Budaya Unggah Ungguh dalam Masyarakat Ja
Budaya Unggah-Ungguh dalam Masyarakat
Jawa, Sebagai Salah Satu Stretegi
Pembangunan Nasional
Oleh:
Mohammad Sahlan
Esa – 56
Tulisan ini merupakan sebuah pengantar tentang budaya unggahungguh dalam masyarakat Jawa yang dapat diambil sebagai salah satu
strategi pembangunan nasional. Budaya unggah-ungguh dalam
masyarakat Jawa sendiri telah banyak dilupakan oleh para kawula
muda Jawa, sehingga sangat penting dilakukan beberapa tindakan
untuk melestarikan budaya luhur tersebut, dan dapat dimanfaatkan
untuk perdamaian dan kerukunan Indonesia, demi suksesnya
pembangunan nasional.
Diantara nilai budaya unggah-ungguh dalam masyarakat Jawa adalah
sikap saling menghormati, menghargai, sopan santun dalam berbicara
dan bersikap, dan kebijaksanaan bertindak terhadap orang lain.
Paragraf bagian awal-awal berisi tentang latar belakang masalah di
Indonesia, dilanjut pada paragraf pertengahan berisi tentang
bagaimana budaya unggah-ungguh, dan paragraf-paragraf terakhir
berisi tentang konstekstualiasi budaya unggah-ungguh terhadap
pembangunan nasional Indonesia.
Essay terdiri 4 halaman.
Budaya Unggah-Ungguh dalam Masyarakat Jawa Sebagai Salah Satu Stretegi
Pembangunan Nasional
Era globalisasi saat ini tidak dapat dihindari oleh semua negara-negara di dunia, salah
satunya Indonesia. Pada tahun 2016 mendatang, negara-negara yang tergabung dalam MEA
(Masyarakat Ekonomi ASEAN) akan saling bersaing dalam semua bidang pendidikan, budaya
hingga ekonomi. Bangsa Indonesia sampai saat ini masih belum maksimal untuk melakukan
program-program yang mengarah dalam mempersiapkan masyarakatnya menuju MEA. Jika
dilihat secara perjanjian MEA sendiri, semua negara yang berada dalam lingkup ASEAN akan
bebas masuk dan melakukan kegiatan di negara yang tergabung dalam komunitas ini.
Kegagapan masyarakat Indonesia pastinya tidak diharapkan oleh pemerintah untuk
mengahadapi kondisi ini. Namun bagaimanapun juga setiap orang yang mengaku sebagai
warga negara Indonesia haruslah berusaha untuk mempersiapkan, meskipun hanya dengan
tindakan yang kecil.
Kondisi masyarakat Indonesia sampai saat ini yang sebentar lagi akan terintegrasikan
dengan MEA belum mengarah pada kerukunan yang mutlak dan masih dalam kondisi yang
rawan terhadap konflik-konflik sosial. Hal ini tidak dapat dihindari dan dilupakan oleh setiap
warga negara Indonesia, mengingat kondisi negara Indonesia adalah negara yang memiliki
masyarakat beragam suku, agama, ras, geografis dan budaya. Keberagaman ini dipandang
sebagai celah juga kekuatan yang dapat menjadi penyebab konflik sosial dalam masyarakat
atau menjadi pendukung kerukunan masyarakat. Selain itu perbedaan ini juga bisa menjadi
suatu penguat dari bangsa Indonesia, jika masyarakat Indonesia dapat berlaku bijak dan arif
dalam mengelola keberagaman tersebut.
Negara Indonesia merupakan negara multikultural dan dikenal juga sebagai bangsa
Timur yang menjunjung tinggi moralitas atau etika. Kemajemukan bangsa Indonesia bisa
dilihat dari banyaknya kebudayaan yang ada yang salah satunya berkembang di masyarakat
Jawa. Jika masuk ke dalam masyarakat Jawa zaman dulu akan jarang ditemui istilah unggahungguh dalam perbincangan masyarakat karna istilah itu masih sering diamalkan oleh
masyararakat. Namun pada zaman-zaman sekarang ini, istilah unggah-ungguh akan seringkali
didengarkan dalam perbincangan masyarakat, terutama perbincangan para guru, orang tua,
dan para orang-orang Jawa yang merasa sudah tidak dihormati oleh pemuda-pemuda Jawa.
Jika ditanyakan mengapa hal itu bisa terjadi, alasanya yang sering dilontarkan adalah karena
para kawula muda Jawa sudah kurang menjalankan norma dan nilai masyarakat terutama
unggah ungguh tersebut. Sebenarnya apa maksud dari unggah-ungguh itu sendiri?
Istilah unggah-ungguh dalam Bausastra Jawa, Poerwadarminta (1939) mempunyai arti
tata aturan berbahasa yang sesuai dengan tata norma nilai masyarakat (Jawa). Dikuatkan juga
oleh Mangunsuwito (2002), unggah-ungguh yaitu sopan santun atau tata krama. Dengan
demikian bisa dirangkaikan bahwa unggah-ungguh merupakan tata aturan, tata krama, sopan
santun yang sesuai dengan nilai dan norma masyarakat Jawa. Sesuai dengan kasus yang
dijelaskan di atas, inti dan pokok dari unggah-ungguh adalah bagaimana seseorang bertindak
sopan, menghormati, bertindak sesuai, berperilaku yang semestinya (baik), menghargai, dan
juga berbahasa yang sesuai dengan nilai dan norma masyarakat yang berlaku.
Dalam norma masyarakat Jawa unggah-ungguh umumnya dilakukan oleh orang yang
memiliki status lebih rendah ke status sosial yang lebih tinggi. Akan tetapi dalam konsep
norma masyarakat Jawa yang baik, budaya unggah-ungguh diberikan dan dilakukan oleh dan
kepada semua status sosial masyarakat dan tidak memandang status sosial yang dimiliki.
Perbedaan dalam penerapan unggah-ungguh ini adalah dalam bidang penerapan, yaitu
perbedaan bahasa yang dituturkan oleh orang tua kepada orang muda, perbedaan perlakuan
praktis mencium tangan yang dilakukan anak muda kepada orang yang lebih tua, dan inti dari
semua perlakuan itu adalah bagaimana memperlakukan orang lain dengan lemah lembut dan
baik meskipun penerapan praktisnya berbeda.
Budaya unggah-ungguh selain dalam arti berlaku sopan juga berlaku saling
menghargai dan menghormati orang lain. Masyarakat Jawa tidak akan berbicara sendiri ketika
sedang dalam forum dengan raja, kiyai, tokoh-tokoh masyarakat lainya, ataupun hanya dalam
bertamu. Hal ini pernah terjadi pada pengalaman pribadi penulis, yaitu pada suatu ketika
penulis masih kelas SMP (Sekolah Menengah Pertama) diajak bertamu kepada sanak saudara,
penulis ingin mengajak pulang ibu, namun dia langsung mencubit dan memarahi penulis
karena forum pembicaraan orang tua dan tamu lainya masih terlaksana. Dalam kejadian itu
terlihat bahwa seorang orang tua Jawa akan memberi teguran kepada anaknya ketika tidak
memiliki unggah-ungguh dalam bertamu di masyarakat. Dan kasus-kasus yang hampir serupa
masih banyak dan belum bisa dipaparkan ditulisan ini.
Sebagaimana kasus pertama tentang unggah-ungguh yang dipaparkan di paragraf
sebelumnya, kondisi moral dan etika kaum remaja masyarakat Jawa mengalami penurunan.
Masyarakat Jawa yang sebelumnya telah mengamalkan sikap perilaku unggah-ungguh
terhadap semua orang, pada saat ini kurang dijalankan lagi oleh para remaja. Mereka para
remaja1 sudah tidak bisa menggunakan bahasa Jawa yang halus, tidak bisa bersikap unggahungguh terhadap orang lain dan yang paling fatal adalah kepada orang yang lebih tua. Para
orang tua Jawa yang mendapatkan perlakuan tidak di-unggah-ungguh tadi akan sering
mengungkapkan pernyataan “Cah saiki wes padha ora due unggah-ungguh karo wong tuo” ,
atau “Orang muda jaman sekarang sudah tidak lagi mempunyai sopan santun, unggahungguh, terhadap orang tua. Hal ini menjadi “catatan besar” bagi kaum muda Jawa akan
pentingnya unggah-ungguh.
Secara umum budaya unggah-ungguh menjadi suatu ciri khas dalam masyarakat
Indonesia, terutama Jawa. Di masyarakat Indonesia selain Jawa, mungkin mempunyai budaya
yang serupa dengan unggah-ungguh ini. Di masyarakat Sunda (misalnya) memiliki
kebudayaan bahasa tingkat tutur yang juga hampir mirip dengan bahasa Jawa. Sebutan
Indonesia sebagai bagian dari bangsa Timur memang benar demikian, karena dengan
banyaknya kebudayaan masyarakat yang menjunjung tinggi moral dan etika masyarakat.
Hubungan antara budaya unggah-ungguh ini dengan pembangunan nasional lantas
apa? Sesuai dengan penjelasan singkat di paragraf-paragraf sebelumnya bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat multikultural, memiliki beraneka budaya, agama, dan ras akan
dapat menimbulkan ketegangan sosial antar kelompok. Ketegangan antara masyarakat muslim
ambon dengan Kristen pada 1998 yang mengakibatkan banyak pertumbahan darah dan korban
merupakan bentuk ketidak siapan masyarakat dalam menghargai perbedaan (meskipun ada
faktor lain). Hal ini seharusnya ditanggulangi dengan pemanfaatan budaya-budaya lokal
Indonesia sendiri demi keberlangsungan kerukunan di Indonesia. Budaya Jawa unggahungguh yang merupakan budaya unggulan masyarakat Jawa dapat menjadi bahan pelajaran
dan pengkajian mendalam untuk pemahaman keberagaman di Indonesia. Masyarakat
Indonesia seharusnya memahami dan menjalankan prinsip berlaku sopan santun, berlaku
hormat, berlaku sesuai norma yang ada yang dalam masyarakat Jawa diistilahkan dengan
unggah-ungguh. Perilaku demikian akan mendorong kerukunan dan kedamaian bangsa
Indonesia, yang kemudian bangsa Indonesia akan lebih mudah dalam menyalurkan
pembangunan di setiap daerah dan tidak terganggu lagi tentang konflik-konflik sosial
masyarakat.
1 Fenomena ini umumnya terjadi pada remaja yang berada di masyarakat Jawa bagian
utara (sebagaimana pengalaman penulis), dan juga tidak menutup kemungkinan terjadi
pada semua remaja di daerah masyarakat Jawa, dikarenakan belum diadakan penelitian
yang lebih lanjut.
Pandangan lain yang mengatakan bahwa kebudayaan Jawa cenderung bersifat kolot
sebenarnya mereka hanya berpandangan pada sisi negatifnya saja. Budaya unggah-ungguh
misalnya jika dijalankan dengan baik, dan dilengkapi dengan ilmu pengetahuan yang semakin
maju, akan dapat saling melengkapi. Pengaruh kebudayaan Barat (westernisasi) tidak
mungkin ditelan mentah-mentah oleh masyarakat jika mereka masih mengamalkan budaya
unggah-ungguh. Mereka akan tetap berunggah-ungguh terhadap orang yang lebih tua, orang
lain, ilmu pengetahuan, bahkan alam. Unggah-ungguh terhadap alam akan dilakukan dengan
memanfaatkan alam dengan sebijak-bijaknya. Unggah-ungguh terhadap ilmu pengetahuan
juga demikian, yakni ilmu pengetahuan akan dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk
kepentingan bangsa dan masyarakat dunia. Kemudian dari penjelasan-penjelasan ini dapat
dipahami bahwa budaya unggah-ungguh dapat dijadikan rule model (teladan) bagi
masyarakat Indonesia, demi terwujudnya kerukunan dan kedamaian bangsa.
Sumber Ide dan Inspirasi:
Magnis Suseno SJ, Fanz. 1984. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia
Mulder, Niels. 1973. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Poerwadarminta, 1939. Bausastra Jawa.
Mangunsuwita, S.A. 2002. Kamus bahasa Jawa: Jawa-Indonesia. Yrama Widya.
Jawa, Sebagai Salah Satu Stretegi
Pembangunan Nasional
Oleh:
Mohammad Sahlan
Esa – 56
Tulisan ini merupakan sebuah pengantar tentang budaya unggahungguh dalam masyarakat Jawa yang dapat diambil sebagai salah satu
strategi pembangunan nasional. Budaya unggah-ungguh dalam
masyarakat Jawa sendiri telah banyak dilupakan oleh para kawula
muda Jawa, sehingga sangat penting dilakukan beberapa tindakan
untuk melestarikan budaya luhur tersebut, dan dapat dimanfaatkan
untuk perdamaian dan kerukunan Indonesia, demi suksesnya
pembangunan nasional.
Diantara nilai budaya unggah-ungguh dalam masyarakat Jawa adalah
sikap saling menghormati, menghargai, sopan santun dalam berbicara
dan bersikap, dan kebijaksanaan bertindak terhadap orang lain.
Paragraf bagian awal-awal berisi tentang latar belakang masalah di
Indonesia, dilanjut pada paragraf pertengahan berisi tentang
bagaimana budaya unggah-ungguh, dan paragraf-paragraf terakhir
berisi tentang konstekstualiasi budaya unggah-ungguh terhadap
pembangunan nasional Indonesia.
Essay terdiri 4 halaman.
Budaya Unggah-Ungguh dalam Masyarakat Jawa Sebagai Salah Satu Stretegi
Pembangunan Nasional
Era globalisasi saat ini tidak dapat dihindari oleh semua negara-negara di dunia, salah
satunya Indonesia. Pada tahun 2016 mendatang, negara-negara yang tergabung dalam MEA
(Masyarakat Ekonomi ASEAN) akan saling bersaing dalam semua bidang pendidikan, budaya
hingga ekonomi. Bangsa Indonesia sampai saat ini masih belum maksimal untuk melakukan
program-program yang mengarah dalam mempersiapkan masyarakatnya menuju MEA. Jika
dilihat secara perjanjian MEA sendiri, semua negara yang berada dalam lingkup ASEAN akan
bebas masuk dan melakukan kegiatan di negara yang tergabung dalam komunitas ini.
Kegagapan masyarakat Indonesia pastinya tidak diharapkan oleh pemerintah untuk
mengahadapi kondisi ini. Namun bagaimanapun juga setiap orang yang mengaku sebagai
warga negara Indonesia haruslah berusaha untuk mempersiapkan, meskipun hanya dengan
tindakan yang kecil.
Kondisi masyarakat Indonesia sampai saat ini yang sebentar lagi akan terintegrasikan
dengan MEA belum mengarah pada kerukunan yang mutlak dan masih dalam kondisi yang
rawan terhadap konflik-konflik sosial. Hal ini tidak dapat dihindari dan dilupakan oleh setiap
warga negara Indonesia, mengingat kondisi negara Indonesia adalah negara yang memiliki
masyarakat beragam suku, agama, ras, geografis dan budaya. Keberagaman ini dipandang
sebagai celah juga kekuatan yang dapat menjadi penyebab konflik sosial dalam masyarakat
atau menjadi pendukung kerukunan masyarakat. Selain itu perbedaan ini juga bisa menjadi
suatu penguat dari bangsa Indonesia, jika masyarakat Indonesia dapat berlaku bijak dan arif
dalam mengelola keberagaman tersebut.
Negara Indonesia merupakan negara multikultural dan dikenal juga sebagai bangsa
Timur yang menjunjung tinggi moralitas atau etika. Kemajemukan bangsa Indonesia bisa
dilihat dari banyaknya kebudayaan yang ada yang salah satunya berkembang di masyarakat
Jawa. Jika masuk ke dalam masyarakat Jawa zaman dulu akan jarang ditemui istilah unggahungguh dalam perbincangan masyarakat karna istilah itu masih sering diamalkan oleh
masyararakat. Namun pada zaman-zaman sekarang ini, istilah unggah-ungguh akan seringkali
didengarkan dalam perbincangan masyarakat, terutama perbincangan para guru, orang tua,
dan para orang-orang Jawa yang merasa sudah tidak dihormati oleh pemuda-pemuda Jawa.
Jika ditanyakan mengapa hal itu bisa terjadi, alasanya yang sering dilontarkan adalah karena
para kawula muda Jawa sudah kurang menjalankan norma dan nilai masyarakat terutama
unggah ungguh tersebut. Sebenarnya apa maksud dari unggah-ungguh itu sendiri?
Istilah unggah-ungguh dalam Bausastra Jawa, Poerwadarminta (1939) mempunyai arti
tata aturan berbahasa yang sesuai dengan tata norma nilai masyarakat (Jawa). Dikuatkan juga
oleh Mangunsuwito (2002), unggah-ungguh yaitu sopan santun atau tata krama. Dengan
demikian bisa dirangkaikan bahwa unggah-ungguh merupakan tata aturan, tata krama, sopan
santun yang sesuai dengan nilai dan norma masyarakat Jawa. Sesuai dengan kasus yang
dijelaskan di atas, inti dan pokok dari unggah-ungguh adalah bagaimana seseorang bertindak
sopan, menghormati, bertindak sesuai, berperilaku yang semestinya (baik), menghargai, dan
juga berbahasa yang sesuai dengan nilai dan norma masyarakat yang berlaku.
Dalam norma masyarakat Jawa unggah-ungguh umumnya dilakukan oleh orang yang
memiliki status lebih rendah ke status sosial yang lebih tinggi. Akan tetapi dalam konsep
norma masyarakat Jawa yang baik, budaya unggah-ungguh diberikan dan dilakukan oleh dan
kepada semua status sosial masyarakat dan tidak memandang status sosial yang dimiliki.
Perbedaan dalam penerapan unggah-ungguh ini adalah dalam bidang penerapan, yaitu
perbedaan bahasa yang dituturkan oleh orang tua kepada orang muda, perbedaan perlakuan
praktis mencium tangan yang dilakukan anak muda kepada orang yang lebih tua, dan inti dari
semua perlakuan itu adalah bagaimana memperlakukan orang lain dengan lemah lembut dan
baik meskipun penerapan praktisnya berbeda.
Budaya unggah-ungguh selain dalam arti berlaku sopan juga berlaku saling
menghargai dan menghormati orang lain. Masyarakat Jawa tidak akan berbicara sendiri ketika
sedang dalam forum dengan raja, kiyai, tokoh-tokoh masyarakat lainya, ataupun hanya dalam
bertamu. Hal ini pernah terjadi pada pengalaman pribadi penulis, yaitu pada suatu ketika
penulis masih kelas SMP (Sekolah Menengah Pertama) diajak bertamu kepada sanak saudara,
penulis ingin mengajak pulang ibu, namun dia langsung mencubit dan memarahi penulis
karena forum pembicaraan orang tua dan tamu lainya masih terlaksana. Dalam kejadian itu
terlihat bahwa seorang orang tua Jawa akan memberi teguran kepada anaknya ketika tidak
memiliki unggah-ungguh dalam bertamu di masyarakat. Dan kasus-kasus yang hampir serupa
masih banyak dan belum bisa dipaparkan ditulisan ini.
Sebagaimana kasus pertama tentang unggah-ungguh yang dipaparkan di paragraf
sebelumnya, kondisi moral dan etika kaum remaja masyarakat Jawa mengalami penurunan.
Masyarakat Jawa yang sebelumnya telah mengamalkan sikap perilaku unggah-ungguh
terhadap semua orang, pada saat ini kurang dijalankan lagi oleh para remaja. Mereka para
remaja1 sudah tidak bisa menggunakan bahasa Jawa yang halus, tidak bisa bersikap unggahungguh terhadap orang lain dan yang paling fatal adalah kepada orang yang lebih tua. Para
orang tua Jawa yang mendapatkan perlakuan tidak di-unggah-ungguh tadi akan sering
mengungkapkan pernyataan “Cah saiki wes padha ora due unggah-ungguh karo wong tuo” ,
atau “Orang muda jaman sekarang sudah tidak lagi mempunyai sopan santun, unggahungguh, terhadap orang tua. Hal ini menjadi “catatan besar” bagi kaum muda Jawa akan
pentingnya unggah-ungguh.
Secara umum budaya unggah-ungguh menjadi suatu ciri khas dalam masyarakat
Indonesia, terutama Jawa. Di masyarakat Indonesia selain Jawa, mungkin mempunyai budaya
yang serupa dengan unggah-ungguh ini. Di masyarakat Sunda (misalnya) memiliki
kebudayaan bahasa tingkat tutur yang juga hampir mirip dengan bahasa Jawa. Sebutan
Indonesia sebagai bagian dari bangsa Timur memang benar demikian, karena dengan
banyaknya kebudayaan masyarakat yang menjunjung tinggi moral dan etika masyarakat.
Hubungan antara budaya unggah-ungguh ini dengan pembangunan nasional lantas
apa? Sesuai dengan penjelasan singkat di paragraf-paragraf sebelumnya bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat multikultural, memiliki beraneka budaya, agama, dan ras akan
dapat menimbulkan ketegangan sosial antar kelompok. Ketegangan antara masyarakat muslim
ambon dengan Kristen pada 1998 yang mengakibatkan banyak pertumbahan darah dan korban
merupakan bentuk ketidak siapan masyarakat dalam menghargai perbedaan (meskipun ada
faktor lain). Hal ini seharusnya ditanggulangi dengan pemanfaatan budaya-budaya lokal
Indonesia sendiri demi keberlangsungan kerukunan di Indonesia. Budaya Jawa unggahungguh yang merupakan budaya unggulan masyarakat Jawa dapat menjadi bahan pelajaran
dan pengkajian mendalam untuk pemahaman keberagaman di Indonesia. Masyarakat
Indonesia seharusnya memahami dan menjalankan prinsip berlaku sopan santun, berlaku
hormat, berlaku sesuai norma yang ada yang dalam masyarakat Jawa diistilahkan dengan
unggah-ungguh. Perilaku demikian akan mendorong kerukunan dan kedamaian bangsa
Indonesia, yang kemudian bangsa Indonesia akan lebih mudah dalam menyalurkan
pembangunan di setiap daerah dan tidak terganggu lagi tentang konflik-konflik sosial
masyarakat.
1 Fenomena ini umumnya terjadi pada remaja yang berada di masyarakat Jawa bagian
utara (sebagaimana pengalaman penulis), dan juga tidak menutup kemungkinan terjadi
pada semua remaja di daerah masyarakat Jawa, dikarenakan belum diadakan penelitian
yang lebih lanjut.
Pandangan lain yang mengatakan bahwa kebudayaan Jawa cenderung bersifat kolot
sebenarnya mereka hanya berpandangan pada sisi negatifnya saja. Budaya unggah-ungguh
misalnya jika dijalankan dengan baik, dan dilengkapi dengan ilmu pengetahuan yang semakin
maju, akan dapat saling melengkapi. Pengaruh kebudayaan Barat (westernisasi) tidak
mungkin ditelan mentah-mentah oleh masyarakat jika mereka masih mengamalkan budaya
unggah-ungguh. Mereka akan tetap berunggah-ungguh terhadap orang yang lebih tua, orang
lain, ilmu pengetahuan, bahkan alam. Unggah-ungguh terhadap alam akan dilakukan dengan
memanfaatkan alam dengan sebijak-bijaknya. Unggah-ungguh terhadap ilmu pengetahuan
juga demikian, yakni ilmu pengetahuan akan dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk
kepentingan bangsa dan masyarakat dunia. Kemudian dari penjelasan-penjelasan ini dapat
dipahami bahwa budaya unggah-ungguh dapat dijadikan rule model (teladan) bagi
masyarakat Indonesia, demi terwujudnya kerukunan dan kedamaian bangsa.
Sumber Ide dan Inspirasi:
Magnis Suseno SJ, Fanz. 1984. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia
Mulder, Niels. 1973. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Poerwadarminta, 1939. Bausastra Jawa.
Mangunsuwita, S.A. 2002. Kamus bahasa Jawa: Jawa-Indonesia. Yrama Widya.