Penentuan Kadar Aflatoksin Dalam Jagung Sebagai Bahan Baku Pakan Ternak Ikan Secara Spektrofotometri Visibel Di Pt. Central Proteina Prima Tbk

(1)

DAFTAR PUSTAKA Bahri,S.,Yuningsih, R. Maryam Dan P . Zahari . 1994a.

Cemaran aflatoksin pada pakan ayam yang diperiksa di Laboratorium Toksikologi Balitvet.

Diener,U.L. and N. Davis . 1969 . Aflatoxin formation by aspergillus flavus. In :Aflatoxins. Academic Press, New york, USA .

Groopmen, J,Cain And T .W. Kensler . 1988 .

Aflatoxin exposure in human populations measurement relationship to cancer.Crit. Rev.Toxicol .

Jassar,B.S.and Balwant-Singh . 1989 .

Immunosupressive effect of aflatoxin in broiler chicks.Indian. J. Anim Liu,K.2002.Prevention and control of molds and mycotoxins in raw materials

and final feeds in tropical countries, US Grain Council, American Soybean Association.

Zannell 2000. Mould, Bacteria and Solution. Feed Industry Service (FIS). Italy Asrul, 2009, Populasi Jamur Mikotoksigenik dan Kandungan Aflatoksin pada Beberapa Contoh

Biji Kakao (Theobroma cacao L) Asal Sulawasi Tengah,J.Agroland 16(3)

Muchtadi, D., 2010,Tidak Dapat Hilang Walau Sudah Diolah Aflatoxin, Racun Penyebab Kanker, diakses pada 26 September 2013

Yusrini, H., 2005, Teknik Analisis Kandungan Aflatoksin B1 Secara ELISA pada pakan ternak dan Bahan Dasarnya, Buletin Teknik Pertanian Vol. 10, Nomor 1, 2005


(2)

BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN 3.1 Alat

a. Grinder b. Cawan petri c. Pinset

d. Neraca analitis

e. Spektrofotometer visibel f. Plastik

g. Timbangan h. Tissue 3.2 Bahan

a. Jagung 3.3 Prosedur Kerja

a. Sebelum melakukan pengujian kadar Aflatoksin pada jagung (zea mays), terlebih dahulu di sampling jagung yang akan diuji aflatoksinnya

b. Dimasukkan jagung yang disampling ke dalam plastik c. Ditimbang jagung sebanyak 800 gr

d. Digiling jagung dengan proses grinding dengan menggunakan alat penggiling yaitu grinder dan dimasukkan ke dalam plastik

e. Dihidupkan alat spektrofotometer visibel

f. Dimasukkan jagung yang sudah digiling kedalam alat spektrofotometer visibel g. Diamati Aflatoksin pada jagung

dimana jagung yang mengandung Aflatoksin akan menunjukkan pendaran warna kuning keemasan.


(3)

h. Diambil jagung yang berwarna kuning keemasan dengan menggunakan pinset dan dimasukkan kedalam cawan petri

i. Ditimbang cawan petri yang berisi jagung yang mengandung aflatoksin dengan menggunakan neraca analitis

j. Dicatat hasilnya


(4)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Percobaan

Dari percobaan penentuan kadar Aflatoksin dalam jagung sebagai bahan baku pakan ternak ikan yang dilakukan secara spektrofotometri di laboratorium PT.CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk, diperoleh data percobaan sebagai berikut

Tabel 4.1.1. Pengujian Aflatoksin Pada Jagung

No Raw Material Name Plant RM Receive Date

Description Aflatoxin(ppb )

Remark 1 Yellow Corn (L) MDN 02-Feb-2016 BK 9730 XS 10 Diterima 2 Yellow Corn (L) MDN 03-Feb-2016 BK 9169 LL 20 Diterima 3 Yellow Corn (L) MDN 04-Feb-2016 BK 8372 SE 10 Diterima 4 Yellow Corn (L) MDN 05-Feb-2016 BK 8323 SU 25 Diterima 5 Yellow Corn (L) MDN 05-Feb-2016 BK 9636 DT 30 Diterima 6 Yellow Corn (L) MDN 08-Feb-2016 BK 8633 LY 115 Ditolak 7 Yellow Corn (L) MDN 08-Feb-2016 BK 8523 SZ 20 Diterima 8 Yellow Corn (L) MDN 09-Feb-2016 BK 8726 SA 35 Diterima 9 Yellow Corn (L) MDN 10-Feb-2016 BK 9169 LL 110 Ditolak 10 Yellow Corn (L) MDN 11-Feb-2016 BK 9730 XS 80 Diterima

Description : Aflatoxin Max 100 ppb

Tabel 4.1.2. Pengujian Aflatoksin Pada Jagung dengan Berat sampel, Gram Aflatoksin, dan Ppb (Part per billion)

No Sampel Berat sampel Gram Aflatoxin Ppb (part per billion)

01 Jagung 800 gr 0,1 gr 10 ppb

02 Jagung 800 gr 0,2 gr 20 ppb

03 Jagung 800 gr 0,1 gr 10 ppb

04 Jagung 800 gr 0,25 gr 25 ppb

05 Jagung 800 gr 0,3 gr 30 ppb

06 Jagung 800 gr 1,15 gr 115 ppb

07 Jagung 800 gr 0,2 gr 20 ppb

08 Jagung 800 gr 0,35 gr 35 ppb

09 Jagung 800 gr 1,1 gr 110 ppb

10 Jagung 800 gr 0,8 gr 80 ppb


(5)

4.2 Perhitungan

menghitung berat Aflatoxin yang terdapat pada sampel Percobaan 1 (02 Februari 2016 )

sampel: 800 gr gr Aflatoxin : 0,1 gr 0,1 gr x 100 % =10 ppb

Percobaan 2 (03 Februari 2016 )

Sampel : 800 gr gr Aflatoxin : 0,2 gr 0,2 gr x 100 % =20 ppb

Percobaan 3 (04 Februari 2016 ) sampel : 800 gr

gr Aflatoxin : 0,1 gr 0,1 gr x 100% =10 ppb

Percobaan 4 (05 Februari 2016 ) sampel : 800 gr

gr Aflatoxin : 0,25 gr 0,25 gr x 100% =25 ppb

Percobaan 5 (05 Februari 2016 ) sampel : 800 gr

gr Aflatoxin : 0,3 gr 0,3 gr x 100% =30 ppb


(6)

Percobaan 6 (08 Februari 2016 ) sampel : 800 gr

gr Aflatoxin : 1,15 gr 1,15 gr x 100% =115 ppb

Percobaan 7 (08 Februari 2016 )

sampel : 800 gr gr Aflatoxin : 0,2 gr 0,2 gr x 100% =20 ppb

Percobaan 8 (09 Februari 2016 ) sampel : 800 gr

gr Aflatoxin : 0,35 gr 0,35 gr x 100% =35 ppb

Percobaan 9 (10 Februari 2016 )

sampel : 800 gr gr Aflatoxin : 1,1 gr 1,1 gr x 100% =110 ppb

Percobaan 10 (11 Februari 2016 ) sampel : 800 gr

gr Aflatoxin : 0,8 gr 0,8 gr x 100% =80 ppb

Apabila % Aflatoxin yang terdapat pada sampel lebih besar dari 100 %, maka sampel tersebut akan di tolak.


(7)

4.3 Pembahasan

Aflatoxin adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Pada percobaan, dilakukan sepuluh kali pengujian terhadap sampel jagung menggunakan alat spektrofotometer visibel untuk menentukan kadar aflatoxin dengan persyaratan maximum 100 ppb. Pengujian pada sampel satu kadar aflatoksin diterima dengan nilai 10 ppb, sampel dua diterima dengan nilai kadar aflatoksin 20 ppb, sampel tiga diterima dengan nilai kadar aflatoksin 10 ppb, sampel empat diterima dengan nilai kadar aflatoksin 25 ppb, sampel lima diterima dengan nilai kadar aflatoksin 30 ppb, sampel tujuh diterima dengan nilai kadar aflatoksin 20 ppb, sampel delapan diterima dengan nilai kadar aflatoksin 35 ppb, sampel sepuluh diterima dengan nilai kadar aflatoksin 80 ppb. Dan terdapat dua sampel yang ditolak kadar aflatoxinnya yaitu sampel enam dengan nilai kadar alfatosin 115 ppb dan sampel sembilan dengan nilai 110 ppb hal ini dipengaruhi suhu, iklim/cuaca, tempat penyimpanan dan pengeringan jika suhu lembab dan cuaca dingin serta pengeringan yang kurang efektif dapat menyebabkan pertumbuhan kapang aspergillus flavus dan aspergillus parasticus pada jagung yang menghasilkan aflatoxin lebih banyak.


(8)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

1. Kapang dapat menghasilkan metabolit beracun yang disebut mikotoksin. Mikotoksin terutama dihasilkan oleh kapang saprofit yang tumbuh pada bahan pangan atau pakan hewan. Setelah tahun 1970, diketahui bahwa mikotoksin dapat menimbulkan penyakit pada manusia, bahkan dapat menyebabkan kematian. Toksisitas mikotoksin dapat bersifat akut maupun kronik, tergantung pada jenis dan dosisnya.

Kontaminasi aflatoksin pada pakan ternak di Indonesia sangat mungkin terjadi dan dapat mempengaruhi kesehatan dan produktivitas ternak. Untuk mengurangi akibat yang merugikan, maka peraturan yang berkaitan dengan mutu pakan telah dikeluarkan pemerintah. Selain itu kontrol kualitas pakan secara kontinyu menjadi penting, dan memerlukan metoda analisis yang sederhana, cepat, sensitif dan murah .

stabil disimpan dalam suhu4°Cselama2bulan. Uji coba lapang, pengujian antar laboratorium menunjukkan hasil cukup akurat,menunjukkan hasil yang konsisten. diharapkan potensi tercemarnya pakan dan bahan dasar pakan oleh aflatoksin serta bahayanya bagi kesehatan ternak dan manusia dapat lebih diwaspadai . Dengan tersedianya teknik deteksi yang dikembangkan, kontrol kualitas

pakan dan jagung diharapkan dapat dilakukan secara lebih cepat dan berkesinambungan .

Kerugian akibat pencemaran kapang dan aflatoksin merupakan masalah di bidang peternakan, karena dapat mempengaruhi produktivitas ternak. Kapang dapat menyebabkan kerusakan fisik dan kimiawi pakan. Kerusakan fisik terjadi oleh


(9)

peningkatan pertumbuhan dan populasi kapang sehingga warna, bentuk, dan ban pakan tersebut berubah, sedangkan kerusakan kimiawi terjadi oleh adanya produksi aflatoksin dari kapang tersebut, sehingga pakan tercemar aflatoksin. Peluang pencemaran ini cukup besar.

2. Kadar aflatoxin pada jagung sebagai bahan baku pakan ternak ikan yaitu antara 0- 100ppb. Batas maksimum aflatoxin pada jagung yaitu 100 ppb.

Apabila jumlah aflatoxin lebih besar dari 100 ppb maka jagung tersebut tidak dapat digunakan lagi atau sampel di tolak.

5.2 Saran

1. Untuk penyimpanan, pengeringan jagung serta suhu hendaknya dilakukan dengan efektif untuk menghindari pertumbuhan kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang menghasilkan aflatoxin sehingga mempengaruhi mutu dari sampel jagung yang akan diolah.

2. Untuk memperoleh sampel jagung yang baik dapat dilakukan dengan proses yang lebih teliti.


(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengenalan Tanaman Jagung

Jagung (Zea mays L ) adalah tanaman pangan kedua sesudah padi. Secara global jagung adalah tanaman pangan ketiga setelah gandum dan padi. Jagung berasal dari Mexico, dan disana telah dibudidayakan selama ribuan tahun. Jagung menjadi dasar kebudayaan Aztec dan Maya. Dewasa ini Amerika Serikat merupakan produsen jagung terbesar, karena menghasilkan lebih dari separo produksi dunia. Bahkan lebih dari 60% dari jagung yang diperdagangkan di pasaran dunia berasal dari Amerika serikat(Purseglove, 1972) meskipun akhir-akhir ini penanaman jagung di tropik meningkat dengan pesat, namun sampai sekarang jagung masih lebih banyak di tanam di daerah beriklim sedang ( Temperate regions).( Semangun,1968)

2.2 Penyakit yang Terdapat Pada Jagung

Berikut ada jenis penyakit yang terdapat pada tanaman jagung yaitu:

1. Penyakit Bulai

Penyakit bulai atau downy mildew pada jagung sejak lama menimbulkan kerugian yang cukup besar, sehingga banyak dikenal di antara para petani. Kerugian karena penyakit bulai pada jgung saat bervariasi stempat-setempat. Penyakit ini menyebabkan penanaman jagung mengandung risiko yang tinggi.

Gejala penyakit

Penyakit bulai dapat menimbulkan gejala sistematik yang meluas keseluruh badan tanaman dan dapat menimbulkan gejala lokal( setempat). Ini tergantung dari meluasnya jamur penyebab penyakit di dalam tanaman yang terinfeksi. Gejala


(11)

sistematik hanya terjadi bila jamur dari daun yang terinfeksi dapat mencapai titik tumbuh sehingga dapat menginfeksi semua daun yang dibentuk oleh titik tumbuh itu.

Penyebab Penyakit

Jamur Peronosclerospora maydis( Rac.) shaw yang sampai sekarang masih dikenal juga dengan nama sclerospora maydis (Rac.) Butl. Semula oleh Raciborski (1897) jamur disebut peronospora maydis Rac.,yang oleh palm (1918) diubah menjadi sclerospora javanica Palm. Seterusnya oleh Butler dan Bisby(1931) jamur disebut sclerospora maydis (Rac.) Palm, yang menurut van Hoof (1953) sesuai dengan aturan tata nama(nomenklatur), nama ini seharusnya sclerospora maydis (Rac.)Butl.

Shaw menyatakan bahwa sebaiknya diadakan pembedaan antara sclerospora yang konidium(sporangium)-nya membentuk spora kembara dan konidiumnya berkecambah secara langsung dengan membentuk pembuluh kecambah. Kelompok yang terakhir ini dimasukkan kedalam genus(marga) baru yaitu peronosclerospora, sehingga sclerospora maydis sekarang disebut peronosclerospora maydis(Rac.) Shaw  Pengelolaan penyakit

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pengelolaan penyakit yaitu:

 Sudjono (1989) menganjurkan agar penanaman jagung dilakukan bila curah hujan rata-rata selama 10 hari kurang dari 55mm.

 Jika diperlukan, penyakit dapat dikendalikan dengan fungisida,antara lain mankozeb, meskipun mungkin usaha ini tidak akan menguntungkan.

 Jamur yang terbawa oleh biji dapat dimatikan dengan thiram dan karboxin, atau dengan perawatan udara panas selam 17 menit dengan suhu 54-55 °C.


(12)

2. Penyakit Gosong

Pada akhir tahun 1963 di jawa muncul banyak berita tentang adanya penyakit gosong (smut) pada jagung. Di banyak tempat di Jawa Tengah penyakit baru ini diberitakan menyebabkan buah jagung menjadi beracun jika termakan. Bahkan tongkol-tongkol jagung yang direbus tercampur dengan tongkol-tongkol yang sakit akan menjadi beracun juga. Diberitakan bahwa di kebun pada waktu malam tongkol yang sakit bersinar.

Gejala Penyakit

Gejala terutama terdapat pada tongkol. Biji-biji yang terinfeksi membengkak,membentuk nyali (kelenjar,gall,cecidia) semula nyali berwarna putih, tetapi setelah jamur yang terdapat didalamnya membentuk spora (teliospora), nyali berwarna hitam dengan kulit yang jernih.

Dengan semakin membesarnya nyali-nyali kelobot (pembungkus tongkol jagung) terdesak ke samping, sehingga sebagian dari nyali itu tampak dari luar. Akhirnya nyali pecah dan spora jamur yang berwarna hitam terhambur keluar. Meskipun agak jarang, nyali mungkin terdapat pada batang,daun dan bunga jantan.

Penyebab Penyakit

Penyakit disebabkan oleh jamur Ustilago maydis (DC) Cda.,yang dahulu juga disebut Ustilago zeae Schw., Uredo maydis DC dan Uredo zeaemays DC. Dalam nyali-nyali jamur membentuk teliospora (dahulu disebut klamidospora), bulat atau jorong dengan garis tengah 8-11µm, hitam dengan banyak duri halus. Teliospora berkecambah dengan membentuk basidium atau promiselium yang lalu membentuk basidiospora atau sporidium. Sporidium dapat berkecambah dengan membentuk hifa, tetapi dapat juga membentuk sporidium sekunder, dengan cara seperti yang terjadi pada khamir.


(13)

Pengelolaan Penyakit

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pengelolaan penyakit yaitu:

 Di tempat-tempat yang penyakit ini timbul pertama kalinya dianjurkan untuk membakar dan memendam tanaman yang sakit agar tidak menjadi sumber infeksi bagi tanaman yang akan datang, dan sebaiknya usaha ini dilakukan sebelum jamur membentuk spora.

 Untuk mencegah masuknya penyakit ke daerah baru di anjurkan agar melakukan perawatan biji dengan pestisida yang sesuai.

 Mencari jenis-jenis jagung yang tahan, karena adanya kecenderungan bahwa ketahanan terhadap penyakit gosong berhubungan erat dengan tipe-tipe jagung yang lemah.

3. Penyakit Busuk Tongkol

Busuk Tongkol (ear rot) yang disebabkan oleh jamur Fusarium, yang sering disebut “busuk tongkol merah” merupakan penyakit yang umum ditemukan pada seluruh jagung di dunia. Penyebab busuk tongkol juga dapat menyerang batang dan menyebabkan busuk batang (stalk rot). Jamur-jamur ini dapat terbawa oleh biji dan menyebabkan penyakit semai (damping off)

Biji jagung yang terserang oleh F. graminearum dapat menimbulkan penyakit pada ternak dan manusia, karena jamur ini diketahui membentuk racun deoksinivalenol (vomitoksin), nivalenol, dan zearalenon. Zearalenon dapat menimbulkan hiperestrogenisme pada ternak betina yang menyebabkan menjadi mandul.

Gejala Penyakit

Jamur-jamur penyebab busuk tongkol, Fusarium dan Diplodia, sering kali menyerang bersama sehingga terjadi gejala campuran.Fusarium graminearum menyebabkan


(14)

pembususkan yang berwarna merah jambu atau kemerah-merahan berkembang dari ujung ke pangkal tongkol.

Penyebab Penyakit

Busuk tongkol disebabkan oleh beberapa spesies Fusarium.

F.graminearum Schwabe sering disebut F.rose f.cerealis (cke.) snyder et Hansen var. ‘graminearum’, dan juga dengan nama teleomorfnya. Klamidospora interkalar, bulat, berdinding tebal, hialin atau cokelat pucat, dinding luar licin atau agak kasar yang memebentuk rantai atau kumpulan.

Pengelolaan Penyakit

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pengelolaan penyakit yaitu:

 Karena lebih banyak terdapat pada tanaman yang lemah, penyakit dapat dikurangi dengan pemeliharaan tanaman yang sebaik-baiknya, antara lain dengan pemupukan yang seimbang.

 Tidak membiarkan tongkol terlalu lama mengering di ladang

 Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan padi-padian hanya akan bermanfaat jika dilakukan pada daerah yang cukup luas, karena patogen mempunyai banyak tumbuhan inang.

 Busuk tongkol karena Fusarium dapat dikurangi dengan aplikasi jamur antagonis, Trichhoderma.

Penyakit tumbuhan ialah suatu proses fisiologi tumbuhan yang abnormal dan merugikan, yang disebabkan oleh faktor primer (biotik atau abiotik ) dan gangguannya bersifat terus menerus serta akibatnya dinyatakan oleh aktivitas sel/ jaringan yang abnormal. Akibat yang muncul tersebut disebut gejala. Konsep tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Agrios ( 1979, 1997), penyakit tumbuhan


(15)

terjadi bila salah satu atau beberapa fungsi fisiologinya menjadi abnormal karena adanya gangguan atau kondisi lingkungan tertentu( faktor abiotik). ( Semangun,1968)

Tanaman yang terinfeksi pada waktu masih sangat muda biasanya tidak membentuk buah. Bila infeksi terjadi pada tanaman yang lebih tua, tanaman dapat tumbuh terus dan membentuk buah. Buah sering mempunyai tangkai yang panjang, dengan kelobot yang tidak menutup pada ujungnya, dan hanya membentuk sedikit biji. Bila jamur dalam daun yang terinfeksi pertama kali tidak dapat mencapai titik tumbuh, gejala hanya terdapat pada daun-daun yang bersangkutan sebagai garis-garis klorotik yang disebut juga sebagai gejala lokal ( Semangun,1968)

2.3 Aflatoksin

Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Keberadaan toksin ini dipengaruhi oleh faktor cuaca, terutama suhu dan kelembaban. Pada kondisi suhu dan kelembaban yang sesuai, Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus dapat tumbuh pada jenis pangan tertentu serta pada pakan hewan, kemudian menghasilkan aflatoksin.

Terdapat beberapa jenis aflatoksin utama, yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Keempat jenis aflatoksin tersebut biasanya ditemukan bersama dalam berbagai proporsi pada berbagai jenis pangan dan pakan hewan. Aflatoksin B1 biasanya paling mendominasi dan bersifat paling toksik. Aflatoksin B1 dan B2 dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus. Jika aflatoksin B1 dan G1 masuk ke dalam tubuh hewan ternak melalui pakannya, maka senyawa tersebut akan dikonversi di dalam tubuh hewan tersebut menjadi aflatoksin M1 dan M2, yang dapat


(16)

Gambar A. Aflatoxin

Aflatoksin adalah senyawa racun yang dihasilkan oleh metabolit sekunder jamur

Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Selain itu, aflatoksin diproduksi juga oleh jamur

Aspergillus nomius, A. pseudotamarii dan A. ochraceoroseus. A. flavus dan A.

parasiticus tumbuh pada kisaran suhu yang panjang, berkisar dari 10–12°C sampai 42–

43°C dengan suhu optimum 32–33°C dan pH optimum 6. Jamur ini biasanya ditemukan pada bahan pangan/pakan yang mengalami proses pelapukan. Pertumbuhan aflatoksin dipacu oleh kondisi lingkungan dan iklim, seperti kelembapan, suhu, dan curah hujan yang tinggi. Kondisi seperti itu biasanya ditemui di negara tropis seperti Indonesia. Selain itu, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin adalah (1) pengaruh aerasi, dimana proses fermentasi yang dilakukan pada wadah yang tidak memiliki aerasi yang bagus (2) pengaruh atmosfir (gas udara) seperti CO, dan O2 ; (3) suhu, dimana suhu optimum untuk memproduksi toksin yaitu 25C ; (4) pengaruh kelembaban, dimana RH pada proses fermentasi lebih dari 80 %. Aflatoksin merupakan salah satu nama sekelompok senyawa yang termasuk mikotoksin dan paling toksik dibanding mikotoksin lainnya.( Asrul, 2009)

Aflatoksin dikenal susunan kimianya pada tahun 1964, yang mula-mula dibagi dalam dua golongan yatu aflatoksin jenis B dan jenis G berdasarkan atas warna fluoresensi apabila dikenai sinar ultra violet; masing-masing warna biru (blue) untuk aflatoksin jenis B dan warna kehijauan (green) untuk jenis G. Pada saat itu baru diketahui empat jenis aflatoksin yaitu B1, B2, G1 dan G2, yang masing-masing


(17)

mempunyai struktur kimia serta daya racun yang berbeda, di mana aflatoksin B1 adalah yang sangat beracun. Aflatoksin bersifat sangat tidak larut dalam air, larut dalam aseton atau chloroform dan titik cairnya antara 237-289C.

Aflatoksin memiliki sifat racun yang akut dan kronis. Aflatoksin bersifat karsinogen dan banyak ditemukan pada produk pertanian. Aflatoksin dapat menyebabkan kanker dan ginjal pada manusia bila dikonsumsi secara berlebihan. Dalam dosis yang tinggi aflatoksin dapat menyebabkan efek akut. Aflatoksin juga dapat terakumulasi di otak dan mempunyai efek buruk terhadap paru-paru, miokarbium dan ginjal. Efek kronik dan sub akut aflatoksin pada manusia yaitu penyakit hati seperti kanker hati, hepatitis kronik, penyakit kuning, dan sirosis hati. (Muchtadi, 2010)

Aflatoksin dapat pula mengakibatkan gangguan penyerapan makanan, gangguan pencernaan dan metabolisme nutrien akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi aflatoksin pada konsentrasi rendah secara terus menerus. Aflatoksin juga berperan dalam menyebabkan penyakit seperti busung lapar. Selain itu juga dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh pada manusia dan hewan. Efek kronis racun aflatoksin merupakan penyebab kanker yang potensial (potent carcinogen). Aflatoksin B1 adalah penyebab kanker hati yang potensial (potent hepato carcinogen). Mengingat bahaya yang ditimbulkannya, maka WHO, FAO dan UNICEF telah menetapkan batas kandungan aflatoksin pada produk pertanian yang dikonsumsi, tidak lebih dari 30 ppb. Bahkan Europan Commission menetapkan batas maksimal total aflatoksin lebih rendah yakni 4 ppb untuk produk serelia. ( Yusrini, H., 2005)

Kerugian akibat pencemaran kapang dan aflatoksin merupakan masalah di bidang peternakan,karena dapat mempengaruhi produktivitas ternak.Kapang dapat


(18)

peningkatan pertumbuhan dan populasi kapang sehingga warna, bentuk, dan bahan pakan tersebut berubah, sedangkan kerusakan kimiawi terjadi oleh adanya produksi aflatoksin dari kapang tersebut, sehingga pakan tercemar aflatoksin. Peluang pencemaran ini cukup besar, karena iklim tropis di Indonesia sangat mendukung. Kondisi lingkungan yang diperlukan untuk terbentuknya aflatoksin oleh kapang adalah kelembaban minimum 85 persen dan suhu optimum 25-27° C. Kapang pencemar yang menghasilkan metabolit sekunder aflatoksin terutama adalah

Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. A.flavus umumnya memproduksi

aflatoksin B (AFB, dan AFBZ ),sedangkan A. parasiticus dapat memproduksi aflatoksin B dan aflatoksin G (AFG). A. flavus terdapat di mana-mana, sedangkan A.Parasiticus tidak. Saat ini ada 4 macam aflatoksin yaitu AFB, AFG2, AFG, dan AFG 2 yang merupakan aflatoksin induk yang telah dikenal secara alami dan dijumpai di alam. AFB adalah jenis aflatoksin yang paling toksik AFG2,AFG, dan AFG mempunyai daya racun yang rendah, hanya 1/60-1/100 kali dibandingkan AFB, dan tidak terlalu berbahaya. Kapang tersebut banyak mencemari produk pertanian, diantaranya adalah kacang-kacangan, beras, jagung, gandum, biji kapas dan biji-bijian lainnya (DIENER dan DAVIS, 1969)

Masalah yang cukup berat akibat dari pencemaran aflatoksin pada pakan akan berlanjut dengan timbulnya gangguan keracunan bagi ternak yang mengkonsumsi pakan tercemar tersebut. Data FAO menyatakan bahwa 25% suplai biji-bijian di dunia terkontaminasi oleh kapang dan mikotoksin. Di negara Asia Tenggara malahan ditemukan sebanyak kira-kira 50% jagung dan 90% pakan ternak unggas terkontaminasi mikotoksin, yang merupakan sumber kerugian ekonomi utama pada industri peternakan di negara-negara tropis ini (Liu, 2002)


(19)

Hasil penelitian yang dilakukan International Agency for Research on Cancer terhadap hewan percobaan terbukti bahwa AFB, adalah senyawa racun bersifat karsinogen, dan pada tahun 1988 dimasukkan ke dalam urutan senyawa karsinogen bagi manusia Pernyataan ini didukung oleh data studi epidemiologi yang dilakukan di negara Asia dan Afrika yang ternyata ada korelasi positif antara mengkonsumsi pangan yang mengandung AFB, dengan kejadian kanker set hati. Kejadian penyakit akibat aflatoksin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, status pangan dan atau terjadi bersama-sama dengan agen penyebab lain seperti virus hepatitis atau infeksi parasit (GROOPMAN et al, 1988)

Untuk menjaga agar kadar aflatoksin pada pakan dan pangan tetap dalam batas-batas yang masih dapat ditolerir dan tidak membahayakan ternak dan manusia, beberapa negara termasuk Indonesia telah menetapkan batas maksimum kadar aflatoksin pada pakan dan pangan. Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dianggap dapat dilakukan lebih mudah dan cepat serta cukup sensitif. Kegiatan pengembangan kit ELISA aflatoksin B, telah dilakukan oleh Balitvet, dan telah dapat dirakit kit ELISA aflatoksin B, untuk analisis kandungan aflatoksin pada sampel pakan dan jagung. Pada tulisan ini disajikan situasi cemaran aflatoksin pada pakan dan bahan pakan jagung di Indonesia, peraturan yang berkaitan dengan mutu pakan terutama aflatoksin, serta teknik deteksi yang dikembangkan. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk lebih mewaspadai potensi pencemaran pakan dan bahan dasar pakan oleh aflatoksin, serta bahayanya bagi kesehatan ternak dan manusia. Dengan tersedianya teknik deteksi yang dikembangkan ini, maka kontrol kualitas pakan dan jagung diharapkan dapat dilakukan secara lebih cepat dan berkesinambungan (Zanneli,2000)


(20)

Kerugian di bidang peternakan akibat pencemaran pakan oleh Aflatoksin antara lain penurunan kualitas dan kuantitas produk peternakan. Kualitas produk menurun karena adanya residu aflatoksin pada produk ternak tersebut. Aflatoksin terdeteksi sesekali pada usu dan daging, karena ternaknya mengkonsumsi pakan yang mengandung aflatoksin. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia terbukti pakan ayam yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia umumnya tercemar aflatoksin (BAHRI et al, 1994a)

Pengaruh Aflatoksin pada ternak ruminansia dilaporkan oleh DASS dan ARORA (1994) Pada percobaan ini kerbau Murah umur 10 hari diberi susu yang mengandung AFB I 0 ; 0,3 ; 0,6 ; dan 1,0 ppm selama 13 minggu Ternyata rata-rata pertumbuhan bobot badan menurun secara nyata dengan meningkatnya dosis AFB yang diberikan. Pertambahan bobot badan kerbau masing-masing adalah 2,76 ; 2,15 ; 1,86 ; dan 1,5 kg. Analisis lebih Ianjut dari data pertumbuhan disarankan bahwa 0,14 ppm AFB adalah level aman yang dapat diberikan pada ternak besar pada periode umur di atas tercemarnya pakan ternak oleh kapang dan aflatoksin yang dihasilkannya juga dilaporkan dapat mengganggu fungsi metabolisme, absorpsi lemak, penyerapan unsur mineral, khususnya tembaga (Cu), besi(Fe), kalsium(Ca),dan fosfor (P), serta beta-karoten, penurunan kekebalan tubuh, kegagalan program vaksinasi, kerusakan kromosom, perdarahan,dan memar. Semua gangguan tersebut berakibat pertumbuhan terhambat dan kematian meningkat sehingga produksi ternak menurun (Jassar Dan Balwant Singh, 1989)


(21)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik (mikotoksin, toksin yang berasal dari fungi) yang dikenal mematikan dan karsinogenik bagi manusia dan hewan. Racun ini pertama kali secara tidak sengaja ditemukan pada tahun 1960-an, di mana lebih dari seratus ribu kalkun mati oleh sebab Turkey X disease. Kejadian serupa terjadi pula Uganda dan Kenya. Para ahli jamur (mikolog) menemui bahwa kacang tanah dari Brazilia tak cocok dan beracun bagi bebek. Para peneliti dari Inggris kemudian menemui penyebab matinya ternak itu oleh sebab kacang tanah yang beracun, yang dijadikan sebagai makanan ternak tersebut.

Praktis semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih pada kadar toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak memperhatikan faktor kelembaban (min. 7%) dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis merupakan tempat berkembang biak paling ideal.

Pada Aflatoksin senyawa yang paling toksik, berpotensi merangsang kanker, terutama kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi) ringan akibat kematian jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat menyebabkan sirosis, karsinoma pada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan bahan makanan, dan metabolisme nutrien. Toksin ini di hati akan direaksi menjadi epoksida yang sangat reaktif terhadap senyawa-senyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat dan mengganggu kerja gen.


(22)

Kandungan aflatoksin ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, pistacio, atau bunga matahari) , rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada, serta kunyit), dan serealia (seperti gandum, padi, sorgum, dan jagung). Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak yang memakan produk yang terinfestasi kapang tersebut. Obat juga dapat mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang ini (wikipedia.org). Aflatoksin merupakan nama sekelompok senyawa yang termasuk mikotoksin, bersifat sangat toksik. Aflatoksin diproduksi terutama oleh jamur

Aspergillus flavus dan A. parasiticus .Kontaminasi aflatoksin dalam bahan makanan

maupun pakan ternak lebih sering terjadi di daerah beriklim tropik dan sub tropik karena suhu dan kelembabannya sesuai untuk pertumbuhan jamur. Aflatoksin memiliki tingkat potensi bahaya yang tinggi dibandingkan dengan mikotoksin lain. Menurut Internasional

Agency for Research on Cancer aflatoksin B1 merupakan salah satu senyawa yang

mampu menjadi penyebab terjadinya kankerpada manusia.

Sifat senyawa aflatoksin stabil, sulit terurai, tidak larut dalam air, tidak rusak pada suhu panas, tahan sampai suhu antara 237-289 oC , sehingga sulit untuk mengurainya. Yang umum dikenal ada 6 jenis aflatoksin yaitu B1, B2, G1, G2, M1 dan M2 dan yang paling dominan serta berbahaya adalah aflatoksin B1 (AFB1). komoditas lain yang sudah terserang penyakit tanaman atau Aspergillus. Tumbuhan yang terserang penyakit biasanya juga mengandung aflatoksin. Jadi perkembangbiakan Aspergillus sudah terjadi saat pertumbuhan komoditi di lahan petani, sampai penyimpanan di gudang.

Aflatoksin dan dampaknya terhadap hewan yaitu dapat menghambat peningkatan bobot badan ternak unggas dan ruminansia, mengurangi produksi telur, menurunkan imun respon (daya kekebalan tubuh ternak), jumlah kematian ternak tinggi, mempengaruhi absorpsi unsur mineral Ca, Cu, Fe dan P, kerusakan organ hati serta


(23)

menyebabkan residu pada produk ternak, yang akan berbahaya bagi manusia. Dampak terhadap manusia jika terpapar oleh aflatoksin secara terus menerus dalam jumlah kecil dapat menyebabkan kerusakan organ hati. Efek kronis lainnya, menurunkan respon kekebalan, mudah terkena infeksi, sirosis hati, kanker hati.

1.2 Permasalahan

Permasalahannya adalah apakah kadar aflatoksin yang terdapat pada bahan baku jagung telah sesuai dengan syarat standar mutu perusahaan yaitu batas maximum 100 ppb di PT. Central Proteina Prima,Tbk.

1.3 Tujuan

1. Untuk lebih mewaspadai potensi pencemaran pakan dan bahan dasar pakan oleh aflatoksin, serta bahayanya bagi kesehatan ternak dan manusia.

2. Untuk mengetahui kadar aflatoksin dalam jagung sebagai bahan baku pakan ternak ikan secara spektrofotometer visibel.

1.4 Manfaat

1. Dapat mewaspadai potensi pencemaran pakan dan bahan dasar pakan oleh aflatoksin, serta bahayanya bagi kesehatan ternak dan manusia

2. dapat mengetahui kadar aflatoksin dalam jagung sebagai bahan baku pakan ternak ikan secara spektrofotometer visibel


(24)

PENENTUAN KADAR AFLATOKSIN DALAM JAGUNG SEBAGAI

BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IKAN SECARA

SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL

DI PT. CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.

ABSTRAK

Aflatoxin adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang terdapat pada sampel jagung, yang dapat dianalisa dan ditentukan kadarnya menggunakan alat spektrofotometer visibel.

Kadar persyaratan maximum aflatosin adalah 100 ppb, jika kadar aflatosin diatas 100 ppb dari sampel jagung ditolak dan tidak dapat dilanjutkan pengolahan ke dalam pabrik. Jika kadar aflatosin dibawah 100 ppb dari sampel jagung diterima dan dilanjutkan pengolahan ke pabrik.

Dari penelitian yang saya lakukan diperoleh hasil, dua sampel dari sepuluh kali percobaan yang melebihi batas maximum yaitu sampel ke enam dengan nilai kadar 115 ppb dan sampel kesembilan dengan nilai kadar 110 ppb.


(25)

DETERMINATION OF CONTENT AFLATOXINS in CORN AS RAW

MATERIALS FOR ANIMAL FEED FISH VISIBLE

SPECTROPHOTOMETRY

IN PT . CENTRAL PROTEIN PRIMA Tbk .

ABSTRACT

Aflatoxin is a mycotoxin produced by Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus contained in corn samples, which can be analyzed and assayed using a visible spectrophotometer.

Aflatosin maximum requirement levels are 100 ppb, if aflatosin levels above 100 ppb of maize samples, rejected and can not continue processing in the factory. If aflatosin levels below 100 ppb of maize samples received and proceed to the processing plant.

From the research that I did obtained the results, two samples out of ten that exceeds the maximum limit that the sample to six with a value of 115 ppb levels and ninth samples with a value of 110 ppb levels.


(26)

PENENTUAN KADAR AFLATOKSIN DALAM JAGUNG SEBAGAI

BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IKAN SECARA

SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL

DI PT. CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.

KARYA ILMIAH

DYNA LESTARI SIMBOLON

132401016

PROGRAM STUDI D3 KIMIA

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016


(27)

PENENTUAN KADAR AFLATOKSIN DALAM JAGUNG SEBAGAI

BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IKAN SECARA

SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL

DI PT. CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.

KARYA ILMIAH

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar ahli Madya

Disusun Oleh :

DYNA LESTARI SIMBOLON

132401016

PROGRAM STUDI D3 KIMIA

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016


(28)

PERSETUJUAN

JUDUL : PENENTUAN KADAR AFLATOKSIN DALAM

JAGUNG SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IKAN

SECARA SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL DI PT.CENTRAL PROTEINA PRIMA,Tbk

PERSETUJUAN : KARYA ILMIAH

NAMA : DYNA LESTARI SIMBOLON

NOMOR INDUK MAHASISWA : 132401016

DEPARTEMEN : KIMIA

FAKULTAS : MATEMATIKA DAN ILMU

PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di Medan, juni 2016 Diketahui / Disetujui oleh

Program studi D3Kimia Pembimbing,

FMIPA USU

Ketua

Dra, Emma Zaidar, M.Si Drs, Lamek Marpaung, M.Si NIP: 195512181987012001 NIP: 195208281982031001

Departemen Kimia F-MIPA USU ketua,

Dr. Rumondang Bulan, M.Si NIP: 195408301985032001


(29)

PERNYATAAN

PENENTUAN KADAR AFLATOKSIN DALAM JAGUNG SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IKAN SECARA SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL

DI PT. CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.

KARYA ILMIAH

Saya mengakui bahwa tugas akhir ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dari ringkasan masing- masing yang disebutkan sumbernya.

Medan , juni 2016

Dyna Lestari Simbolon Nim: 132401016


(30)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya yang besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini, yang merupakan salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Ahli Madya pada Program Diploma III

D3 Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Penulisan tugas akhir ini berdasarkan hasil kerja praktek lapangan di PT. CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.

Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak dan pada kesempatan ini, penulis menghanturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua penulis Ayahanda B.Simbolon dan Ibunda P.Br Sihite yang telah memberikan dorongan moril dan bantuan materil kepada penulis.

2. Ibu Dr.Rumondang Bulan,M.S selaku Ketua Jurusan Departemen Kimia F-MIPA USU 3. Ibu Drs. Emma Zaidar,M.Si selaku Ketua Bidang Studi D3 Kimia F-MIPA USU

4. Bapak Dr. Lamek Marpaung,M.S selaku Dosen pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan dalam penulisan karya ilmiah ini.

5. Seluruh Karyawan dan karyawati PT.CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk. DI JL.Pulau Pinang V No.1 kawasan Industri Medan II. Desa saintis Deli Serdang yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan bantuannya kepada penulis

6. Teman-teman Praktek Kerja Lapangan(PKL) Robet manik, judika yang sama-sama melaksanakan PKL di PT.CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.

7. Rekan-rekan mahasiswa D3 Kimia stambuk 2013 yang saling memberi semangat.

Dan penulisan tugas akhir ini penulis menyadari bahwa isi dan penyajiannya masih jauh dari sempurna untuk itu penulis mengharapkan kritik dan sarannya.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Medan, juni 216 Penulis


(31)

PENENTUAN KADAR AFLATOKSIN DALAM JAGUNG SEBAGAI

BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IKAN SECARA

SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL

DI PT. CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.

ABSTRAK

Aflatoxin adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang terdapat pada sampel jagung, yang dapat dianalisa dan ditentukan kadarnya menggunakan alat spektrofotometer visibel.

Kadar persyaratan maximum aflatosin adalah 100 ppb, jika kadar aflatosin diatas 100 ppb dari sampel jagung ditolak dan tidak dapat dilanjutkan pengolahan ke dalam pabrik. Jika kadar aflatosin dibawah 100 ppb dari sampel jagung diterima dan dilanjutkan pengolahan ke pabrik.

Dari penelitian yang saya lakukan diperoleh hasil, dua sampel dari sepuluh kali percobaan yang melebihi batas maximum yaitu sampel ke enam dengan nilai kadar 115 ppb dan sampel kesembilan dengan nilai kadar 110 ppb.


(32)

DETERMINATION OF CONTENT AFLATOXINS in CORN AS RAW

MATERIALS FOR ANIMAL FEED FISH VISIBLE

SPECTROPHOTOMETRY

IN PT . CENTRAL PROTEIN PRIMA Tbk .

ABSTRACT

Aflatoxin is a mycotoxin produced by Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus contained in corn samples, which can be analyzed and assayed using a visible spectrophotometer.

Aflatosin maximum requirement levels are 100 ppb, if aflatosin levels above 100 ppb of maize samples, rejected and can not continue processing in the factory. If aflatosin levels below 100 ppb of maize samples received and proceed to the processing plant.

From the research that I did obtained the results, two samples out of ten that exceeds the maximum limit that the sample to six with a value of 115 ppb levels and ninth samples with a value of 110 ppb levels.


(33)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN i

PERNYATAAN ii

PENGHARGAAN iii

ABSTRAK iv

ABSTRACT v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL vii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 2

1.3. Tujuan 3

1.4. Manfaat 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2

2.1. Pengenalan Tanaman Jagung 4

2.2. Penyakit yang Terdapat pada Jagung 4

2.3. Aflatoksin 9

2.4. Situasi Cemaran Aflatoksin Pada Pakan 14 Dengan Bahan Dasar Jagung

BAB 3 METODOLOGI PERCOBAAN 16

3.1. Alat 16

3.2. Bahan 16

3.3. Prosedur Kerja 16

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 18

4.1. Hasil Percobaan 18

4.2. Perhitungan 19

4.3. Pembahasan 21

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 22


(34)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Halaman

Tabel 4.1.1. Pengujian Aflatoksin Pada Jagung 18

Tabel 4.1.2. Pengujian Aflatoksin Pada Jagung Dengan 18 Berat Sampel, Gram Afltoksin, dan Ppb


(1)

PERNYATAAN

PENENTUAN KADAR AFLATOKSIN DALAM JAGUNG SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IKAN SECARA SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL

DI PT. CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.

KARYA ILMIAH

Saya mengakui bahwa tugas akhir ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dari ringkasan masing- masing yang disebutkan sumbernya.

Medan , juni 2016

Dyna Lestari Simbolon Nim: 132401016


(2)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya yang besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini, yang merupakan salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Ahli Madya pada Program Diploma III

D3 Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Penulisan tugas akhir ini berdasarkan hasil kerja praktek lapangan di PT. CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.

Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak dan pada kesempatan ini, penulis menghanturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua penulis Ayahanda B.Simbolon dan Ibunda P.Br Sihite yang telah memberikan dorongan moril dan bantuan materil kepada penulis.

2. Ibu Dr.Rumondang Bulan,M.S selaku Ketua Jurusan Departemen Kimia F-MIPA USU 3. Ibu Drs. Emma Zaidar,M.Si selaku Ketua Bidang Studi D3 Kimia F-MIPA USU

4. Bapak Dr. Lamek Marpaung,M.S selaku Dosen pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan dalam penulisan karya ilmiah ini.

5. Seluruh Karyawan dan karyawati PT.CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk. DI JL.Pulau Pinang V No.1 kawasan Industri Medan II. Desa saintis Deli Serdang yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan bantuannya kepada penulis

6. Teman-teman Praktek Kerja Lapangan(PKL) Robet manik, judika yang sama-sama melaksanakan PKL di PT.CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.

7. Rekan-rekan mahasiswa D3 Kimia stambuk 2013 yang saling memberi semangat.

Dan penulisan tugas akhir ini penulis menyadari bahwa isi dan penyajiannya masih jauh dari sempurna untuk itu penulis mengharapkan kritik dan sarannya.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Medan, juni 216 Penulis


(3)

PENENTUAN KADAR AFLATOKSIN DALAM JAGUNG SEBAGAI

BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IKAN SECARA

SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL

DI PT. CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.

ABSTRAK

Aflatoxin adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang terdapat pada sampel jagung, yang dapat dianalisa dan ditentukan kadarnya menggunakan alat spektrofotometer visibel.

Kadar persyaratan maximum aflatosin adalah 100 ppb, jika kadar aflatosin diatas 100 ppb dari sampel jagung ditolak dan tidak dapat dilanjutkan pengolahan ke dalam pabrik. Jika kadar aflatosin dibawah 100 ppb dari sampel jagung diterima dan dilanjutkan pengolahan ke pabrik.

Dari penelitian yang saya lakukan diperoleh hasil, dua sampel dari sepuluh kali percobaan yang melebihi batas maximum yaitu sampel ke enam dengan nilai kadar 115 ppb dan sampel kesembilan dengan nilai kadar 110 ppb.


(4)

DETERMINATION OF CONTENT AFLATOXINS in CORN AS RAW

MATERIALS FOR ANIMAL FEED FISH VISIBLE

SPECTROPHOTOMETRY

IN PT . CENTRAL PROTEIN PRIMA Tbk .

ABSTRACT

Aflatoxin is a mycotoxin produced by Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus contained in corn samples, which can be analyzed and assayed using a visible spectrophotometer.

Aflatosin maximum requirement levels are 100 ppb, if aflatosin levels above 100 ppb of maize samples, rejected and can not continue processing in the factory. If aflatosin levels below 100 ppb of maize samples received and proceed to the processing plant.

From the research that I did obtained the results, two samples out of ten that exceeds the maximum limit that the sample to six with a value of 115 ppb levels and ninth samples with a value of 110 ppb levels.


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN i

PERNYATAAN ii

PENGHARGAAN iii

ABSTRAK iv

ABSTRACT v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL vii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 2

1.3. Tujuan 3

1.4. Manfaat 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2

2.1. Pengenalan Tanaman Jagung 4

2.2. Penyakit yang Terdapat pada Jagung 4

2.3. Aflatoksin 9

2.4. Situasi Cemaran Aflatoksin Pada Pakan 14

Dengan Bahan Dasar Jagung

BAB 3 METODOLOGI PERCOBAAN 16

3.1. Alat 16

3.2. Bahan 16

3.3. Prosedur Kerja 16

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 18

4.1. Hasil Percobaan 18

4.2. Perhitungan 19

4.3. Pembahasan 21


(6)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Halaman

Tabel 4.1.1. Pengujian Aflatoksin Pada Jagung 18

Tabel 4.1.2. Pengujian Aflatoksin Pada Jagung Dengan 18