SENGKETA CINA DAN FILIPINA TERHADAP KEPEMILIKAN LAUT CINA SELATAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

SENGKETA CINA DAN FILIPINA TERHADAP
KEPEMILIKAN LAUT CINA SELATAN DALAM PERSPEKTIF
HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

SKRIPSI

Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum

Diajukan Oleh:
Nama : SATRIO WHINASIS PURBOAJI
NIM : 20080610097

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul
“SENGKETA CINA DAN FILIPINA TERHADAP KEPEMILIKAN LAUT
CINA SELATAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PENYELESAIAN

SENGKETA INTERNASIONAL”, merupakan hasil penelitian saya sendiri dan
saya tidak melakukan plagiarisme yang bertentangan dengan etika komunitas
ilmiah. Dengan pernyataan ini saya siap menanggung sanksi berdasarkan
peraturan yang berlaku apa bila suatu saat ditemukan pelanggaran terhadap etika
keilmuwan.

Nama

: Satrio Whinasis Purboaji

NIM

: 20080610097

Fakultas

: Hukum

Universitas


: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Yogyakarta, 5 Januari 2017
Penulis,

Satrio Whinasis Purboaji

iii

MOTTO

“Jangan menyerah sebelum mencoba, untuk memiliki sebuah cita-cita perlu
sebuah keberanian, tapi untuk menyerah terhadap cita-cita dan bisa menentukan
cita-cita yang lain memerlukan jauh lebih banyak keberanian.”

(Satrio Whinasis Purboaji)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN


Skripsi ini saya persembahkan kepada:
Tuhan hamba Yang Tercinta, Allah SWT,
Rasulullah yang sangat kurindukan, Nabi Muhammad SAW,
Ayah yang saya cintai, Ayah Sarjito,
Ibu yang saya cintai, Ibu Ati Yuharti, dan
Adik yang saya cintai, Hantoro Ksaid Notolegowo.

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan saya
kekuatan dan kemudahan untuk menyelesaikan skripsi ini. Rasa terima kasih
setulusnya saya sampaikan kepada kedua pembimbing saya, Bapak Muhammad
Haris Aulawi, S.H., M.Hum. dan Bapak Yordan Gunawan, S.H., Int. MBA yang
telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan dengan sabar kepada saya
yang masih banyak kekurangan dalam pengerjaan tugas akhir, juga kepada Bapak
Dr. Muhammad Nur Islami, S.H., M.Hum. yang telah bersedia menjadi ketua tim
penelaah dalam ujian skripsi saya. Kepada Dekan, Bapak Dr. Trisno Raharjo,

S.H., M.Hum. beserta jajaran senat Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (Pak Mukhtar, Bu Yuni, Pak Leli, Bu Septi) yang telah memberikan
kebijaksanaan sehingga saya memiliki kesempatan untuk menyelesaikan studi,
saya ucapkan terima kasih banyak. Terima kasih juga saya sampaikan kepada
seluruh dosen di FH UMY yang telah memberikan pengajaran ilmu hukum
kepada saya dan para staff yang telah melancarkan urusan administrasi, khususnya
selama pengerjaan skripsi (Pak Maman, Dek Putri, Pak Dirman, dan Pak Heru).
Terima Kasih kepada keluarga besar Menwa UMY, yang telah menjadi
keluarga dan memberikan banyak pengalaman, para senior (Pak Husni, Pak
Suryadi, Pak Aris, Bang Arif, Bu Ayu, Pak Adi Pranoto), teman satu Yudha 32
(Toyo, Sandi, Samsul, Wasis), para junior Yudha 33 (Nanang, Afri), Yudha 34
(Hasbi, Asdi, Sandhya, Gunadi, Oby), Yudha 35 (Bondan, Pabri, Renny), Yudha
36, Yudha 37, Yudha 38, dan Yudha 39. Keluarga Laboratorium FH UMY (Pak

vi

Muji, Mas Dani, Mba Ari, Mba Okti, Mba Kiki, Laras, Vinda, Saras, Faisal, Siwi,
Bu Atun) terima kasih atas pembelajaran dan kebersamaannya. Serigala Terakhir
(Arie, Fajar, Faisal, Falva, Dayen, Beny, Adit) terima kasih atas persahabatan
yang tak pernah berakhir. Teman-teman kost dan kontrakan Romy, Tami, Raiyan,

Bang Khalid, Habib, dan Canggi terima kasih atas waktunya.
Terakhir, saya sadar skripsi saya yang berjudul “SENGKETA CINA
DAN FILIPINA TERHADAP KEPEMILIKAN LAUT CINA SELATAN
DALAM PERSPEKTIF HUKUM PENYELESAIAN INTERNASIONAL”
masih terdapat banyak kekurangan. Namun saya berharap penelitian ini dapat
menjadi sedikit tambahan referensi tentang salah satu aspek dalam Sengketa Laut
Cina Selatan.

Penulis

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................. iii
HALAMAN MOTTO .......................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. x
ABSTRAK ............................................................................................................ xi
BAB I: PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian.................................................................................. 4
E. Sistematika Penulisan ............................................................................. 5
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 8
A. Sengketa Internasional ........................................................................... 8
B. Sengketa Kepemilikan Laut Cina Selatan ............................................ 11
C. Penyelesaian Sengketa Internasional.................................................... 13
BAB III: METODE PENELITIAN ................................................................... 16
A. Jenis Penelitian ..................................................................................... 16

viii

B. Data....................................................................................................... 16
C. Metode Pengumpulan Data .................................................................. 18

D. Metode Analisis Data ........................................................................... 18
BAB IV: HASIL DAN ANALISIS ..................................................................... 19
A. Penyebab Sengketa Cina dan Filipina terhadap Kepemilikan Laut Cina
Selatan .................................................................................................. 19
1. Tinjauan umum sengketa Laut Cina Selatan......................................... 19
2. Analisis Penyebab Sengketa Cina dan Filipina terhadap Kepemilikan
Laut Cina Selatan.................................................................................. 33
B. Penunjukan Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent Court of
Arbitration) sebagai Lembaga yang Mengadili Sengketa Cina dan
Filipina terhadap Kepemilikan Laut Cina Selatan ................................ 59
1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional ................................. 59
2. Hukum Laut Internasional..................................................................... 85
3. Analisis Penunjukan Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent
Court of Arbitration) sebagai Lembaga yang Mengadili Sengketa Cina
dan Filipina terhadap Kepemilikan Laut Cina Selatan ......................... 95
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 103
A. Kesimpulan ........................................................................................ 103
B. Saran ................................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 105


ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Wilayah Sengketa Cina dan Filipina di Laut Cina Selatan .............. 41
Gambar 4.2 Nine-Dash Line ................................................................................ 50
Gambar 4.3 Klaim Filipina di wilayah Laut Cina Selatan ................................... 58

x

HALAMAN PERSETUJUAN

SENGKETA CINA DAN FILIPINA TERHADAP KEPEMILIKAN
LAUT CINA SELATAN DALAii'! PERSPEKTIF
HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

Diajukan oleh:

Nama


: Sal rio Whinasis Purboaji

NIM

: 20080610097

Skripsi ini tclah disetujui oleh Dosen Pembi mbing
pada tJnggal 3 Januari 2017

Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing 11

(j
M. Haris Aulawi. S.H .. M.Hum.

NIK.19670608199202153011




,van. S.H .• lnt. MBA.
03200904153054

HALAMAN PENGESAHAN
SENGKET A ClNA DAN F1L1PINA TERHADAP
KEPEMILIKAN LAUT CINA SELATAN DALAM PERSPEKTIF
HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

Skripsi ini leJah diseminarkan di hadapan lim penelaah
pada langgaJ 5 lanuari 2017
Tim penelaah:
Kctua

Anggota I

Anggora II

(f.




M. Haris Aulawi. S.H., M. Hum.
NIK. 19670608199202153011

,van. S.H .. Int. MBA.
|YX



RPSYTQU@

Mcngcsahkao
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

0/--- .
NIK.19710409199702153028

ii

ABSTRAK
Sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan bukan isu yang baru di dunia hukum
internasional. Aktifitas yang dilakukan Cina di Laut Cina Selatan ditentang oleh
Filipina. Cina dianggap mencampuri wilayah Filipina dan masalah itu diajukan
kepada Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda yang akhirnya
memenangkan Filipina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab
sengketa Cina dan Filipina terhadap kepemilikan Laut Cina Selatan dan
menganalis penunjukkan Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent Court of
Arbitration) sebagai lembaga yang mengadili. Jenis penelitian yang dipakai
adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan aturan hukum dan
pendekatan kasus. Kemudian dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif
hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab sengketa Cina dan Filipina adalah
adanya tumpang tindih klaim dan adanya ketidakjelasan aturan internasional
mengenai kepemilikan wilayah Laut Cina Selatan. Selanjutnya proses
penyelesaian sengketa sudah melalui jalur non litigasi (negosiasi) dan litigasi
(arbitrase), serta penunjukan Mahkamah Arbitrase Internasional sebagai lembaga
yang memutus perkara dapat dibenarkan berdasarkan statuta Mahkamah Arbitrase
Internasional dan kedudukannya sebagai arbitral tribunal. Terakhir, penelitian
merumuskan saran bahwa keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional dapat
dijadikan rujukan dan alat penekan yang dapat digunakan oleh Filipina sehingga
sikap Cina terkait klaimnya di Laut Cina Selatan dapat lebih lunak jika suatu saat
kedua negara melakukan perundingan untuk menyelesaikan sengketa secara
tuntas.
Kata Kunci: Cina dan Filipina, kepemilikan Laut Cina Selatan, Hukum
Penyelesaian Sengketa Internasional

xi

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara-negara dalam melakukan hubungan-hubungan yang sesuai kaidah
hukum internasional tidak terlepas dari sengketa. Seperti halnya manusia sebagai
makhluk individu, negara juga memiliki kepentingan-kepentingan yang harus
dipenuhi. Dalam pemenuhan kepentingan tersebut pasti akan bersinggungan
dengan kepentingan negara lain yang juga menuntut untuk dipenuhi, yang pada
akhirnya melahirkan sengketa. Seperti penjelasan Mohammad Naqib Ishan Jan
yang lengkapnya sebagai berikut:
Disputes are inevitable occurences in human life. They have existed
since the earliest days of mankind and will last as long as this worldly life
continues. In fact, they can be said to be an innate and part of the nature
of mankind itself. Likewise, disputes are unavoidable in international
relations just like they are unavoidable in relationships between
individuals. Individuals disagree with one another about rights, money,
land, and other resources and the same could also happen between states
at the international scale.1
Salah satu obyek yang menjadi sengketa dalam hukum internasional
adalah laut. Laut memiliki peranan penting baik secara politik, keamanan,
maupun ekonomi. Salah satu sengketa laut yang mengemuka di kawasan Asia
Pasifik adalah sengketa yang terjadi di Laut Cina Selatan. Laut Cina Selatan
merupakan bagian dari Samudra Pasifik yang meliputi sebagian wilayah
Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas 3,5 juta km2.
1

Mohammad Naqib Ishan Jan, 2012, International Dispute Settlement Mechanism, Selangor Darul
Ehsan, IIUM Press, hlm. 1.

2

Laut Cina Selatan merupakan wilayah perairan terluas kedua setelah kelima
samudera di dunia. Secara geografis, Laut Cina Selatan memiliki potensi dan
peran yang sangat besar bagi jalur perdagangan dunia sebagai jalur pelayaran
internasional dan jalur distribusi minyak. Selain jalur perdagangan dunia, Laut
Cina Selatan juga memiliki potensi alam yang begitu besar, di dalamnya terdapat
kandungan minyak bumi dan gas. Kawasan ini juga dilalui oleh armada angkatan
laut negara-negara maju, di antaranya armada angkatan laut Amerika Serikat,
Korea Selatan, Jepang, dan Australia.2
Sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan bukan isu yang baru di dunia
hukum internasional. Sudah sejak lama hal tersebut dibahas dan dikaji terutama
oleh negara-negara yang terlibat dalam sengketa. Negara-negara yang terlibat
dalam sengketa adalah Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei
Darussalam. Sengketa perbatasan yang terjadi di Laut Cina Selatan merupakan
sengketa kepemilikan atas dua kepulauan utama, yaitu kepulauan Spratly dan
Paracel. Spratly diklaim oleh Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan
Brunei. Sementara itu Paracel diklaim oleh Cina, Taiwan, dan Vietnam dan sejak
1974 telah dimasukkan sebagai wilayah Cina walaupun Vietnam juga mengklaim
pulau itu sebagai wilayahnya.3 Sengketa di kedua kepulauan tersebut sangatlah
kompleks akibat banyaknya jumlah negara yang memperebutkan kedua pulau
tersebut dan ketidakjelasan maupun ambiguitas hukum laut internasional dimana

2

Anindya Putri Novisari, Peran Aktif Indonesia Dalam Konflik Laut China Selatan, 12 Juli 2013,
https://www.google.com/search?q=peran+aktif+indonesia+dalam+konflik+laut+china+selatan,
(05.15).
3
Ralf Emmers, 2005, “Maritime disputes in The South China Sea: Strategic And Diplomatic
Status Quo”, (IDSS Working Paper No. 87, Singapura: Institute of Defence and Strategic Studies),
hlm. 1.

3

tidak ada panduan mengenai situasi dimana terjadi overlap antara klaim wilayah
laut, pulau-pulau, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Sengketa ini menjadi
semakin kompleks akibat pentingnya potensi di kedua pulau tersebut yaitu sebagai
dasar legal untuk menentukan wilayah kedaulatan negara-negara pengklaim,
potensi ikan maupun cadangan migas serta akses kebebasan navigasi untuk kapalkapal komersial yang sangat penting bagi perdagangan internasional.4
Cina merupakan negara yang paling aktif dan agresif dalam melakukan
klaim. Sebagian besar kawasan di Laut Cina Selatan yang terbentang ratusan mil
dari selatan sampai timur di Propinsi Hainan diklaim sebagai bagian dari negara
Cina. Secara sepihak Cina mengklaim hak di kawasan itu bermula dari 2.000
tahun lalu, selain itu kawasan Paracel dan Spratly merupakan bagian dari Bangsa
Cina. Rincian klaim kedaulatan negara tersebut terdapat dalam peta yang
dikeluarkan Cina pada tahun 1947. Agresifitas Cina terlihat dengan melakukan
penangkapan ikan, eksplorasi minyak, dan membuat pulau buatan di wilayah
tersebut.5 Aktifitas yang dilakukan Cina di Laut Cina Selatan ditentang oleh
Filipina. Cina dianggap mencampuri wilayah Filipina dan masalah itu diajukan
kepada Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda yang akhirnya
memenangkan Filipina.

4

Leszek Buszynski, 2011, “Can the South China Sea Dispute Be Resolved? ASEAN’s Choices
Before an Assertive China”, (Paper Seminar on South China Sea, CASS dan The Habibie Centre),
hlm. 1.
5
Magdariza, 2016, “Konflik Kepemilikan Laut Cina Selatan antara Cina-Filipina Ditinjau dari
Hukum Penyeleaian Sengketa Internasional”, Prosiding Simposium Nasional “Putusan Permanent
Court of Arbitration atas Sengketa Philipina dan Cina, serta Implikasi Regional yang
Ditimbulkannya, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, hlm. 130.

4

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan pokok
permasalahan yaitu:
1. Apa penyebab sengketa Cina dan Filipina terhadap kepemilikan Laut Cina
Selatan?
2. Mengapa penyelesaian sengketa Cina dan Filipina terhadap kepemilikan Laut
Cina Selatan diajukan kepada Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent
Court of Arbitration)?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui penyebab sengketa Cina dan Filipina terhadap kepemilikan Laut
Cina Selatan.
2. Menganalis penunjukan Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent Court
of Arbitration) sebagai lembaga yang mengadili sengketa Cina dan Filipina
terhadap kepemilikan Laut Cina Selatan.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran mengenai sengketa Laut Cina Selatan antara Cina dan Filipina,
juga mencoba mengkaji Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional yang

5

berhubungan dengan sengketa negara-negara yang saling mengklaim suatu
wilayah.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian diharapkan mampu menekankan pentingnya
penerapan Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional dalam setiap
konflik antar negara atas klaim terhadap suatu wilayah dan lebih
memahami aturan hukum mengenai sengketa internasional yang berkaitan
dengan sengketa kepemilikan wilayah tertentu.

E. Sistematika Penulisan
Agar penjelasan dari hasil penelitian dapat tersampaikan dengan jelas,
maka dibuat sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I, bab pendahuluan terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab ini berisi
gambaran dan situasi terkini sengketa Cina dan Filipina terhadap kepemilikan
Laut Cina Selatan sehingga penulis memilih rumusan masalah yang menjadi
obyek utama penelitian ini.
BAB II, bab ini berisi tinjauan pustaka yang membahas setiap variabel di
dalam penelitian ini. Pertama, akan dijelaskan mengenai sengketa internasional
baik definisi, penyebab, dan macam-macamnya. Kemudian dilanjutkan dengan
pengenalan singkat tentang sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan, yaitu tentang
negara mana saja yang bersengketa, beberapa alasan kepemilikan Laut Cina
Selatan diperebutkan, dan ancamannya terhadap hubungan negara-negara di

6

kawasan. Terakhir akan dijelaskan mengenai pengantar singkat tentang Hukum
Penyelesaian Sengketa Internasional.
BAB III, di dalam bab ini akan dibahas mengenai metode penelitian yang
terdiri dari jenis penelitian yaitu penelitian hukum normatif. Jenis data yang
dipakai yaitu data sekunder, terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. Kemudian metode pengumpulan data dengan
cara penelitian kepustakaan. Bab III ditutup dengan penjelasan tentang metode
analisis data yaitu dengan cara deskriptif kualitatif.
BAB IV, bab IV hasil dan analisis. Bagian pertama bab ini akan
membahas mengenai penyebab sengketa Cina dan Filipina terhadap kepemilikan
Laut Cina Selatan, dimulai dengan tinjauan umum mengenai sengketa Laut Cina
Selatan, kemudian diuraikan Analisis penyebab sengketa Cina dan Filipina
terhadap kepemilikan Laut Cina Selatan. Bagian kedua akan membahas tentang
penunjukan Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent Court of Arbitration)
sebagai lembaga yang mengadili sengketa tersebut, terdiri dari penjelasan
mengenai mekanisme penyelesaian sengketa internasional, kemudian dijelaskan
mengenai Hukum Laut Internasional, dimulai dengan sejarah Hukum Laut
Internasional dan dilanjutkan dengan penjelasan United Nations Convention on
the Law of the Sea 1982 (UNCLOS), dan analisis penunjukan Mahkamah
Arbitrase Internasional (Permanent Court of Arbitration) sebagai lembaga yang
mengadili sengketa Cina dan Filipina.

7

BAB V, bab terakhir berisi kesimpulan dan saran sebagai jawaban dari
pertanyaan yang ada di dalam rumusan masalah penelitian juga rekomendasi
terhadap situasi sengketa dan aturan sebagai hasil dari analisis penelitian.

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sengketa Internasional
Menurut Mahkamah Internasional, sengketa internasional merupakan
suatu situasi ketika dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan
mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam
perjanjian.6 Sengketa internasional terjadi apabila perselisihan tersebut melibatkan
pemerintah, lembaga juristic person (badan hukum) atau individu dalam bagian
dunia yang berlainan terjadi karena kesalahpahaman tentang suatu hal, salah satu
pihak sengaja melanggar hak atau kepentingan negara lain, dua negara berselisih
pendirian tentang suatu hal, dan pelanggaran hukum atau perjanjian internasional.7
Sengketa internasional yang dikenal dalam studi hukum internasional ada
dua macam, yaitu:
1. Sengketa politik
Sengketa politik adalah sengketa ketika suatu negara mendasarkan
tuntutan tidak atas pertimbangan yurisdiksi melainkan atas dasar politik atau
kepentingan lainnya. Sengketa yang tidak bersifat hukum ini penyelesaiannya
dilakukan secara politik. Keputusan yang diambil dalam penyelesaian politik
hanya berbentuk usul-usul yang tidak mengikat

negara

yang

bersengketa.

Usul tersebut tetap mengutamakan kedaulatan negara yang bersengketa dan
tidak harus mendasarkan pada ketentuan hukum yang diambil.
6

Huala Adolf, 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 1.
Boer Mauna, 2005, Pengertian, Peranan dan Fungsi Hukum Internasional Dalam Era Dinamika
Global, Bandung, Alumni, hlm. 193.

7

9

2. Sengketa hukum
Sengketa hukum yaitu sengketa dimana suatu negara mendasarkan
sengketa atau tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu
perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum internasional. Keputusan yang
diambil dalam penyelesaian sengketa secara hukum punya sifat yang memaksa
terhadap kedaulatan negara yang bersengketa. Hal ini disebabkan keputusan yang
diambil hanya berdasarkan atas prinsip-prinsip hukum internasional.8
Meskipun sulit untuk membuat perbedaan tegas antara istilah sengketa
hukum dan sengketa politik, namun para ahli memberikan penjelasan mengenai
cara membedakan antara sengketa hukum dan sengketa politik. Menurut
Friedmann, meskipun sulit untuk membedakan kedua pengertian tersebut, namun
perbedaannya terlihat pada konsepsi sengketanya. Konsepsi sengketa hukum
memuat hal-hal berikut:
1. Sengketa hukum adalah perselisihan antar negara yang mampu
diselesaikan pengadilan dengan menerapkan hukum yang telah ada dan
pasti.
2. Sengketa hukum adalah sengketa yang sifatnya mempengaruhi
kepentingan vital negara, seperti integritas wilayah, dan kehormatan
atau kepentingan lainnya dari suatu negara.
3. Sengketa

hukum

adalah

sengketa

dimana

penerepan

hukum

internasional yang ada cukup untuk menghasilkan keputusan yang

8

Ibid., hlm. 188-189.

10

sesuai dengan keadilan antar negara dan perkembangan progresif
hubungan internasional.
4. Sengketa hukum adalah sengketa yang berkaitan dengan persengketaan
hak-hak hukum yang dilakukan melalui tuntutan yang menghendaki
suatu perubahan atas suatu hukum yang telah ada.9
Menurut Sir Humprey Waldock, penentuan suatu sengketa sebagai suatu
sengketa hukum atau politik bergantung sepenuhnya kepada para pihak yang
bersangkutan. Jika para pihak menentukan sengketanya sebagai sengketa hukum
maka sengketa tersebut adalah sengketa hukum. Sebaliknya, jika sengketa tersebut
menurut para pihak membutuhkan patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum
internasional, misalnya soal pelucutan senjata maka sengketa tersebut adalah
sengketa politik.10
Sedangkan Menurut Oppenheim dan Kelsen, tidak ada pembenaran ilmiah
serta tidak ada dasar kriteria objektif yang mendasari

perbedaan

antara

sengketa politik dan hukum. Menurut mereka, setiap sengketa memiliki aspek
politis dan hukumnya. Sengketa tersebut biasanya terkait antar negara

yang

berdaulat. Oppenheim dan Hans Kelsen menguraikan pendapatnya tersebut
sebagai berikut:

All disputes have their political aspect by the very fact that they
concern relations between sovereign states. Disputes which, according to
the distinction, are said to of the legal nature might involve highly
important political interests of the states concerned; conversely, disputes
9

Huala Adolf, op. cit., hlm. 4, dikutip dari Wolfgang Friedmann et. al., 1969, International Law:
Cases and Materials, St. Paul Minn, West Publishing, hlm. 243.
10
Ibid., hlm. 5, dikutip dari David Davies, 1966, “Report of A Study Group on The Peaceful
Settlement of International Disputes”, Memorial Institute of International Studies, hlm. 5.

11

reputed according to that distinction to be a political character more often
than not concern the application of a principle or a norm of international
law.11
Dari pendapat pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
pembedaan jenis sengketa hukum dan politik internasional dapat dilakukan
dengan melihat sumber sengketa dan bagaimana cara sengketa tersebut
diselesaikan, apabila sengketa terjadi karena pelanggaran terhadap hukum
internasional maka sengketa tersebut menjadi sengketa hukum, selain pelanggaran
terhadap hukum internasional sengketa dapat terjadi akibat adanya benturan
kepentingan yang melibatkan lebih dari satu negara, sengketa yang melibatkan
kepentingan inilah yang dimaksud sengketa politik.

B. Sengketa Kepemilikan Laut Cina Selatan
Pada 1947, saat Cina masih dikuasai Partai Kuomintang pimpinan Chiang
Kai Sek, sudah menetapkan klaim teritorialnya atas Laut Cina Selatan. Saat itu,
pemerintahan Kuomintang menciptakan garis demarkasi yang mereka sebut
sebagai eleven-dash line. Berdasarkan klaim ini Cina menguasai mayoritas Laut
Cina Selatan termasuk Kepulauan Pratas, Macclesfield Bank serta Kepulauan
Spratly dan Paracel yang didapat Cina dari Jepang usai Perang Dunia II (PD II).
Klaim ini tetap dipertahankan saat Partai Komunis menjadi penguasa Cina pada

11

Ibid., hlm. 6, dikutip dari Oppenheim L., 1995, International Law: A Treaties, hlm. 17 dan Hans
Kelsen, 1951, The Law of The Nations, hlm. 73.

12

1949. Namun, pada 1953, pemerintah Cina mengeluarkan wilayah Teluk Tonkin
dari peta eleven-dash line buatan Kuomintang.12
Pemerintah Komunis "menyederhanakan" peta itu dengan mengubahnya
menjadi nine-dash line yang kini digunakan sebagai dasar historis untuk
mengklaim hampir semua wilayah perairan seluas 3 juta kilometer persegi itu.
Namun, klaim Cina itu kini bersinggungan dengan kedaulatan wilayah negaranegara tetangga di kawasan tersebut. Kini tak kurang dari Filipina, Brunei
Darussalam, Taiwan, Vietnam dan Malaysia memperebutkan wilayah tersebut
dengan Cina.13
Ada beberapa alasaan mengapa kepemilikan Laut Cina Selatan begitu
diperebutkan. Menurut data dari pemerintah AS, Laut Cina Selatan memiliki
potensi ekonomi yang sangat luar biasa. Laut ini merupakan lalu lintas
perdagangan internasional yang bernilai tak kurang dari 5,3 triliun Dolar AS
setiap tahunnya. Selain itu, menurut data Badan Informasi Energi AS, di kawasan
ini tersimpan cadangan minyak bumi sebesar 11 miliar barel serta gas alam hingga
190 triliun kaki kubik. Tak hanya itu, 90 persen lalu lintas pengangkutan minyak
bumi dari Timur Tengah menuju Asia pada 2035 akan melintasi perairan
tersebut.14

12

Ervan Hardoko, Laut China Selatan, Perairan Menggiurkan Sumber Sengketa 6 Negara, 13 Juli
2016,
http://internasional.kompas.com/read/2016/07/13/17401251/laut.china.selatan.perairan.menggiurk
an.sumber.sengketa.6.negara?page=1, (18.15).
13
Ibid.
14
Ibid.

13

C. Penyelesaian Sengketa Internasional
Upaya-upaya penyelesaian sengketa telah menjadi perhatian penting di
masyarakat internasional sejak abad ke-20. Upaya-upaya ini ditujukan untuk
menciptakan hubungan antar negara yang lebih baik berdasarkan prinsip
perdamaian dan keamanan internasional. Peranan hukum internasional dalam
menyelesaikan sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para
pihak

yang

bersengketa

menyelesaikan

sengketanya

menurut

hukum

internasional. Dalam perkembangannya, hukum internasional mengenal dua cara
penyelesaian, yaitu penyelesaian secara damai dan militer (kekerasan). Dengan
semakin berkembangnya kekuatan militer serta senjata pemusnah massal,
masyarakat internasional semakin menyadari besarnya bahaya dari penggunaan
perang. Karenanya dilakukan upaya untuk menghilangkan atau sedikitnya
membatasi penggunaan penyelesaian sengketa dengan menggunakan kekerasan.15
Perkembangan

hukum

internasional

dalam

mengatur

cara-cara

penyelesaian sengketa secara damai secara formal pertama kali lahir sejak
diselenggarakannya The Hague Peace Conference pada tahun 1899 dan 1907.
Konferensi perdamaian ini menghasilkan The Convention on the Pacific
Settlement of International Disputes tahun 1907. Konferensi Perdamaian Den
Haag tahun 1899 dan 1907 ini memiliki dua arti penting, yaitu:
1. Konferensi ini memberikan sumbangan penting bagi hukum perang (hukum
humaniter internasional);
15

Huala Adolf, op. cit., hlm. 1, dikutip dari Ion Diaconu, Peaceful Settlement of Disputes Between
States: History and Prospects, dalam Macdonald R. St. J. et. al., 1986, The Structure and Process
of International Law: Essayss in Legal Philosophy Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff, hlm.
1095.

14

2. Konferensi memberikan sumbangan penting bagi aturan-aturan penyelesaian
sengketa secara damai antar negara.16
Hasil konferensi ini sayangnya tidak memberi suatu kewajiban kepada
negara peserta untuk menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara damai.
Menurut Ion Diaconu, hasil konvensi bersifat rekomendatif semata. Dalam
perkembangannya konvensi Den Haag ini kemudian diikuti dengan disahkannya
perjanjian internasional berikut:
a. The Convention for the Pacific Covenant of the League of Nations tahun
1919.
b. The Statue of the Permanent Court of Internasional Justice (Statuta
Mahkamah Internasional) tahun 1921.
c. The General Treaty for the Renunciation of War tahun 1928.
d. The General Act for the Pacific Settlement of International Disputes tahun
1928.
e. Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional tahun 1945.
f. The Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes between
States, 15 November 1982.17
Manila Declaration atau Deklarasi Manila merupakan hasil inisiatif dan
upaya Majelis Umum PBB dalam menggalakkan penghormatan terhadap
penggunaan cara penyelesaian sengketa secara damai, Deklarasi Manila antara
lain menyatakan:
16

Ibid., hlm. 9, dikutip dari David J. Bederman, The Hague Peace Conference of 1899 and 1907,
dalam Mark W. Janis et. al., 1992, International Court for Twenty First Century, Dordrecht,
Martinus Nijhoff, hlm. 9.
17
Ibid.

15

1. Adalah kewajiban negara-negara yang bersengketa untuk mencari
jalan, dengan itikad baik dan semangat kerja sama, menyelesaikan
sengketa internasional mereka secepat mungkin dan seadil-adilnya;
2. Negara-negara juga harus mempertimbangkan peran penting yang
dapat diperankan oleh Majelis Umum, Dewan Keamanan, Mahkamah
Internasional, dan Sekretaris Jenderal PBB dalam menyelesaikan suatu
sengketa.
3. Deklarasi menyatakan adanya berbagai cara yang dapat dimainkan
oleh organ-organ PBB untuk membantu para pihak mencapai suatu
penyelesaian sengketa mereka.18

18

Ibid., hlm. 10

16

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Metode ini dilakukan dengan mengkaji sumber-sumber
kepustakaan, yaitu dengan meneliti prinsip-prinsip dan sistem hukum.19
Selanjutnya peneliti menggunakan pendekatan kasus untuk mempelajari normanorma dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan sengketa Cina dan Filipina
terhadap kepemilikan Laut Cina Selatan.20 Setelah itu peneliti mengkaji beberapa
peraturan internasional yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa internasional
khususnya yang terjadi di laut seperti Piagam PBB dan Statuta Mahkamah
Internasional tahun 1945, serta United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) tahun 1982.21

B. Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu mengambil bahan
penelitian dari literatur atau sumber kepustakaan. Data sekunder terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

19

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta, Rajawali Press, hlm. 13-14.
20
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Boymedia
Publishing, hlm. 302.
21
Ibid., hlm. 321.

17

1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer berasal dari aturan yang memiliki kekuatan
hukum mengikat seperti Piagam PBB dan Statuta Mahkamah
Internasional tahun 1945, serta UNCLOS tahun 1982.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder terdiri dari beberapa dokumen yang berkaitan
dengan bahan hukum primer, seperti:
a. Buku-buku

yang

berkaitan

dengan

sengketa

internasional

(Mohammad Naqib Ishan Jan “International Dispute Settlement
Mechanism”, Huala Adolf, “Hukum Penyelesaian Sengketa
Internasional”);
b. Jurnal ilmiah (Melda Erna Yanti, “Keabsahan tentang Penetapan
Sembilan Garis Putus-Putus Laut Cina Selatan oleh Republik
Rakyat Cina menurut United Nation Convention on the Law of the
Sea 1982 (UNCLOS III)”, Nurul Fitri Zainia Ariffien, “Upaya
Diplomatik Indonesia terhadap China Dalam Menyelesaikan
Potensi Konflik Landas Kontinen Natuna di Laut China Selatan”);
c. Seminar, workshop, konferensi, kuliah umum, materi kursus (Ralf
Emmers, “Maritime disputes in the South China Sea: Strategic
and Diplomatic Status Quo”, Leszek Buszynski, “Can The South
China Sea Dispute be Resolved? ASEAN’s Choices Before an
Assertive China”).22

22

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju, hlm. 86.

18

3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum atau non-hukum yang
menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.23

C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan kajian
kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non hukum.
Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca,
melihat, mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan
hukum tersebut melalui media internet.24

D. Metode Analisis Data
Metode analisis data dilakukan melalui cara menganalisis data secara
sistematis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sifat analisis
deskriptif maksudnya adalah peneliti dalam menganalisis berkeinginan untuk
memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian
sebagaimana hasil penelitian yang dilakukannya, peneliti tidak melakukan
justifikasi terhadap hasil penelitiannya tersebut. Sedangkan metode kualitatif
artinya peneliti hanya menganalisis terhadap data atau bahan-bahan hukum yang
relevan dan berkualitas saja.25
23

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op. cit., hlm. 33.
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Yogyakarta,
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, hlm. 113.
25
Ibid., hlm. 130.
24

19

BAB IV
HASIL DAN ANALISIS

A. Penyebab Sengketa Cina dan Filipina terhadap kepemilikan Laut Cina
Selatan
1. Tinjauan umum sengketa Laut Cina Selatan
Konflik di Laut Cina Selatan telah dimulai sejak akhir abad ke-19 ketika
Inggris mengklaim Kepulauan Spratly, diikuti oleh Cina pada awal abad ke-20,
dan Perancis sekitar tahun 1930-an. Disaat berkecamuknya PD II, Jepang
mengusir Perancis dan menggunakan Kepulauan Spratly sebagai basis kapal
selam. Dengan berakhirnya PD II, Perancis kembali mengklaim kawasan tersebut
dan diikuti oleh Filipina yang membutuhkan sebagian kawasan tersebut sebagai
bagian dari kepentingan keamanan dari kawasannya. Sejak 1970 klaim terhadap
kawasan tersebut meningkat pesat sejalan dengan perkembangan penemuan dan
hukum internasional.26
Perkembangan pertama menyangkut ditemukannya ladang minyak yang
diperkirakan cukup banyak di kawasan tersebut berdasarkan survey geologi yang
dilakukan para peneliti dari perusahaan Amerika dan Inggris. Penemuan ini sudah
tentu membuat harga kepulauan dan pulau kecil serta batu karang di kawasan
tersebut meroket. Perkembangan kedua, berkaitan dengan ditetapkannya Zona

26

Anonim, Konflik Laut Cina Selatan, 30 Oktober 2015,
https://leeyonardoisme.wordpress.com/portfolio/konflik-laut-cina-selatan/, (02.00).

20

Ekonomi Eksklusif sepanjang 200 mil laut bagi setiap negara berdasarkan
ketentuan dari UNCLOS.27
Klaim terhadap Laut Cina Selatan yang dilakukan oleh negara-negara
sering sekali didasarkan pada alasan historis semata. Klaim berdasarkan alasan
historis ini menyebabkan ketidakpastian dalam penguasaan dan kepemilikan Laut
Cina Selatan. Tiap-tiap negara mengklaim dengan alasan sejarahnya masingmasing sehingga terjadi tumpang tindih dalam mengklaim Laut Cina Selatan,
klaim yang tumpang tindih ini mengakibatkan konflik di Laut Cina Selatan.28
Alasan historis dijadikan dasar oleh negara-negara dalam mengklaim Laut
Cina Selatan, contohnya saja Cina, Vietnam, dan Filipina. Cina mengklaim Laut
Cina Selatan berdasarkan sejarah bahwa Kepulauan Paracel yang terletak 300 KM
sebelah tengggara pantai Cina telah dikuasai oleh Pemerintahan Dinasti Han
antara 206 sebelum masehi hingga 220 sesudah masehi. Disebutkan pula oleh
Direktur Institut Arkeologi Provinsi Guangdong; Gu Yunguan, 98% benda-benda
yang telah ditemukan digugus Paracel merupakan mata dagangan buatan Cina.
Sejak itu Cina terus melancarkan berbagai upaya demi membuktikan
kedaulatannya atas Kepulauan Paracel termasuk Kepulauan Spratly dengan
berpegang pada dokumen sejarah dan peninggalan Arkeologi. Sedangkan Vietnam
berpendapat bahwa Kaisar Gia Long dari Vietnam (1802) telah mencantumkan
Spratly sebagai wilayah kekuasaannya. Nelayan-nelayan Vietnam sebelumnya
telah lama melakukan pelayaran di wilayah tersebut. Vietnam juga menyebutkan
bahwa Kepulauan Spratly dan Paracel secara efektif didudukinya sejak abad ke-17
27
28

Ibid.
Ibid.

21

ketika kedua kepulauan itu tidak berada dalam penguasaan suatu negara. Vietnam
tidak mengakui wilayah kedaulatan Cina di kawasan tersebut, sehingga pada saat
PD II berakhir Vietnam Selatan menduduki Kepulauan Paracel, termasuk
beberapa gugus pulau di Kepulauan Spratly. Ada catatan sejarah mengungkapkan
kepulauan yang juga disebut Hoang Sa dalam bahasa Vietnam (Xisha dalam
bahasa Cina) masuk di bawah distrik Binh Son Vietnam. Sementara Filipina
menduduki kelompok gugus pulau di bagian timur Kepulauan Spratly, dan tahun
1978 menduduki lagi gugus Pulau Panata. Alasan Filipina menduduki kawasan
tersebut karena kawasan itu merupakan tanah yang tidak sedang dimiliki oleh
negara-negara manapun (kosong). Filipina juga merujuk kepada Perjanjian
Perdamaian San Francisco 1951,29 yang antara lain menyatakan bahwa Jepang
telah melepaskan haknya terhadap Kepulauan Spratly, dan tidak mengemukakan
diserahkan kepada negara mana. Selain ketiga negara tersebut, ada juga klaim
yang diajukan oleh Malaysia dan Brunei Darussalam. Malaysia menduduki
beberapa gugus pulau Kepulauan Spratly. Menurut Malaysia, langkah itu diambil
berdasarkan Peta Batas Landas Kontinen Malaysia tahun 1979, yang mencakup
sebagian dari Kepulauan Spratly. Dua kelompok gugus pulau lain juga diklaim
Malaysia sebagai wilayahnya yaitu Terumbu Laksamana yang diduduki oleh
Filipina dan Amboyna yang diduduki Vietnam. Sementara, Brunei Darussalam
yang memperoleh kemerdekaan secara penuh dari Inggris 1 Januari 1984 juga ikut

29

Anonim, Nasib Teritori Seberang Laut Jepang, 23 Desember 2016,
https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_San_Francisco#Nasib_teritori_seberang_laut_Jepang,
(02.15).

22

mengklaim wilayah di Kepulauan Spratly. Namun, Brunei hanya mengklaim
peraian dan bukan gugus pulau.30
Perbedaan sejarah dalam mengklaim Laut Cina Selatan tidak hanya
menyebabkan klaim tumpang tindih dan konflik, tetapi juga menimbulkan
perbedaan pemberian nama Laut Cina Selatan dan kepulauan di Laut Cina
Selatan. Istilah South China Sea merupakan nama dalam bahasa Inggris yang
paling sering digunakan untuk menyebut Laut Cina Selatan. Sementara para
pelaut Portugis pada abad keenam belas menyebutnya Mar Da Cina (Laut Cina).31
Kemudian, untuk membedakannya dengan wilayah perairan di dekatnya,
namanya berubah menjadi Laut Cina Selatan. Namun di negara-negara sekitar
Laut Cina Selatan sendiri, nama laut tersebut berbeda-beda, dan seringkali
sebutannya mencerminkan klaim historis untuk menghegemoni laut tersebut.
Secara resmi, pemerintah Vietnam menyebutnya “Bien Dong (Laut Timur)”.
Nama Bien Dong digunakan pada peta resmi Vietnam. Bagian Laut Cina Selatan
di dalam wilayah perairan Filipina sering disebut “Dagat Luzon (Laut Luzon)” di
peta-peta yang diterbitkan di negara tersebut, mengikuti nama pulau besar di
Filipina, Pulau Luzon. Namun, di Filipina nama “Dagat Timog Tsina (Laut Cina
Selatan)” masih diterima untuk menyebut laut tersebut secara keseluruhan. Di
Asia Tenggara, Laut Cina Selatan dulu disebut Laut Champa atau Laut Cham,
sesuai nama kerajaan maritim yang pernah muncul pada abad keenam belas.

30
31

Anonim, 9 November 2010, https://johnpau.wordpress.com, (02.30).
Anonim, 23 Desember 2016, www.anneahira.com/laut-cina-selatan.html., (02.35).

23

Bangsa Jepang menyebut Laut Cina Selatan sebagai Minami Shina Kai.
Sedangkan Cina sendiri menyebut Laut Cina Selatan sebagai Laut Selatan saja.32
Perbedaan penamaan juga terjadi pada kepulauan di Laut Cina Selatan.
Penamaan ini umumnya tergantung atas klaimnya, Taiwan misalnya menamakan
Kepulauan Spratly dengan Shinnengunto, Vietnam menyebut Kepulauan Spratly
dengan Truong Sa (Beting Panjang), Filipina menyebut Kepulauan Spratly dengan
Kelayaan (Kemerdekaan), Malaysia menyebut Kepulauan Spratly dengan Aba
dan Terumbu Layang-Layang, sedangkan Cina lebih suka menyebut Nansha
Quadao (Kelompok Pulau Selatan). Sedangkan masyarakat internasional sering
menyebutnya Kepulauan Spratly yang berarti burung layang-layang.33
Kawasan Laut Cina Selatan sepanjang dekade 90-an menjadi primadona
isu keamanan dalam hubungan internasional di ASEAN pasca Perang Dingin.
Kawasan ini merupakan wilayah cekungan laut yang dibatasi oleh negara-negara
besar dan kecil seperti Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan
Taiwan. Dalam cekungan laut ini terdapat Kepulauan Spratly dan Kepulauan
Paracel. Pada berbagai kajian tentang konflik di Laut Cina Selatan, Kepulauan
Spratly lebih mengemuka karena melibatkan beberapa negara ASEAN sekaligus,
sementara Kepulauan Paracel hanya melibatkan Vietnam dan Cina.34
Terbukanya peluang untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi kawasan
Laut Cina Selatan dengan sendirinya mendorong negara-negara yang pantainya
32

Ibid.
Ibid.
34
Bambang Cipto, 2007, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap
Dinamika, Realitas, dan Masa Depan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 203-204.

33

24

berbatasan langsung dengan kawasan tersebut segera melakukan klaim terhadap
sebagian pulau, kepulauan, atau karang yang masuk dalam kawasan negaranya
sebagaimana ditentukan oleh hukum laut Internasional. Cina, Vietnam, Filipina,
Malaysia berlomba-lomba mengklaim, mengirim pasukan untuk mengamankan
kepulauan yang mereka klaim.35
Klaim-klaim yang dilakukan oleh negara-negara pantai yang berbatasan
langsung dengan Laut Cina Selatan tersebut sering sekali melanggar ketentuan
hukum laut internasional sehingga menimbulkan sengketa dan berujung pada
terjadinya konflik antar negara-negara tersebut. Beberapa sengketa ataupun
konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan setelah PD II antara lain sebagai berikut:
a. Tahun 1946-1947
1) Pada tahun 1946, Republik Cina mengirim kapal perang untuk
mengklaim Itu Aba, pulau terbesar dari Kepulauan Spratly dan
menamainya Taiping Island. Kepulauan Paracel dan Kepulauan
Spratly diserahkan di bawah kendali Republik Cina dari Jepang setelah
Jepang menyerah dari Sekutu pada tahun 1945. Setelah PD II berakhir,
Republik Cina menjadi satu-satu nya negara yang paling aktif
mengklaim Laut Cina Selatan.
2) Pada tahun 1947 Republik Cina menyusun The Southern China Sea
Islands Location Map (Peta Lokasi Pulau-Pulau Laut Cina Selatan),
yaitu menandai batas-batas nasional di laut dengan sebelas garis yang
menunjukkan klaim berbentuk U di seluruh Laut Cina Selatan. Sebelas

35

Ibid., hlm. 206-207.

25

garis ini kemudian diubah oleh Republik Rakyat Cina dengan
menerbitkan peta dengan sembilan garis tetap pada tahun 1953.36

b. Tahun 1950-an
1) Pada tahun 1950 setelah kekalahan Republik Cina dari kaum komunis
Cina dalam Perang Saudara Cina tahun 1949, Republik Cina pindah ke
Taiwan dan menarik keluar pasukannya yang menduduki Itu Aba di
Kepulauan Spratly. Namun pada tahun 1956, Republik Cina (Taiwan)
mengirim kembali pasukannya untuk menduduki Itu Aba. Pendudukan
Taiwan tahun 1946-1950 dan tahun 1956 di Itu Aba merupakan
pendudukan efektif yang pertama di Kepulauan Spratly, Laut Cina
Selatan.
2) Pada tahun 1952, Jepang mencabut klaim kedaulatan atas Kepulauan
Spratly dan Kepulauan Paracel sesuai dengan isi dari Perjanjian Damai
San Francisco, tetapi tidak menunjuk kepada siapa penguasaan kedua
kepulauan tersebut diserahkan.
3) Pada tahun 1954, Prancis menyerahkan klaimnya atas Kepulauan
Paracel kepada Vietnam.
4) Pada tahun 1956, Vietnam Utara menyatakan bahwa Kepulauan
Paracel dan Kepulauan Spratly merupakan wilayah Cina secara
historis.
36

Anonim, Territorial Disputes In The South China Sea, 22 Desember 2016
https://en.wikipedia.org/wiki/Territorial_disputes_in_the_South_China_Sea, (02.45).

26

5) Pada tahun 1958, Republik Rakyat Cina (RRC) menerbitkan
"Declaration of the Government of the People's Republic of China on
China's Territorial Sea published on 4 September 1958" untuk
mensahkan peta sembilan garis putus-putus di Laut Cina Selatan.37

c. Tahun 1970-an
1) Pada tahun 1970, Cina menduduki wilayah Amphitrite Group di
Kepulauan Paracel.
2) Pada tahun 1971, Filipina mengumumkan klaimnya ke pulau-pulau
yang berdekatan dengan wilayahnya di Kepulauan Spratly, yang
mereka namakan Kalayaan, dan secara resmi dimasukkan ke Provinsi
Palawan pada tahun 1972. Presiden Filipina mengumumkan klaim
tersebut setelah tentara Taiwan menyerang dan menembak sebuah
kapal nelayan Filipina di Itu aba.
3) Pada tahun 1972, Biro Survei dan Kartografi di bawah Kantor Perdana
Menteri Vietnam mencetak "The World Atlas" yang menyatakan
bahwa "rantai yang menghubungkan pulau-pulau dari Kepulauan
Nansha dan Xisha ke Pulau Hainan, Pulau Taiwan, Kepulauan Penghu
dan Kepulauan Zhoushan berbentuk seperti busur dan membentuk
sebuah Dinding Besar yang mempertahankan atau melindungi daratan
Cina.

37

Ibid.

27

4) Pada tahun 1974, terjadi pertempuran di Kepulauan Paracel antara
Cina dengan Vietnam Selatan. Cina menang dalam pertempuran
tersebut dan mengusir pasukan Vietnam Selatan dari Crescent Group
di Kepulauan Paracel.
5) Pada

tahun

1975,

pemerintah

Vietnam

yang

baru

bersatu

mengemukakan kembali klaim lama mereka atas Kepulauan Spratly
dan Kepulauan Paracel.38

d. Tahun 1980-an
Pada tahun 1988, terjadi pertempuran bersenjata antara Cina dengan
Vietnam di Johnson South Reef Skirmish. Cina mengalahkan Vietnam.
Pertempuran menewaskan lebih dari 70 orang pasukan Vietnam. Pertempuran
terjadi karena Vietnam mencoba untuk mencegat pasukan Cina yang ditugaskan
oleh UNESCO untuk membangun sebuah pos pengamatan.39

e. Tahun 1990-an
1) Pada tahun 1992, Cina melanggar hukum dengan menyatakan seluruh
Laut Cina Selatan sebagai wilayahnya, sehingga memicu protes dari
negara-negara lain.
2) Pada tahun 1997, Filipina mulai menantang kedaulatan Cina atas
Scarborough Shoal, yaitu salah satu pulau karang yang ada di Laut
Cina Selatan.
38
39

Ibid.
Ibid.

28

3) Pada tahun 1999, Presiden Taiwan, Lee Teng-hui menyatakan bahwa
berdasarkan hukum, historis, geografis, atau dalam realitas, semua
Laut Cina Selatan dan Kepulauan Spratly merupakan wilayah Taiwan
dan di bawah kedaulatan Taiwan, dan mencela tindakan yang
dilakukan oleh Malaysia dan Filipina.40

f. Tahun 2000-an
1) Pada April 2001 terjadi insiden Pulau Hainan. Insiden di Pulau Hainan
terjadi antara Amerika Serikat dengan Cina dimana pesawat jet tempur
Cina bertabrakan dengan pesawat mata-mata angkatan Laut AS yang
menewaskan pilot Cina. Peristiwa terjadi di wilayah udara Pulau
Hainan, yang merupakan salah satu pulau yang di klaim oleh Cina.
2) Pada tahun 2002 ASEAN dan Cina sepakat untuk membuat code of
conduct di dalam Declaration on the Conduct of Parties in the South
China Sea (DOC).
3) Pada tahun 2005 kapal Cina menembaki dua kapal nelayan Vietnam
dari provinsi Thanh Hoa. Peristiwa itu menewaskan 9 orang dan
menahan satu kapal dengan 8 orang di pulau Hainan. Kementerian
Luar Negeri Cina mengklaim bahwa mereka adalah bajak laut dan
mereka yang melepaskan tembakan pertama sebagaimana pengakuan
dari anggota yang tertangkap.

40

Ibid.

29

4) Pada maret 2009 Pentagon melaporkan bahwa kapal-kapal Cina
melecehkan kapal pengawasan AS.
5) Pada Mei 2009, merupakan batas waktu bagi negara-negara untuk
melakukan klaim hidrokarbon dasar laut berdasarkan Konvensi PBB
tentang Hukum Laut. Hal ini diduga yang menyebabkan klaim pulau
kuno muncul ke permukaan dan menjadi meningkat.41

g. Tahun 2011
1) Pada Februari 2011, kapal Cina, Dongguan, menembakkan tiga
tembakan pada kapal-kapal nelayan Filipina di sekitar Jackson atoll.
Tembakan ditembakkan setelah kapal Cina menginstruksikan kapal
nelayan Filipina untuk pergi, namun salah satu dari kapal nelayan
tersebut mengalami kesulitan mengangkat jangkarnya.
2) Pada Mei 2011 terjadi bentrokan yang melibatkan kapal survei minyak
dan gas Binh Minh 02 milik Vietnam dengan tiga kapal patroli Cina.
Bentrokan terjadi pada 120