Pengembangan Model Pembelajaran Matemati. pdf

MAKALAH SIMPOSIUM PUSAT PENELITIAN KEBIJAKAN DAN INOVASI PENDIDIKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa

oleh

Tatag Yuli Eko Siswono

Universitas Negeri Surabaya DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

MEI 2009

Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pemecahan dan Pengajuan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa

Tatag Yuli Eko Siswono Jurusan Matematika FMIPA UNESA

Abstrak

Kemampuan berpikir kreatif sangat berguna dan diperlukan dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, sehingga pendidikan (termasuk matematika) perlu membekali siswa kemampuan tersebut. Kenyataannya, guru masih jarang menekankan kemampuan tersebut, karena tidak adanya strategi atau model pembelajaran sekaligus perangkat pembelajaran yang memandu kearah tujuan tersebut. Untuk itu diperlukan upaya mengembangkan model pembelajaran matematika sekaligus perangkatnya yang valid, praktis, dan efektif dengan berbasis pemecahan dan pengajuan masalah matematika.

Penelitian pengembangan ini mengikuti model Plomp, yang terdiri dari fase investigasi awal, desain, realisasi, pengujian (evaluasi dan revisi), dan implementasi. Penelitian ini masih berada pada tiga fase pertama, sedang dua fase terakhir dilakukan pada tahun berikutnya (2009). Pada fase investigasi awal telah dihasilkan teori model pembelajaran berbasis pemecahan dan pengajuan masalah, hasil identifikasi karakteristik siswa kelas 5 pada 6 sekolah di kabupaten Sidoarjo, yaitu SDN Masangan Kulon Sukodono, SDN Sepanjang II Taman, SDN Gilang I Taman, SDN Kebon Agung II Sukodono, SDN Sidorejo Krian, dan SDN Jemirahan Jabon, dan gambaran pengelolaan pembelajaran oleh guru yang diperoleh dari angket. Hasil identifikasi siswa masih tidak dapat menyelesaikan soal divergen dan guru belum menekankan pembelajaran yang mengarah pada kemampuan berpikir kreatif siswa. Fase desain menghasilkan draf model (protipe awal model) yang terdiri dari sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak instruksional maupun dampak pendukung. Fase realisasi dihasilkan draf model (protipe awal) perangkat pembelajaran yang terdiri dari buku siswa, silabus, RPP, LKS, dan penilaian.

Kata Kunci : pemecahan masalah, pengajuan masalah, berpikir kreatif

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pembelajaran matematika di kelas masih banyak yang menekankan pemahaman siswa tanpa melibatkan kemampuan berpikir kreatif. Siswa tidak diberi kesempatan menemukan jawaban ataupun cara yang berbeda dari yang sudah diajarkan guru. Guru sering tidak membiarkan siswa mengkonstruk pendapat atau pemahamannya sendiri terhadap konsep matematika. Dengan demikian, siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatifnya. Padahal, pada Peraturan Menteri No 22 tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menyebutkan bahwa Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik (siswa) mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan A. Latar Belakang Pembelajaran matematika di kelas masih banyak yang menekankan pemahaman siswa tanpa melibatkan kemampuan berpikir kreatif. Siswa tidak diberi kesempatan menemukan jawaban ataupun cara yang berbeda dari yang sudah diajarkan guru. Guru sering tidak membiarkan siswa mengkonstruk pendapat atau pemahamannya sendiri terhadap konsep matematika. Dengan demikian, siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatifnya. Padahal, pada Peraturan Menteri No 22 tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menyebutkan bahwa Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik (siswa) mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan

Berpikir kreatif jarang ditekankan pada pembelajaran matematika karena model pembelajaran yang diterapkan cenderung beorientasi pada pengembangan pemikiran analitis dengan masalah-masalah yang rutin. Model pembelajaran matematika yang khusus berorientasi pada upaya pengembangan berpikir kreatif matematis jarang ditemukan. Guru di sekolah lebih mengajarkan matematika secara hafalan dengan menggunakan masalah rutin (Davis, 1984). Davis (1984) menjelaskan 6 alasan mengapa pembelajaran matematika perlu menekankan pada kreativitas , yaitu: (1) matematika begitu kompleks dan luas untuk diajarkan dengan hafalan, (2) siswa dapat menemukan solusi-solusi yang asli (original) saat memecahkan masalah, (3) guru perlu dapat merespon pada kontribusi yang asli dan mengejutkan yang dibuat orang lain (termasuk siswa), (4) pembelajaran matematika dengan hafalan dan masalah rutin membuat siswa tidak termotivasi dan kemampuannya menjadi rendah, (5) Kadang keaslian merupakan sesuatu yang perlu diajarkan, seperti membuat pembuktian asli dari teorema-teorema, (6) Kehidupan nyata sehari-hari memerlukan matematika, masalah sehari-hari bukan hal rutin yang memerlukan kreativitas dalam menyelesaikannya.

Orientasi pembelajaran matematika saat ini cenderung lebih menekankan pada pengajaran ketrampilan berpikir tingkat tinggi, yaitu berpikir kritis dan berpikir kreatif. Kedua aspek berpikir itu merupakan suatu kesatuan. Berpikir kreatif dalam matematika diartikan sebagai kombinasi berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan intuisi tetapi masih dalam kesadaran (Pehkonen, 1997). Tuntutan hasil pendidikan termasuk matematika dapat diterapkan dalam kehidupan atau mendukung kecakapan hidup (life skill). Kemampuan berpikir kreatif tidak hanya meningkatkan kecakapan akademik, tetapi juga kecakapan personal (kesadaran diri dan ketrampilan berpikir) dan sosial.

Kenyataan di lapangan, perangkat pembelajaran yang menekankan berpikir kreatif dalam matematika tidak tersedia. Buku siswa atau LKS yang ada (digunakan di sekolah) cenderung menekankan pada penguasaan konsep dengan tidak memberikan kebebasan siswa berpikir Kenyataan di lapangan, perangkat pembelajaran yang menekankan berpikir kreatif dalam matematika tidak tersedia. Buku siswa atau LKS yang ada (digunakan di sekolah) cenderung menekankan pada penguasaan konsep dengan tidak memberikan kebebasan siswa berpikir

Motivasi dan kemampuan guru dalam mengajar untuk mendorong kreativitas atau kemampuan berpikir kreatif siswa masih belum memadai. Hal tersebut berdasar pengalaman peneliti ketika memberikan pelatihan (baik nasional maupun lokal) dan ketika supervisi klinis maupun monitoring ke beberapa SD. Kondisi tersebut dikarenakan tidak tersedianya strategi atau model pembelajaran yang sistematis yang berorientasi pada peningkatan kreativitas siswa dalam belajar matematika. Selain itu, terdapat anggapan bahwa mengajarkan berpikir kreatif menuntut siswa menyelesaikan masalah yang kompleks, padahal untuk masalah yang umum saja tidak semua siswa dapat menyelesaikan. Anggapan lain bahwa soal yang divergen untuk mendorong munculnya kemampuan berpikir kreatif terlalu sulit bagi siswa. Dengan adanya model maupun perangkat pembelajaran dapat memotivasi dan mengarahkan pembelajaran matematika yang berorientasi pada peningkatan kemampuan berpikir kreatif.

Salah satu model yang mungkin adalah melalui pengajuan masalah (problem posing) dan pemecahan masalah (problem solving). Pengajuan masalah dalam pembelajaran intinya meminta siswa untuk mengajukan soal atau masalah sendiri berdasar topik yang luas, soal yang sudah dipecahkan atau informasi tertentu yang diberikan guru kepada siswa. Soal yang dibuat tersebut kemudian dipecahkan sendiri. Pengajuan masalah matematika secara tersendiri merupakan kegiatan yang mendorong kemampuan berpikir kreatif (Johnson, 2002; Leung, 1997; Dunlop, 2001). Demikian juga pemecahan masalah matematika (Pehkonen, 1997; Haylock, 1997). Silver (1997) menjelaskan bahwa hubungan kreativitas (sebagai produk berpikir kreatif) tidak berada pada pengajuan masalah tersendiri tetapi berada pada saling pengaruh antara pemecahan masalah dan pengajuan masalah. Oleh karena itu perlu dikembangkan model yang melibatkan kedua aktifitas tersebut untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam belajar matematika.

Penelitian ini secara keilmuan akan menghasilkan teori tentang model pembelajaran matematika yang bertujuan untuk mendorong kemampuan berpikir kreatif siswa yang berbasis pada pengajuan dan pemecahan masalah matematika. Sedangkan produk penelitian ini berupa prototipe perangkat pembelajaran yang dapat digunakan guru untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa sekolah dasar.

B. Pertanyaan Penelitian Berdasar latar belakang yang telah dipaparkan, maka pertanyaan penelitian pada tahun pertama ini adalah:

1. Bagaimanakah model pembelajaran matematika berbasis pengajuan dan pemecahan masalah yang secara teoritis untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif?

2. Bagaimana hasil pengembangan prototipe perangkat pembelajaran yang valid untuk

menerapkan model pembelajaran tersebut?

C. Tujuan Penelitian Memperhatikan latar belakang yang digambarkan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pembelajaran matematika berbasis pengajuan dan pemecahan masalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa di sekolah dasar.

Sedang, tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Menghasilkan model pembelajaran matematika berbasis pengajuan dan pemecahan masalah (model JUCAMA) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif yang valid, praktis dan efektif untuk siswa sekolah dasar.

2. Menghasilkan prototipe perangkat pembelajaran yang valid, praktis dan efektif untuk menerapkan model pembelajaran tersebut.

D. Definisi Operasional, Asumsi, dan Keterbatasan

Agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda terhadap penelitian ini, maka diberikan pengertian terhadap beberapa istilah yang dipakai sebagai berikut.

1. Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Komponen model pembelajaran ini mengikuti Joyce dan Weil (1992), terdiri dari (1) sintaks, (2) sistem sosial, (3) prinsip reaksi, (4) sistem pendukung, dan (5) dampak instruksional dan dampak pengiring.

2. Berpikir kreatif merupakan suatu kegiatan mental yang digunakan seseorang untuk membangun suatu ide atau gagasan yang “baru” secara fasih dan fleksibel. Ide dalam pengertian di sini adalah ide dalam memecahkan atau mengajukan masalah matematika dengan tepat atau sesuai permintaannya.

3. Pemecahan masalah matematika diartikan sebagai proses siswa dalam menyelesaikan suatu masalah matematika yang langkahnya terdiri dari memahami masalah, 3. Pemecahan masalah matematika diartikan sebagai proses siswa dalam menyelesaikan suatu masalah matematika yang langkahnya terdiri dari memahami masalah,

2. Masalah matematika adalah soal matematika tidak rutin yang tidak mencakup aplikasi prosedur matematika yang sama atau mirip dengan hal yang sudah (baru saja) dipelajari di kelas.

3. Pengajuan masalah (problem posing) matematika merupakan tugas yang meminta siswa untuk mengajukan atau membuat soal atau masalah matematika berdasar informasi yang diberikan, sekaligus menyelesaikan soal atau masalah yang dibuat tersebut. Pengajuan masalah diberikan setelah siswa menyelesaikan suatu masalah matematika.

4. Kefasihan dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan siswa memberi jawaban masalah yang beragam dan benar, sedang dalam pengajuan masalah mengacu pada kemampuan siswa membuat masalah sekaligus penyelesaiannya yang beragam dan benar. Beberapa jawaban masalah dikatakan beragam, bila jawaban- jawaban tampak berlainan dan mengikuti pola tertentu, seperti jenis bangun datarnya sama tetapi ukurannya berbeda. Dalam pengajuan masalah, beberapa masalah dikatakan beragam, bila masalah itu menggunakan konsep yang sama dengan masalah sebelumnya tetapi dengan atribut-atribut yang berbeda atau masalah yang umum dikenal siswa setingkatnya. Misalkan seorang siswa membuat persegipanjang dengan ukuran berbeda, soal pertama menanyakan keliling persegi panjang dan soal kedua menanyakan luasnya.

5. Fleksibilitas dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan siswa memecahkan masalah dengan berbagai cara yang berbeda. Fleksibilitas dalam pengajuan masalah mengacu pada kemampuan siswa mengajukan masalah yang mempunyai cara penyelesaian berbeda-beda.

6. Kebaruan dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan siswa menjawab masalah dengan beberapa jawaban yang berbeda-beda tetapi bernilai benar atau satu jawaban yang “tidak biasa” dilakukan oleh individu (siswa) pada tingkat pengetahuannya. Beberapa jawaban dikatakan berbeda, bila jawaban itu tampak berlainan dan tidak mengikuti pola tertentu, seperti bangun datar yang merupakan gabungan dari beberapa macam bangun datar. Kebaruan dalam pengajuan masalah mengacu pada kemampuan siswa mengajukan suatu masalah yang berbeda dari masalah yang diajukan sebelumnya. Dua masalah yang diajukan berbeda bila konsep 6. Kebaruan dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan siswa menjawab masalah dengan beberapa jawaban yang berbeda-beda tetapi bernilai benar atau satu jawaban yang “tidak biasa” dilakukan oleh individu (siswa) pada tingkat pengetahuannya. Beberapa jawaban dikatakan berbeda, bila jawaban itu tampak berlainan dan tidak mengikuti pola tertentu, seperti bangun datar yang merupakan gabungan dari beberapa macam bangun datar. Kebaruan dalam pengajuan masalah mengacu pada kemampuan siswa mengajukan suatu masalah yang berbeda dari masalah yang diajukan sebelumnya. Dua masalah yang diajukan berbeda bila konsep

Asumsi dalam penelitian ini adalah:

1. Siswa mengerjakan soal tes yang diberikan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, karena saat mengerjakan diawasi oleh masing-masing guru.

2. Jawaban guru dalam angket menunjukkan jawaban yang sejujurnya dan sungguh- sungguh, karena pada angket dan penjelasan awal dijelaskan untuk melakukan hal itu.

Keterbatasan penelitian ini adalah:

1. Identifikasi karakteristik siswa dalam hal kemampuan pemecahan dan pengajuan masalah terbatas pada siswa kelas V di enam SD di kabupaten Sidoarjo.

2. Konsep yang digunakan terbatas hanya yang tercakup pada soal yang digunakan.

3. Gambaran pembelajaran guru SD di kelas digali dari angket bukan berdasar pengamatan langsung dan untuk guru semua tingkat kelas. KAJIAN PUSTAKA

A. Kreativitas dan Kemampuan Berpikir Kreatif dalam Matematika

Dalam membahas kreativitas dibedakan menjadi 4 pendekatan, yaitu produk yang diciptakan (the product created), proses penciptaan (the process of creating), individu pencipta (the person of the creator), dan lingkungan yang menjadi asal penciptaan (the environment in which creating come about ). Pembagian ini bukan berarti pemisahan yang lepas satu dengan yang lainnya, tetapi memberi penekanan pada suatu aspek tertentu misalkan pada produk saja. Untuk menfokuskan kajian, banyak peneliti yang menekankan pada satu definisi tertentu. Definisi kreativitas yang menekankan pada produk, misalkan Hurlock (1999) menyebutkan “kreativitas menekankan pembuatan sesuatu yang baru dan berbeda; kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk atau gagasan apa saja yang pada dasarnya baru dan sebelumnya tidak dikenal pembuatnya.

Pengertian kreativitas yang menekankan pada aspek pribadi dijelaskan oleh Sternberg (dalam Munandar, 1999) yang disebut “three facet model of creativity”, yaitu “kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara 3 atribut psikologi, yakni intelegensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi”. Intelegensi meliputi kemampuan verbal, pemikiran lancar, pengetahuan perencanaan, perumusan masalah, penyusunan strategi, representasi Pengertian kreativitas yang menekankan pada aspek pribadi dijelaskan oleh Sternberg (dalam Munandar, 1999) yang disebut “three facet model of creativity”, yaitu “kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara 3 atribut psikologi, yakni intelegensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi”. Intelegensi meliputi kemampuan verbal, pemikiran lancar, pengetahuan perencanaan, perumusan masalah, penyusunan strategi, representasi

Definisi yang menekankan faktor pendorong atau dorongan secara internal dikemukakan Simpson (dalam Munandar, 1999) bahwa kemampuan kreatif merupakan sebuah inisiatif seseorang yang diwujudkan oleh kemampuannya untuk mendobrak pemikiran yang biasa. Kreativitas tidak berkembang dalam budaya yang terlalu menekankan konformitas dan tradisi, dan kurang terbuka terhadap perubahan atau perkembangan baru. Amabile (dalam Munandar, 1999) menyebutkan bahwa kreativitas tidak hanya bergantung pada ketrampilan terhadap suatu bidang, tetapi juga pada motivasi intrinsik (dorongan internal) untuk bekerja dan lingkungan sosial yang mendukung (dorongan eksternal).

Definisi yang menekankan pada proses, misalnya Welsch (dalam Isaksen, 2003) menjelaskan bahwa kreativitas adalah sebuah proses pembuatan produk-produk dengan mentransformasi produk-produk yang sudah ada. Produk-produk tersebut secara nyata maupun tidak kasat mata harus unik (baru) hanya bagi penciptanya, dan harus memenuhi kriteria tujuan dan nilai yang ditentukan oleh penciptanya. Proses dalam pembuatan produk ini masih menfokuskan pada produk kreatif, tidak menjelaskan secara rinci langkah-langkah proses mental yang terjadi. Lumsdaine dan Lumsdaine (1995) mendefinisikan kreativitas adalah suatu aktivitas dinamis yang melibatkan proses-proses mental secara sadar maupun bawah sadar. Kreativitas melibatkan seluruh bagian otak. Solso (1995) menjelaskan kreativitas diartikan sebagai suatu aktivitas kognitif yang menghasilkan suatu cara atau sesuatu yang baru dalam memandang suatu masalah atau situasi.

Dalam bermacam-macam definisi yang disebutkan di atas terdapat komponen yang sama, yaitu menghasilkan sesuatu yang “baru” atau memperhatikan kebaruan. Matlin (1998) juga menyimpulkan hal yang sama, tetapi menurutnya itu saja tidak cukup. Haruslah praktis dan berguna. “Baru” bukan berarti dulu atau sebelumnya tidak ada, tetapi dapat berupa sesuatu yang belum dikenal sebelumnya atau gabungan-gabungan

(kombinasi) sesuatu yang sudah dikenal sebelumnya yang memenuhi kriteria tujuan dan nilai tertentu. Aspek praktis dan berguna dari suatu kreativitas tentu bergantung pada bidang penerapan kreativitas itu sendiri. Bila dalam pemecahan masalah ataupun pengajuan masalah matematika, maka aspek tersebut ditunjukkan dalam kebenaran penyelesaian yang dilakukan ataupun ketepatan masalah yang diajukan.

Cropley (dalam Haylock, 1997) menjelaskan bahwa terdapat paling sedikit dua cara utama menggunakan istilah kreativitas. Satu sisi, kreativitas mengacu pada suatu jenis khusus dari berpikir atau fungsi mental yang sering disebut berpikir divergen. Sisi lain, kreativitas digunakan untuk menunjukkan pembuatan (generation) produk-produk yang dipandang (perceived) kreatif, seperti karya seni, arsitektur atau musik. Dalam pengertian pengajaran anak-anak di sekolah, Cropley cenderung pada istilah pertama tersebut dan mengambil pendirian bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk mendapatkan ide-ide, khususnya yang bersifat asli (original), berdaya cipta (inventive), dan ide-ide baru (novelty). Pendefinisian ini menekankan pada aspek produk yang diadaptasikan pada kepentingan pembelajaran matematika.

Dalam penelitian ini berdasar beberapa pandangan ahli yang disebutkan (sebagian besar mengarah pada sesuatu/produk yang baru) dan untuk kepentingan pembelajaran matematika, maka pengertian kreativitas ditekankan pada produk dari proses berpikir untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan berguna. Jadi, kreativitas merupakan suatu produk berpikir (dalam hal ini berpikir kreatif) yang berupa kemampuan individu untuk menghasilkan suatu cara atau sesuatu yang baru dalam memandang suatu masalah atau situasi. Berpikir kreatif merupakan suatu proses yang digunakan ketika kita mendatangkan/memunculkan suatu ide baru. Hal itu menggabungkan ide-ide yang sebelumnya yang belum dilakukan. Berpikir kreatif yang dikaitkan dengan berpikir kritis merupakan perwujudan dari tingkat berpikir tinggi (higher order thinking).

Dalam memandang berpikir kreatif terdapat dua pandangan. Pertama memandang berpikir kreatif bersifat intuitif yang berbeda dengan berpikir kritis (analitis) yang didasarkan pada logika (Johnson, 2002; Bishop (dalam Pehkonen, 1997)), dan kedua memandang berpikir kreatif merupakan kombinasi berpikir yang analitis dan intuitif (De Bono (dalam Barak dan Doppelt, 2000); Pehkonen, 1997; Krulik dan Rudnick, 1999). Pandangan pertama cenderung dipengaruhi oleh pandangan terhadap dikotomi otak kanan dan kiri yang mempunyai fungsi berbeda, sedang pandangan kedua melihat dua belahan otak bekerja secara sinergis bersama-sama yang tidak terpisah.

Dalam penelitian ini berpikir kreatif dipandang sebagai satu kesatuan atau kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang intuitif. Haylock (1997) mengatakan bahwa berpikir kreatif selalu melibatkan fleksibilitas. Kriteria yang digunakan sesuai tipe Tes Torrance dalam kreativitas (produk berpikir kreatif), yaitu kefasihan artinya banyaknya respon-respon yang dapat diterima atau sesuai, fleksibilitas artinya banyaknya berbagai macam respon yang berbeda, dan keaslian artinya kejarangan respon-respon dalam kaitan dengan sebuah kelompok pasangannya. Haylock (1997) mengatakan bahwa dalam konteks matematika, kriteria kefasihan tampak kurang berguna dibanding dengan fleksibilitas. Contoh, jika siswa diminta untuk membuat soal yang nilainya 5, siswa mungkin memulai dengan 6-1, 7-2, 8-3, dan seterusnya. Nilai siswa tersebut tinggi, tetapi tidak menunjukkan kreativitas. Fleksibilitas menekankan juga pada banyaknya ide-ide berbeda yang digunakan. Jadi dalam matematika untuk menilai produk divergensi dapat menggunakan kriteria fleksibilitas dan keaslian. Kriteria lain adalah kelayakan (appropriatness). Respon matematis mungkin menunjukkan keaslian yang tinggi, tetapi tidak berguna jika tidak sesuai dalam kriteria matematis umumnya. Contoh, untuk

menjawab 8 , seorang siswa menjawab 4. Meskipun menunjukkan keaslian yang tinggi tetapi jawaban tersebut salah. Jadi, berdasar beberapa pendapat itu berpikir kreatif dapat ditunjukkan dari fleksibilitas, kefasihan, keaslian, kelayakan atau kegunaan. Indikator ini

dapat disederhanakan atau dipadukan dengan melihat kesamaan pengertiannya. Silver (1997) menjelaskan bahwa untuk menilai berpikir kreatif anak-anak dan orang

dewasa sering digunakan “The Torrance Tests of Creative Thinking (TTCT)”. Tiga komponen kunci yang dinilai dalam kreativitas menggunakan TTCT adalah kefasihan (fluency), fleksibilitas dan kebaruan (novelty). Kefasihan mengacu pada banyaknya ide- ide yang dibuat dalam merespon sebuah perintah. Fleksibilitas tampak pada perubahan- perubahan pendekatan ketika merespon perintah. Kebaruan merupakan keaslian ide yang dibuat dalam merespon perintah. Dalam masing-masing komponen, apabila respon perintah disyaratkan harus sesuai, tepat atau berguna dengan perintah yang diinginkan, maka indikator kelayakan, kegunaan atau bernilai berpikir kreatif sudah dipenuhi. Sedangkan keaslian dapat ditunjukkan atau merupakan bagian dari kebaruan. Jadi indikator atau komponen berpikir itu dapat meliputi kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan.

Untuk keperluan kajian selanjutnya, berpikir kreatif diartikan sebagai suatu proses mental yang digunakan seseorang untuk memunculkan suatu ide atau gagasan yang “baru” secara fasih dan fleksibel. Ide dalam pengertian di sini adalah ide dalam memecahkan atau mengajukan soal (masalah) matematika.

B. Pemecahan Masalah dan Pengajuan Masalah

Dalam usaha mendorong berpikir kreatif dalam matematika digunakan konsep masalah dalam suatu situasi tugas. Guru meminta siswa menghubungkan informasi- informasi yang diketahui dan informasi tugas yang harus dikerjakan, sehingga tugas itu merupakan hal baru bagi siswa (Pehkonen, 1997). Jika ia segera mengenal tindakan atau cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, maka tugas tersebut merupakan tugas rutin. Jika tidak, maka merupakan masalah baginya. Jadi konsep masalah membatasi waktu dan individu.

Pemecahan masalah di banyak negara termasuk Indonesia secara eksplisit menjadi tujuan pembelajaran matematika dan tertuang dalam kurikulum matematika. Pehkonen (1997) mengkategorikan menjadi 4 kategori, yang merupakan alasan untuk mengajarkan pemecahan masalah. yaitu:

§ Pemecahan masalah mengembangkan ketrampilan kognitif secara umum. § Pemecahan masalah mendorong kreativitas. § Pemecahan masalah merupakan bagian dari proses aplikasi matematika. § Pemecahan masalah memotivasi siswa untuk belajar matematika.

Berdasar kategori tersebut pemecahan masalah merupakan salah satu cara untuk mendorong kreativitas sebagai produk berpikir kreatif siswa. Berpikir kreatif dalam pemecahan masalah akan terlihat penting bila memperhatikan teori fungsional asimetri dalam otak manusia. Dalam memecahkan masalah akan melibatkan dua bagian otak tersebut. Menurut teori tersebut, otak manusia dibagi menjadi otak sebelah kiri yang berhubungan dengan kemampuan berpikir logis dan kemampuan verbal seperti membaca, berbicara, analisis deduktif dan aritmetika. Sedang, otak sebelah kanan yang bertindak dalam membantu berpikir visual dan non verbal (spasial) seperti tugas-tugas spasial, pengingatan terhadap tugas-tugas yang dihadapi dan musik.

Haylock (1997) menjelaskan bahwa pemecahan masalah dapat menjadi pendekatan untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif siswa. Indikator berpikir kreatif dapat dilihat dari produksi divergen yang meliputi fleksibilitas, keaslian dan kelayakan. Selain pemecahan masalah, pendekatan pengajuan masalah juga dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif siswa.

Dalam pembelajaran matematika, pengajuan masalah menempati posisi yang strategis. Pengajuan masalah dikatakan sebagai inti terpenting dalam disiplin matematika dan dalam sifat pemikiran penalaran matematika (Silver, et.al, 1996). English (1997) Dalam pembelajaran matematika, pengajuan masalah menempati posisi yang strategis. Pengajuan masalah dikatakan sebagai inti terpenting dalam disiplin matematika dan dalam sifat pemikiran penalaran matematika (Silver, et.al, 1996). English (1997)

Dunlap (2001) menjelaskan bahwa pengajuan masalah sedikit berbeda dengan pemecahan masalah, tetapi masih merupakan suatu alat valid untuk mengajarkan berpikir matematis. Moses (dalam Dunlap, 2001) membicarakan berbagai cara yang dapat mendorong berpikir kreatif siswa menggunakan pengajuan masalah. Pertama, memodifikasi masalah-masalah dari buku teks. Kedua, menggunakan pertanyaan- pertanyaan yang mempunyai jawaban ganda. Masalah yang hanya mempunyai jawaban tunggal tidak mendorong berpikir matematika dengan kreatif, siswa hanya menerapkan algoritma yang sudah diketahui.

Penelitian tentang berpikir kreatif dalam matematika telah dilakukan Leung (1997) yang melihat hubungan antara kreativitas verbal umum (general verbal creativity) dengan pengajuan masalah aritmetika. Penelitian bersifat kuantitatif menunjukkan bahwa subjek yang mempunyai kemampuan kreatif verbal lebih tinggi dalam kefasihan cenderung lebih fasih juga dalam pengajuan masalah dan subjek yang fleksibilitasnya tinggi dalam kreativitas verbal tidak pasti fleksibel dalam pengajuan masalah. Dalam penelitian itu tugas pengajuan masalah dipandang sebagai suatu tes berpikir kreatif, seperti Balka (Leung, 1997) yang menskor tugas pengajuan masalah menurut kefasihan, fleksibilitas dan keasliannya. Secara umum hubungan antara pengajuan masalah dan berpikir kreatif masih belum diketahui.

Silver (1997) menjelaskan hubungan kreativitas (produk berpikir kreatif) dengan pengajuan masalah dan pemecahan masalah sebagai berikut. As these observations suggest, the conection to creativity lies not so much in

problem posing itself, but rather than in interplay between problem posing and problem solving. …Both the process and the product of this activity can be evaluated in order to determine the extent to which creativity is evident.

Kutipan itu menunjukkan bahwa berdasar observasi, hubungan kreativitas tidak banyak berada pada pengajuan masalah sendiri tetapi lebih kepada saling pengaruh antara pemecahan masalah dan pengajuan masalah. Keduanya, proses dan produk kegiatan itu dapat menentukan sebuah tingkat (the extent) kreativitas dengan jelas. Dengan demikian, untuk melihat kemampuan atau tingkat berpikir kreatif tidak cukup dari pengajuan masalah saja, tetapi gabungan antara pemecahan masalah dan pengajuan masalah.

Sehingga dalam penelitian ini pengajuan masalah (problem posing) merupakan bagian dari pemecahan masalah. Siswa setelah menyelesaikan masalah diminta untuk mengajukan soal-soal baru yang dapat berupa modifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal yang baru. Pengajuan masalah ini bertipe pengajuan setelah solusi (post solution posing), seperti dalam Silver dan Cai (1996).

C. Penelitian yang Relevan

Perumusan secara teoritis tentang karakteristik tingkat berpikir kreatif untuk pengajuan masalah yang terdiri dari 6 tingkat yang dimulai dari terendah, yaitu tingkat 0, tingkat 1, tingkat 2, tingkat 3, tingkat 4, dan tingkat 5 (Siswono, 2004a). Dasar perumusannya adalah tiga indikator berpikir kreatif (kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan). Rumusan teoritis itu diverifikasi pada siswa kelas 1 SMP Negeri 4 (siswa kelas 1-a dan 1-i) dan SMP Negeri 26 Surabaya (siswa kelas 1-d dan 1-e). Pada semua siswa di masing-masing kelas diberikan tugas pengajuan masalah yang informasinya berupa gambar atau pernyataan tertulis. Kemudian pada tiap kelas dipilih beberapa siswa untuk diwawancarai secara “mendalam”. Hasilnya dalam Siswono (2004b, 2004c) dan Siswono & Kurniawati (2005) menunjukkan bahwa tiap tingkat berpikir kreatif siswa telah terisi beberapa siswa dari berbagai tingkat kemampuan serta jenis kelamin. Hasil ini mengindikasikan bahwa kriteria tingkat berpikir kreatif tersebut cukup layak digunakan untuk mengklasifikasi tingkat berpikir kreatif siswa yang bebas dari perbedaan tingkat kemampuan atau jenis kelamin, meskipun masih terdapat beberapa siswa yang belum dapat terkategorikan.

Studi awal ini memberikan catatan bahwa: (1) hubungan kreativitas tidak hanya berada pada pengajuan masalah sendiri tetapi lebih kepada saling pengaruh antara pemecahan masalah dan pengajuan masalah, (2) pemecahan masalah sendiri mendorong kreativitas sebagai produk berpikir kreatif (Pehkonen, 1997; Haylock, 1997), (3) soal yang diajukan siswa dalam pengajuan masalah dari kelompok tinggi, sedang maupun rendah atau dari kelompok yang kreatif, kurang kreatif maupun tidak kreatif cenderung soal yang mudah dan sederhana (Siswono, 2002; Siswono & Kurniawati, 2005), sehingga sulit untuk membedakan siswa dalam suatu derajat atau tingkat berpikir kreatif tertentu, (4) siswa lebih sering diajarkan atau sudah biasa belajar bagaimana memecahkan masalah daripada mengajukan masalah. Dengan demikian untuk melihat tingkat berpikir kreatif perlu ditinjau dari dua aspek kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dan mengajukan masalah.

Hasil penelitian lainnya (Siswono, 2005) tentang upaya meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa melalui pengajuan masalah dalam menyelesaikan masalah tentang materi Garis dan Sudut di kelas VII SMPN 6 Sidoarjo menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa meningkat seiring dengan kemampuan pengajuan masalah, , seperti ditunjukkan pada berikut.

Tabel 2. 1 Perubahan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Pengajuan

Masalah

is 100 k S a 80 n y a 60

Pemecahan Masalah

s e 40

Pengajuan Masalah

Siswono & Budayasa (2006) mengembangkan karakteristik tingkat berpikir kreatif melalui pemecahan dan pengajuan masalah yang terdiri dari 5 tingkat, yaitu tingkat 4 (sangat kreatif), tingkat 3 (kreatif), tingkat 2 (cukup kreatif), tingkat 1 (kurang kreatif), dan tingkat 0 (tidak kreatif). Tingkat tersebut dalam aplikasinya berguna untuk memprediksi maupun klasifikasi kemampuan siswa dalam berpikir kreatif matematis, menjadi acuan atau patokan penilaian (asesmen), dan dapat sebagai pedoman untuk mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan siswa dalam berpikir kreatif siswa saat belajar matematika.

Hasil yang sudah dicapai dalam penelitian awal (studi pendahuluan) merupakan bahan (teori dan pengalaman) untuk pengembangan model pembelajaran matematika berbasis pemecahan dan pengajuan masalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam matematika. Hasil penelitian yang sudah dilakukan itu meskipun menggunakan subjek siswa SMP, tetapi tidak khusus berlaku hanya untuk siswa tingkat tersebut. Artinya hasil penelitian itu dapat diterapkan pada siswa setingkat sekolah dasar. Hal tersebut karena kemampuan berpikir kreatif tidak bergantung pada tingkat sekolah dan konsep/materi yang dipelajari pada tingkat tersebut. Berpikir kreatif lebih merupakan suatu keterampilan berpikir seseorang dalam memecahkan atau mengajukan suatu masalah yang relevan menurut dirinya sendiri.

Sasaran penelitian dipilih siswa sekolah dasar, karena pada tingkat tersebut merupakan dasar pengembangan keterampilan-keterampilan berpikir dan merupakan upaya pembiasaan siswa sejak dini untuk mengembangkan kemampuan berpikir.

D. Pengembangan Model Pembelajaran

Eggen (1996) menjelaskan bahwa model pembelajaran merupakan strategi perspektif pembelajaran yang didesain untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran tertentu. Model pembelajaran merupakan suatu perspektif sedemikian sehingga guru bertanggung jawab selama tahap perencanaan, implementasi, dan penilaian dalam pembelajaran.

Joice & Weil (1992: 4) menggambarkan bahwa model pembelajaran merupakan suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai desain dalam pembelajaran di kelas atau pembelajaran tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, tape recorder, media program komputer, dan kurikulum. Sebagai mana disebutkan dalam tulisan aslinya, yaitu:

a model of teaching is a plan or pattern that we can use to design face-to-face teaching in classrooms or tutorial settings and to shape instructional materials- including books, films, tapes, computer-mediated programs, and curricula (long-term course of study).

Bell (1981:222) menjelaskan “a teaching/learning model is a generalized instructional process which may be used for many different topics in a variety subjects”. Kutipan tersebut berarti bahwa suatu model pembelajaran adalah suatu perumuman proses pembelajaran yang dapat digunakan untuk topic-topik berbeda dalam bermacam- macam pokok bahasan. Setiap model diarahkan untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran. Joice dan Weil (1992) mengemukakan lima unsur penting yang menggambarkan suatu model pembelajaran, yaitu (1) sintaks, yakni suatu urutan pembelajaran yang biasa juga disebut fase; (2) sistem sosial, yaitu peran siswa dan guru serta norma yang diperlukan; (3) prinsip reaksi, yaitu memberikan gambaran kepada guru tentang cara memandang dan merespon apa yang dilakukan siswa; (4) sistem pendukung, yaitu kondisi atau syarat yang diperlukan untuk terlaksananya suatu model, seperti setting kelas, system instruksional, perangkat pembelajaran, fasilitas belajar, dan media belajar; dan (5) dampak instruksional dan dampak pengiring. Dampak instruksional adalah hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan para pelajar pada tujuan yang diharapkan. Sedangkan dampak pengiring adalah hasil belajar lainnya yang dihasilkan Bell (1981:222) menjelaskan “a teaching/learning model is a generalized instructional process which may be used for many different topics in a variety subjects”. Kutipan tersebut berarti bahwa suatu model pembelajaran adalah suatu perumuman proses pembelajaran yang dapat digunakan untuk topic-topik berbeda dalam bermacam- macam pokok bahasan. Setiap model diarahkan untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran. Joice dan Weil (1992) mengemukakan lima unsur penting yang menggambarkan suatu model pembelajaran, yaitu (1) sintaks, yakni suatu urutan pembelajaran yang biasa juga disebut fase; (2) sistem sosial, yaitu peran siswa dan guru serta norma yang diperlukan; (3) prinsip reaksi, yaitu memberikan gambaran kepada guru tentang cara memandang dan merespon apa yang dilakukan siswa; (4) sistem pendukung, yaitu kondisi atau syarat yang diperlukan untuk terlaksananya suatu model, seperti setting kelas, system instruksional, perangkat pembelajaran, fasilitas belajar, dan media belajar; dan (5) dampak instruksional dan dampak pengiring. Dampak instruksional adalah hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan para pelajar pada tujuan yang diharapkan. Sedangkan dampak pengiring adalah hasil belajar lainnya yang dihasilkan

Arends (1997:7-8), istilah model pembelajaran mempunyai dua alasan penting, yaitu: (1) model berimplikasi pada sesuatu yang lebih luas daripada strategi, metode atau struktur. Istilah model pembelajaran mencakup sejumlah pendekatan untuk pengajaran; dan (2) model pembelajaran berfungsi sebagai sarana komunikasi yang penting, apakah yang dibicarakan tentang mengajar di kelas, automobile atau praktek anak. Selanjutnya dijelaskan bahwa model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas. Lebih jauh Arends memberikan empat ciri khusus dari model pembelajaran yang tidak dimiliki oleh strategi tertentu, yakni sebagai berikut: (1) rasional teoritik yang logis yang disusun oleh pencipta atau pengembangnya; (2) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai); (3) tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Pengertian model pembelajaran ini merupakan gabungan dari ketiga pendapat tersebut. Model pembelajaran dalam penelitian ini diartikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Fungsi dari model pembelajaran di sini adalah sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para guru dalam melaksanakan pembelajaran. Oleh karena itu pada pengembangan model pembelajaran ini dikembangkan komponen-komponen model yang meliputi: (1) landasan teoritik atau rasional teoritik, (2) tujuan pembelajaran yang akan dicapai, meliputi tujuan langsung (dampak instruksional) dan tidak langsung (dampak pengiring), (3) sintaks, (4) prinsip reaksi, dan (5) sistem pendukung/lingkungan belajar.

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan model pembelajaran yang akan dilaksanakan selama 2 tahun dengan menerapkan model umum pemecahan masalah pendidikan dari Plomp (1997). Sasaran penelitian adalah siswa kelas V SD, karena pada tingkat tersebut siswa telah mulai mampu berpikir abstrak. Penelitian tahun I berupa penelitian pustaka dan deskriptif untuk mengembangkan landasan teoritis model Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan model pembelajaran yang akan dilaksanakan selama 2 tahun dengan menerapkan model umum pemecahan masalah pendidikan dari Plomp (1997). Sasaran penelitian adalah siswa kelas V SD, karena pada tingkat tersebut siswa telah mulai mampu berpikir abstrak. Penelitian tahun I berupa penelitian pustaka dan deskriptif untuk mengembangkan landasan teoritis model

Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai suatu tujuan belajar. Fungsi model pembelajaran adalah sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan pelaksanaan pembelajaran di kelas. Untuk mengembangkan suatu model tersebut dapat mengacu pada model pengembangan pemecahan masalah pendidikan secara umum. Plomp (1997) memberikan suatu model umum dalam mendesain pendidikan yang terdiri dari lima fase yaitu:

1. Fase investigasi awal (preliminary investigation). Tahap ini merupakan tahap analisis kebutuhan atau need assesment dengan menerapkan prinsip front-end analysis. Studi yang dilakukan adalah studi pustaka dan deskriptif-kualitatif untuk mengidentifikasi dan mengkaji terhadap (1) teori model pembelajaran, (2) teori pemecahan dan pengajuan masalah untuk meningkatkan berpikir kreatif siswa, (3) hasil-hasil penelitian yang relevan, (4) karakteristik dan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan (5) analisis materi. Penelitian deskriptif-kualitatif dilakukan dengan pengamatan dan wawancara terhadap siswa dan guru untuk mengetahui karakteristik berpikir siswa dan gambaran pengelolaan pembelajaran di kelas yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam matematika.

2. Fase desain (design). Tahap ini bertujuan untuk mendesain solusi dari masalah tentang model pembelajaran yang telah didefinisikan dalam investigasi awal. Studi yang dilakukan secara deskriptif bertujuan untuk: (1) menyusun garis-garis besar unsur-unsur model pembelajaran yang terdiri dari (a) sintaks, (b) sistem sosial, (c) prinsip reaksi, (d) sistem pendukung, dan (e) dampak instruksional dan pengiring, (2) menyusun garis besar landasan teoritis model yang dirancang, dan (3) menyusun petunjuk pelaksanaan model pembelajaran tersebut.

3. Fase realisasi/konstruksi (realization/construction). Tahap ini merupakan fase desain dan konstruksi (fase produksi) berupa draf (prototipe awal) model pembelajaran dan 3. Fase realisasi/konstruksi (realization/construction). Tahap ini merupakan fase desain dan konstruksi (fase produksi) berupa draf (prototipe awal) model pembelajaran dan

4. Fase tes, evaluasi, dan revisi (test, evaluation, revision). Tahap ini bertujuan untuk mempertimbangkan kualitas desain (rancangan) yang dikembangkan dan membuat keputusan berkelanjutan didasarkan pada hasil pertimbangan ahli maupun ujicoba terbatas. Studi yang dilakukan dengan focus group discussion (guru dan ahli) dan studi eksperimen (ujicoba terbatas pada satu kelas). Tujuan kegiatan tersebut adalah untuk menguji kebenaran konsep, kesesuaian strategi pembelajaran, dan keterbacaan perangkat pembelajaran, serta menyempurnakan model dan perangkat berdasar validasi ahli maupun guru.

5. Implementasi (implementation). Tahap ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan, kepraktisan, maupun validitas paket model dan perangkat setelah diterapkan di kelas. Studi yang dilakukan dengan penelitian tindakan kolaboratif (Colaborative Action Research ) yang diterapkan pada tiga kelas dari sekolah yang berbeda. Sekolah sasaran yang dipilih adalah SD dengan kualitas tinggi, SD dengan kualitas sedang, dan SD yang kurang berkualitas. Kualitas ditinjau dari presentase kelulusan, input, sarana dan prasarana, rata-rata tingkat kemampuan berpikir kreatif siswa (tinggi, sedang, atau rendah), dan sumber daya pengajarnya. Dipilih yang demikian agar mendapatkan gambaran nyata keefektifan dan kepraktisan model dari ketiga sekolah yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Penerapan penelitian tindakan kelas karena penelitian tersebut berupaya untuk mengujicoba ide-ide ke dalam praktek untuk memperbaiki atau mengubah sesuatu agar memperoleh dampak nyata di lapangan dan dilakukan oleh guru atau praktisinya sendiri. Penelitian ini mengikuti siklus yang terdiri dari perencanaan, tindakan, observasi, refleksi, dan kembali pada perencanaan lanjutan sampai dipenuhi indikator keberhasilan penelitian tersebut.

Langkah penelitian pengembangan ini disajikan pada diagram berikut.

Sifat Kajian Fase Pengembangan Alur Penelitian

Tahun

Teoritis

Investigasi Awal

Front-End Analysis

dan Empirik Tahun I

Analisis Teori Model

Analisis Karakteristik Siswa

Analisis Materi

Teoritik Model Tahun I

Menyusun unsur-unsur model Menyusun petunjuk pelaksanaan model

Teoritis

Realisasi/Konstruksi

dan Empirik Prototipe awal paket model

Validasi

Empiris

Tes, Evaluasi,

Revisi

Ujicoba

Tahun II

dan Revisi

Tahun II

Prototipe Model Final

Ringkasan tujuan, metode, dan hasil penelitian yang diharapkan ditunjukkan pada tabel berikut.

Hasil Tahun

Pengembangan

1. Investigasi Mengidentifikasi dan

I awal matematika yang sesuai mengkaji terhadap (1) teori (buku, jurnal,

Studi pustaka

(1) Model pembelajaran

model pembelajaran, (2) teori

internet, hasil

sebagai acuan. (2)

strategi pemecahan dan masalah untuk meningkatkan pengajuan masalah

pemecahan dan pengajuan

penelitian

sebelumnya )

yang efektif. (3) Hasil-

berpikir kreatif siswa, (3)

hasil penelitian yang

hasil-hasil penelitian yang

Studi deskriptif –

mendukung. (4)

relevan, (4) karakteristik

kualitatif Tingkat perkembangan

siswa, dan (5) analisis materi

berpikir siswa SD. (5) Materi yang efektif mendorong berpikir kreatif.

2. Desain

• Menyusun garis-garis

Studi deskriptif

(1) Rancangan unsur-

besar unsur-unsur model

(buku, jurnal,

unsur model

pembelajaran yang terdiri

internet, hasil

pembelajaran yang

dari (a) sintaks, (b) sistem

penelitian

terdiri dari (a)

sosial, (c) prinsip reaksi,

sebelumnya )

sintaks, (b) sistem

(d) sistem pendukung, dan

sosial, (c) prinsip

(e) dampak instruksional

reaksi, (d) sistem

dan pengiring.

pendukung, dan (e)

• Menyusun garis besar

dampak instruksional

landasan teoritis model

dan pengiring.

• Menyusun petunjuk

(2) Landasan teoritis

pelaksanaan model

model pembelajaran.

pembelajaran.

(3) Petunjuk pelaksanaan model

pembelajaran.

3. Realisasi

• Mengembangkan draf

Studi Analisis

Prototipe awal

(prototipe awal) model

Teoritis

(draf) paket model

pembelajaran dan

(Hasil tahap desain

pembelajaran.

perangkat pembelajaran

butir 2)

(buku siswa, LKS, buku

Panel group

panduan guru, dan

Discussion

penilaian)

(peneliti dan guru)

4. Pengujian, • Menguji kebenaran

II Evaluasi,

Focus group

Prototipe paket

konsep, kesesuaian strategi

Discussion

model

dan revisi (guru dan ahli) pembelajaran yang

pembelajaran, dan

keterbacaan perangkat

valid (isi dan

• konstruk).

pembelajaran.

Studi eksperimen

Menyempurnakan model

(1 kelas

dan perangkat berdasar

eksperimen)

validasi ahli maupun guru.

II Implementasi

5. • Mengevaluasi keefektifan

Colaborative

Prototipe final

model dan perangkat

Action Research

paket model

(satu kelas pada 3

pembelajaran yang

sekolah yang

valid, praktis, dan

berbeda).

efektif.

B. Instrumen Penelitian Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini (pada tahun pertama) adalah: