Peranan Badan Lembaga Permanent Court of Arbitration (PCA) Dalam Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan

(1)

79

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdurrahman A., “Ensiklopedia Ekonomi, keuangan, perdagangan”, Padnya Paramita, Jakarta, 1991

Adolf Huala, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2004

Azed Abdul Bari, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, Tangerang, 2006

Batubara Suleman, Arbitrase Internasional, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2013

Fuady Munir, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000

Gautama Sudargo, Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di Indonesia, Eresco, Jakarta, 1989

Harahap M. Yahya, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991

Harini Setyasih, Kepentingan Nasional China dalam Konflik Laut China Selatan,

Surakarta, 2015

Ichsan Akhmad, Kompendium tentang Arbitrase Perdagangan Internasional (Luar negeri), Pradnya Paramita, Jakarta, 1992

Margono Suyud, S.H, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004

Mauna Boer, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2, PT. Alumni, Bandung, 2005

Sefriani, Hukum Internasional : Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010

Starke J. G., Pengantar Hukum Internasional Jilid II, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 Starke J. G., Pengantar Hukum Jilid I, Sinar Grafika, Jakarta, 2004

Sunggono Bambang, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010

Suwardi Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2006


(2)

Jurnal

Evelyn Goh, Meeting The China Challenge : The U.S in Southeast Asian Regional Security Strategis, East-west Center Washington, 2005

Simela Victor Muhammad (Kepentingan China dan Posisi ASEAN dalam Sengketa Laut China Selatan : Info Singkat Hubungan Internasional Vol IV No.08/II/P3DI/April/2012)

Trisna Widyana, 2011, “Laut Cina Selatan : Wilayah Sengketa, Beragam Nama”. Siska Amelia F Deli, 2014, “Terusan Suez Jalur Pelayaran Tersibuk Di Dunia”.

Rowan, J.P. The U.S.- Japan Security Alliance, ASEAN, and the South China Sea Dispute. Asian Survey, Vol XLV, No. 3, May/June 2005.

Website

www.anneahira.com/laut-cina-selatan.html. (diakses pada tanggal 01 September 2016)

http://id.wikipedia.org/wiki/Laut_Cina_Selatan. (diakses pada tanggal 01 September 2016)

http://militaryanalysisonline.blogspot.com/2013/09/sengketa-kepulauan-spratly-potensi.html. (diakses pada tanggal 01 September 2016)

https://pca-cpa.org/en/services (diakses pada tanggal 15 November 2016)

https://en.wikipedia.org/wiki/permanent_Court_of_Arbitration (diakses pada tanggal 15 November 2016)

https://khafidsociality.blogspot.co.id/2011/03/permanent-court-of-arbitration.html. (diakses pada tanggal 16 November 2016)

http://Dionbarus.wordpress.com/2008/03/03/putusan-komersial-arbitrase-asing-di-Indonesia (diakses pada tanggal 03 Desember 2016)

http://menarailmuku.blogspot.co.id (diakses pada tanggal 04 Desember 2016) http://international-arbitration-attorney.com (diakses pada tanggal 03 Desember

2016)


(3)

81

http://militaryanalysisonline.blogspot.com/2013/09/sengketa-kepulauan-spratly-potensi.html. (diakses pada tanggal 01 Desember 2016)

http://www.eastasiaforum.org/2011/06/29/cina-s-militant-tactics-in-the-south-china-sea/ (diakses pada tanggal 01 Desember 2016)

www.republika.co.id/berita/internasional/global/14/05/14/n5kc8v-massa-anticina-bakar-15-pabrik-di-Vietnam (diakses pada tanggal 03 Desember 2016)

www.republika.co.id/berita/internasional/global/14/05/21/n5xeeo-pm-Vietnam-Cina-langgar-hukum-Internasional (diakses pada tanggal 03 Desember 2016)

http://id.wikipedia.org/wiki/laut-Cina-Selatan (diakses pada tanggal 01 Desember 2016)

http://www.bbc.com/Indonesia/dunia/2016/07/160711_dunia_filipina_cina_mahk amah_preview (diakses pada tanggal 10 Desember 2016)

http://berkas.dpr.go.id (diakses pada tanggal 12 Desember 2016)

http://www.jpf.or.id/artikel/studi-jepang-pertukaran-intelektual/jepang-indonesia-dan-konflik-laut-cina-selatan. (diakses pada tanggal 2 September 2016) http://kbbi.web.id/laut., (diakses pada tanggal 28 Agustus 2016)

www.eia.gov, (diakses pada tanggal 1 September 2016)

KOMPAS edisi, Rabu 22 Juni 2011, Cina Tantang Vietnam Perang. (diakses pada tanggal 2 September 2016)


(4)

BAB III

KEWENANGAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA WILAYAH DALAM HUKUM

INTERNASIONAL

A. Sejarah dan Pengertian Arbitrase Internasional 1) Pengertian Arbitrase

Arbitrase merupakan suatu metode penyelesaian sengketa yang sering juga disebut dengan pengadilan wasit. Sehingga para „arbiter‟ dalam pengadilan

arbitrase berfungsi layaknya seorang „wasit‟. 38

Ada banyak pengertian dan pendapat-pendapat dari suatu arbitrase.

Menurut Yahya Harahap, arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa. Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut :

a. Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian, berupa :

a) Kontraversi pendapat (controversy), b) Kesalahan pengertian (misunderstanding), c) Ketidaksepakatan (disagreement).

b. Pelanggaran perjanjian (breach of conract) termasuk di dalamnya adalah :

a) Sah atau tidaknya kontrak,

38 Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hal 12


(5)

b) Berlaku atau tidaknya kontrak. c. Pengakhiran kontrak

d. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. 39

Dalam Reglement op de burgerlijk rechtsvordering disingkat BRv atau Rv. Istilah Arbitrage (bahasa Belanda) yang mengandung pengertian dalam bahasa Inggris “arbitration”, yang dirumuskan sebagai the submission for determination of disputted matter to privat unofficial persons selected in manner provided bu law or agreement. 40

Menurut A. Abdurrachman, arbitrase adalah memeriksa sesuatu, atau mengambil keputusan mengenai faedahnya. Proses yang oleh suatu perselisihan antara dua pihak yang bertentangan yang diserahkan kepada satu pihak atau lebih yang tidak berkepentingan untuk mengadakan pemeriksaan dan mengambil sesuatu keputusan terakhir. Pihak yang tidak berkepentingan atau arbitrator tersebut dapat dipilih dari pihak-pihak itu sendiri, atau boleh ditunjuk oleh suatu badan yang lebih tinggi yang kekuasaannya diakui oleh pihak-pihak itu. Dalam prosedur arbitration, kedua belah pihak yang bertentangan itu sebelumnya telah menyetujui akan menerima keputusan arbitrator. 41

Menurut Huala Adolf, arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan yang

39

M. Yahya Harahap, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991, Hal 108 40

Akhmad Ichsan, Kompendium tentang Arbitrase Perdagangan Internasional (Luar Negeri), Pradnya Paramita, Jakarta, 1992, Hal 10

41 A. Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, Perdagangan, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, Hal 50


(6)

bersifat final dan mengikat (binding). 42 Menurut Dion Barus, “Arbitration an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended ti avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary

litigation”.43

Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Di dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dijelaskan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidan perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan yang berada di bidang-bidang berikut antara lain :

1) Perniagaan

Perniagaan adalah kegiatan tukar menukar barang dan jasa atau keduanya, 2) Perbankan

Perbankan adalah kegiatan yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk

42 Huala Adolf, Op.Cit, Hal 23

43 http://dionbarus.wordpress.com/2008/03/03/putusan-komersial-arbitrase-asing-di-indonesia (diakses pada tanggal 03 Desember 2016)


(7)

kredit atau bentuk lainnya yang bertujuan meningkatkan taraf hidup rakyat banyak,

3) Keuangan

Keuangan adalah mempelajari bagaimana individu, bisnis, dan organisasi meningkatkan, mengalokasi dan menggunakan sumber daya moneter sejalan dengan waktu dan juga menghitung resiko dalam menjalankan proyek mereka,

4) Penanaman modal

Penanaman modal adalah sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan ekonomi, berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan di masa depan,

5) Industri

Industri adalah kelompok bisnis tertentu yang memiliki teknik dan metode yang sama dalam menghasilkan laba,

6) Hak kekayaan intelektual

Hak kekayaan intelektual adalah hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Pada intinya HaKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur oleh HaKI mencakup hak cipta, hak desain tata letak sirkuit terpadu, hak merek, hak paten, hak


(8)

rahasia dagang, hak desain industri, dan hak perlindungan varietas tanaman. 44

Sudargo Gautama memberikan pengertian arbitrase internasional secara agak luas. Menurutnya suatu arbitrase akan bersifat internasional jika beberapa hal terpenuhi, yaitu :

1) Apabila para pihak yang membuaat klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian itu mempunyai tempat usaha (places of business) mereka di negara-negara yang berbeda.

2) Jika tempat arbitrase yang ditentukan dalam perjanjian arbitrase ini letaknya di luar negara tempat para pihak mempunyai tempat usaha mereka.

3) Apabila suatu tempat dimana bagian terpenting kewajiban atau hubungan dengan para pihak harus dilaksanakan atau tempat dimana objek sengketa paling erat hubungannya (most closely connected), memang letaknya di luar negara tempat usaha para pihak.

4) Apabila para pihak secara tegas telah menyetujui bahwa objek perjanjian mereka ini berhubungan dengan lebih dari satu negara. 45

Arbitrase menurut Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) adalah a procedure for the settlement of disputes between states by a binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily accepted.

44

Abdul Bari Azed, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, Tangerang, 2006, Hal 3

45 Sudargo Gautama, Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di Indonesia, Eresco, Jakarta, 1989, Hal 3-4


(9)

2) Sejarah Arbitrase

Menelusuri dari sejarah, sebenarnya cikal bakal lembaga arbitrase sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, terus berkembang pada zaman Romawi dan Yahudi, seterusnya di negara-negara bisnis di Eropa seperti Inggris dan Belanda. Kemudian menyebar ke Perancis (1250), Scotlandia (1695), Irlandia (1700), Denmark (1795), dan USA (1870). 46

Pada tanggal 24 September 1923 diselenggarakan Protokol Genewa yang bertujuan agar negara-negara bersedia mengakui keabsahan klausula-klausula arbitrase yang dibuat disamping perjanjian utamanya yakni kontrak internasional dan juga untuk memajukan perdagangan internasional. Akan tetapi, di dalam Protokol Genewa 1923 terdapat kelemahan-kelemahan yaitu, tidak mengatur tentang adanya kewajiban mengeksekusi putusan arbitrase yang dibuat di negara lain, meskipun negara yang bersangkutan telah meratifikasi protokol tersebut. Oleh karena itu, pada tahun 1927 diselenggarakan Konvensi Genewa 1927 yang bersifat pelengkap terhadap Protokol Genewa 1923. Konvensi Genewa ini berlaku bagi negara-negara penandatangan atau yang meratifikasi Protokol Genewa 1923, terhadap putusan-putusan yang telah dibuat yang sesuai tidak menyimpang dengan ruang lingkup protokol, dan putusan arbitrase tersebut harus diakui mengikat dan dapat dilaksanakan di semua negara-negara.

Pada tahun 1958, diselenggarakan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award atau yang dikenal dengan nama Konvensi New York 1958. Konvensi ini diselenggarakan karena lemahnya kekuatan

46


(10)

eksekutorial putusan arbitrase asing dalam Protokol dan Konvensu Genewa serta tidak berkembangnya perdagangan internasional akibat perang dunia II. Konvensi New York 1958 adalah perjanjian multilateral yang menetapkan bahwa negara-negara peserta konvensi akan mengakui dan melaksanakan keputusan arbitrase asing sebagai keputusan yang bersifat mengikat dan akan melaksanakan seolah-olah keputusan tersebut merupakan keputusan final dari keputusan pengadilan dalam yurisdiksi mereka. Di dalam konvensi ini terdapat dua hal utama yang diatur, yaitu keabsahan perjanjian arbitrase dan pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase. Kemudian konvensi ini diratifikasi di Indonesia melalui Keppres Nomor 34 Tahun 1981.

Pada tahun 1965 dibentuk ICSID (The International Centre for the Settlement of Investment Disputes), ICSID didirikan oleh World Bank yang merupakan badan arbitrase internasional di bidang penanaman modal asing. Penyelesaian arbitrase melalui ICSID ini bersifat ekslusif sehingga mengesampingkan adanya kewenangan pengadilan dari setiap berbagai sengketa investasi yang diserahkan pada ICSID. Tidak ada upaya hukum sementara menurut ICSID. Keputusan ICSID ini bersifat mengikat dan tidak ada peninjauan kembali oleh pengadilan atas putusan tersebut. Negara dari peserta konvensi harus mengakui dan melaksanakan keputusan ICSID sebagaimana keputusan yang telah final dari negara tersebut. Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968, sehingga dalam menyelesaikan sengketa tentang penanaman modal asing pemerintah Indonesia tunduk pada Konvensu ICSID ini.


(11)

Saat ini, arbitrase sudah sangat berkembang. Banyak berbagai sengketa diselesaikan melalui arbitrase. Di luar negeri maupun pihak-pihak asing sudah banyak yang lebih memilih mengadakan hubungan perjanjian dengan adanya klausul arbitrase. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa alasan-alasan yaitu, pada umumnya pihak-pihak asing kurang mengenal sistem dan cara hukum dari negara-negara lain, kemudian adanya keragu-raguan dari sikap objektifitas pengadilan setempat dalam memeriksa serta memutus perkara yang di dalamnya terdapat unsur asing, pihak asing masih ragu akan kualitas dan kemampuan dari pengadilan negara berkembang untuk memeriksa dan memutus perkara yang berskala perdagangan internasional hingga alih teknologi, timbulnya dugaan dan kesan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur formal bandan peradilan akan memakan waktu yang sangat lama. 47

Indonesia sudah lama mengenal adanya lembaga arbitrase, bahkan di dalam Reglement op de Burgerlijke Rrechtsvordering (BRv), yang berlaku sejak tahun 1849, di dalamnya juga terdapat pasal-pasal mengenai arbitrase. Peraturan ini praktis dan masih berlaku hingga sekarang.

Arbitrase sebagai bentuk perwasitan di bidang proses peradilan di luar peradilan umum merupakan sarana yang sangat membantu dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan atau sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian atau kontrak, khusus dalam hukum privat baik yang bersifat nasional maupun

47


(12)

yang bersifat internasional, seperti dalam pelaksanaan perjanjian komersial dan perjanjian investasi (penanaman modal). 48

Di dalam penelusuran mengenai sejarah hukum tentang arbitrase, ada pula yang memberikan pendapat bahwa arbitrase mendapat akarnya dalam hukum-hukum gereja (ecclesiastical law). Yang jelas, di dalam sejarah hukum-hukum Inggris misalnya, terlihat bahwa arbitrase telah digunakan oleh asosiasi-asosiasi bisnis abad pertengahan di Inggris. Arbitrase juga sudah digunakan di Inggris di dalam melakukan transaksi-transaksi maritim tempo dulu. 49 Undang-Undang yang paling tua di dunia tentang arbitrase adalah Arbitration Act (1967) di Inggris. Undang-Undang tersebut sampai sekarang telah mengalami beberapa amandemen atau perubahan.

Di Inggris, dalam sejarah perkembangan arbitrase banyak sekali mengalami pertentangan-pertentangan, bahkan timbul sikap antipati terhadap lembaga arbitrase. Pada abad ke 18, menjadi suatu kebiasaan bagi hakim-hakim untuk memutuskan bahwa arbitrase clause atau contract bertentangan dengan public policy, karena arbitrase dapat mengakibatkan oust the jurisdiction of the courts.

Di Perancis, arbitrase diatur di dalam Code de Procedure Civile (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata) yang mulai berlaku sejak tahun 1806, yang kemudian sejalan dengan perkembangan zaman lahir Undang-Undang

48 Akhmad Ichsan, Op.Cit, Hal 1 49


(13)

arbitrase pada tahun 1925, yang lebih memberikan tempat kepada sistem peradilan arbitrase ini. 50

Akan tetapi, di dalam praktek dirasakan bahwa kewenangan dan yurisdiksi dari peradilan arbitrase ini masih belum memuaskan. Campur tangan badan peradilan konvensional dianggap masih terlalu kuat terhadap arbitrase. Karena itu, pada tanggal 14 Mei 1980, pemerintah Perancis mengeluarkan Dekrit (Decree) yang memberikan kewenangan dan yurisdiksi yang lebih mandiri terhadap badan arbitrase, dimana badan peradilan pada prinsipnya tidak dapat mencampuri urusan arbitrase. Badan-badan peradilan konvensional bahkan mempunyai kewajiban untuk memperlancar pelaksanaan tugas-tugas arbitrase. Namun, banding terhadap putusan arbitrase ke badan peradilan umum diperkenankan dalam hal-hal tertentu saja.

Sedangkan di Amerika, telah ada terdapat Arbitration Act (1925), yang mana asas-asasnya masih berlaku di dalam Undang-Undang (federal) yang sekarang. Karena hukum di Amerika berasal dari Inggris Raya, maka prinsip-prinsip hukum tentang arbitrase di Amerika juga tidak jauh berbeda dengan yang ada di Inggris, kecuali dalam beberapa hal yang secara detail ada perkembangan yang berbeda dalam praktek perundang-undangan dan praktek yurisprudensi. 51

Sejarah Arbitrase di Belanda mempunyai keterkaitan dengan sejarah arbitrase di Indonesia. Pada mulanya, hukum arbitrase yang diterapkan di negeri Belanda bersumber dari kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang tidak jauh berbeda dengan hukum arbitrase yang ada di Indonesia yang berdasarkan

50 Ibid 51


(14)

pada Rv. Namun di dalam perkembangannya, ternyata hukum arbitrase yang ada di Indonesia berbeda dengan hukum arbitrase yang ada di Belanda. Hal ini disebabkan oleh dua hal pokok yaitu sebagai berikut :

a. Perkembangan praktek arbitrase di negara Belanda yang pesat telah memberi pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan hukum arbitrase yang ada disana, sementara di Indonesia paraktek hukum arbitrasenya relatif tidak berkembang dan penyelesaian sengketa lewat arbitrase itu sendiri tidak populer.

b. Dibentuknya peraturan arbitrase yang baru di negara Belanda yang mula berlaku sejak tanggan 1 Desember 1986. Peraturan ini merupakan buku keempat yang baru dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, mula dari pasal 1020 sampai pasal 1076. Sementara itu, peraturan tentang arbitrase yang lama di Belanda termuat di dalam pasal 620 sampai pasal 657 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdatanya, yang mirip-mirip dengan ketentuan di dalam pasal 605 sampai pasal 651 Rv di Indonesia. 52 Perkembangan arbitrase di kawasan Asia dapat terlihat di dalam perkembangan institusionalisasi lembaga arbitrase ini. Dalam hal ini, Cina, Srilanka, dan Filipina dianggap yang terdepan dalam perkembangannya dari segi institusionalisasi. Sedangkan di Indonesia, BANI atau Badan Arbitrase Nasional Indonesia sudah dibentuk pada tanggal 3 Desember 1977 oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN), tetapi perkembangan arbitrase di Indonesia dianggap masih belum bergerak, sementara itu keberadaan arbitrase khusus yang telah dicoba

52


(15)

untuk dibentuk Indonesia dalam rangka penyelesaian sengketa yang berkenaan dengan bank yang berdasarkan syariat Islam juga belum efektif berjalan.

Intitusi penyelesaian sengketa alternatif di Filipina diarahkan terhadap pengembangan institusionalisasi ke tingkat pedesaan, yang dibentuk dengan Dekrit (Decree) Presiden No. 1508 Tahun 1978. Jalur penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan merupakan suatu hal terpenting. Dalam hal ini, telah dibentuk institusi mediasi penyelesaian sengketa di sekitar 42000an desa di seluruh Filipina. Bahkan begitu pentingnya kedudukan badan-badan mediasi ini sehingga seseorang tidak dapat langsung maju ke pengadila untuk berperkara sebelum menunjukkan adanya sertifikasi dari Sekretaris Panel Mediasi yang menyatakan bahwa proses mediasi sudan dilaksanakan tetapi tidak berhasil. 53

Di Srilanka, melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 1958, pemerintah telah memformulasikan terbentuknya suatu badan konsiliasi. Undang-Undang tersebut diamandemir dengan Undang-Undang No. 72 Tahun 1988 yang memformulasikan terbentuknya Badan Mediasi. Dewasa ini telah ada ratusan panel mediasi di Srilanka dengan seluruh mediator sudah berjumlah ribuan. Kedudukan mediasi di Srilanka sangat penting bahkan wajib diikuti sebelum perkara tersebut dibawa ke pengadilan-pengadilan konvensional.

Begitu pula di Jepang, tradisi menyelesaikan perkara di luar badan peradilan juga sudah sangat membudaya dalam kehidupan hukum kemasyarakatannya. Di Jepang sudah lama dikenal Konsiliasi Tokugawa (Atsukai, Naisai), yang merupakan bentuk konsiliasi tradisionalnya, disamping badan

53


(16)

penyelesaian sengketa dalam arti modern, seperti Konsiliasi informal (Jidan), Konsiliasi (Chotel), dan Kompromi (Wakai).

Di Malaysia, penyelesaian sengketa alternatif juga populer. Khususnya di kalangan pebisnis. Sejak tahun 1978, telah ada the Kuala Lumpur Regional Center For Arbitration (KLRCA), yang melaksanakan tugasnya menyelesaikan sengketa menggunakan metode mediasi dan arbitrase, baik untuk sengketa domestik maupun sengketa internasional. Di negara Malaysia juga terdapat Asia-Afrika Legal Consultative Comitte (AALCC), yang mempunyi pusat arbitrase di Asia. Sedangkan untuk Afrika dipusatkan di Kairo, dengan menggunakan Uncitral Rules yaitu suatu prosedur arbitrase yang telah diterima oleh PBB sejak tahun 1976.

Di Singapura terdapat pusat arbitrase yang mana menangani tentang kasus-kasus yang berbau bisnis. Di samping itu, badan arbitrase internasional yaitu Singapore Internasional Arbitration yang terbentuk pada tahun 1990 juga sangat memegang peranan di kawasan ini dalam menangani sengketa-sengketa bisnis internasional.

Jalur penyelesaian sengketa secara alternatif di luar peradilan sesungguhnya sangat mungkin terjadi di masyarakat Indonesia dan sejak dahulu budaya ini telah ada dalam masyarakat Indonesia. Sengketa-sengketa yang masih kuat memegang nilai kultur adat, jarang sekali dibawa ke pengadilan negara untuk diselesaikan. Mereka lebih suka membawanya ke lembaga yang tersedia pada masyarakat adat untuk diselesaikan secara damai. Dalam masyarakat hukum adat, penyelesaian sengketa biasaya dilakukan dihadapan kepala desa atau hakim adat.


(17)

Alasan kultural bagi eksistensi dan pengembangan ADR (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia tampaknya lebih kuat dibandingkan dengan alasan ketidakefisienan proses peradilan dalam menangani sengketa .

Pada zaman Hindia Belanda, badan peradilan yang ada saat itu adalah : a. Untuk golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan

golongan tersebut adalah Raad van Justitie dan Residentiegerecht sebagai peradilan sehari-hari dengan hukum acara yang digunakan termuat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering disingkat BRv atau Rv. b. Untuk golongan Bumiputera yang terdiri dari bangsa Indonesia asli dan

mereka yang disamakan kedudukannya adalah Landaard sebagai peradilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan distrik, dan lain sebagainya. Dengan hukum acara yang digunakan adalah Herziene Inlandisch Reglement (HIR), sedangkan untuk daerah luar jawa dan Madura adalah Rechtsreglement Buitengewesten (RBg).

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk golongan Bumiputera, baik HIR maupun RBg, tidak mengaturtentang arbitrase. Hanya lewat pasal 377 HIR dan pasal 705 RBg, ketentuan-ketentuan dalam RV berlaku juga untuk golongan Bumiputera. Dengan berdasarkan kepada pasal 377 HIR dan pasal 705 RBg tersebut, apaila seseorang Bumiputera hendak tunduk kepada peraturan orang Eropa, maka ketentuan arbitrase yang terdapat pasal 615 sampai dengan pasal 651 Rv juga diberlakukan bagi orang Indonesia.


(18)

Ketentuan dalam Rv mengenai arbitrase ini meliputi lima bagian yaitu sebagai berikut :

a. Bagian I, Pasal 615 sampai dengan Pasal 623 mengenai Persetujuan Arbitrase dan Pengangkatan Arbiter.

b. Bagian II, Pasal 624 sampai dengan Pasal 630 mengenai Pemeriksaan Perkara di Depan Arbitrase.

c. Bagian III, Pasal 631 sampai dengan Pasal 640 mengenai Putusan Arbitrase.

d. Bagian IV, Pasal 641 sampai dengan Pasal 647 mengenai Upaya-Upaya Hukum terhadap Putusan Arbitrase.

e. Bagian V, Pasal 648 sampai dengan Pasal 651 mengenai Berakhirnya Perkara Arbitrase.

Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan pada pasal II peraturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 ketentuan mengenai arbitrase masih berlaku untuk orang Indonesia. Pada tanggal 3 Desember 1977, atas prakarsa dari Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Bediri sebagai lembaga penyelesaian sengketa bisnis di luar badan peradilan konvensional yang ada di Indonesia dengan anggaran dasar yang baru tahun 1985, yang tugasnya menyelesaikan sengketa ataupun sekedar memberikan pendapat yang mengikat (binding advice) untuk sengketa yang bersifat nasional maupun internasional. Sejak itu, penyelesaian sengketa melalui arbitrase terus berkembang pesat. Dibentuknya Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) sebagai


(19)

arbitrase khusus yang dibentuk dalam rangka penyelesaian sengketa khusus di bidang bisnis yang berdasarkan syariat Islam juga turut menyemarakkan perkembangan arbitrase di Indonesia.

Sejalan dengan berkembangnya arbitrase di dalam praktek peradilan di Indonesia sebagai alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang timbul dari suatu kontrak kebutuhan akan pengaturan mengenai masalah hukum arbitrase ini pun terus mendesak karena dirasa ketentuan yang ada sudah tidak memadai lagi, sehingga pada tanggal 12 Agustus 1999, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Arbitrase ini, maka ketentuan mengenai arbitrase yang sebelumnya telah diatur di dalam Pasal 516 sampai dengan Pasal 651 Rv dan Pasal 377 HIR serta Pasal 705 RBg, dinyatakan tidak berlaku. Hal ini sebagaimana diungkapkan di dalam pasal 81 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

Sejarah perkembangan arbitrase didunia ditandai oleh beberapa hal, yaitu : 1) Ditandatanganinya berbagai perjanjian bilateral

Tahap awal yaitu dengan adanya kebijaan negara-negara yang menandatangani berbagai perjanjian bilateral yang berisi tentang kesepakatan para pihak untuk menyerahkan sengketa kepada badan arbitrase. Hal ini kemudian dimasukkan ke dalam klausula arbitrase. Perjanjian pertama secara formalnya sudah ada untuk petamakalinya tertuang dalam perjanjian Jay Treaty 1794 (AS-Inggris). Membentuksuatu


(20)

komisi bersama yaitu United Comission satu dari AS, dan satu lagi dari Inggris. Kemudian satu anggota sebagai ketua diangkat oleh dua anggota arbitrator yang sebelumnya dipilih oleh para pihak. Kemudian prosedur beracara melalui arbitrase banyak diikuti masyarakat internasional sepanjang abad 19. Puncaknya yaitu Alabama Claims Arbitration, dalam sengketa ini, arbitrator terdiri dari dua orang anggota yang masing-masing dipilih oleh para pihak. Dua anggota yang terpilih ini memilih satu anggota lainnya sebagai ketua. Anggota yang terpilih pada waktu itu adalah Raja Italia, Presiden Konfederasi Swiss, dan Kaisar Brazil. Tata cara dalam proses persidangan arbitrase di dalam kasus ini memperbolehkan pula diterbitkannya putusan arbitrase, pendapat para arbitrator, baik yang disetujui putusan atau pun yang menentangnya. 2) Lahirnya Permanent Court of Arbitration (PCA)

Ditandai dengan diselenggarakannya Konverensi Perdamaian Den Haag I (1899) dan Konverensi Den Haag II (1907), Konverensi Perdamaian ini terselenggara karena antara lain didorong oleh adanya penggunaan arbitrase yang semakin luas pada abad ke-19. Disamping itu, masyarakat internasional juga menunjukkan keinginannya pada waktu itu untuk menjadikan arbitrase sebagai suatu badan yang permanen. Kedua konverensi ini berupaya mengkodifikasi ketentuan-ketentuan hukum internasional yang ada mengenai arbitrase. Salah satu hasil terpenting dari Konverensi Den Haag adalah didirikannya the Permanent Court of


(21)

Arbitration (PCA) yang berkedudukan di gedung Peace Palace, Den Haag Belanda.

Kemudian, lahirnya the Permanent Court of International Justice (PCIJ atau Mahkamah Permanen Internasional) oleh PBB.

B. Prosedur Penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase Internasional Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer dan semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa internasional. Arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa dipandang sebagai cara yang efektif dan adil. Sumbangan badan ini terhadap perkembangan hukum internasional secara umum cukup signifikan. 54

Di dalam pasal 3 UNCITRAL Rules diatur mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengajuan gugatan arbitrase. Disitu diatur mulai dari ketentuan sebutan para pihak yang mengambil inisiatif untuk meminta penyelesaian kepada arbitrase disebut claimant, dan pihak yang diajukan sebagai tergugat atau disebut respondent.

Hal-hal yang penting di dalam arbitrase adalah :

1) Perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, 2) Sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum. 55

Dalam proses arbitrase, ada prosedur-prosedur tertentu yang harus ditempuh. Bila terjadi sengketa antara dua negara dan mereka menghendaki

54 Huala Adolf, Op.Cit, Hal 40 55


(22)

penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase internasional maka mereka harus mengikuti prosedur tertentu. Prosedur tersebut harus ditaati dan dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah hukum internasionalBerikut adalah prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional :

1) Adanya pengajuan permintaan yang diajukan langsung atau melalui suatu komite nasional kepada sekretariat arbitrase. Permintaan itu dapat meliputi nama lengkap, keterangan, alamat para pihak, tuntutan penuntut, persetujuan yang khususnya persetujuan tentang pilihan arbitrase atau dokumen dan informasi lainnya yang dapat menjelaskan sengketa dan hal-hal yang bersifat khusus seperti masalah kebangsaan arbiter ataupun jumlah arbiter. Hal ini diatur di dalam pasal 5 UNCITRAL Rules. Apabila para pihak tidak menentukan jumlah arbiter dalam perjanjian, maka jika dalam waktu 15 hari sesudah tergugat menerima gugatan belum juga dapat disepakati arbiter hanya terdiri atas seorang saja, harus ditunjuk tiga orang arbiter.

2) Melewati kesekretariatan dengan mengirimkan gugatan kepada tergugat untuk mendapatkan jawaban. Setiap surat gugatan arbitrase harus mengikuti ketentuan berikut :

a. Gugatan ditujukan atau diserahkan kepada arbitrase, b. Mencantumkan nama dan tempat kediaman para pihak, c. Menyebut atau mencantumkan klausula arbitrase,

d. Menunjuk perselisihan yang timbul dari perjanjian semula, e. Mencantumkan pokok-pokok gugatan utama gugatan,


(23)

f. Cara penyelesaian yang diminta,

g. Mengenai jumlah arbiter satu atau lebih sekiranya hal itu belum disepakati oleh para pihak dalam perjanjian. 56

3) Adanya jawaban tergugat dalam jangka waktu 30 hari sejak penerimaan dokumen gugatan harus membuat komentar tentang jumlah arbiter, prosedur pemilihan dan penunjukkan. Bersamaan dengan itu juga harus membuat sanggahan dan melengkapinya dengan dokumen-dokumen yang relevan. Dalam batas waktu yang sama juga harus sudah dikirimkan pada sekretariat.

4) Adanya cuonterplain jika tergugat ingin sekalipun mengajukan sanggahan dalam waktu yang sama, tergugat juga harus mengirimkan sanggahan kepada sekretariat.

5) Adanya pemeriksaan perkara oleh hakim arbitrase dan dapat dilakukan dengan segera setelah para pihak memenuhi syarat-syarat dan prosedur pendahuluan.

6) Adanya pemeriksaan akan diakhiri dengan pengambilan keputusan atas persetujuan para pihak. Batas pengambilan keputusan adalah 6 bulan. Keputusan yang telah ditanda tangani hakim akan diberitahukan kepada para pihak oleh sekretariat.

56


(24)

C. Kewenangan Arbitrase Internasional dalam Menyelesaikan Sengketa Wilayah

Sejak tahun 1994, arbitrase telah menjadi cara yang paling populer untuk memecahkan sengketa maritim. Di bawah Annex VII Hukum The Sea Convention, pengadilan ini terdiri dari 5 arbiter. Masing-masing pihak yang bersengketa menunjuk seorang arbiter dan mereka bersama-sama menunjuk tiga lagi sisanya. Di dalam hal ini perlu adanya Presiden ITLOS yang berfungsi sebagai otoritas penunjukkannya. Pengadilan arbitrase memutuskan prosedur sendiri yang menyediakan untuk banyak fleksibilitas.

Negara menggunakan arbitrase lebih dan lebih karena pengadilan yang cepat yang mengeluarkan keputusan dan memberikan banyak kontrol atas prosedur. 57

Mengenai kewenangan dari arbitrase ini. Berkembang dua aliran yaitu sebagai berikut :

1) Klausul arbitrase bukan publik orde

Aliran ini seara tersirat dapat dilihat di dalam putusan NR 8 Januari 1925 yang memuat putusan sebagai berikut :

a) Suatu klausul arbitrase berkaitan dengan niet van openbaar orde (bukan ketertiban umum).

b) Sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase dapat diajukan ke pengadilan perdata.

c) Pengadilan tetap berwenang mengadili sepanjang pihak lawan tidak mengajukan eksepsi akan adanya klausul arbitrase.

57


(25)

d) Dengan tidak adanya eksepsi yang diajukan, pihak lawan dianggap telah melepaskan haknya atas klausul arbitrase yang dimaksud.

e) Eksepsi atau tangkisan klausul arbitrase baru diajukan dalam rekonvensi. Tergugat dianggap telah melepaskan haknya atas klausul arbitrase dan kewenangan mengadili sengketa sudah jatuh dan tunduk pada yurisdiksi pengadilan.

Dengan demikian, aliran ini berpendapat bahwa arbitrase tidak bersifat absolut. Klausul tersebut harus dipertahankan para pihak sehingga akan tetap mengikat. Apabila sengketa yang timbul dari perjanjian yang mengandung klausul arbitrase diajukan salah satu pihak ke pengadilan, pengadilan berwenang mengadili. Kewenangan baru gugur apabila pihak tergugat mengajukan eksepsi akan adanya klausul arbitrase. 58

2) Klausul arbitrase pacta sunt servanda

Aliran ini bertitik tolak dari doktrin hukum yang mengajarkan bahwa semua persetujuan yang sah akan mengikat dan menjadi Undang-Undang bagi para pihak. Oleh karena itu, setiap persetujuan hanya dapat gugur (ditarik kembali) atas kesepakatan bersama para pihak.

Asas pacta sunt servanda secara positif telah dituangkan di dalam pasal 1338 KUH Perdata yang berintikan :

a. Setiap perjanjian mengikat kepada para pihak;

b. Kekuatan mengikatnya serupa dengan kekuatan Undang-Undang;

58 Suyud Margono, SH, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, Hal 126


(26)

c. Hanya dapat ditarik kembali atas persetujuan bersama para pihak.

Bertitik tolak dari prinsip pacta sunt servanda,aliran ini berpendapat bahwa setiap perjanjian yang memuat klausul arbitrase :

a. Mengikat secara mutlak kepada para pihak; dan

b. Kewenangan memeriksa dan memutus sengketa yang timbul menjadi kewenangan absolut. 59

59


(27)

BAB IV

PERANAN BADAN LEMBAGA PERMANENT COURT OF ARBITRATION DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LAUT CINA SELATAN

A. Latar Belakang Sengketa Laut Cina Selatan

Sebuah kawasan atau negara belahan bumi ini akan menjadi primadona bagi kawasan atau negara lain apabila kawasan atau negara tersebut mempunyai aspek strategis yang bisa mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung terhadap kepentingan kawasan dan negara tertentu. Demikian halnya dengan kasus Laut Cina Selatan, ada beberapa aspek yang membuat Laut Cina Selatan menjadi penting bagi negara manapun.

Secara geografis, Laut Cina Selatan dikelilingi sepuluh negara pantai yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, dan Filipina. Luas perairan Laut Cina Selatan mencakup Teluk Siam yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia serta Teluk Tonkin yang dibatasi Vietnam dan RRC. Kawasan Laut Cina Selatan merupakasan kawasan bernili ekonomis, politis dan strategis yang sangat penting, kondisi geografis posisinya yang strategis sebagai jalur pelayaran perdagangan (SLOT) dan jalur komunikasi internasional (SLOC) yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Hal ini telah merubah jalur Laut Cina Selatan menjadi rute tersibuk di dunia, karena lebih dari setengaj perdagangan dunia berlayar melewati Laut Cina Selatan setiap tahun. Tentang data perdagangan 3 negara raksasa ekonomi


(28)

yaitu India, Amerika Serikat dan Jepang, diperkirakan lebih dari setengah jumlah kapal-kapal super tanker dunia melewati jalur laut ini. 60

Sebuah kawasan Penemuan gas dan minyak bumi pertama kali di pulau Spartly adalah pada tahun 1968. Menurut data dari The Geology and Mineral

Resource Ministry of the People’s Republic of China (RRC) memperkirakan bahwa kandungan minyak yang terdapat di kepulauan Spartly adalah sekitar 17,7 milyar ton (1,60 x 1010kg). Fakta tersebut menempatkan kepulauan Spartly sebagai tempat cadangan minyak terbesar keempat di dunia. 61

Sumber daya hidrokarbon juga menjadi daya tarik tersendiri. Menurut estimasi Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) 60-70% hidrokarbon di kawasan ini merupakan gas alam. Sementara itu, penggunaan sumber daya gas alam diproyeksikan bertambah sebanyak 5% pertahun untuk dua dekade yang akan datang. Jumlahnya diperkirakan sebanyak 20 triliun cubic feet (TCF) per tahun, lebih cepat dari bahan bakar lainnya. 62

Laut Cina Selatan juga dikenal sebagai jalur pelayaran yang penting. Jalur pelayaran ini seringkali disebut maritime superhighway karena merupakan salah satu jalur pelayaran internasional paling sibuk didunia. Lebih dari setengah lalulintas supertanker dunia berlayar melalui jalur ini lewat Selat Malaka, Sunda, dan Lombok. Jumlah supertanker yang berlayar melewati jalur Selat Malaka dan bagian barat daya Laut Cina Selatan bahkan lebih dari tiga

60 http://jejaktamboen.blogspot.co.id (diakses tanggal 01 Desember 2016) 61

http://militaryanalysisonline.blogspot.com/2013/09/sengketa-kepulauan-spratly-potensi.html (diakses tanggal 01 Desember 2016)

62 Simela Victor Muhammad (Kepentingan China dan Posisi ASEAN dalam Sengketa Laut Cina Selatan : Info Singkat Hubungan Internasional Vol. IV No. 08/II/P3DI/April/2012) Hal. 6


(29)

kali yang melewati Terusan Suez dan bahkan lebih dari lima kali lipatnya Terusan Panama. 63

Selama dua puluh tahun kedepan konsumsi minyak bumi di negara-negara Asia akan naik 4% rata-rata per tahun. Apabila laju pertumbuhan tetap konsisten, permintaan minyak bumi akan naik menjadi 25 juta barel per hari. Mau tidak mau untuk mengatasi permintaan Asia dan Jepang harus dilakukan impor minyak dari Timur Tengah. Kapal-kapal tanker pengangkut minyak dari Timur Tengah ke negara-negara Asia tersebut setelah melewati Selat Malaka harus melewati Laut Cina Selatan. Pelayaran komersial di Laut Cina Selatan didominasi oleh bahan mentah yang menuju negara-negara Asia Timur, yang melewati Selat Malaka dan Kepulauan Spartly sebagian besar adalah kargo cair seperti minyak atau gas alam cair (LNG), sementara kargo kering kebanyakan batu bara dan biji besi. Pengangkatan LNG melalui Laut Cina Selatan mewakili dua per tiga dari perdagangan LNG seluruh dunia menuju Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. 64

Sengketa teritorial di Laut Cina Selatan (South China Sea atau SCS) ini diawali oleh klaim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atas Kepulauan Spratly atau Paracel pada tahun 1974 dan 1992. 65 Hal ini dipicu pertama kali oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) karena mengeluarkan peta yang memasukkan Kepulauan Spratly, Paracels, dan Pratas. Pada tahun yang sama Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mempertahankan keberadaan militer di

63 Ibid 64 Ibid

65 Evelyn Goh, Meeting The China Challenge : The U.S. in Southeast Asian Regional Security Strategies, East-West Center Washington, 2005, Hal. 31.


(30)

kepulauan tersebut. 66 Tentu saja klaim tersebut segara mendapat respon dari negara-negara yang perbatasannya bersinggungan di Laut Cina Selatan, utamanya negara-negara anggota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Adapun negara-negara tersebut antara lain, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, dan Malaysia. 67

Di Laut Cina Selatan terdapat empat kepulauan dan karang yaitu, Paracel, Spartly, Pratas dan Kepulauan Maccalesfield. Meskipun sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tidak terbatas pada dua gugusan Kepulauan Spartly dan Paracel, (perselisihan mengenai Pulau Phu Quac di Teluk Thailand antara Kamboja dan Vietnam), namun klaim multilateral Spartly dan Paracel lebih menonjol karena intensitas konfliknya. Sejak klaim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atas kepulauan di Laut Cina Selatan pada tahun 1974, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menganggap wilayah Laut Cina Selatan sebagai wilayah kedaulatan lautnya. Pada tahun 1974, ketika Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menginvasi Kepulauan Paracel ini juga diklaim oleh Vietnam. Pada tahun 1979, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Vietnam berperang sengit dipebatasan dan angkatan laut kedua negara bentrok ditahun 1988, kedua angkatan laut bentrok di Jhonson Reef di Kepulauan Spartly yang mana menelan korban dengan tenggelamnya beberapa kapal Vietnam dan 70 orang anggota prajurit Vietnam gugur. 68 Pada tahun 1992, 1995, dan 1997,

66

Ibid

67 http://www.eastasiaforum.org/2011/06/29/Cina-s-militant-tactics-in-the-south-china-sea/ (diakses tanggal 01 Desember 2016)

68


(31)

bersamaan dengan Filipina, Vietnam menganggap Kepulauan Spratly dan Paracel merupakan wilayah kedaulatannya. 69

Pada tahun 1996, terjadi kontak senjata antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan Filipina. Pada tahun 1998, Filipina menembaki kapal nelayan Vietnam. Tahun 2000, tentara Filipina menembaki nelayan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Pada tahun 2001, tentara Vietnam menembakkan tembakan peringatan kepada pesawat Filipina yang mengelilingi Kepulauan Spartly. Konflik Laut Cina Selatan antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan Vietnam ini kemudian menibulkan gerakan massa Anti-Republik Rakyat Tiongkok di Vietnam pada tanggal 14 Mei 2014, yang melakukan demonstrasi menyusul ketegangan antar dua negara, yang pada awalnya berlangsung dengan tenang namun berujung dengan kerusuhan terhadap beberapa perusahasan asing dinegara tersebut serta massa membakar dan menghancurkan 15 pabrik yang kebanyakan dimiliki oleh perusahaan asal Republik Rakyat Tiongkok. 70

Pada tanggal 24 Mei 2014, Perdana Menteri Vietnam Nguyen Tan Dung membeberkan suatu langkah ilegal yang dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yaitu menempatkan anjungan minyak Haiyang 981 di Laut Cina Selatan dan pengerahan kapal-kapal patroli untuk perlindungan anjungan ,

69 Ibid

70 Republika.co.id/berita/internasional/global/14/05/14/n5kc8v-massa-anticina-bakar-15-pabrik-di-vietnam# (diakses tanggal 03 desember 2016)


(32)

yang mana ini menurut beliau sangat serius mengancam perdamaian, stabilitas, keamanan laut dan keselamatan serta kebebasan. 71

Latar belakang sejarah dan peninggalan-peninggalan zaman kuno seringkali sebagai alasan bagi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk mempertahankan kalimnya atas kepemilikan Laut Cina Selatan. Hal ini yang kemudian ditindaklanjuti dengan show of force, yang cenderung menunjukkan kekuatannya melalui aksi provokatif terhadap negara-negara pengklaim lainnya. Seperti terlihat didalam kebijakannya sejak tahun 1974 hingga sekarang Republik Rakyat Tiongkok (RRT) secara intensif telah menunujukkan simbol-simbil kedaulatannya bahkan tidak jarang dengan agresif melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal asing yang melintasi perairan Laut Cina Selatan guna mempertahankan sumber-sumber potensi barunya yang dapat mendukung kepentingan nasionalnya. 72

Keteguhan sikap Repblik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam mempertahankan klaimnya atas Laut Cina Selatan juga berkaitan dengan niatnya untuk memperoleh status sebagai kekuatan maritim yang handal bukan hanya di tingkat regional (Asia Timur dan Asia Tenggara) tapi juga Internasional. Sebagai salah satu program moderenisasi, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berusaha mengembangkan kekampuan Angkatan Laut guna meningkatkan statusnya dari “kekuatan pantai” menjadi kekuatan laut biru (blue water navy), suatu kekuatan yang memiliki proyeksi jauh ke wilayah

71

Republika.co.id/berita/internasional/global/14/05/21/n5xeeo-pm-vietnam-cina-langgar-hukum-internasional (diakses pada tanggal 03 Desember 2016)

72 Setyasih Harini, Kepentingan Nasional China dalam Konflik Laut China Selatan, Surakarta, 2015, Hal. 4


(33)

samudera luas. Artinya, kekuatan laut biru dapat dijadikan sebagai penyeimbang kekuatan ekonomi yang semakin dipertimbangkan di area internasional. 73

Setidaknya ada dua hal yang menjadi alasan mengapa kawasan ini menjadi sengketa banyak negara-negara. Yang pertama, wilayah kawasan Laut Cina Selatan punya potensi ekonomi terutama kandungan minyak dan strategi militer terletak di pilihan laut internasional. Dengan arti strategis dan ekonomis yang demikian, maka kawasan ini berpotensi mengundang konflik-konflik. Sebuah perairan dan kawasan yang mengandung minyak dan gas alam yang tinggi memiliki peranan yang penting sebagai suatu jalur dan distribusi bagi perdagangan minyak dunia, membuat Laut Cina Selatan menjadi objek perdebatan dan konflik dalam konteks regional dan internasional.

Yang kedua, negara-negara yang bersengketa sangat membutuhkan minyak untuk kelangsungan industri maupun kelangsungan ekonomi nasionalnya, sehingga banyak negara-negara yang terlibat didalam sengketa ini, maka dari itu perlu dilakukan adanya penyelesaian sengketa internasional yang berdasarkan pada suatu resolusi internasional yakni, Resolution of Bangladesh-India Maritime Boundary yakni suatu putusan oleh ITLOS (Internasional Tribunal of the Law of the Sea) yang mana memiliki latar belakang konflik yang identik dengan konflik Laut Cina Selatan, yang telah diputus pada 7 Juli 2014 dan telah diakui keberadaannya.

73


(34)

B. Peranan Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Internasional

Dalam kehidupan masyarakat internasional ditandai dengan adanya dua faktor, yaitu adanya kerjasama dalam hidup berdampingan secara damai dan adanya sengketa antar masyarakat internasional. Sengketa antar anggota masyarakat internasional beraneka ragam sebabnya. Ada yang disebabkan karena alasan politik, strategi militer, ekonomi ataupun ideologi atau perpaduan antara kepentingan-kepentingan tersebut. Persengketaan antar bangsa sering bersifat terbuka paling dahsyat perwujudannya adalah berupa perang dan tidak sedikit menelan korban. Perkembangan teknologi dalam bidang persenjataan yang dapat dipergunakan untuk perang sering menghantui masyarakat internasional akan timbulnya Perang Dunia yang pasti akan lebih dahsyar dibandingkan dengan Perang Dunia I dan II. Oleh karena itu, masyarakat internasional selalu berusaha agar sengketa antara mereka dapat diselesakan dengan tanpa menimbulkan perang diantara mereka.

Suatu prinsip yang dikenal oleh masyarakat internasional dalam penyelesaian sengketa adalah prinsip penyelesaian secara damai, hal ini dituangkan dalam Pasal 1 Konvensi Den Haag Tahun 1907. Pasal 1 Konvensi Den Haag 1907 ini kemudian diambil alih oleh Piagam PBB, yaitu Pasal 2 Ayat 3 Piagam PBB yang berbunyi : “All members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and

security, and justice, are not endangered”.74

74 Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2006, Hal 2.


(35)

Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antar negara tidak selamanya terjalin dengan baik. Seringkali hubungan itu menimbulkan sengketa diantara mereka. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa. Sumber potensi sengketa antar negara dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lain-lain. Manakala hal demikian itu terjadi, hukum internasional memainkan peranan, yang tidak kecil dalam penyelesaiannya.

Penerapan sistem hukum yang berdasarkan pada suatu konvensi, traktat, atau perjanjian internasional yang telah diakui keberadaannya perlu dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, UNCLOS III 1982 dapat menjadi salah satu alternatif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa. Tidak hanya sengketa bilateral dan atau regional saja, tetapi juga dapat menyelesaikan sengketa multilateral.

Upaya-upaya penyelesaian terhadapnya telah menjadi perhatian yang cukup penting di masyarakat internasional sejak awal abad ke-20. Upaya-upaya ini ditujukan untuk menciptakan hubungan-hubungan antara negara yang lebih baik berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional. 75

Dewasa ini, ada beberapa peran dari hukum internasional yang dapat dimainkan dalam menyelesaikan sengketa, yaitu :

1) Pada prinsipnya hukum internasional berupaya agar hubungan-hubungan antar negara terjalin dengan persahabatan (friendly relations among states) dan tidak mengharapkan adanya persengketaan;

75


(36)

2) Hukum internasional memberikan aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya;

3) Hukum internasional memberikan pilihan-pilihan yang bebas kepada para pihak tentang cara-cara, prosedur atau upaya yang seyogyanya ditempuh untuk menyelesaikan sengketanya;

4) Hukum internasional modern semata-mata hanya menganjurkan cara penyelesaian secara damai, apakah sengketa itu sifatnya antar negara atau antar negara dengan subyek hukum internasional lainnya. Hukum internasional tidak menganjurkan sama sekali cara kekerasan atau peperangan.

Hadirnya lembaga-lembaga atau mekanisme penyelesaian sengketa yang diciptakan oleh masyarakat internasional pada umumnya ditujukan untuk suatu maksud utama, yakni memberi cara mengenai bagaimana seyogyanya sengketa internasional diselesaikan secara damai. Peran hukum dalam penyelesaian sengketa ini cukup penting. Hukum tidak semata-mata mewajibkan penyelesaian secara damai, hukum ternyata pula memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada negara-negara untuk menerapkan atau memanfaatkan mekanisme penyelesaian sengketa yang ada baik yang terdapat di dalam Piagam PBB, perjanjian atau konvensi internasional yang negara-negara yang bersengketa telah mengikatkan dirinya. Semua ini menunjukkan dan memperkuat tujuan akhir dari hukum mengenai penyelesaian sengketa ini yaitu penyelesaian secara damai dan tidak menghendaki penyelesaian sengketa secara kekerasan/militer. 76

76


(37)

Peranan hukum yang dimainkan dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional, yaitu dengan dua cara antara lain cara penyelesaian sengketa secara damai dan penyelesaian sengketa secara perang (militer). 77

Hukum internasional pada umumnya membedakan sengketa internasional menjadi dua jenis, yaitu sengketa politik dan sengketa hukum. Sengketa politik adalah sengketa dimana suatu negara mendasarkan tuntutannya atas pertimbangan non yuridis misalnya atas dasar politik atau kepentingan nasional lainnya. Sedangkan sengketa hukum adalah sengketa dimana suatu negara mendasarkan tuntutannya atas ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian internasional atau ketentuan-ketentuan yang telah diakui oleh hukum internasional. 78

C. Peranan Badan Lembaga Permanent Court of Arbitration dalam Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan

Permanent Court of Arbitration (PCA) atau Mahkamah Arbitrasi Antarbangsa adalah organisasi internasional yang terletak di The Haque, Belanda. PCA ini bukan peradilan pada umumnya, melainkan sebuah pelayanan jasa dengan jasa sidang arbitrasi untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa antar anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan atau negara yang menjadi sumber dalam ratifikasi Mahkamah Arbitrasi ini.

77 Huala Adolf, Op.Cit, Hal 1 78


(38)

Dasar hukum dari Permanent Court of Arbitration ini adalah Convention for the Pasific Settlement of International Disputes tanggal 29 Juli 1899 dan adalah Convention for the Pasific Settlement of International Disputes tanggal 18 Oktober 1907.

Fungsi dari Permanent Court of Arbitration ini adalah sebagai media pelayanan arbitrasi internasional, adapun layanan dari Permanent Court of Arbitration ini meliputi 5 hal, yaitu :

1) Jasa Arbitrasi, 2) Penunjukan Otoritas, 3) Mediasi/Konsiliasi, 4) Pencarian Fakta, 5) Pengadilan Tamu. 79

Struktur dari organisasi Permanent Court of Arbitration (PCA) terdiri dari biro-biro internasional dan administrative council. Biro-biro internasional ini terdiri dari sekjen dan staffnya yang pada praktiknya harus berkewarganegaraan Belanda. Sekjen dipilih administrative council. Administrative council ini berisi perwakilan diplomatik dari negara-negara yang menandatangani kedua konvensi diatas dengan menteri luar negeri Belanda sebagai presiden administrative council. Tugas dari administrative council adalah memberi arahan dan pengawasan terhadap biro internasional dan juga memperbaiki kualitas kerjasama

79


(39)

biro internasional dan setiap tahun mengirimkan laporan kerjanya kepada negara-negara anggota Permanent Court of Arbitration ini. 80

Permanent Court of Arbitration (PCA) memiliki panel arbitrator yang disebut dengan Member of the Court. Badan ini terdiri dari 260 arbitrator. Mereka adalah para ahli hukum terkemuka yang berasal dari negara-negara anggota PCA.

Prosedur-prosedur pengangan perkara di Permanent Court of Arbitration (PCA) dilakukan melalui cara berikut ini :

1) Pengajuan gugatan secara tertulis

2) Pada tahap dengar pendapat, hakim pengadilan PCA dapat menyatakan sidang terbuka untuk umum tergantung kesepakatan para pihak yang bersengketa. Pada tahap ini, hakim pengadilan PCA dapat menunda sidang jika para pihak tidak hadir dimuka pengadilan ataupun tidak menunjuk perwakilannya.

3) Pelaksanaan putusan dari PCA terhadap sengketa yang diperiksa harus segera dilaksanakan (bersifat mengikat) dengan menghormati hukum nasional negara anggota yang bersengketa tersebut.

Permanent Court of Arbitrasion (PCA) ini memiliki kewenangan dalam penyelesaian sengketa Internasional. Adapun kewenangan-kewenangannya nya adalah :

80


(40)

1) Memeriksa perkara penerapan putusan (award) antar negara yang menandatangani kedua konvensi diatas, jika permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan melalui jalur diplomasi.

2) Menyelesaikan sengketa antar negara yang bermasalah di dalam sengketa antar negara anggota PCA. Atau sengketa antar negara anggota PCA dengan a non anggota PCA. Kasus yang pertama kali yang ditangani oleh PCA adalah The Pious Fund Arbitration tahun 1907.

Dalam sengketa Laut Cina Selatan, Permanent Court of Arbitration (PCA) memiliki peran-peran penting untuk menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan ini. Putusan yang dihasilkan oleh lima hakim dalam lembaga PCA ini menentukan status sejumlah wilayah di Laut Cina Selatan yang menjadi sengketa antara Cina dan sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Filipina. 81

Putusan Mahkamah Arbitrase atau Permanent Court of Arbitration (PCA) ini dapat secara langsung atau tidak langsung digunakan sebagai panduan dalam proses penetapan standar atau standard setting. 82

Hasil yang diputuskan oleh Mahkamah Arbitrase atau lembaga PCA ini bersifat mengikat, namun Mahkamah Arbitrase atau PCA ini tidak memiliki kekuatan untuk melakukan pemaksaan. 83 Sehingga apabila hasil putusan ini tidak diterima oleh salah satu pihak ataupun menimbulkan kekacauan maka Mahkamah Arbitrase atau lembaga PCA ini mengembalikan sengketa ini kepada pengadilan.

81

http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/07/160711_dunia_filipina_cina_mahkamah_preview (diakses pada tanggal 10 Desember 2016)

82 http://berkas.dpr.go.id (diakses pada tanggal 12 Desember 2016) 83


(41)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah melakukan pembahasan pada bab-bab terdahulu, dalam bab V penulis menyimpulkan hasil pembahasan, maka kesimpulan dari permasalahan adalah

1. Latar belakang terjadinya sengketa Laut Cina Selatan adalah dikarenakan kawasan Laut Cina Selatan merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis dan strategis yang sangat penting. Kondisi geografis posisinya yang strategis sebagai jalur pelayaran perdagangan (SLOT) dan jalur komunikasi internasional (SLOC) yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera


(42)

Pasifik. Situasi ini merubah jalur Laut Cina Selatan menjadi rute tersibuk di dunia, karena lebih dari setengah perdagangan dunia berlayar melewati Laut Cina Selatan setiap tahunnya. Laut Cina Selatan juga dikenal sebagai jalur pelayaran yang penting. Jalur pelayaran ini seringkali disebut maritime superhighway karena merupakan salah satu jalur pelayaran internasional paling sibuk didunia. Lebih dari setengah lalulintas supertanker dunia berlayar melalui jalur ini lewat Selat Malaka, Sunda, dan Lombok. Jumlah supertanker yang berlayar melewati jalur Selat Malaka dan bagian barat daya Laut Cina Selatan bahkan lebih dari tiga kali yang melewati Terusan Suez dan bahkan lebih dari lima kali lipatnya Terusan Panama. Sumber daya hidrokarbon juga menjadi daya tarik tersendiri. Menurut estimasi Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) 60-70% hidrokarbon di kawasan ini merupakan gas alam. Sementara itu, penggunaan sumber daya gas alam diproyeksikan bertambah sebanyak 5% pertahun untuk dua dekade yang akan datang. Jumlahnya diperkirakan sebanyak 20 triliun cubic feet (TCF) per tahun, lebih cepat dari bahan bakar lainnya. Hal inilah yang menyebabkan Kawasan Laut Cina Selatan ini menjadi kawasan primadona yang dianggap sangat berpengaruh dan penting sehingga banyak negara-negara yang memperebutkan kawasan ini dan mengklaim kawasan Laut Cina Selatan ini sebagai wilayah milik negara mereka.

2. Dewasa ini, ada beberapa peran dari hukum internasional yang dapat dimainkan dalam menyelesaikan sengketa, yaitu :


(43)

a. Pada prinsipnya hukum internasional berupaya agar hubungan-hubungan antar negara terjalin dengan persahabatan (friendly relations among states) dan tidak mengharapkan adanya persengketaan;

b. Hukum internasional memberikan aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya;

c. Hukum internasional memberikan pilihan-pilihan yang bebas kepada para pihak tentang cara-cara, prosedur atau upaya yang seyogyanya ditempuh untuk menyelesaikan sengketanya;

d. Hukum internasional modern semata-mata hanya menganjurkan cara penyelesaian secara damai, apakah sengketa itu sifatnya antar negara atau antar negara dengan subyek hukum internasional lainnya. Hukum internasional tidak menganjurkan sama sekali cara kekerasan atau peperangan.

Peranan hukum yang dimainkan dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional, yaitu dengan dua cara antara lain cara penyelesaian sengketa secara damai dan penyelesaian sengketa secara perang (militer).

3. Dalam sengketa Laut Cina Selatan, Permanent Court of Arbitration (PCA) memiliki peran-peran penting untuk menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan ini. Putusan yang dihasilkan oleh lima hakim dalam lembaga PCA ini menentukan status sejumlah wilayah di Laut Cina Selatan yang


(44)

menjadi sengketa antara Cina dan sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Filipina.

Putusan Mahkamah Arbitrase atau Permanent Court of Arbitration (PCA) ini dapat secara langsung atau tidak langsung digunakan sebagai panduan dalam proses penetapan standar atau standard setting.

Hasil yang diputuskan oleh Mahkamah Arbitrase atau lembaga PCA ini bersifat mengikat, namun Mahkamah Arbitrase atau PCA ini tidak memiliki kekuatan untuk melakukan pemaksaan. Sehingga apabila hasil putusan ini tidak diterima oleh salah satu pihak ataupun menimbulkan kekacauan maka Mahkamah Arbitrase atau lembaga PCA ini mengembalikan sengketa ini kepada pengadilan.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan maka, saran yang dapat diberikan antara lain: 1. Perebutan hak milik akan kawasan Laut Cina Selatan ini merusak hubungan

antar negara khususnya Filipina dan Cina. Maka dalam sengketa lebih luas mengenai Laut Cina Selatan ini, bagi Indonesia baiknya tetap mempertahankan posisinya sebagai negara yang tidak memiliki klaim terhadap teritori Laut Cina Selatan, serta mendorong semua pihak untuk mencapai resolusi secara damai tanpa meningkatkan tensi regional.

2. Keberadaan hukum sangat dirasakan demi tercapainya ketertiban dunia, terutama dalam masalah penyelesaian sengketa-sengketa. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa hukum, terutama hukum internasional sudah mulai melemah


(45)

seiring berkembangnya kekuatan yang terpusat pada beberapa negara tertentu. Maka dari itu diharapkan kepada masyarakat internasional untuk kritis terhadap isu-isu, baik yang terjadi secara nasional maupun internasional agar dapat kedepannya pengimplementasian hukum dapat berjalan dengan baik demi tercapainya perdamaian dunia.

3. Peran Mahkamah Arbitrase atau lembaga PCA ini bersifat mengikat namun tidak memiliki kekuatan untuk memaksa, maka dari itu diharapka agar Mahkamah Arbitrase atau lembaga Permanent Court of Arbitration (PCA) ini mendirikan sendiri badan peradilannya, guna untuk mengadili dan memberikan sanksi-sanksi kepada negara-negara ataupun pihak-pihak yang bersengketa yang menimbulkan permasalahan dan ketegangan setelah putusan dari Mahkamah Arbitrase ini keluar agar Mahkamah Arbitrase atau lembaga Permanent Court of Arbitration ini tidak perlu lagi melimpahkan kasus persengketaan yang telah diputuskannya kepada badan peradian internasional.


(46)

14 BAB II

KEDUDUKAN LEMBAGA PERMANENT COURT OF ARBITRATION DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

D. Pengertian Sengketa Internasional

Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas yang bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua. Apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, jika reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda, terjadi apa yang dinamakan dengan sengketa.

Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda.

Mahkamah Internasional Permanen dalam sengketa Mavrommatis Palestine Concessions (Preliminary Objection) (1924) mendefinisikan pengertian sengketa sebagai : disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views or interest between two person.


(47)

15

Mahkamah Internasional mengungkapkan pendapat hukumnya (advisory opinion) dalam kasus Interpretation of Peace Treaties (1950, ICJ Rep.65) bahwa untuk menyatakan ada tidakny suatu sengketa internasional harus ditentukan secara objektif.

Menurut Mahkamah, sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua Negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian.

Sengketa Internasional (Internasional Dispute) terjadi apabila perselisihan tersebut melibatkan pemerintah, lembaga juristic person (badan hukum) atau individu dalam bagian dunia yang berlainan terjadi karena :

1. Kesalahpahaman tentang suatu hal;

2. Salah satu pihak sengaja melanggar hak / kepentingan negara lain; 3. Dua negara berselisih pendirian tentang suatu hal;

4. Pelanggaran hukum / perjanjian Internasional. 18

Dalam Case Concerning East Timor (Portugal vs. Australia), Mahkamah Internasional (ICJ) menetapkan 4 kriteria sengketa yaitu:

o Didasarkan pada kriteria-kriteria objektif. Maksudnya adalah dengan melihat fakta-fakta yang ada. Contoh: Kasus penyerbuan Amerika Serikat dan Inggris ke Irak

18


(48)

o Tidak didasarkan pada argumentasi salah satu pihak. Contoh: USA vs. Iran 1979 (Iran case). Dalam kasus ini Mahkamah Internasional dalam mengambil putusan tidak hanya berdasarkan argumentasi dari Amerika Serikat, tetapi juga Iran. o Penyangkalan mengenai suatu peristiwa atau fakta oleh salah satu pihak tentang

adanya sengketa tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa tidak ada sengketa. Contoh: Case Concerning the Nothern Cameroons 1967 (Cameroons vs. United Kingdom). Dalam kasus ini Inggris menyatakan bahwa tidak ada sengketa antara Inggris dan Kamerun, bahkan Inggris mengatakan bahwa sengketa tersebut terjadi antara Kamerun dan PBB. Dari kasus antara Inggris dan Kamerun ini dapat disimpulkan bahwa bukan para pihak yang bersengketa yang memutuskan ada tidaknya sengketa, tetapi harus diselesaikan/diputuskan oleh pihak ketiga.

o Adanya sikap yang saling bertentangan/berlawanan dari kedua belah pihak yang bersengketa. Contoh: Case Concerning the Applicability of the Obligation to Arbitrate under section 21 of the United Nations Headquarters agreement of 26 June 1947.

Dalam studi hukum Internasional publik, dikenal 2 (dua) macam sengketa Internasional. Adapun keduanya antara lain :

1) Sengketa hukum

Sengketa hukum yaitu sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum internasional. Keputusan yang diambil dalam penyelesaian sengketa secara hukum punya sifat yang


(49)

17

memaksa kedaulatan negara yang bersengketa. Hal ini disebabkan keputusan yang diambil hanya berdasarkan atas prinsip-prinsip hukum internasional. 2) Sengketa politik

Sengketa politik adalah sengketa ketika suatu negara mendasarkan tuntutan tidak atas pertimbangan yurisdiksi melainkan atas dasar politik atau kepentingan lainnya. Sengketa yang tidak bersifat hukum ini penyelesaiannya secara politik. Keputusan yang diambil dalam penyelesaian politik hanya berbentuk usul-usul yang tidak mengikat negara yang bersengketa. Usul tersebut tetap mengutamakan kedaulatan negara yang bersengketa dan tidak harus mendasarkan pada ketentuan hukum yang diambil. 19

Dalam praktiknya tidak dapat kriteria pembedaan yang jelas antara sengketa hukum dan sengketa politik. Meskipun sulit untuk membuat pembedaan yang tegas antara keduanya, namun para ahli memberikan penjelasan mengenai cara membedakan sengketa hukum dan sengketa politik ini.

Menurut Friedmann, meskipun sulit untuk membedakan kedua pengertian tersebut, namun perbedaannya dapat terlihat pada konsepsi sengketanya. Konsepsi sengketa hukum memuat hal-hal sebagai berikut :

a. Sengketa hukum adalah perselisihan antar negara yang mampu diselesaikan oleh pengadilan dengan menerapkan aturan hukum yang telah ada dan pasti.

19


(50)

b. Sengketa hukum adalah sengketa yang sifatnya memengaruhi kepentingan vital negara, seperti integritas wilayah, dan kehormatan atau kepentingan lainnya dari suatu negara.

c. Sengketa hukum adalah sengketa dimana penerapan hukum internasional yang ada cukup untuk menghasilkan putusan yang sesuai dengan keadilan antar negara dan perkembangan progresif hubungan Internasional.

d.

Sengketa hukum adalah sengketa yang berkaitan dengan perengketaan hak-hak hukum yang dilakukan melalui tuntutan yang menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum yang telah ada. 20

Menurut Sir Humprey Waldock, penentuan suatu sengketa sebagai sengketa hukum ataupun sengketa politik bergantung sepenuhnya kepada para pihak yang bersangkutan. Jika para pihak menentukan sengketanya sebagai suatu sengketa hukum, maka sengketa tersebut adalah sengketa hukum. Sebaliknya jika sengketa tersebut menurut para pihak membutuhkan patokan tertentu dan tidak ada didalam hukum Internasional, misalnya soal pelucutan senjata maka sengketa tersebut adalah sengketa politik. 21

Sedangkan menurut Oppenheim dan Kelsen, tidak ada pembenaran ilmiah serta tidak ada dasar kriteria objektif yang mendasari perbedaan antara

sengketa hukum dan sengketa politik. Menurut mereka, setiap sengketa

20

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Huala Adolf III), 2004, hal 4

21


(51)

19

memiliki aspek politis dan hukumnya. Sengketa tersebut biasanya terkait antara negara yang berdaulat. Oppenheim dan Kelsen menguraikan pendapatnya sebagai berikut :

“All disputes have their political aspect by the very fact that they concern relations between sovereign states. Disputes which, according to the distinction, are said to be of a legal nature might involve highly important political interest of

the states concerned; conversely disputes reputed according to that distinction to be a political character more often than not concern the application of a principle

or a norm of International law” 22

Huala Adolf mengeluarkan pendapat yang sama. Menurut beliau, jika timbul sengketa antar dua negara, bentuk atau jenis sengketa yang bersangkutan ditentukan oleh para pihak. Bagaimana kedua negara memandang sengketa tersebut sebagai faktor penentu apakah sengketa yang terjadi merupakan sengketa hukum atau sengketa politik.

Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pembedaan jenis sengketa hukum dan politik Internasional dapat dilakukan. Pembedaan sengketa dapat dilakukan dengan melihat sumber sengketa dan bagaimana sengketa tersebut diselesaikan, apabila sengketa terjadi karena pelanggaran hukum Internasional maka sengketa tersebut merupakan sengketa hukum. Selain pelanggaran terhadap hukum Internasional, sengketa dapat terjadi akibat adanya

22


(52)

benturan kepentingan yang melibatkan lebih dari satu negara, sengketa yang melibatkan kepentingan inilah yang disebut sengketa politik.

E. Sejarah Penyelesaian Sengketa Internasional

Penyelesaian suatu sengketa Internasional erat kaitannya dengan hukum Internasional yang mengatur mengenai permasalahan yang menjadi sengketa. Sejarah perkembangan penyelesaian sengketa Internasional berhubungan dengan sejarah terbentuknya hukum Internasional sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan negara-negara dan subjek lainnya dalam kehidupan masyarakat Internasional.

Upaya-upaya penyelesaian sengketa telah menjadi perhatian penting dalam masyarakat Internasional sejak abad ke-20. Upaya-upaya ini ditujukan untuk menciptakan hubungan antar negara yang lebih baik berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan Internasional. 23 Peranan hukum Internasional dalam menyelesaikan sengketa Internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum Internasional.

Dalam perkembangan awalnya, hukum Internasional mengenal dua cara peyelesaian, yang mana hal ini dikemukakan oleh J.G. Starke bahwa bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dapat digolngkan menjadi 2 bentuk-bentuk yaitu:

a. Penyelesaian sengketa secara damai, yaitu apabila para pihak dapat menyepakati utuuk menemukan solusi yang bersahabat;

23


(53)

21

b. Penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi yang dipakai atau diterapkan adalah melalui kekerasan. 24

1) Penyelesaian sengketa secara damai a. Negosiasi

Merupakan cara penyelesaian sengketa yang banyak ditempuh secara efektif dalam menyelesaikan sengketa Internasional. Negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung oleh para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian menggunakan perundingan tanpa melibatkan pihak ketiga. Penyelesaian sengketa dengan cara ini meskipun terlihat mudah namun juga sering mengalami kegagalan seperti adanya penolakan salah satu pihak untuk melkukan negosiasi.

Beberapa kelemahan menggunakan cara negosiasi :

a. Bila kedudukan pihak-pihak yang bernegosiasi tidak seimbang; b. Kadang-kadang memerlukan waktu yang sangat lama untuk

mengajak pihak lain untuk mau bernegosiasi; c. Jika salah satu pihak kontra produktif.

Dalam hal telah disepakatinya oleh para pihak dalam bernegosiasi, maka hal tersebut dituangkan dalam dokumen atau perjanjian antar pihak, yang berkekuatan hukum. Dan apabila kesepakatan tersebut gagal dipenuhi oleh para pihak, makaakan ditempuh dengan cara lainnya, seperti arbitrase, konsiliasi, mediasi, dan lain-lainnya.

24


(54)

Dalam penyelesaian ini sering ditemui bahwa inilah satu-satunya cara yang dipakai karena negara sering merasakan keuntunganya meskipun sengket itu ruit dan sulit untuk didamaikan. 25

b. Jasa Baik (Good Offices)

Apabila negosiasi tidak berjalan, maka dibutuhkan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa. Dalam jasa baik ini, pihak ketiga tersebut akan berusaha mengupayakan pertemuan antara pihak-pihak yang bersengketa untuk berunding, tanpa adanya keterlibatan pihak ketiga tersebut dalam perundingan.

Tujuan dari jasa baik ini adalah untuk mempertahankan komunikasi atau kontak para pihak dapat terjamin dengan adanya perundingan ini. Setiap pihak dapat meminta kehadiran dari si jasa baik meskipun tidak ada kewenangan dari pihak lainnya untuk menerima hal tersebut. Hal tersebut tidak dapat dipandang sebagai tindakan yang tidak bersahabat.

c. Mediasi

Keterlibatan pihak ketiga dalam mdiasi sudah lebih kuat, dimana mediator berperan aktif dalam mendamaikan pihak yang bersengketa dan dapat memberikan rekomendasi untuk penyelesaan sengketa. Mediasi bertujuan menciptakan hubungan langsung antara para pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa dapat mengurangi ketegangan antara pihak bersengketa dan menjadi saluran informasi bagi pihak yang bersengketa

25


(1)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Muhammad Fathur NIM : 120200383

Departemen : Hukum Internasional

Judul Skripsi : Peranan Badan Lembaga Permanent Court of Arbitration (PCA) Dalam Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila bahwa kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggungjawabnya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Januari 2017 Penulis,

MUHAMMAD FATHUR 1202005383


(2)

ABSTRAK

PERANAN BADAN LEMBAGA PERMANENT COURT OF ARBITRATION DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

LAUT CINA SELATAN

*

Muhammad Fathur

**

Dr. Chairul Bariah, SH.,M. Hum

***

Dr.Sutiarnoto. MS, SH, M.Hum)

Laut Cina Selatan dikenal sebagai jalur pelayaran penting. Jalur pelayaran ini seringkali disebut maritime superhighway karena merupakan salah satu jalur pelayaran internasional paling sibuk di dunia. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah latar belakang terjadinya sengketa Laut Cina Selatan. Peranan hukum dalam menyelesaikan sengketa Internasional dan Peranan lembaga Permanent Court of Arbitration dalam penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder yang bersumber dari penelitian kepustakaan.

Latar belakang terjadinya sengketa Laut Cina Selatan adalah dikarenakan kawasan Laut Cina Selatan merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis dan strategis yang sangat penting. Kondisi geografis posisinya yang strategis sebagai jalur pelayaran perdagangan (SLOT) dan jalur komunikasi internasional (SLOC) yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. peran dari hukum internasional yang dapat dimainkan dalam menyelesaikan sengketa, hukum internasional memberikan pilihan-pilihan yang bebas kepada para pihak tentang cara-cara, prosedur atau upaya yang seyogyanya ditempuh untuk menyelesaikan sengketanya.Permanent Court of Arbitration (PCA) memiliki peran-peran penting untuk menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan ini. Putusan yang dihasilkan oleh lima hakim dalam lembaga PCA ini menentukan status sejumlah wilayah di Laut Cina Selatan yang menjadi sngketa antara Cina dan sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Filipina.Putusan Mahkamah Arbitrase atau Permanent Court of Arbitration (PCA) ini dapat secara langsung atau tidak langsung digunakan sebagai panduan dalam proses penetapan standar atau standard setting

Kata Kunci : Peranan, Permanent Court Of Arbitration, sengketa

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan ** Dosen Pembimbing I

***


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmad dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah Peranan Badan Lembaga Permanent Court of Arbitration Dalam Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan.

Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kapada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. OK. Saidin, SH, MHum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. Chairul Bariah, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(4)

5. Bapak Dr. Sutiarnoto MS, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I.

6. Seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

7. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis ayahanda Yafizham, SH dan Ibunda Faridah Hanum, Spd, kakak saya Fitri Hidayanti dan adik-adik saya M. Rizky Maulana dan Annisa Zahra yang telah banyak memberikan dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tidak pernah putus sampai sekarang dan selamanya.

8. Buat kerabat dan teman-teman saya yang tersayang Fitra, Cindy, Martha, Esther, Ridwan, Fathur, Elvira, Michelle, Rhanty, Ziah, Yana, Rini, Sri, Fika, Ryan dan yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas dukungan dan motivasinya sehingga terselesaikan skripsi ini.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapatkan Balasan dari Allah SWT. Penulis memohon maaf kepada Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.

Medan, Januari 2017 Penulis,

Muhammad Fathur 120200383


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian ... 7

F. Keaslian Penulisan ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II KEDUDUKAN LEMBAGA PERMANENT COURT OF ARBITRATION DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ... 14

A. Pengertian Sengketa Internasional ... 14

B. Sejarah Penyelesaian Sengketa Internasional ... 20

C. Kedudukan Hukum Lembaga Permanent Court of Arbitration Dalam Penyelesaian Sengketa ... 33

BAB III KEWENANGAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA WILAYAH DALAM HUKUM INTERNASIONAL ... 37

A. Sejarah dan Pengertian Arbitrase Internasional ... 37

B. Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Internasional ... 54

C. Kewenangan Arbitrase Internasional Dalam Menyelesaikan Sengketa Wilayah ... 57


(6)

BAB IV PERANAN BADAN LEMBAGA PERMANENT COURT OF ARBITRATION DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LAUT

CINA SELATAN ... 60

1. Latar Belakang Sengketa Laut Cina Selatan ... 60

2. Peranan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Internasional ... 67

3. Peranan Badan Lembaga Permanent Court of Arbitration Dalam Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA