Diskresi Dalam Perspektif Hukum Administ (1)

DISKRESI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI
NEGARA

A. Pendahuluan
Negara Indonesia adalah sebuah negara yang menjunjung tinggi
supremasi hukum. Sebagai sebuah negara hukum, Indonesia mempunyai
konstitusi yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang telah mengalami perubahan hingga empat kali karena suatu
pergolakan besar yaitu reformasi. Konstitusi kita selalu melihat pada
pembukaannya, yang di dalamnya mengandung tujuan negara. Prof. Sudikno
berkata bahwa hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sarana atau alat
untuk mencapai tujuan yang sifatnya non-yuridis dan berkembang karena
rangsangan dari luar hukum. Faktor-faktor di luar hukum itulah yang membuat
hukum itu dinamis1.
Berbicara hukum, kita juga tidak dapat mengabaikan kekuasaan,
karena hukum itu adalah suatu produk dari kekuasaan. Penguasa yang baik
dan berkualitas tentu akan melahirkan produk hukum yang baik dan berkulitas
pula, begitu pula sebaliknya, penguasa yang korup dan buruk, maka akan
menghasilkan hukum yang korup pula.
Seperti kata Prof. Sudikno tadi bahwa ‘hukum adalah suatu alat untuk
mencapai tujuan’, maka hukum pun dapat diciptakan untuk membuat sesuatu

yang buruk menjadi legal karena ada hukum yang memperbolehkan padahal
dari kacamata keadilan, hal tersebut jauh dari kata adil.
Dalam usaha untuk mencapai kesejahteraan, ketertiban atau upaya
menyelamatkan bangsa seringkali penguasa atau pengambil keputusan

1

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
2005. hal 40

mengambil langkah-langkah yang bertentangan dengan hukum. Misalnya
saja yang terjadi pada masa lalu yang kita kenal dengan sebutan Petrus atau
Penembak Misterius dimana pada masa itu para preman ditembak satu
persatu oleh orang misterius yang ternyata diketahui adalah bagian dari
upaya kepolisian untuk meningkatkan rasa keamanan warga.
Dari sisi hukum hukum, jelas apa yang dilakukan pihak kepolisian
tersebut

merupakan


tindakan

yang

sewenang-wenang,

tapi

ternyata

dampaknya dirasakan masyarakat. Masyarakat mulai merasa aman, tingkat
kriminalitas menurun. Itu adalah salah satu contoh dari tindakan aparat yang
berwenang dalam menggunakan asas diskresi.
Saat ini dikenal istilah diskresi atau kewenangan aparat birokrasi
untuk menentukan keputusan diluar dari aturan baku yang ada, seringkali
menjadi solusi alternatif dalam merespon kondisi dalam pelayanan publik,
namun juga memiliki implikasi adanya penyimpangan kewenangan (abuse of
power) jika diskresi yang dimilikinya tidak diiringi dengan adanya etika dan
akuntabilitas.
Namun karena kompleksnya persoalan seputar pemerintahan, saat

ini kewenangan berupa diskresi tersebut seringkali menjadi tututan oleh
pemerintah daerah. namun disisi lain, terkadang diskresi yang dilakukan
tingkat pemerintah daerah kemudian bermasalah pada sisi hukum. Maka
tidak hal ini berimplikasi dengan adanya keragu-raguan kepala daerah untuk
segera menggunakan kewenangan diskresi yang dimilikinya, sebagai upaya
pemenuhan layanan yang merupakan tuntutan masyarakatnya.
Diskresi yang dimiliki oleh seorang kepala daerah untuk menentukan
keputusan didaerahnya, yang mana keputusan itu mendesak untuk dilakukan
seringkali tidak dilakukan oleh kepala daerah bersangkutan. Disinyalir bahwa
belum adanya payung hukum mengenai diskresi kepala daerah tersebut,

ditakutkan oleh kepala daerah jika itu dilakukan maka akan berhadapan
dengan aturan hukum yang berlaku. Disamping itu juga, karena kekhawatiran
tersebut menjadikan kepala daerah cenderung mengikuti pada aturan yang
baku, sehingga daerah seringkali dikatakan kurang responsif, tidak inovatif
dan tidak efektif efisien terutama hal ini dalam pelayanan publik di daerah.
Dalam artikel ini kemudian akan lebih melihat bagaimana perspektif
kebijakan diskresi dari sudut pandang hukum administrasi negara, serta
kondisi


peluang

dan

tantangan

diskresi

pemerintah

daerah

praktek

pemerintahan saat ini.
B. Pembahasan
A. Pengertian Asas Diskresi atau Freies Ermessen
Pemerintah dalam mengguhnakan wewenang publik wajib mengikuti aturanaturan hukum administrasi negara agar tidak terjadi penyalahgunaan
wewenang.2 Keputusan-keputusan tersebut terikat pada tiga asas hukum
yakni rechtmatigheid, wetmatigheid, dan discretie atau freis ermessen.3

Freies Ermessen berasal dari kata fres yang artinya bebas, lepas, tidak
terikat,

dan

merdeka,

mempertimbangkan,

sementara

menilai,

itu

menduga,

ermessen
dan


diartikan

memperkirakan.

sebagai
Freies

Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga,
dan mempertimbangkan sesuatu. Sedangkan Nata Saputra mengartikan
Freies Ermessen sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada alat
administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat
administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan dari
pada berpegang teguh kepada ketentuan hukum. 4Dengan kata lain Freies
Ermessen adalah kebebasan bertindak dari pejabat Negara tanpa harus
2

Prof. Dr. Mr. Prajudi Atmo Sudirdjo, Hukum Administrasi Negara, 1983, Ghalia
Indonesia, Jakarta. Halaman 84
3
Ibid. halaman 85

4
Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, 1988, Rajawali, Jakarta.Halaman 15

terikat kepada undang-undang. Namun kebebasan ini harus berdasarkan
hukum. Ada juga yang mengatakan bahwa Freies Ermessen sama dengan
diskresi, yaitu kebebasan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama
dalam menyelesaikan persoalan yang memerlukan penanganan segera tetapi
peraturan untuk penyelesaian persoalan itu belum ada karena belum dibuat
oleh badan yang diserahi tugas legislatif.
Freies Ermessen (Jerman), pouvoir discretionnaire (Perancis) ,
discretionary power (Inggris) atau diskresi menurut Kuntjoro Purbopranoto
(1981) adalah kebebasan bertindak yang diberikan kepada pemerintah dalam
menghadapi situasi yang konkrit (kasustis). Dalam pandangan Kuntjoro, freies
ermessen harus didasarkan pada asas yang lebih luas yaitu asas
kebijaksanaan, yang menghendaki bahwa pemerintah dalam segala tindak
tanduknya itu harus berpandangan luas dan selalu dapat menghubungkan
dalam menghadapi tugasnya itu gejala-gejala masyarakat yang harus
dihadapinya, serta pandai memperhitungkan lingkungan akibat-akibat tindak
pemerintahannya itu dengan penglihatan yang jauh ke depan.Sedangkan
menurut SF. Marbun dan Ridwan dalam makalahnya berjudul “Tinjauan

Umum Atas RUU Administrasi Pemerintahan” (2005) menyatakan diskresi
merupakan kewenangan bebas (vrije bevoegheid) yang melekat pada
pemerintah atau administrasi negara. Diskresi muncul secara insidental,
terutama ketika peraturan perundang-undangan belum ada/ mengatur atau
rumusan peraturan tertentu bersifat multitafsir atau bersifat samar, dan
diskresi tidak dapat diprediksi sebelumnya. 5
2. Diskresi Dalam Pelaksanaan Pemerintahan

5

http://www.pikiran-rakyat.com/node/232214

Pada tataran pemerintah daerah, saat ini pengertian mengenai diskresi
sebenarnya sudah tertuang dalam UU Administrasi Pemerintahan Tahun
2014, yakni keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal peraturan perundang-undangan
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau
adanya stagnasi pemerintahan.
Namun disisi lain, kondisi yang ada bahwa kepala daerah dinilai

kurang responsif dalam berinovasi. Hal ini diakibatkan rendahnya kepastian
dalam penegakan hukum, sehingga banyak kepala daerah ketakutan dalam
penggunaan kebijakan diskresi yang sangat rentan menyeret kepala daerah
atau pejabat daerah kedalam tindak pidana penyalahgunaan kewenangan
atau kekuasaan yang dimilikinya.
Menurut Isran Noor (2012) Rendahnya perlindungan hukum atas
inovasi atau kebijakan diskresi kepala daerah ini berimplikasi pada banyaknya
penyelenggara pemerintahan yang mengambil sifat pasif dan kurang
responsif terhadap pemenuhan kepentingan publik (http://www.pikiranrakyat.com/node/232214, diakses 20 mei 2013) 5. Hal ini menjelaskan
bahwa, adanya kecenderungan bahwa terdapat keraguan dari para kepala
daerah dalam menjalankan haknya dalam diskresi, sekalipun itu kemudian
berakibat baik untuk daerah.
Akan tetapi, sejumlah kekhawatiran mengenai adanya diskresi di
daerah ini terhadap proses pelayanan publik masih saja terus dicemaskan.
Disatu sisi diskresi dapat menjadi jawaban terhadap adanya pelayanan publik
yang stagnan, kaku, terlalu birokratis dan sejumlah patologi birokrasi lainnya.
Namun disisi lain, juga penggunaan diskresi ini akan menyebabkan adanya
penyalahgunaan kewenangan, perilaku korupsi, dan penyimpangan lainnya

jika diskresi tersebut tidak dikawal dengan mekanisme akuntabilitas

pemerintah daerah.
Sehingga jika kemudian kewenangan diskresi ini tidak dilakukan
mekanisme pengawasan atau kontrol terhadap akuntabilitasnya, maka hal ini
akan diperhadapkan berbagai masalah struktural maupun hukum. Dimana
diskresi yang dilakukan bisa saja menjadi bumerang bagi kepala daerah
dalam sejumlah kasus korupsi. Menurut Mendagri Gawaman Fauzi,
mengatakan diskresi itu ada batasannya dan diatur agar apa yang
dikhawatirkan tidak terjadi. Ada beberapa syarat, termasuk (melakukan
inovasi) tidak melanggar hukum, Sejumlah kekhawatiran yang muncul dengan
diaturnya

hak

diskresi

tersebut,

antara

lain


kepala

daerah

dapat

menyalahgunakan wewenang dan jabatan untuk kepentingan pribadi.
Penyalahgunaan kewenangan dan korupsi adalah hal yang paling
krusial terhadap implikasi negatif diskresi, apalagi dengan adanya payung
hukum mengenai diskresi pemerintah daerah dalam pelayanan publik
tersebut. Gawaman Fauzi mengungkapkan modus baru korupsi yang sering
menjadi batu sandungan bagi kepala daerah seperti menahan setoran pajak
ke pusat dengan menyimpannya di rekening pribadi. Juga, modus meminjam
dari kas daerah, mark-up maupun cash back dari rekanan proyek
(http://www.kemendagri.go.id, diakses 21 mei 2013).
Tantangannya kemudian adalah bagaimana melihat diskresi tersebut
dalam kerangka akuntabilitas pemerintah daerah. hubungan antara diskresi
pemerintah daerah dan kaitanya dengan akuntabilitas pemerintah memang
cukup kompleks. Namun menarik melihat kondisi yang menggambarkan
keterkaitan antara diskresi pemerintah daerah dan akuntabilitas, yang
dikemukakan Yilmaz, Serdar., Yakup Beris and Rodrigo Serrano Berthet
(2010; 259-293), dalam Development Policy Review dengan artikelnya

berjudul Linking Local Government Discretion and Accountability in
Decentralisation. Mengemukakan 3 dimensi yang akan mempengaruhi bentuk
akuntabilitas terkait diskresi yang dimiliki pemerintah daerah, yaitu :
a. Diskresi Politik Lokal, yang mengemukakan pandangan bahwa untuk
menciptakan kondisi diskresi yang akuntabel dari pemerintah daerah
harus memperhatikan beberapa hal yakni bagaimana pembagian
kekuasaan eksekutif dan legislatif, model pemilihan umum di tingkat
daerah untuk memilih pemimpin, dan fungsi partai politik di daerah.
disisi lain juga penguatan dilakukan dengan membatasi masa jabatan
pemimpin untuk menghindari budaya patronase politik dan membentuk
kontrol publik terhadap kinerja pemerintah daerah.
b. Diskresi Administratif, disisi desentralisasi administrasi
diperhatikan

hal

menyangkut

aparatur

pemerintah

dalam

perlu
hal

kemampuan mengatur, diskresi untuk mengelola pelayanan, diskresi
dalam pelayanan publik dan pengaturan kebijakan. Dan untuk
melakukan penguatan terhadap kondisi ini adalah memuat struktur
kontrol publik sehingga lebih melembaga dan adanya informasi
pelayanan yang bisa diakses oleh masyarakat.
c. Diskresi Fiskal (Keuangan), dalam diskresi pada posisi ini menyangkut
bagaimana pemerintah daerah mengatur pengeluaran, mengatur
pendapatan daerah, mengelola fiscal gap antar daerah,

dan

Infrastruktur keuangan daerah. disamping itu untuk memperkuat hal ini
maka perlu diperhatikan adanya manajemen yang efektif dan efisien
dan juga keterbukaan informasi terhadap akuntabilitas penggunaan
anggaran.
Seperti yang dikemukakan diatas bahwa tantangannya kemudian
dalam penerapan diskresi di daerah, hal tersebut kemudian menyangkut

kapasitas yang dimiliki kepala daerah. Sekalipun kemudian banyak implikasi
negatif yang hadir dengan adanya diskresi tersebut sudah selayaknya bahwa
diskresi kemudian tidak meninggalkan ranah akuntabilitas. Diskresi yang
disesuaikan dengan jalur hukum yang berlaku dan mengusahakan bagi
kebaikan dalam pelaksanaan pelayanan publik didaerah, maka kedepan
diskresi bisa menjadi solusi dalam permasalah pelayanan publik yang saat ini
dinilai tidak responsif dan tidak inovatif.
Disisi lain, Diskresi yang dimiliki Kepala Daerah jangan dijadikan
sebagai peluang para pejabat jadi kebal hukum. Agar jelas dan tegas, serta
tidak membuat peluang multi-tafsir, RUU Pemda harus mengatur jelas soal
diskresi ini. Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek,
mengatakan dengan diskresi tersebut diharapkan dapat melindungi kepala
daerah yang kreatif menerobos aturan perundangan, namun tak sampai bikin
negara rugi (Koran Rakyat Merdeka, Edisi Minggu, 19 Mei 2013 dalam
Koranmedia_online.com).
Untuk

itu,

Kepala

daerah

dalam

mengambil

kebijakan

untuk

melaksanakan urusan pemerintahan yang didesentralisasikan kepadanya,
diperlukan adanya pengaturan diskresi kepala daerah agar penyelenggaraan
pemerintahan daerah dapat berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan,
pada saat kepala daerah menemukan adanya regulasi, norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang tidak jelas, kabur, multi-tafsir, atau bahkan tidak
ada ketentuannya.
Sejalan dengan itu oleh Direktur Eksekutif Pusat Telaah dan Informasi
Regional (PATTIRO) Sad Dian Utomo, mengatakan pengaturan tentang
diskresi kepala daerah ini mesti melibatkan beberapa ketentuan, diantaranya

adalah Pengertian, definisi, atas diskresi kepala daerah menegaskan adanya
ruang lingkup atau batas-batas wilayah dimana kebijakan kepala daerah yang
bersifat diskresi dapat dirumuskan, ditetapkan, dan dijalankan. Dengan
demikian, tidak membuka adanya upaya diskresi diluar ruang lingkup yang
ditentukan (http://pattiro.org/?p=1933, diakses 21 mei 2013).
Sejumlah kekhawatiran dalam penerapan diskresi ini bagi kepala
daerah

memang

cukup

banyak,

sekalipun

kemudian

alasan

untuk

memberikan ruang kreatifitas dan inovasi dari pemerintah daerah dalam
pelayanan publiknya didaerah, selama hal itu tidak bertentangan dengan
aturan hukum yang berlaku. Hanya saja, jika kemudian diskresi ini cenderung
digunakan untuk hal-hal yang merugikan negara, maka kecenderungan
diskresi ini akan merugikan negara bahkan bisa menjerat kepala daerah
dalam praktek korupsi.
Untuk itu, pengaturan mengenai hak diskresi ini perlu diperhatikan
dengan cermat. Sehingga dalam pelaksanaannya kemudian dapat digunakan
kepada daerah sebagai ivovasi dalam pemerintah daerah. Mendagri
Gamawan Fauzi mengatakan, dikresi itu ada batasannya dan diatur agar apa
yang dikeluarkan tidak terjadi. Ada beberapa syarat, termasuk (melakukan
inovasi) tidak melanggar hukum. Hal ini untuk menjawab, Sejumlah
kekhawatiran yang muncul dengan diaturnya hak diskresi itu, antara lain
kepala daerah dapat menyalahgunakan wewenang dan jabatan untuk
kepentingan pribadi.
Ditambahkan pula, Pada Pasal 269 RUU Pemda, yang saat ini masih
dibahas di DPR, disebutkan bahwa dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah
menjadi kebijakan pemda dan inovasi tidak mencapai sasaran yang telah

ditetapkan, aparatur daerah tidak dapat dipidana. Namun sejumlah pihak
mengatakan, klausul itu bisa diasumsikan bahwa kepala daerah dapat kebal
terhadap hukum dan bisa berlindung di balik alasan inovasi atas perbuatan
korupsi. Selain itu, pasal itu bisa digunakan sebagai upaya berlindung dari
hukum bagi para kepala daerah (Koran Rakyat Merdeka, Edisi Minggu, 19
Mei 2013/Koranmedia_online.com).
Dengan melihat realitas tersebut diatas, dapat ditarik benang merah
bahwa peluang dan tantangan diskresi berada pada kepala daerah, dalam hal
ini kemudian bagaimana penafsiran kepala daerah terhadap kewenangan
diskresi yang dimilikinya melakukan inovasi dalam pelayanan publik
didaerahnya. Kecenderungan ini lahir karena banyaknya persoalan yang
muncul dari salah tafsirnya regulasi yang dibuat, terutama dalam mendukung
inovasi dan kreatifitas kepala daerah dalam menjalankan pemerintahannya.
Kondisi ini juga perlu didukung dengan regulasi yang jelas, jika kemudian
diskresi tersebut dilaksanakan didaerah sebagai upaya mengakomodasi
kreatifitas kepala daerah dalam melakukan inovasi dan tidak melanggar
aturan yang ada.
3. Pembatasan Diskresi
Diskresi ibarat dua buah mata pedang yang mempunyai dua akibat
yang baik maupun yang buruk jika di gunakan. Diskresi di satu sisi
menimbulkan kesewenang-wenangan tapi di sisi lain jika diskresi tidak
dilakukan maka dikhawatirkan tujuan pembangunan nasional akan sulit
dilaksankan. Sehingga asas ini ketika berlaku dapat dikatakan dilematis
mengingat dua akibat yang dapat timbul tersebut.

Dalam politik hukum asas diskresi ini harus dibatasi. Dalam
perkuliahan Politik Hukum, Prof. Muchsan menjelaskan ada 4 pembatasan
asas diskresi ini:
1. Asas Diskresi dapat diberlakukan jika pada saat itu terjadi kekosongan hukum
(rechtvakum). Apabila terjadi kekosongan hukum dan tidak segera diambil
sebuah tindakan dari aparat yang berwenang, maka dapat berpotensi
menimbulkan keadaan yang anarkis.
2. Ada kebebasan penafsiran/interpretasi. Apabila hal ini terjadi maka aparat
dapat melakukan diskresi karena merujuk pada peraturan yang mana dapat
ditafsirkan berbeda-beda(multi-tafsir).
3. Ada delegasi perundang-undangan

(delegatie

van

wetgeving)

demi

pemenuhan kepentingan umum.
Pembatasan yang terakhir yaitu demi kepentingan umum pun
berpotensi untuk disalahgunakan. Aparat bisa saja melakukan kesewenangan
dengan

dalih

kepentingan

umum.

Maka

dari

itu

Prof.

Muchsan

mengemukakan pendapat bahwa apa yang disebut kepentingan umum yaitu
kepentingan umum berupa proyek pembangunan dan juga kepentingan
umum yang berupa proyek tersebut mempunyai 3 syarat yaitu kepentingan
umum dilaksanakan oleh pemerintah, kepentingan umum digunakan oleh
rakyat, dan kepentingan umum tidak berorientasi pada keuntungan(non-profit
oriented).6
Selain itu terdapat beberapa alasan terjadinya diskresi yaitu:
1.
Mendesak dan alasannya mendasar serta dibenarkan motif
2.

perbuatannya;
Peraturan perundang-undangan

yang

dilanggar

dalam

menetapkan kebijaksanaan diskresi, khusus untuk kepentingan
umum, bencana alam dan keadaan darurat, yang penetapannya
dapat dipertanggung jawabkan secara hukum;
6

Muchsan, Perkuliahan “Politik Hukum”, 2012, Magister Hukum, UGM

3.

Untuk lebih cepat, efisien, dan efektif dalam mencapai tujuan
yang

diamanatkan

UUD

1945

dan

Undang-undang,

penyelenggaraan pemerintahan Negara, dan untuk keadilan
serta kesejahteraan masyarakat.
Menurut Prof. Muchsan didalam membuat suatu produk hukum aparat
yang berwenang dapat menggunakan dua (2) dasar untuk mengukur produk
hukum itu benar atau tidak, yaitu :
1.

Wetmatig ( dasar hukum positif ), ini merupakan dasar yang ideal,
karena produk hukum yang akan dibuat oleh aparat yang
berwenang merupakan produk hukum yang berpatokan atau
berlandaskan peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi

2.

secara hirarki peraturan perundangan.
Doelmatig ( kebijakan / kearifan lokal )ialah produk hukum yang
dibuat tanpa adanya landasan hukum peraturan perundang –
undangan yang lebih tinggi secara hirarki peraturan perundangan.

Maka konsekuensinya, jika produk hukum itu berupa wetmatig, maka
harus melihat dasar hukumnya. Tetapi jika produk hukum tersebut berupa
doelmatigharus melihat unsur-unsur dariAlgemene Beginselen Van Behoolijk
Bestuur / The Principle Of Good Public Administration atau disebut Asas –
Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.7
Dalam perkuliahannya Prof. Muchsan menjelaskan ada 5 butir asasasas umum pemerintahan yang baik:

7

Muchsan, Perkuliahan “Politik Hukum”, 2012, Magister Hukum, UGM

1.

Asas Kepastian Hukum, asas ini menghendaki agar aparat yang
berwenang membuat keputusan yang sama terhadap kasus yang

2.

kondisinya sama.
Asas Permainan yang Layak, agar pemerintah dalam membuat
produk hukum, memberikan informasi yang seluas-luasnya

3.

kepada pihak terkait.
Asas Kecermatan, agar aparat pemerintah dalam membuat
hukum memperhatikan semua gejala/fenomena yang terkait
sehingga

produk

hukumnya

bersifat

dinamis.

Minimal

memperhatikan 3 norma yaitu norma agama, norma etika, dan
4.

norma hukum.
Asas Keseimbangan, agar aparat pemerintah dalam membuat
produk hukum menyeimbangkan antara hukum dan kewajiban

5.

pihak yang terkait.
Asas Ketepatan Dalam Menentukan Sasaran, agar dalam
membuat suatu produk hukum harus memperhatikan semua

gejala sosial dan segala aspek di masyarakat.
3. Penggunaan Diskresi Dalam Kebijakan Pemerintahan
Dalam prakteknya, tak jarang penggunaan diskresi ini melahirkan
ekses yang tidak sedikit baik bagi organisasi pemerintahan maupun pejabat
yang

melakukan

kebijakan

dikresi.

Konsekwensi-konsekwensi

yang

ditimbulkan juga tak sedikit, termasuk konsekwensi hukum.
Dalam Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan (AP) yang
disahkan DPR RI tanggal 26 September 2014 persoalan diskresi ini pada
dasarnya telah diatur dalam peraturan perundangan tersebut, untuk
menghindari peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat
pemerintah.
Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (PANRB) Eko Prasojo mengatakan, dalam praktek di lingkungan

pejabat pemerintah, pemahaman diskresi sebagai kewenangan bebas (fries
ermessen). Kewenangan bebas itu juga dipahami menurut pendapat sendiri
(subyektif).
Dikatakan, diksresi pada dasarnya dipahami sebagai pertimbangan
dan dibuat atas dasar amanat undang-undang dalam bentuk kata ‘dapat’,
atau ‘boleh.

Pejabat Pemerintah,lanjutnya, dalam membuat keputusan

diskresi berpedoman pada petunjuk teknis atas peraturan pelaksanaan terkait
dengan pasal dalam peraturan perundangan.
Lahirnya Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan yang
mengatur penggunaan diskresi oleh pejabat pemerintahan akan menjadi
pedoman dalam pengambilan keputusan. Diskresi tidak didasarkan pada
kebebasan bertindak. Diskresi wajib didasarkan pada hukum iktikad baik dan
ditetapkan oleh pejabat yang memiliki kewenangan untuk menetapkan
keputusan dan atau tindakan pemerintah.
Sebagai contoh digambarkan, seorang polisi lalu lintas dapat
melakukan melakukan diskresi dalam pengaturan lalu lintas di perempatan
yang sudah ada traffic light. Dia bisa menahan kendaraan untuk tidak
berjalan, meski lampu hijau sudah menyala. Polisi lalu lintas juga bisa
memerintahkan kendaraan untuk berjalan, meski saat itu lampu merah
menyala. Tapi semua itu dilakukan dengan berbagai pertimbangan untuk
kepentingan umum, bukan semaunya sendiri.
Urgensi terkait UU Administrasi Pemerintahan

tak lepas dari

ketimpangan hukum materiil, kekosongan hukum, termasuk hukum yang
mengatur sumber kewenangan atribusi, delegasi, dan mandat. Sejak tahun
1986 Indonesia telahmemiliki UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) sebagai hukum formal. UU ini kemudian disempurnakan tahun 2004
dan 2009. Di sini ada ketimpangan hukum, karena putusan hakim tidak

didasarkan pada hukum materiil yang diaturter sendiri dalamUndangUndang. Dengan UU Administrasi Pemerintahan, kelak penyelesaian gugatan
lebih mendahulukan hukum administrasi, sebelum dibawa keranah pidana.
Bukan itu saja, kehadiran UU Administrasi Pemerintahan juga mengisi
kekosongan hukum. UU ini menjadi instrument standardisasi administrasi
negara, dan kodifikasi (pengaturan) undang-undang tunggal sebagai payung
yang member pedoman di semuasektorpemerintahan.

Lebih dari itu, UU ini

mengatur syarat sahnya keputusan pemerintahan. Selain dibuat oleh pejabat
yang

berwenang, keputusan pemerintahan juga harus sesuai standar

prosedur, dan substansi juga harus sesuai dengan obyek keputusan.
C. Penutup
Berdasarkan

uraian

pembahasan

diatas,

maka

dapat

diambil

kesimpulan terhadap penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk
hukum di Indonesia, yaitu pada dasarnya diskresi muncul karena adanya
tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari faham
negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk
negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945.
Dalam paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan
secara tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan
bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiaban memperhatikan dan
memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya.
Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan
mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service)
yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk
mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan
perundang-undangan (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya

keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah)
suatu kebebasan bertindak yang seringkali disebut fries ermessen ataupun
pouvoir discretionnaire.
Kebebasan bertindak sudah tentu berpeluang lebih besar untuk
menimbulkan kerugian kepada warga masyarakat karena berpotensi untuk
disalah gunakan. Oleh karena itu terhadap diskresi perlu ditetapkan adanya
batas toleransi. Batasan toleransi dari diskresi ini dapat disimpulkan dari
pemahaman yang diberikan oleh Prof. Muchsan, S.H.,yaitu : Diskresi bisa
digunakan apabila terjadi kekosongan hukum, adanya kebebasan penafsiran /
intrepretasi, diskresi bisa digunakan apabila ada delegasi perundang –
undangan (delegatie van wetgeving), dan diskresi bisa digunakan demi
pemenuhan

kepentingan

umum.

Penggunaan

asas

memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

diskresi

harus

Daftar Pustaka
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta
Prof. Dr. Mr. Prajudi Atmo Sudirdjo, Hukum Administrasi Negara, 1983, Ghalia
Indonesia, Jakarta
Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, 1988, Rajawali, Jakarta
http://www.miftakhulhuda.com/2010/09/freies-ermessen.html
www.menpan.go.id,(tanggal akses 29 April 2015)