Faktor-Faktor yang Berhubungan Resiko Jatuh dengan Kejadian Resiko Jatuh pada Lansia di Unit Pelayanan Primer Puskesmas Medan Johor
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Lansia
2.1.2 Defenisi Lansia
Lanjut usia (Lansia) adalah bagian dari proses tumbuh kembang, manusia
tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak,
dewasa, dan akhirnya menjadi tua. Menurut UU no 4 tahun 1945 lansia adalah
seseorang yang mencapai berusia 55 tahun yang merupakan kelompok orang
lansia yang mengalami proses penuaan yang terjadi secara bertahap dan
merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari. Menurut Kemkes RI (2010)
lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Pada usia ini adalah
fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya
perubahan dalam hidup. Sebagaimana di ketahui, ketika manusia mencapai usia
dewasa, maka seseorang mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan
anak. Ketika kondisi hidup berubah seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi
ini, dan selanjutnya memasuki usia lanjut, kemudian meninggal dunia. Bagi
manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru
dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkunganya (Darmojo, 2004).
Perubahan ini adalah hal yang normal dalam satu siklus kehidupan manusia,
dengan perubahan fisik, psikososial dan tingkah laku yang terjadi pada semua
orang pada saat mereka mencapai tahapan usia lanjut dimasa ini seseorang
senantiasa mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap
(Azizah, 2011).
Universitas Sumatera Utara
7
2.1.2 Karakteristik Lansia
Ada beberapa karakteristik lansia yang perlu diidentifikasi berdasarkan data
demografi untuk mengetahui keberadaan masalah-masalah kesehatan lansia yaitu:
jenis kelamin diamana jumlah lansia lebih didominasi oleh kaum perempuan.
Selain itu, terdapat perbedaan kebutuhan dan masalah kesehatan yang dihadapi
antara lansia laki-laki dan perempuan. misalnya, lansia laki-laki banyak menderita
hipertropi prostat, sementara lansia perempuan menderita osteoporosis. Status
Perkawinan, yang masih berpasangan atau sudah hidup sendiri (duda/janda)
mempengaruhi kondisi kesehatan fisik maupun kondisi kesehatan secara
psikososial pada lansia umumnya.
Penataan kehidupan lansia bervariasi, keadaan pasangan yang masih
menanggung keluarganya : anak atau keluarga lainnya, tempat tinggal, rumah
sendiri, suasana tinggal bersama dengan anak atau keluarga besar, atau tinggal
sendiri. Dewasa ini kebanyakan lansia masih hidup sebagai bagian dari
keluarganya, baik lansia sebagai kepala keluarga atau bagian dari keluarga anakanaknya. Walaupun ada kecenderungan bahwa lansia akan ditempatkan oleh
anaknya atau keluarganya dalam rumah yang berbeda. Kondisi kesehatan lansia
dan kondisi kemampuan umum dalam beraktivitas sehari-hari dapat dioptimalkan
sehingga tidak tergantung kepada orang lain, seperti; makan/minum, berpindah,
kebersihan diri mandi, mengganti pakaian sendiri, buang air kecil dan buang air
besar. Frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan lansia menjadi tidak produktif
lagi dan mengalami tergantung kepada orang lain. Hal ini harus diupayakan untuk
meminimalkan resiko penyakit yang timbul dengan melakukan kontrol secara
rutin ke pelayanan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
8
2.2 Proses Menua
Menua adalah suatu proses alami dalam kehidupan yang tidak dapat
dihindari oleh manusia, proses ini merupakan tahap akhir dari siklus hidup
manusia yang akan dialami oleh setiap individu secara terus-menerus dan
berkesinambungan (Surilena &Agus, 2006). Pertambahan usia akan menimbulkan
perubahan-perubahan pada struktur dan fungsi fisiologis dari berbagai
sel/jaringan/organ dan sistem yang ada pada tubuh manusia sehingga
menyebabkan sebagian besar lansia mengalami kemunduran atau perubahan pada
fisik, psikologis, dan sosial (Mubarak dkk, 2010; Putri dkk, 2008).
2.2.1 Perubahan-Perubahan Pada Lansia
Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat
dari kehilangan yang bersifat bertahap. Berdasarkan perbandingan yang diamati
antar kelompok usia yang berbeda, sebagian besar organ mengalami kehilangan
fungsi sekitar 1% per tahun, dimulai usia sekitar 40 tahun. Namun demikian,
perubahan pada seorang lanjut usia akan mengalami perlambatan mulai pada usia
70 tahun (Setiadi, 2006). Menurut Arisman (2004) kekuatan, ketahanan dan
kelenturan otot rangka berkurang. Sehingga kepala dan leher terfleksi ke depan,
sementara ruas tulang belakang mengalami pembengkakan (kifosis), panggul dan
lutut juga terfleksi sedikit. Keadaan tersebut menyebabkan postur tubuh terganggu
sehingga menimbulkan beberapa masalah kemunduran dan kelemahan pada
lansia, seperti pergerakan, kestabilan terganggu dan terjadinya resiko jatuh:
Intelektual terganggu (demensia), Depresi, Inkontinensia dan impotensia,
Defisiensi imunologis, Infeksi, konstipasi dan malnutris, insomnia, kemunduran
Universitas Sumatera Utara
9
penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembauan, komunikasi dan integrasi kulit,
kemunduran proses penyembuhan penyakit yang diderita. Perubahan fisik pada
lansia diantaranya : sistem penglihatan pada lansia sangat erat kaitannya dengan
prebiopi, dimana lensa kehilangan elastis dan kaku, otot penyangga lensa lemah,
ketajaman penglihatan dan daya akomodasi dari jarak jauh dan dekat berkurang,
penggunaan kacamata dan sistem penerangan perlu diperhatikan.
Sistem Pendengaran pada lansia merupakan kemampuan daya pendengaran
pada telinga dalam, terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang
tidak jelas dan sulit dimengerti kata-kata terjadi pada lansia diatas 60 tahun.Sistem
Integumen kulit pada lansia sudah mulai kendur, tidak elastis, mengerut dan kulit
akan kekurangan cairan sehingga akan menjadi tipis dan berbecak. Kulit timbul
pigmen berwarna coklat, perubahan kulit dipengaruhi oleh faktor lingkungan
antara lain angin, sinar ultra violet. Sistem muskuloskeletal mengalami perubahan
sistem muskuloskeletalpada lansia seperti kulit, tendon, tulang, kartilago dan
jaringan pengikat. Perubahan pada kolagen merupakan penyebab turunnya
fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan nyeri, penurunan kekuatan otot,
sulit bergerak dari duduk ke berdiri dan jongkok hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
2.3 Resiko Jatuh pada Lansia
Resiko jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau keluarga
yang melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring,
terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran atau luka (Darmojo, 1999). Negara Amerika Serikat menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
10
bahwa 5% lanjut usia yang jatuh mengalami patah tulang iga (sterm), humerus
(tulang lengan), pelvis dan patah tulang paha (fractura columna femoris), dan 5%
diantaranya mengalami perlukaan jaringan lunak subdural haematoma, memar dan
keseleo otot (Kane (1994). Menurut (Stanley, 2006) resiko jatuh adalah suatu
kejadian yang menyebabkan subjek yang sadar menjadi berada di lantai tanpa
disengaja. Bukan merupakan jatuh bila kejadian jatuh diakibatkan pukulan keras,
kehilangan kesadaran atau kejang. Kejadian jatuh merupakan penyebab spesifik
yang berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar mengalami jatuh.
Jatuh sering terjadi pada lansia, berdasarkan hasil survei di AS, terdapat
30% lansia berumur lebih dari 65 tahun mengalami jatuh setiap tahunnya (Tinetti,
1992). Menurut Gunarto (2005) bahwa 31%-48% lansia mengalami jatuh karena
gangguan keseimbangan, dan setiap tahunnya 30%-40% lansia dirumah
mengalami kecelakaan jatuh (Flaherty et al.2003, dalam Potter & Perry, 2009).
Gangguan muskuloskeletal merupakan penyebab gangguan pada berjalan dan
keseimbangan yang dapat mengakibatkan kelambanan gerak, kaki cenderung
mudah goyah, serta penurunan kemampuan mengantisipasi terpeleset, tersandung,
dan respon yang lambat memudahkan terjadinya jatuh pada lansia (Reuben, 1996;
Kane, 1994; Tinetti, 1992; Campbell & Brocklehurst, 1987 dalam Darmojo,
2004). Resiko jatuh dianggap sebagai konsekuensi alami menjadi tua, jatuh bukan
bagian normal dari proses penuaan, setiap tahunya sekitar 30% lansia yang tinggal
di rumah meningkat dari 25% usia 70 tahun menjadi 35% setelah usia >75 tahun.
Lansia yang tinggal di panti mengalami jatuh lebih sering dari pada yang berada
di rumah karena mereka lebih rentan dan memiliki lebih banyak disabilitas.
Universitas Sumatera Utara
11
Sekitar 50% lansia yang tinggal di panti mengalami jatuh dan umumnya mereka
mengalaminya beberapa kali (Miller, 2007).
Faktor yang mempengaruhi terjadinya resiko jatuh pada lansia adalah faktor
internal seperti penyakit yang diderita, gangguan penglihatan, gangguan adaptasi,
gangguan kognitif, kardiovaskular seperti hipotensi postural atau sinkop, gelap,
infeksi telinga, lemah otot tungkai, penyakit sistemik dan reaksi negatif obat-obat,
maupun faktor eksternal lingkungan seperti kondisi tangga, lantai licin atau basah,
pencahayaan yang kurang, toilet jauh dari kamar, kondisi terlalu rendah, sepatu
yang buruk atau dengan sol licin, tempat tidur terlalu tinggi atau rendah, alat
rumah tangga yang dapat menyebabkan jatuh seperti karpet, kaki kursi, dan kabel
listrik (Kemkes, 2010). Beberapa faktor resiko yang teridentifikasi sebagai
penyebab berpotensi jatuh adalah kelemahan otot, gangguan koordinasi,
penggunaan obat-obat, dan resiko jatuh meningkat seiring dengan peningkatan
jumlah faktor resiko pada lansia (Tinetti, 1994). Hal ini juga sangat erat kaitannya
dengan perubahan fisik khususnya kelemahan otot, kehilangan keseimbangan dan
kelelahan fisik (Victoria et al., 2004).
Hal yang sama dikemukakan oleh para ahli bahwa faktor yang
mempengaruhi terjadinya resiko jatuh adalah faktor intrinsik dan ekstrinsik yang
berhubungan dengan aktivitas (Miller, 2004). Faktor sensorik yang berperan
terhadap resiko jatuh adalah sistem penglihatan (visus) dan pendengaran,
perubahan pada mata akan menimbulkan gangguan penglihatan dan perubahan
pada telinga menimbulkan gangguan pendengaran. Sistem Saraf Pusat (SSP)
seperti stroke dan parkinson, sering diderita oleh lanjut usia dan menyebabkan
gangguan fungsi SSP sehingga tidak baik terhadap sensorik. Kognitif, dimensia
Universitas Sumatera Utara
12
diisolasikan dengan resiko jatuh pada lansia. Faktor muskuloskeletal ini betulbetul
berperan
besar
terjadinya
resiko
jatuh
pada
lansia.
Gangguan
musculoskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan dan ini berhubungan
dengan proses menua yang fisiologis. Misalnya berkurangnya massa otot,
perlambatan konduksi saraf dan lapang pandang dapat menyebabkan penurunan
sendi, extremitas dan goyangan badan.
2.4 Faktor-Faktor Resiko Jatuh
Faktor-faktor resiko jatuh pada lansia digolongkan menjadi dua yaitu faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik sebagaimana diuraikan berikut ini.
2.4.1 Faktor Intrinsik
Faktor-faktor intrinsik hal yang berasal dari dalam tubuh lansia sendiri,
antara lain yaitu gangguan jantung dan sirkulasi darah, gangguan sistem anggota
gerak seperti kelemahan otot ekstremitas bawah dan kekuatan sendi, gangguan
sistem susunan saraf seperti neuropati perifer, gangguan pendengaran, gangguan
penglihatan, gangguan psikologis, infeksi telinga, gangguan adaptasi gelap,
pengaruh obat-obatan yang dipakai (diazepam, antidepresi, dan anti hipertensi),
vertigo, atritis lutut, sinkop dan pusing, penyakit-penyakit sistemik.
Gangguan jantung adalah tanda dan gejala gangguan jantung pada lanjut
usia nyeri pada daerah prekordial dan sesak napas seringkali dirasakan pada
penderita penyakit jantung diusia lanjut, rasa cepat lelah yang berlebihan
seringkali ditemukan sebagai dampak dari sesak napas yang biasanya terjadi
ditengah malam. Gejala lainnya adalah kebingungan, muntah-muntah dan nyeri
pada perut karna pengaruh bendungan hepar atau keluhan insomnia. Bising
Universitas Sumatera Utara
13
sinsolik banyak dijumpai pada penderita lanjut usia, sekitar 60% dari jumlah
penderita, dalam penemuan lain juga dilaporkan bahwa bising sistolik tanpa
keluhan ditemukan pada 26% penderita yang berusia 65 tahun keatas. Gangguan
jantung dapat dijumpai kekakuan pada arteria koroner, cincin katup miral, katup
aorta, miokardium, dan pericardium, kelainan-kelainan tersebut selalu merupakan
keadaan yang abnormal (Darmojo, 2004). Gangguan jantung pada lansia seperti
hipertensi dimana tekanan darah sistolik sama atau lebih tinggi dari 140 mmHg
dan tekanan diastolik lebih tinggi dari 90 mmHg, yang terjadi karena menurunnya
elastisitas arteri pada proses menua. Bila tidak ditangani, hipertensi dapat memicu
terjadinya stroke, kerusakkan pembuluh darah (arteri osclerosis), serangan/gagal
jantung sehingga dapat menyebabkan kejadian jatuh pada lansia (Darmojo, 2000).
Gangguan sistem anggota gerak merupakan bagian sindroma neurologik
berupa gerakkan berlebihan yang tidak berkaitan dengan kelemahan (paresis).
Gangguan gerak bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini
diakibatkan karena proses penuaan itu sendiri serta penggunaan obat-obatan yang
dapat mencetuskan terjadinya gangguan tersebut (Miller, 2005). Pengobatan pada
pasien geriatrik penting untuk diperhatikan apakah gangguan tersebut berasal
karena proses penuaan atau sungguh merupakan gangguan gerak disebabkan
karena kelainan pada ganglia basal, dibagi menjadi 2 yaitu hipokinetik dan
hiperkinetik. Gangguan hipokinetik diartikan adanya hipokinesia (berkurangnya
amplitude gerakkan), bradikinesia (melambatnya gerakkan), akinesia (hilangnya
gerakkan), seperti pada penyakit Parkinson. Gangguan hiperkinetik terjadi
gerakkan berlebih, abnormal, dan involunter, seperti pada tremor, athetosis,
dystonia, hemibalismus, chorea, myoclonus, dan tic. Gangguan sistem saraf pusat
Universitas Sumatera Utara
14
sering dialami para lansia dengan potensial resiko 10% kehilangan yang diketahui
pada usia 80 tahun. Perubahan sistem sensorik terdiri dari sentuhan, pembauan,
perasa, penglihatan, dan pendengaran. Perubahan pada indra pembauan dan
pengecapan dapat mempengaruhi lansia dalam mempertahankan nutrisi yang
adekuat, penurunan sensivitas sentuhan terjadi pada lansia seperti berkurangnya
neuron sensori yang secara efisien memberikan sinyal deteksi, lokasi, dan
identifikasi sentuhan atau tekanan yang dialami pada area kulit. Lansia juga sering
mengalami kehilangan sensasi dan persepsi informasi yang mengatur pergerakkan
tubuh dan posisi serta hilangnya fiber sensori, reseptor vibrasi dan sentuhan dari
ekstremitas bawah yang menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk
memperbaiki pergerakkan sendi pada lansia yang pada akhirnya dapat
mengakibatkan ketidakseimbangan tubuh sehingga terjatuh (Mauk, 2010).
Gangguan penglihatan adalah perubahan yang terjadi pada ukuran pupil
menurun dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi,
lensa menguning dan berangsur-rangsur menjadi lebih buram mengakibatkan
katarak, sehingga mempengaruhi kemampuan untuk melihat menerima dan
membedakan warna-warna. Gangguan sistem penglihatan pada lansia merupakan
salah satu masalah penting yang dihadapi oleh lansia ini terjadi akibat penuruna
fungsi penglihatan pada lansia membuat kepercayaan diri lansia berkurang dan
mempengaruhi dalam pemenuhan aktifitas sehari-hari. Perubahan sistem
penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan
termasuk penurunan kemampuan untuk melakukan akomodasi, kontraksi pupil
akubat penuaan, dan perubahan warna serta kekeruhan lensa mata (katarak). Mata
adalah organ sensorik yang berfungsi untk mentransmisikan rangsang melalui
Universitas Sumatera Utara
15
jarak pada otak ke lobus oksipitalis dimana rasa penglihatan ini diterima sesuai
dengan proses penuaan yang terjadi, tentunya banyak perubahan yang terjadi
diantaranya garis berubah kelabu, dapat menjadi kasar pada peria, dan menjadi
tipis pada sisi temporalis baik pada pria maupun wanita. Kunjungtiva menipis dan
berwarna kekuningan, produksi air mata oleh kelenjar lakrimaris yang berfungsi
untuk melembabkan dan melumasi konjungtiva akan menurun dan cenderung
cepat menguap, sehingga mengakibatkan konjungtiva lebih kering. Kondisi ini
memungkinkan terjadi ketidakawasan klien lansia dalam beraktifitas.
Mata bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran pupil menurun
dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi. Lensa
mongering dan berangsur-angsur menjadi lebih buram mengakibatkan katarak,
sehingga mempengaruhi kemampuan untuk menerima dan membedakan warnawarna. Warna gelap seperti coklat, hitam dan marun tampak sama, pandangan
dalam area yang suram dan adaptasi terhadap kegelapan berkurang (sulit melihat
dalam cahaya gelap) menempatkan pada lansia resiko cedera, sementara cahaya
menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan membatasi kemampuan untuk
membedakan objek-objek dengan jelas, semua hal diatas dapat mempengaruhi
kemampuan fungsional pada lansia. Gangguan ketajaman pada penglihatan dapat
disebabkan oleh presbiop kelainan lensa mata (refleksi lensa mata kurang),
kekeruhan pada lensa (katarak), tekanan dalam mata yang meninggi (glaucoma),
radang saraf mata (Cieayundacitra, 2010).
Gangguan pendengaran merupakan suatu keadaan yang menyertai lanjutnya
usia dengan penurunan fungsi pendengaran pada salah satu ataupun kedua telinga
sehingga dapat mengakibatkan resiko jatuh pada lansia. Proses penuaan seringkali
Universitas Sumatera Utara
16
ditandai dengan menurunnya fungsi berbagi organ tubuh, salah satunya adalah
fungsi pendengaran. Sekitar 30-35% orang berusia antara 65-75 tahun akan
mengalami gangguan pendengaran secara perlahan-lahan akibat proses penuaan
yang dikenal dengan istilah presbicusis, akibat adanya gangguan pendengaran ini,
seringkali orang-orang disekitarnya akan berbicara dengan suara yang lebih
lantang dan keras dengan para lansia, namun dengan demikian bukan berarti
semakin keras suara yang diucapkan akan terdengar lebih baik bagi mereka karena
ternyata suara yang terlalu keraspun akan terdengar menyakitkan ditelinga
mereka. Lanjut usia dengan bertambahnya usia, wajar saja bila kondisi dan fungsi
tubuh pun makin menurun, tak heran bila pada usia lanjut, semakin banyak
keluhan yang dilontarkan karena tubuh tidak lagi mampu melakukan pekerjaan
tertentu sehingga kesepakatan kerja sama dengan pihak pihak terkait
(Cieayundacitra, 2010).
Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan
fisik dan psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh
adalah patah tulang panggul. Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh
adalah fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan
lunak. Dampak psikologis walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok setelah jatuh
dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi termasuk
ansietas, hilangnya rasa percaya diri, pembatasan dalam aktivitas sehari-hari atau
fobia jatuh (Stanley, 2006). Postur tubuh dan mobilitas beresiko tinggi terhadap
jatuh, mobilitas tinggi dan postur tubuh yang tidak stabil beresiko jatuh 4,5 kali
dibandingkan dengan yang tidak aktif atau aktif tetapi dengan postur tubuh yang
stabil. Penelitian terhadap 4.862 klien di panti jompo, didapatkan resiko jatuh
Universitas Sumatera Utara
17
paling tinggi adalah penderita aktif dengan gangguan keseimbangan. Selanjutnya
penelitian Barnedh (2006) terhadap 300 lansia di Puskesmas Tebet bahwa lansia
dengan aktivitas rendah (tidak teratur berolahraga) beresiko 7,63 kali menderita
gangguan keseimbangan dibandingkan lansia dengan aktivitas tinggi. Lansia yang
tidak melakukan kebiasaan berolahraga beresiko tinggi mengalami jatuh
(Kemkes, 2010; Miller, 1999;).
Obat-obatan merupakan faktor bermakna terhadap resiko jatuh diantaranya
obat golongan sedatif dan hipnotik yang dapat mengganggu stabilitas postur
tubuh, yang mengakibatkan efek diuretik pada anti hipertensi, antidepresan, dan
antipsikotik.Obat-obat yang menyebabkan hipotensi, hipoglikemi, mengganggu
vestibular,
neuropati
hipotermi
dan
menyebabkan
kebingungan
seperti
phenothiazine, barbiturat dan benzodiazepin juga meningkatkan resiko jatuh.
Lansia yang memiliki tiga faktor resiko seperti kelemahan otot paha, gangguan
koordinasi, ketidakseimbangan, dan mendapat lebih dari 4 jenis pengobatan
beresiko jatuh sebesar 100% (Maryam, 2013).
2.4.2 Faktor Ekstrinsik
Faktor lingkungan memiliki resiko terhadap jatuh sebesar 31% Shobha
(2005, dalam Maryam, 2009). Lingkungan rumah termasuk situasi yang
berpotensi terhadap resiko terjatuh pada lansia, diantaranya karpet yang tidak rata,
pencahayaan ruangan tidak memadai, tangga tanpa pagar, kondisi tempat tidur,
kursi cukup tinggi, dan alat bantu jalan yang tidak tepat. Selain itu kondisi toilet
yang terlalu rendah dan permukaan kamar mandi menurun, licin dan tidak adanya
anti-selip pada lantai, serta dinding kamar mandi tidak memiliki pedoman dinilai
Universitas Sumatera Utara
18
sebagai resiko penyebab jatuh di rumah (Bemmel at al., 2005; Maryam, 2013).
Faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya resiko jatuh pada lansia adalah
faktor gizi yang mengakibatkan penurunan fungsi keseimbangan atau kelemahan
fisik. Lansia dengan asupan makanan yang rendah kalsium dan vitamin D, fosfor,
protein dan besi beresiko untuk jatuh. Asupan makanan yang tidak memadai
berupa protein, air dan tidak melakukan aktivitas fisik yang cukup untuk
menangkal hilangnya massa otot atau kehilangan kepadatan tulang meningkatkan
resiko jatuh dan cedera pada lansia (Kemkes RI., 2010).
Penggunaan alat bantu jalan memang meningkatkan keseimbangan, namun
disisi lain menyebabkan langkah yang terputus dan kecenderungan tubuh untuk
membungkuk, terlebih jika alat bantu tidak menggunakan roda, karena itu
penggunaan alat bantu ini haruslah direkomendasikan secara individual. Lansia
apabila pada kasus gangguan berjalannya tidak dapat ditangani dengan obatobatan maupun pembedahan, maka salah satu penanganannya adalah dengan alat
bantu jalan seperti tongkat, crutch (tongkat ketiak) dan walker, ketika memilih
alat bantu jalan , anatomi tubuh dan sudut siku harus diperlihatkan, banyak dari
mereka yang tidak mendapatkan bantuan professional dalan memilih alat bantu
jalan sehingga pemilihan alat bantu jalan yang tidak tepat dapat mengakibatkan
bertambah buruknya koordinasi gerakan dan gaya berjalan klien sehingga dapat
meningkatkan resiko untuk jatuh (Darmojo, 2004).
Perawat harus memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga lansia
bahwa keluarga harus sering memperhatikan lansia dirumah karena selain
kebutuhan fisik yang harus diperlukan, kebutuhan psikologis dan social juga harus
diperhatikan, mengamati kemampuan dan keseimbangan dalam berjalan, dan
Universitas Sumatera Utara
19
membantu stabilitas tubuh. Keluarga juga harus memperbaiki kondisi sekitar
lingkungan rumah yang dianggap tidak aman, misalnya dengan memindahkan
benda berbahaya, peralatan rumah dibuat yang aman (stabil, ketinggian kursi
disesuaikan, pegangan pada, dinding dan tangga) serta lantai yang tidak licin dan
penerangan ruangan yang cukup (Darmojo, 2004; Miller 2004).
Lingkungan merupakan faktor yang dapat memepengaruhi keseimbangan
dan berkontraksi pada resiko jatuh, kejadian jatuh didalam ruangan lebih sering
terjadi dikamar mandi, kamar tidur dan toilet. Jatuh sering terjadi sekitar 10%
terutama saat turun tangga karena lebih berbahaya dari pada saat naik tangga.
Lingkungan yang tidak aman dapat dilihat pada lingkungan luar rumah, ruang
tamu, kamar tidur, toilet, dan tangga atau lorong (Mauk, 2011).Lingkungan yang
tidak aman pada area luar seperti kondisi lantai yang retak, jalan depan rumah
sempit, pencahayaan yang kurang, kondisi teras atau halaman, bahaya lingkungan
pada area ruang tamu adalah kurangnya pencahayaan, area yang sempit untuk
berjalan, kondisi lantai yang retak dan berantakkan, kaki kursi yang miring dan
tinggi kursi yang tidak sesuai dengan tinggi kaki lansia dan sandaran lengan pada
kursi tidak kuat. Kamar tidur berbahaya dapat dilihat dari kondisi lantai, tinggi
tempat tidur, seprai yang tergerai dilantai, penempatan barang dan perabotan yang
mudah dijangkau, pencahayaan, dan sempit atau luasnya area kamar untuk
berjalan. Kamar mandi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan atau resiko
jatuh diantaranya pencahayaan kurang, kondisi lantai licin, posisi bak dan toilet
tidak aman, dan peletakkan alat mandi yang tidak mudah dijangkau oleh lansia.
Lingkungan area tangga dan lorong dapat dilihat dari kondisi lantai, pencahayaan,
peganggan, lis tangga, dan lebar tangga (Kemkes, 2010; Mauk, 2010).
Universitas Sumatera Utara
20
2.4.3 Faktor Situasional
Jatuh sebagian besar terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas sehari-hari
seperti berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi,. Jatuh terjadi pada saat
lansia melakukan aktivitas berbahaya seperti mendaki gunung atau olahraga berat.
Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan banyak kegiatan dan olahraga,
mungkin disebabkan kelelahan atau terpaparnya bahaya yang lebih banyak. Jatuh
juga sering terjadi pada lansia yang imobil (jarang bergerak)ketika tiba-tiba dia
ingin pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa pertolongan.
Jatuh pada lansia sering terjadi dirumah, dengan kejadian jatuh saat turun
tangga lebih banyak dibandingkan saat naik, yang lainnya terjadi karena
tersandung atau menabrak benda perlengkapan rumah tangga, lantai licin dan
tidak rata, penerangan/ pencahayaan yang kurang atau gelap. Riwayat penyakit
kronis yang diderita lansia selama bertahun-tahun biasanya menjadikan lansia
lebih mudah jatuh seperti stroke, hipertensi, hilangnya fungsi penglihatan,
dizziness dan sinkope, sering menyebabkan jatuh. Penyakit kronik yang diderita
lansia juga sering menyebabkan jatuh, misalnya sesak nafas akut pada penyakit
paru obstruktif menahun, nyeri dada pada penderita penyakit jantung iskemik, dll.
2.5 Morse Fall Scale(MFS)
Lanjut usia harus dicegah agar tidak jatuh dengan cara mengidentifikasi
faktor resiko, menilai, dan mengawasi keseimbangan dan gaya berjalan, mengatur
serta mengatasi faktor situasional. Metode cepat dan sederhana yang digunakan
untuk menilai kemungkinan jatuh pada klien lansia adalah dengan menggunakan
Morse Fall Scale (MFS). Sebagian besar perawat(82,9%) menilai Skalainicepat
Universitas Sumatera Utara
21
dan mudah untuk digunakandan 54% memperkirakanbahwa butuh waktukurang
dari 3menituntuk menilaipasien(Morse, 1997). Skala ini terdiri dari enam variable
yang cepat dan mudah untuk digunakan, dan telah terbukt i memiliki validitas
prediktif dan reabilitas interrater. MFS digunakan secara luas dalam pengaturan
perawatan akut maupun dan pelayanan perawatan jangka di rumah sakit.
Berikut ini ada skala yang digunakan untuk melakukan pengkajian resiko
jatuh lansia dengan menggunakan Morse Fall Scale. Penilaian dalam MFS terdiri
dari enam item yaitu riwayat jatuh, diagnosis penyakit, bantuan berjalan, terapi
intravena, gaya berjalan,dan status mental. Riwayat jatuh mendapatkan skor 25
jika pasien telah mengalami jatuh selama masuk rumah sakit/panti atau jika ada
riwayat mengalami jatuh secara fisiologis, seperti ;
gangguan gaya berjalan
sebelum masuk panti. Jika pasien pernah memilki riwayat jatuh mendapat skor 0.
Catatan tambahan jika pasien jatuh untuk pertama kalinya, maka skor nya segera
bertambah 25. Diagnosis Sekunder dinilai dengan skor 15 jika terdapat lebih dari
satu diagnosis medis yang terdaftar pada status pasien, jika tidak, skor 0.
Bantuan Berjalan dinilai sebagai 0 jika pasien berjalan tanpa bantuan
berjalan (bahkan jika dibantu oleh perawat), menggunakan kursi roda, atau
istirahat di tempat tidur dan tidak bangun dari tempat tidur sama sekali. Jika
pasien menggunakan kruk, tongkat, atau walker, item ini mendapat skor 15, jika
pasien berpindah atau berjalan dengan mencengkeram ke furnitur untuk
dukungan, skor item ini 30. Terapi intravena dinilai sebagai 20 jika pasien
menggunakan intravena terapi atau heparin yang dimasukkan, jika tidak, maka
skor penilaian adalah 0.
Universitas Sumatera Utara
22
Gaya berjalan yang normal ditandai dengan kepala yang tegak saat berjalan,
lengan berayun bebas di samping, dan berjalan tanpa ragu-ragu. Item ini
mendapatkan skor 0. Gaya berjalan yang lemah mendapat skor 10 yaitu pasien
yang membungkuk tetapi mampu mengangkat kepala sambil berjalan tanpa
kehilangan keseimbangan. Langkah yang pendek dan acak pasien mungkin
terjadi. Gaya berjalan dengan gangguan mendapat skor 20 yaitu pasien yang
memiliki kesulitan bangkit dari kursi, mencoba untuk bangun dengan mendorong
di lengan kursi / atau dengan memantulkan (yaitu, dengan menggunakan beberapa
upaya untuk naik). Kepala pasien turun, dan ia mengamati tanah. Karena
keterbatasan keseimbangan pasien, pasien menggenggam ke furnitur, dukungan
orang, atau bantuan berjalan dengan dukungan dan tidak dapat berjalan tanpa
bantuan ini.
Status mental diukur dengan memeriksa pasien itu sendiri dalam penilaian
kemampuan untuk melakukan ambulasi. Tanyakan pasien, "Apakah Anda bisa
pergi kamar mandi sendiri atau apakah Anda perlu bantuan?" Jika jawaban pasien
menilai kemampuan sendiri secara konsisten dengan urutan rawat jalan, pasien
dinilai sebagai normal dan mendapat skor 0. Jika respon pasien tidak konsisten
dengan intervensi keperawatan atau jika respon pasien tidak realistis, maka pasien
dianggapmelebih-lebihkan kemampuan sendiri dan memilki keterbatasan pelupa
dinilai dengan skor 15.
Penilaian dan Tingkat resiko dihitung dan dicatat pada grafik pasien.
Tingkat resiko dan tindakan yang direkomendasikan (misalnya tidak ada
intervensi diperlukan, intervensi pencegahan standar, intervensi pencegahan
resiko tinggi) kemudian diidentifikasi. Skor MFS 0-24 memiliki level resiko tidak
Universitas Sumatera Utara
23
ada resiko sehingga tindakan yang diperlukan adalah perawatan dasar yang baik.
Skor MFS 25-50 termasuk dalam level resiko rendah dan tindakan yang
diperlukan adalah melakukan intervensi pencegahan jatuh standar. Skor MFS ≥ 51
termasuk dalam level resiko tinggi dan tindakan yang diperlukan melakukan
intervensi pencegahan jatuh tinggi. (Morse, 1997).
Tabel 2.1 Metode Morse Falls Scale (MFS)
No.
1
2
Pengkajian
Skala
Riwayat jatuh, apakah lansia pernah jatuh dalam 3
Tidak (0)
bulan terakhir ?
Ya (25)
Diagnosa sekunder, apakah lansia memiliki lebih dari Tidak (0)
satu penyakit ?
3
Nilai
Alat
bantu
Ya (15)
jalan;
apakah
lansia
menggunakan (0)
alat/dibantu ?
(15)
Bedrest/dibantu perawat
(30)
Tongkat/walker
Berpegangan pada benda-benda disekitar (kursi,
lemari, meja)
4
5
Terapi intravena, apakah saat ini lansia terpasang infus Tidak (0)
?
Ya (25)
Gaya berjalan/cara berpindah apakah lansia berjalan ?
(0)
6
Normal/bedrest (tidak dapat berjalan sendiri)
(10)
Lemah (tidak bertenaga)
(20)
Gangguan/tidak normal (pincang/diseret)
Status mental, apakah lansia mengalami status mental ?
(0)
Lansia menyadari kondisi dirinya sendiri
(15)
Lansia mengalami keterbatasan daya ingat
Total
Keterangan :
Nilai
0-24 = tidak beresiko jatuh
25-50 = resiko rendah
>50 = resiko tinggi jatuh
Universitas Sumatera Utara
24
2.6 Pencegahan Jatuh pada Lansia
Klien lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan dini untuk mengetahui
adanya faktor resiko cedera akibat terjatuh dari aspek instrinsik:. Perlu dilakukan
pengkajian keadaan sensorik, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering
menyebabkan kejadian teratuh.Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan
dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan.Penerangan rumah harus cukup tetapi
tidak menyilaukan, lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil
yang susah dilihat, peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman atau rusak dan
dapat bergeser sendiri sebaiknya diganti. Peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan
sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan atau tempat aktivitas lanjut
usia. Kamar mandi tidak dibuat licin, sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya,
pintu yang mudah dibuka, dan WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi
pegangan di dinding.
2.6.1 Penilaian Keseimbangan dan Gaya Berjalan
Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan tubuhnya
dalam melakukan gerakan pindah tempat dan pindah posisi. Bila gerakan tubuh
pada saat berjalan sangat beresikoterjatuh, maka diperlukan bantuan keluarga atau
bantuan tim latihan oleh seorang rehabilitasi medis. Penilaian gaya berjalan juga
harus dilakukan dengan cermat, apakah kakinya menapak dengan baik, tidak
mudah goyah, apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat
berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup kuat untuk
berjalan tanpa bantuan orang lain. Seluruh hal tersebut harus dikoreksi bila
terdapat kelainan atau penurunan fungsi organ.
Universitas Sumatera Utara
25
2.6.2 Mengatur dan Mengatasi Faktor Situasional
Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita klien lanjut usia
dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara perodik.
Faktor
situasional
bahaya
lingkungan
tinggal
dapat
dicegah
dengan
mengusahakan perbaikan lingkungan, faktor situasional yang berupa aktifitas fisik
dapat diatasi sesuai dengan kondisi kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak
boleh melampaui batasan kemampuan aktifitas rutin yang diperbolehkan baginya
sesuai dengan hasil pemeriksaan kondisi fisik.Maka dari itu lansia dianjurkan
untuk tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau beresiko tinggi
untuk terjadinya jatuh.
Kejadian jatuh pada lansia sering kali menyebabkan cedera pada jaringan
lunak dan fraktur pangkal paha atau pergelangan tangan, bahkan dapat
mengakibatkan kematian. Keadaan tersebut menyebabkan berbagai masalah
kesehatan, yaitu: ketidaknyamanan fisik karena rasa nyeri, kelelahan fisik,
keterbatan mobilisasi, dan proses penyembuhan jaringan yang lambat sehingga
klien akan mengalami berbagai masalah ketergantungan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. Hal ini juga merupakan kekhawatiran utama pada lansia yang
memicu timbulnya penarikkan diri mereka dari kegiatan rutin dan kegiatan sosial,
kehilangan kemandirian, rasa tidak percaya diri, dan kehawatiran bahwa hal
tersebut dapat terulang kembali. Berdasarkan pemaparan diatas maka penelitian
ini menjadi penting dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor resiko jatuh yang
dialami oleh klien lanjut usia di Puskesmas Medan Johor. Menurut Shobha
(2005), pencegahan jatuh yang dapat dilakukan oleh klien lansia diuraikan dalam
penjelasan berikut:
Universitas Sumatera Utara
26
1. Latihan Fisik
Tujuan melakukan aktivitas fisik adalah meningkatkan kekuatan
tungkai dan tangan, memperbaiki keseimbangan, koordinasi, dan
meningkatkan reaksi terhadap bahaya lingkungan.Latihan fisik yang
dianjurkan adalah latihan fisik yang dapat melatih kekuatan tungkai,
pergelangan, tidak terlalu berat dan dilakukan sesuai semampunya,
latihan berjalan kaki, senam lansia, dan latihan keseimbangan.
2. Management Obat-Obatan
Mengurangi penggunaan obat-obatan yang sifatnya untuk waktu lama
missal: obat tidur dan melakukan konsultasi terhadap penggunaan
obat-obat yang harus dikonsumsi jangka panjang, missal: obat
hipertensi, obat DM, dll. Gunakan alat bantu berjalan jika diperlukan.
3. Modifikasi Lingkungan
Modifikasi lingkungan dapat dilakukan dengan pengaturan suhu
ruangan supaya tidak terlalu panas atau terlalu dingin untuk
menghindari ketidaknyamanan akibat pusing.Selain itu pengaruh
barang-barang yang memang sering diperlukan berada dalam
jangkauan klien agar tidak harus berjalan terlalu jauh dari tempatnya,
dengan memanfaatkan karpet antislip dikamar mandi/menjaga
kebersihan lantai agar tidak licin, memasang pegangan tangan pada
tempat yang diperlukan, memfasilitasi penerangan yang memadai,
menyingkirkan barang berserakan di lantai yang menggaggu klien.
Universitas Sumatera Utara
27
4. Memperbaiki Kebiasaan Lansia yang Buruk
Melakukan perubahan posisi dari posisi duduk atau jongkok ke posisi
berdiri jangan terlalu cepat, jangan mengangkat barang yang berat
sekaligus, dan lakukan pengangkatan barang dengan cara yang benar
dari lantai yaitu dengan cara posisi jongkok dan bukan posisi
membungkuk.
Hindari
aktifitas
berolahraga
yang
berat
dan
berlebihan, sepatu berhak tinggi, pakai sepatu berhak lebar dan datar,
jangan berjalan hanya dengan kaos kaki karena sulit untuk menjaga
keseimbangan, pakai sepatu antislip dengan alas yang kasar.
5. Memelihara Fungsi Tubuh
Fungsi penglihatan dan pendenganran sudah mengalami penurunan
sehingga perlu memperhatikan pemeliharaan kesehatan fungsi mata
dan pendengaran termasuk alat bantu yang digunakan berupa kaca
mata,
alat
bantu
pendengaran,
dan
pencahayaan
tinggalharusdiperhatikan dan dipertahankan
lingkungan
untuk menghindari
kondisi yang memicu resiko jatuh. Pemeliharaan kekuatan tulang
harus tetap dijaga untuk mempertahankan keseimbangan dan
koordinasi gerakan tubuh agar terhindar dari jatuh, klien dianjurkan
untuk berhenti merokok dan menghindari konsumsi alkohol, serta
edukasi keluarga dank lien untuk mempersiapkan dan mengkonsumsi
jenis makan-makanan yang bergizi seperti buah-buahan, sayuran yang
tidak mengandung gas, dan minum susu randah lemak untuk
memelihara kekuatan tulang.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Lansia
2.1.2 Defenisi Lansia
Lanjut usia (Lansia) adalah bagian dari proses tumbuh kembang, manusia
tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak,
dewasa, dan akhirnya menjadi tua. Menurut UU no 4 tahun 1945 lansia adalah
seseorang yang mencapai berusia 55 tahun yang merupakan kelompok orang
lansia yang mengalami proses penuaan yang terjadi secara bertahap dan
merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari. Menurut Kemkes RI (2010)
lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Pada usia ini adalah
fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya
perubahan dalam hidup. Sebagaimana di ketahui, ketika manusia mencapai usia
dewasa, maka seseorang mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan
anak. Ketika kondisi hidup berubah seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi
ini, dan selanjutnya memasuki usia lanjut, kemudian meninggal dunia. Bagi
manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru
dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkunganya (Darmojo, 2004).
Perubahan ini adalah hal yang normal dalam satu siklus kehidupan manusia,
dengan perubahan fisik, psikososial dan tingkah laku yang terjadi pada semua
orang pada saat mereka mencapai tahapan usia lanjut dimasa ini seseorang
senantiasa mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap
(Azizah, 2011).
Universitas Sumatera Utara
7
2.1.2 Karakteristik Lansia
Ada beberapa karakteristik lansia yang perlu diidentifikasi berdasarkan data
demografi untuk mengetahui keberadaan masalah-masalah kesehatan lansia yaitu:
jenis kelamin diamana jumlah lansia lebih didominasi oleh kaum perempuan.
Selain itu, terdapat perbedaan kebutuhan dan masalah kesehatan yang dihadapi
antara lansia laki-laki dan perempuan. misalnya, lansia laki-laki banyak menderita
hipertropi prostat, sementara lansia perempuan menderita osteoporosis. Status
Perkawinan, yang masih berpasangan atau sudah hidup sendiri (duda/janda)
mempengaruhi kondisi kesehatan fisik maupun kondisi kesehatan secara
psikososial pada lansia umumnya.
Penataan kehidupan lansia bervariasi, keadaan pasangan yang masih
menanggung keluarganya : anak atau keluarga lainnya, tempat tinggal, rumah
sendiri, suasana tinggal bersama dengan anak atau keluarga besar, atau tinggal
sendiri. Dewasa ini kebanyakan lansia masih hidup sebagai bagian dari
keluarganya, baik lansia sebagai kepala keluarga atau bagian dari keluarga anakanaknya. Walaupun ada kecenderungan bahwa lansia akan ditempatkan oleh
anaknya atau keluarganya dalam rumah yang berbeda. Kondisi kesehatan lansia
dan kondisi kemampuan umum dalam beraktivitas sehari-hari dapat dioptimalkan
sehingga tidak tergantung kepada orang lain, seperti; makan/minum, berpindah,
kebersihan diri mandi, mengganti pakaian sendiri, buang air kecil dan buang air
besar. Frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan lansia menjadi tidak produktif
lagi dan mengalami tergantung kepada orang lain. Hal ini harus diupayakan untuk
meminimalkan resiko penyakit yang timbul dengan melakukan kontrol secara
rutin ke pelayanan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
8
2.2 Proses Menua
Menua adalah suatu proses alami dalam kehidupan yang tidak dapat
dihindari oleh manusia, proses ini merupakan tahap akhir dari siklus hidup
manusia yang akan dialami oleh setiap individu secara terus-menerus dan
berkesinambungan (Surilena &Agus, 2006). Pertambahan usia akan menimbulkan
perubahan-perubahan pada struktur dan fungsi fisiologis dari berbagai
sel/jaringan/organ dan sistem yang ada pada tubuh manusia sehingga
menyebabkan sebagian besar lansia mengalami kemunduran atau perubahan pada
fisik, psikologis, dan sosial (Mubarak dkk, 2010; Putri dkk, 2008).
2.2.1 Perubahan-Perubahan Pada Lansia
Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat
dari kehilangan yang bersifat bertahap. Berdasarkan perbandingan yang diamati
antar kelompok usia yang berbeda, sebagian besar organ mengalami kehilangan
fungsi sekitar 1% per tahun, dimulai usia sekitar 40 tahun. Namun demikian,
perubahan pada seorang lanjut usia akan mengalami perlambatan mulai pada usia
70 tahun (Setiadi, 2006). Menurut Arisman (2004) kekuatan, ketahanan dan
kelenturan otot rangka berkurang. Sehingga kepala dan leher terfleksi ke depan,
sementara ruas tulang belakang mengalami pembengkakan (kifosis), panggul dan
lutut juga terfleksi sedikit. Keadaan tersebut menyebabkan postur tubuh terganggu
sehingga menimbulkan beberapa masalah kemunduran dan kelemahan pada
lansia, seperti pergerakan, kestabilan terganggu dan terjadinya resiko jatuh:
Intelektual terganggu (demensia), Depresi, Inkontinensia dan impotensia,
Defisiensi imunologis, Infeksi, konstipasi dan malnutris, insomnia, kemunduran
Universitas Sumatera Utara
9
penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembauan, komunikasi dan integrasi kulit,
kemunduran proses penyembuhan penyakit yang diderita. Perubahan fisik pada
lansia diantaranya : sistem penglihatan pada lansia sangat erat kaitannya dengan
prebiopi, dimana lensa kehilangan elastis dan kaku, otot penyangga lensa lemah,
ketajaman penglihatan dan daya akomodasi dari jarak jauh dan dekat berkurang,
penggunaan kacamata dan sistem penerangan perlu diperhatikan.
Sistem Pendengaran pada lansia merupakan kemampuan daya pendengaran
pada telinga dalam, terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang
tidak jelas dan sulit dimengerti kata-kata terjadi pada lansia diatas 60 tahun.Sistem
Integumen kulit pada lansia sudah mulai kendur, tidak elastis, mengerut dan kulit
akan kekurangan cairan sehingga akan menjadi tipis dan berbecak. Kulit timbul
pigmen berwarna coklat, perubahan kulit dipengaruhi oleh faktor lingkungan
antara lain angin, sinar ultra violet. Sistem muskuloskeletal mengalami perubahan
sistem muskuloskeletalpada lansia seperti kulit, tendon, tulang, kartilago dan
jaringan pengikat. Perubahan pada kolagen merupakan penyebab turunnya
fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan nyeri, penurunan kekuatan otot,
sulit bergerak dari duduk ke berdiri dan jongkok hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
2.3 Resiko Jatuh pada Lansia
Resiko jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau keluarga
yang melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring,
terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran atau luka (Darmojo, 1999). Negara Amerika Serikat menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
10
bahwa 5% lanjut usia yang jatuh mengalami patah tulang iga (sterm), humerus
(tulang lengan), pelvis dan patah tulang paha (fractura columna femoris), dan 5%
diantaranya mengalami perlukaan jaringan lunak subdural haematoma, memar dan
keseleo otot (Kane (1994). Menurut (Stanley, 2006) resiko jatuh adalah suatu
kejadian yang menyebabkan subjek yang sadar menjadi berada di lantai tanpa
disengaja. Bukan merupakan jatuh bila kejadian jatuh diakibatkan pukulan keras,
kehilangan kesadaran atau kejang. Kejadian jatuh merupakan penyebab spesifik
yang berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar mengalami jatuh.
Jatuh sering terjadi pada lansia, berdasarkan hasil survei di AS, terdapat
30% lansia berumur lebih dari 65 tahun mengalami jatuh setiap tahunnya (Tinetti,
1992). Menurut Gunarto (2005) bahwa 31%-48% lansia mengalami jatuh karena
gangguan keseimbangan, dan setiap tahunnya 30%-40% lansia dirumah
mengalami kecelakaan jatuh (Flaherty et al.2003, dalam Potter & Perry, 2009).
Gangguan muskuloskeletal merupakan penyebab gangguan pada berjalan dan
keseimbangan yang dapat mengakibatkan kelambanan gerak, kaki cenderung
mudah goyah, serta penurunan kemampuan mengantisipasi terpeleset, tersandung,
dan respon yang lambat memudahkan terjadinya jatuh pada lansia (Reuben, 1996;
Kane, 1994; Tinetti, 1992; Campbell & Brocklehurst, 1987 dalam Darmojo,
2004). Resiko jatuh dianggap sebagai konsekuensi alami menjadi tua, jatuh bukan
bagian normal dari proses penuaan, setiap tahunya sekitar 30% lansia yang tinggal
di rumah meningkat dari 25% usia 70 tahun menjadi 35% setelah usia >75 tahun.
Lansia yang tinggal di panti mengalami jatuh lebih sering dari pada yang berada
di rumah karena mereka lebih rentan dan memiliki lebih banyak disabilitas.
Universitas Sumatera Utara
11
Sekitar 50% lansia yang tinggal di panti mengalami jatuh dan umumnya mereka
mengalaminya beberapa kali (Miller, 2007).
Faktor yang mempengaruhi terjadinya resiko jatuh pada lansia adalah faktor
internal seperti penyakit yang diderita, gangguan penglihatan, gangguan adaptasi,
gangguan kognitif, kardiovaskular seperti hipotensi postural atau sinkop, gelap,
infeksi telinga, lemah otot tungkai, penyakit sistemik dan reaksi negatif obat-obat,
maupun faktor eksternal lingkungan seperti kondisi tangga, lantai licin atau basah,
pencahayaan yang kurang, toilet jauh dari kamar, kondisi terlalu rendah, sepatu
yang buruk atau dengan sol licin, tempat tidur terlalu tinggi atau rendah, alat
rumah tangga yang dapat menyebabkan jatuh seperti karpet, kaki kursi, dan kabel
listrik (Kemkes, 2010). Beberapa faktor resiko yang teridentifikasi sebagai
penyebab berpotensi jatuh adalah kelemahan otot, gangguan koordinasi,
penggunaan obat-obat, dan resiko jatuh meningkat seiring dengan peningkatan
jumlah faktor resiko pada lansia (Tinetti, 1994). Hal ini juga sangat erat kaitannya
dengan perubahan fisik khususnya kelemahan otot, kehilangan keseimbangan dan
kelelahan fisik (Victoria et al., 2004).
Hal yang sama dikemukakan oleh para ahli bahwa faktor yang
mempengaruhi terjadinya resiko jatuh adalah faktor intrinsik dan ekstrinsik yang
berhubungan dengan aktivitas (Miller, 2004). Faktor sensorik yang berperan
terhadap resiko jatuh adalah sistem penglihatan (visus) dan pendengaran,
perubahan pada mata akan menimbulkan gangguan penglihatan dan perubahan
pada telinga menimbulkan gangguan pendengaran. Sistem Saraf Pusat (SSP)
seperti stroke dan parkinson, sering diderita oleh lanjut usia dan menyebabkan
gangguan fungsi SSP sehingga tidak baik terhadap sensorik. Kognitif, dimensia
Universitas Sumatera Utara
12
diisolasikan dengan resiko jatuh pada lansia. Faktor muskuloskeletal ini betulbetul
berperan
besar
terjadinya
resiko
jatuh
pada
lansia.
Gangguan
musculoskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan dan ini berhubungan
dengan proses menua yang fisiologis. Misalnya berkurangnya massa otot,
perlambatan konduksi saraf dan lapang pandang dapat menyebabkan penurunan
sendi, extremitas dan goyangan badan.
2.4 Faktor-Faktor Resiko Jatuh
Faktor-faktor resiko jatuh pada lansia digolongkan menjadi dua yaitu faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik sebagaimana diuraikan berikut ini.
2.4.1 Faktor Intrinsik
Faktor-faktor intrinsik hal yang berasal dari dalam tubuh lansia sendiri,
antara lain yaitu gangguan jantung dan sirkulasi darah, gangguan sistem anggota
gerak seperti kelemahan otot ekstremitas bawah dan kekuatan sendi, gangguan
sistem susunan saraf seperti neuropati perifer, gangguan pendengaran, gangguan
penglihatan, gangguan psikologis, infeksi telinga, gangguan adaptasi gelap,
pengaruh obat-obatan yang dipakai (diazepam, antidepresi, dan anti hipertensi),
vertigo, atritis lutut, sinkop dan pusing, penyakit-penyakit sistemik.
Gangguan jantung adalah tanda dan gejala gangguan jantung pada lanjut
usia nyeri pada daerah prekordial dan sesak napas seringkali dirasakan pada
penderita penyakit jantung diusia lanjut, rasa cepat lelah yang berlebihan
seringkali ditemukan sebagai dampak dari sesak napas yang biasanya terjadi
ditengah malam. Gejala lainnya adalah kebingungan, muntah-muntah dan nyeri
pada perut karna pengaruh bendungan hepar atau keluhan insomnia. Bising
Universitas Sumatera Utara
13
sinsolik banyak dijumpai pada penderita lanjut usia, sekitar 60% dari jumlah
penderita, dalam penemuan lain juga dilaporkan bahwa bising sistolik tanpa
keluhan ditemukan pada 26% penderita yang berusia 65 tahun keatas. Gangguan
jantung dapat dijumpai kekakuan pada arteria koroner, cincin katup miral, katup
aorta, miokardium, dan pericardium, kelainan-kelainan tersebut selalu merupakan
keadaan yang abnormal (Darmojo, 2004). Gangguan jantung pada lansia seperti
hipertensi dimana tekanan darah sistolik sama atau lebih tinggi dari 140 mmHg
dan tekanan diastolik lebih tinggi dari 90 mmHg, yang terjadi karena menurunnya
elastisitas arteri pada proses menua. Bila tidak ditangani, hipertensi dapat memicu
terjadinya stroke, kerusakkan pembuluh darah (arteri osclerosis), serangan/gagal
jantung sehingga dapat menyebabkan kejadian jatuh pada lansia (Darmojo, 2000).
Gangguan sistem anggota gerak merupakan bagian sindroma neurologik
berupa gerakkan berlebihan yang tidak berkaitan dengan kelemahan (paresis).
Gangguan gerak bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini
diakibatkan karena proses penuaan itu sendiri serta penggunaan obat-obatan yang
dapat mencetuskan terjadinya gangguan tersebut (Miller, 2005). Pengobatan pada
pasien geriatrik penting untuk diperhatikan apakah gangguan tersebut berasal
karena proses penuaan atau sungguh merupakan gangguan gerak disebabkan
karena kelainan pada ganglia basal, dibagi menjadi 2 yaitu hipokinetik dan
hiperkinetik. Gangguan hipokinetik diartikan adanya hipokinesia (berkurangnya
amplitude gerakkan), bradikinesia (melambatnya gerakkan), akinesia (hilangnya
gerakkan), seperti pada penyakit Parkinson. Gangguan hiperkinetik terjadi
gerakkan berlebih, abnormal, dan involunter, seperti pada tremor, athetosis,
dystonia, hemibalismus, chorea, myoclonus, dan tic. Gangguan sistem saraf pusat
Universitas Sumatera Utara
14
sering dialami para lansia dengan potensial resiko 10% kehilangan yang diketahui
pada usia 80 tahun. Perubahan sistem sensorik terdiri dari sentuhan, pembauan,
perasa, penglihatan, dan pendengaran. Perubahan pada indra pembauan dan
pengecapan dapat mempengaruhi lansia dalam mempertahankan nutrisi yang
adekuat, penurunan sensivitas sentuhan terjadi pada lansia seperti berkurangnya
neuron sensori yang secara efisien memberikan sinyal deteksi, lokasi, dan
identifikasi sentuhan atau tekanan yang dialami pada area kulit. Lansia juga sering
mengalami kehilangan sensasi dan persepsi informasi yang mengatur pergerakkan
tubuh dan posisi serta hilangnya fiber sensori, reseptor vibrasi dan sentuhan dari
ekstremitas bawah yang menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk
memperbaiki pergerakkan sendi pada lansia yang pada akhirnya dapat
mengakibatkan ketidakseimbangan tubuh sehingga terjatuh (Mauk, 2010).
Gangguan penglihatan adalah perubahan yang terjadi pada ukuran pupil
menurun dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi,
lensa menguning dan berangsur-rangsur menjadi lebih buram mengakibatkan
katarak, sehingga mempengaruhi kemampuan untuk melihat menerima dan
membedakan warna-warna. Gangguan sistem penglihatan pada lansia merupakan
salah satu masalah penting yang dihadapi oleh lansia ini terjadi akibat penuruna
fungsi penglihatan pada lansia membuat kepercayaan diri lansia berkurang dan
mempengaruhi dalam pemenuhan aktifitas sehari-hari. Perubahan sistem
penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan
termasuk penurunan kemampuan untuk melakukan akomodasi, kontraksi pupil
akubat penuaan, dan perubahan warna serta kekeruhan lensa mata (katarak). Mata
adalah organ sensorik yang berfungsi untk mentransmisikan rangsang melalui
Universitas Sumatera Utara
15
jarak pada otak ke lobus oksipitalis dimana rasa penglihatan ini diterima sesuai
dengan proses penuaan yang terjadi, tentunya banyak perubahan yang terjadi
diantaranya garis berubah kelabu, dapat menjadi kasar pada peria, dan menjadi
tipis pada sisi temporalis baik pada pria maupun wanita. Kunjungtiva menipis dan
berwarna kekuningan, produksi air mata oleh kelenjar lakrimaris yang berfungsi
untuk melembabkan dan melumasi konjungtiva akan menurun dan cenderung
cepat menguap, sehingga mengakibatkan konjungtiva lebih kering. Kondisi ini
memungkinkan terjadi ketidakawasan klien lansia dalam beraktifitas.
Mata bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran pupil menurun
dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi. Lensa
mongering dan berangsur-angsur menjadi lebih buram mengakibatkan katarak,
sehingga mempengaruhi kemampuan untuk menerima dan membedakan warnawarna. Warna gelap seperti coklat, hitam dan marun tampak sama, pandangan
dalam area yang suram dan adaptasi terhadap kegelapan berkurang (sulit melihat
dalam cahaya gelap) menempatkan pada lansia resiko cedera, sementara cahaya
menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan membatasi kemampuan untuk
membedakan objek-objek dengan jelas, semua hal diatas dapat mempengaruhi
kemampuan fungsional pada lansia. Gangguan ketajaman pada penglihatan dapat
disebabkan oleh presbiop kelainan lensa mata (refleksi lensa mata kurang),
kekeruhan pada lensa (katarak), tekanan dalam mata yang meninggi (glaucoma),
radang saraf mata (Cieayundacitra, 2010).
Gangguan pendengaran merupakan suatu keadaan yang menyertai lanjutnya
usia dengan penurunan fungsi pendengaran pada salah satu ataupun kedua telinga
sehingga dapat mengakibatkan resiko jatuh pada lansia. Proses penuaan seringkali
Universitas Sumatera Utara
16
ditandai dengan menurunnya fungsi berbagi organ tubuh, salah satunya adalah
fungsi pendengaran. Sekitar 30-35% orang berusia antara 65-75 tahun akan
mengalami gangguan pendengaran secara perlahan-lahan akibat proses penuaan
yang dikenal dengan istilah presbicusis, akibat adanya gangguan pendengaran ini,
seringkali orang-orang disekitarnya akan berbicara dengan suara yang lebih
lantang dan keras dengan para lansia, namun dengan demikian bukan berarti
semakin keras suara yang diucapkan akan terdengar lebih baik bagi mereka karena
ternyata suara yang terlalu keraspun akan terdengar menyakitkan ditelinga
mereka. Lanjut usia dengan bertambahnya usia, wajar saja bila kondisi dan fungsi
tubuh pun makin menurun, tak heran bila pada usia lanjut, semakin banyak
keluhan yang dilontarkan karena tubuh tidak lagi mampu melakukan pekerjaan
tertentu sehingga kesepakatan kerja sama dengan pihak pihak terkait
(Cieayundacitra, 2010).
Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan
fisik dan psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh
adalah patah tulang panggul. Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh
adalah fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan
lunak. Dampak psikologis walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok setelah jatuh
dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi termasuk
ansietas, hilangnya rasa percaya diri, pembatasan dalam aktivitas sehari-hari atau
fobia jatuh (Stanley, 2006). Postur tubuh dan mobilitas beresiko tinggi terhadap
jatuh, mobilitas tinggi dan postur tubuh yang tidak stabil beresiko jatuh 4,5 kali
dibandingkan dengan yang tidak aktif atau aktif tetapi dengan postur tubuh yang
stabil. Penelitian terhadap 4.862 klien di panti jompo, didapatkan resiko jatuh
Universitas Sumatera Utara
17
paling tinggi adalah penderita aktif dengan gangguan keseimbangan. Selanjutnya
penelitian Barnedh (2006) terhadap 300 lansia di Puskesmas Tebet bahwa lansia
dengan aktivitas rendah (tidak teratur berolahraga) beresiko 7,63 kali menderita
gangguan keseimbangan dibandingkan lansia dengan aktivitas tinggi. Lansia yang
tidak melakukan kebiasaan berolahraga beresiko tinggi mengalami jatuh
(Kemkes, 2010; Miller, 1999;).
Obat-obatan merupakan faktor bermakna terhadap resiko jatuh diantaranya
obat golongan sedatif dan hipnotik yang dapat mengganggu stabilitas postur
tubuh, yang mengakibatkan efek diuretik pada anti hipertensi, antidepresan, dan
antipsikotik.Obat-obat yang menyebabkan hipotensi, hipoglikemi, mengganggu
vestibular,
neuropati
hipotermi
dan
menyebabkan
kebingungan
seperti
phenothiazine, barbiturat dan benzodiazepin juga meningkatkan resiko jatuh.
Lansia yang memiliki tiga faktor resiko seperti kelemahan otot paha, gangguan
koordinasi, ketidakseimbangan, dan mendapat lebih dari 4 jenis pengobatan
beresiko jatuh sebesar 100% (Maryam, 2013).
2.4.2 Faktor Ekstrinsik
Faktor lingkungan memiliki resiko terhadap jatuh sebesar 31% Shobha
(2005, dalam Maryam, 2009). Lingkungan rumah termasuk situasi yang
berpotensi terhadap resiko terjatuh pada lansia, diantaranya karpet yang tidak rata,
pencahayaan ruangan tidak memadai, tangga tanpa pagar, kondisi tempat tidur,
kursi cukup tinggi, dan alat bantu jalan yang tidak tepat. Selain itu kondisi toilet
yang terlalu rendah dan permukaan kamar mandi menurun, licin dan tidak adanya
anti-selip pada lantai, serta dinding kamar mandi tidak memiliki pedoman dinilai
Universitas Sumatera Utara
18
sebagai resiko penyebab jatuh di rumah (Bemmel at al., 2005; Maryam, 2013).
Faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya resiko jatuh pada lansia adalah
faktor gizi yang mengakibatkan penurunan fungsi keseimbangan atau kelemahan
fisik. Lansia dengan asupan makanan yang rendah kalsium dan vitamin D, fosfor,
protein dan besi beresiko untuk jatuh. Asupan makanan yang tidak memadai
berupa protein, air dan tidak melakukan aktivitas fisik yang cukup untuk
menangkal hilangnya massa otot atau kehilangan kepadatan tulang meningkatkan
resiko jatuh dan cedera pada lansia (Kemkes RI., 2010).
Penggunaan alat bantu jalan memang meningkatkan keseimbangan, namun
disisi lain menyebabkan langkah yang terputus dan kecenderungan tubuh untuk
membungkuk, terlebih jika alat bantu tidak menggunakan roda, karena itu
penggunaan alat bantu ini haruslah direkomendasikan secara individual. Lansia
apabila pada kasus gangguan berjalannya tidak dapat ditangani dengan obatobatan maupun pembedahan, maka salah satu penanganannya adalah dengan alat
bantu jalan seperti tongkat, crutch (tongkat ketiak) dan walker, ketika memilih
alat bantu jalan , anatomi tubuh dan sudut siku harus diperlihatkan, banyak dari
mereka yang tidak mendapatkan bantuan professional dalan memilih alat bantu
jalan sehingga pemilihan alat bantu jalan yang tidak tepat dapat mengakibatkan
bertambah buruknya koordinasi gerakan dan gaya berjalan klien sehingga dapat
meningkatkan resiko untuk jatuh (Darmojo, 2004).
Perawat harus memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga lansia
bahwa keluarga harus sering memperhatikan lansia dirumah karena selain
kebutuhan fisik yang harus diperlukan, kebutuhan psikologis dan social juga harus
diperhatikan, mengamati kemampuan dan keseimbangan dalam berjalan, dan
Universitas Sumatera Utara
19
membantu stabilitas tubuh. Keluarga juga harus memperbaiki kondisi sekitar
lingkungan rumah yang dianggap tidak aman, misalnya dengan memindahkan
benda berbahaya, peralatan rumah dibuat yang aman (stabil, ketinggian kursi
disesuaikan, pegangan pada, dinding dan tangga) serta lantai yang tidak licin dan
penerangan ruangan yang cukup (Darmojo, 2004; Miller 2004).
Lingkungan merupakan faktor yang dapat memepengaruhi keseimbangan
dan berkontraksi pada resiko jatuh, kejadian jatuh didalam ruangan lebih sering
terjadi dikamar mandi, kamar tidur dan toilet. Jatuh sering terjadi sekitar 10%
terutama saat turun tangga karena lebih berbahaya dari pada saat naik tangga.
Lingkungan yang tidak aman dapat dilihat pada lingkungan luar rumah, ruang
tamu, kamar tidur, toilet, dan tangga atau lorong (Mauk, 2011).Lingkungan yang
tidak aman pada area luar seperti kondisi lantai yang retak, jalan depan rumah
sempit, pencahayaan yang kurang, kondisi teras atau halaman, bahaya lingkungan
pada area ruang tamu adalah kurangnya pencahayaan, area yang sempit untuk
berjalan, kondisi lantai yang retak dan berantakkan, kaki kursi yang miring dan
tinggi kursi yang tidak sesuai dengan tinggi kaki lansia dan sandaran lengan pada
kursi tidak kuat. Kamar tidur berbahaya dapat dilihat dari kondisi lantai, tinggi
tempat tidur, seprai yang tergerai dilantai, penempatan barang dan perabotan yang
mudah dijangkau, pencahayaan, dan sempit atau luasnya area kamar untuk
berjalan. Kamar mandi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan atau resiko
jatuh diantaranya pencahayaan kurang, kondisi lantai licin, posisi bak dan toilet
tidak aman, dan peletakkan alat mandi yang tidak mudah dijangkau oleh lansia.
Lingkungan area tangga dan lorong dapat dilihat dari kondisi lantai, pencahayaan,
peganggan, lis tangga, dan lebar tangga (Kemkes, 2010; Mauk, 2010).
Universitas Sumatera Utara
20
2.4.3 Faktor Situasional
Jatuh sebagian besar terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas sehari-hari
seperti berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi,. Jatuh terjadi pada saat
lansia melakukan aktivitas berbahaya seperti mendaki gunung atau olahraga berat.
Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan banyak kegiatan dan olahraga,
mungkin disebabkan kelelahan atau terpaparnya bahaya yang lebih banyak. Jatuh
juga sering terjadi pada lansia yang imobil (jarang bergerak)ketika tiba-tiba dia
ingin pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa pertolongan.
Jatuh pada lansia sering terjadi dirumah, dengan kejadian jatuh saat turun
tangga lebih banyak dibandingkan saat naik, yang lainnya terjadi karena
tersandung atau menabrak benda perlengkapan rumah tangga, lantai licin dan
tidak rata, penerangan/ pencahayaan yang kurang atau gelap. Riwayat penyakit
kronis yang diderita lansia selama bertahun-tahun biasanya menjadikan lansia
lebih mudah jatuh seperti stroke, hipertensi, hilangnya fungsi penglihatan,
dizziness dan sinkope, sering menyebabkan jatuh. Penyakit kronik yang diderita
lansia juga sering menyebabkan jatuh, misalnya sesak nafas akut pada penyakit
paru obstruktif menahun, nyeri dada pada penderita penyakit jantung iskemik, dll.
2.5 Morse Fall Scale(MFS)
Lanjut usia harus dicegah agar tidak jatuh dengan cara mengidentifikasi
faktor resiko, menilai, dan mengawasi keseimbangan dan gaya berjalan, mengatur
serta mengatasi faktor situasional. Metode cepat dan sederhana yang digunakan
untuk menilai kemungkinan jatuh pada klien lansia adalah dengan menggunakan
Morse Fall Scale (MFS). Sebagian besar perawat(82,9%) menilai Skalainicepat
Universitas Sumatera Utara
21
dan mudah untuk digunakandan 54% memperkirakanbahwa butuh waktukurang
dari 3menituntuk menilaipasien(Morse, 1997). Skala ini terdiri dari enam variable
yang cepat dan mudah untuk digunakan, dan telah terbukt i memiliki validitas
prediktif dan reabilitas interrater. MFS digunakan secara luas dalam pengaturan
perawatan akut maupun dan pelayanan perawatan jangka di rumah sakit.
Berikut ini ada skala yang digunakan untuk melakukan pengkajian resiko
jatuh lansia dengan menggunakan Morse Fall Scale. Penilaian dalam MFS terdiri
dari enam item yaitu riwayat jatuh, diagnosis penyakit, bantuan berjalan, terapi
intravena, gaya berjalan,dan status mental. Riwayat jatuh mendapatkan skor 25
jika pasien telah mengalami jatuh selama masuk rumah sakit/panti atau jika ada
riwayat mengalami jatuh secara fisiologis, seperti ;
gangguan gaya berjalan
sebelum masuk panti. Jika pasien pernah memilki riwayat jatuh mendapat skor 0.
Catatan tambahan jika pasien jatuh untuk pertama kalinya, maka skor nya segera
bertambah 25. Diagnosis Sekunder dinilai dengan skor 15 jika terdapat lebih dari
satu diagnosis medis yang terdaftar pada status pasien, jika tidak, skor 0.
Bantuan Berjalan dinilai sebagai 0 jika pasien berjalan tanpa bantuan
berjalan (bahkan jika dibantu oleh perawat), menggunakan kursi roda, atau
istirahat di tempat tidur dan tidak bangun dari tempat tidur sama sekali. Jika
pasien menggunakan kruk, tongkat, atau walker, item ini mendapat skor 15, jika
pasien berpindah atau berjalan dengan mencengkeram ke furnitur untuk
dukungan, skor item ini 30. Terapi intravena dinilai sebagai 20 jika pasien
menggunakan intravena terapi atau heparin yang dimasukkan, jika tidak, maka
skor penilaian adalah 0.
Universitas Sumatera Utara
22
Gaya berjalan yang normal ditandai dengan kepala yang tegak saat berjalan,
lengan berayun bebas di samping, dan berjalan tanpa ragu-ragu. Item ini
mendapatkan skor 0. Gaya berjalan yang lemah mendapat skor 10 yaitu pasien
yang membungkuk tetapi mampu mengangkat kepala sambil berjalan tanpa
kehilangan keseimbangan. Langkah yang pendek dan acak pasien mungkin
terjadi. Gaya berjalan dengan gangguan mendapat skor 20 yaitu pasien yang
memiliki kesulitan bangkit dari kursi, mencoba untuk bangun dengan mendorong
di lengan kursi / atau dengan memantulkan (yaitu, dengan menggunakan beberapa
upaya untuk naik). Kepala pasien turun, dan ia mengamati tanah. Karena
keterbatasan keseimbangan pasien, pasien menggenggam ke furnitur, dukungan
orang, atau bantuan berjalan dengan dukungan dan tidak dapat berjalan tanpa
bantuan ini.
Status mental diukur dengan memeriksa pasien itu sendiri dalam penilaian
kemampuan untuk melakukan ambulasi. Tanyakan pasien, "Apakah Anda bisa
pergi kamar mandi sendiri atau apakah Anda perlu bantuan?" Jika jawaban pasien
menilai kemampuan sendiri secara konsisten dengan urutan rawat jalan, pasien
dinilai sebagai normal dan mendapat skor 0. Jika respon pasien tidak konsisten
dengan intervensi keperawatan atau jika respon pasien tidak realistis, maka pasien
dianggapmelebih-lebihkan kemampuan sendiri dan memilki keterbatasan pelupa
dinilai dengan skor 15.
Penilaian dan Tingkat resiko dihitung dan dicatat pada grafik pasien.
Tingkat resiko dan tindakan yang direkomendasikan (misalnya tidak ada
intervensi diperlukan, intervensi pencegahan standar, intervensi pencegahan
resiko tinggi) kemudian diidentifikasi. Skor MFS 0-24 memiliki level resiko tidak
Universitas Sumatera Utara
23
ada resiko sehingga tindakan yang diperlukan adalah perawatan dasar yang baik.
Skor MFS 25-50 termasuk dalam level resiko rendah dan tindakan yang
diperlukan adalah melakukan intervensi pencegahan jatuh standar. Skor MFS ≥ 51
termasuk dalam level resiko tinggi dan tindakan yang diperlukan melakukan
intervensi pencegahan jatuh tinggi. (Morse, 1997).
Tabel 2.1 Metode Morse Falls Scale (MFS)
No.
1
2
Pengkajian
Skala
Riwayat jatuh, apakah lansia pernah jatuh dalam 3
Tidak (0)
bulan terakhir ?
Ya (25)
Diagnosa sekunder, apakah lansia memiliki lebih dari Tidak (0)
satu penyakit ?
3
Nilai
Alat
bantu
Ya (15)
jalan;
apakah
lansia
menggunakan (0)
alat/dibantu ?
(15)
Bedrest/dibantu perawat
(30)
Tongkat/walker
Berpegangan pada benda-benda disekitar (kursi,
lemari, meja)
4
5
Terapi intravena, apakah saat ini lansia terpasang infus Tidak (0)
?
Ya (25)
Gaya berjalan/cara berpindah apakah lansia berjalan ?
(0)
6
Normal/bedrest (tidak dapat berjalan sendiri)
(10)
Lemah (tidak bertenaga)
(20)
Gangguan/tidak normal (pincang/diseret)
Status mental, apakah lansia mengalami status mental ?
(0)
Lansia menyadari kondisi dirinya sendiri
(15)
Lansia mengalami keterbatasan daya ingat
Total
Keterangan :
Nilai
0-24 = tidak beresiko jatuh
25-50 = resiko rendah
>50 = resiko tinggi jatuh
Universitas Sumatera Utara
24
2.6 Pencegahan Jatuh pada Lansia
Klien lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan dini untuk mengetahui
adanya faktor resiko cedera akibat terjatuh dari aspek instrinsik:. Perlu dilakukan
pengkajian keadaan sensorik, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering
menyebabkan kejadian teratuh.Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan
dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan.Penerangan rumah harus cukup tetapi
tidak menyilaukan, lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil
yang susah dilihat, peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman atau rusak dan
dapat bergeser sendiri sebaiknya diganti. Peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan
sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan atau tempat aktivitas lanjut
usia. Kamar mandi tidak dibuat licin, sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya,
pintu yang mudah dibuka, dan WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi
pegangan di dinding.
2.6.1 Penilaian Keseimbangan dan Gaya Berjalan
Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan tubuhnya
dalam melakukan gerakan pindah tempat dan pindah posisi. Bila gerakan tubuh
pada saat berjalan sangat beresikoterjatuh, maka diperlukan bantuan keluarga atau
bantuan tim latihan oleh seorang rehabilitasi medis. Penilaian gaya berjalan juga
harus dilakukan dengan cermat, apakah kakinya menapak dengan baik, tidak
mudah goyah, apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat
berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup kuat untuk
berjalan tanpa bantuan orang lain. Seluruh hal tersebut harus dikoreksi bila
terdapat kelainan atau penurunan fungsi organ.
Universitas Sumatera Utara
25
2.6.2 Mengatur dan Mengatasi Faktor Situasional
Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita klien lanjut usia
dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara perodik.
Faktor
situasional
bahaya
lingkungan
tinggal
dapat
dicegah
dengan
mengusahakan perbaikan lingkungan, faktor situasional yang berupa aktifitas fisik
dapat diatasi sesuai dengan kondisi kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak
boleh melampaui batasan kemampuan aktifitas rutin yang diperbolehkan baginya
sesuai dengan hasil pemeriksaan kondisi fisik.Maka dari itu lansia dianjurkan
untuk tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau beresiko tinggi
untuk terjadinya jatuh.
Kejadian jatuh pada lansia sering kali menyebabkan cedera pada jaringan
lunak dan fraktur pangkal paha atau pergelangan tangan, bahkan dapat
mengakibatkan kematian. Keadaan tersebut menyebabkan berbagai masalah
kesehatan, yaitu: ketidaknyamanan fisik karena rasa nyeri, kelelahan fisik,
keterbatan mobilisasi, dan proses penyembuhan jaringan yang lambat sehingga
klien akan mengalami berbagai masalah ketergantungan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. Hal ini juga merupakan kekhawatiran utama pada lansia yang
memicu timbulnya penarikkan diri mereka dari kegiatan rutin dan kegiatan sosial,
kehilangan kemandirian, rasa tidak percaya diri, dan kehawatiran bahwa hal
tersebut dapat terulang kembali. Berdasarkan pemaparan diatas maka penelitian
ini menjadi penting dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor resiko jatuh yang
dialami oleh klien lanjut usia di Puskesmas Medan Johor. Menurut Shobha
(2005), pencegahan jatuh yang dapat dilakukan oleh klien lansia diuraikan dalam
penjelasan berikut:
Universitas Sumatera Utara
26
1. Latihan Fisik
Tujuan melakukan aktivitas fisik adalah meningkatkan kekuatan
tungkai dan tangan, memperbaiki keseimbangan, koordinasi, dan
meningkatkan reaksi terhadap bahaya lingkungan.Latihan fisik yang
dianjurkan adalah latihan fisik yang dapat melatih kekuatan tungkai,
pergelangan, tidak terlalu berat dan dilakukan sesuai semampunya,
latihan berjalan kaki, senam lansia, dan latihan keseimbangan.
2. Management Obat-Obatan
Mengurangi penggunaan obat-obatan yang sifatnya untuk waktu lama
missal: obat tidur dan melakukan konsultasi terhadap penggunaan
obat-obat yang harus dikonsumsi jangka panjang, missal: obat
hipertensi, obat DM, dll. Gunakan alat bantu berjalan jika diperlukan.
3. Modifikasi Lingkungan
Modifikasi lingkungan dapat dilakukan dengan pengaturan suhu
ruangan supaya tidak terlalu panas atau terlalu dingin untuk
menghindari ketidaknyamanan akibat pusing.Selain itu pengaruh
barang-barang yang memang sering diperlukan berada dalam
jangkauan klien agar tidak harus berjalan terlalu jauh dari tempatnya,
dengan memanfaatkan karpet antislip dikamar mandi/menjaga
kebersihan lantai agar tidak licin, memasang pegangan tangan pada
tempat yang diperlukan, memfasilitasi penerangan yang memadai,
menyingkirkan barang berserakan di lantai yang menggaggu klien.
Universitas Sumatera Utara
27
4. Memperbaiki Kebiasaan Lansia yang Buruk
Melakukan perubahan posisi dari posisi duduk atau jongkok ke posisi
berdiri jangan terlalu cepat, jangan mengangkat barang yang berat
sekaligus, dan lakukan pengangkatan barang dengan cara yang benar
dari lantai yaitu dengan cara posisi jongkok dan bukan posisi
membungkuk.
Hindari
aktifitas
berolahraga
yang
berat
dan
berlebihan, sepatu berhak tinggi, pakai sepatu berhak lebar dan datar,
jangan berjalan hanya dengan kaos kaki karena sulit untuk menjaga
keseimbangan, pakai sepatu antislip dengan alas yang kasar.
5. Memelihara Fungsi Tubuh
Fungsi penglihatan dan pendenganran sudah mengalami penurunan
sehingga perlu memperhatikan pemeliharaan kesehatan fungsi mata
dan pendengaran termasuk alat bantu yang digunakan berupa kaca
mata,
alat
bantu
pendengaran,
dan
pencahayaan
tinggalharusdiperhatikan dan dipertahankan
lingkungan
untuk menghindari
kondisi yang memicu resiko jatuh. Pemeliharaan kekuatan tulang
harus tetap dijaga untuk mempertahankan keseimbangan dan
koordinasi gerakan tubuh agar terhindar dari jatuh, klien dianjurkan
untuk berhenti merokok dan menghindari konsumsi alkohol, serta
edukasi keluarga dank lien untuk mempersiapkan dan mengkonsumsi
jenis makan-makanan yang bergizi seperti buah-buahan, sayuran yang
tidak mengandung gas, dan minum susu randah lemak untuk
memelihara kekuatan tulang.
Universitas Sumatera Utara