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai refrensi tentang koping yang sering digunakan lansia yang menderita penyakit kronis di komunitas.

4.3 Bagi penelitian keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi awal untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan koping lansia terhadap penyakit kronis di komunitas.


(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Lansia

1.1 Defenisi Lansia

1.2 Batasan-Batasan Lansia 1.3 Teori-Teori Penuaan

1.4 Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia

2. Penyakit Kronis

2.1 Defenisi Penyakit Kronis 2.2 Kategori Penyakit Kronis 2.3 Implikasi Penyakit Kronis 2.4 Fase-Fase Penyakit Kronis 2.5 Jenis-Jenis Penyakit Kronis

3. Koping

3.1 Defenisi Koping 3.2 Strategi Koping


(17)

1. Lansia

1.1 Defenisi Lansia

Lansia atau usia tua adalah suatu periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat (Hurlock, 1999).

1.2 Batasan-Batasan Lansia

Umur yang dijadikan patokan sebagai lanjut usia berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun. Menurut WHO ada empat tahap batasan umur yaitu usia pertengahan (middle age) antara 45-59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, dan usia lanjut usia (old) antara 75-90 tahun, serta usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Nugroho, 2008).

Menurut Depkes RI batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu pertengahan umur usia lanjut (virilitas) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini (prasenium) yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun, kelompok usia lanjut (senium) usia 65 tahun ke atas dan usia lanjut dengan resiko tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat, atau cacat (Mutiara, 1996).


(18)

Di Indonesia, batasan lanjut usia adalah 60 tahun ke atas. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 (Nugroho, 2008).

1.3 Teori-Teori Penuaan

Teori tentang penuaan dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok teori stokastik dan teori kelompok genetika perkembangan (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005).

1.3.1 Kelompok teori stokastik

Pada kelompok ini proses tua dianggap sebagai akibat dari kumpulan dampak negatif lingkungan. Adapun teori yang termasuk dalam kelompok ini adalah:

1. Teori Mutasi Somatik

Teori mutasi somatik dikemukakan pada pertengahan abad 20 dengan dasar setelah perang dunia saat itu, lingkungan banyak terekspos oleh radiasi yang memicu mutasi sel. Lebih jauh mutasi sel menyebabkan kemunduran sampai pada kegagalan organ sehingga dapat menyebabkan kematian (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005).

2. Teori Kesalahan Berantai (Error Catasthrophe Theory).

Orgel (1963) mengemukakan teori kesalahan pembentukan protein sel yang mengandung materi genetik. Jika kesalahan tersebut terus-menerus diturunkan dari generasi ke generasi, maka lumlah molekul abnormal akan semakin banyak. Menurut teori ini proses tua disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang beruntun dan


(19)

berlangsung lama sepanjang kehidupan, dimana terjadi kesalahan transkripsi (perubahan DNA menjadi RNA) maupun translasi (perubahan RNA menjadi protein atau enzim). Enzim atau protein yang salah ini akan menyebabkan gangguan pada metabolisme sehingga mengurangi fungsi sel. Walaupun pada keadaan tertentu sel mampu memperbaiki kesalahan, namun kemampuan ini sangat terbatas. Kesalahan beruntun inilah yang akan menimbulkan bencana (catasthrophe) (Kosasih, setiabudhi, dan heryanto, 2005).

3. Teori Pilin (Cross-Lingking Theory)

Khon dan Bjorksten (1974) mengemukakan teori ini dengan dasar bahwa makin bertambahnya usia, protein manusia yaitu DNA satu dengan DNA lainnya akan saling melekat dan memilin (cross-link). Akibatnya protein (DNA) menjadi rusak dan tidak dapat dicerna oleh enzim pemecah protein (enzim protease), sehingga elastisitas protein akan berkurang dan akhirnya mengakibatkan kerutan pada kulit, fungsi penyaring ginjal menjadi berkurang, dan terjadi katarak pada mata (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005).

4. Teori Glikosilasi (Glycosilation Theory)

Teori ini mengemukakan bahwa bila terjadi proses pengikatan antara gula (glukosa) dengan protein (proses glikosilasi) maka protein dan glukosa yang terlibat akan rusak dan tidak berfungsi optimal. Semakin lama hidup seseorang, semakin banyak pula kesempatan terjadinya pertemuan antara oksigen, glukosa dan protein yang akan memicu terjadinya keadaan degenerasi seperti katarak, senilis, kulit yang keriput/ kusam, dan lain-lain (Kosasih, Setiabudhi dan Heryanto, 2005).


(20)

5. Teori Pakai dan Rusak (Wear and Tear Theory)

Dr. August Weismann (1982) mengatakan bahwa tubuh dan sel-selnya rusak karena banyak terpakai dan digunakan secara berlebihan. Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan sebagainya dirusak oleh racun (toksik) yang didapat dari makanan dan lingkungan (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005).

1.3.2 Kelompok teori genetika perkembangan

Kelompok teori ini mengemukakan bahwa proses tua merupakan bagian dari proses tumbuh kembang yang berkesinambungan, dimana secara genetik telah terkontrol dan terprogram. Memang tidak dipungkiri bahwa faktor luar (lingkungan) sangat berpengaruh, namun para ilmuwan percaya bahwa lama hidup dan proses tua sudah diatur secara instrinsik oleh tubuh, dalam hal ini kaitannya dengan genetik. Bukti nyata akan hal ini bahwa berbagai spesies memiliki lama hidup yang berbeda padahal mereka terekspos oleh suasana lingkungan yang sama. Adapun teori yang termasuk di dalam kelompok teori ini adalah:

1. Teori Neuro Endokrin (hormonal)

Denckla (1974) mengungkapkan bahwa proses tua dipengaruhi oleh aksi hipotalamus-hipofisis-adrenal. Dengan bertambahnya usia, maka terjadi penurunan fungsi sel-sel neuron di hipotalamus, sehingga mengakibatkan gangguan produksi hormon-hormon yang secara otomatis mengganggu fungsi organ terkait. Hormon sangat vital untuk memperbaiki dan mengatur fungsi tubuh. Semakin tua seseorang maka produksi hormon tubuh menjadi berkurang, sehingga kemampuan tubuh untuk


(21)

memperbaiki diri (self repaired) dan mengatur diri(self regulation) menjadi menurun (Kosasih, Setiabudhi, Heryanto, 2005).

2. Teori Mutasi Genetik

Burnet (1974) mengatakan bahwa tiap spesies mempunyai konstitusi genetik spesifik. Tingkat ketepatan dan kepatuhan akan menentukan kemungkinan timbulnya kesalahan atau mutasi, dan sepanjang perjalanan hidup organisme dapat muncul kode genetik spesifik yang baru (Kosasih, Setiabudhi, Heryanto, 2005).

3. Teori Imunologis

Teori ini berdasarkan dari pengalaman bahwa dengan bertambahnya usia maka terjadi penurunan kadar imunoglobulin, terutama IgD, peningkatan natural killer cell, penurunan faal limfosit T, resistensi terhadap infeksi, serta peningkatan kejadian penyakit autoimun. Salah satu bukti yang ditemukan Brocklehurst (1978) adalah bertambahnya prevalensi autoantibodi pada orang lanjut usia (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005).

4. Teori Radikal Bebas

Harman (1956) menerangkan proses tua berdasarkan timbulnya kerusakan jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas. Radikal bebas ialah atom atau molekul dengan susunan elektron tidak lengkap atau tidak berpasangan sehingga bersifat tidak stabil dan kecendrungan kuat untuk berpasangan. Radikal bebas menyebabkan efek samping invivo sehingga terjadi injury sel atau disfungsi dan diikuti inflamasi dan pada akhirnya terjadi penyakit degeneratif (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005).


(22)

5. Teori Membran

ZsNagy mengakatakan bahwa kemampuan untuk memindahkan berbagai macam senyawa kimia, panas, dan berbagai proses listrik tergangggu sejalan dengan proses tua. Membran sel menjadi lebih kering (cairan dan lemak yang berkurang) dan menjadi lebih padat. Hal ini mengurangi kemampuan sel untuk menjalankan kemampuan sel untuk menjalankan fungsi normal dan terjadi akumulasi racun (toksin) yang disebut lifofuchsin yang akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005).

6. Teori Gangguan Mitokondria

Mitokondria adalah organel yang menghasilkan energi Adenosine Triphosphate (ATP). Pada teori radikal bebas dikatakan mitokondria terpapar oleh banyak radikal bebas yang dapat merusak mitokondria sedangkan sel kurang mendapat proteksi yang memadai dari proses ini, maka fungsi mitokondria akan terganggu dan otomatis produksi ATP berkurang. Sel-sel tidak dapat meminjam energi dari sel lain, maka kerja sel juga terganggu bahkan gagal. Bila sel gagal menghasilkan energi otomatis organ yang dibentuknya ikut terganggu dan gagal sehingga berakhir dengan kematian (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005).

7. Teori Telomerase

Dasar teori ini didapat oleh grup ilmuwan dari Geron Corporation di Menlo Park, California. Telomer adalah rangkaian asam nukleat yang terdapat di ujung kromosom, fungsinya menjaga keutuhan kromosom. Tiap kali sel tubuh membelah, telomer akan memendek. Apabila ujung telomer sudah sangat pendek, kemampuan


(23)

sel untuk membelah akan berkurang, melambat dan akhirnya sel tidak dapat membelah lagi (mati) (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005).

1.4 Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lanjut Usia

Constantinides (1994) mengatakan bahwa proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2008).

1.4.1 Perubahan-perubahan fisik

1. Sel

Sel menjadi lebih sedikit jumlahnya, lebih besar ukurannya, berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel, serta otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5-10% (Nugroho, 2008).

2. Sistem persarafan

Terjadi penurunan berat otak sebesar 10-20%, cepatnya menurun hubungan persarafan, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi khususnya stres, mengecilnya saraf panca indra, serta kurang sensitifnya terhadap sentuhan. Pada sistem pendengaran terjadi presbiakusis (gangguan dalam pendengaran) hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga dalam terutama terhadap bunyi-bunyi atau nada-nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata,otosklerosis akibat


(24)

atrofi membran timpani, serta biasanya pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa/ stres (Nugroho, 2008).

3. Sistem penglihatan

Timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih terbentuk

sferis (bola), kekeruhan pada lensa menyebabkan katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap, hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapangan pandang, serta menurunnya daya membedakan warna biru atau hijau (Nugroho, 2008).

4. Sistem kardiovaskular

Terjadi penurunan elastisitas aorta, katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun, kurangnya elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk atau dari duduk ke berdiri bisa menyebabkan tekanan darah menurun, mengakibatkan pusing mendadak, serta meningginya tekanan darah akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer (Nugroho, 2008).

5. Sistem pengaturan

Temperatur tubuh terjadi hipotermi secara fisiologis akibat metabolisme yang menurun, keterbatasan refleks menggigil dan tidak dapat memproduksi panas akibatnya aktivitas otot menurun (Nugroho, 2008).

6. Sistem respirasi

Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas, menarik nafas lebih berat,


(25)

kapasitas pernafasan maksimum menurun, dan kedalaman bernafas menurun, ukuran alveoli melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang, kemampuan untuk batuk berkurang, serta kemampuan kekuatan otot pernafasan menurun (Nugroho, 2008).

7. Sistem gastrointestinal

Terjadi kehilangan gigi akibatperiodontal disease, kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk, indra pengecap menurun, hilangnya sensitivitas saraf pengecap di lidah terhadap rasa manis, asin, asam, atau pahit, esofagus melebar, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi, serta melemahnya daya absorbsi (Nugroho, 2008).

8. Sistem reproduksi

Terjadi penciutan ovari dan uterus, penurunan lendir vagina, serta atrofi payudara, sedangkan pada laki-laki, testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur, kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia asal kondisi kesehatan baik (Nugroho, 2008).

9. Sistem perkemihan

Terjadi atrofi nefron dan aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, otot-otot vesika urinaria menjadi lemah, frekuensi buang air kecil meningkat dan terkadang menyebabkan retensi urin pada pria (Nugroho, 2008).

10. Sistem endokrin

Terjadi penurunan semua produksi hormon, mencakup penurunan aktivitas tiroid, BMR, daya pertukaran zat, produksi aldosteron, progesteron, estrogen, dan


(26)

11. Sistem integumen

Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit kasar dan bersisik kerana kehilangan proses keratinisasi, serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel epidermis, rambut menipis berwarna kelabu, rambut dalam hidung dan telinga menebal, berkurangnya elastisitas akibat menurunya cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh, pudar dan kurang bercahaya, serta kelenjar keringat yang berkurang jumlah dan fungsinya (Nugroho, 2008).

12. Sistem muskuloskeletal

Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh, kifosis, pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalamisclerosis, sertaatrofiserabut otot (Nugroho, 2008).

2. Penyakit Kronis

2.1 Defenisi Penyakit Kronis

Menurut Belsky (1990) penyakit kronis adalah penyakit yang mempunyai karakteristik yaitu suatu penyakit bertahap-tahap, mempunyai perjalanan penyakit yang cukup lama, dan sering tidak dapat disembuhkan. Sedangkan menurut Adelman & Daly (2001) penyakit kronis adalah penyakit yang membutuhkan waktu yang cukup lama, tidak terjadi secara tiba-tiba atau spontan, dan biasanya tidak dapat disembuhkan dengan sempurna.


(27)

Karakteristik penyakit kronis adalah penyebabnya tidak pasti, memiliki faktor resiko multipel, membutuhkan durasi yang lama, menyebabkan kerusakan fungsi atau ketidakmampuan, dan tidak dapat disembuhkan. Penyakit kronis ini tidak disebabkan oleh infeksi atau patogen melainkan oleh gaya hidup, perilaku beresiko, pajanan yang berkaitan dengan proses penuaan.

2.2 Kategori Penyakit Kronis

Menurut Christianson, dkk (1998 dikutip dari Conrad, 1978) ada beberapa kategori dari penyakit kronis yaitu

1. Lived with illnesses

Pada kategori ini individu diharuskan beradaptasi dan mempelajari kondisi penyakitnya selama hidup, dan biasanya mereka tidak mengalami kehidupan yang mengancam. Penyakit yang termasuk dalam kategori ini adalah diabetes, asma, arthritis, dan epilepsi.

2. Mortal illnesses

Pada kategori ini secara jelas individu kehidupannya terancam dan individu yang menderita penyakit ini hanya bisa merasakan gejala-gejala dari penyakitnya dan ancaman kematian. Penyakit yang termasuk dalam kategori ini adalah kanker dan penyakit kardivaskuler.

3. At risk illnesses

Kategori penyakit ini sangat berbeda dengan dua kategori sebelumnya. Pada kategori penyakit ini tidak menekankan pada penyakitnya tetapi pada resiko


(28)

penyakitnya. Penyakit yang termasuk dalam kategori ini adalah hipertensi, dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan hereditas.

2.3 Implikasi Penyakit Kronis

Penyakit kronis mempengaruhi banyak orang dalam berbagai cara, baik secara langsung atau tidak langsung. Penting artinya memahami implikasi arti dari penyakit kronis bagi individu, keluarga, dan masyarakat. Dengan cara ini individu dapat mengatasi masalah-masalahnya. Implikasi ini meliputi, yaitu menangani penyakit kronis mencakup lebih dari menangani masalah-masalah medis, dalam hal ini pertimbangan sosial dan psikologis penting diketengahkan. Adaptasi terhadap penyakit dan kecacatan merupakan proses yang berkepanjangan. Setiap perubahan besar atau penurunan fungsi membutuhkan adaptasi fisik, emosi dan sosial (Smeltzer & Bare, 2001).

Suatu penyakit kronis dapat mengakibatkan kondisi penyakit kronis lain. Sebagai contoh, diabetes pada akhirnya dapat mengarah pada terjadinya perubahan neurologis dan sirkulasi dalam penglihatan, jantung, seksual, dan masalah-masalah ginjal (Smeltzer & Bare, 2001).

Kondisi kronis menghadirkan dilema etis bagi individu, tenaga kesehatan profesional, dan masyarakat. Tidak ada pemecahan yang mudah terhadap masalah-masalah kondisi kronis. Hidup dengan penyakit kronis berarti hidup dengan ketidakpastian. Meskipun tenaga kesehatan dapat mengidentifikasi perjalanan penyakit yang diantisipasi, tetapi mereka tidak dapat menetukan kepastian perjalanan


(29)

penyakit tepatnya seperti apa yang akan dihadapi oleh individu (Smeltzer & Bare, 2001).

2.4 Fase-Fase Penyakit Kronis

Menurut Smeltzer & Bare (2001) ada sembilan fase dalam penyakit kronis, yaitu:

1. Fase pretrajectory

Individu beresiko terhadap penyakit kronis karena faktor-faktor genetik atau perilaku yang meningkatkan ketahanan seseorang terhadap penyakit kronis.

2. Fase trajectory

Adanya gejala-gejala yang berkaitan dengan penyakit kronis. Fase ini sering tidak jelas karena sedang dievaluasi dan pemeriksaan diagnostik sedang dilakukan.

3. Fase stabil

Terjadi ketika gejala-gejala dan perjalanan penyakit terkontrol. 4. Fase tidak stabil

Adanya ketidakstabilan dari penyakit kronis, kekambuhan gejala-gejala dari penyakit-penyakit.

5. Fase akut

Ditandai dengan gejala-gejala yang berat dan tidak dapat pulih atau komplikasi yang membutuhkan perawatan di rumah sakit untuk menanganinya.


(30)

6. Fase krisis

Ditandai dengan situasi kritis atau mengancam jiwa yang membutuhkan pengobatan atau perawatan kedaruratan.

7. Fase pulih

Pulih kembali pada cara hidup yang diterima dalam batasan yang dibebani oleh penyakit kronis.

8. Fase penurunan

Terjadi ketika perjalanan penyakit berkembang dan disertai dengan peningkatan ketidakmampuan dan kesulitan dalam mengatasi gejala-gejala.

9. Fase kematian

Ditandai dengan penurunan bertahap atau cepat fungsi tubuh dan penghentian hubungan individual.

2.5 Jenis-Jenis Penyakit Kronis

1. Hipertensi

Penyakit darah tinggi atau Hipertensi adalah suatu keadaan di mana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang ditunjukkan oleh angka systolic (bagian atas) dan angka bawah (diastolic) pada pemeriksaan tensi darah menggunakan alat pengukur tekanan darah baik yang berupa cuff air raksa (sphygmomanometer) ataupun alat digital lainnya. Nilai normal tekanan darah seseorang dengan ukuran tinggi badan, berat badan, tingkat aktifitas normal dan kesehatan secara umum adalah 120/80 mmHG. Dalam aktivitas sehari-hari, tekanan


(31)

darah normalnya adalah dengan nilai angka kisaran stabil. Tetapi secara umum, angka pemeriksaan tekanan darah menurun saat tidur dan meningkat diwaktu beraktifitas atau berolahraga. Bila seseorang mengalami tekanan darah tinggi dan tidak mendapatkan pengobatan dan pengontrolan secara teratur (rutin), maka hal ini dapat membawa si penderita kedalam kasus-kasus serius bahkan bisa menyebabkan kematian. Tekanan darah tinggi yang terus menerus menyebabkan jantung seseorang bekerja extra keras, akhirnya kondisi ini berakibat terjadinya kerusakan pada pembuluh darah jantung, ginjal, otak dan mata. Penyakit hypertensi ini merupakan penyebab umum terjadinya stroke dan serangan jantung (Heart attack).

Penyebab hipertensi bisa akibat dari penggunaan obat-obatan seperti golongan kortikosteroid (cortison) dan beberapa obat hormon, termasuk beberapa obat antiradang (anti-inflammasi) secara terus menerus (sering) dapat meningkatkan tekanan darah seseorang. Merokok juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi dikarenakan tembakau yang berisi nikotin. Minuman yang mengandung alkohol juga termasuk salah satu faktor yang dapat menimbulkan terjadinya tekanan darah tinggi.

Penyakit darah tinggi atau Hipertensi dikenal dengan 2 type klasifikasi, diantaranya:

Hipertensi Primary adalah suatu kondisi dimana terjadinya tekanan darah tinggi sebagai akibat dampak dari gaya hidup seseorang dan faktor lingkungan. Seseorang yang pola makannya tidak terkontrol dan mengakibatkan kelebihan berat badan atau bahkan obesitas, merupakan pencetus awal untuk terkena penyakit tekanan darah


(32)

tinggi. Begitu pula sesorang yang berada dalam lingkungan atau kondisi stressor tinggi sangat mungkin terkena penyakit tekanan darah tinggi, termasuk orang-orang yang kurang olahraga pun bisa mengalami tekanan darah tinggi.

Hipertensi secondary adalah suatu kondisi dimana terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi sebagai akibat seseorang mengalami/menderita penyakit lainnya seperti gagal jantung, gagal ginjal, atau kerusakan sistem hormon tubuh. Sedangkan pada Ibu hamil, tekanan darah secara umum meningkat saat kehamilan berusia 20 minggu. Terutama pada wanita yang berat badannya di atas normal atau gemuk (Adsensecamp, 2008).

2. Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia (meningkatnya kadar gula darah) yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Gejala umum dari Diabetes Melitus (DM) adalah banyak kencing (poliuria), haus dan banyak minum (polidipsia), lapar (polifagia), letih, lesu, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, lemah badan, kesemutan, gatal, pandangan kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita.

Pembagian DM ada beberapa jenis, yaitu:

DM tipe 1yaitu kerusakan fungsi sel beta di pancreas, autoimun, idiopatik.

DM tipe 2 yaitu menurunnya produksi insulin atau berkurangnya daya kerja insulin atau keduanya.


(33)

DM tipe lain yaitu karena kelainan genetik, penyakit pancreas, obat, infeksi, antibodi, sidroma penyakit lain.

Gestasional diabetesyaitu DM pada masa kehamilan (Darwin, 2009).

3. Osteoporosis

Penyakit tulang yang mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai mikro arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat akhirnya menimbulkan kerapuhan tulang.

Osteoporosis dapat dikelompokkan menjadi:

Osteoporosis primer, sering menyerang wanita paska menopause dan juga pada pria usia lanjut dengan penyebab yang belum diketahui.

Osteoporosis sekunder, disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan Cushing's disease, hyperthyroidism, hyperparathyroidism, hypogonadism, kelainan hepar, kegagalan ginjal kronis, kurang gerak, kebiasaan minum alkohol, pemakaian obat-obatan/corticosteroid, Kelebihan kafein, Merokok.

Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.


(34)

Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis

dan postmenopausal. Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang. Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita osteoporosis senilis), sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala. Beberapa penderita tidak memiliki gejala. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk.

4. Asam Urat

Asam urat atau rematik gout (gout artritis) adalah hasil dari metabolisme tubuh oleh salah satu protein, purin dan ginjal. Dalam kaitan ini, ginjal berfungsi mengatur kestabilan kadar asam urat dalam tubuh dimana sebagian sisa asam urat dibuang melalui air seni. Namun bila asam urat berlebihan dan ginjal tidak mampu lagi mengatur kestabilannya, maka asam urat in akan menumpuk pada jaringan dan sendi. Pada saat kadar asam urat tinggi, akan timbul rasa nyeri yang hebat terutama pada daerah persendian. Setiap orang dapat terkena penyakit asam urat. Tetapi


(35)

umumnya, banyak dialami para pria, sedangkan pada perempuan persentasenya kecil dan baru muncul setelah menopause. Kadar asam urat kaum pria cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Pada wanita, peningkatan itu dimulai sejak masa menopause. Hal ini dikarenakan perempuan mempunyai hormon estrogen yang ikut membantu pembuangan asam urat lewat urine. Sementara pada pria, asam uratnya cenderung lebih tinggi daripada perempuan karena tidak memiliki hormon estrogen tersebut..

Artritis gout muncul sebagai serangan keradangan sendi yang timbul berulang-ulang. gejala khas dari serangan artritis gout adalah serangan akut biasanya bersifat monoartikular (menyerang satu sendi saja) dengan gejala pembengkakan, kemerahan, nyeri hebat, panas dan gangguan gerak dari sendi yang terserang yang terjadi mendadak (akut) yang mencapai puncaknya kurang dari 24 jam. Lokasi yang paling sering pada serangan pertama adalah sendi pangkal ibu jari kaki. Hampir pada semua kasus, lokasi artritis terutama pada sendi perifer dan jarang pada sendi sentral (Wibowo, 2006).

5. Reumatoid Arthritis

Artritis reumatoid (AR) merupakan salah satu jenis penyakit rematik yang merupakan penyakit autoimun. Sendi yang terjangkit biasanya sendi kecil seperti tangan dan kaki secara simetris (kiri dan kanan) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan kemudian sendi mengalami kerusakan. Kerusakan sendi sudah mulai terjadi pada 6 bulan pertama terserang penyakit ini, dan cacat bisa


(36)

terjadi setelah 2-3 tahun bila penyakit tidak diobati. Jenis penyakit rematik bermacam-macam. Lebih kurang terdapat lebih dari 100 jenis penyakit rematik. Penyakit rematik memiliki gejala yang mirip satu dengan yang lain.

Reumatoid artritis menyerang lapisan dalam bungkus sendi (sinovium) yang mengakibatkan radang pada pembungkus sendi. Akibat sinovitis (radang pada sinovium) yang menahun, akan terjadi kerusakan pada tulang rawan sendi, tulang, tendon, dan ligament dalam sendi. Peradangan sinovium menyebabkan keluarnya beberapa zat yang menggerogoti tulang rawan sel sehingga menimbulkan kerusakan tulang dan dapat berakibat menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Gejala Reumatoid arthritis yaitu terjadi peradangan pada sendi, terasa hangat di bagian sendi, bengkak, kemerahan dan sangat sakit. Biasanya pada banyak sendi, simetris, sendi terasa kaku di pagi hari. Selain itu, gejala lainnya adalah demam, nafsu makan menurun, berat badan menurun, lemah, dan anemia. Reumatoid arthritis dapat menyerang semua usia, dari anak sampai usia lanjut dan perbandingan wanita : pria adalah 3 : 1 (Sophia, 2009).


(37)

3. Koping

3.1.Defenisi Koping

Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, respon terhadap situasi yang mengancam yang dapat berupa perubahan cara berfikir, perubahan perilaku atau perubahan lingkungan yang bertujuan untuk mengatasi stres yang dihadapi (Keliat, 1998). Koping juga dapat didefinisikan sebagai usaha yang kognitif, perilaku dan emosi untuk mengatasi tuntutan eksternal dan atau internal yang dinilai sebagai beban atau melebihi sumber yang dimiliki seseorang. Koping merupakan proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi stresfull. Koping tersebut merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologiknya (Rasmun, 2004).

Menurut Yani (1997 dikutip dari McGrath, 1970) koping merupakan proses dimana individu mencoba untuk mengurangi atau memindahkan stres atau ancaman. Koping merupakan kombinasi dari persepsi, penampilan, penilaian, dan koreksi yang diikuti dengan kegiatan lanjut dan perilaku terarah dengan tujuan menguasai, mengendalikan atau menyelesaikan masalah (Yani,1997 dikutip dari Weimen 1976).

Perilaku koping membantu seseorang beradaptasi terhadap stressor dan kembali pada keadaan yang stabil sedangkan mekanisme pertahanan ego membantu seseorang menghindari ancaman (Berger & William, 1992).


(38)

3.2 Strategi Koping

Menurut Jhon & MacArthur (1999) Strategi koping menunjuk pada usaha spesifik, baik secara pikologis yang dilakukan seseorang untuk mengatur, mentoleransi, mengurangi atau meminimalkan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan.

Strategi koping dibedakan menjadi dua, yaitu koping berfokus pada masalah yang melibatkan usaha untuk mengontrol atau merubah sumber dari stres. Dalam koping ini individu secara aktif mencari penyelesaian masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres. Dan yang kedua yaitu koping yang berfokus pada emosi yang melibatkan usaha untuk mengatur respon emosional terhadap stres (Lazarus & Folkman, 1984). Koping berfokus pada masalah bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi seseorang dan lebih sering digunakan ketika stressor dinilai oleh individu sebagai penerimaan terhadap perubahan, sedangkan koping berfokus pada emosi berguna jika individu menilai menilai pengalaman stres dimana tidak dapat memodifikasi peristiwa atau stressor atau ketika stressor akan terselesaikan dengan terjadinya (Grey, 2000).

Strategi koping yang termasuk koping berfokus pada masalah adalah koping konfrontasi, penggunaan dukungan sosial, dan perencanaan penyelesaian masalah. Sedangkan koping yang berfokus pada emosi yaitu kontrol diri, pelepasan diri, penilaian positif, penerimaan tanggung jawab, dan pelarian atau penghindaran (Lazarus & Folkman, 1984). Kedua strategi tersebut sering bekerja secara bersamaan (Wortman, dkk, 1999).


(39)

Menurut Kliat (1998) koping berfokus pada masalah melibatkan proses kognitif, afektif, dan psikomotor seperti berbicara dengan orang lain tentang masalahnya dan mencari jalan keluar dari nasehat orang lain, mencari tahu informasi sebanyak-sebanyaknya tentang situasi yang dihadapi, berhubungan dengan kekuatan supernatural, melakukan latihan penanganan stres, membuat berbagai alternatif tindakan dalam menangani situasi, dan belajar dari pengalaman masa lalu. Sedangkan menurut Rasmun (2001) koping yang berfokus pada masalah meliputi kompromi yaitu cara konstruktif yang digunakan oleh individu dimana dalam menyelesaikan masalahnya individu menempuh jalan dengan melakukan pendekatan negosiasi atau bermusyawarah. Yang kedua yaitu dengan menarik diri, dimana reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis. Dan yang terakhir adalah perilaku menyerang, dimana reaksi yang ditampilkan oleh individu dalam menghadapi masalah dapat konstruktif dan destruktif. Tindakan konstruktif misalnya penyelesaian masalah dengan teknik asertif yaitu tindakan yang dilakukan secara terus terang tentang ketidaksukaaan terhadap perlakuan yang tidak menyenangkan baginya, sedangkan tindakan destruktif yaitu individu melakukan tindakan penyerangan terhadap stressor yang dapat merusak dirinya, orang lain dan lingkungannya.

Menurut Rasmun (2004 dikutip dari Bell, 1997) ada dua metode koping yang digunakan oleh individu dalam mengatasi masalah, metode tersebut adalah metode koping jangka panjang dan metode koping jangka pendek.


(40)

Metode koping jangka panjang merupakan cara yang konstruktif dan efektif serta realistis dalam menangani masalah psikologis untuk kurun waktu yang lama, seperti berbicara dengan orang lain, mencoba mencari informasi, menghubungkan situasi atau masalah yang sedang dihadapi dengan kekuatan supranatural, melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan atau masalah, membuat berbagai alternatif tindakan untuk mengurangi situasi dan mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa lalu.

Metode koping jangka pendek merupakan cara yang digunakan untuk mengurangi stres dan cukup efektif untuk sementara, tetapi tidak efektif jika digunakan dalam jangka panjang, seperti menggunakan alkohol atau obat-obatan, melamun dan fantasi, mencoba melihat aspek humor dari situasi yang tidak menyenangkan, tidak ragu dan merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil, banyak tidur, banyak merokok, menangis dan beralih pada aktifitas lain agar dapat melupakan masalah.

Menurut Smeltzer & Bare (2001) berdasarkan dari 57 penelitian keperawatan yang ditelaah Jalowiec pada tahun 1993, ada lima koping yang sangat penting bila seseorang menghadapi penyakit yaitu mencoba merasa optimis mengenai masa depan, menggunakan dukungan sosial, menggunakan sumber spiritual, mencoba tetap mengontrol situasi maupun perasaan, dan mencoba menerima kenyataan yang ada. Koping cara lain yang ditemukan dalam penelitian tersebut adalah meliputi pencarian informasi, menyusun ulang prioritas kebutuhan dan peran, menurunkan tingkat harapan, melakukan kompromi, membandingkan dengan orang lain, perencanaan


(41)

aktifitas untuk menghemat energi, memahami tubuhnya, dan melakukan bicara sendiri untuk meningkatkan keberanian diri.

Merasa optimis mengenai masa depan yaitu adanya harapan akan kesembuhan penyakitnya, adanya fikiran yang berpusat pada kepercayaan dasar bahwa ada solusi terhadap kebutuhan dan masalah yang sedang dihadapi.

Menggunakan dukungan sosial, dukungan sosial merupakan informasi verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial secara emosional merasa lega karena diperhatikan (Kuntjoro, 2002 dikutip dari Gottlib, 1983).

Menggunakan sumber spiritual, seperti berdoa, menemui pemuka agama atau aktif pada pertemuan ibadah (Rasmun, 2004). Tidak sedikit klien yang menderita penyakit mencari dukungan spiritual dengan mendekatkan diri pada Tuhan sebagai sumber kopingnya, karena komponen dukungan spiritual adalah bimbingan, yaitu adanya hubungan kerja atau hubungan sosial yang memungkinkan seseorang mendapatkan informasi, saran atau nasehat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dan berasal dari guru, alim ulama, dan figure yang dituakan dalam upaya mendekatkan diri pada Tuhan (Kuntjoro, 2001 dikutip dari Cutrona, 1994).


(42)

Mengontrol situasi maupun perasaan, merupakan pengendalian diri tanpa menunjukkan emosi atau bereaksi dengan tenang tanpa menunjukkan emosi atau perasaan (Wortman, dkk, 1999).

Menerima kenyataan yang ada, menerima keadaan atau sadar akan keadaan dirinya yang menderita suatu penyakit dan cenderung mencari hikmah dari keadaan tersebut. Penerimaan berbagai kenyataan hidup merupakan keyakinan atau pandangan positif dapat menjadi sumber psikologis yang sangat penting untuk membentuk koping seseorang dalam menghadapi masalahnya.


(43)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi koping yang digunakan lansia terhadap penyakit kronik yang dideritanya di Kelurahan Kedai Durian, Kecamatan Medan johor, Medan. Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyebutkan lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Sedangkan penyakit kronis adalah penyakit yang mempunyai karakteristik yaitu suatu penyakit bertahap-tahap, mempunyai perjalanan penyakit yang cukup lama, dan sering tidak dapat disembuhkan. Keterampilan koping yang digunakan dalam menghadapi situasi ini adalah merasa optimis mengenai masa depan, menggunakan dukungan sosial, menggunakan sumber spiritual, mencoba tetap mengontrol situasi maupun perasaan dan mencoba menerima kenyataan yang ada (Smeltzer & Bare, 2001).

Skema 1. Kerangka konsep penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Lansia dengan penyakit kronis

Koping Lansia :

ï‚· Mesara optimis mengenai masa depan

ï‚· Menggunakan dukungan sosial

ï‚· Menggunakan sumber spiritual

ï‚· Mencoba tetap mengontrol situasi maupun perasaan

ï‚· Mencoba menerima kenyataan yang ada


(44)

2. Defenisi Konseptual

Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, respon terhadap situasi yang mengancam yang dapat berupa perubahan cara berfikir, perubahan perilaku atau perubahan lingkungan yang bertujuan untuk mengatasi stres yang dihadapi (Keliat, 1998). Menurut Smeltzer & Bare (2001) berdasarkan penelitian dari 57 penelitian keperawatan yang ditelaah Jalowiec pada tahun 1993, ada lima koping yang sangat penting bila seseorang menghadapi penyakit yaitu, mencoba merasa optimis mengenai masa depan, menggunakan dukungan sosial, menggunakan sumber spiritual, mencoba tetap mengontrol situasi maupun perasaan, dan mencoba menerima kenyataan yang ada.

3. Defenisi Operasional

Lima koping yang digunakan lansia dalam menghadapi penyakit kronis yang dideritanya:

1. Merasa optimis mengenai masa depan, yaitu adanya harapan akan kesembuhan penyakitnya, menganggap situasi yang dialami sekarang hanya bersifat sementara, dan berharap kehidupannya akan lebih baik. 2. Menggunakan dukungan sosial, yaitu dengan mendapatkan bantuan dari

teman dan keluarga, berbicara dengan orang lain, dan mendapatkan perhatian.


(45)

3. Menggunakan sumber spiritual, yaitu percaya bahwa Tuhan akan memberikan kesembuhan, yakin bahwa dengan melakukan ibadah dapat menyembuhkan penyakitnya, dan berkonsultasi dengan tokoh agama. 4. Mengontrol situasi maupun perasaan, yaitu dengan makan, minum atau

hal lain, tidur lebih dari biasanya, mencoba melupakan hal yang memperburuk keadaannya dan menolak jika mereka dikatakan pembawa masalah.

5. Menerima kenyataan yang ada, yaitu dengan menerima kenyataan hidup, menerima perubahan fisik dan menerima hal terburuk yang akan terjadi.


(46)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif eksploratif dengan tujuan untuk mengidentifikasi koping yang digunakan lansia terhadap penyakit kronis yang dideritanya di Kelurahan Kedai Durian, Kecamatan Medan johor, Medan.

2. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling 2.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah lansia yang tinggal di Kelurahan Kedai Durian, Kecamatan Medan Johor, Medan yang berjumlah 212 orang (Laporan Kependudukan Kantor Kelurahan Kedai Durian Oktober 2009).

2.2 Sampel

Penetuan besar sampel didasarkan pada rumusan Arikunto (1998) yaitu jika populasinya kurang dari 100, maka lebih baik diambil semuanya sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya, jika jumlah sampelnya lebih dari 100 maka dapat diambil dengan ketentuan 20-25% dari total populasi atau tergantung pada kemampuan peneliti dilihat dari segi waktu, tenaga, dan dana serta


(47)

sempit luasnya wilayah pengamatan. Dari rumusan tersebut didapatkan jumlah sampel sebanyak 53 orang.

2.3 Teknik Sampling

Dalam penelitian ini yang digunakan adalah teknik Purposive sampling yaitu suatu teknik pengambilan sampel di antara populasi sesuai dengan kriteria penelitian, sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakterisrik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2003).

Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Lanjut usia yang berusia 60 tahun ke atas

2. Lanjut usia yang menderita penyakit kronis lebih dari 3 bulan 3. Dapat mendengar

4. Dapat berbahasa Indonesia dengan baik 5. Bersedia menjadi responden penelitian

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Kedai Durian, Kecamatan Medan Johor, Medan. Adapun alasan pemilihan lokasi ini karena lokasi tersebut penduduknya banyak yang termasuk pada kategori lansia dan berdasarkan data dari Puskesmas setempat lebih kurang 20% dari jumlah lansianya mengalami penyakt kronis walaupun kebanyakan maish dalam tingkat ringan, serta lokasinya cukup strategis


(48)

sehingga mudah dijangkau peneliti. Waktu penelitian dilaksanakan pada rentang bulan Maret-April 2010.

4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat persetujuan dari institusi pendidikan Fakultas Keperawatan USU, selanjutnya mengirim surat permohonan untuk mendapatkan izin dari Badan Penelitian Daerah Kota Medan, izin dari Kantor Kecamatan Medan Johor, dan izin dari Kantor Kelurahan Kedai Duren.

Setelah mendapatkan izin dari kantor Kelurahan Kedai Duren peneliti memulai pengumpulan data, lembar persetujuan menjadi responden diberikan kepada responden yang akan diteliti, kemudian peneliti mejelaskan maksud, tujuan, dan prosedur penelitian. Kemudian peneliti menanyakan kesediaan menjadi responden dengan menandatangani lembar persetujuan (informed consent). Jika responden menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian ini maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-haknya.

Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama lengkap tetapi hanya mencantumkan inisial nama responden atau memberi kode pada masing-masing lembar kuisioner. Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti.

Selama proses pengambilan data, peneliti melindungi subjek dari semua kerugian baik material, nama baik dan bebas dari tekanan fisik dan psikologis yang timbul akibat penelitian ini.


(49)

5. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk kuesioner. Instrumen penelitian terdiri atas 2 bagian, bagian pertama mengenai data demografi responden yang meliputi usia, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan, pekerjaan sebelumnya, jenis penyakit kronis yang diderita serta lama menderita penyakit kronis.

Bagian kedua pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan koping yang digunakan lansia dalam menghadapi stres dan masalahnya. Kuisioner ini terdiri dari 16 butir pernyataan, yang terbagi dalam 3 pernyataan yang mewakili perasaan optimis akan masa depan yaitu pernyataan nomor 1-3, 3 pernyataan yang mewakili dukungan sosial yaitu pernyataan nomor 4-6, 3 pernyataan yang mewakili sumber spiritual yaitu pernyataan nomor 7-9, 4 pernyataan yang mewakili kemampuan mengontrol situasi maupun perasaan yaitu pernyataan 10-13, 3 pernyataan yang mewakili menerima kenyataan yang ada yaitu pernyataan nomor 14-16. Pada kuisioner pola koping menggunakan skala likert dengan pilihan mulai dari pernyataan sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Bobot nilai yang diberikan untuk setiap pernyataan 1 sampai 4, dimana jawaban sangat setuju (SS) mendapat nilai 4, setuju (S) mendapat nilai 3, tidak setuju (TS) mendapat nilai 2, dan sangat tidak setuju (STS) mendapat nilai 1.


(50)

6. Uji Validitas

Kuesioner ini dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka konsep, oleh karena itu perlu dilakukan uji validitas. Uji validitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji validitas isi. Validitas isi adalah suatu keputusan tentang bagaimana instrumen dengan baik mewakili karakteristik yang dikaji. Penelitian tentang validitas isi ini bersifat subjektif dan keputusan apakah instrumen ini sudah mewakili atau tidak, didasarkan pada pendapat ahli (Broncopp, 1999). Pada penelitian ini, peneliti telah menunjukkan kuesioner yang telah disusun kepada dosen pembimbing Bapak Iwan Rusdi, S.Kp, MNS.

7. Uji Reabilitas

Penelitian ini menggunakan uji reabilitas konsistensi eksternal. Uji reabilitas ini bertujuan untuk menguji kekuatan instrumen sehingga dapat digunakan untuk penelitian berikutnya dalam lingkup yang sama.

Uji reabilitas dilakukan terhadap 10 orang responden sebelum pengumpulan data (Nursalam, 2003). Responden diambil dari lansia yang menderita penyakit kronis di Kelurahan Kedai Durian, Kecamatan Medan Johor, Medan. Suatu instrumen dikatakan sudah reliabel bila koefisiennya lebih dari 0,70 (Polit & Hungler, 1995). Hasil uji reabilitas yang dilakukan peneliti pada 10 orang responden adalah 0,79.


(51)

8. Pengumpulan Data

Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Pada tahap awal, permohonan izin pelaksanaan penelitian diajukan kepada institusi pendidikan Fakultas Keperawatan USU, izin yang diperoleh diajukan ke Badan Penelitian Daerah (BAPEDA) Kota Medan. Kemudian surat rekomendasi dari BAPEDA Kota Medan diajukan ke kantor Kecamatan Medan Johor Medan dan surat rekomendasi dari kantor Kecamatan Medan Johor Medan diajukan ke kantor Kelurahan Kedai Durian, Kecamatan Medan Johor, Medan. Setelah mendapat izin penelitian, pengumpulan data dilaksanakan. Setelah mendapat calon responden, peneliti menjelaskan tujuan, manfaat, prosedur penelitian dan proses pengisian kuesioner dijelaskan. Data yang diperlukan dikumpulkan oleh peneliti dengan cara pernyataan berikut semua pilihannya dibacakan pada responden. Setelah semua data yang dibutuhkan sudah terkumpul, maka seluruh data akan dikumpulkan untuk dianalisa.

9. Analisa Data

Setelah semua data terkumpul maka dilakukan analisa data melalui beberapa tahap. Pertama adalah editing yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas serta data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk. Kedua koding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuisioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa. Ketiga mensortir dengan memilih data menurut jenisnya. Keempat memasukkan data yang sudah diberi kode kategori dalam tabel dengan cara menghitung frekuensi data, dan persentase. Kelima


(52)

membersihkan data, yaitu mengecek kembali data yang dientri untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak. Analisa data dilakukan dengan menggunakan teknik komputerisasi yaitu SPSS versi 17,0.


(53)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian mengenai koping lansia terhadap penyakit kronis yang diderita lansia di Kelurahan Kedai Durian, Kecamatan Medan Johor Medan, dengan jumlah responden 53 orang.

1.1Karakteristik Responden

Pada tabel 1 dapat dilihat data hasil penelitian tentang karakteristik responden terhadap sejumlah 53 orang yang meliputi usia, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan, pekerjaan sebelumnya, jenis penyakit kronis yang diderita, dan berapa lama menderita penyakit kronis tersebut. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa mayoritas responden berusia 60-69 tahun 33 responden (32%), jenis kelamin perempuan 40 responden (75,5%), agama Islam 51 responden (96,2%), suku jawa 34 responden (64,2%), pendidikan SD 27 responden (50,9%), pekerjaan sebelumnya pegawai swasta/ wiraswasta 23 responden (43,4%), jenis penyakit kronis hipertensi dan diabetes mellitus masing-masing 17 responden (32,1%), dan lama menderita 0,5-1,5 tahun 20 responden (37,7%).


(54)

Tabel 1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Responden (N=53)

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)

Usia

60-69 thn 33 62,3

70-79 thn 15 28,3

>80 thn 5 9,4

Jenis Kelamin

Laki-laki 13 24,5

Perempuan 40 75,5

Agama

Islam 51 96,2

Kristen 2 3,8

Suku

Batak 11 20,8

Jawa 34 64,2

Melayu 5 9,4

Minang 3 5,7

Pendidikan

SD 27 50,9

SMP 19 35,8

SMA 3 5,7

Perguruan Tinggi 2 3,8

Lain-lain 2 3,8

Pekerjaan Sebelumnya

PNS 3 5,7

Pegawai swasta/ Wiraswasta 23 43,4

Bertani 6 11,3

Buruh 2 3,8

Lain-lain 19 35,8

Jenis Penyakit Kronis

Hipertensi 17 32,1

Diabetes Melitus 17 32,1

Rheumatoid Arthritis 5 9,4

Asam Urat 12 22,6


(55)

Tabel 1 (Lanjutan)

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)

Lama Menderita

0,5-1,5 thn 20 37,7

1,6-2,5 thn 7 13,2

2,6-3,5 thn 10 18,9

3,6-4,5 thn 4 7,5

>4,6 thn 12 22,6

1.2 Koping yang Digunakan

1.2.1 Merasa optimis mengenai masa depan

Dari data hasil penelitian pada tabel 2 menunjukkan bahwa koping lansia merasa optimis mengenai masa depannya diperoleh sebanyak 39 responden (73,6%) sangat setuju bahwa adanya harapan akan kesembuhan penyakitnya.


(56)

Tabel 2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Koping Lansia Merasa Optimis Mengenai Masa Depan (N=53)

Pernyataan SS S TS STS

f(%) f(%) f(%) f(%) Adanya harapan akan kesembuhan 39 (73,6) 12 (22,6) 2 (3,8) 0 (0) penyakitnya

Menganggap situasi yang dialami 27 (50,9) 16 (30,2) 8 (15,1) 2 (3,8) sekarang hanya bersifat sementara

Berharap kehidupannya akan lebih 36 (67,9) 17 (32,1) 0 (0) 0 (0) baik

1.2.2 Menggunakan dukungan sosial

Dari data hasil penelitian pada tabel 3 menunjukkan bahwa koping lansia menggunakan dukungan sosial diperoleh 43 responden (81,1%) sangat setuju bahwa mereka mendapat perhatian.


(57)

Tabel 3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Koping Lansia Menggunakan Dukungan Sosial (N=53)

Pernyataan SS S TS STS f(%) f(%) f(%) f(%) Mendapatkan bantuan dari teman 29 (54,7) 21 (39,6) 3 (5,7) 0 (0) dan keluarga

Berbicara dengan orang lan 34 (64,2) 15 (28,3) 4 (7,5) 0 (0) Mendapat perhatian 43 (81,1) 10 (18,9) 0 (0) 0 (0)

1.2.3. Menggunakan sumber spiritual

Dari tabel 4 menunjukkan hasil penelitian berdasarkan koping lansia menggunakan sumber spiritual diperoleh 48 responden (90,6%) sangat setuju bahwa mereka percaya Tuhan akan memberikan kesembuhan.


(58)

Tabel 4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Koping Lansia Menggunakan Sumber Spiritual (N=53)

Pernyataan SS S TS STS f(%) f(%) f(%) f(%) Percaya bahwa Tuhan akan 48 (90,6) 3 (5,7) 2 (3,8) 0 (0) memberikan kesembuhan

Yakin dengan ibadah dapat 43 (81,1) 10 (18,9) 0 (0) 0 (0) menyembuhkan penyakitnya

Berkonsultasi dengan tokoh agama 26 (49,1) 26 (49,1) 1 (1,9) 0 (0)

1.2.4 Mengontrol situasi dan perasaan

Hasil penelitian berdasarkan koping lansia mengontrol situasi dan perasaan diperoleh 25 responden (47,2%) tidak setuju dapat tidur lebih dari waktu biasanya, dan sangat setuju untuk menolak jika dikatakan pembawa masalah (Tabel 5).


(59)

Tabel 5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Koping Lansia Mengontrol Situasi dan Perasaan (N=53)

Pernyataan SS S TS STS f(%) f(%) f(%) f(%) Makan dan minum 14 (26,4) 22 (41,5) 9 (17,0) 8 (15,1) Tidur lebih dari waktu biasanya 4 (7,5) 9 (17,0) 25 (47,2) 15 (28,3) Mencoba melupakan hal yang 0 (0) 15 (28,3) 19 (35,8) 19 (35,8) memperburuk keadaannya

Menolak jika dikatakan pembawa 25 (47,2) 17 (32,1) 9 (17,0) 2 (3,8) Masalah

1.2.5 Menerima kenyataan yang ada

Dari tabel 6 hasil penelitian berdasarkan koping lansia menerima kenyataan yang ada diperoleh 28 responden (52,8%) sangat setuju untuk menerima kenyataan hidup, 30 responden (56,6%) sangat setuju untuk menerima perubahan fisik.


(60)

Tabel 6. Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Koping Lansia Menerima Kenyataan yang Ada (N=53)

Pernyataan SS S TS STS f(%) f(%) f(%) f(%) Menerima kenyataan hidup 28 (52,8) 24 (45,3) 1 (1,9) 0 (0) Menerima perubahan fisik 30 (56,6) 22 (41,5) 1 (1,9) 0 (0) Menerima hal terburuk yang 0 (0) 26 (49,1) 25 (47,2) 2 (3,8) akan terjadi

2. Pembahasan

2.1 Karakteristik Responden

Usia berhubungan dengan toleransi seseorang terhadap stres dan jenis stresor yang paling mengganggu. Semakin tua umur seseorang akan terjadi proses penurunan kemampuan fungsi organ tubuh (regeneratif) akan mempengaruhi dalam mengambil keputusan terutama dalam menangani penyakit kronis sehingga klien dihadapkan pada masalah yang sangat kompleks (Hamka, 2009). Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh data mayoritas responden berusia 60-69 tahun yaitu sebanyak 62,3% dan dapat dilihat secara umum hasil penelitian koping yang digunakan oleh lansia menunjukkan mayoritas responden sangat setuju atau setuju


(61)

pada semua jenis koping. Hal ini menunjukkan bahwa lansia memiliki koping yang baik. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori di atas.

Wanita biasanya mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap stresor dibanding dengan pria sesuai dengan hasil penelitian Yeh tahun 2009 mendapatkan dalam penelitian yang dilakukannya bahwa jenis kelamin / jender sangat mempengaruhi dalam berespon terhadap penyakit, stres, serta penggunaan koping dalam menghadapi masalah kesehatan (Hamka, 2009). Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh data mayoritas responden berjenis kelamin wanita yaitu sebanyak 75,5% dan dari hasil penelitian koping yang digunakan oleh lansia menunjukkan menunjukkan mayoritas responden sangat setuju atau setuju pada semua jenis koping. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori dan hasil penelitian di atas bahwa wanita memiliki koping yang lebih baik dibandingkan dengan pria. Hasil penelitian yang menunjukkan mayoritas responden adalah perempuan sesuai dengan hasil penelitian Josiane (2009) yang menunjukkan lansia berjenis kelamin perempuan lebih besar dibandingkan dengan lansia berjenis kelamin pria, hal ini dikaitkan dengan harapan hidup yang lebih besar pada kaum perempuan.

Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang mudah terkena stres atau tidak. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka toleransi dan pengontrolan terhadap stressor lebih baik. menjelaskan pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak


(62)

pula pengetahuan yang dimiliki (Hamka, 2009). Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh data bahwa mayoritas responden hanya berpendidikan SD yaitu sebanyak 50,9%, namun dari hesil penelitian ini menunjukkan responden sangat setuju dan setuju pada semua jenis koping yang bearti koping lansia tersebut dapat dikatakan baik. Jadi teori tersebut tidak sesuai dengan hasil peneliian ini.

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa mayoritas responden (32,1%) mengalami penyakit kronis diabetes mellitus, hasil penelitian ini memiliki kesesuaian dengan hasil penelitian bahwa diabetes tipe 2 merupakan penyebab utama kematian dan diperkirakan untuk mempengaruhi 700.000 Australia. Komplikasi termasuk penyakit jantung, kebutaan, gagal ginjal dan gangren mengarah ke amputasi.

2.2 Koping yang digunakan lansia

2.2.1 Merasa optimis mengenai masa depan

Hasil penelitian ini menunjukkan koping lansia merasa optimis mengenai masa depan, mayoritas responden diperoleh 39 responden (73,6%) sangat setuju bahwa adanya harapan akan kesembuhan penyakitnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Baldree, Murphy, dan Powers (1982, dalam Yani, 1997) melaporkan bahwa salah satu metode koping yang paling sering digunakan oleh individu adalah berharap keadaan akan lebih baik. Selain itu, juga sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa panjang umur, semakin hadir dalam siklus kehidupan manusia, hasil dalam situasi yang ambigu, yaitu keinginan untuk hidup lebih lama dan pada saat yang sama takut hidup ketergantungan dan penyandang cacat (Josiane, 2009).


(63)

Pebelitian yang dilakukan oleh para psikolog di Carnegie-Mellon University, Pittsburgh, menunjukkan bahwa orang yang optimis lebih bisa mengatasi stres daripada orang yang pesimis. Para psikolog ini mendapati bahwa orang yang optimis cenderung memberi respons terhadap kekecewaan dengan membuat rencana tindakan dan minta bantuan serta nasihat orang lain. Sedangkan orang yang pesimis, bila menemui kesulitan, sering kali berusaha melupakan segalanya dan menganggap tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk mengubah keadaan.

2.2.2 Menggunakan dukungan sosial

Koping dengan cara menggunakan dukungan sosial, mayoritas responden diperoleh 43 responden (81,1%) sangat setuju bahwa mereka mendapat perhatian. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Weisman (1979, dalam Keliat, 1998) bahwa salah satu koping yang biasa digunakan individu untuk menangani stres adalah kebersamaan dengan berbagi rasa dan mengungkapkan perasaannya dengan berbicara kepada orang lain. Selain itu, sesuai dengan hasil penelitian Andrew and Robinson 1991 dalam skripsi Gambaran Psychological Well-Being pada Lansia yang terlibat dalam kelompok Kencana oleh Endah Puspita Sari (2004) menemukan bahwa dukungan sosial dari lingkungan sekitar individu akan sangat mempengaruhi psychological well-being yang dirasakan oleh individu tersebut. Dalam skripsi tersebut juga dijelaskan bahwa kesempatan untuk bertemu dengan teman-teman yang sebaya dapat membuka kesempatan pada individu usia lanjut untuk belajar dari pengalaman hidup individu lain dan menginterpretasikan kembali pengalaman


(64)

hidupnya sehingga akan membantu indivisu tersebut dalam mengontrol pengalaman emosi positif atau negatif. Dengan memiliki teman, individu usia lanjut akan merasa memiliki dukungan sosial di luar keluarganya, menimbulkan perasaan dihargai dan diinginkan meskipun mereka sudah mengalami kemunduran dan keterbatasan. Hasl penelitian ini juga sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Lazarus dan Folkman dikutip dalam Wortman (1999), bahwa strategi koping yang berfokus pada masalah salah satunya penggunaan dukungan sosial, yaitu mencari penyelesaian atau berpaling pada orang lain untuk mendapatkan kenyamanan dan nasehat bagaimana mengatasi stres atau mengandalkan teman dan keluarga untuk memberikan nasehat dan anjuran.

Menurut Niven (2002) bahwa dukungan keluarga dapat membantu meningkatkan mekanisme koping individu dengan memberikan dukungan emosi dan saran-saran mengenai strategis alternatif yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya dan mengajak orang lain berfokus pada aspek-aspek yang lebih positif. Dari hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan Atinah dan Winarsih pada tahun 2008 bahwa pasien diabetes melitus dengan kecemasan sedang mengharapkan dukungan berupa dukungan emosi, saran dan informasi dari keluarga, dan petugas kesehatan (dokter dan perawat) yang berkaitan dengan penyakitnya. Sehingga selain pengobatan medis adanya dukungan sosial yang positif akan membantu seseorang untuk beradaptasi lebih baik secara emosional dengan mencegah perasaan cemas dan sedih yang berlarut-larut terhadap penyakitnya (Atkinson, 1997).


(65)

2.2.3 Menggunakan sumber spiritual

Koping klien dengan menggunakan sumber spiritual, diperoleh 48 responden (90,6%) sangat setuju bahwa mereka percaya Tuhan akan memberikan kesembuhan. Sesuai dengan pendapat Setyabudhi (1999, dalam Nugroho, 2000) bahwa maut sering kali menggugah rasa takut dikarenakan bahwa mereka sadar akan penyakit yang diderita dan dekat dengan kematian sehingga cenderung menggunakan segi spiritual dalam menghadapinya. Hal ini juga erat kaitannya dengan teori bahwa lansia yang jika mengalami konflik dalam dirinya untuk mempertahankan aspek yang positif maka penting bagi lansia untuk tetap mempertahankan aspek spiritual yang dimilki. Berger dan William (1992) juga menjelaskan bahwa salah satu strategis koping yang berfokus pada masalah adalah berdoa pada Tuhan. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Atinah dan Winarsih (2008) menunjukkan bahwa pasien diabetes melitus yang mengalami kecemasan sedang juga melakukan pendekatan religius dengan cara berdzikir, berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing dan melakukan sholat meskipun dengan berbaring. Dengan melakukan pendekatan religius tersebut, kebanyakan pasien dapat merasakan ketenangan batin sehingga mampu mengendalikan kecemasannya dan melakukan koping yang adaptif. Hasil penelitian DR. Tony Styobuhi bahwa umumnya pada waktu kematian akan datang agama atau kepercayaan seseorang merupakan factor yang penting sekali. Pada waktu inilah kelahiran seorang iman sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut usia.


(66)

2.2.4 Mengontrol situasi dan perasaan

Berdasarkan koping lansia mengontrol situasi dan perasaan, mayoritas responden diperoleh 25 responden (47,2%) tidak setuju dapat tidur lebih dari waktu biasanya, dan 25 responden (47,2%) sangat setuju untuk menolak jika dikatakan pembawa masalah. Hasil penelitian yang menunjukkan 47,2% responden tidak setuju dapat tidur lebih dari waktu biasanya sesuai dengan yang dikemukakan oleh DR. Tony Styobuhi bahwa pada lansia terjadi gangguan pola tidur berhubungan dengan insomnia dalam waktu lama, terbangun lebih awal atau terlambat bangun dan penurunan kemampuan fungsi yng ditandai dengan penuaan perubahan pola tidur dan cemas. Dan hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat Arya (2009) bahwa dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang. Namun, biasanya pada masa lansia terjadi gangguan pada tidurnya, seperti insomnia (BKKBN, 2006). Pada 2009 American Academy of Neurology Rapat Tahunan di Seattle pada tanggal 28 April, para peneliti melaporkan bahwa 59 persen dari 892 orang usia 70-89 sudah mengalami satu gangguan tidur yang diakui yaitu insomnia (Nosworthy, 2009). Dalam National Institute on Aging studi lebih dari 9.000 orang berusia 65 dan lebih tua, lebih dari separuh dari orang-orang melaporkan sedikitnya satu keluhan tidur kronis. Dibandingkan dengan orang-orang muda, senior cenderung untuk mencapai


(1)

Kode :

Tanggal :

Alamat :

I. Kuesioner Data Demografi

Petunjuk pengisian : isilah data di bawah ini dengan lengkap dan berilah tanda checklist ( ) pada pilihan yang tersedia sesuai dengan situasi dan kondisi anda saat ini.

1. Usia: tahun

2. Jenis kelamin: o Laki-laki

o Perempuan

3. Agama:

o Islam

o Kristen

o Budha

o Hindu

4. Suku:

o Batak

o Karo


(2)

o Lain-lain... 5. Pendidikan:

o SD

o SMP

o SMU

o Perguruan Tinggi o Lain-lain... 6. Pekerjaaan sebelumnya:

o PNS

o Pegawai swasta/ wiraswasta

o Buruh

o Bertani o Lain-lain...

7. Penyakit kronis yang diderita... 8. Lama Menderita...


(3)

II. Kuesioner Koping lansia dengan penyakit kronis

Petunjuk pengisian : Berilah tanda checklist ( ) pada kolom jawaban yang tersedia sesuai dengan situasi dan kondisi yang anda alami, di mana SS: Sangant Setuju, S: Setuju, TS: Tidak Setuju, STS: Sangat Tidak Setuju.

No. Pernyataan SS S TS STS

1. Saya merasa keajaiban akan terjadi, dimana suatu saat nanti saya akan memperoleh kesembuhan atas penyakit saya.

2. Saya menyadari bahwa situasi ini hanya sementara, bukan untuk selamanya.

3. Saya berharap dapat sembuh dari penyakit ini dan dapat memiliki kehidupan yang lebih baik. 4. Saya merasa dengan berbicara kepada orang

lain dapat membantu saya menemukan jalan keluar atas permasalahan yang saya hadapi. 5. Saya merasa teman-teman dan keluarga dapat

membantu saya dalam memecahkan masalah akibat perubahan yang terjadi di dalam diri saya karena penyakit yang saya alami.


(4)

6. Saya merasa mendapat perhatian dan kasih sayang, baik dari anggota keluarga, kerabat, dokter, dan perawat.

7 . Saya merasa dengan melakukan ibadah sesuai keyakinan saya, akan membantu penyembuhan penyakit ini.

8. Saya merasa Tuhan akan memberikan kesembuhan atas penyakit saya

9. Saya merasa dengan berkonsultasi dengan tokoh agama atau bimbingan rohani mengenai masalah yang saya hadapi dapat mengurangi beban masalah saya.

10. Saya mencoba melupakan segala sesuatu yang dapat memperburuk keadaan saya.

11. Saya dapat mengurangi beban masalah saya dengan tidur lebih dari biasanya.

12. Saya mencoba membuat diri saya merasa lebih baik dengan cara makan, minum, dll.


(5)

14. Saya menerima perubahan fisik akibat penyakit yang diderita sekarang sebagai hal yang wajar.

15. Saya menerima kenyataa hidup yang saya alami saat ini.

16. Saya telah mempersiapkan diri untuk sesuatu hal yang buruk yang akan terjadi.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Heppy Sahara

Tempat/ Tanggal Lahir : Aek Kota Batu/ 9 Nopember 1988 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jln. M. Nawi Harahap blok J No.15 Medan Riwayat Pendidikan :

1. SD N No.112320 Aek Kota Batu (1994-2000) 2. SLTP N I Aek Kota Batu (2000-2003) 3. SMA N 3 Rantau Utara (2003-2006) 4. Fakultas Keperawatan USU (2006- 2010 )