Peranan Badan Lembaga Permanent Court of Arbitration (PCA) Dalam Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan

BAB II
KEDUDUKAN LEMBAGA PERMANENT COURT OF ARBITRATION
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

D. Pengertian Sengketa Internasional
Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang
merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas yang
bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami perorangan maupun
kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi
conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan

ketidakpuasannya kepada pihak kedua. Apabila pihak kedua dapat menanggapi
dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, jika
reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilainilai yang berbeda, terjadi apa yang dinamakan dengan sengketa.
Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat
didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah
fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau
adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau
konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda.
Mahkamah Internasional Permanen dalam sengketa


Mavrommatis

Palestine Concessions (Preliminary Objection ) (1924) mendefinisikan

pengertian sengketa sebagai : disagreement on a point of law or fact, a conflict
of legal views or interest between two person .

14

15

Mahkamah Internasional mengungkapkan pendapat hukumnya ( advisory
opinion) dalam kasus Interpretation of Peace Treaties (1950, ICJ Rep.65)

bahwa untuk menyatakan ada tidakny suatu sengketa internasional harus
ditentukan secara objektif.
Menurut Mahkamah, sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua
Negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau
tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian.
Sengketa Internasional (Internasional Dispute) terjadi apabila perselisihan

tersebut melibatkan pemerintah, lembaga juristic person (badan hukum) atau
individu dalam bagian dunia yang berlainan terjadi karena :
1. Kesalahpahaman tentang suatu hal;
2. Salah satu pihak sengaja melanggar hak / kepentingan negara lain;
3. Dua negara berselisih pendirian tentang suatu hal;
4. Pelanggaran hukum / perjanjian Internasional. 18

Dalam Case Concerning East Timor (Portugal vs. Australia), Mahkamah
Internasional (ICJ) menetapkan 4 kriteria sengketa yaitu:
o

Didasarkan pada kriteria-kriteria objektif. Maksudnya adalah dengan melihat
fakta-fakta yang ada. Contoh: Kasus penyerbuan Amerika Serikat dan Inggris ke
Irak

18

Boer Mauna, Op.Cit, Hal 193.

o Tidak didasarkan pada argumentasi salah satu pihak. Contoh: USA vs. Iran 1979

(Iran case). Dalam kasus ini Mahkamah Internasional dalam mengambil putusan

tidak hanya berdasarkan argumentasi dari Amerika Serikat, tetapi juga Iran.
o Penyangkalan mengenai suatu peristiwa atau fakta oleh salah satu pihak tentang
adanya sengketa tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa tidak ada sengketa.
Contoh: Case Concerning the Nothern Cameroons 1967 (Cameroons vs. United
Kingdom). Dalam kasus ini Inggris menyatakan bahwa tidak ada sengketa antara

Inggris dan Kamerun, bahkan Inggris mengatakan bahwa sengketa tersebut terjadi
antara Kamerun dan PBB. Dari kasus antara Inggris dan Kamerun ini dapat
disimpulkan bahwa bukan para pihak yang bersengketa yang memutuskan ada
tidaknya sengketa, tetapi harus diselesaikan/diputuskan oleh pihak ketiga.
o Adanya sikap yang saling bertentangan/berlawanan dari kedua belah pihak yang
bersengketa. Contoh: Case Concerning the Applicability of the Obligation to
Arbitrate under section 21 of the United Nations Headquarters agreement of 26
June 1947.

Dalam studi hukum Internasional publik, dikenal 2 (dua) macam sengketa
Internasional. Adapun keduanya antara lain :
1) Sengketa hukum

Sengketa hukum yaitu sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa
atau tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu
perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum internasional. Keputusan yang
diambil dalam penyelesaian sengketa secara hukum punya sifat yang

17

memaksa kedaulatan negara yang bersengketa. Hal ini disebabkan keputusan
yang diambil hanya berdasarkan atas prinsip-prinsip hukum internasional.
2) Sengketa politik
Sengketa politik adalah sengketa ketika suatu negara mendasarkan
tuntutan tidak atas pertimbangan yurisdiksi melainkan atas dasar politik
atau kepentingan lainnya. Sengketa yang tidak bersifat hukum ini
penyelesaiannya

secara

politik.

Keputusan


yang

diambil

dalam

penyelesaian politik hanya berbentuk usul-usul yang tidak mengikat
negara

yang

bersengketa.

Usul

tersebut

tetap mengutamakan


kedaulatan negara yang bersengketa dan tidak harus mendasarkan pada
ketentuan hukum yang diambil. 19
Dalam praktiknya tidak dapat kriteria pembedaan yang jelas antara
sengketa hukum dan sengketa politik. Meskipun sulit untuk membuat pembedaan
yang tegas antara keduanya, namun para ahli memberikan penjelasan mengenai
cara membedakan sengketa hukum dan sengketa politik ini.
Menurut Friedmann, meskipun sulit untuk membedakan kedua pengertian
tersebut, namun perbedaannya dapat terlihat pada konsepsi sengketanya. Konsepsi
sengketa hukum memuat hal-hal sebagai berikut :
a. Sengketa hukum adalah perselisihan antar negara yang mampu
diselesaikan oleh pengadilan dengan menerapkan aturan hukum yang telah
ada dan pasti.

19

Ibid, hal 188-189

b. Sengketa hukum adalah sengketa yang sifatnya memengaruhi kepentingan
vital negara, seperti integritas wilayah, dan kehormatan atau kepentingan
lainnya dari suatu negara.

c. Sengketa hukum adalah sengketa dimana penerapan hukum internasional
yang ada cukup untuk menghasilkan putusan yang sesuai dengan keadilan
antar negara dan perkembangan progresif hubungan Internasional.
d.

Sengketa hukum adalah sengketa yang berkaitan dengan perengketaan
hak-hak hukum yang dilakukan melalui tuntutan yang menghendaki suatu
perubahan atas suatu hukum yang telah ada. 20

Menurut Sir Humprey Waldock, penentuan suatu sengketa sebagai
sengketa hukum ataupun sengketa politik bergantung sepenuhnya kepada para
pihak yang bersangkutan. Jika para pihak menentukan sengketanya sebagai suatu
sengketa hukum, maka sengketa tersebut adalah sengketa hukum. Sebaliknya jika
sengketa tersebut menurut para pihak membutuhkan patokan tertentu dan tidak
ada didalam hukum Internasional, misalnya soal pelucutan senjata maka sengketa
tersebut adalah sengketa politik. 21

Sedangkan menurut Oppenheim dan Kelsen, tidak ada pembenaran ilmiah
serta tidak ada dasar kriteria objektif yang mendasari perbedaan antara
sengketa hukum dan sengketa politik. Menurut mereka, setiap sengketa

20

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Huala Adolf III), 2004, hal 4

21

Ibid, hal 5

19

memiliki aspek politis dan hukumnya. Sengketa tersebut biasanya terkait antara
negara yang berdaulat. Oppenheim dan Kelsen menguraikan pendapatnya
sebagai berikut :
“All disputes have their political aspect by the very fact that they concern
relations between sovereign states. Disputes which, according to the distinction,
are said to be of a legal nature might involve highly important political interest of
the states concerned; conversely disputes reputed according to that distinction to
be a political character more often than not concern the application of a principle


or a norm of International law” 22
Huala Adolf mengeluarkan pendapat yang sama. Menurut beliau, jika
timbul sengketa antar dua negara, bentuk atau jenis sengketa yang bersangkutan
ditentukan oleh para pihak. Bagaimana kedua negara memandang sengketa
tersebut sebagai faktor penentu apakah sengketa yang terjadi merupakan sengketa
hukum atau sengketa politik.

Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pembedaan jenis
sengketa hukum dan politik Internasional dapat dilakukan. Pembedaan sengketa
dapat dilakukan dengan melihat sumber sengketa dan bagaimana sengketa
tersebut diselesaikan, apabila sengketa terjadi karena pelanggaran hukum
Internasional maka sengketa tersebut merupakan sengketa hukum. Selain
pelanggaran terhadap hukum Internasional, sengketa dapat terjadi akibat adanya

22

Ibid, hal 6

benturan kepentingan yang melibatkan lebih dari satu negara, sengketa yang
melibatkan kepentingan inilah yang disebut sengketa politik.


E.

Sejarah Penyelesaian Sengketa Internasional
Penyelesaian suatu sengketa Internasional erat kaitannya dengan hukum

Internasional yang mengatur mengenai permasalahan yang menjadi sengketa.
Sejarah perkembangan penyelesaian sengketa Internasional berhubungan dengan
sejarah terbentuknya hukum Internasional sebagai peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan negara-negara dan
subjek lainnya dalam kehidupan masyarakat Internasional.
Upaya-upaya penyelesaian sengketa telah menjadi perhatian penting dalam
masyarakat Internasional sejak abad ke-20. Upaya-upaya ini ditujukan untuk
menciptakan hubungan antar negara yang lebih baik berdasarkan prinsip
perdamaian dan keamanan Internasional.

23

Peranan hukum Internasional dalam


menyelesaikan sengketa Internasional adalah memberikan cara bagaimana para
pihak

yang

bersengketa

menyelesaikan

sengketanya

menurut

hukum

Internasional.
Dalam perkembangan awalnya, hukum Internasional mengenal dua cara
peyelesaian, yang mana hal ini dikemukakan oleh J.G. Starke bahwa bentukbentuk penyelesaian sengketa dapat digolngkan menjadi 2 bentuk yaitu:
a. Penyelesaian sengketa secara damai, yaitu apabila para pihak dapat
menyepakati utuuk menemukan solusi yang bersahabat;
23

Ibid, hal 1

21

b. Penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi
yang dipakai atau diterapkan adalah melalui kekerasan. 24
1) Penyelesaian sengketa secara damai
a. Negosiasi
Merupakan cara penyelesaian sengketa yang banyak ditempuh secara
efektif dalam menyelesaikan sengketa Internasional. Negosiasi adalah
perundingan yang diadakan secara langsung oleh para pihak dengan tujuan
untuk mencari penyelesaian menggunakan perundingan tanpa melibatkan
pihak ketiga. Penyelesaian sengketa dengan cara ini meskipun terlihat
mudah namun juga sering mengalami kegagalan seperti adanya penolakan
salah satu pihak untuk melkukan negosiasi.
Beberapa kelemahan menggunakan cara negosiasi :
a. Bila kedudukan pihak-pihak yang bernegosiasi tidak seimbang;
b. Kadang-kadang memerlukan waktu yang sangat lama untuk
mengajak pihak lain untuk mau bernegosiasi;
c. Jika salah satu pihak kontra produktif.
Dalam hal telah disepakatinya oleh para pihak dalam bernegosiasi, maka
hal tersebut dituangkan dalam dokumen atau perjanjian antar pihak, yang
berkekuatan hukum. Dan apabila kesepakatan tersebut gagal dipenuhi oleh
para pihak, makaakan ditempuh dengan cara lainnya, seperti arbitrase,
konsiliasi, mediasi, dan lain-lainnya.

24

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 651

Dalam penyelesaian ini sering ditemui bahwa inilah satu-satunya cara
yang dipakai karena negara sering merasakan keuntunganya meskipun
sengket itu ruit dan sulit untuk didamaikan. 25
b. Jasa Baik (Good Offices)
Apabila negosiasi tidak berjalan, maka dibutuhkan pihak ketiga dalam
penyelesaian sengketa. Dalam jasa baik ini, pihak ketiga tersebut akan
berusaha mengupayakan pertemuan antara pihak-pihak yang bersengketa
untuk berunding, tanpa adanya keterlibatan pihak ketiga tersebut dalam
perundingan.
Tujuan dari jasa baik ini adalah untuk mempertahankan komunikasi atau
kontak para pihak dapat terjamin dengan adanya perundingan ini. Setiap
pihak dapat meminta kehadiran dari si jasa baik meskipun tidak ada
kewenangan dari pihak lainnya untuk menerima hal tersebut. Hal tersebut
tidak dapat dipandang sebagai tindakan yang tidak bersahabat.
c. Mediasi
Keterlibatan pihak ketiga dalam mdiasi sudah lebih kuat, dimana mediator
berperan aktif dalam mendamaikan pihak yang bersengketa dan dapat
memberikan rekomendasi untuk penyelesaan sengketa. Mediasi bertujuan
menciptakan hubungan langsung antara para pihak yang bersengketa. Para
pihak yang bersengketa dapat mengurangi ketegangan antara pihak
bersengketa dan menjadi saluran informasi bagi pihak yang bersengketa

25

Huala Adolf, Op.Cit, hal 27

23

serta dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa yang dapat
memuaskan pihak yang bersengketa.
Negara, individu, atau organisasi regional maupun internasional yang
dianggap netral, bisa diterima oleh pihak yang bersengketa sebagai
mediator. Penetapan mediator dapat dipilih langsung oleh pihak yang
bersengketa ataupun usulan dari masyarakat Internasional, ataupun yang
menawarkan jasanya untuk menjadi mediator dalam sebuah sengketa.
Dalam mediasi harus dilakukan atas persetujuan para pihak yang
bersengketa.
Seorang mediator diberikan kebebasan dalam menentukan proses
penyelesaian sengketanya dengan memberikan saran maupun usulan yang
diperolehnya dari laporan para pihak yang bersengketa. Mediator juga
dapat menerapkan asas ex aequo et bono (kepatutan dan kelayakan)
sehingga tidak terbatas oleh hukum yang ada.
d. Pencari Fakta (Fact Finding/ inquiry)

Fungsi dari inquiry ini adalah memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan
mencari kebenaran fakta, tidak memihak, melalui investigasi, secara terus
menerus sampai fakta yang disampaikan oleh salah satu pihak dapat
diterima oleh pihak lain. Negara atau organisasi seringkali menggunakan
inquiry.
Inquiry dapat dilaksanakan oleh salah satu komisi yang permanen.

Individu maupun organisasi yang terpilih untuk memberikan expert
opinionnya . Tugas komisi pencari fakta terbatas hanya untuk memberikan

pernyataan menyangkut kebenaran fakta, tidak berwenang memberikan
suatu putusan (award). Pemilihan penyelesaian sengketa secara inquiry
harus dilakukan atas kesepakatan dari para pihak untuk memilih cara
tersebut.
Meskipun dilapangan, tim pencari fakta kesulitan jika negara teritorial
tempat penyelidikan diadakam kurang kooperatif. Maka dengan adanya
ketentuan pasal 39 Piagam PBB, yang mana berbunyi :
“Dewan Keamanan PBB akan menentukan ada atau tidaknya suatu
ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian atau
tindakan agresi dan akan menganjurkan untuk memutuskan tindakan apa
yang harus diambil sesuai pasal 41 dan 42, untuk memelihara atau
memulihkan perdamaian atau keamanan internasional”
Maka dengan adanya ketentuan piagam PBB ini, Dewan Keamanan PBB
dapat mengirimkan komisi pencari fakta atas nama PBB tanpa persetujuan
negara teritorial bila menurut Dewan Keamanan sengketa yang muncul
sudah termasuk kategori mengancam atau melanggar perdamaian
keamanan internasional atau juga tindakan agresi.
e. Konsiliasi (conciliation)

Konsiliasi ini merupakan metode penyelesaian sengketa secara politik
dengan menggabungkan cara-cara inquiry dengan mediasi. Cara ini juga
menggunakan pihak ketiga dalam melakukan penyelesaian sengketa.
Melalui cara ini, pihak ketiga melakukan penyelidikan terhadap sengketa
yang dipermasalahkan lalu memberikan usulan-usulan yang formal

25

mengenai penyelesaian sengketanya. Usulan ini tidak mengikat para pihak
yang bersengketa. Konsiliasi dapat dilakukan oleh lembaga atau komisi
yang permanen maupun Ad Hoc. 26
Yang membedakan antara konsiliasi dengan mediasi adalah konsiliasi
memiliki hukum acara yang lebih formal yang dapat diterapkan didalam
perjanjian atau diterapkan oleh badan konsiliasi sedangkan mediasi tidak
ada hukum acara formal yang mengaturnya.
2) Penyelesaian Sengketa Secara Kekerasan
Dalam penyelesaian sengketa ini juga dimungkinkan untuk dilakukan dengan
cara kekerasan apabila penyelesaian sengketa dengan cara damai tak tercapai.
Penyelesaian ini juga sering disebut dengan penyelesaian secara tak damai.
Adapun diantaranya berupa :
a. Perang
Bertujuan untuk menaklukkan negara lawan dimana negara yang
dikalahkan tersebut akan menerima syarat-syarat penyelesaian dan tidak
memiliki alternatif lain selain mematuhi hal tersebut.
Biasanya dilakukan perang dengan adil pada awal perkembangan hukum
internasonal, yaitu perang yang dilakukan dengan penggunaan senjata
yang sederhana yang disertai pernyataan perang oleh salah satu pihak
kepada pihak lain, dan pihak lain tersebut akan bersiap untuk membela
dirinya.

26

27

Pada abad ke-18, hak berdaulat untuk menyelesaikan sengketa

Sefriani, Hukum Internasional:Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal
322
27
Ibid, hal 354

dengan perang lebih ditekankan dan tidak mempermasalahkan parameter
hak negara dalam menggunakan kekerasan.
b. Retorsi
Merupakan istilah pembalasan dendam oleh suatu negara atas tindakan
kurang bersahabat dari negara lain. Bentuk retorsi dapat dicontohkan
diantaranya yaitu, pemutusan hubungan diplomatik; pencabutan privilegeprivilege diplomatik; deportasi dibalas deportasi; persona non grata dibalas
pesona non grata; dan lain-lain sebagainya. Retorsi sah dan dibenarkan
asalkan tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional
serta keadilan.
c. Reprisal
Merupakan metode oleh negara-negara untuk mengupayakan ganti rugi
dari negara lain dengan melakukan tindakan yang sifatnya pembalasan.
Pada zaman dahulu, reprisal ini merupakan penyitaan harta benda maupun
penahanan orang. Namun pada zaman sekarang, reprisal ini menunjuk
kepada tindakan pemaksaan oleh suatu negara kepada negara lain yang
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa atas tindakan tidak sah yang
dilakukan oleh negara tersebut.
Strarke mengemukakan pendapatnya mengenai perbedaan antara reprisal
dengan retorsi bahwa reprisal adalah pembalasan yang meliputi tindakan
yang boleh dikatakan merupakan perbuatan ilegal sedangkan dalam retorsi
tindakan balas dendam tersebut dibenarkan oleh hukum. 28

28

J.G. Starke, Op.Cit, hal 680

27

Reprisal dapat berupa suatu pemboikotan berang terhadap suatu negara
tertentu, embargo, demonstrasi angkata laut, atau pengeboman. Dalam
perkembangan praktek internasional, reprisal dibenarkan dalam hal negara
lawan tersebut bersalah atas tindakan suatu pelanggaran internasional.
Reprisal tidak dibenarkan apabila negara pelanggar telah memberikan
ganti rugi tanpa diminta atas kesalahannya atau tindakan reprisal melebihi
porsi atas kerugian yang diderita.
d. Blokade secara damai
Merupakan blokade yang dilakukan pada waktu damai untuk memaksa
negara yang diblokade untuk memenuhi kerugian dari negara yang
memblokade tersebut. Dapat dikatakan bahwa tindakan blokade ini
melebihi dari tindakan reprisal tetapi masih dibawah tindakan perang. Para
ahli meragukan legalitas dari tindakan blokade ini, serta diragukan
keabsahannya apabila ditinjau dari piagam PBB.
e. Embargo
Merupakan larangan ekspor barang ke negara yang dikenai embargo.
Embargo juga ditetapkan sebagai sanksi kepada negara pelanggar hukum
internsional.
f. Intervensi
Menurut Starke, intervensi termasuk dalam cara penyelesaian sengketa
dengan kekerasan.

29

intervensi yang dalam kaitan ini berarti suatu

tindakan yang melebihi campur tangan saja, yang lebih kuat daripada

29

J.G. Starke, Op.Cit, hal 679

mediasi atau usulan diplomatik.

30

Campur tangan yang bertentangan

dengan kepentingan negara tersebut dilarang atau sudah termasuk kategori
intervensi. Adapun bentuk intervensi yang diperbolehkan didalam hukum
internasional, yaitu :
a. Intervensi kolektif, merupakan intervensi dibawah kewenangan
Dewan Keamanan PBB sesuai dengan bab VIII Piagam PBB;
b. Intervensi untuk melindungi hak dan kepentingan serta jiwa warga
negara di luar negeri;
c. Intervensi untuk pertahanan diri, diperlukan untuk menghilangkan
bahaya serangan bersenjata;
d. Intervensi dalam urusan protektorat yang berada dibawah
kekuasaan negara tersebut;
e. Intervensi dalam hal pengintervensi telah melakukan pelanggaran
berat dalam hukum internasional dalam melakukan operasi
intervensinya. 31
3) Penyelesaian Sengketa Secara Hukum
Ada beberapa penyelesaian sengketa secara hukum, yaitu :
a. Melalui Jalur Arbitrase
Menurut Komisi Hukum Internasional, penyelesaian sengketa melalui
arbitrase adalah prosedur penyelesaian sengketa antar negara yang bersifat
mengikat berdasar hukum dan hasilnya dapat diterima secara sukarela.

30
31

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 135
Ibid, hal 137

29

Prinsip kesukarelaan terlihat dalam arbitrase, yaitu para pihak sepakat
untuk membawa sengketanya ke arbitrase.
Arbitrase berfokus pada masalah hak dan kewajiban para pihak yang
bersengketa jika dilihat dari hukum internasional. Dengan penerapan
hukum sesuai pada fakta yang ada, maka diharapkan penyelesaan sengketa
akan tercapai.
Putusan arbitrase mengikat secara hukum bagi para pihak yang terkait.
Mayoritas putusan arbitrase dipatuhi oleh para pihak meskipun belum ada
perangkat untuk menjamin penguatan hukum akan hal itu. Para pihak
dalam proses arbitrase dapat memilih atau menunjuk arbitratornya sendiri.
Serta juga dapat memasukkan ahli-ahli teknis yang diperlukan dan
menentukan sendiri prosedur apa yang harus dijalani seperti tidak
mempublikasikan putusan arbitrase.
b. Melalui Pengadilan Internasional
Ada beberapa pengadilan internasional, beberapa diantaranya adalah ;


International Court of Justice (ICJ)

Adalah pengadilan yang mengadili sengketa antar negara dibidang
hukum internasional;


International Tribunal for the Law of the Sea

Khusus

untuk

mengadili

sengketa

dibidang

hukum

internasional;


International Criminal Court (ICC) dan Ad Hoc Tribunal

laut

Mengadili individu, terdakwa yang diduga telah melakukan
kejahatan internasional.
ICJ merupakan salah satu organ penting PBB yang diatur oleh Statuta
Mahkamah Internasional. Meskipun negara anggota PBB juga merupakan anggota
statuta tapi tidak ada kewajiban negara anggota untuk membawa sengketanya ke
hadapan ICJ.
ICJ dianggap sebagai cara utama penyelesaian sengketa meskipun statistik
menunjukkan hanya 4 sampai 5 perkara saja yang diajukan ke ICJ setiap
tahunnya.

Adapun

alasan

mengapa

masyarakat

internasional

jarang

menyelesaikan permasalahnya melalui ICJ dikarenakan beberapa faktor :
1) Proses ICJ dianggap sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan masalah;
2) Proses melalui ICJ memakan waktu yang lama dan biaya yang cukup
tinggi;
3) ICJ tidak memiliki yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction).

Dalam perkembangannya kemudian, dengan semakin berkembangnya
kekuatan militer serta senjata pemusnah massal, masyarakat Internasional
semakin menyadari besarnya bahaya dari penggunaan perang. Karenanya
dilakukan upaya untuk menghilangkan atau sedikitnya membatasi penggunaan
penyelesaian sengketa secara kekerasan.
Perkembangan hukum Internasional dalam mengatur cara-cara secara
damai dengan formal pertama kali lahir sejak diselenggarakannya The Haque
Peace Conference pada tahun 1899 dan 1907. Konferensi perdamaian ini

31

menghasilkan The Convention on the Pasific Settlement of International Disputes
tahun 1907. Konferensi perdamaian Den Haag tahun 1899 dan 1907 ini memiliki
dua arti penting, yaitu :
a. Konferensi memberikan sumbangan penting bagi hukum perang
(hukum humaniter Internasional);
b.

Konferensi memberikan sumbangan penting bagi aturan-aturan
penyelesaian sengketa secara damai antar negara. 32

Hasil dari konferensi ini sayangnya tidak memberikan suatu kewajiban
bagi negara peserta untuk menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara damai.
Menurut Ion Diaconu, hasil konvensi bersifat rekomendatif semata. Dalam
perkembangannya kovensi Den Haag ini kemudian diikuti dengan sahnya
perjanjian Internasional berikut :
1. The convention for the Pasific Covenant of the League of Nations tahun
1919
2. The Statue of the Permanent Court of International Justice (Statuta
Mahkamah Internasional Permanen) Tahun 1921.
3. The General Treaty for the Renunciation of War tahun 1928.
4. The General Act for the Pasific Settlement of International Disputes tahun
1928
5. Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional tahun 1945.
6. The Manila Declaration on PeacefulSettlement of Disputes Between
States, 15 November 1982.
32

Huala Adolf, Op.Cit, hal 9

Manila Declaration atau Deklarasi Manila merupakan hasil inisiatif dan upaya

Majelis Umum PBB dalam menggalakkan penghormatan terhadap penggunaan
penyelesaian sengketa secara damai. Deklarasi Manila ini antara lain menyatakan:
a) Adalah kewajiban negara-negara yang bersengketa untuk mencari jalan ,
dengan itikad baik dan semangat kerja sama, menyelesaikan sengketa
Internasional mereka secepat mungkin dan seadil-adilnya;
b) Negara-negara harus juga mempertimbangkan peran penting yang dapat
diperankan oleh Majelis Umum, Dewan Keamanan, Mahkamah
Internasional, dan Sekretaris Jenderal PBB dalam menyelesaikan suatu
sengketa;
c) Deklarasi menyatakan adanya berbagai cara yang dapat dimainkan oleh
organ-organ PBB untuk membantu para pihak mencapai suatu
penyelesaian sengketa mereka. 33
Dewasa ini hukum Internasional telah menetapkan kewajiban minimum
kepada semua negara (anggota PBB) untuk meyelesaikan sengketa
Internasionalnya secara damai. Ketentuan ini tersurat khususnya dalam pasal 1, 2,
dan 33 piagam PBB.
Menurut Levy, kewajiban ini sifatnya telah menjadi hukum Internasional
universal. Kewajiban tersebut mensyaratkan bahwa negara-negara harus
menyelesaikan sengketanya dengan cara-cara damai sedemikian rupa sehingga
perdamaian, keamanan Internasional dan keadilan tidak terancam.

33
34

Ibid, hal 10
Ibid, hal 11

34

Meskipun

33

sifatnya telah universal, kewajiban tersebut tidak berarti mengikat mutlak
terhadap negara. Negara ialah satu-satunya subjek hukum Internasional yang
memiliki kedaulatan penuh (par excellence).
Suatu negara meskipun tunduk pada kewajiban penyelesaian sengketa
secara damai, tetap memiliki kewenangan penuh untuk menentukan metode atau
cara-cara penyelesaian sengketanya. Kewajiban tersebut tetap tunduk kepada
kesepakatan (konsensus) negara yang bersangkutan. Seiring dengan semakin
berkembangnya hukum Internasional maka jalur atau skema-skema penyelesaian
sengketa Internasional turut mengalami peningkatan, namun penggunaan skema
mana yang digunakan untuk penyelesaian suatu sengketa, sepenuhnya merupakan
pilihan dari negara-negara yang terlibat sengketa.

F. Kedudukan Hukum Lembaga Permanent Court of Arbitration dalam
Penyelesaian Sengketa
Permanent Court of Arbitration (PCA) atau Mahkamah Arbitrase PCA ini

bukan peradilan pada umumnya melainkan sebuah pelayanan jasa dengan jasa
sidang arbitrase untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa antar anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan atau negara yang menjadi member dalam
ratifikasi Mahkamah Arbitrase ini. 35
Permanent Court of Arbitration (PCA) dibentuk melalui Konvensi Den

Haaq 1899 dan 1907 yang mengatur proses beracara di PCA. Kompetensi PCA

35

https://en.wikipedia.org/wiki/Permanent_Court_of_Arbitration (diakses pada tanggal 15
November 2016).

juga meliputi sengketa yang terjadi antara negara dengan subjek internasional non
negara yang mana tidak dapat ditangani oleh Mahkamah Internasional.
Dasar hukum dari Permanent Court of Arbitration adalah Convention for
the Pasific Settlement of International Dispute tanggal 29 Juli 1899 dan tanggal

18 Oktober 1907. Fungsi dari PCA ini adalah sebagai media pelayanan arbitrase
Internasional, adapun pelayanan dari PCA ini meliputi 5 hal, yaitu :
a) Jasa Arbitrase;
b) Penunjukan Otoritas;
c) Mediasi/Konsiliasi;
d) Pencarian Fakta
e) Pengadilan Tamu. 36

Struktur organisasi Permanent Court of Arbitration (PCA) terdiri dari
biro-biro Internasional dan administrative council. Biro-biro Internasional ini
terdiri dari Sekjen dan staffnya yang pada praktiknya harus berkewarganegaraan
Belanda. Sekjen dipilih administrative council. administrative council ini berisi
perwakilan diplomatik dari negara-negara yang menandatangani kedua konvensi
diatas dengan Menteri luar negeri Belanda sebagai presiden administrative
council. Tugas dari administrative council adalah memberi arahan dan

pengawasan terhadap biro Internasional dan juga memperbaiki kualitas kerjasama
biro Internasional dan setiap tahun mengirimkan laporan kerjanya kepada negara-

36

https://pca-cpa.org/en/services (diakses pada tanggal 15 November 2016).

35

negara anggota Permanent Court of Abitration (PCA) ini. 37 PCA memiliki suatu
panel yang disebut dengan Member of the Court. Badan ini terdiri dari 260
arbitrator. Mereka adalah para ahli hukum terkemuka yang berasal dari negaranegara anggota PCA.

Adapun kewenangan hukum dari Permanent Court of Arbitration adalah
sebagai berikut :
1. Memeriksa perkara penerapan putusan (award) antar negara yang
menandatangani konvensi, jika permasalahan tersebut tidak dapat
diselesaikan melalui cara diplomasi.
2. Menyelesaikan sengketa antar negara anggota PCA atau sengketa antar
negara anggota PCA dengan anggota non PCA. Kasus yang pertama kali
ditangani oleh PCA adalah The Pious Fund Arbitration pada tahun1907.

Prosedur penanganan perkara di PCA dilakukan dengan cara melalui halhal berikut, yaitu :




Pengajuan gugatan secara tertulis.
Pada tahap dengar pendapat, Hakim pengadilan PCA dapat menyatakan
sidang terbuka untuk umum tergantung kesepakatan para pihak yang
bersengketa. Pada tahap ini Hakim pengadilan PCA dapat menunda

37

https://Khafidsociality.blogspot.co.id/2011/03/Permanent-court-of-arbitration.html (diakses pada
tanggal 16 November 2016.

persidangan jika para pihak tidak hadir di muka pengadilan ataupun tidak
menunjuk perwakilannya.


Pelaksanaan putusan dari PCA terhadap sengketa yang diperiksa harus
segera dilaksanakan (mengikat) dengan menghormati hukum nasional
negara anggota.