BOOK Mediamorfosa Ahsani TA Diskriminasi Media Lokal

Diskriminasi Media Lokal dalam Pemberitaan
Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia
(Studi Kasus pada Proses Produksi Berita
Pembubaran HTI di Media Lokal Jategpos)
Ahsani Taqwim Aminuddin
Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Diponegoro Semarang
� ahsanitaqwem@gmail.com

Pendahuluan
Kebijakan pemerintah pada tahun 2017 untuk membubarkan salah
satu organisasi kemasyarakatan Islam yakni Hizbut Tahrir Indonesia
dinilai berani dan diskriminatif di lain pihak. Pernyataan mengenai
pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) disampaikan oleh Wiranto
dan beberapa petinggi negara lainnya pada tanggal 8 Mei 2017 di
Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta. Sikap ini menjadi pilihan terakhir
pemerintah dengan alasan untuk merawat dan menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia karena HTI dianggap bertentangan dengan
Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras)
berpendapat bahwa tidak ada suatu alasan kuat, bukti melekat

dan langkah-langkah hukum yang telah ditempuh terlebih dahulu
pada mengelola dinamika ekspresi ataupun wujud berorganisasi
dari organisasi-organisasi yang baik memiliki model advokasi
berbasis kekerasan maupun model organisasi yang menggunakan
persuasi ideologi berbeda dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pembubaran suatu organisasi adalah upaya terakhir yang
memungkinkan dapat ditempuh oleh negara, dengan catatan bahwa
negara memiliki model penegakan hukum yang efektif sebelum upaya
ini ditempuh. Namun dalam skenario HTI di Indonesia merujuk versi
Wiranto sebagai Menkopolhukam, Kontras tidak melihat praktik
penegakan hukum yang teruji dan konsisten dalam isu pengelolaan
dinamika hak berorganisasi di Indonesia (kontras.org, 2017).
193

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Dengan membubarkan sebuah kelompok, maka tidak serta merta
akan menghilangkan pemahaman dan ideologi yang telah melekat
dalam diri organisasi maupun ideologi yang dipahami oleh anggotanya,

sehingga yang akan terjadi adalah hanya sebatas perubahan nama
dan identitas organisasi, namun tetap dengan ideologi yang sama.
Dalam proses pembubaran organisasi oleh pemerintah, juga akan
menghilangkan legalitas organisasi tersebut, sehingga akan muncul
HTI baru walau tanpa pengakuan resmi (legalitas) dari pemerintah.
Kelompok agama yang tidak diakui secara hukum oleh negara
akan rentan terhadap pelanggaran kebebasan dalam menjalankan
kegiatannya dalam bentuk kekerasan dan pelanggaran (Kontras,
2012). Didukung pula dengan data yang menunjukkan bahwa jumlah
pelanggaran kebebasan beragama meningkat setiap tahunnya:
Tabel 1.
Rekap Kekerasan Kebebasan Keberagaman dan Berkeyakinan
No

Tahun

Peristiwa

Tindakan


1

2009

200

291

2

2010

216

286

3

2011


244

299

4

2012

264

317

Sumber : Setara Institute

Diskriminasi terhadap kelompok-kelompok agama yang
dianggap berbeda dengan kelompok mayoritas cenderung dilakukan
oleh beberapa kalangan. Sayangnya kekerasan terhadap kelompok
lebih banyak dilakukan atas nama agama, yang seharusnya agama
bisa menghentikan kekerasan dan menyebarkan perdamaian dan
musyawarah dalam penyelesaian masalah, serta menjauhi tindakan tidak

manusiawi. Project Manager  United Nation Development Programme
(id.undp.org) melaporkan bahwa, terdapat beberapa indikator yang
mencerminkan diskriminasi agama di Indonesia. Salah satunya adalah
ancaman penggunaan kekerasan dari satu kelompok masyarakat
terhadap kelompok masyarakat lain terkait ajaran agama. Misalnya,
pelarangan Gafatar pada November 2014, di Nusa Tenggara Timur
(NTT), atau pelarangan pengajian Ahmadiyah oleh Polisi di pondok
pesantren Soko Januari 2009, sehingga acara tersebut dibubarkan
polisi. Diskriminasi terhadap minoritas semakin membesar dan susah
194

Ahsani Taqwim Aminuddin, Diskriminasi Media Lokal...

untuk dihentikan dan terselesaikan karena adanya keterlibatan aparat
TNI/Polri dan korporasi dalam kasus yang terjadi.
Peran media massa pun tak lepas dari sikap diskriminatif. Ketua
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Suwardjono menyebutkan
bahwa peran media massa dibutuhkan untuk mengungkap ada apa di
balik konlik terhadap kelompok minoritas. Media seharusnya ikut
serta mengambil bagian dalam memberikan suara bagi kelompok

minoritas dalam memperjuangkan haknya. Tantangan media saat ini
berbenturan antara kondisi lapangan dan di ruang redaksi yang lebih
memperhatikan click atau rating tapi tanpa solusi. Namun sayangnya
terkadang media massa terkesan hanya menjadi pengamat, karena
hanya memberitakan awal peristiwa namun tidak menjalankan
tugasnya lebih besar.
Padahal seharusnya menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel
(2001:141) jurnalis menjadi pemantau kekuasaan/lembaga yang kuat
dan menjadi penyambung lidah kelompok tertindas (minoritas).
Dalam pasal 7 UU Pers Nomor 40 tahun 1999 pula telah disebutkan
bahwa setiap wartawan wajib memiliki dan menaati kode etik, dimana
dalam Kode Etik Jurnalistik (Aliansi Jurnalis Independen) disebutkan
beberapa poin kode etik dalam peliputan dan pemberitaan, dalam hal
keberimbangan, kebebasan, memberi tempat bagi pihak yang kurang
berdaya, menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan,
diskriminasidan seharusnya jurnalistik menghindari setiap campur
tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsipprinsip kode etik.
Minimnya ruang dalam porsi pemberitaan untuk kelompok
minoritas juga mengakibatkan timbulnya kekerasan (diskriminasi)
terhadap kelompok minoritas di ranah media. Posisi media hanya

sebagai pelapor peristiwa, atau bahkan menjadi pemicu munculnya
masalah baru yang hadir karena kesalahan yang dibuat dalam
pembentukan berita yang biasanya disebabkan karena ketidakadaanya
independensi wartawan. Tidak hanya media melalui jurnalis dan
pihak di balik meja redaksi, tindakan tersebut didukung oleh negara
yang sering kali mengabaikan hak kelompok minoritas.
Data dari UNDP mengenai gambaran kelompok minoritas dalam
Indeks Demokrasi Indonesia dengan menggunakan pemberitaan
195

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

media sebagai kajian disebutkan bahwa selama periode 2009 hingga
2014, ditemukan bahwa hambatan dan diskriminasi atas dasar agama/
keyakinan lebih kuat dibandingkan dengan diskriminasi atas gender,
etnis, atau kelompok rentan.  Pada era orde baru etnis china didiskriminasi karena agama yang mereka anut tidak di akui oleh negara
sehingga terpaksa memilih agama yang diakui oleh negara saja. Hal lain
adalah karena kebudayaan etnis Tionghoa yang sangat berbeda dengan
kebudayaan masyarakat pribumi dan adanya ideologi komunis yang kerap

dihubungkan dengan etnis Tionghoa, sehingga kebijakan pada era itu tidak
pernah berpihak pada etnis tersebut, baik dalam bidang sosial, ekonomi
maupun. Hal serupa dialami oleh kelompok agama Islam yakni Hizbut
Tahrir Indonesia yang beberapa bulan terakhir dianggap sesat dalam
konteks agama dan dianggap sebagai sebuah organisasi yang mengancam
keutuhan dan ideologi pancasila konteks kenegaraan.
Kajian ini berusaha untuk mengungkap permasalahan pokok
dalam penelitian ini (1) Bagaimana diskriminasi terhadap kelompok
HTI muncul dalam teks berita? (2) Bagaimana hubungan antara
agen dan struktur dalam proses pembentukan berita di Media Lokal?
Dengan tujuan untuk mendeskripsikan bingkai pemberitaan tentang
pembubaran kegiatan Hizbut Tahrir Indonesia di media lokal serta
dengan menggunakan teori strukturasi peneliti akan mendeskripsikan
hubungan saling keterkaitan antara agen dan struktur dalam proses
pembentukan berita di Media lokal.

Kajian Teori: Teori Strukturasi
Teori strukturasi merupakan salah satu konsep yang diperkenalkan
oleh Antony Gidden dengan menjelaskan hubungan antara agen dan
struktur dalam suatu proses produksi dan reproduksi sistem sosial

(Mosco 2009:185). Stuktur merupakan aturan-aturan dan sumberdaya
yang secara terus-menerus diimplikasikan dalam produksi dan
reproduksi sosial. Sedangkan agen, berhubungan dengan kekuasaan
(yang menentukan). Dalam praktik, agen selalu mempertahankan
beberapa kapasitas transformasional, sedangkan aturan merupakan
sumber pengetahuan bagi agen untuk bisa melakukan tindakan sosial
dengan benar berdasarkan pengetahuan, dan sumberdaya menjadi
kekuasaan agen untuk melakukan tindakan sosial sesuai kepentingan
(Sutrisno dan Putranto, 2005: 187).
196

Ahsani Taqwim Aminuddin, Diskriminasi Media Lokal...

Dalam praktik produksi media, proses produksi tidak bisa terlepas
dari apa yang dilakukan jurnalis (agen) dan bagaimana organisasi
media (struktur) tempatnya bekerja. Teori strukturasi Gidden dalam
kaitannya dengan industri media adalah hubungan saling keterkaitan
antara agen dan struktur, dalam produksi berita agen adalah jurnalis/
wartawan dan struktur adalah organisasi media dan entitas eksternal
yang melingkupi ruang redaksi pengambil keputusan dalam produksi

berita.

Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dalam paradigma kritis
dengan menggunakan metode studi kasus dan didukung dengan
kerangka analisis wacana kritis, metode fenomenologi dan analisis
teks naratif. Analisis Wacana Kritis menurut Van Dijk, bermaksud
untuk menganalisis bagaimana wacana memproduksi dominasi
sosial, mendorong penyalahgunaan kekuasaan suatu kelompok
terhadap kelompok lain dan kelompok bagaimana kelompok melawan
penyalahgunaan kekuasaan tersebut. Menurut Fairclough, AWK harus
memperhatikan tiga aspek dimensi: (1) Level micro, yakni semua yang
mengacu teks. (2) Level meso, yaitu bentuk-bentuk produksi teks/
praktik diskursif. (3) level makro, biasanya tertanam dalam praksis
budaya sosial yang lebih luas (Haryatmoko, 2017:22-23). Dalam tingkat
mikro, peneliti mengamati bagaimana unsur diskriminasi di tampilkan
dalam pemberitaan media lokal yakni Jatengpos melalui teks berita
seputar pembubaran kegiatan HTI.
Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi untuk
mengumpulkan data sehubungan dengan proses pembentukan berita

dalam organisasi media lokal. Melalui metode fenomenologi ini,
peneliti mencoba mendapatkan gambaran dari pihak pertama terkait
dengan proses produksi berita dengan teknik wawancara (Kriyantono,
2015: 130). Untuk melengkapi analisis level meso dan mikro, peneliti
juga menganalisis level makro yaitu konteks terjadinya pembubaran
kegiatan Hizbut Tahrir Indonesia secara ringkas. Unit analisis dalam
penelitian ini adalah media lokal Jatengpos. Dalam penelitian ini peneliti
melakukan analisis terlebih dahulu pada teks media, dengan fokus
pada pemberitaan tentang pembubaran kegiatan HTI, dan kemudian
melakukan penelitian fenomenologi pada pekerja media yang berada
197

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

di Jatengpos sebagai pihak pertama dalam proses pembentukan berita
di media lokal.
Jatengpos sebagai Jaringan media nasional Jawa Pos yang
berbasis di Jawa Tengah. Jatengpos, yang pada awalnya bernama
Meteor merupakan media lokal di Semarang (tahun 2000). Meteor
merupakan sebuah koran kuning yang terkenal di Semarang yang juga
ikut dibentuk oleh iklim reformasi yang melahirkan banyak koran
baru. Namun seiring berubahnya keinginan pembaca mengakibatkan
turunnya oplah secara drastis yang memaksa Meteor Semarang gulung
tikar dan bereinkarnasi menjadi Jatengpos dengan ideologi yang juga
ikut berubah, yang tadinya koran kuning menjadi koran putih untuk
menjaga eksistensi dan pembaca yang semakin cerdas.
Kebebasan Pers dalam hal ini Jawa Pos Group termasuk Jatengpos
dalam terkadang menyisakan permasalahan. Sebuah penelitian oleh
Akhmad Khakim (2004) menunjukkan adanya tekanan kelompok
massa yakni masyarakat NU (Banser) terhadap proses produksi berita
di media Group Jawa Pos (kantor Surabaya). Akibat pemberitaan
yang memunculkan perbedaan subjektif berujung pada kesenjangan
informasi dan melahirkan prasangka. Pemberitaan di Koran Jawa Pos
Group (kantor Surabaya) tentang Banser NU yang kemudian dianggap
bahwa media telah melakukan kesalahan dan media telah memiliki
agenda politik melalui potensi kekuatan hegemoni. Prangsangka
tersebut menguat dan kemudian menjadi alasan Banser untuk
menghentikan hegemoni tersebut. Peristiwa tersebut dikenal dengan
nama “Pendudukan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) atas Kantor
Jawa Pos Graha Pena Surabaya” yang memaksa Jawa Pos tidak terbit
dalam sehari.
Jatengpos sebagai media jaringan dari grup Jawa Pos, dewasa ini
memberikan ruang penuh kepada ormas yang pernah menduduki
kantor pusat grup Jawa Pos ini. Sehingga tidak jarang mendapatkan
kritik dari khalayak karena hal tersebut. Penulis artikel di kolom
Kompasiana (jaringan milik Kompas Grup), Edwi Yanto, menulis
bahwa Banser NU “memperkosa” Demokrasi Masuk ke Jatengpos.
Kritik tersebut di tulis setelah terbitnya pemberitaan mengenai
tindakan represif Barisan Serbaguna Ansor dalam membubarkan
kegiatan kelompok minoritas di Desa Kedondong, Demak (2013).

198

Ahsani Taqwim Aminuddin, Diskriminasi Media Lokal...

Berita tersebut dianggap memprihatinkan apalagi di era reformasi
seperti saat ini, dimana media dan pemimpin desa, dimana secara
tidak langsung melegalkan aksi yang tidak melindungi hak-hak kaum
minoritas yang juga merupakan warga Negara Indonesia.

Hasil dan Pembahasan
Menurut heodorson & heodorson, (1979: 115-116) diskriminasi
adalah perlakuan yang tidak sama terhadap perorangan, atau kelompok,
berdasarkan satu atau beberapa hal (bersifat kategorikal, ras, suku,
agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial, keyakinan). Diskriminasi
dalam konteks penelitian ini, terindikasi melalui tindakan pembedaan,
pengucilan, dan pembatasan yang dibuat atas dasar ideologi (pola
pikir), yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapus pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya dll.
Dalam penelitian ini peneliti memilih 4 berita yang terkait dengan
pemberitaan media lokal jaringan Jatengpos tentang diskriminasi terhadap
kelompok organisasi Hizbut Tahrir Indonesia oleh organisasi kepemudaan
NU (Banser NU) diantaranya: “GP Ansor Serukan Semua Elemen Bangsa
Menolak Faham Khilafah” (27 April 2017); “Ditolak, HTI Pindahkan
Acara di Hotel” (7 april 2017); “Ansor Sragen tolak HTI” (4 April 2017);
“Tangkap Penyebar Paham Khilafah!” (18 April 2016). Untuk mengetahui
konstruksi kekerasan (diskriminasi) kelompok dalam pemberitaan, perlu
dilakukan analisis teks terhadap berita tersebut.
Diferensiasi kelompok
Dalam pemberitaan, Jatengpos melakukan pembedaan antara
kelompok mayoritas NU dan kelompok minoritas HTI dengan
mengutip dari pernyataan pihak Banser NU sehingga akan sangat
terlihat jelas pembedaan antara kelompok satu dengan kelompok
lainnya.
“GP Ansor terus bergerak melawan setiap gerakan radikal dan
anti-Pancasila yang berpotensi mengganggu kebhinnekaan,
seperti bahaya nyata dari faham khilafah. Kami berpandangan
bahwa mengawal NKRI adalah jihad i sabilillah... (Artikel, “GP
Ansor Serukan Semua Elemen Bangsa Menolak Faham Khilafah”,
Terbit 27 April 2017)
199

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Dalam paragraf ini framing media menampilkan bahwa GP
Ansor adalah sebuah gerakan yang memiliki sikap patriotisme dan
tetap berada dalam jalur yang benar untuk bergerak dalam melawan
ancaman yang nyata yang dapat membahayakan kebhinnekaan dan
Pancasila sebagai dasar negara. Dan untuk menambah citra positif dan
untuk melegitimasi setiap tindakan, dipilih kata jihad, dimana jihad
berarti membela hak dan melawan kebatilan, yang dimana dalam
melaksanakan akan mendapatkan pahala dan dijanjikan surga oleh
Tuhan.
“...faham khilafah yang dapat memecah belah kebhinnekaan
bangsa Indonesia. ‘Kami menentang keras dan menolak kegiatan
tersebut karena mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), Khilafah adalah ajaran menyesatkan karena anti Pancasila
sebagai ideologi bangsa dan tidak mengakui NKRI.” (Artikel,
“Ditolak, HTI Pindahkan Acara di Hotel” terbit, 7 April 2017)
Pada pemberitaan Jatengpos menyajikan fakta bahwa HTI adalah
organisasi tidak taat aturan sedangkan faham Khilafah memecah belah
kebhinnekaan bangsa Indonesia dan faham yang menyesatkan karena
anti Pancasila sebagai ideologi bangsa. Disisi lain pihak Ansor adalah
kelompok yang sangat menjunjung tinggi kebhinnekaan, cinta pancasila
dan siap berhadapan dengan pihak-pihak yang tidak mengakui NKRI.
“GP Ansor meminta pemerintah melalui aparat bersikap tegas
dan waspada, terutama dalam mengadang gerakan radikal yang
mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegas  Ketua
GP Ansor Sragen Indro Supriyadi. Jika tidak GP Ansor dan
Banser Sragen yang akan bergerak membendung organisasi
yang mengusung ideologi khilafah yang bertentangan dengan
Pancasila tersebut. Dia menyampaikan ideologi HTI ini sudah
mengoyak kebhinnekaan dan persatuan bangsa. Indro tidak ragu
menyampaikan bahwa ideologi HTI ini bertentangan dengan
Pancasila.” (Artikel, “Ansor Sragen Tolak HTI”, terbit 4 April 2017)
Pada bagian awal, sekali lagi terlihat bagaimana Jatengpos menjadi
media untuk menyuarakan pendapat bahwa faham khilafah yang
dibawa oleh HTI mengancam Pancasila. Setelah pernyataan tersebut,
pada bagian bawah terdapat sebuah kalimat dengan nada ancaman,
bukan lagi kepada pihak pembawa faham khilafah, namun ditujukan
kepada aparat jika tidak bertindak tegas terhadap ideologi tersebut.
200

Ahsani Taqwim Aminuddin, Diskriminasi Media Lokal...

Pembatasan Atas Dasar Ideologi
Salah satu bentuk diskriminasi adalah pembatasan untuk tujuan
menghapus pengakuan. Tujuan utama dalam penolakan kegiatan HTI
oleh Banser adalah untuk menghapus atau mengurangi pengaruh
organisasi HTI dengan jalan melalui pembatasan-pembatasan.
“Organisasi radikal semacam ini harus dibubarkan. Jangan
dibiarkan merongrong NKRI. Solkhan maupun Suharmato
mengaku tidak bertanggung jawab jika sampai terjadi gerakan
massa yang akan membubarkan kegiatan tersebut jika tetap
dilaksanakan.” (Artikel, “Ditolak, HTI Pindahkan Acara di Hotel”,
terbit 7 April 2017)
Di bagian akhir dimunculkan sebuah pendapat bernada ancaman,
yang berupa ancaman jika kegiatan tetap dilaksanakan oleh pihak HTI.
Intimidasi disajikan ditampilkan seolah-olah jika aksi massa yang
tidak dapat dibendung terjadi adalah sebuah kewajaran, sebab pihak
dari Ansor telah mengkonirmasi terlebih dahulu, dan hal itu seakan
dinilai cukup untuk bisa menjadi legitimasi jika terjadi gerakan massa
yang akan melakukan pembubaran sebagai bentuk penolakan terhadap
kegiatan tersebut, dimana kegiatan tersebut dinilai oleh pihak Ansor
tidak seharusnya dilakukan dan tidak seharusnya mendapatkan izin
oleh pihak kepolisian.
“…menangkap atau mengamankan pihak-pihak yang menyebarkan
paham radikal baik secara langsung maupun melalui poster
maupun spanduk. Perintah Yaqut Cholil Qoumas, menindaklanjuti
kasus yang terjadi di Pamotan, Kabupaten Rembang di mana
kalangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melakukan propaganda
untuk menegakkan negara khilafah.” (Artikel, “Ketua Umum
Ansor: Tangkap Penyebar Paham Khilafah!”, Terbit 18 April 2016).
Bagian tersebut memulai berita dengan kalimat seruan dari
Ketua GP Ansor kepada Banser untuk menangkap dan mengamankan
pihak-pihak yang menyebarkan faham radikal, baik melalui poster/
spanduk atau secara langsung. Faham radikal dalam hal ini yakni
faham khilafah yang dibawa oleh pihak HTI. Dengan menganalisis
bentuk seruan diatas, secara langsung pihak Jatengpos menampilkan
sisi kepahlawanan atau keberanian Ansor dalam menyikapi hal yang
dianggap sebagai ancaman. Dan hal tersebut adalah sebuah pembatasan
bagi kelompok sasaran dalam menyebarkan fahamnya.
201

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Untuk mendukung penelitian teks, peneliti mewawancarai
pihak yang menjadi pihak pertama dalam produksi berita yang telah
dianalisis. Sama halnya dengan kantor berita pada umumnya, Jatengpos
dalam memproduksi berita mendapatkan langsung dari wartawan yang
kemudian meneruskannya ke meja redaksi melalui surat elektronik
(email), bukan hanya versi cetak, online pun demikian. Dalam produksi
berita di lapangan menurut informan 3 sebagai seorang wartawan,
wartawan memiliki jaringan salah satunya organisasi kemasyarakatan
Islam, salah satunya adalah pihak NU maupun Muhammadiyah,
sebagai ormas yang dikenal luas di kota Semarang atau Jawa Tengah.
Tidak ada yang salah dari sebuah relasi antara media dan organisasi
kemasyarakatan dalam mendapatkan berita, namun, menurut informan
2 selaku redaktur online, pihak Jatengpos hanya memberikan ruang dan
membentuk relasi dengan organisasi kemasyarakatan yang dianggap
mendukung dan memiliki landasan NKRI, dan tidak akan meliput
atau memberikan ruang kepada pihak-pihak yang dianggap telah
bertentangan dengan apa yang telah diwacanakan oleh pemerintah.
Menurut informan 2, sebagai redaktur online Jatengpos, latar
belakang serta kedekatan wartawan dengan salah satu organisasi
kemasyarakatan Islam yakni NU dan juga Muhammadiyah akan
berpengaruh dengan ruang dan ketersediaan berita yang akan disajikan
mengenai kegiatan dan opini dari organisasi masyarakat seperti
Nahdlatul Ulama, walaupun pihak Jatengpos tidak secara khusus
menempatkan satu atau lebih wartawan untuk meliput khusus kegiatan
ormas tersebut layaknya pemerintahan.
Menurut informan 3 sebagai wartawan, walaupun beberapa
wartawan tidak memiliki latar belakang dan kedekatan emosional
dengan ormas tertentu (Nahdlatul Ulama) wartawan memiliki
jaringan komunikasi (link) dengan ormas tersebut untuk informasi
dan update seputar informasi dan kegiatan yang dilakukan. Jaringan
yang didapatkan bermacam-macam, termasuk dari dalam kampus
atau instansi pendidikan. Berita-berita yang didapatkan khusus untuk
kegiatan organisasi kemasyarakatan seperti NU tidak hanya langsung
diliput oleh wartawan, namun adapun yang melalui rilis yang ditulis
oleh pihak Ormas itu sendiri yang kemudian dikirim ke meja redaksi
untuk kemudian di cetak jika memenuhi keinginan untuk pemberitaan.

202

Ahsani Taqwim Aminuddin, Diskriminasi Media Lokal...

Untuk keterlibatan pemerintah menurut informan 1, selaku
redaktur media cetak, tidak dalam porsi yang besar, apalagi atas nama
pemerintah. Untuk tingkat daerah Jawa Tengah, pemerintah terlibat
sebagai salah satu pengiklan. Dengan kata lain bahwa, pemerintah
daerah memiliki BUMD yakni Bank Jateng, yang merupakan pengiklan
di media situs penelitian. Walau tak bisa dipungkiri bahwa hal tersebut
tidak terlepas dari kebijakan dari pihak pemerintah sendiri.
Munculnya isu bahwa salah satu ormas yakni HTI kemudian
dibubarkan pemerintah dengan alasan tidak mendukung NKRI dan
Pancasila, penguatan identitas, khususnya ideologi pancasila menjadi
sangat hangat untuk diangkat media. menurut informan 2, salah satu
cara pemerintah untuk menyebarkan dan menaturalisasikan ideologi
pancasila sebagai satu-satunya ideologi yang harus dipertahankan
di Negara Indonesia, dan siapapun yang diklaim tidak mendukung
dan anti-pancasila oleh pemerintah, maka pihak tersebut harus
diberikan sanksi, termasuk saksi sosial. Media massa merupakan alat
untuk melawan berita-berita hoax atau palsu. Sehingga pancasila
dan isu kebhinnekaan adalah isu utama yang kerap diangkat dalam
pemberitaan beberapa bulan terakhir.
Informan 3 selaku wartawan, mengaku sejauh ini tidak pernah
menerima intervensi atau sekedar saran yang dirasa tidak perlu
dilakukan oleh wartawan tersebut dalam proses pencarian berita di
lapangan. Setiap pemberitaan di lapangan di lakukan dengan style
sendiri-sendiri. Walaupun untuk relasi dengan pemerintahan harus
tetap ada.
Hal yang paling penting dalam komunikasi massa menurut
McQuail (2011:254-155) adalah keputusan terakhir dalam publikasi.
Asumsi teori liberal bahwa kepemilikan media dapat dipisahkan dari
kontrol dan keputusan editorial, dibagi dengan pola bahwa keputusan
kepemilikan lebih kepada sumber, strategi bisnis, dan sebagainya,
sedangkan keputusan mengenai konten adalah profesionalisme
dari editorial. Tetapi bagaimanapun untuk kepemilikan media tetap
dikategorikan sebagaimana dikatakan Tunstall dan Palmer bahwa,
apakah media tersebut perusahaan publik atau swasta, jaringan besar
atau konglomerasi media, atau perusahaan kecil yang mandiri. Selain
itu, pengaruh lain dari kepemilikan media adalah apakah perusahaan

203

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

media dimiliki oleh raja media atau mogul, dengan tujuan untuk
menaruh kepentingan pribadi dalam kebijakan editorial (McQuail,
2011:254).
Menurut informan 1, untuk keterlibatan pihak Jawa Pos (jaringan
pusat yang bertempat di Jakarta) keterlibatannya akan pemberitaan
media daerah, dalam hal ini Jawa Tengah dinilai jarang kecuali
beberapa hal. Salah satunya adalah isu yang berkaitan dengan big bos
(salah satunya Dahlan Iskan selaku pemilik jawa pos grup). Selain itu,
pemilihan isu yang layak untuk diangkat juga melibatkan pihak Jawa Pos
dipusat, dengan kata lain bahwa pihak di Jakarta mengkomunikasikan
isu-isu yang menarik untuk diangkat melalui pihak pimpinan redaksi
jaringan di daerah dalam hal ini Jatengpos.
Dalam hal profesioanlisme pembentukan berita, peneliti
kemudian memberikan pertanyaan seputar pelatihan yang sering
dilakukan organisasi media atau diikuti oleh wartawan sendiri.
Informan 1 menyatakan bahwa, Jatengpos hampir tidak pernah
melakukan pelatihan jurnalistik kepada wartawan/karyawan, tapi
tetap membebaskan karyawannya untuk ikut di luar, dengan cara
memberikan informasi jika ada pelatihan-pelatihan yang dilakukan di
luar. Sedangkan untuk informan 3, selaku pihak wartawan, pelatihan
kadang didapatkan di luar organisasi media. Walau hal tersebut masih
dirasa kurang karena setiap media hanya diwakilkan satu ataupun dua
untuk diikutkan dalam kegiatan pelatihan yang biasanya diadakan di
PWI (Jakarta).
Untuk melengkapi analisis level meso dan mikro, peneliti juga
menganalisis level makro yaitu konteks terjadinya pembubaran
kegiatan Hizbut Tahrir Indonesia secara ringkas. Ada benang merah
dari empat berita yang dianalisis. Berita banyak berasal dari narasumber
pihak pertama sebagai pihak yang membubarkan, beberapa penyataan
digunakan sebagai lead berita. Kedua, Narasumber kebanyakan
dipilih berasal dari kelompok yang mendukung terhadap kebijakan
pemerintah. Berita yang disajikan Jatengpos secara konsisten menolak
kehadiran kegiatan dan bahkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia,
dan menempatkan HTI sebagai sumber masalah.
Sejak masuknya Hizbut Tahrir ke Indonesia, kemudian mendirikan
Organisasi yakni Hizbut Tahrir Indonesia, lalu di dukung oleh
204

Ahsani Taqwim Aminuddin, Diskriminasi Media Lokal...

runtuhnya rezim menjadi awal kebebasan berbicara muncul hingga
saat ini, dimana semua pihak bebas mengeluarkan pendapatnya.
Pergerakan paling nampak (nyata) oleh Hizbut Tahrir di Indonesia
adalah pasca diadakannya Konferensi Khilafah Internasional pada
tanggal 12 Agustus 2007 lalu. Kegiatan yang dihadiri oleh seluruh
anggota HTI se-Indonesia untuk lebih mengenalkan konsep khilafah
pada seluruh anggota maupun masyarakat luas. HTI juga sering
melakukan silaturrahmi ke sejumlah ormas, partai dan media massa
melalui delegasi DPP HTI (Sayuti, 2008:48).
Perkembangan sosial-politik di Indonesia pada akhir 2016
kemudian memotivasi Hizbut Tahrir Indonesia melakukan gerakangerakan untuk menuntut pemerintah melakukan kebijakan dan
beberapa kali pula melakukan penolakan terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah pada era kepemimpinan Jokowi, ditambah pula dengan
kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahja Purnama atau Ahok. Bisa
dikatakan pula HTI adalah organisasi penggerak dari beberapa aksi
bela islam yang telah digelar di Jakarta.
Konsep khilafah dan demonstrasi dengan massa yang semakin
banyak itulah yang kemudian memunculkan pengukuhan identitas
pancasila untuk melawan ideologi lain yang masuk ke Indonesia. Namun
sayangnya penguatan identitas pun tak lepas dari adanya sisi negatif,
yakni manakala sebuah kelompok telah mengabaikan perbedaan dan
keragaman, termasuk dari keragaman cara pandang, dan keragaman
pola pikir. Penguatan identitas yang bersifat negatif akan muncul dalam
bentuk kebencian/ketidaksukaan kepada kelompok lain, terutama dari
kelompok mayoritas/dominan ke kelompok yang minoritas/berbeda
(Fealy dan White, 2008; Kasong, 2016: 59-61).
Sebelumnya, hingga tahun 2015, pergerakan HTI tidak pernah
mendapat penolakan atau perlawanan, apalagi dalam bentuk
perlawanan isik. Setelah banyaknya aksi yang dilakukan, yang pada
ujungnya ditakutkan akan mengancam, baik eksistensi dari organisasi
Islam lain maupun pemerintah, beberapa kegiatan HTI di berbagai
kota dihentikan oleh massa, ada pula yang berujung ricuh. Kegiatan
yang disebut sebagai Masirah Panji Rasulullah (MaPaRa) dilakukan
oleh HTI sebagai sarana untuk memperkenalkan simbol Islam kepada
khalayak kegiatan ini dilakukan di 35 Kota. (Joko Prasetyo, 2017).

205

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Di Makassar, Kegiatan Tablig Akbar dan Masirah Panji Rasulullah
di Lapangan Karebosi pada tanggal 16 April 2017 dibubarkan dengan
alasan tidak memiliki izin kepolisian dan tidak sesuai ideologi
Pancasila (Didit Haryadi, 2017). Di Banjarmasin,  Kepolisian Resor
Kota Banjarmasin pun terpaksa membubarkan kegiatan tabligh akbar
yang diadakan pada tanggal 16 April 2017 dengan alasan belum
mendapatkan izin. Namun, koordinator Tabligh Akbar HTI Kalsel
membantah bahwa polisi telah merilis izin resmi atas tabligh akbar
HTI di Taman Bekantan (Diananta P. Sumedi, 2017).
Untuk kota Semarang dan sekitarnya pun terjadi aksi pembubaran.
Kegiatan yang digelar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Kota Semarang
dibubarkan oleh polisi dan ratusan orang dari berbagai ormas
kepemudaan. Kegiatan yang digelar di Guntur Hall Hotel Grasia
Semarang itu didatangi oleh organisasi kepemudaan yang kemudian
meminta acara dibubarkan bahkan sebelum acara tersebut dimulai.
(Purbaya, 2017). Ketua DPD I HTI Jateng Abdullah didampingi
pengurus HTI Jateng menginginkan acara itu tetap terlaksana.
Kapolrestabes tegas memutuskan agar kegiatan harus dibatalkan
dengan mempertimbangkan keamanan dan keselamatan semua pihak
(Huda, 2017).
Dengan alasan menindaklanjuti keresahan dan protes warga
terhadap faham khilafah yang dibawa oleh HTI, pemerintah kemudian
mengeluarkan wacana pembubaran HTI pada pada tanggal 12 Mei
2017, meskipun sudah dikatakan bahwa proses pembubaran akan
menuai waktu yang panjang, salah satunya proses hukum, namun
kata pembubaran oleh pemerintah telah disebutkan dan diartikan
oleh sebagian masyarakat bahwa HTI telah bubar dan tidak berhak
lagi melakukan aktiitas legal apapun di Indonesia. Dengan terbitnya
pernyataan melalui media-media dari pemerintah tersebut, maka
keberanian ormas lain yang tidak setuju dengan faham atau pemikiran
oleh HTI akan mendapat legitimasi untuk semakin menekan anggota
dari kelompok ini dengan alasan menjaga keutuhan bangsa dan
kebhinnekaan atau NKRI.
Dalam perjalanan HTI sebagai organisasi transnasional, sejak
awal selalu berhadapan dengan organisasi pribumi yaitu Nahdlatul
Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia yang tidak sejalan

206

Ahsani Taqwim Aminuddin, Diskriminasi Media Lokal...

dengan ideologi atau faham yang dibawa oleh HTI. Raiuddin sebagai
seorang Nahdliyin (sebutan untuk pengikut Organisasi NU), dalam
penelitiannya (2015) menyebutkan bahwa pihak yang paling banyak
merasa “dirugikan” dengan hadirnya Hizbut Tahrir di Indonesia adalah
pihak NU. Karena banyaknya warga NU yang juga termasuk ke dalam
pengurus struktural yang ikut menjadi bagian dari gerakan HT. PBNU
pun mengeluarkan instruksi larangan kepada seluruh pengurus dan
warga NU mengikuti HTI. Sering pula diadakan debat terbuka antara
NU dan HTI di sejumlah daerah.
Konsep Khilafah adalah konsep yang dibawa oleh HTI sebagai
sesuatu syariat yang harus diterapkan. Sedangkan tulisan Abdurrahman
Wahid (2011:81-88) beranggapan bahwa Islam sendiri tidak memiliki
konsep yang jelas tentang sebuah negara. Pada masa pemimpinan
Rasulullah Saw yang kemudian digantikan Sayyidina Abu Bakar,
kemudian digantikan oleh Umar Bin Khattab sebelum Abu Bakar wafat.
Menurut Gus Dur, sama dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden
di masa modern ini. Dari segi ukuran pun tidak jelas, sepeninggal Nabi,
Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi
kaum muslimin. Masa Umar bin Khattab, Islam merupakan imperium
terbesar di dunia dimana wilayahnya mulai dari pantai timur Atlantik
hingga Asia Tenggara dan tidak ada kejelasan juga apakah sebuah
negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja. Gagasan
Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti
oleh mayoritas kaum muslimin tapi hanya dipikirkan oleh sejumlah
orang dan kelompok saja.
Sejalan dengan tulisan Gus Dur, Efendi (2011:433-447) juga
menulis tentang konsep negara Islam yang tawarkan oleh HTI, dimana
gagasan tersebut dianggap belum matang,. Organisasi Islam HTI kerap
menjadikan sejarah Islam yang gemilang dimasalalu sebagai acuan,
dimana sistem Khilafah masih jaya.

Diskusi
Sebagai media lokal jaringan yang memiliki tugas memantau
kekuasaan dan penyambung lidah kelompok tertindas, Jatengpos
seharusnya independen dari campur tangan pihak lain. Dengan tujuan
untuk mendinginkan suasana seharusnya media mengkritisi tindakan-

207

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

tindakan kekerasan oleh kelompok dan pihak kepolisian terhadap
kelompok yang melakukan kegiatannya.
Menurut Sara Mills, dasar dari kerjaan wartawan adalah untuk
melaporkan peristiwa dan pendapat aktor yang terlibat dalam suatu
peristiwa. Dimana semua aktor mendapatkan kesempatan yang sama
untuk menggambarkan diri dalam peristiwa yang terjadi. Namun
terkadang setiap orang tidak mendapatkan kesempatan yang sama
sehingga salah satu yang terjadi adalah ada pihak yang berada dalam
posisi subjek dan objek. Dimana subjek memiliki kesempatan untuk
menampilkan dirinya sedangkan objek tidak memiliki ruang untuk
menjelaskan diri dan posisinya, bahkan kehadiran dan representasinya
di hadirkan oleh orang lain (Eriyanto, 2001:201).
Masuknya pernyataan kelompok penentang HTI dan mengabaikan
suara kelompok yang dirugikan adalah sebuah kesalahan dalam
hal keberimbangan dan akan membuat pihak Jatengpos melanggar
prinsip cover both sides. Pelanggaran prinsip cover both sides terlihat
jelas dalam keempat berita dan sikap pewarta dan redaksi untuk tidak
memberikan ruang dan peliputan terhadap kegiatan organisasi yang
tidak sejalan dengan yang diwacanakan pemerintah, salah satunya
adalah HTI, padahal Indonesia adalah negara demokrasi, dimana
penerapan prinsip yang mendukung HAM merupakan bagian dari
demokrasi. Kepekaan jurnalis terhadap HAM membuatnya mampu
menakar peranan yang harus dilakukan pemerintah terhadap
warganya. Sehingga jika prinsip-prinsip demokratis tidak sejalan
dengan kebijakan pemerintah maka jurnalis seharusnya melakukan
kritik melalui berita. Seperti yang dilakukan oleh AJI dalam menyikapi
kebijakan pemerintah untuk membubarkan HTI dianggap sebagai
suatu kebijakan yang diskriminatif dan tebang pilih. Althusser
menjelaskan bahwa ekonomi-politik menjadi alasan wacana tentang
ideologi ada pada konteks reproduksi syarat-syarat produksi. Salah satu
efek dari ideologi adalah naturalisasi relasi produksi (menjadikan relasi
produksi yang ada nampak alamiah). Dalam proses naturalisasi ada
dua aparatus yaitu aparatus represif (pemerintah, pengadilan, penjara,
angkatan bersenjata), dan jenis aparatus lain yang bekerja secara lebih
‘halus’ atau disebut juga aparatus ideologis negara (agama, pendidikan,
keluarga, kebudayaan, pers, radio, televisi) (Althusser, 2005:3-25).

208

Ahsani Taqwim Aminuddin, Diskriminasi Media Lokal...

Penutup
Salah satu cara untuk melawan krisis identitas adalah penguatan
identitas, namun yang disayangkan munculnya sisi negatif dari
penguatan identitas tersebut yang pada akhirnya ditakutkan akan
mengakibatkan konlik. Penguatan identitas dalam hal ini ideologi
akan berlangsung melalui media massa termasuk pers.
Dalam penelitian ini, pertama, ditemukan bahwa adanya
penguatan identitas yang bersifat negatif dalam teks media, dengan
cara melakukan kategorisasi pada “pihak yang baik melawan buruk”,
“pihak kita dan pihak mereka”. Dengan menempatkan HTI sebagai
pihak yan anti-kebhinnekaan dan berbahaya terhadap pancasila,
sedangkan pihak Banser sebagai pihak yang membubarkan acara atau
kegiatan HTI adalah pihak yang membela kebhinnekaan dan menjaga
pancasila.
Kedua, dalam penelitian ini ditemukan bahwa adanya interelasi antara
agen dan struktur, baik struktur sosial, institusional dan organisasi. Dalam
struktur sosial, agen dan struktur (dalam hal ini ormas Islam terbesar di
Indonesia - Nahdlatul Ulama) saling mempengaruhi dengan cara adanya
keterikatan emosi yakni lingkungan antara beberapa wartawan dengan
organisasi ormas, dalam hal ini NU. Pihak Banser yang dikenal sebagai
organisasi kepemudaan dari NU yang juga dikenal oleh masyarakat luas
memiliki ideologi nasionalisme, akan sangat diberi ruang oleh pihak media
dengan alasan mengikuti wacana dari pemerintah, dan aksesnya terhadap
media pun akan mudah dengan mengirimkan rilis kepada redaksi setelah
melakukan kegiatannya.
Dalam penelitian ini pula ditemukan adanya hubungan agen
dan struktur institutional dalam hal ini pemerintah atau negara
walau dikatakan bahwa tidak langsung dengan menggunakan nama
pemerintahan atau atas nama pemerintah, namun melalui pengiklan,
singkatnya, pemerintah bisa saja mempengaruhi dengan jalan
mengiklankan Bank (BUMD) Jateng yang tidak lain adalah milik
pemerintah Gubernur jawa Tengah. Walaupun hal itu tudak sepenuhnya
bisa dikendalikan atas nama pemerintah melalui pengiklan, sebab
media (agen) pun memiliki kekuatan untuk tetap menentukan berita
yang akan dicetak, tetapi akan tetap di-sot-kan jika berhubungan
dengan pengiklan diatas.
209

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Selanjutnya adalah ditemukan adanya hubungan keterkaitan
antara agen dan struktur organisasi media dalam hal ini Jawa Pos.
Sebagai media jaringan pihak Jawa Pos yang berada di pusat (Jakarta)
pun memiliki kendali dalam produksi berita, apalagi jika pemberitaan
atau isu yang diangkat berkaitan dengan Big Bos (dalam kasus ini
contohnya kasus Dahlan Iskan), kendali pusat pun bisa juga berbentuk
pemberian/penawaran isu-isu yang menarik/wajib dan bagus untuk
di angkat kepada awak media melalui pemimpin redaksi Jatengpos di
semarang, namun untuk urusan peliputan di daerah dan pengolahan
didaerah, tetap diberikan kepada pihak jaringan lokal yang ada di
daerah.
Dalam analisis teks, peneliti menemukan, pernyataan dan
narasumber yang diberi ruang adalah didominasi datu pihak, tanpa
adanya ruan bagi pihak kedua untuk mengutarakan pendapat dan
alasannya. Pelaporan berita yang berimbang diperlukan upaya dan
sikap dari wartawan dan pihak media untuk memberikan kesempatan
yang sama adilnya kepada pihak yang dirugikan untuk memberikan
tanggapannya.
Salah satu poin dari pers bertanggungjawab adalah media harus
memproyeksikan gambaran yang mewakili kelompok-kelompok dalam
masyarakat, mencakup nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi kelompok, dan
tidak mengecualikan kelemahan kelompok. (Kusumaningrat, 2014:5253). Dalam etika jurnalistik, jurnalis dituntut untuk bisa menghasilkan
berita yang berimbang dan tidak memihak (cover both sides), sehingga
akan sangat diharapkan untuk jurnalis dan media, termasuk media
lokal dalam penelitian ini yaitu Jatengpos, untuk menciptakan karya
jurnalistik positif yang dapat menciptakan keamanan dan menghindari
konlik dengan jalan menampilkan berita yang berimbang dan tidak
memihak.

210

Ahsani Taqwim Aminuddin, Diskriminasi Media Lokal...

Datar Pustaka
Althusser, Louis. (2015). Ideology and Ideological State Apparatuses:
Catatan-catatan Investigasi. Jakarta: IndoPROGRESS.
Boy ZTF, Pradana. (2017). Diskusi Islam di Indonesia: Moderat, Progresif
dan Radikal. Dalam Azra, Azyumadri, dkk. Re-formulasi Ajaran
Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme. Bandung: Mizan.
Cramer, Jamet M. McDevit, Michael. (2004). Ethnographic Journalism
dalam Iorio, Sharon H. ed. (2004). Qualitative Research in
Journalism: Taking it to the Streets. London:Lawrence Erlbaum.
127-144.
Efendy, Bahtiar. (2011). Islam Dan Negara: Transformasi Gagasan dan
Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Democracy Project
Eriyanto. (2011). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik
Media. Yogyakarta: LKiS.
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media.
Yogyakarta: LKiS
Kasong, Usman. (2016). Jurnalisme Keberagaman: Untuk Konsolidasi
Demokrasi. Jakarta: Media Indonesia
Krisyantono, Rachmat. (2015). Teknik Praktis Riset Komunikasi.
Jakarta: Kencana
Kovach, Bill. Rosenstiel, Tom. (2001). Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa
yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik.
Jakarta: Pantau
Kuswarno, Engkus. (2008). Metode Penelitian Komunikasi: Fenomenologi
Komunikasi. Bandung: Widya Padjadjaran
Kusumaningrat, Hikmat. Kusumaningrat, Purnama. (2014). Jurnalistik:
Teori dan Praktik. Bandung: Rosdakarya.
McQuail, Denis. (2011). Teori Komunikasi Massa, Edisi 6. Jakarta:
Salemba.
Robert M. Entman and Andrew Rojecki. (1993). Freezing out the public:
elite and Media Framing of the U.S. Anti-Nuclear Movement. 
Politicat Communication, Volume 10, pp. 155-173.
Mosco,Vincent. (2009). he Political Economy of Communication. 2nd
ed. London: Sage Publications

211

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Sutrisno, Mudji. Putranto, Hendar.  (Eds). (2005). Teori-Teori
Kebudayaan. Jogjakarta: Kanisius
heodorson, George A, and Achilles G. heodorson. (1979). A Modern
Dictionary of Sociology. New York, Hagerstown, San Francisco,
London: Barnes & Noble Books.
Jurnal dan Penelitian
Shobron Sudarno. 2016. Model Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia.
Jurnal UMS. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
(Diakses melalui journals.ums.ac.id/index.php/profetika/article/
download/1966/1379 pada tanggal 23 Mei 2017 pukul 16:31
WIB)
Sayuti. (2008). Hizbut Tahrir Perjuangan Menegakkan Khilafah, Respon
Masyarakat Terhadap HTI Cabang Jambi, Kontekstualita: Vol. 24,
No.2. Desemeber 2008.
Internet
Iskandar. Arief B. (2007). Apa Itu Khilafah?. Hizbut-Tahrir.or.id. diakses
melalui, https://hizbut-tahrir.or.id/2007/10/01/apa-itu-khlafah/
pada tanggl 30 Mei 2017 tanggal 11:32 WIB
Prasetyo, Joko. (2017). Gempita Mapara sukses di 35 kota. Hizbut Tahrir
Indoneisa. (diakses dari https://hizbut-tahrir.or.id/2017/05/02/
gempita-mapara-sukses-di-35-kota/ tanggal 30 Mei 2017, pukul
14:01 WIB)
Haryadi, Didit. (2017). Ricuh, Pembuabran Tablig Akbar HTI Makassar,
ini kata Polda Sulses. Tempo.co. (di akses dari https://m.tempo.
co/read/news/2017/04/16/078866536/ricuh-pembubaran-tabligakbar-hti-makassar-ini-kata-polda-sulsel pada tanggal 30 Mei
2017 pada pukul 14:14 WIB).
Sumedi, Diananta P. (2017). Polisi bubarkan kegiatan HTI kalimantan
selatan di Banjarmasin. Tempo.co. (diakses melalui (https://m.
tempo.co/read/news/2017/04/16/ 058866460/polisi-bubarkankegiatan-hti-kalimantan-selatan-di-banjarmasin pada tanggal 30
Mei 2017, pukul 14:35 WIB)
Purbaya. (2017). Tak berizin, acara HTI di Semarang dibubarkan.
detikNews.com. (diakses dari https://news.detik.com/beritajawa-tengah/d-3469640/tak-berizin-acara-hti-di-semarangdibubarkan pada tanggal 30 Mei 2017, pukul 14:50 WIB)
212

Ahsani Taqwim Aminuddin, Diskriminasi Media Lokal...

Huda. M Nur. (2017) Polisi dan Banser NU bubarkan acara Hizbut
Tahrir di Kota Semarang. Tribunnews.com. (di akses di http://
jateng.tribunnews.com/2017/04/09/polisi-dan-banser-nububarkan-acara-hizbut-tahrir-di-kota-semarang?page=2 tanggal
30 Mei 2017 pukul 16:41 WIB)
Malik,  Dusep. Faisal,  Nur.(2017). Kisah Gus Dur dan Dahlan Iskan
Mati-matian bangun Bank NU. Vivanews.com. (diakses dari
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/905529-kisah-gus-durdan-dahlan-iskan-mati-matian-bangun-bank-nu pada tanggal
30 mei 2017, pukul 16:50 WIB
Tim Kontras. (2017). Merespons Situasi Toleransi dan Kebebasan
Berpendapat di Indonesia: Ada Ongkos Besar Mengamputasi HTI
dan Ahok untuk Masa Depan Hukum & HAM. Diakses dari http://
www.kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2379)
pada tanggal 1 Juni 2017 pukul 13:43 WIB

213