Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary Dalam Model Penyelesaian Sengketa Terhadap Laut Cina Selatan
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL DIAN EKAWATI
NIM: 110200261
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY
DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP LAUT CINA SELATAN
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
DIAN EKAWATI NIM: 110200261
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Internasional
Dr. Chairul Bariah S.H.,M.Hum. NIP. 195612101986012001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Suhaidi.S.H.,M.Hum.
2015
Dr.Arif,S.H.,M.Hum. NIP. 196207131988031003 NIP. 196403301993031002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
ABSTRACT
RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY
DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KONFLIK LAUT CINA SELATAN
Dian Ekawati*
Prof.Dr.Suhaidi,S.H.,M.Hum** Dr.Arif,S.H.,M.Hum***
The fundamental issue in the South China Sea is over who has sovereignty over the islands and their adjacent waters as well as sovereign rights and jurisdiction in the exclusive economic zone and continental shelf measured from the islands. The 1982 Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) has no provisions on how to determine sovereignty over offshore islands. However, the provisions of UNCLOS on baselines, the regime of islands, low-tide elevations, the exclusive economic zone, the continental shelf, maritime boundary delimitation and dispute settlement are all applicable to the South China Sea. Since 2009 the ASEAN claimants have taken measures to clarify their claims and bring them into conformity with UNCLOS. They maintain that under UNCLOS claims to the natural resources in and under the waters in the South China Sea can only be derived from claims to land features. China has clarified its claim to some extent, but it is still not clear to the ASEAN claimants whether China is making claims to the resources in the South China Sea based on its claim to sovereignty over the land features or whether it is claiming rights in all of the maritime areas inside the nine-dashed lines. If China fully clarifies its position on the nine-dashed line map it will be clearer which maritime areas are in dispute, and the claimants will be able to begin serious discussions about setting aside the sovereignty disputes and pursuing joint development of the natural resources. If China does not clarify its position and asserts rights in maritime areas which the ASEAN claimants believe are not in dispute, one or more of the ASEAN claimants may believe they have no choice but to refer legal issues to an international court or tribunal.
Although China has exercised its right to opt out of the system of compulsory binding dispute settlement for disputes relating to maritime boundary delimitation and historic waters, some legal disputes relating to the interpretation or application of the provisions of UNCLOS are subject to the compulsory binding dispute settlement under Part XV. In addition, it may also be possible for the ASEAN claimants to seek an advisory opinion from the International Tribunal for the Law of the Sea on one or more legal questions relating to the South China Sea disputes. ASEAN or the countries which involved in the South China Seas
(4)
dispute could make a similar decision as Bangladesh-India Maritime Boundary about the dispute settlement through PCA (Permanent Court of Arbitration).
(5)
ABSTRAK
RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY
DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KONFLIK LAUT CINA SELATAN
Dian Ekawati*
Prof.Dr.Suhaidi,S.H.,M.Hum** Dr.Arif,S.H.,M.Hum***
Isu mendasar mengenai Laut Cina Selatan adalah siapa yang mempunyai kedaulatan atas pulau-pulau dan wilayah perairan berkaitan dengan hak kedaulatan dan yurisdiksi pada zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen dihitung dari pulau-pulau. UNCLOS 1982 tidak mempunyai ketentuan tentang bagaimana menentukan kedaulatan terhadap pulau-pulau di lepas pantai. Bagaimanapun, ketentuan UNCLOS mengenai garis pangkal, rezim kepulauan, elevasi surut, zona ekonomi eksklusif, landasan kontinen, delimitasi batas maritim dan penyelesaian sengketa yang relevan dan dapat diaplikasikan pada Laut Cina Selatan.
Sejak tahun 2009, ASEAN sebagai penggugat telah mengambil langkah untuk memperjelas klaim mereka yang dapat membawa mereka pada kenyamanan melalui UNCLOS. Mereka mempertahankan klaim berdasarkan UNCLOS untuk sumber daya alam pada dan dibawah Laut Cina Selatan yang berdasarkan klaim dan gestur tanah. Tiongkok telah mengklarifikasi klaimnya terhadap isu perpanjangan tetapi hal ini tidak dapat menjawab gugatan ASEAN yang mana Tiongkok membuat klaim atas sumber daya di Laut Cina Selatan berdasarkan alasan kedaulatan atas wilayah tersebut atau yang mana hak untuk mengklaim seluruh area maritime di dalam nine-dashed lines. Jika Tiongkok mengklarifikasi posisinya secara menyeluruh dalam peta nine-dashed lines maka ini akan menjadi lebih jelas di wilayah maritim mana sengketa tersebut berada dan gugatan akan dapat dimulai dengan diskusi mendalam mengenai penyelesaian sengketa kedaulatan dan pengembangan kerja sama terhadap sumber daya alam. Jika Tiongkok tidak mengklarifikasi posisinya dan menegaskan haknya dalam wilayah maritim yang mana ASEAN sebagai penggugat percaya wilayah tersebut bukanlah wilayah sengketa, satu atau lebih penggugat ASEAN percaya mereka tidak mempunyai pilihan untuk memilih pilihan hukum pada mahkamah internasional.
Meskipun Tiongkok telah menyatakan haknya untuk memilih sistem penyelesaian yang mengikat terhadap sengketa yang berkenaan dengan delimitasi batas maritim dan sejarah laut tersebut, beberapa sengketa hukum berkenaan dengan interpretasi atau aplikasi dari pengaturan UNCLOS yang mengikat dalam bab XV. Sebagai tambahan, itu juga mungkin bagi ASEAN untuk memberikan pandangan dari mahkamah laut internasional dari satu atau lebih pertanyaan yang berkaitan dengan sengketa Laut Cina Selatan. Dan dalam penyelesaiannya
(6)
Negara-negara ASEAN ataupun Negara-negara yang bersengketa dengan Tiongkok mengenai Laut Cina Selatan dapat mengikuti pilihan penyelesaian sengketa yang diambil oleh Bangladesh dan India dalam menyelesaikan sengketa Teluk Benggala yakni melalui PCA (Permanent Court of Arbitration) agar lebih mendapat kepastian dalam penyelesaian sengketa itu.
Kata Kunci : Sengketa Laut Cina Selatan, Sengketa Teluk Benggala, PCA (Permanent Court of Arbitration)
* Mahasiswa
** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II
(7)
KATA PENGANTAR
Puji Syukur atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan tepat pada waktunya. Skripsi ini dilakukan bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Skripsi ini
diberi judul “RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY
DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KONFLIK LAUT CINA SELATAN”. Dengan adanya penulisan skripsi ini penulis berharap agar para pembaca dapat memaklumi kekurangan dari penulis karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan. Semoga dari skripsi ini, pembaca dapat mengerti, memahami serta memberikan manfaat kepada pembaca.
Demi kelancaran penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak baik dukungan moral dan materil. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu,S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;
2. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting , S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan II, dan Bapak Dr.OK.Saidin,S.H.,M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;
3. Ibu Dr. Chairul Bariah,S.H.,M.Hum selaku Ketua Bagian Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;
(8)
4. Bapak Dr. Jelly Leviza,S.H.,M.Hum selaku Sekretaris bagian Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan; 5. Bapak Prof.Dr.Suhaidi,S.H.M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
sangat peduli dan memberikan pedoman terhadap penulisan skripsi ini;
6. Bapak Dr. Arif,S.H.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah peduli serta memberikan pedoman terhadap penulisan skripsi ini;
7. Teristimewa kepada kedua orangtuaku, Tjaw Kim dan Mei Yen, kedua adikku Gita Dwi Dayana dan Yasa Wikrama serta pakde (+) Hj.Dra. Sutardjo yang telah memberikan banyak semangat, kekuatan, motivasi serta doa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan tapat pada waktunya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
8. Bapak Edy Murya, S.H. selaku Dosen Penasehat Akademik Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
9. Ibu Rosmalinda,S.H.,LLM. selaku Dosen Pembimbing pada kompetisi
International Humanitarian Law Competition,MITSO UNIVERSITY,Belarus;
10.Bapak Nazaruddin,S.H.,M.A selaku Dosen Pembimbing pada kompetisi debat hukum nasional Piala Soediman Kartohadiprodjo 2013;
11.Seluruh Bapak/Ibu Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik selama proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
12.Kakak kelompok kecil kak Joice Simatupang,S.H., serta teman kelompok kecil Hary Tama Simanjuntak, Kristy Emelia Pasaribu, dan Citra Kesuma Tarigan;
(9)
13.Seluruh sahabat di Perkumpulan Gemar Belajar, yang telah memberikan banyak pengalaman maupun ilmu serta memori yang indah selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
14.Seluruh sahabat di Meriam Debating Club, yang telah memberikan banyak pengalaman, ilmu serta kenangan yang manis selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
15.Sahabat-sahabat baik saya selama perkuliahan di Fakultas Hukum Univeristas Sumatera Utara, Dwi Wira Purnamasari, Gabeta Solin,Susi Sofia,Nanda Adithya Kalo, Arnita Alfriana, Kevin, Stella Guntur, Freddy Cahyadi, William A.B. , Albert Fernando dan Erick M.P.Kaban.
16.Teman-teman selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Grup F dan Kawan-kawan Departemen Hukum Ekonomi yang tergabung dalam International Law Student Association(ILSA);
Demikianlah penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang mendukung penulisan skripsi ini.
Medan, 13 April 2015 Penulis
Dian Ekawati NIM: 110200261
(10)
DAFTAR ISI
ABSTRAK i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI ii
BAB I : PENDAHULUAN
A.Latar Belakang 1
B.Perumusan Masalah 8
C.Pembatasan Masalah 8
D.Tujuan Penelitian 8
E. Manfaat Penelitian 8
BAB II : MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA
INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK WILAYAH PERAIRAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
A.Dasar Penetapan Perbatasan Negara 21
B.Prinsip dan Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Batas
Negara 25
C.Klasifikasi Perbatasan Negara 39
D.Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional Menurut Hukum
Internasional 44
E. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional terhadap Konflik
Laut Internasional berdasarkan UNCLOS 1982 67
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA RESOLUTION OF
BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY
A.Penyebab Timbulnya Sengketa Bangladesh-India Maritime
Boundary 78
B.Mekanisme Penyelesaian Sengketa Bangladesh-India Maritime
Boundary 92
C.Hasil Penyelesaian Sengketa Bangladesh-India Maritime Boundary
(11)
BAB IV : RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME
BOUNDARY DALAM MODEL PENYELESAIAN
SENGKETA TERHADAP LAUT CINA SELATAN
A. Upaya Penyelesaian Sengketa Laut Cina
Selatan 110
B. Perbandingan Sengketa Bangladesh-India Maritime Boundary
dengan Sengketa Laut Cina Selatan 118
C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan 125
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan 128
B. Saran 129
DAFTAR PUSTAKA 131
(12)
ABSTRACT
RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY
DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KONFLIK LAUT CINA SELATAN
Dian Ekawati*
Prof.Dr.Suhaidi,S.H.,M.Hum** Dr.Arif,S.H.,M.Hum***
The fundamental issue in the South China Sea is over who has sovereignty over the islands and their adjacent waters as well as sovereign rights and jurisdiction in the exclusive economic zone and continental shelf measured from the islands. The 1982 Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) has no provisions on how to determine sovereignty over offshore islands. However, the provisions of UNCLOS on baselines, the regime of islands, low-tide elevations, the exclusive economic zone, the continental shelf, maritime boundary delimitation and dispute settlement are all applicable to the South China Sea. Since 2009 the ASEAN claimants have taken measures to clarify their claims and bring them into conformity with UNCLOS. They maintain that under UNCLOS claims to the natural resources in and under the waters in the South China Sea can only be derived from claims to land features. China has clarified its claim to some extent, but it is still not clear to the ASEAN claimants whether China is making claims to the resources in the South China Sea based on its claim to sovereignty over the land features or whether it is claiming rights in all of the maritime areas inside the nine-dashed lines. If China fully clarifies its position on the nine-dashed line map it will be clearer which maritime areas are in dispute, and the claimants will be able to begin serious discussions about setting aside the sovereignty disputes and pursuing joint development of the natural resources. If China does not clarify its position and asserts rights in maritime areas which the ASEAN claimants believe are not in dispute, one or more of the ASEAN claimants may believe they have no choice but to refer legal issues to an international court or tribunal.
Although China has exercised its right to opt out of the system of compulsory binding dispute settlement for disputes relating to maritime boundary delimitation and historic waters, some legal disputes relating to the interpretation or application of the provisions of UNCLOS are subject to the compulsory binding dispute settlement under Part XV. In addition, it may also be possible for the ASEAN claimants to seek an advisory opinion from the International Tribunal for the Law of the Sea on one or more legal questions relating to the South China Sea disputes. ASEAN or the countries which involved in the South China Seas
(13)
dispute could make a similar decision as Bangladesh-India Maritime Boundary about the dispute settlement through PCA (Permanent Court of Arbitration).
(14)
ABSTRAK
RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME BOUNDARY
DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KONFLIK LAUT CINA SELATAN
Dian Ekawati*
Prof.Dr.Suhaidi,S.H.,M.Hum** Dr.Arif,S.H.,M.Hum***
Isu mendasar mengenai Laut Cina Selatan adalah siapa yang mempunyai kedaulatan atas pulau-pulau dan wilayah perairan berkaitan dengan hak kedaulatan dan yurisdiksi pada zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen dihitung dari pulau-pulau. UNCLOS 1982 tidak mempunyai ketentuan tentang bagaimana menentukan kedaulatan terhadap pulau-pulau di lepas pantai. Bagaimanapun, ketentuan UNCLOS mengenai garis pangkal, rezim kepulauan, elevasi surut, zona ekonomi eksklusif, landasan kontinen, delimitasi batas maritim dan penyelesaian sengketa yang relevan dan dapat diaplikasikan pada Laut Cina Selatan.
Sejak tahun 2009, ASEAN sebagai penggugat telah mengambil langkah untuk memperjelas klaim mereka yang dapat membawa mereka pada kenyamanan melalui UNCLOS. Mereka mempertahankan klaim berdasarkan UNCLOS untuk sumber daya alam pada dan dibawah Laut Cina Selatan yang berdasarkan klaim dan gestur tanah. Tiongkok telah mengklarifikasi klaimnya terhadap isu perpanjangan tetapi hal ini tidak dapat menjawab gugatan ASEAN yang mana Tiongkok membuat klaim atas sumber daya di Laut Cina Selatan berdasarkan alasan kedaulatan atas wilayah tersebut atau yang mana hak untuk mengklaim seluruh area maritime di dalam nine-dashed lines. Jika Tiongkok mengklarifikasi posisinya secara menyeluruh dalam peta nine-dashed lines maka ini akan menjadi lebih jelas di wilayah maritim mana sengketa tersebut berada dan gugatan akan dapat dimulai dengan diskusi mendalam mengenai penyelesaian sengketa kedaulatan dan pengembangan kerja sama terhadap sumber daya alam. Jika Tiongkok tidak mengklarifikasi posisinya dan menegaskan haknya dalam wilayah maritim yang mana ASEAN sebagai penggugat percaya wilayah tersebut bukanlah wilayah sengketa, satu atau lebih penggugat ASEAN percaya mereka tidak mempunyai pilihan untuk memilih pilihan hukum pada mahkamah internasional.
Meskipun Tiongkok telah menyatakan haknya untuk memilih sistem penyelesaian yang mengikat terhadap sengketa yang berkenaan dengan delimitasi batas maritim dan sejarah laut tersebut, beberapa sengketa hukum berkenaan dengan interpretasi atau aplikasi dari pengaturan UNCLOS yang mengikat dalam bab XV. Sebagai tambahan, itu juga mungkin bagi ASEAN untuk memberikan pandangan dari mahkamah laut internasional dari satu atau lebih pertanyaan yang berkaitan dengan sengketa Laut Cina Selatan. Dan dalam penyelesaiannya
(15)
Negara-negara ASEAN ataupun Negara-negara yang bersengketa dengan Tiongkok mengenai Laut Cina Selatan dapat mengikuti pilihan penyelesaian sengketa yang diambil oleh Bangladesh dan India dalam menyelesaikan sengketa Teluk Benggala yakni melalui PCA (Permanent Court of Arbitration) agar lebih mendapat kepastian dalam penyelesaian sengketa itu.
Kata Kunci : Sengketa Laut Cina Selatan, Sengketa Teluk Benggala, PCA (Permanent Court of Arbitration)
* Mahasiswa
** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II
(16)
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang.
Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Samudera Pasifik yang meliputi sebagian wilayah Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas sekitar 3,5 juta km².1 Berdasarkan ukurannya, Laut Cina Selatan ini merupakan wilayah perairan terluas. Laut Cina Selatan merupakan sebuah perairan dengan berbagai potensi yang sangat besar karena di dalamnya terkandung minyak bumi dan gas alam dan selain itu juga peranannya sangat penting sebagai jalur pendistribusian minyak dunia, perdagangan dan pelayaran internasional.2
Negara-negara dan wilayah yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan adalah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) termasuk (Makau dan Hongkong), Republik Tiongkok (Taiwan), Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia dan Vietnam. Adapun sungai-sungai besar yang bermuara di Laut Cina Selatan antara lain sungai Mutiara (Guangdong), Min, Jiulong, Red, Mekong, Rajang, Pahang, dan Pasig.3
Secara geografis Laut Cina Selatan terbentang dari arah barat daya ke timur laut, batas selatan 3° Lintang Selatan antara Sumatera Selatan dan Kalimantan (Selat Karimata) , dan batas utara-nya adalah Selat Taiwan dari ujung utara Taiwan ke pesisir Fujian di Tiongkok daratan. Laut Cina Selatan terletak di
1
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Laut_Cina_Selatan,diakses tanggal 12 Januari 2015.
3
www.anneahira.com, Loc.Cit.
(17)
sebelah selatan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Taiwan; di sebelah Barat Filipina;di sebelah barat Laut Sabah (Malaysia), Sarawak (Malaysia), dan Brunei; di sebelah utara Indonesia ; di sebelah timur laut Semenanjung Malaya (Malaysia) dan Singapura; dan disebelah timur Vietnam.4
Penemuan minyak dan gas bumi pertama kali di pulau Spartly adalah pada tahun 1968. Menurut data dari The Geology and Mineral Resources Ministry of the People’s Republic of China (RRC) memperkirakan bahwa kandungan minyak yang terdapat di kepulauan Spartly adalah sekitar 17,7 miliar ton (1,60 x 1010 kg). Fakta tersebut menempatkan kepulauan Spartly sebagai tempat cadangan minyak terbesar keempat di dunia.
Kawasan Laut Cina Selatan bila dilihat dalam tata Lautan Internasional, merupakan kawasan yang memiliki nilai ekonomis, politis dan strategis. Sehingga menjadikan kawasan ini mengandung potensi konflik sekaligus potensi kerja sama. Dengan kata lain, kawasan Laut Cina Selatan yang memiliki kandugan minyak bumi dan gas alam yang terdapat di dalamnya,serta peranannya yang sangat penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia, menjadikan kawasan Laut Cina Selatan sebagai objek perdebatan regional selama bertahun-tahun.
5
Sumber daya hidrokarbon juga menjadi daya tarik tersendiri. Menurut estimasi Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) 60-70% hidrokarbon di kawasan ini merupakan gas alam. Sementara itu, penggunaan sumber daya gas
4
http://id.wikipedia.org/wiki/Laut_Cina_Selatan, Loc.Cit. 5
http://militaryanalysisonline.blogspot.com/2013/09/sengketa-kepulauan-spratly-potensi.html, diakses tanggal 12 Januari 2015.
(18)
alam diproyeksikan bertambah sebanyak 5% per tahun untuk dua dekade yang akan datang. Jumlahnya diperkirakan sebanyak 20 trilion cubic feet (Tcf) per tahun, lebih cepat daripada bahan bakar lainnya.6
Laut Cina Selatan juga dikenal sebagai jalur pelayaran penting. Jalur pelayaran ini seringkali disebut maritime superhighway karena merupakan salah satu jalur pelayaran internasional paling sibuk di dunia. Lebih dari setengah lalu lintas supertanker dunia berlayar melalui jalur ini lewat Selat Malaka, Sunda dan Lombok. Jumlah supertanker yang berlayar melewati Selat Malaka dan bagian barat daya Laut Cina Selatan bahkan lebih dari tiga kali yang melewati Terusan Suez dan lebih dari lima kali lipatnya Terusan Panama.7
Selama dua puluh tahun ke depan konsumsi minyak bumi di negara-negara Asia akan naik 4% rata-rata per tahun. Apabila laju pertumbuhan tetap konsisten, permintaan minyak bumi akan naik menjadi 25 juta barrel per hari. Mau tidak mau untuk mengatasi permintaan Asia dan Jepang harus dilakukan impor minyak dari Timur Tengah. Kapal-kapal tanker pengangkut minyak dari Timur Tengah ke negara-negara Asia tersebut setelah melewati Selat Malaka harus melalui Laut Cina Selatan. Pelayaran Komersial di Laut Cina Selatan didominasi oleh bahan mentah yang menuju negara-negara Asia Timur, dan yang melewati Selat Malaka dan Kepulauan Spartly sebagian besar adalah kargo cair seperti minyak dan gas alam cair (LNG), sementara kargo kering kebanyakan batu bara dan bijih besi.
6
Simela Victor Muhammad (Kepentingan China dan Posisi ASEAN dalam Sengketa Laut China Selatan : Info Singkat Hubungan Internasional Vol. IV No. 08/II/P3DI/April /2012) Hal. 6.
7
(19)
Pengangkutan LNG melewati Laut Cina Selatan mewakili dua per tiga dari perdagangan LNG seluruh dunia menuju Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.8
Sengketa teritorial di Laut Cina Selatan (South China Sea, atau SCS) ini diawali oleh klaim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atas Kepulauan Spartly dan Paracel pada tahun 1974 dan 1992.
9
Hal ini dipicu oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pertama kali mengeluarkan peta yang memasukkan kepulauan Spartly, Paracels dan Pratas. Pada tahun yang sama Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mempertahankan keberadaan militer di kepulauan tersebut.10 Tentu saja klaim tersebut segera mendapat respon negara-negara yang perbatasannya bersinggungan di Laut Cina Selatan, utamanya negara-negara anggota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Adapun negara-negara tersebut antara lain Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, dan Malaysia.11
Di Laut Cina Selatan terdapat empat kepulauan dan karang yaitu: Paracel, Spartly, Pratas, dan kepulauan Maccalesfield. Meskipun sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tidak terbatas pada kedua gugusan kepulauan Spartly dan Paracel, (seperti perselisihan mengenai Pulau Phu Quac di Teluk Thailand antara Kamboja dan Vietnam), namun klaim multilateral Spartly dan Paracel lebih menonjol karena intensitas konfliknya. Sejak klaim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atas kepulauan di Laut Cina Selatan pada tahun 1974 , Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menganggap Laut Cina Selatan sebagai wilayah kedaulatan lautnya. Pada
8
Ibid.
9
Evelyn Goh, (Meeting the China Challenge: The U.S. in Southeast Asian Regional Security Strategies, 2005), East-West Center Washington, Hal. 31.
10
Ibid.
11
(20)
tahun 1974 ketika Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menginvasi kepulauan Paracel ini juga di klaim oleh Vietnam. Pada Tahun 1979, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Vietnam berperang sengit di perbatasan dan angkatan laut kedua negara bentrok di tahun 1988, kedua angkatan laut bentrok di Jhonson Reef di kepulauan Spartly yang menelan korban dimana dengan tenggelamnya beberapa kapal Vietnam dan 70 orang prajurit Angkatan Laut Vietnam gugur.12 Pada tahun 1992, 1995, dan 1997, bersamaan dengan Filipina, Vietnam mengganggap kepulauan Spartly dan Paracel adalah bagian dari wilayah kedaulatannya.13Adanya konfrontasi Republik Rakyat Tiongkok (RRT)-Vietnam ketika terjadi eksplorasi minyak dalam wilayah perairan Internasional tahun 1994. Pada tahun 1995 Taiwan menembak arteleri ke kapal Angkatan Laut Vietnam.14
12
Evelyn Goh, Op.Cit., hal. 19
13
Ibid.
14
Kolonel Karmin Suharna,SIP.,MA (Konflik dan Solusi Laut China Selatan dan dampaknya bagi Ketahanan Nasional: Majalah Komunikasi dan Informasi edisi 94 tahun , 2012 ), Hal. 34.
Pada tahun 1996 terjadi kontak senjata, antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Filipina. Pada tahun 1998 Filipina menembak kapal nelayan Vietnam. Tahun 2000 tentara Filipina menembaki nelayan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Tahun 2001 tentara Vietnam menembakkan tembakan peringatan kepada pesawat pengintai Filipina yang mengelilingi Pulau Spartly. Konflik Laut Cina Selatan antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan Vietnam, ini kemudian menimbulkan suatu gerakan massa Anti-Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Vietnam pada tanggal 14 Mei 2014, yang melakukan demonstrasi menyusul ketegangan antar kedua negara, yang awalnya berlangsung dengan tenang namun berujung pada melakukan kerusuhan terhadap sejumlah perusahaan asing di
(21)
negara tersebut serta massa membakar dan menghancurkan 15 pabrik yang kebanyakan dimiliki oleh perusahaan asal Republik Rakyat Tiongkok (RRT).15 Pada tanggal 21 Mei 2014 Perdana Menteri Vietnam Nguyen Tan Dung membeberkan suatu langkah ilegal yang dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yaitu melakukan penempatan anjungan minyak Haiyang 981 di Laut Cina Selatan dan pengerahan kapal-kapal patroli untuk melindungi anjungan, yang mana ini menurut beliau sangat serius mengancam perdamaian, stabilitas, keamanan laut dan keselamatan serta kebebasan .16
Latar belakang sejarah dan penemuan-penemuan kuno seringkali dijadikan sebagai alasan bagi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk mempertahankan klaimnya atas kepemilikan Laut Cina Selatan. Hal ini yang kemudian ditindak lanjuti dengan show of force, yang cenderung menunjukkan kekuatannya melalui aksi provokatif terhadap negara-negara pengklaim lainnya. Seperti terlihat dalam kebijakannya sejak tahun 1974 hingga sekarang Republik Rakyat Tiongkok (RRT) secara intensif telah menunjukkan simbol-simbol kedaulatannya bahkan tidak jarang terlihat agresif dengan melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal asing yang melintasi perairan Laut Cina Selatan guna mempertahankan sumber-sumber potensial barunya yang dapat mendukung kepentingan nasionalnya.17
Keteguhan sikap Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam mempertahankan klaimnya atas wilayah Laut Cina Selatan juga berkaitan dengan
15
republika.co.id/berita/internasional/global/14/05/14/n5kc8v-massa-anticina-bakar-15-pabrik-di-vietnam#” , diakses pada tanggal 23 Januari 2015.
16
republika.co.id/berita/internasional/global/14/05/21/n5xeeo-pm-vietnam-cina-langgar-hukum-internasional” , diakses pada tanggal 23 Januari 2015.
17
Setyasih Harini (Kepentingan Nasional China Dalam Konflik Laut China Selatan: artikel Ilmu Hubungan Internasional Fisip Unsri Surakarta, 2015), Hal. 4.
(22)
niatnya untuk memperoleh status sebagai kekuatan maritim yang handal bukan hanya di tingkat regional (Asia Timur dan Asia Tenggara) tapi juga Internasional. Sebagai salah satu sasaran progam modrenisasi, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berusaha mengembangkan kemampuan Angkatan Laut guna meningkatkan statusnya dari “kekuatan pantai” menjadi kekuatan laut biru (blue water navy), suatu kekuatan yang memiliki kemampuan proyeksi jauh ke wilayah samudera luas. Artinya, kekuatan laut biru dapat dijadikan sebagai penyeimbang kekuatan ekonomi yang semakin dipertimbangkan di area internasional.18
Dengan arti strategis dan ekonomis yang demikian, maka kawasan ini berpotensi mengundang konflik.19
Keterlibatan banyaknya negara-negara dalam sengketa ini, maka perlu adanya penyelesaian sengketa internasional yang berdasarkan pada suatu resolusi internasional yakni Resolution of Bangladesh-India Maritime Boundary yakni suatu putusan oleh ITLOS (International Tribunal of the Law of the Sea) yang mana memiliki latar belakang konflik yang identik dengan konflik Laut Cina Selatan,yang telah diputus pada tanggal 7 juli 2014 dan diakui keberadaannya. Berdasarkan hal tersebut, dalam skripsi ini juga akan dibahas mengenai UNCLOS 1982 yang menjadi pedoman Hukum Laut Internasional dan dapat menjadi salah satu alternatif dalam menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan dikarenakan
Sebuah perairan dengan potensi kandungan minyak dan gas alam yang tinggi juga peranannya yang sangat penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia membuat Laut Cina Selatan menjadi objek perdebatan dalam konteks Regional dan Internasional.
18
Ibid. 19
(23)
sengketa ini merupakan suatu sengketa multinasional. Selain itu, isi dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam UNCLOS 1982 dapat mengakomodir penyelesaian sengketa yang terjadi di Laut Cina Selatan.
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini, adapaun permasalahan yang akan dibahas antara lain :
1. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa internasional terhadap konflik wilayah perairan menurut Hukum Internasional?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary ?
3. Bagaimana Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary dalam model penyelesaian sengketa terhadap Laut Cina Selatan?
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah diatas , maka tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain :
1. Mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa internasional terhadap konflik wilayah perairan menurut Hukum Internasional.
2. Mengetahui penyelesaian sengketa dalam Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary.
3. Mengetahui Resolution Of Bangladesh-India Maritime Boundary dalam model penyelesaian sengketa terhadap Laut Cina Selatan.
(24)
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini,antara lain : 1. Secara teoritis
Diharapkan kehadiran skripsi ini dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam hal penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan dan melahirkan pemahaman tentang penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan sekaligus memperkaya serta menambah wawasan ilmiah baik dalam tulisan ini maupun dalam bidang lainnya.
2. Secara praktis
Untuk mengembangkan pemahaman dan kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh dan memberikan masukan bagi pembaca untuk memahami peranan Hukum Laut Internasional sebagai model penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan serta memberikan manfaat bagi setiap pihak yang berkepentingan dalam kaitannya dengan sengketa Laut Cina Selatan.
D.Keaslian Penulisan
Untuk mengetahui orisinalitas penulisan sebelum melakukan penulisan
skripsi berjudul “RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME
BOUNDARY DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KONFLIK LAUT CINA SELATAN” , penulis terlebih dahulu telah melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara mealalui surat tertanggal 18 September 2014 , menyatakan bahwa judul
(25)
skripsi ini merupakan karya ilmiah yang belum pernah diangkat menjadi judul skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada hal itu adalah diluar sepengetahuan penulis dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E.Tinjauan Kepustakaan
Resolusi menurut Black’s Law Dictionary “a formal expression of the opinion or will of an official body or a public assembly, adopted by vote; as a legislative resolution”20
Istilah “resolusi”sebagaimana yang digunakan oleh PBB memiliki arti yang luas, yakni tidak hanya mencakup akan suatu rekomendasi melainkan juga Hal ini bererti bahwa suatu resolusi merupakan suatu bentuk pernyataan yang resmi mengenai suatu pendapat atau kehendak dari suatu badan yang resmi atau suatu majelis yang bersifat umum serta disahkan melalui pemungutansuara serta dinyatakan bahwa suatu resolusi merupakan sebagai suatu bentuk penyelesaian legislatif.
20
(26)
keputusan.21 Pada umumnya resolusi merupakan suatu pernyataan tercatat yang berisi kesepakatan oleh negara-negara anggota.22 Kesepakatan–kesepakatan antar negara tersebut mereka tuangkan dalam bentuk suatu perjanjian yang mengikat antar negara tersebut. Keputusan-keputusan atau resolusi yang dilahirkan suatu organisasi internasional ada yang mengikat pada ruang lingkup intern organisasinya saja. Namun ada juga organisasi internasional yang mana keputusan yang dikeluarkannya tidak hanya berlaku dan mengikat bagi negara-negara non anggota. Oleh karena itu pengaruh dan ruang lingkup berlakunya keputusan tersebut sangat besar dan luas. Hal ini dapat dilihat pada keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Umum ataupun Dewan Keamanan PBB dimana ruang lingkup resolusi yang dikeluarkannya juga berlaku bagi negara non anggota PBB.23
Dalam praktiknya, adapun fungsi-fungsi suatu resolusi yang dikeluarkan oleh suatu organisasi internasional adalah :24
1. Menciptakan kewajiban, hak dan atau kekuatan maupun wewenang (fungsi subtantif)
2. Menentukan fakta atau keadaan hukum yang dapat menentukan fungsi subtantif tersebut.
3. Menentukan bagaimana dan kapan suatu fungsi subtantif tersebut dapat berlaku.
21
Marco Divac Oberg,The Legal Effect of Resolution of The UN Security Council and General Assembly in The Jurisprudence of The ICJ,16 Eur.J.Int’l.L.2006. Hal. 879.
22
Richard K.Gardiner,International Law, Person Education Limited,England, 2003. Hal. 254
23
Ibid 24
(27)
Maritime Boundaries atau disebut juga dengan batas maritim. Batas Maritim didefinisikan dengan segmen garis batas yang menghubungkan titik-titik batas yang telah disepakati. Dalam batas maritim dikenal ada dua pengertian dasar yang penting yaitu limit batas maritim (maritime limits) dan batas maritim (maritime boundaries).25Limit batas maritim adalah batas terluar zona maritim sebuah negara (laut teritorial, zona tambahan, ZEE, landas kontinen) yang lebarnya diukur dari garis pangkal. Pada dasarnya limit batas maritim ini ditentukan secara unilateral (sepihak), jika tidak ada tumpang tindih dengan negara lain. Penentuan limit batas maritim dilakukan oleh suatu negara yang letaknya di tengah samudera dan jauh sekali dari negara-negara lain, maka negara tersebut bisa menentukan batas terluar zona maritimnya secara sepihak tanpa harus berurusan dengan negara tetangga, batas terluar ini disebut dengan limit batas maritim (maritime limits).26 Meski demikian jarang ada satu negara yang bisa menentukan batas zona maritim tanpa berurusan dengan negara lain. Misalnya di Selat Malaka, Indonesia tidak mungkin mengklaim 200 mil ZEE karena jaraknya dengan Malaysia dekat, sementara itu, Malaysia juga berhak atas ZEE. Disinilah diperlukan usaha membagi laut, prosesnya disebut maritime delimination. Proses martime delimination ini akan menghasilkan maritime boundaries (batas maritim).27
Sengketa (dispute) menurut Merrils adalah ketidaksepahaman mengenai sesuatu. Adapun John Collier&Vaughan Lowe membedakan antara sengketa
25
M.George Cole, Water Boundaries, Manchester University Press.1997.
26
Ibid
27
(28)
(dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah : “a specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in which a claim or assertion of one party is met with refusal,counter claim or denial by another.”28 Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility) antara pihak-pihak yang sering kali tidak fokus.29
Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri suatu negara. Sengketa internasional juga tidak hanya eksklusif menyangkut hubungan antar negara saja mengingat subjek-subjek hukum internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa melibatkan banyak aktor non negara. Terkait dengan sengketa internasional sangat menarik kiranya apa yang dikemukakan oleh John Collier bahwa fungsi hukum penyelesaian sengketa internasional manakala terjadi sengketa internasional adalah to manage, rather than to supress or to resolve a dispute.30
Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah menegaskan bahwa sengketa hukum yang dapat dibawa ke Mahkamah menyangkut hal-hal sebagai berikut :
31
1. Interpretation of a treaty.
2. Any question of international law
3. The existence of any fact which, if established, would constitute a breach of an international obligation
28
John Collier & Vaughan Lowe, The Settlement of Disputes in International Law,Oxford University Press.1999.
29
Sefriani,S.H.,M.Hum.,Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Press.2010.Hal 322.
30
Ibid
31
(29)
4. The nature or extent of the reparation to be made for the breach of an international obligation
Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB, melarang negara anggota menggunakan kekerasan dalam hubungannya satu sama lain.32 Hal ini juga ditegaskan oleh Pasal 33 Piagam PBB yang meminta kepada negara-negara untuk menyelesaikan secara damai sengketa-sengketa mereka sambil menyebutkan bermacam-macam prosedur yang dapat dipilih oleh negara yang bersengketa.33
Karena kebebasan ini, negara-negara pada umumnya memberikan prioritas pada prosedur penyelesaian secara politik,ketimbang penyelesaian melalui arbitrase atau secara yuridiksional karena penyelesaian secara politik akan lebih melindungi kedaulatan mereka. Bila terjadi ketegangan internasional yang bersumber pada suatu sengketa maka negara-negara berpendapat akan lebih baik bila sengketa tersebut dapat terlebih dahulu diselesaikan secara politik mengingat sistem penyelesaian melalui cara tersebut lebih luwes, tidak mengikat dan mengutamakan kedaulatan masing-masing pihak. Kalau tidak berhasil maka baru diambil prosedur penyelesaian secara hukum,sekiranya sengeketa tersebut memiliki aspek hukumnya pula.34
Secara garis besar penyelesaian sengketa dalam hukum internasional sebagai berikut :35
1. Secara damai : a. Jalur politik :
32
DR.Boer Mauna,Hukum Internasional Pengertian,Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,edisi ke-2 , P.T.Alumni,Bandung,2005.Hal 193.
33
Ibid
34
Ibid
35
(30)
1) Negosiasi 2) Mediasi
3) Jasa baik (good offices) 4) Inquiry
b. Jalur hukum : 1) Arbitrase
2) Pengadilan internasional 2. Secara kekerasan :
a. Perang
b. Non perang: pemutusan hubungan diplomatik, retorsi, blokade, embargo, reprisal.
F. Metode Penulisan
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian dimulai ketika seseorang berusaha untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi secar sistemastis dengan metode dan teknik tertentu yang bersifat ilmiah, artinya bahwa metode atau teknik yang digunakan tersebut bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan menganalisanya dan dengan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan faktor tersebut.36
1. Sifat dan Jenis Penelitian.
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan,
36
Khudzaifah Dimyati & Kelik Wriono, Metode Penelitian Hukum, Surakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004, Hal.1.
(31)
menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa perjanjian-perjanjian dan Konvensi-konvensi internasional yang berkaitan tentang Hukum Laut Internasional.
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penulisan normatif yaitu penelitian yang berdasarkan perjanjian dan peraturan Hukum Internasional UNCLOS 1982 dan Resolution of Bangladesh-India Maritime Boundary. Dan merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menentukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum internasional, peraturan-peraturan internasional, perjanjian-perjanjian dan konvensi-konvensi hukum internasional serta beberapa dokumen terkait.
2. Sumber Data
Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder yang berbentuk bahan hukum dan terdiri dari :
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.37
37 Soedikno Mertokusumo,Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 1988, Hal.19.
Dalam penelitian ini bahan hukum primer diperoleh melalui UNCLOS 1982 dan Resolution of Bangladesh-India Maritime Boundary serta perjanjian–perjanjian internasional dan konvensi-konvensi internasional yang terkait.
(32)
b. Bahan hukum sekunder
Bahan Hukum Sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti : kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakuakan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunkan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen perintah, termasuk peraturan perundang-undangan.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pusaka adalah sebagai berikut :38
a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.
38
Ronitidjo Hanitijo Soematri, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimet. Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990, Hal.63.
(33)
b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun media eletronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.
c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.
d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.
4. Analisis Data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sumber-sumber yang berkaitan dengan penelitian ini, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik penelitian ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
G.Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi pengantar yang di dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah , dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi.
(34)
BAB II MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK LAUT INTERNASIONAL
Pada bab ini diuraikan mekanisme penyelesaian sengketa internasional terhadap konflik laut internasional yang terdiri dari prinsip dan konsepsi hukum internasional dalam penetapan batas negara, klasifikasi batas negara, mekanisme penyelesaian sengketa internasional menurut hukum internasional,mekanisme penyelesaian sengketa internasional terhadap konflik laut internasional berdasarkan UNCLOS 1982 serta Peranan ITLOS sebagai lembaga penyelesaian sengketa laut internasional.
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA RESOLUTION OF
BANGLADESH - INDIA MARITIME BOUNDARY
Bab ini mengurai tentang penyebab timbulnya sengketa Bangladesh-India maritime boundary, mekanisme penyelesaian sengketa Bangladesh-India maritime boundary, dan hasil penyelesaian sengketa Bangladesh-India maritime boundary.
BAB IV RESOLUTION OF BANGLADESH-INDIA MARITIME
BOUNDARY DALAM MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP LAUT CINA SELATAN
Pada bab ini dibahas mengenai kajian Resolution of Bangladesh-India maritime boundary, perbandingan sengketa Bangladesh-India
(35)
maritime boundary dengan sengketa Laut Cina Selatan, serta mekanisme penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan.
BAB V PENUTUP
Pada bab terakhir ini akan dimuat kesimpulan dari pembahasan yang ada pada bab-bab sebelumnya dan akan diakhiri dengan saran-saran terhadap pembahasan skripsi ini.
(36)
BAB II
MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK WILAYAH PERAIRAN MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL A.Dasar Penetapan Perbatasan Negara
Batas adalah tanda pemisah antara suatu wilayah dengan wilayah yang lain, baik berupa tanda alamiah maupun buatan. Penetapan dan penegasan batas wilayah suatu negara dirasakan sangat penting dan mendesak, hal tersebut didasarkan fakta semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan pembangunan yang memerlukan ruang baru bagi kegiatan tersebut . Kebutuhan akan ruang ini pada akhirnya akan berpengaruh terhadap hilang atau berubahnya batas wilayah suatu negara. Apabila hal tersebut tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin akan muncul sengketa dan saling klaim terhadap wilayah suatu negara oleh negara lain.39
Pengakuan Internasional terhadap suatu negara didasarkan pada terpenuhi tidaknya syarat-syarat berdirinya suatu negara, antara lain adalah menyangkut wilayah negara, karenanya tidak ada negara yang diakui tanpa wilayah negara. Dengan kenyataan ini, maka suatu negara selalu memiliki wilayah dengan batas-batas tertentu yang diakui secara internasional.40
Pengertian perbatasan secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara dua negara yang berdaulat. Perbatasan sebuah negara atau states border dibentuk
39
Suryo Sakti Hadiwijoyo,Batas Wilayah Negara Indonesia “Dimensi,Permasalahan, dan Strategi Penanganan”(Sebuah Tinjauan Empiris dan Yuridis), Penerbit Gava Media,
Yogyakarta.2008.Hal 35
40
Ibid.
(37)
dengan lahirnya negara. Menurut pendapat ahli geografi politik, perbatasan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu boundaries dan frontier. Kedua definisi ini mempunyai arti dan makna yang berbeda meskipun keduanya saling melengkapi dan mempunyai nilai yang strategis bagi kedaulatan wilayah negara. Perbatasan disebut frontier karena posisinya yang terletak di wilayah bagian depan dari suatu negara. Sedangkan istilah boundary digunakan karena fungsinya yang mengikat atau membatasi (bound or limit) suatu unit politik, dalam hal ini adalah negara. Semua yang terdapat di dalamnya terikat menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh serta saling terintegrasi satu dengan yang lain. Boundary paling tepat dipakai apabila suatu negara dipandang sebagai unit spasial yang berdaulat.41
Dalam kaitan dengan konsep ruang, batas wilayah kedaulatan negara (boundary) amatlah penting di dalam dinamika hubungan antara negara/atau antar bangsa. Hal ini karena batas antar negara atau delimitasi sering menjadi penyebab konflik terbuka. Meskipun penentuan delimitasi telah diatur dalam berbagai konvensi internasional. Tetapi, latar belakang sejarah setiap bangsa/negara dapat memberikan nuansa politik tertentu yang mengakibatkan penyimpangan dalam menarik garis boundary dan bertabrakan dengan negara lain.42
Berkaitan dengan perbatasan antarnegara, hukum internasional memberikan konstribusi yang penting, terutama dalam pelaksanaan perundingan atau perjanjian batas antar negara. Hukum internasional secara jelas dan tegas
41
Suryo Sakti Hadiwijoyo,Perbatasan Negara dalam dimensi Hukum Internasional,Graha Ilmu,Yogyakarta.2011.Hal 63
42
(38)
memberikan batasan tentang pemanfaatan sementara wilayah perbatasan antar negara. Persetujuan atau perjanjian perbatasan di wilayah darat atau di wilayah laut (batas maritim) yang telah disepakati dengan negara lain secara tidak langsung merupakan bukti pengakuan kedaulatan negara atas wilayahnya, akan tetapi kesepakatan tersebut seyogianya perlu dituangkan dalam bentuk perjanjian, sedangkan yang sudah diratifikasi dalam bentuk undang-undang, hal ini pada dasarnya untuk mempermudah bagi para pihak sekiranya terjadi perbedaan penafsiran terhadap pelaksanaan persetujuan atau perjanjian tersebut.
Menurut Adi Sumardiman43
1. Ketentuan Tidak Tertulis
secara garis besar terdapat 2 (dua) hal yang menjadi dasar dalam penetapan perbatasan, yaitu:
Ketentuan seperti ini pada umumnya berdasarkan pada pengakuan para pihak yang berwenang di kawasan perbatasan, oleh para saksi atau berdasarkan petunjuk. Tempat pemukiman penduduk, golongan ras, perbedaan cara hidup, perbedaan bahasa, dan lain sebagainya dapat dijadikan dasar atau pedoman dalam membedakan wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Kondisi alam wilayah membatasi manusia dalam menentukan permukimannya. Seiring dengan perkembangan waktu, tanda-tanda alam tersebut dapat pula berkembang menjadi batas wilayah. Melalui proses kebiasaan yang berlangsung lama, perbatasan sedemikian dapat tumbuh menjadi perbatasan tradisional. Perbatasan tradisional ini yang kemudian dipertegas dalam suatu perjanjian antar negara yang berbatasan.
43
(39)
Penetapan batas antar negara yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis ini, pada kenyataannya lebih banyak mengalami kesulitan, karena menyangkut juga faktor historis dan kultural, yang secara politis lebih rumit dari pada faktor teknis.
Berkaitan dengan penetapan dan penegasan batas wilayah,penamaan unsur geografis memegang peranan penting dalam membantu penentuan lokasi perbatasan. Hasil inventarisasi dan penamaan unsur geografis yang dilakukan bersama-sama oleh pemerintah dan pemuka masyarakat inilah yang dijadikan dasar hukum dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan aktivitas pemerintahan. Lokasi perbatasan yang memiliki kepastian hukum hanya dapat diwujudkan dengan cara formal dalam deskripsi tertulis dan cara materiil diwujudkan dengan adanya tanda-tanda batas di lapangan.
2. Ketentuan Tertulis
Dalam studi Hubungan Internasional,perbatasan antar negara merupakan faktor yang mempengaruhi hubungan antar negara. Perjanjian perbatasan anatar negara berbentuk treaty yang kemudian diratifikasi dengan undang-undang. Dalam perjanjian perbatasan antar negara seyogianya dilandasi oleh kepastian negara yang berbatasan dalam penentuan, penetapan dan penegasan batas wilayah yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk perjanjian antar negara. Kepastian dan ketegasan tersebut dimaksudkan agar tidak timbul berbagai tafsiran yang dapat mengurangi legalitas dari sebuah perjanjian perbatasan antar negara. Hal ini disebabkan karena perumusan perjanjian perbatasan tidak dapat memuaskan baik para ahli hukum, penyelenggara pemerintahan maupun para ahli
(40)
pemetaan. Perubahan-perubahan kedudukan perbatasan antar negara yang telah ditetapkan di dalam suatu perjanjian merupakan bukti adanya ketidakpuasan dari negara yang saling berbatasan.
Dalam penyusunan dan penetapan perjanjian perbatasan antar negara, peta memegang peranan yang sangat penting, yaitu sebagai alat bantu untuk menemukan dan menentukan lokasi distribusi spasial dari kawasan perbatasan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam setiap perjanjian perbatasan biasanya dilengkapi dengan peta sebagai lampiran yang berfungsi untuk mempermudah dan memperjelas letak dan lokasi dari masing-masing titik batas maupun area perbatasan yang telah disepakati oleh negara yang berbatasan.
B.Prinsip dan Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Batas Negara.
B.1. Prinsip Hukum Internasional dalam Penetapan Batas Negara. 1. Prinsip Penyelesaian Penetapan Batas Negara.
Dalam dimensi hukum internasional, prinsip penetapan perbatasan negara dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu Prinsip Umum dan Prinsip Khusus. Prinsip umum dalam penetapan perbatasan negara adalah ketentuan dasar yang dijadikan acuan dalam penyelesaian penetapan negara secara umum. Dalam prinsip umum penyelesaian penetapan perbatasan negara, terdapat 2 (dua) landasan hukum internasional, yaitu United Nations Charter (Piagam PBB) dan
Treaty of Amity and Coorperation in Southeast Asia.44
44
(41)
Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, secara umum dalam penyelesaian penetapan perbatasan antar negara harus diselesaikan secara damai melalui perundingan, baik antara negara yang berbatasan ataupun melalui mediasi pihak ketiga. Dengan demikian prinsip penyelesaian secara damai merupakan prinsip utama atau prinsip umum dalam penyelesaian penetapan perbatasan negara. Prinsip kedua dalam penyelesaian penetapan perbatasan negara adalah prinsip khusus.Prinsip khusus tersebut dalam implementasinya dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Prinsip Khusus Penetapan Batas Darat dan Prinsip Khusus Penetapan Batas Maritim atau Laut.45
a. Prinsip Khusus Penetapan Batas Darat. (1) Uti Possidentis Juris
Prinsip ini menyatakan bahwa negara yang merdeka mewarisi wilayah bekas negara penjajahnya. Dalam konteks Indonesia hal tersebut terlihat dalam penetapan batas negara antara lain sebagai berikut ;
(a) Batas darat antara Indonesia dan Malaysia ditetapkan atas dasar Konvensi Hindia Belanda dan Inggris tahun 1891, tahun 1915, dan tahun 1928.
(b) Batas darat antara Indonesia dan Timor Leste ditetapkan atas dasar Konvensi tentang Penetapan Batas Hindia Belanda dan Portugal Tahun 1904 dan Keputusan
Permanent Court of Arbitration (PCA) tahun 1914.
45
(42)
(c) Batas darat antara Indonesia dan Papua Nugini ditetapkan atas dasar Perjanjian Batas Hindia Belanda dan Inggris tahun 1895.
(2)Border Stability
Dalam penyelesaian penetapan perbatasan darat harus
memperhatikan dan menjaga stabilitas kawasan perbatasan. Hal tersebut sangat beralasan karena kawasan perbatasan darat merupakan perbatasan langsung antar negara, selain itu dalam beberapa kasus terdapat hubungan kekerabatan antara masyarakat kedua negara yang berbatasan.
Penyelesaian penetapan perbatasan darat yang mengabaikan prinsip border stability, pada gilirannya akan menimbulkan disharmonisasi hubungan antar warga negara yang dapat berujung pada timbulnya gangguan hubungan diplomatik antara negara yang berbatasan. Oleh sebab itu, prinsip ini merupakan prinsip yang mutlak untuk dilaksanakan, terutama dalam penyelesaian penetapan perbatasan darat sebagai wilayah yang berbatasan langsung antarnegara.
(3)Eternality of Boundary Treaty
Perjanjian perbatasan antar negara merupakan salah satu bentuk perjanjian internasional, yang tentu saja dalam pelaksanaannya mengikuti asas-asas dan kaedah dalam hukum internasional.
Doktrin hukum internasional mengajarkan bahwa perjanjian tentang batas negara bersifat final, sehingga tidak dapat diubah. Sehubungan dengan hal tersebut, pihak salah satu negara tidak dapat
(43)
menuntut perubahan garis besar setelah batas tersebut disepakati bersama. Doktrin adanya perubahan fundamental (rebus sict stantibus) yang seringkali berlaku dalam hukum internasional, ternyata tidak dapat diterapkan dalam perjanjian tentang batas antar negara. Secara tegas hal ini dinyatakan dalam Pasal 62 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional.
b. Prinsip Khusus Penetapan Batas Maritim
Dalam penetapan batas laut atau batas maritim, yang menjadi landasan hukum internasional adalah United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (yang selanjutnya disebut UNCLOS 1982). Dalam kaitan dengan penetapan batas laut teritorial, melalui Pasal 15 UNCLOS 1982 mengenai penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, dinyatakan sebagai berikut :
“ Dalam hal dua Negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak kecuali, ada persetujuan yang sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titik sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur.
Tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku, apabila terdapat alasan baik historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya
(44)
menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut cara yang berlainan dengan ketentuan tersebut.”
Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam pasal 15 UNCLOS 1982 berkaitan dengan penetapan batas laut teritorial dapat disimpulkan menjadi 3 (tiga) hal yaitu : pertama, dalam penetepan batas laut teritorial dilakukan dengan melalui perundingan; kedua, dalam penetapan batas laut teritorial pada negara yang berhadapan,digunakan metode
equidistance;ketiga, ketentuan tersebut tidak dapat berlaku, apabila terdapat alasan baik historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut cara yang berlainan dengan ketentuan tersebut.
Berkaitan dengan penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif (yang selanjutnya disebut dengan ZEE) dan Landas Kontinen, mengacu pada Pasal 74 UNCLOS 1982 yang mengatur tentang penyelesaian penetapan batas garis ZEE46 dan Pasal 83 UNCLOS 1982 yang mengatur tentang penyelesaian penetapan batas Landas Kontinen47
46
Pasal 74
Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan .
.
(1) Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai pemecahan yang adil.
(2) Apabila tidak dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV. (3) Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1),
negara-negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan.
47
(45)
Berdasarkan pada ketentuan yang tertuang dalam Pasal 74 dan Pasal 83 UNCLOS 1982, dalam penyelesaian penetapan batas ZEE dan garis batas Landas Kontinen secara garis besar memperhatikan 3 (tiga) prinsip sebagai berikut: pertama, dalam penetapan batas zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen dilakukan melalui perundingan ; kedua, dalam penyelesaian penetapan zona ekonomi eksklusif dan garis batas landas kontinen harus berdasarkan pada hukum internasional; dan ketiga, dalam implementasi penyelesaian penetapan batas zona ekonomi eksklusif maupun landas kontinen harus mencapai Equitable Result atau mendatangkan manfaat bagi negara-negara yang bersangkutan.
B.2. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Batas Negara. 1. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Darat. Pada hakikatnya dalam kajian hukum internasional tidak dikenal adanya regulasi yang bersifat khusus yang mengatur penetapan wilayah perbatasan darat antar negara. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam penentuan wilayah
Penetapan garis batas landa kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan.
(1) Penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujusn atas dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai pemecahan yang adil.
(2) Apabila tidak dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara-negara yang bersangkutanharus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV. (3) Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1),
negara-negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan.
(4) Dalam hal ada suatu persetujuan yang berlaku antara negara-negara yang bersangkutan, masalah yang berkaitan dengan penetapan garis batas landas kontinen harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan persetujuan tersebut.
(46)
perbatasan darat antar negara dapat ditentukan dengan berdasarkan 2 (dua) cara, yakni:48
48
Ibid.Hal 87.
Pertama, Secara Alamiah. Penentuan batas secara alamiah terlihat pada kasus pasca lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999 dan kemudian menjadi negara yang berdaulat penuh pada 20 Mei 2002 dengan nama Republik Demokratik Timor Leste. Hal tersebut membawa konsekuensi bagi Indonesia maupun Timor Leste dalam kaitan dengan penetapan perbatasan darat.
Dalam kasus dengan Timor Leste, penetapan batas darat mengacu pada perjanjian (treaty) antara Kerajaan Belanda dan Kerajaan Portugal yang ditandatangani pada 20 April 1859 di Lisabon dan kemudian pada 13 Agustus 1860 dilaksanakan pertukaran ratifikasi. Selanjutnya perjanjian batas wilayah antara koloni Belanda dan Portugal di Pulau Timor secara rinci ditetapkan melalui perjanjian (konvensi) yang ditanda tangani pada 1 Oktober 1904 di Den Haag, dimana pada saat itu Indonesia merupakan koloni dari Kerajaan Belanda, sedangkan Timor Portugis (nama Timor Leste pada saat menjadi koloni Portugal) merupakan koloni Portugal.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam bentuk idealnya pola penetapan batas secara alamiah yang dilakukan penguasa kolonial merupakan upaya untuk mempertimbangkan faktor pengelompokan berdasarkan kesatuan etnis yang tinggal di wilayah perbatasan. Hal ini pada hakekatnya konkuren dengan daerah batas penaklukan suatu daerah yang diperoleh dari kekuasaan tradisional penguasa daerah tersebut.
(47)
Metode lain yang digunakan adalah dengan mengikuti kontur alamiah daerah perbatasan tersebut. Hukum internasional mengenal pendekatan ini sebagai pendekatan atau metode watersheed, yakni mengikuti aliran turunnya air dari tempat yang lebih tinggi. Dalam praktiknya, penentuan atau penetapan perbatasan darat dengan menggunakan metode watersheed apabila kedua belah pihak (negara yang saling berbatasan) tidak mempunyai penafsiran yang sama akan menimbulkan konflik antar negara yang berbatasan tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran kedua belah pihak akibat perbedaan fakta di lapangan dengan isi naskah dalam perjanjian. Berkaitan dengan hal tersebut, hukum internasional menyatakan perlunya membangun kesamaan persepsi dan saling percaya antara negara-negara yang saling berbatasan, untuk mengupayakan jalan damai apabila timbul persengketaan yang berkaitan dengan penetapan atau penegasan perbatasan darat. Kesepakatan yang dicapai oleh kedua belah pihak dalam penetapan perbatasan di lapangan dapat dituangkan ke dalam field plan dan selanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam penetapan perbatasan darat.
Kedua, Perbatasan Artifisial, perbatasan secara artifisial adalah penentuan atau penetapan perbatasan darat dengan cara buatan atau menggunakan properti antara lain berupa pilar, beacon, tugu dan lain sebagainya. Penentuan perbatasan dengan cara buatan/artifisial apabila dibandingkan dengan alamiah lebih praktis dan mudah untuk dilakukan, sehingga mempermudah penetapan di lapangan.
(48)
Dalam hukum internasional apabila penarikan garis batas secara lurus menyinggung / mengenai sungai maka berlaku prinsip thalweg. Prinsip metode
thalweg adalah menggunakan dasar sungai yang dapat dijadikan alur pelayaran sebagai acuan dalam penentuan perbatasan antar negara.Meskipun penentuan perbatasan dengan menggunakan metode ini lebih praktis dan menguntungkan, metode ini cenderung mengabaikan faktor upaya memelihara kesatuan etnis yang mendiami wilayah perbatasan sehingga secara tidak langsung dapat menimbulkan potensi konflik horizontal antar negara, terutama berkaitan dengan kesenjangan sosial dan ekonomi antar warga/penduduk di wilayah perbatasan.
3. Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan Perbatasan Laut.
Dalam kaitan dengan penetapan perbatasan laut antar negara dalam konterks hukum internasional dikenal 2 (dua) konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut dengan PBB) yaitu49
(1) Konvensi Hukum Laut Tahun 1958 (UNCLOS 1958) :
Pada awalnya perkembangan penetapan perbatasan antar negara di wilayah laut menggunakan metode penetapan batas secara artifisial dengan asumsi bahwa wilayah laut merupakan bagian dari kekuasaan imperium atas daratan.
Garis batas antar negara di wilayah laut berfungsi sebagai allocation line yang menjadi batas pemisah kepemilikan daratan diantara penguasa kolonial sehingga tidak dapat menjadi perbatasan laut semata, hal tersebut dapat dilihat dari contoh disepakatinya perjanjian antara Portugis dan
49
(49)
Spanyol pada abad 15 yang dikenal dengan Perjanjian Tordesilas. Perjanjian Tordesilas ini membagi dunia menjadi 2 (dua) dimana masing-masing merupakan wilayah koloni/jajahan/jalur pelayaran dari Portugis dan Spanyol.
Selain Perjanjian Tordesilas, pada tahun 1930 disepakati pula Perjanjian Paris (Paris Treaty) antara Amerika Serikat dan Inggris yang menjadi dasar bagi klaim atas kewilayahan Philipina oleh Amerika Serikat dan Inggris. Kedua perjanjian tersebut merupakan contoh dari penggunaan batas laut oleh negara-negara imperial untuk saling berbagi wilayah koloni, sehingga batas laut sering diartikan sebagai allocation line.
Dalam kaitan itu, mulai muncul gagasan atau konsep untuk mengatur tentang konsep laut wilayah atau yang lebih dikenal dengan laut teritorial. Pada masa itu konsep laut wilayah merupakan suatu hal baru, seiring ditemukannya teknologi persenjataan meriam, di mana sesuai dengan daya jangkau meriam tersebut yaitu sejauh 3 mil laut, maka jarak 3 mil laut dinyatakan sebagai legitimate claim atas wilayah laut oleh negara pantai. Namun demikian pada praktiknya Konvensi Hukum Laut 1958 (selanjutnya disebut dengan UNCLOS 1958) tidak berhasil menyepakati masalah ini, melainkan hanya menyebutkan penerapan prinsip
equidistance dan median line dalam rangka penetapan batas laut teritorial negara yang saling berhadapan. Sementara itu, lebar maksimal klaim laut teritorial yang dibenarkan menurut hukum internasional tidak disebutkan sama sekali.
(50)
Perdebatan tentang lebar laut teritorial menjadi isu yang sangat penting dan tidak terpecahkan dalam UNCLOS 1958. Hal tersebut pada gilirannya merupakan suatu bentuk refleksi kuatnya tuntutan rezim kebebasan dalam pengelolaan wilayah laut (mare liberum) vis a vis dengan sebagian negara yang mengkehendaki pembatasan yang lebih tegas dan jelas dalam rangka memberikan keleluasaan kepada negara pantai untuk melalukan pengawasan atas wilayah perairannya (mare clausum). Terlebih lagi dalam penentuan hak ekonomis terhadap sumber daya alam minyak dan gas di dasar laut (selanjutnya disebut sebagai landas kontinen), UNCLOS 1958 juga belum memberikan batasan yang jelas dan tegas melainkan digantungkan pada faktor natural prolongation dan eksploitabilitas. Hal ini membawa dampak yang tidak menguntungkan, terutama bagi negara-negara yang baru merdeka setelah periode Perang Dunia ke-II, kenyataan tersebut dinilai sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan negara imperial yang adalah negara-negara maritim besar (Spanyol,Portugis,Perancis,Inggris) atas jajahannya/bekas jajahannya.
Hal ini kemudian mendatangkan ketidakpuasan masyarakat internasional sehingga melahirkan tuntutan-tuntutan yang dipelopori oleh negara-negara di Amerika Selatan yang melakukan klaim laut teritorial secara ekstrim hingga mencapai 200 mil laut. Tindakan ini akhirnya mendorong dilaksanakannya konferensi ketiga hukum laut internasional
(51)
yang kemudian melahirkan UNCLOS 1982 yang hingga saat ini masih dijadikan acuan oleh negara-negara di dunia.
Terlepas dar kegagalan UNCLOS 1958 terhadap dua pokok masalah tersebut, UNCLOS 1958 memberikan sumbangan penting berkaitan dengan diakuinya prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur mengenai perbatasan laut antar negara. Hal ini tercermin dari perkara yang diputuskan Mahkamah Internasional bahkan pada periode setelah UNCLOS 1982 berlaku.
(2) Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 (UNCLOS 1982)
Pada tahun 1982 tepatnya 30 April 1982 di New York, konvensi hukum laut PBB (UNCLOS-United Nations Convention on the Law of the Sea) telah diterima baik dalam konferensi PBB tentang hukum laut III yakni pada sidangnya yang ke-11, dan ditandatangani pada tanggal 10 Desember tahun yang sama di Montego Bay, Jamaica50
Rezim-rezim hukum laut internasional yang diatur didalam UNCLOS 1982, yaitu
.UNCLOS tersebut mengatur tentang rezim-rezim hukum laut, termasuk negara kepulauan.
51
1) Perairan Pedalaman :
Lebar laut teritorial diukur dari “garis pangkal” dan perairan yang berada pada arah darat dari garis tersebut dinyatakan sebagai perairan pedalaman. Dalam keadaan-keadaan tertentu dapat digunakan garis pangkal yang lain,yang akan menimbulkan adanya perairan pedalaman.
50
DR.Boer Mauna, Op.cit.Hal 309. 51
Albert W.Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Gajah Mada University Press.Yogyakarta.1994.Hal 5.
(52)
Keadaan-keadaan tersebut adalah :
a) Apabila garis pantai sangat menjorok ke dalam atau apabila terdapat jajaran pulau-pulau di sepanjang pantai, suatu garis pangkal lurus dapat ditarik dari titik-titik tertentu pada pantai atau pulau-pulau tersebut (Pasal 7)
b) Apabila daratan sangat cekung ke dalam sehingga dapat dikatakan adanya perairan yang dilingkupi oleh daratan (dalam keadaan dimana daerah lekukan lebih besar dari setengah lingkaran dengan diameter yang sama lebarnya dengan lebar mulut lekukan tersebut), laut teritorial dapat diukur dari garis penutup yang ditarik pada mulut lekukan, dengan ketentuan bahwa gris penutup tersebut panjangnya tidak boleh melebihi 24 mil laut (Pasal 10).
c) Apabila sebuah sungai langsung bermuara ke laut, garis pangkal dapat ditarik melintasi mulutnya dengan menghubungkan titik-titik pada garis air rendah di tepi muara tersebut (Pasal 9)
2) Laut Teritorial
Pasal 2 Konvensi menentukan bahwa kedaulatan negara pantai meliputi laut teritorialnya, termasuk ruang udara di atasnya dan dasar laut serta tanah dibawahnya. Kesepakatan yang dicapai mengenai batas laut teritorial,yaitu: 12 mil laut diukur dari garis pangkal (Pasal 4).
Konvensi memuat ketentuan-ketentuan untuk penetapan batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan dan berdampingan: apabila tidak ada persetujuan yang menyatakan sebaliknya,
(53)
tidak satu negara pun yang berhak untuk menetapkan bahwa laut teritorialnya melebihi garis tengah, yaitu suatu garis yang titik-titiknya sama jarak dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial masing-masing negara (Pasal 15). 3) Jalur Tambahan
Pada suatu jalur yang lebarnya tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, negara pantai dapat melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangannya pada wilayahnya atau pada laut teritorialnya dan sekaligus juga dapat menerapakan hukumnya (Pasal 33).
4) Zona Ekonomi Eksklusif
Zona ekonomi eksklusif diartikan sebagai suatu daerah di luar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial (Pasal 55 dan 57). Menurut pengertian pasal 56, di zona ekonomi eksklusif negara pantai dapat menikmati:
a) Hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan segala sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya serta pada perairan di atasnya. Demikian pula terhadap semua kegiatan yang ditujukan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis dari zona tersebut (seperti produksi energi dari air, arus, dan angin).
(54)
b) Yurisdiksi, sebagaimana yang ditetapkan konvensi, pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset ilmiah kelautan serta perlindungan lingkungan laut.
c) Hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi.
Zona ekonomi eksklusif bukan laut teritorial dilihat dari ketentuan Pasal 58 yang menyatakan bahwa, di zona ekonomi eksklusif semua negara dapat menikmati kebebasan berlayar dan terbang di atasnya serta kebebasan untuk meletakkan pipa dan kabel bawah laut, dan juga untuk penggunaan sah lainnya yang berkenaan dengan kebebasan tersebut. Sesuai dengan ketentuan ini, aspek-aspek kebebasan di laut lepas berlaku juga di zona ekonomi eksklusif.
5) Landas Kontinen
Yang dimaksud dengan landas kontinen menurut Konvensi ini adalah, daerah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut teritorial yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai ke batas terluar tepian kontinen (continental margin), atau sampai jarak 200 mil laut diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial apabila sisi terluar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut (Pasal 76).
C.Klasifikasi Perbatasan Negara
Dalam perspektif geografi politik, batas wilayah suatu negara (internasional boundary) dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu menurut
(55)
fungsinya (klasifikasi fungsional) dan menurut terjadinya (klasifikasi morfologis). 52
Menurut Harshborne
Klasifikasi fungsional adalah penggolongan perbatasan internasional berdasarkan pada sifat-sifat relasi di antara garis-garis perbatasan dan perkembangan bentang lahan budaya (cultural landscape) dari negara-negara lain.
53
(1) Antesedent Boundaries
, klasifikasi perbatasan internasional secara fungsional dibedakan menjadi empat,yaitu:
Perbatasan ini terbentuk karena negara-negara baru yang saling mendahului untuk saling memasang/menetapakan batas terluarnya. Jadi, terbentuknya perbatasan ini sebelum terjadinya bentang lahan budaya. (2) Subsequent Boundaries
Perbatasan yang terbentuk setelah adanya bentang lahan budaya dan pembuatannya setelah ada perundingan dan persetujuan bersama antara dua negara. Perbatasan ini mengikuti perbedaan etnik kultural khususnya dalam hal bahasa dan agama. Jenis perbatasan seperti ini banyak dijumpai di negara-negara di wilayah Eropa Timur, sedangkan di Asia terdapat di perbatasan antara India dengan Pakistan atau Bangladesh.
(3) Superimposed Boundaries
Superimposed Boundaries merupakan jenis perbatasan yang tidak berhubungan dengan pembagian sosio kultural. Hal ini disebabkan karena
52
Suryo Sakti Hadiwijoyo,Perbatasan Negara dalam dimensi Hukum Internasional.Op.cit.Hal 69
53
(56)
diluar pihak yang berkepentingan mengadakan perundingan atau perjanjian terdapat pengaruh kekuatan-kekuatan dari luar yang berkepentingan, kekuatan-kekuatan ini terutama yang menyangkut kekuatan dan kepentingan politik suatu negara.
(4) Relic Boundaries
Perbatasan ini berupa garis yang telah kehilangan fungsi politisnya terutama di bentang budayanya. Tipe perbatasan seperti ini biasanya terjadi pada suatu negara yang masuk ke dalam wilayah negara lain, baik secara sukarela maupun melalui proses imperialisme. Sebagai contoh, batas antara Jerman Timur dan Jeman Barat.
Selain Penggolongan berdasarkan klasifikasi fungsional, perbatasan antara negara (international boundaries) dapat pula digolongkan berdasarkan pada morfologinya (proses terbentuknya). Berdasarkan proses terbentuknya perbatasan dibedakan menjadi 2 (dua)54
(1) Artificial Boundaries
, yaitu:
Perbatasan yang tanda batasnya merupakan buatan manusia. Pemasangan tanda ini biasanya dilakukan setelah adanya perundingan, persetujuan maupun perjanjian antar negara. Batas buatan manusia ini biasanya dapat berupa patok, tugu, kanal, terusan dan lain-lain.
(2) Natural Boundaries
Perbatasan yang batasnya terbentuk karena proses alamiah. Perbatasan alamiah dapat dibedakan dan dirinci menjadi 5 (lima) tipe,yaitu:
54
(57)
(a) Perbatasan berupa pegunungan
Perbatasan alamiah yang berupa pegunungan dianggap paling menguntungkan dan paling besar manfaatnya,khususnya dalam bidang pertahanan. Perbatasan berupa pegunungan juga bersifat lebih stabil. Contoh negara yang memiliki batas pegunungan seperti India yang memiliki batas wilayah Pegunungan Hilmalaya dengan Tibet.
(b) Perbatasan yang berupa sungai dan laut.
Perbatasan alamiah adapula yang berupa sungai, perairan pedalaman maupun laut. Lautan sebagai salah satu unsur fisik geografis mempunyai peranan besar terhadap budaya maupun struktur politik suatu negara. Pengaruh ini terutama tampak dalam bidang perekonomian maupun keamanan dan pertahanan wilayah. Perbatasan laut antar negara atau perbatasan laut merupakan hal yang strategis, khususnya bagi negara yang memiliki wilayah laut luas dan memiliki banyak gugus pulau atau negara kepulauan.
Selain laut, wilayah antara dua negara atau lebih dapat pula dibatasi oleh sungai, ataupun lembah sungai. Seperti halnya laut, bagi negara yang terdapat di wilayah pedalaman, sungai memegang peranan penting sebagai sarana transportasi yang mendukung dalam pengembangan sektor perekonomian suatu negara. Selain itu ditinjau dari aspek pertahanan, sungai dapat
(1)
Putusan PCA bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu penyelesaian sengketa Bangladesh-India Maritime Boundary melalui PCA dapat dijadikan role model dalam penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan.
B. Saran
Melihat berbagai kondisi yang ada, maka penulis mengajukan beberapa saran,yakni :
a. Dalam menyelesaikan sengketa antar negara khususnya bagi negara dunia ke-3 dan mengenai sengketa laut internasional, dapat memilih Permanent Court of Arbitration. Melihat dari struktur pemilihan hakim, mahkamah arbitrase ini lebih netral dan dalam putusannya lebih dapat memberikan rasa adil , ini dilihat dari perbandingan putusan Bangladesh-India dengan Bangladesh-Myanmar yang diputuskan oleh ITLOS.
b. Sengketa Laut Cina Selatan sebaiknya dilakukan secara bilateral antara tiap-tiap negara yang bersengketa agar dapat memberikan batas delimitasi maritim yang lebih jelas dan tidak terjadi tumpang tindih pada batas wilayah masing-masing negara.
c. Sengketa Laut Cina Selatan diharapkan dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase oleh Permanent Court of Arbitration. Mengingat sebagian besar negara yang terlibat sengketa tersebut adalah negara dunia ke-3 dalam sengketa ini melawan Tiongkok yang merupakan negara adidaya di wilayah Asia , maka Permanent Court of Arbitration lebih dapat memberikan rasa adil pada putusannya. Permanent Court of Arbitration
(2)
dapat menjadi “win-win solution” dalam penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan dimana hal ini dapat menjadikan putusan Permanent Court of Arbitration atas sengketa Teluk Benggala antara Bangladesh –India menjadi “role model” untuk sengketa Laut Cina Selatan.
(3)
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Adolf, Huala. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Jakarta. Rajawali Press. 1991.
Anwar, Chairul. Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut
Internasional Konvensi Hukum Laut 1982. Jakarta. Penerbit Djambatan. 1989. Collier, John & Vaughan Lowe. The Settlement of Disputes in International
Law. Oxford University Press. 1999.
Dimyati, Khudzaifah & Kelik Wriono. Metode Penelitian Hukum. Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2004.
Gardiner, Richard K..International Law. Person Education Limited. England. 2003.
Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary.
Goh, Evelyn. Meeting the China Challenge: The U.S. in Southeast Asian Regional Security Strategies. East-West Center Washington. 2005.
Hadiwijoyo, Suryo Sakti. Batas Wilayah Negara Indonesia
“Dimensi,Permasalahan, dan Strategi Penanganan”(Sebuah Tinjauan Empiris dan Yuridis). Yogyakarta. Gava Media. 2008.
Hadiwijoyo, Suryo Sakti. Perbatasan Negara dalam dimensi Hukum Internasional. Yogyakarta. Graha Ilmu. 2011.
Koers, Albert W. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. 1994.
Malcolm N. Shaw. International Law. United States of America. Cambridge University Press. 2008.
Mauna, Boer. Hukum Internasional Pengertian,Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global edisi ke-2. Bandung. P.T.Alumni. 2005.
Mertokusumo, Soedikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta. Liberty. 1988.
Oberg, Marco Divac. The Legal Effect of Resolution of The UN Security Council and General Assembly in The Jurisprudence of The ICJ. 16 Eur.J.Int’l.L.2006.
(4)
Reus, Christian dan Smit, Politik Hukum Internasional. Bandung. Nusa Media. 2015.
Sefriani. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Bandung. Rajawali Press. 2010.
Sodik, Dikdik Mohamad. Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia. Bandung. Refika Aditama. 2011.
Soematri, Ronitidjo Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta. Ghalia Indonesia, 1990.
Starke, J.G.. Pengantar Hukum Internasional 1 Edisi ke-Sepuluh. Jakarta. Sinar Grafika. 2008.
Starke, J.G.. Pengantar Hukum Internasional 2 Edisi ke-Sepuluh. Jakarta. Sinar Grafika. 2007.
Suwardi, Sri Setianingsih. Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta. Universitas Indonesia. 2006.
B. Peraturan-peraturan Piagam PBB
UNCLOS 1982 C. Putusan
Black Sea,Judgement,I.C.J. Reports.2009.
Dispute Concerning Delimitation of the Maritime Boundary between Bangladesh and Myanmar in the Bay of Bengal (Bangladesh/Myanmar), Judgement of 14 march 2012.
Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine), Judgement of 3 February 2009, I.C.J. Reports.
Mark E.Rosen,JD,LLM (Using International Law to Defuse Current Controversies in the South and East China Seas), CNA analysis solution, Washington.February 2015.
(5)
Robert Beckman (China, UNCLOS and the South China Sea), Asean Society of International Law,China, 27-28 August 2011.
The Arbitral Tribunal in the matter of The Bay of Bengal Maritime Boundary Arbitration between The People’s Republic of Bangladesh and Republic of India, The Hague, 7 July 2014.
D. Majalah
Kolonel Karmin Suharna,SIP.,MA (Konflik dan Solusi Laut China Selatan dan dampaknya bagi Ketahanan Nasional: Majalah Komunikasi dan Informasi edisi 94 tahun , 2012 ).
E. Jurnal
India’s Counter Memorial Vol.1
K. Yhome ( The Bay Of Bengal At The Crossroads Potential For Coorperation Among Bangladesh, India and Myanmar; Friedrich Ebert Stiftung; FES India Press;New Delhi, October.2014).
M.George Cole, Water Boundaries, Manchester University Press.1997.
Matt Kirtland dan Kate Huntler (South Asia Maritime Disputes: Delimiting the maritime boundaries of India and Bangladesh; International arbitration report, Norton Rose Fullbright.2014).
Nilawati ( Peran The International Tribunal For The Law Of The Sea (ITLOS) Dalam Penyelesaian Sengketa Di Teluk Benggala Antara Myanmar Dan Bangladesh : Ejournal Ilmu Hubungan Internasional.2014.
Piyush Singh dan Pranay Kotasthane ( Resolving the Indo-Bangladesh Maritime Dispute : Takshashila Institution: Juni,2014).
Setyasih Harini (Kepentingan Nasional China Dalam Konflik Laut China Selatan: artikel Ilmu Hubungan Internasional Fisip Unsri Surakarta, 2015). Simela Victor Muhammad (Kepentingan China dan Posisi ASEAN dalam
Sengketa Laut China Selatan : Info Singkat Hubungan Internasional Vol. IV No. 08/II/P3DI/April /2012).
(6)
Kartika Sari Sukowati, Sengketa Teluk Benggala Antara Myanmar Dan Bangladesh(The Dispute of The Bay of Bengal Between Myanmar and Bangladesh): Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional.Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.2009.
G. Website
2015).
republika.co.id/berita/internasional/global/14/05/14/n5kc8v-massa-anticina-bakar-15-pabrik-di-vietnam#”. (tanggal akses 23 Januari 2015).
republika.co.id/berita/internasional/global/14/05/21/n5xeeo-pm-vietnam-cina-langgar-hukum-internasional”. (tanggal akses 23 Januari 2015).
2015).
2015).