Gambaran Penerapan Program Behavior Based Safety di Departemen Hydrocarbon Transportation PT. Chevron Pasific Indonesia Distrik Minas Tahun 2016

9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Bahaya, Risiko, dan Kecelakaan Kerja
Bahaya adalah keadaan yang mempunyai potensi untuk menyebabkan

cedera pada manusia atau kerusakan harta benda maupun lingkungan alam.Risiko
adalah kemungkinan potensi terjadinya sesuatu yang menimbulkan kerugian.
Sementara, kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan yang dapat
mengganggu proses produksi/operasi, merusak harta benda/aset, mencederai
manusia, atau merusak lingkungan. Hubungan ketiganya ialah semakin tinggi
paparan terhadap bahaya yang tidak dapat dikendalikan, maka semakin tinggi
risiko yang dihadapi.Paparan meningkat dengan adanya perilaku tak aman dan
keadaan tak aman (Gunawan dan Martowiyoto, 2015).
2.1.1

Sumber Bahaya

Menurut Sahab, kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat menimbulkan

kerugian, baik kerugian langsung maupun tidak langsung. Kerugian ini bias
dikurangi jika kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dicegah dengan cara
dideteksi sumber-sumber bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan dan
penyakit akibat kerja tersebut (Indar, 2014).
Sumber-sumber bahaya berasal dari :
1. Manusia
a. Melakukan tindakan tidak aman,
b. Kurang bergairah,
c. Kurang terampil,

Universitas Sumatera Utara

10

d. Emosi terganggu,
e. Pengaruh sikap pimpinan,
f. Pengaruh motivasi.
2. Peralatan

a. Tidak digunakan sesuai fungsinya,
b. Tidak ada pelatihan tentang penggunaan alat,
c. Tidak dilengkapi dengan pelindung dan pengaman,
d. Tidak ada perawatan atau pemeriksaan.
3. Bahan
Bahaya dari bahan meliputi berbagai risiko sesuai dengan sifat bahan, antara
lain :
a. Mudah terbakar,
b. Mudah meledak,
c. Menimbulkan alergi,
d. Menyebabkan kanker,
e. Bersifat racun,
f. Radioaktif,
g. Mengakibatkan kelainan pada janin,
h. Menimbulkan kerusakan pada kulit dan jaringan tubuh.
4. Proses
Proses kadang dapat menimbulkan asap, debu, panas, bising, dan bahaya
mekanis seperti terjepit, terpotong, atau tertimpa bahan. Tingkat bahaya dari
proses ini tergantung pada teknologi yang digunakan.


Universitas Sumatera Utara

11

2.1.2 Manajemen Risiko
Menurut Sugandi dalam Socrates (2013), risiko adalah perwujudan potensi
bahaya yang mengakibatkan kemungkinan kerugian menjadi lebih besar.Melalui
analisis dan evaluasi semua potensi bahaya dan risiko, diupayakan tindakan
minimalisasi atau pengendalian agar terjadi bencana atau kerugian lainnya.
Menurut Kerzner dalam Socrates (2013), manajemen risiko adalah
serangkaian kegiatan yang salah satu di dalamnya terdapat penilaian (assement)
atau analisis dan identifikasi bahaya. Identifikasi bahaya dalam manajemen risiko
memerlukan metoda yang salah satunya merupakan daftar periksa atau Check
List, yang biasa digunakan dalam program Behavior Based Safety.

2.1.3

Kecelakaan Kerja
Kecelakaan Kerja adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak


diinginkan yang merugikan manusia, merusak harta benda, atau kerugian terhadap
proses.Kecelakaan kerja juga dapat didefinisikan sebagai suatu kejadian yang
tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban
manusia dan atau harta benda (Suma‟mur, 2009).
Menurut Winarsunu dalam Saodah (2015), faktor-faktor yang memiliki
kontribusi dalam kecelakaan, dalam model Multiple Factor Theories, mencakup 4
M, yaitu Man, Machine, Media , dan Management yang digambarkan saling
berinteraksi satu sama lain. Karakteristik man atau manusia meliputi umur,
gender, kemampuan, keterampilan, training, kekuatan motivasi, dan keadaan
emosi. Media meliputi lingkungan kerja seperti suhu, kebisingan, getaran, gedung,
jalan, dan ruang kerja. Machineatau mesin meliputi ukuran, bobot, bentuk, sumber
energi, cara kerja, tipe gerakan, dan bahan mesin. Sedangkan management adalah

Universitas Sumatera Utara

12

konteks dimana ketiga faktor Man, Media , dan Machine berada dan dijalankan.
Hal ini meliputi gaya manajemen, struktur organisasi, komunikasi, kebijakan, dan
prosedur-prosedur yang dijalankan di organisasi.

2.1.3.1. Konsep Kecelekaan Kerja
Menurut Heinrich dalam Tarwaka (2008), teori sebab akibat terjadi
kecelakaan dikenal dengan Teori Domino, yakni berupa kebiasaan, kesalahan,
tindakan dan kondisi tidak aman, kecelakaan, serta cidera. Memutus rangkaian
mata rantai tersebut dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja.
Menurut Gunawan dan Martowiyoto (2015), teori domino yang
diperbaharui dari Heinrich dilakukan oleh Frank E. Bird, Jr. menyatakan bahwa
ada 5 domino dari model Bird mengenai sistematis proses terjadinya insiden :
1. Kerugian (Loss), sebagai domino kelima.
Berbentuk kerusakan atau cedera pada manusia, peralatan dan sarana,
material, lingkungan alam, serta terganggunya proses operasi terjadi disebabkan
karena insiden.
Selain itu, berdasarkan teori Heinrich, Bird dan Germain dalam Tarwaka
(2008) menyampaikan bahwa kerugian diakibatkan salah satunya karena
kurangnya pengawasan dari pihak manajemen yang tidak merencanakan dan
mengorganisasi pekerja dengan benar serta tidak mengarahkan para pekerjanya
untuk terampil dalam melaksanakan pekerjaannya.
2. Insiden (Incident), sebagai domino keempat.
Berbentuk tabrakan/benturan, jatuh di tempat yang datar, terperangkap
pada sesuatu, terjepit, kontak dengan panas/bising/radiasi/B3, beban berlebihan,

kegagalan mesin, dan limbah bocor ke lingkungan.

Universitas Sumatera Utara

13

3. Penyebab Langsung (Immediate Causes), sebagai domino ketiga.
Berbentuk perilaku taka man maupun keadaan taka man di tempat kerja.
a.

Perilaku Tak Aman (Unsafe Act), mencakup :
1) Bekerja atau mengoperasikan tanpa kewenangan
2) Gagal memperingatkan
3) Gagal mengamankan
4) Beroperasi pada kecepatan yang salah
5) Membuat alat pengaman tidak berfungsi
6) Memakai Alat Pelindung Diri secara tidak benar
7) Penempatan secara salah
8) Mengangkat secara salah
9) Posisi tidak aman

10) Memelihara alat dalam keaadaan beroperasi
11) Bercanda saat bekerja
12) Gagal mengikuti prosedur

b.

Keadaan Tak Aman (Unsafe Condition), mencakup :
1) Pelindung tidak memadai
2) Alat pelindung tak memadai
3) Peralatan, sarana, atau material rusak
4) Ruang kerja kerja terbatas
5) Kurangnya sistem peringatan
6) Bahaya kebakaran atau ledakan
7) Buruknya kebersihan
8) Kebisingan

Universitas Sumatera Utara

14


9) Paparan radiasi
10) Temperature ekstrem
11) Penerangan kurang atau lebih
12) Ventilasi tidak memadai
13) Lingkungan tidak aman
4. Penyebab Dasar (Basic Causes), sebagai domino ketiga
a.

Faktor Manusia
1) Kurang kemampuan
2) Kurang pengetahuan
3) Kurang keterampilan
4) Mengalami stress
5) Kurang motivasi

b.

Faktor Pekerjaan dan Sistem
1) Kurang kepemimpinan/pengawasan
2) Kelemahan perekayasaan

3) Kelemahan pengadaan
4) Kurang pemeliharaan
5) Kurang peralatan, sarana kerja, material
6) Kurang standar kerja
7) Salah penggunaan

5. Kelemahan Pengendalian Manajemen, sebagai domino pertama.

Universitas Sumatera Utara

15

Menurut Frank E. Bird, kelemahan pengendalian manajemen merupakan
sebab akar dari insiden yang sering terjadi di perusahaan modern, mencakup :
a. Program tidak memadai.
Tidak cukupnya ketersediaan program dan tidak cukupnya pengetahuan
terhadap program.Kegiatan Health & Safety Environment (HES) tidak
berupaya mengadakan kegiatan yang bertujuan mencegah insiden, seperti
pedoman, pelatihan, penyediaan peralatan, ataupun pemeliharaan.
b. Standar dari program kurang memadai.

Program telah tersedia, tetapi program yang ditetapkan tidak cukup berarti
atau tidak spesifik.Kurangnya kemampuan memberi petunjuk bagi upaya
mencegah insiden, termasuk pengetahuan pada setiap pekerja.
c. Kurang kepatuhan terhadap standar.
Tersedia standar-standar bagi program, tetapi gagal melakukan kegiatan
sesuai standar atau tidak dipatuhi oleh pekerja dan gagal mengatur pekerja
agar mematuhi standar.
2.1.3.2 Kerugian Akibat Kecelakaan Kerja
Menurut Cooper (2010), kerugian akibat kecelakaan kerja dapat
dikategorikan menjadi dua :
1. Kerugian Langsung
a.

Biaya Investigasi
Hal ini digambarkan oleh Cooper dengan menghitung berapa banyak
orang yang terlibat kemudian dikalikan dengan jumlah jam kerja
kemudian dikalikandengan gaji per jam rata-rata.

Universitas Sumatera Utara


16

b.

Kerusakan Sarana dan Downtime Production
Hal ini berupa kerusakan sarana produksi akibat kebakaran, peledakan,
atau hal lainnya yang dapat merusak. Sementara downtime production
berupa waktu yang terbuang akibat mengurusi karyawan yang mengalami
cidera sehingga menghambat proses produksi atau tertundanya pekerjaan
serta waktu terbuang untuk perbaikan akibat kerusakan.

c.

Biaya Pengobatan dan Kompensasi
Jika terjadi kecelakaan, perusahaaan harus mengeluarkan biaya
pengobatan dan tunjangan kecelakaan sesuai ketentuan terkait.

2. Kerugian Tidak Langsung
a.

Kerugian Sosial
Dampak sosial bagi keluarga korban yang mengalami kecelakaan maupun
bagi lingkungan sosial sekitarnya.

b.

Gangguan Bisnis dan Reputasi Perusahaan
Hal ini menyangkut nama baik perusahaan yang sudah lama dijaga
bertahun-tahun secara tidak langsung akan berpengaruh pada hubungan
bisnis.

c.

Perbaikan atau Pergantian Staff/Manajemen
Apabila kecelakaan menyebabkan perusahaan kehilangan karyawan,
maka perusahaan akan mengeluarkan biaya untuk pemilihan sumber daya
manusia yang layak untuk ditempatkan di posisi kosong. Selain itu,
perusahaan juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mengadakan
pelatihan ulang atau re-posisi manajemen.

Universitas Sumatera Utara

17

2.2

Behavior Based Safety (BBS)

Behavior Based Safety (BBS) adalah proses keterlibatan pekerja

dalammemahamiberbagai hal kemungkinan yang dapat menyebabkan cidera,
memberi masukan, dan mengamati sesama rekan kerja demimengurangi perilaku
berisiko (Kaila, 2010). Proses BBS secara terstruktur berupa mengidentifikasi
perilaku, mengukur kinerja, memberikan feedback, mengidentifikasi perilaku
baru, serta menentukan peran perkerja dalam jalannya program BBS (Krause dkk,
1990).
2.2.1

Model ABC
Agnew dan Syder (2008) menyatakan banyak perusahaan telah memiliki

peraturan dan regulasi yang lengkap mengenai keselamatan dan kesehatan kerja,
namun

masih

banyak

karyawan

yang

mengalami

cidera

dalam

bekerja.Kenyataannya bahwa segala peraturan dan regulasi tersebut hanya sebuah
pajangan instruksi.Krause (1990) menyatakan bahwa 80–95% kecelakaan terjadi
akibat perilaku tidak aman.Semua program keselamatan yang berjalan dengan
baik disebabkan karena efektifnya program sehingga memengaruhi perilaku
karyawan.Untuk mengetahui bagaimana cara orang-orang berperilaku dengan cara
tertentu atau mengapa pekerja tetap bekerja dalam keadaan berisiko, maka yang
dibutuhkan adalah memahami dan menganalisis ilmu perilaku, disebut Model
ABC (Antecedent, Behavior , danConsequence), yaitu mengenai Mengapa (sebab
atau penggerak), kita melakukan Apa (perilaku) yang kita lakukan, serta persepsi
akan Dampak (akibat) dari perilaku.
Penjelasan Model Perilaku ABC menurut Gunawan dan Martowiyoto
(2015) adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

18

1. Antecedent
Antecedent merupakan sesuatu yang terjadi sebelum perilaku dan

membangun atau mendorong seseorang melakukan sesuatu, atau alasan seseorang
melakukan sesuatu.Antecedent juga disebut sebagai aktivator, yaitu adanya
tindakan karena adanya pendorong atau penggerak.Aktivator ini dapat berbentuk
faktor dalam diri manusia atau faktor di luar diri manusia. Tindakan akan
dilakukan atau tidak, masih dipengaruhi oleh tata nilai, sikap, maupun kesadaran
diri perilaku.
Faktor dalam diri manusia yang memengaruhi antecedent ialah
pengetahuan, kemampuan fisik, keadaan mental, atau emosi (lelah, bingung,
stress), sikap (attitude), pengalaman masa lalu, dan kebiasaan (habit).Faktor dari
luar yakni ciri pekerjaan, peralatan, lingkungan fisik tempat kerja, lingkungan
sosial, budaya organisasi, pendidikan, sistem kerja, dan kepemimpinan.
2. Behavior
Perilaku adalah segala sesuatu yang dapat dilakukan makhluk hidup,
khususnya manyusui.Perilaku ini dapat berbentuk perilaku aman atau tak aman;
perilaku yang benar atau tidak benar; dan jalan pintas yang melanggar aturan, baik
prosedur maupun standar.
Aktivator mengarahkan untuk dilakukannya suatu perilaku. Aktivator
menentukan perilaku akan diulang kembali atau tidak diulang, tetapi oleh persepsi
atau pemahaman pelaku terhadap dampak atau consequences.

Universitas Sumatera Utara

19

3. Concequences
Aktivator menentukan langkah awal dari perilaku, tetapi tidak yang
mengendalikan perilaku adalah dampak perilaku (consequences).Perilaku
merupakan fungsi dari hasil persepsi terhadap dampak.
Bobot dampak ditentukan oleh :
a. Waktu. Apakah terjadi segera (soon/immediate) yang disingkat S, atau
yang berjangka panjang (future) atau berselang (delayed), yang disingkat
N. Dampak yang terjadi segera (s), akan memberikan pengaruh lebih kuat
daripada yang berselang.
b. Kepastian. Apakah dampak itu pasti (certain) terjadi mengikuti perilaku,
yang disingkat P atau dampak belum pasti (uncertain) terjadi atau ragu,
disingkat R. Dampak yang pasti memberikan pengaruh yang lebih kuat
daripada yang belum pasti.
c. Makna. Apakah dampak tersebut positif (+) atau negative (-). Dampak
positif berpengaruh lebih kuat bagi pelaku untuk melakukannya lagi,
sedangkan dampak negatif akan mencegah tindakan tersebut.
Menurut Steve Jacobs dalam Gunawan dan Martowiyoto (2015),
antecedent berpengaruh lebih kecil, yaitu 20% daripada consequence yang

berbobot sekitar 80%, yang akan mempertahankan perilaku secara berkelanjutan.
Kebanyakan perusahaan lebih memusatkan upaya pada penggerak, seperti
memberikan pelatihan, dan kurang pada consequence, seperti penghargaan pada
yang berperilaku aman.

Universitas Sumatera Utara

20

2.2.2

Pelaksanaan Program Behavior Based Safety

2.2.2.1 Observasi
Menurut McSween (2003) dapat disimpulkan bahwa langkah pertama
untuk mengembangkan prosedur BBS adalahmenganalisis insiden dan cedera
dalam perusahaan terlebih dahulu. Secara umum, insiden yang ditinjau adalah
yang terjadi tiga hingga lima tahun sebelumnya. Beberapa sasaran penting dalam
mengembangkan prosedur observasi:
1. Mengidentifikasi perilaku-perilaku untuk kartu observasi berdasarkan
frekuensi terjadinya dan potensi keparahannya.
2. Mengidentifikasi apakah cedera parah kemungkinan besar terjadi selama
operasi rutin atau tidak rutin.
3. Mengidentifikasi waktu dalam sehari dan hari dalam seminggu dimana cedera
paling banyak terjadi.
Langkah selanjutnya setelah ditentukan sasaran prosedur observasi ialah
mengembangkan isi kartu observasi (checklists). Isi checklists kemudian
dikategorikan sesuai dengan kriteria tertentu sesuai dengan pekerjaan.Secara
umum, isi checklists disesuaikan dengan area kerja tertentu, misalnya berbeda
isinya antara area produksi, perbaikan, laboratorium, gudang, dan sebagainya.
Dalam beberapa kasus dapat pula disatukan menjadi sebuah checklists saja.
Definisi operasional dicantumkan sebaiknya di belakang checklists untuk
memudahkan observer atau karyawan dalam mengisi kartu observasi.
Observer atau petugas yang mengisi kartu observasi pada umumnya
melibatkan peran seluruh karyawan. Artinya, setiap karyawan dapat menjadi
observer bagi karyawan lain. Perusahaan yang memiliki budaya K3 yang baik

Universitas Sumatera Utara

21

dengan pengetahuan dan kesadaran karyawan terhadap K3 tinggi sangat
memungkinkan melibatkan seluruh karyawan sebagai observer.Perusahaan yang
tidak secara rutin menunjukkan komitmen terhadap K3, lebih memilih manajer
dan supervisor untuk menjadi observer. Apabila perusahaan dalam tahap
pembuatan program BBS, maka lebih baik apabila anggota tim desain yang
sebaiknya menjadi observer.
Frekuensi dilakukannya observasi tergantung pada besarnya risiko dalam
bekerja apakah akan dibuat setiap hari, setiap minggu, atau setiap bulan. Apabila
sebuah area kerja memiliki risiko yang besar maka sebaiknya observasi dilakukan
setiap hari dan melibatkan peran seluruh karyawan.Pada umumnya perusahaan
manufaktur melakukan observasi setiap minggu.Observasi yang dilakukan setiap
bulan sebaiknya membutuhkan peran supervisor dan manager.
Strategi observasi menurut Krause (1990) terdiri dari dua tipe, yaitu :
1. Observasi berpusat pada situasi.
Observasi ini dilakukan berdasarkan penglihatan observer terhadap situasi
pekerja dalam melakukan pekerjaannya sehingga akan muncul pertanyaan dari
observer seperti, Apa potensi cedera di sini? Kata operatif dalam pertanyaan
tersebut ialah potensi.Potensi cedera bukan berarti ada orang yang mungkin
akan terluka, namun mengacu kepada bagaimana orang akan terluka
berdasarkan waktu dan kondisi yang tepat.
2. Observasi berpusat pada lembar data.
Lembar data adalah seperti checklists, memastikan ketelitian dalam melakukan
observasi.Tipe

ini

lebih

mudah

daripada

observasi

berpusat

pada

Universitas Sumatera Utara

22

situasi.Observasi dilakukan berdasarkan poin-poin yang sudah ditentukan
dalam checklists.
Prosedur dalam melakukan observasi memiliki tujuan sebagai standar
observer dalam menjalankan tugasnya. Tujuh langkah prosedur dalam melakukan
observasi menurut Krause (1990) :
1. Langsung menuju ke tindakan.
Melakukan observasi dimana kejadian sedang berlangsung.
2. Melihat orang sebanyak mungkin.
Dengan melihat orang sebanyak mungkin, maka dapat melihat pula perilaku
yang sedang dilakukan selain kondisi dan hal lainnya.
3. Memperkenalkan diri sendiri.
Ketika observer mulai melaksanakan tugasnya, maka yang pertama sebaiknya
dilakukan adalah memperkenalkan diri sendiri dan menjelaskan apa yang
sedang mereka lakukan. Observer bukanlah mata-mata dan mereka
memperlihatkan lembar data checklists dan berbicara kepada pekerja
mengenai proses observasi. Observer mengatakan kepada pekerja mengenai
apa saja yang telah diamati setelah pekerja selesai melakukan pekerjaan.
Apabila pekerja khawatir setelah diamati, observer meyakinkan bahwa tidak
aka nada nama yang dicatat dan tidak ada tindakan disipliner akan hasil dari
pengamatan.
4. Observasi berpusat pada situasi.
Observer membutuhkan waktu dan mempelajari situasi, melihat potensi
cedera.Observer sebaiknya tidak melakukan poin ini terburu-buru sebelum

Universitas Sumatera Utara

23

menemukan potensi cedera atau memastikan situasi pada dasarnya
aman.Kemudian, dengan sangat teliti melanjutkan tugas ke poin berikutnya.
5. Observasi berpusat pada lembar data.
Observer memeriksa dan mengisi lembar data checklists secara sistematis.
6. Memberikan umpan balik secara lisan.
Setelah mengisi data perilaku selamat dan tidak selamat dan mengalkulasi %
angka keselamatan, observer memberika umpan balik kepada pekerja.
7. Dari awal hingga akhir – 20 s.d. 30 menit.
Seluruh prosedur, termasuk kalkulasi dan umpan balik, seharusnya memakan
waktu sekitar 20 hingga 30 menit.
2.2.2.2 Feedback (Umpan Balik)
Umpan balik adalah informasi yang diberikan kepada seseorang atau
sebuah grup mengenai perilaku dan dampak dari perilaku yang dilakukan, serta
merupakan suatu alat komunikasi yang terpenting dalam membantu pekerja agar
tetap sehat dan selamat (Health and Safety Authority, 2013).
Umpan balik diberikan oleh observer secara lisan dan mendiskusikan hasil
observasi. Hasil observasi tersebut berupa percakapan dengan pekerja yang
diobservasi dan catatan perilaku pekerja pada lembar data, serta mengapa observer
mencatat apa yang pekerja lakukan.Teknik dalam penyampaian umpan balik
dilakukan secara berurutan, yaitu umpan balik positif diberikan terlebih dahulu,
kemudian menyampaikan hal-hal yang perlu diperbaiki (Krause 1990).
Berikut adalah beberapa poin tentang bagaimana cara memberikan umpan
balik menurut Krause (1990) :

Universitas Sumatera Utara

24

1. Cegah kecelakaan. Observer yang melihat pekerja berpotensi mengalami
kecelakaan segera menghentikan pekerja tersebut agar terhindar dari
terjadinya kecelakaan.
2. Hormati pekerja yang sedang diamati. Pekerja tahu apa yang mereka kerjakan
dan mereka mungkin memiliki alasan untuk melakukan pekerjaan sesuai
dengan cara mereka sendiri. Hal ini bukanlah tugas seorang observer untuk
menggurui pekerja. Tidak satupun antara pekerja dan observer menginginkan
terjadinya kecelakaan.
3. Berpegang pada fakta. Observer tidak mendiskusikan orang tetapi perilaku.
4. Spesifik dalam penyampaian. Observer menyampaikan hal yang spesifik
sehingga pekerja tahu apa inti dari umpan balik yang disampaikan.
5. Mengakui kemajuan dari pekerja. Observer memuji peningkatan kinerja
pekerja serta membahas perbaikan-perbaikan lain lebih lanjut.
Observer seharusnya tidak menginterogasi pekerja yang diamati selama
mencari informasi penting.Diskusi yang dijalankan sebaiknya dua arah, atau
diskusi mengenai problem-solving yang edukatif antara kedua pihak.Secara
khusus, observer sebaiknya menghindari dua jenis pertanyaan seperti pertanyaan
retorik dan pertanyaan yang diawali dengan “mengapa”.Masalah sederhana yang
sering terjadi dengan pertanyaan retorik adalah memudahkan pekerja menjadi
marah.Pertanyaan yang diawali dengan “mengapa” membuat pekerja menjadi
sangat defensif dalam memberikan jawaban.“Mengapa” kemudian sebaiknya

diganti dengan kata “apa” atau “bagaimana” sehingga mendorong pekerja untuk
menjawab lebih terbuka dan tepat sasaran (McSween, 2003).

Universitas Sumatera Utara

25

2.2.3

Steering Committee

Menurut McSween (2003) dapat disimpulkan bahwa Steering Committee,
atau biasa disebut SC, adalah sebuah tim yang terbentuk dari beberapa karyawan
terpilih yang sudah melewati pelatihan sebagai observer dalam program BBS. SC
efektifnya terdiri dari 5 hingga 8 orang atau lebih yang merepresentasi departemen
masing-masing dimana karyawan bekerja dan biasanya berasal dari tim desain
program K3.SC melakukan pertemuan (meetings) secara regular untuk
membincangkan teknik pemecahan masalah dari hasil data laporan BBS dan
perencanaan mengenai program keselamatan kerja.
Menjadi steering committee, seperti yang diuraikan oleh McSween, ialah
tahu bagaimana cara :
1. Mengindentifikasi, menguatkan, serta mendorong terciptanya kondisi dan
penerapan perilaku selamat dalam bekerja kepada seluruh karyawan beserta
jajaran manajemen yang mendukung proses tersebut;
2. Menyajikan data keselamatan kepada karyawan lainnya di dalam meetings
sebagai feedback dan membimbing karyawan dalam mencapai tujuan serta
target;
3. Menilai apakah proses keselamatan sudah dilakukan dengan benar sesuai
dengan nilai dan prinsip perilaku selamat dalam bekerja yang telah dibuat oleh
perusahaan; dan
4. Mengefektifkan penggunaan waktu dan sumber daya dalam meetings.
Steering committee memiliki peran sangat besar dalam menyukseskan

proses keselamatan berbasis perilaku serta mengelola dan meningkatkan tiga
aspek dalam proses :

Universitas Sumatera Utara

26

A. Mengelola Jalannya Program BBS
SC melindungi integritas dari prinsip-prinsip :
1. Komponen 1: Keterlibatan Karyawan
a) Prinsip 1: Karyawan yang berpartisipasi sebagai observer memiliki
perilaku

keselamatan

yang

lebih

baik

daripada

orang-orang

yangiaamati. Karena itu, semakin banyak pekerja yang melakukan
observasi maka semakin baik.
b) Prinsip 2: Semakin sering karyawan diobservasi dan menerima
feedback,

maka

semakin

besar

kemungkinan

mereka

untuk

meningkatkan keselamatan mereka. Karena itu, semakin sering
observasi dilakukan maka semakin baik.
c) Prinsip 3: Banyak nilai proses BBS dalam percakapan antara observer
dengan orang-orang yang diamati. Karena itu, kualitas dari sesi
observasi dan umpan balik semakin baik (kritis).
2. Komponen 2: Analisis Data dan Proyek Perbaikan
a) Prinsip 4: Sebagian besar manfaat dari proses BBS berasal dari
perbaikan yang direkomendasikan atau dilaksanakan oleh SC
berdasarkan analisis data obervasi dan informasi terkait. Karena itu,
para SC harus melakukan analisis yang berkualitas dan tepat waktu
sesuai dengan data dan target perilaku.
b) Prinsip 5: Berdasarkan analisis, SC harus mengembangkan dan
menerapkan rencana aksi dalam meningkatkan target.

Universitas Sumatera Utara

27

Fungsi Steering Committee secara spesifik ialah :
1) Melampirkan hasil umpan balik dalam bentuk grafik, table, dan
daftar list.
2) Mendorong partisipasi sesama karyawan secara personal.
3) Melaporkan proses, hasil, dan permasalahan yang ditemukan
selama program BBS berjalan kepada supervisor dan manajer.
4) Mendiskusikan proses, menyediakan umban balik dari setiap
departemen, dan membimbing sesama karyawan untuk mengatur
tujuan baru di area meetings.
B. Mengelola Hasil Program BBS
SC meninjau kembali data observasi untuk memastikan bahwa proses BBS
mencapai akhir yang diinginkan. Peninjauan yang dilakukan berupa: besarnya
persentase keselamatan dari hasil penilaian kartu observasi, besarnya persentase
yang ditargetkan mengalami peningkatan atau tidak, dan besarnya pencapaian
poin-poin keselamatan pada kartu observasi apakah mendekati 100% atau tidak
dalam setahun periode kerja.
C. MengelolaTindak Lanjut Program BBS
Hasil dan keluaran program BBS dianalisis untuk dilihat apakah karyawan
bekerja dengan selamat, sehingga menurunkan angka cedera.Perusahaan
mengamati apakah program BBS tercapai atau tidak. Dari hasil analisis, program
ditindaklanjuti dan diperbaharui apabila terjadi perubahan yang signifikan untuk
mencapapai tujuan yang baru.

Universitas Sumatera Utara