Penentuan Kadar Aflatoksin Dalam Jagung Sebagai Bahan Baku Pakan Ternak Ikan Secara Spektrofotometri Visibel Di Pt. Central Proteina Prima Tbk

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengenalan Tanaman Jagung
Jagung (Zea mays L ) adalah tanaman pangan kedua sesudah padi. Secara global
jagung adalah tanaman pangan ketiga setelah gandum dan padi. Jagung berasal dari
Mexico, dan disana telah dibudidayakan selama ribuan tahun. Jagung menjadi dasar
kebudayaan Aztec dan Maya. Dewasa ini Amerika Serikat merupakan produsen jagung
terbesar, karena menghasilkan lebih dari separo produksi dunia. Bahkan lebih dari 60%
dari

jagung

yang

diperdagangkan

di

pasaran

dunia


berasal

dari

Amerika

serikat(Purseglove, 1972) meskipun akhir-akhir ini penanaman jagung di tropik
meningkat dengan pesat, namun sampai sekarang jagung masih lebih banyak di tanam di
daerah beriklim sedang ( Temperate regions).( Semangun,1968)
2.2 Penyakit yang Terdapat Pada Jagung
Berikut ada jenis penyakit yang terdapat pada tanaman jagung yaitu:
1. Penyakit Bulai
Penyakit bulai atau downy mildew pada jagung sejak lama menimbulkan kerugian
yang cukup besar, sehingga banyak dikenal di antara para petani. Kerugian karena
penyakit bulai pada jgung saat bervariasi stempat-setempat. Penyakit ini
menyebabkan penanaman jagung mengandung risiko yang tinggi.


Gejala penyakit

Penyakit bulai dapat menimbulkan gejala sistematik yang meluas keseluruh badan
tanaman dan dapat menimbulkan gejala lokal( setempat). Ini tergantung dari
meluasnya jamur penyebab penyakit di dalam tanaman yang terinfeksi. Gejala

Universitas Sumatera Utara

sistematik hanya terjadi bila jamur dari daun yang terinfeksi dapat mencapai titik
tumbuh sehingga dapat menginfeksi semua daun yang dibentuk oleh titik tumbuh itu.


Penyebab Penyakit
Jamur Peronosclerospora maydis( Rac.) shaw yang sampai sekarang masih dikenal
juga dengan nama sclerospora maydis (Rac.) Butl. Semula oleh Raciborski (1897)
jamur disebut peronospora maydis Rac.,yang oleh palm (1918) diubah menjadi
sclerospora javanica Palm. Seterusnya oleh Butler dan Bisby(1931) jamur disebut

sclerospora maydis (Rac.) Palm, yang menurut van Hoof (1953) sesuai dengan aturan
tata nama(nomenklatur), nama ini seharusnya sclerospora maydis (Rac.)Butl.
Shaw menyatakan bahwa sebaiknya diadakan pembedaan antara sclerospora yang
konidium(sporangium)-nya


membentuk

spora

kembara

dan

konidiumnya

berkecambah secara langsung dengan membentuk pembuluh kecambah. Kelompok
yang terakhir ini dimasukkan kedalam genus(marga) baru yaitu peronosclerospora,
sehingga sclerospora maydis sekarang disebut peronosclerospora maydis(Rac.) Shaw


Pengelolaan penyakit
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pengelolaan penyakit yaitu:
 Sudjono (1989) menganjurkan agar penanaman jagung dilakukan bila curah
hujan rata-rata selama 10 hari kurang dari 55mm.

 Jika diperlukan, penyakit dapat dikendalikan dengan fungisida,antara lain
mankozeb, meskipun mungkin usaha ini tidak akan menguntungkan.
 Jamur yang terbawa oleh biji dapat dimatikan dengan thiram dan karboxin,
atau dengan perawatan udara panas selam 17 menit dengan suhu 54-55 °C.

Universitas Sumatera Utara

2. Penyakit Gosong
Pada akhir tahun 1963 di jawa muncul banyak berita tentang adanya penyakit gosong
(smut) pada jagung. Di banyak tempat di Jawa Tengah penyakit baru ini diberitakan
menyebabkan buah jagung menjadi beracun jika termakan. Bahkan tongkol-tongkol
jagung yang direbus tercampur dengan tongkol-tongkol yang sakit akan menjadi
beracun juga. Diberitakan bahwa di kebun pada waktu malam tongkol yang sakit
bersinar.


Gejala Penyakit
Gejala

terutama


terdapat

pada

tongkol.

Biji-biji

yang

terinfeksi

membengkak,membentuk nyali (kelenjar,gall,cecidia) semula nyali berwarna putih,
tetapi setelah jamur yang terdapat didalamnya membentuk spora (teliospora), nyali
berwarna hitam dengan kulit yang jernih.
Dengan semakin membesarnya nyali-nyali kelobot (pembungkus tongkol jagung)
terdesak ke samping, sehingga sebagian dari nyali itu tampak dari luar. Akhirnya
nyali pecah dan spora jamur yang berwarna hitam terhambur keluar. Meskipun agak
jarang, nyali mungkin terdapat pada batang,daun dan bunga jantan.



Penyebab Penyakit
Penyakit disebabkan oleh jamur Ustilago maydis (DC) Cda.,yang dahulu juga disebut
Ustilago zeae Schw., Uredo maydis DC dan Uredo zeaemays DC. Dalam nyali-nyali

jamur membentuk teliospora (dahulu disebut klamidospora), bulat atau jorong dengan
garis tengah 8-11µm, hitam dengan banyak duri halus. Teliospora berkecambah
dengan membentuk basidium atau promiselium yang lalu membentuk basidiospora
atau sporidium. Sporidium dapat berkecambah dengan membentuk hifa, tetapi dapat
juga membentuk sporidium sekunder, dengan cara seperti yang terjadi pada khamir.

Universitas Sumatera Utara



Pengelolaan Penyakit
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pengelolaan penyakit yaitu:
 Di tempat-tempat yang penyakit ini timbul pertama kalinya dianjurkan untuk
membakar dan memendam tanaman yang sakit agar tidak menjadi sumber

infeksi bagi tanaman yang akan datang, dan sebaiknya usaha ini dilakukan
sebelum jamur membentuk spora.
 Untuk mencegah masuknya penyakit ke daerah baru di anjurkan agar
melakukan perawatan biji dengan pestisida yang sesuai.
 Mencari jenis-jenis jagung yang tahan, karena adanya kecenderungan bahwa
ketahanan terhadap penyakit gosong berhubungan erat dengan tipe-tipe jagung
yang lemah.

3. Penyakit Busuk Tongkol
Busuk Tongkol (ear rot) yang disebabkan oleh jamur Fusarium, yang sering disebut
“busuk tongkol merah” merupakan penyakit yang umum ditemukan pada seluruh
jagung di dunia. Penyebab busuk tongkol juga dapat menyerang batang dan
menyebabkan busuk batang (stalk rot). Jamur-jamur ini dapat terbawa oleh biji dan
menyebabkan penyakit semai (damping off)
Biji jagung yang terserang oleh F. graminearum dapat menimbulkan penyakit pada
ternak dan manusia, karena jamur ini diketahui membentuk racun deoksinivalenol
(vomitoksin),

nivalenol,


dan

zearalenon.

Zearalenon

dapat

menimbulkan

hiperestrogenisme pada ternak betina yang menyebabkan menjadi mandul.


Gejala Penyakit
Jamur-jamur penyebab busuk tongkol, Fusarium dan Diplodia, sering kali menyerang
bersama sehingga terjadi gejala campuran.Fusarium graminearum menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

pembususkan yang berwarna merah jambu atau kemerah-merahan berkembang dari

ujung ke pangkal tongkol.


Penyebab Penyakit
Busuk tongkol disebabkan oleh beberapa spesies Fusarium.
F.graminearum Schwabe sering disebut F.rose f.cerealis (cke.) snyder et Hansen var.
‘graminearum’, dan juga dengan nama teleomorfnya. Klamidospora interkalar, bulat,
berdinding tebal, hialin atau cokelat pucat, dinding luar licin atau agak kasar yang
memebentuk rantai atau kumpulan.



Pengelolaan Penyakit
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pengelolaan penyakit yaitu:
 Karena lebih banyak terdapat pada tanaman yang lemah, penyakit dapat
dikurangi dengan pemeliharaan tanaman yang sebaik-baiknya, antara lain
dengan pemupukan yang seimbang.
 Tidak membiarkan tongkol terlalu lama mengering di ladang
 Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan padi-padian hanya akan bermanfaat
jika dilakukan pada daerah yang cukup luas, karena patogen mempunyai

banyak tumbuhan inang.
 Busuk tongkol karena Fusarium dapat dikurangi dengan aplikasi jamur
antagonis, Trichhoderma.
Penyakit tumbuhan ialah suatu proses fisiologi tumbuhan yang abnormal dan
merugikan, yang disebabkan oleh faktor primer (biotik atau abiotik ) dan
gangguannya bersifat terus menerus serta akibatnya dinyatakan oleh aktivitas sel/
jaringan yang abnormal. Akibat yang muncul tersebut disebut gejala. Konsep tersebut
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Agrios ( 1979, 1997), penyakit tumbuhan

Universitas Sumatera Utara

terjadi bila salah satu atau beberapa fungsi fisiologinya menjadi abnormal karena
adanya gangguan atau kondisi lingkungan tertentu( faktor abiotik). ( Semangun,1968)
Tanaman yang terinfeksi pada waktu masih sangat muda biasanya tidak
membentuk buah. Bila infeksi terjadi pada tanaman yang lebih tua, tanaman dapat
tumbuh terus dan membentuk buah. Buah sering mempunyai tangkai yang panjang,
dengan kelobot yang tidak menutup pada ujungnya, dan hanya membentuk sedikit
biji. Bila jamur dalam daun yang terinfeksi pertama kali tidak dapat mencapai titik
tumbuh, gejala hanya terdapat pada daun-daun yang bersangkutan sebagai garis-garis
klorotik yang disebut juga sebagai gejala lokal ( Semangun,1968)

2.3 Aflatoksin
Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus
dan Aspergillus parasiticus. Keberadaan toksin ini dipengaruhi oleh faktor cuaca,
terutama suhu dan kelembaban. Pada kondisi suhu dan kelembaban yang sesuai,
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus dapat tumbuh pada jenis pangan tertentu
serta pada pakan hewan, kemudian menghasilkan aflatoksin.
Terdapat beberapa jenis aflatoksin utama, yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2.
Keempat jenis aflatoksin tersebut biasanya ditemukan bersama dalam berbagai
proporsi pada berbagai jenis pangan dan pakan hewan. Aflatoksin B1 biasanya paling
mendominasi dan bersifat paling toksik. Aflatoksin B1 dan B2 dihasilkan oleh
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin
G2 hanya dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus. Jika aflatoksin B1 dan G1 masuk ke
dalam tubuh hewan ternak melalui pakannya, maka senyawa tersebut akan dikonversi
di dalam tubuh hewan tersebut menjadi aflatoksin M1 dan M2, yang

dapat

diekskresikan dalam susu dan urin.

Universitas Sumatera Utara

Gambar A. Aflatoxin
Aflatoksin adalah senyawa racun yang dihasilkan oleh metabolit sekunder jamur
Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Selain itu, aflatoksin diproduksi juga oleh jamur
Aspergillus nomius, A. pseudotamarii dan A. ochraceoroseus. A. flavus dan A.
parasiticus tumbuh pada kisaran suhu yang panjang, berkisar dari 10–12°C sampai 42–

43°C dengan suhu optimum 32–33°C dan pH optimum 6. Jamur ini biasanya
ditemukan pada bahan pangan/pakan yang mengalami proses pelapukan. Pertumbuhan
aflatoksin dipacu oleh kondisi lingkungan dan iklim, seperti kelembapan, suhu, dan
curah hujan yang tinggi. Kondisi seperti itu biasanya ditemui di negara tropis seperti
Indonesia. Selain itu, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kapang dan produksi
aflatoksin adalah (1) pengaruh aerasi, dimana proses fermentasi yang dilakukan pada
wadah yang tidak memiliki aerasi yang bagus (2) pengaruh atmosfir (gas udara) seperti
CO, dan O2 ; (3) suhu, dimana suhu optimum untuk memproduksi toksin yaitu 25C ;
(4) pengaruh kelembaban, dimana RH pada proses fermentasi lebih dari 80 %.
Aflatoksin merupakan salah satu nama sekelompok senyawa yang termasuk mikotoksin
dan paling toksik dibanding mikotoksin lainnya.( Asrul, 2009)
Aflatoksin dikenal susunan kimianya pada tahun 1964, yang mula-mula dibagi
dalam dua golongan yatu aflatoksin jenis B dan jenis G berdasarkan atas warna
fluoresensi apabila dikenai sinar ultra violet; masing-masing warna biru (blue) untuk
aflatoksin jenis B dan warna kehijauan (green) untuk jenis G. Pada saat itu baru
diketahui empat jenis aflatoksin yaitu B1, B2, G1 dan G2, yang masing-masing

Universitas Sumatera Utara

mempunyai struktur kimia serta daya racun yang berbeda, di mana aflatoksin B1 adalah
yang sangat beracun. Aflatoksin bersifat sangat tidak larut dalam air, larut dalam aseton
atau chloroform dan titik cairnya antara 237-289C.
Aflatoksin memiliki sifat racun yang akut dan kronis. Aflatoksin bersifat karsinogen
dan banyak ditemukan pada produk pertanian. Aflatoksin dapat menyebabkan kanker
dan ginjal pada manusia bila dikonsumsi secara berlebihan. Dalam dosis yang tinggi
aflatoksin dapat menyebabkan efek akut. Aflatoksin juga dapat terakumulasi di otak
dan mempunyai efek buruk terhadap paru-paru, miokarbium dan ginjal. Efek kronik
dan sub akut aflatoksin pada manusia yaitu penyakit hati seperti kanker hati, hepatitis
kronik, penyakit kuning, dan sirosis hati. (Muchtadi, 2010)
Aflatoksin dapat pula mengakibatkan gangguan penyerapan makanan, gangguan
pencernaan

dan

metabolisme

nutrien

akibat

mengkonsumsi

pangan

yang

terkontaminasi aflatoksin pada konsentrasi rendah secara terus menerus. Aflatoksin
juga berperan dalam menyebabkan penyakit seperti busung lapar. Selain itu juga
dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh pada manusia dan hewan. Efek kronis
racun aflatoksin merupakan penyebab kanker yang potensial (potent carcinogen).
Aflatoksin B1 adalah penyebab kanker hati yang potensial (potent hepato
carcinogen). Mengingat bahaya yang ditimbulkannya, maka WHO, FAO dan

UNICEF telah menetapkan batas kandungan aflatoksin pada produk pertanian yang
dikonsumsi, tidak lebih dari 30 ppb. Bahkan Europan Commission menetapkan batas
maksimal total aflatoksin lebih rendah yakni 4 ppb untuk produk serelia. ( Yusrini,
H., 2005)
Kerugian akibat pencemaran kapang dan aflatoksin merupakan masalah di
bidang peternakan,karena dapat mempengaruhi produktivitas ternak.Kapang dapat
menyebabkan kerusakan fisik dan kimiawi pakan.Kerusakan fisik terjadi oleh

Universitas Sumatera Utara

peningkatan pertumbuhan dan populasi kapang sehingga warna, bentuk, dan bahan
pakan tersebut berubah, sedangkan kerusakan kimiawi terjadi oleh adanya produksi
aflatoksin dari kapang tersebut, sehingga pakan tercemar aflatoksin. Peluang
pencemaran ini cukup besar, karena iklim tropis di Indonesia sangat mendukung.
Kondisi lingkungan yang diperlukan untuk terbentuknya aflatoksin oleh kapang
adalah kelembaban minimum 85 persen dan suhu optimum 25-27° C. Kapang
pencemar yang menghasilkan metabolit sekunder aflatoksin terutama adalah
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. A.flavus umumnya memproduksi

aflatoksin B (AFB, dan AFBZ ),sedangkan A. parasiticus dapat memproduksi
aflatoksin B dan aflatoksin G (AFG). A. flavus terdapat di mana-mana, sedangkan
A.Parasiticus tidak. Saat ini ada 4 macam aflatoksin yaitu AFB, AFG2, AFG, dan

AFG 2 yang merupakan aflatoksin induk yang telah dikenal secara alami dan
dijumpai di alam. AFB adalah jenis aflatoksin yang paling toksik AFG2,AFG, dan
AFG mempunyai daya racun yang rendah, hanya 1/60-1/100 kali dibandingkan AFB,
dan tidak terlalu berbahaya. Kapang tersebut banyak mencemari produk pertanian,
diantaranya adalah kacang-kacangan, beras, jagung, gandum, biji kapas dan biji-bijian
lainnya (DIENER dan DAVIS, 1969)
Masalah yang cukup berat akibat dari pencemaran aflatoksin pada pakan akan
berlanjut dengan timbulnya gangguan keracunan bagi ternak yang mengkonsumsi
pakan tercemar tersebut. Data FAO menyatakan bahwa 25% suplai biji-bijian di dunia
terkontaminasi oleh kapang dan mikotoksin. Di negara Asia Tenggara malahan
ditemukan sebanyak kira-kira 50% jagung dan 90% pakan ternak unggas
terkontaminasi mikotoksin, yang merupakan sumber kerugian ekonomi utama pada
industri peternakan di negara-negara tropis ini (Liu, 2002)

Universitas Sumatera Utara

Hasil penelitian yang dilakukan International Agency for Research on Cancer
terhadap hewan percobaan terbukti bahwa AFB, adalah senyawa racun bersifat
karsinogen, dan pada tahun 1988 dimasukkan ke dalam urutan senyawa karsinogen
bagi manusia Pernyataan ini didukung oleh data studi epidemiologi yang dilakukan di
negara Asia dan Afrika yang ternyata ada korelasi positif antara mengkonsumsi
pangan yang mengandung AFB, dengan kejadian kanker set hati. Kejadian penyakit
akibat aflatoksin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin,
status pangan dan atau terjadi bersama-sama dengan agen penyebab lain seperti virus
hepatitis atau infeksi parasit (GROOPMAN et al, 1988)
Untuk menjaga agar kadar aflatoksin pada pakan dan pangan tetap dalam batasbatas yang masih dapat ditolerir dan tidak membahayakan ternak dan manusia,
beberapa negara termasuk Indonesia telah menetapkan batas maksimum kadar
aflatoksin pada pakan dan pangan. Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay
(ELISA) dianggap dapat dilakukan lebih mudah dan cepat serta cukup sensitif.
Kegiatan pengembangan kit ELISA aflatoksin B, telah dilakukan oleh Balitvet, dan
telah dapat dirakit kit ELISA aflatoksin B, untuk analisis kandungan aflatoksin pada
sampel pakan dan jagung. Pada tulisan ini disajikan situasi cemaran aflatoksin pada
pakan dan bahan pakan jagung di Indonesia, peraturan yang berkaitan dengan mutu
pakan terutama aflatoksin, serta teknik deteksi yang dikembangkan. Tujuan dari
penulisan ini adalah untuk lebih mewaspadai potensi pencemaran pakan dan bahan
dasar pakan oleh aflatoksin, serta bahayanya bagi kesehatan ternak dan manusia.
Dengan tersedianya teknik deteksi yang dikembangkan ini, maka kontrol kualitas
pakan

dan

jagung

diharapkan

dapat

dilakukan

secara

lebih

cepat

dan

berkesinambungan (Zanneli,2000)
2.4 Situasi Cemaran Aflatoksin Pada Pakan Dengan Bahan Dasar Jagung

Universitas Sumatera Utara

Kerugian di bidang peternakan akibat pencemaran pakan oleh Aflatoksin
antara lain penurunan kualitas dan kuantitas produk peternakan. Kualitas produk
menurun karena adanya residu aflatoksin pada produk ternak tersebut. Aflatoksin
terdeteksi sesekali pada usu dan daging, karena ternaknya mengkonsumsi pakan yang
mengandung aflatoksin. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia
terbukti pakan ayam yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia umumnya
tercemar aflatoksin (BAHRI et al, 1994a)
Pengaruh Aflatoksin pada ternak ruminansia dilaporkan oleh DASS dan
ARORA (1994) Pada percobaan ini kerbau Murah umur 10 hari diberi susu yang
mengandung AFB I 0 ; 0,3 ; 0,6 ; dan 1,0 ppm selama 13 minggu Ternyata rata-rata
pertumbuhan bobot badan menurun secara nyata dengan meningkatnya dosis AFB
yang diberikan. Pertambahan bobot badan kerbau masing-masing adalah 2,76 ; 2,15 ;
1,86 ; dan 1,5 kg. Analisis lebih Ianjut dari data pertumbuhan disarankan bahwa 0,14
ppm AFB adalah level aman yang dapat diberikan pada ternak besar pada periode
umur di atas tercemarnya pakan ternak oleh kapang dan aflatoksin yang dihasilkannya
juga dilaporkan dapat mengganggu fungsi metabolisme, absorpsi lemak, penyerapan
unsur mineral, khususnya tembaga (Cu), besi(Fe), kalsium(Ca),dan fosfor (P), serta
beta-karoten, penurunan kekebalan tubuh, kegagalan program vaksinasi, kerusakan
kromosom, perdarahan,dan memar. Semua gangguan tersebut berakibat pertumbuhan
terhambat dan kematian meningkat sehingga produksi ternak menurun (Jassar Dan
Balwant Singh, 1989)

Universitas Sumatera Utara