Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dalam Menjalani Terapi Antiretroviral (ARV) di Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

HIV/AIDS

2.1.1

Pengertian HIV/AIDS
HIV adalah virus yang menurunkan kekebalan tubuh manusia yang

menyebabkan AIDS dan termasuk golongan retrovirus yang terutama ditemukan
dalam cairan tubuh, seperti darah, cairan mani, cairan vagina dan air susu ibu.
Terjadinya proses penularan HIV dari ibu ke anak juga menjadi salah satu
penyebab meningkatnya kasus HIV. Dengan perencanaan yang lebih baik dan
cermat dalam merencanakan keturunan bagi pasangan usia subur dan suami istri
dengan HIV positif masih memungkinkan untuk mendapatkan keturunan yang
terhindar dari infeksi HIV (Depkes RI, 2006).
AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV. HIV
terus menerus merusak kekebalan tubuh. Sistem kekebalan yang sehat

mengendalikan kuman (infeksi ikutan), kurang lebih 7-10 tahun setelah penularan
oleh HIV. AIDS belum bisa disembuhkan, namun infeksi ini dapat dikendalikan
dengan obat antiretroviral (ARV) (Aji, 2010). Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang

menyebabkan melemahnya sistem kekebalan tubuh seseorang, membuatnya lebih
rentan terhadap berbagai penyakit, sulit sembuh dari berbagai penyakit infeksi
oportunistik dan bisa menyebabkan kematian. Hubungan heteroseksual,
penggunaan jarum suntik bersama pada pengguna narkoba suntik (penasun),

9
Universitas Sumatera Utara

10

penularan dari ibu ke bayi selama periode kehamilan, kelahiran dan menyusui,
tranfusi darah yang tidak aman dan praktek tatoo merupakan cara penularan HIV
pada umumnya (Kemenkes, 2012).
2.1.2


Penularan HIV/AIDS
Menurut Komite AIDS HKBP (2011), penularan HIV/AIDS dapat

melalui:
1. Darah, dapat melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV dan melalui
pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar HIV.
2. Cairan sperma dan cairan vagina, melalui hubungan seks tanpa menggunakan
kondom.
3. Transfusi darah yang tercemar, alat cukur dan peralatan lainnya. Bila seorang
pengidap HIV/AIDS bercukur dan luka, lalu darahnya menempel pada pisau
cukur, maka bila orang yang berpangkas berikutnya terluka maka dia akan
memiliki resiko besar tertular HIV.
4. Air Susu Ibu (ASI), penularan ini dari seorang ibu hamil yang positif HIV
dan melahirkan secara normal, kemudian menyusui bayinya dengan ASI.
Selain itu, HIV juga dapat menular melalui pisau cukur yang dipakai oleh
tukang pangkas.
2.1.3

Penanggulangan HIV/AIDS
Penanggulangan HIV/AIDS yang perlu diprioritaskan adalah upaya


pencegahan melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Pendidikan
kesehatan reproduksi, program pendidik sebaya (peer educator) merupakan

Universitas Sumatera Utara

11

komponen penting dalam KIE disamping upaya lainnya seperti penanggulangan
NAPZA, konseling, pendamping dan perawatan ODHA (Permenkes, 2013).
Sampai saat ini belum ditemukan obat yang mampu membunuh HIV
maupun vaksin untuk mencegah penularan. Obat-obatan yang ada dan digunakan
saat ini lebih kepada upaya melemahkan daya progresivitas virus, memperlambat
perkembangbiakan virus, memperkuat daya tahan tubuh dengan meningkatkan
antibodi yang akan meningkatkan kualitas hidup ODHA. Terapi yang dikenal
sebagai terapi antiretroviral (ARV) seperti Nevirapine, Efavirens, Tenovir dan
lain-lain dapat diperoleh di rumah sakit tertentu dan terbukti sangat menolong
ODHA (Permenkes, 2013).
2.1.4


Pendiagnosaan HIV/AIDS
WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun

anak. Untuk dewasa maupun anak, stadium klinis HIV/AIDS masing-masing
terdiri dari 4stadium. Jika dilihat dari gejala yang terjadi pembagian stadium klinis
HIV/AIDS adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Stadium Klinik HIV/AIDS
Gejala terkait HIV

Stadium Klinis

Asimptomatik

1

Gejala ringan

2

Gejala lanjut


3

Gejala berat / sangat lanjut

4

Sumber : Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk ODHA, 2006

Gejala klinis khas HIV adalah sebagai berikut :
1. HIV Stadium I : Asimtomatis atau terjadi PGL (persistent generalized
lymphadenopath)

Universitas Sumatera Utara

12

2. HIV Stadium II : Berat badan menurun lebih dari 10%, ulkus atau jamur di
mulut, menderita herpes zoster 5 tahun terakhir, sinusitis, rekuren.
3. HIV Stadium III : Berat badan menurun lebih dari 10%, diare kronis,

dengan sebab tak jelas lebih dari 1 bulan.
4. HIV Stadium IV : Berat badan menurun lebih dari 10%, gejala-gejala
infeksi pneumosistosis, TBC, kriptokokosis, herpes zoster dan infeksi
lainnya sebagai komplikasi turunnya sistem imun, virus penyebabnya
dapat diisolasi dari limfosit darah tepi atau dari sumsum tulang penderita.
Menurut kriteria WHO gejala klinis AIDS untuk penderita dewasa
meliputi minimum 2 gejala major dan 1 gejala minor.
Gejala major : 1. Berat badan menurun lebih dari 10%
2. Diare kronis lebih dari 1 bulan
3. Demam lebih dari 1 bulan.
Gejala minor : 1. Batuk lebih dari 1 bulan
2. Pruritus dermatitis menyeluruh
3. Infeksi umum rekuren misalnya herpes zoster atau herpes
simpleks
4. Limfadenopati generalisata
5. Kandidiasis mulut dan orofaring

2.2

Kepatuhan


2.2.1

Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan (Adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat

adanya interaksi antara pertugas kesehatan dan pasien sehingga pasien mengerti

Universitas Sumatera Utara

13

rencana dengan segala konsekuensinya dan menyetujui rencana tersebut serta
melaksanakannya (Kemenkes RI, 2011). Menurut Siregar (2006), kepatuhan
adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasihat medis atau
kesehatan dan menggambarkan penggunaan obat sesuai dengan petunjuk pada
resep serta mencakup penggunaannya pada waktu yang benar.
Kepatuhan sebagai suatu proses yang dinamis, dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang tidak berdiri sendiri, memerlukan suatu kombinasi strategi promosi,
memerlukan sebuah tim yang terdiri dari multidisiplin profesi yang terintegrasi

dan dapat bekerjasama dengan baik dalam memberikan perawatan komprehensif
berkesinambungan. Perawatan komprehensif berkesinambungan adalah perawatan
yang melibatkan suatu tim/ jejaring sumberdaya dan pelayanan dukungan secara
holistik untuk ODHA dan keluarganya, baik di dalam rumah sakit maupun diluar
rumah sakit sepanjang perjalanan penyakitnya dan seumur hidup (Kepmenkes RI,
2011).
Penggunaan obat ARV diperlukan tingkat kepatuhan tinggi untuk
mendapatkan keberhasilan terapi dan mencegah resistensi. Untuk mendapatkan
respon penekanan jumlah virus sebesar 85% diperlukan kepatuhan penggunaan
obat 90-95%, dalam hal ini pasien sehingga obat tidak dapat berfungsi atau gagal.
Berdasarkan penelitian pada tahun 2004, di Amerika Serikat dan Eropa
didapatkan 10% dari infeksi baru HIV/AIDS menunjukkan resistensi terhadap
ARV (Depkes RI, 2006). Pada setiap kunjungan kepatuhan harus selalu dipantau
dan dievaluasi secara teratur. Ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi ARV

Universitas Sumatera Utara

14

sering mengakibatkan kegagalan terapi ARV. Untuk mencapai supresi virologis

yang baik diperlukan tingkat kepatuhan terapi ARV yang sangat tinggi.
2.2.2

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepatuhan
Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003), perilaku patuh

dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yang meliputi faktor predisposisi (predisposing
factor ), faktor pendukung (enabling factor ), dan faktor pendorong (reinforcing
factor ).

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. Hal
ini dapat dicontohkan pada seseorang yang tidak mau melakukan sesuatu
karena orang tersebut tidak mengetahui manfaatnya.
2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya sarana dan fasilitas kesehatan, seperti:
RS, Puskesmas, obat-obatan, jamban dan sebagainya. Contohnya pada daerah
yang tidak ada fasilitas kesehatan, atau fasilitas yang ada jaraknya sangat jauh
dan sulit ditempuh oleh masyarakat.
3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap

dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok
panutan dari perilaku masyarakat. Misalnya petugas kesehatan atau
masyarakat sekitarnya tidak pernah memanfaatkan fasilitas kesehatan.
Green juga menjelaskan agar sebuah intervensi yang akan dilakukan dapat
lebih efektif, maka perlu dilakukan diagnosis atau analisis terhadap masalah

Universitas Sumatera Utara

15

perilaku tersebut. Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku
dipengaruhi 3 faktor utama seperti sudah diuraikan diatas, yaitu:
a. Faktor predisposisi : yaitu faktor yang mencakup sikap individu terhadap
kesehatan, tradisi dan kepercayaan individu/masyarakat terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan masalah kesehatan, system nilai yang dianut oleh individu/
masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.
b. Faktor pemungkin : yaitu faktor yang mencakup ketersediaan sarana dan
prasarana yang tersedia untuk kepentingan masyarakat yang mendukung atau
memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan yang positif pada masyarakat.
c. Faktor penguat : yaitu faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh

agama, sikap dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga
undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan kesehatan.
Dengan demikian disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat
tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan
sebagainya dari seseorang atau masyarakat yang bersangkutan. Ketersediaan
fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan
dapat mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.
Menurut Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral dalam Kemenkes
(2011), terdapat faktor yang memengaruhi pasien ODHA dalam menjalani terapi
antiretroviral, yaitu :
1.

Fasilitas layanan kesehatan. Sistem pembiayaan kesehatan yang mahal,
sistem layanan yang berbelit, tidak jelas adalah salah satu penghambat yang
sangat berpengaruh terhadap kepatuhan, karena hal tersebut menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

16

pasien tidak dapat mengakses layanan kesehatan dengan mudah. Termasuk
diantaranya fasilitas dan ruangan yang nyaman, jaminan kerahasiaan dan
penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan membantu pasien.
2.

Karakteristik Pasien, meliputi faktor sosio-demografi (umur, jenis kelamin,
suku, pekerjaan, pendidikan dan penghasilan) dan faktor psikososial
(kesehatan jiwa, penggunaan NAPZA, lingkungan dan dukungan sosial,
pengetahuan dan perilaku terhadap HIV dan terapinya).

3.

Panduan terapi ARV, meliputi jenis obat yang digunakan dalam panduan,
jumlah pil yang harus diminum, karakteristik obat dan efek samping dan
kemudahan untuk mendapatkan ARV.

4.

Hubungan pasien-tenaga kesehatan. Karakteristik hubungan pasien-tenaga
kesehatan yang dapat memengaruhi kepatuhan meliputi : kepuasan dan
kepercayaan pasien terhadap tenaga kesehatan dan kepuasan dan kepercayaan
pasien terhadap tenaga kesehatan, pandangan pasien terhadap kompetensi
tenaga kesehatan, komunikasi, nada afeksi dari hubungan tersebut (hangat,
terbuka, kooperatif) dan kesesuaian kemampuan dan kapasitas tempat layanan
dengan kebutuhan pasien.

5.

Karakteristik penyakit penyerta, meliputi stadium klinis dan lamanya sejak
terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala yang
berhubungan dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit lain
menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum.

Universitas Sumatera Utara

17

Faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan digambarkan seperti bagan
pada gambar 2.1 dibawah ini.
Faktor Predisposisi
-

Pengetahuan, sikap, kepercayaan,
persepsi, keyakinan, nilai-nilai, dsb.

Faktor Pendukung
-

Lingkungan fisik
Tersedia atau tidak tersedianya sarana
dan fasilitas kesehatan.

Perilaku
Kesehatan

Faktor Pendorong
-

Sikap dan perilaku petugas kesehatan.

Gambar 2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan (Green, 1980)
2.3

Puskesmas
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan kabupaten/kota

yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu
wilayah kerja (Kepmenkes RI, 2014). Puskesmas sebagai layanan kesehatan
primer dalam sistem layanan kesehatan di Indonesia digolongkan dalam strata.
Sebagai provider pemberi layanan kesehatan primer dalam perawatan, dukungan
dan pengobatan HIV/AIDS, puskesmas memiliki tugas, fungsi, sumber daya
manusia serta kompetensi yang disesuaikan dengan golongan strata satu. Secara
umum puskesmas memberikan pelayanan ODHA untuk stadium 1 dan 2 yang
tidak memerlukan rawat inap atau kondisi ODHA telah stabil (Kepmenkes RI,
2012).

Universitas Sumatera Utara

18

Pengembangan

layanan

satelit

ARV

secara

komprehensif

dan

berkesinambungan pada layanan primer (puskesmas), komponen standar yang
perlu dipersiapkan adalah seperti di bawah ini (Depkes RI, 2007) :
1. Mempunyai tim tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, konselor,
laboratorium dan tenaga farmasi) yang telah terlatih tentang HIV/AIDS.
2. Telah berlangsungnya kegiatan konseling dan test HIV sukarela (klinik VCT)
dan konseling test HIV atas inisiasi petugas (KTS dan KTIP) serta kegiatan
program pencegahan penularan HIV dari Ibu ke anak (PPIA).
3. Memiliki jejaring dengan rumah sakit pengampunya.
4. Fasilitas klinik Infeksi Menular Seksual (IMS), diagnosis dan tatalaksana
IMS dan Infeksi Oportunistik (IO) ringan.
5. Tersedia sarana laboratorium atau memiliki jejaring dengan laboratorium
lainnya terlatih HIV dan sumber daya lain, seperti alat pemeriksaan fisik yang
sederhana, obat simptomatis dan analgesik yang esensial untuk puskesmas
serta obat profilaksis Infeksi Oportunistik (IO).
6. Diusulkan oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan disetujui oleh Dinas
Kesehatan provinsi.
7. Membentuk tim perawatan berbasis rumah / komunitas, yang anggotanya
terdiri dari petugas kesehatan puskesmas sebagai koordinator, pembimbing
dan pendukung teknis, anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
relawan/kader dari masyarakat, tenaga penyembuh tradisional (kalau ada)
yang dihormati dan telah disetujui oleh kepala puskesmas.

Universitas Sumatera Utara

19

8. Tersedia layanan penemuan intensif kasus TB secara sistematis dan
pemantauan minum obat TB dan ARV.
9. Memahami terapi ARV dan dukungan kepatuhan berobat, menangani efek
samping ringan, dan layanan rujukan ke jejaring layanan strata II dan III
(inisiasi ARV) apabila diperlukan.
10. Pencatatan dan pelaporan (komputer dan rekam medik), bahan komunikasi,
informasi dan edukasi tentang penyakit HIV/AIDS dan penyakit infeksi
menular seksual lainnya.
2.3.1

Voluntary Counselling and Test (VCT)

Menurut Depkes RI (2007), VCT adalah kegiatan konseling yang
menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS,
mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, mencegah
penularan HIV, pengobaran ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah
terkait dengan HIV/AIDS.
2.3.2

Prinsip Pelayanan VCT
Menurut Depkes RI (2007), prinsip pelayanan VCT sebagai berikut :

a. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV
Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa
paksaan dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan testing terletak di tangan
klien, kecuali testing HIV pada darah donor di unit transfusi dan transplantasi
jaringan, organ tubuh dan sel. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak
direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja

Universitas Sumatera Utara

20

seks, Injecting Drug User (IDU), rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia dan
asuransi kesehatan.
b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas
Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua
klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiannya oleh
konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan diluar konteks
kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang
tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus
klien selanjutnya dengan seizin klien, informasi kasus dari diri klien dapat
diketahui.
c. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan
mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku
beresiko. Dalam VCT diketahui juga respon dan perasaaan klien dalam menerima
hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif.
d. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT
WHO dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah memberikan
pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil
testing senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama
atau konselor lainnya yang disetujui oleh klien (Anonim, 2014).

Universitas Sumatera Utara

21

2.4

Terapi ARV

2.4.1

Pengertian Terapi Antiretroviral (ARV)
Terapi antiretroviral adalah obat yang dirancang untuk menghambat atau

menekan replikasi maupun perkembangan virus penyakit HIV/AIDS didalam
tubuh penderita. Terapi ARV atau yang dikenal dengan ART (Anti Retroviral
Therapy) merupakan terapi yang mempunyai syarat tertentu. Syarat ini harus

dipenuhi untuk mencegah putusnya obat dan menjamin efektivitas pengobatan
(Nursalam dan Kurniawati, 2009).
2.4.2

Tujuan Terapi Antiretroviral
Adapun tujuan dari terapi antiretroviral, sebagai berikut :

1. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
2. Memulihkan atau memelihara fungsi imunologis (peningkatan sel CD4)
3. Menurunkan komplikasi akibat HIV
4. Memperbaiki kualitas hidup ODHA
5. Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus
6. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV
2.4.3

Pedoman Memulai Terapi ARV
Menurut Kementerian Kesehatan RI, 2011 pedoman orang dewasa untuk

memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk
menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau
belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA
dewasa.

Universitas Sumatera Utara

22

a) Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi
ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.
b) Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi :
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350 sel / mm3
tanpa memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
Tabel 2.2 Saat memulai terapi pada ODHA dewasa
Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4
Stadium IV : tanpa memandang jumlah limfosit total
Stadium III : tanpa memandang jumlah limfosit total
Stadium II : dengan jumlah limfosit total 350 sel/mm3
ODHA dewasa

Pasien dengan
koinfeksi
TB
Pasien dengan
koinfeksi Hepatitis
B Kronik aktif
Ibu Hamil

Stadium Klinis 1
dan 2

Stadium Klinis 3
dan 4
Apapun stadium
klinis

< 350 sel/mm3
Berapapun jumlah
sel CD4
Berapapun jumlah
sel CD4

Apapun stadium
klinis

Berapapun jumlah
sel CD4

Rekomendasi
Belum mulai terapi.
Monitor gejala
klinis dan jumlah
sel CD4 setiap 6-12
bulan
Mulai terapi
Mulai terapi
Mulai terapi

Mulai terapi

Apapun stadium
Berapapun jumlah
klinis
sel CD4
Sumber : Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral, 2011 dan Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk ODHA, 2006

Universitas Sumatera Utara

23

2.5

Kerangka Konsep Penelitian
Teori yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi

kepatuhan ODHA dalam menjalani terapi antiretroviral merupakan teori yang
diadopsi oleh Lawrence Green, 1980.
Faktor Predisposisi
-

Pengetahuan ODHA tentang terapi
ARV.

Faktor Pendukung
Kepatuhan dalam
menjalani terapi ARV

1. Ketersediaan sarana dan fasilitas
kesehatan.
2. Lingkungan.

Faktor Pendorong
1. Interaksi dengan petugas
kesehatan.
2. Dukungan sosial.

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan ODHA Dalam Menjalani Terapi ARV Di RSU. dr. Pirngadi Medan Tahun 2012

9 88 135

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam Menjalani Terapi Antiretroviral (ARV) di Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016

2 7 126

Faktor – Faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Pasien HIV/AIDS Dalam Menjalani Terapi Antiretroviral di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2016

10 56 143

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dalam Menjalani Terapi Antiretroviral (ARV) di Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016

0 0 17

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dalam Menjalani Terapi Antiretroviral (ARV) di Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016

0 0 2

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dalam Menjalani Terapi Antiretroviral (ARV) di Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016

0 0 8

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dalam Menjalani Terapi Antiretroviral (ARV) di Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016

0 3 3

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dalam Menjalani Terapi Antiretroviral (ARV) di Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016

0 0 32

Faktor – Faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Pasien HIV AIDS Dalam Menjalani Terapi Antiretroviral di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2016

1 1 17

Faktor – Faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Pasien HIV AIDS Dalam Menjalani Terapi Antiretroviral di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2016

0 0 2