SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN NIMODIPIN PADA PASIEN STROKE PENDARAHAN SUBARAKHNOID NON TRAUMATIK BERDASARKAN GAMBARAN ANGIOGRAFI SEREBRAL (Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap Penyakit Saraf RSUD Dr.Soetomo Surabaya)

  SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN NIMODIPIN PADA PASIEN STROKE PENDARAHAN SUBARAKHNOID NON TRAUMATIK BERDASARKAN GAMBARAN ANGIOGRAFI SEREBRAL (Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap Penyakit Saraf RSUD Dr.Soetomo Surabaya) SREE SHALINI GANESEN DEPARTEMEN FARMASI KLINIS FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2016

  SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN NIMODIPIN PADA PASIEN STROKE PENDARAHAN SUBARAKHNOID NON TRAUMATIK BERDASARKAN GAMBARAN ANGIOGRAFI (Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo Surabaya) SREE SHALINI GANESEN NIM : 051211133100 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA DEPARTEMEN FARMASI KLINIS SURABAYA 2016

KATA PENGANTAR

  Puji syukur atas Tuhan, yang senantiasa mencurahkan rahmad sehingga skripsi yang berjudul Studi Penggunaan Nimodipin Pada

  Pasien Stroke Pendarahan Subarakhnoid Non Traumatik Berdasarkan Gambaran Angiografi Serebral

  ini dapat diselesaikan. Tidak dapat dipungkiri hambatan dan permasalahan sering terjadi seiring berjalannya waktu. Namun berkat adanya bantuan, dorongan serta doa yang diberikan secara tulus dan ikhlas oleh orang-orang terdekat, hingga akhirnya semua berjalan lancar. Dalam kesempatan ini, penyusun ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

  1. Junaidi Khotib, S.Si., Apt.,M.Kes., PhD selaku pembimbing utama atas semua bantuan, bimbingan, perhatian dan nasehat selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

  2. Dr. A. Firdaus Sani, Sp.S.,FINS selaku pembimbing serta atas semua bantuan, bimbingan, perhatian, dan nasehat selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

  3. Dr. Suharjono, Apt., MS. dan Drs. Sumarno, Sp. FRS.,Apt selaku dosen penguji atas saran dan masukan yang telah diberikan.

  4. Drs. Didik Hasmono, Apt. MS. selaku dosen wali, Samirah, SSi.,Sp. FRS., Apt dan Catur D. Setiawan, S.Farm., M.Kes., Apt atas bantuan, bimbingan, dan nasehat selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

  5. Direktur RSUD Dr.Soetomo, Kepala Instalasi Farmasi, Litbang, dan Departemen Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr.

  iv Soetomo Surabaya yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian ini.

  6. Karyawan Ruang Rekam Medik Pusat RSUD. Dr. Soetomo Surabaya, atas kerjasama dan bantuan waktu serta tenaga sehingga pencatatan data dapat terlaksana

  7. Dosen-dosen pengajar di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.

  8. Yang saya hormati dan sayangi kedua orang tua Mr & Mrs.

  Ganesen dan adik beradik saya atas segala doa dan semangatnya.

  9. Teman-teman seperjuangan skripsi, atas segala bantuan, semangat, dan kerjasamanya.

  10. Sahabat-sahabatku atas segala bantuan, dan semangatnya selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

  11. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

  Dalam penyusunan skripsi ini penyusun menyadari adanya keterbatasan dan kekurangan, sehingga mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki diri di kemudian hari. Penyusun berharap semoga skripsi ini dapat dimanfaat, dipahami, dan dimengerti oleh pembaca.

  Surabaya, Agustus 2016 Penulis

  v

  RINGKASAN STUDI PENGGUNAAN NIMODIPIN PADA PASIEN STROKE PENDARAHAN SUBARAKHNOID NON TRAUMATIK BERDASARKAN GAMBARAN ANGIOGRAFI SEREBRAL (Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo Surabaya)

  Sree Shalini Ganesen Stroke pendarahan subarakhnoid adalah keadaan terdapatnya darah atau masuknya darah ke dalam ruang subarakhnoid. Perdarahan subarakhnoid terjadi sebagai akibat kebocoran non traumatik atau ruptur aneurisma kongenital pada circulus anterior

  cerebralis atau yang lebih jarang akibat arteriovenosa malformation.

  Vasospasme serebral merupakan komplikasi pendarahan subarakhnoid yang memberikan konstribusi signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas. Untuk mencegah terjadi vasospasme pada pasien pendarahan subarakhnoid maka diberikan terapi nimodipin.

  Nimodipin satu-satunya obat antagonis kalsium yang disarankan pada penggunaan pendarahan subarakhnoid dan memiliki efek terbukti dalam mengurangi outcome yang buruk dan delayed serebral iskemik disebabkan oleh vasospasme. Nimodipin menghambat perpindahan ion kalsium ke dalam sel dan dengan menghambat kontraksi dari otot polos pembuluh darah.

  Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola penggunaan nimodipin pada pasien stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik berdasarkan gambaran angiografi dengan mengetahui

  vi perubahan yang terjadi setelah pemberian nimodipin terhadap

  glasgow coma scale (GCS) dan tekanan darah pada pasien stroke

  pendarahan subarakhnoid di Instalasi Rawat Inap SMF Saraf RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian ini dilakukan dengan metode retrospektif dan data diperoleh dari dokumen rekam medik kesehatan pasien pada periode 01 Januari 2015 hingga 31 Desember 2015. Penilaian outcome pada pasien stroke pasien pendarahan subarakhnoid non traumatik dinilai berdasarkan gambaran angiografi (vasospasme) dan dianalisis secara deskriptif.

  Hasil penelitian menunjukkan total pasien stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik yang termasuk kriteria inklusi adalah sebanyak 19 pasien. Pasien mendapatkan terapi nimodipin secara oral lebih banyak (70%) dari rute intervena (30%) dengan dosis 60mg per hari dalam dosis terbagi empat hingga enam kali sehari selama ≥21 hari. Pada penelitian ini, outcome terapi penggunaan nimodipin diamati berdasarkan kondisi neurologis (GCS) dan tekanan darah yang terkontrol. Secara umum kondisi neurologis sampel yang mendapatkan terapi nimodipin mengalami perbaikan pada saat pemberian, namun setelah dianalisis secara statistik, didapati tidak terdapat perbedaan pada outcomenya.

  vii

  A BSTRACT STUDY ON UTILIZATION OF NIMODIPIN IN NON TRAUMATIK SUBARACHNOID HEMORRHAGE PATIENT BASED ON OVERVIEW OF ANGIOGRAFY (Research Performed in Neurology Department at Dr. Soetomo General Hospital Surabaya)

  Sree Shalini Ganesen

  BACKGROUND : Subarachnoid hemorrhage (SAH) state of the presence of blood or an influx of blood into the subarachnoid space.

  Subarachnoid hemorrhage occurs as a result of leakage of non- traumatic or congenital aneurysm rupture in the anterior circulus cerebralis or more rarely due to cerebral arteriovenous malformation. Cerebral vasospasm is a complication of subarachnoid hemorrhage which contributes significantly to morbidity and mortality. Nimodipine was given to prevent vasospasm and delayed cerebral infraction.

  OBJECTIVE

  : The aim of this study is to know the effectiveness of nimodipine towards vasospasm in SAH patients through improvements in blood pressure and GCS in patients.

  SUBJECT AND METHOD : This study was performed at

  Neurology Departement Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya with retrospective study method. Data was obtained from the patient medical records. Patient medication records were analyzed descriptively. The samples used in this study were patients who been diagnosed with non-traumatic subarachnoid hemorrhage based on

  viii angiography data and been received nimodipine in the period of January –December 2015.

  RESULTS

  : The results obtained from 19 patients shows that more than 70% patient received oral therapy at a dose of 60mg per day in divided doses four to six times a day for more than 21 days.

  CONCLUSION

  : There are no significant changes in GCS and blood pressure between SAH patients who been given nimodipine therapy in statistical analysis . However, the changes in GCS and blood pressure patients been observed during the administration.

  Keyword : subarachnoid hemorrhage, nimodipine, GCS and blood pressure

  ix

  DAFTAR ISI

  LEMBAR PERSETUJUAN ............................................... i LEMBAR PERNYATAAN ............................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................ iii KATA PENGANTAR ........................................................ iv RINGKASAN .................................................................... vi ABSTRAK ......................................................................... viii DAFTAR ISI ...................................................................... x DAFTAR GAMBAR ......................................................... xv DAFTAR TABEL .............................................................. xvi DAFTAR LAMPIRAN ................................................... xvii DAFTAR SINGKATAN ................................................. xviii

  BAB 1 PENDAHULUAN

  1.1 Latar Belakang ............................................................. 1

  1.2 Rumusan Masalah ........................................................ 7

  1.3 Tujuan Penelitian .......................................................... 7

  1.3.1 Tujuan Umum ........................................................ 7

  1.3.2 Tujuan Khusus ....................................................... 7

  1.4 Manfaat Penelitian ........................................................ 8

  x

  BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Definisi Stroke ............................................................. 9

  2.2 Klasifikasi Stroke ......................................................... 9

  2.3 Stroke Pendarahan Subarakhnoid ................................. 11

  2.3.1 Epidemiologi Stroke Pendarahan Subarakhnoid .... 12

  2.3.2 Patofisiologi ............................................................ 13

  2.3.3 Etiologi ................................................................... 14

  2.3.4 Faktor Resiko ......................................................... 15

  2.4 Gejala Klinis .............................................................. 15

  2.5 Pemeriksaan Penunjang Dan Diagnosis ....................... 17

  2.5.1 Pemeriksaan Neurologis ......................................... 22

  2.6 Komplikasi ................................................................... 26

  2.6.1 Vasospasme Serebral ............................................. 26

  2.6.1.1 Patofisiologi Vasospasme Serebral ..................... 27

  2.6.2 Hidrosefalus ........................................................... 28

  2.6.3 Pendarahan Ulang .................................................. 29

  2.6.4 Delayed Cerebral Infraction ................................. 29

  2.7 Terapi ........................................................................... 29

  2.7.1 Tatalaksana Umum PSA ........................................ 30

  2.7.2 Pencegahan Pendarahan Ulang .............................. 31

  xi

  2.7.3 Pencegahan dan Pengendalian Vasospasme .......... 32

  2.7.4 Penatalaksanaan Vasospasme ............................... 33

  2.8 Nimodipin ..................................................................... 34

  2.8.1 Farmakokinetika .................................................... 34

  2.8.2 Farmakodinamika .................................................. 35

  2.8.3 Dosis ...................................................................... 35

  2.8.4 Kontraindikasi ....................................................... 36

  2.8.5 Efek Samping ........................................................ 36

  BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN KERANGKA OPERASIONAL

  3.1 Uraian Kerangka Konseptual........................................ 37

  3.1.1 Skema Kerangka Konseptual .................................. 39

  3.2 Skema Kerangka Operasional........................... 40

  BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

  4.1 Rancangan Penelitian ....................................... 41

  4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................... 41

  4.3 Subjek penelitian .............................................. 41

  4.3.1 Kriteria Inklusi ........................................... 42

  4.3.2 Kriteria Eksklusi ........................................ 42

  4.3.3 Jumlah Subjek Penelitian ............................ 42

  4.4 Variabel Penelitian ........................................... 42

  xii

  4.5 Instrumen Penelitian ......................................... 42

  4.6 Definisi Operasional ......................................... 43

  4.7 Prosedur Pengambilan Data dan Analisis Data ........... 44

  BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

  5.1 Data Demografi Pasien ..................................... 46

  5.2 Lama Perawatan ............................................... 47

  5.3 Riwayat Penyakit Terdahulu............................. 48

  5.4 Penyakit Penyerta ............................................. 48

  5.5 Tindakan Operasi Terhadap Pasien .................. 49

  5.6 Profil Penggunaan Nimodipin ........................... 50

  5.6.1 Data Angiografi Pasien Kelompok Vasospasme Positif dan Vasospasme

  Negatif ......................................................... 53

  5.6.2 Hubungan antara Tekanan Darah dengan Terapi Nimodipin Pada Pasien ..................... 55

  5.6.3 Efektivitas Penggunaan Obat Nimodipin Berdasarkan Skala GCS MRS dan KRS pada Pasien ........................................................... 56

  5.8 Keadaan Pasien Saat Keluar Rumah Sakit ........ 57

  BAB 6 PEMBAHASAN .................................................... 58

  xiii

  BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

  7.1 Kesimpulan ....................................................... 66

  7.2 Saran ................................................................. 66 DAFTAR PUSTAKA ......................................................... 67 LAMPIRAN 76

  xiv

  DAFTAR GAMBAR Halaman

Gambar 2.2 Jenis stroke ..................................... 10Gambar 2.3 Pendarahan Subarakhnoid............... 12Gambar 2.5 Hasil Ct Scan Kepala ...................... 17

  Gambar 2.5b Hasil Angiografi Serebral DSA ...... 20

Gambar 2.6.1 Vasospasme Serebral ..................... 27Gambar 2.5.1.1 Patofisiologi ................................ 28Gambar 2.7 Terapi Bedah yang meliputi Clipping dan Endovascular Coiling ................ 32Gambar 2.8 Nimodipin ......................................... 34Gambar 3.2 Skema Kerangka Konseptual ............ 39Gambar 3.3 Skema Kerangka Operasional ........... 40Gambar 5.1 Distribusi Pasien Berdasarkan

  Penyakit Penyerta ............................ 49

Gambar 5.2 Distribusi Pasien Berdasarkan

  Rute Pemberian ................................. 50

Gambar 5.3 Distribusi Pasien Berdasarkan

  Gambaran Angiografi ....................... 55

  xv

  DAFTAR TABEL Halaman

  Tabel 2.5a Skor Fisher Grading .......................... 18 Tabel 2.5b Skala Grading Skales ....................... 19 Tabel 2.5.1a Glasgow Coma Scale ...................... 22 Tabel 2.5.1b National Institute of Health Stroke

  Scale ............................................... 23

Tabel 5.1 Distribusi Jenis Kelamin Pasien ....... 46Tabel 5.2 Distribusi Jenis Usia Pasien .............. 47Tabel 5.3 Distribusi Lama Perawatan Pasien ... 47Tabel 5.4 Riwayat Penyakit Terdahulu ............ 48Tabel 5.5 Tindakan Operasi Pasien .................. 49Tabel 5.6 Regimen Dosis Nimodipin ............... 51Tabel 5.6.1 Perubahan Rute dan Dosis

  Nimodipin ......................................... 52

Tabel 5.7 Data Gambaran Angiografi .............. 53Tabel 5.8 Keadaan Pasien Saat KRS ................ 57

  xvi

  

LAMPIRAN

Halaman

  Lampiran 1 Lembar tabel Induk .......................... 76 Lampiran 2 Data Tekanan Darah Sistole dan GCS Pasien MRS dan KRS ............. 141 Lampiran 3 Analisa Statistik ............................... 142 Lampiran 4 Etical Clearance .............................. 143

  xvii

DAFTAR SINGKATAN

  CCB : Calsium Channel Blocker CPP : Cerebral Perfusion Pressure

  CSF : Cerebrospinal Fluid

  CT : Computed Tomography CVT : Central Vein Thrombosis DCI : Delayed Cerebral Infaction DMK : Dokumen Medik Kesehatan DSA : Digital Subtraction Angiography GCS : Glasgow Coma Scale

  ICH : Intracerebral Hemorrhage

  IVH : Intraventicular Hemorrhage KRS : Keluar Rumah Sakit KSR : Kalium Klorida MAV : Malformasi Arterivenosus MRA : Magnetic Resonance Angiography MRI : Magnetic Resonance Imaging MRS : Masuk Rumah Sakit NIHSS : National Institute of Health Stroke Scale

  xviii NSAID : Non Steroid Anti Inflammatory Drug NO : Nitric Oxide RM : Rekam Medik PSA : Pendarahan Subarakhnoid

  xix

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau langsung menimbulkan kematian disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (WHO, 2010). Stroke terjadi akibat berkurangnya suplai darah ke otak yang disebabkan oleh penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah ke otak (Ginsberg, 2008).

  Menurut American Stroke Association stroke memiliki tingkat mortalitas yang ketiga di dunia setelah penyakit jantung dan kanker dengan angka prevalensi mencatat 2,980,000 orang dan morbiditas pada 50,000 ribu orang per tahun. Setiap tahun, hampir 795.000 orang di Amerika mengalami stroke dengan angka kematian lebih dari 134.000 (Goldstein et. al. 2008). Empat juta orang Amerika mengalami defisit neurologi akibat stroke,dua pertiga dari defisit ini bersifat sedang sampai parah (Irdelia, 2014). Berdasarkan penelitian yulianto pada tahun 2011 tercatat hampir setiap 45 detik terjadi kasus stroke, dan setiap 4 detik terjadi kematian akibat stroke. Selain itu, stroke juga memiliki tingkat morbiditas yang tinggi dalam menyebabkan kecacatan.

  Berdasarkan data 10 besar penyakit terbanyak di Indonesia tahun 2013, prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per mil dan 12,1 per mil untuk yang terdiagnosis memiliki gejala stroke. Prevalensi stroke tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Utara (10,8%) dan terendah di Provinsi Papua (2,3%), sedangkan Provinsi Jawa Tengah sebesar 7,7% (Kemenkes, 2013). Menurut Dinkes Provinsi Jawa Tengah (2012), stroke dibedakan menjadi stroke hemoragik dan stroke non hemoragik. Prevalensi stroke hemoragik di Jawa Tengah tahun 2012 adalah 0,07 lebih tinggi dari tahun 2011 (0,03%). Prevalensi tertinggi tahun 2012 adalah Kabupaten Kudus sebesar 1,84%. Prevalensi stroke non hemoragik pada tahun 2012 sebesar 0,07% lebih rendah dibanding tahun 2011 (0,09%).

  Ditaksirkan bahwa sebesar 87% penderita stroke mengalami stroke iskemik dan 13% stroke pendarahan. Pada stroke pendarahan 10-20% merupakan pendarahan intraserebral dan 3% merupakan pendarahan subarakhnoid (Gofir, 2009). Perdarahan subarakhnoid (PSA) relatif kecil jumlahnya (<0,01% dari populasi di USA) sedangkan di ASEAN 4% dan di Indonesia 4,2%. Meskipun demikian angka mortalitas dan morbiditas sangat tinggi hingga 80% ( Jusuf, 2011).

  Terdapat dua jenis umum stroke yaitu iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik terjadi bila aliran dalam suatu pembuluh terganggu oleh plak aterosklerotik tempat terbentuknya trombus. Trombus juga dapat terbentuk di tempat lain seperti di atrium pada pasien fibrilasi atrium dan masuk ke otak sebagai embolus yang menyebabkan serebral infrak. Stroke hemoragik pada dasarnya terjadi akibat pembuluh darah intra serebrum yang mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vascular yang dapat menyebabkan perdarahan subarakhnoid (PSA) adalah aneurisma sakular (Berry), dan malformasi arterivenosus (MAV) (Ganong, 2008).

  Perdarahan subarakhnoid adalah salah satu kedaruratan neurologis yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di ruang subarakhnoid (Setyopranoto, 2012). Pada kasus non traumatik, 80% adalah disebabkan karena pecahnya aneurisma sakuler. Aneurisma sakuler ini merupakan proses degenerasi vaskuler yang didapat (acquired) akibat proses hemodinamika pada bifurkatio pembuluh arteri otak, terutama di daerah “Circle of Willisi" yang sering di arteri komunikans anterior, arteri serebri media, arteri serebri anterior, dan arteri komunikans posterior.

  Vasospasme serebral merupakan suatu penyempitan pembuluh arteri serebral yang berkepanjanganan, kadang berat, namun bersifat reversibel, yang terjadi beberapa hari setelah PSA. Resiko vasospasme tergantung pada tebalnya darah di ruang subarakhnoid dan ventrikel disebabkan oleh ruptur aneurisma sakular, malformasi vaskular atau tumor otak yang mengalami perdarahan signifikan pada ruang subarakhnoid di basis cerebri (Yu

  et al, 2014).

  Menurut guidelines stroke tahun 2011 terapi pengobatan PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess (H&H) adalah mengidentifikasi dan mengatasi nyeri kepala secepat mungkin dan pada pasien PSA derajat III, IV atau V perawatan harus lebih intensif jika pasien menunjukkan tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial. Prosedur pembedahan juga dilakukan untuk mengurangi resiko pendarahan ulang yaitu operasi clipping atau endovascular coiling setelah ruptur aneurisma pada PSA (Connolly et al, 2012).

  Pengobatan PSA yang disarankan adalah terapi managemen

  neurointensive dan pencegahan terjadinya komplikasi terutama pada

  pasien yang mengalami penyakit kritis seperti epilepsi, infeksi, pendarahan semula dan delayed cerebral ishemic (Dipiro, 2011). Terapi untuk pencegahan stroke PSA pada delayed cerebral

  ischemia

  adalah nimodipin. Nimodipin merupakan obat kelas

  calcium channel bloker yang dapat mengurangi keparahan fungsi

  neurologi karena vasospasme (Setyopranoto, 2012). Penggunaan nimodipin telah disetujui oleh FDA untuk pencegahan dan pengobatan vasospasme serebral (Keyrouz, 2007). Menurut guidelines stroke tahun 2011, pengobatan vasospasme serebral dimulai dengan penanganan aneurisma yang ruptur, dengan mempertahankan volume darah sirkulasi yang normal (euvolemia) dan menghindari terjadinya hipovolemia.

  Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efektivitas obat nimodipin pada pasien PSA. Dari penelitian Harsono 2009, nimodipin merupakan obat yang dapat melewati blood brain

  barrier dan menghambat ion kalsium masuk ke dalam sel dengan

  mengurangi keadaan kontraktil otot polos pada saat depolarisasi dan menyebabkan terjadi vasokontriksi. Penggunaan nimodipin pada pasien vasospasme setelah aneurisma PSA terbukti meningkatkan pemulihan neurologis dan mengurangi serebral infrak.

  Vergouwen et. al 2006 telah melakukan penelitian secara acak terhadap 1074 pasien dengan pendarahan subarakhnoid non traumatik menggunakan nimodipin oral dibandingkan dengan plasebo, untuk mengetahui efektivitas penggunaan nimodipin oral dalam mengurangi serebral infrak dan outcome terapi setelah pendarahan subarakhnoid. Nimodipin diberikan setiap 4 jam dalam waktu 96 jam dari aneurisma PSA dan diberikan selama 21 hari pada 278 pasien dan 276 pasien menerima plasebo. Pada akhir 21 hari, jumlah pasien yang telah benar-benar pulih dari iskemik defisit neurologis adalah 33% pada kelompok nimodipin dan 22% pada kelompok plasebo. Defisit neurologis parah pada pasien PSA cerebral vasospasme arteri secara signifikan lebih umum pada kelompok plasebo (Hardjono, 2008).

  Menurut American Nimodipine Study Group of Patients penggunaan nimodipin dalam waktu 18 jam setelah onset stroke di Amerika telah menunjukkan peningkatan positif pada outcome terapi. Pada pengobatan dengan penggunaan nimodipin antara 12 sampai 24 jam tidak menunjukkan efek sedangkan penggunaan pada 24 jam setelah PSA menunjukkan outcome yang buruk (Horn et. al. 2001).

  Penelitian uji klinik dilakukan pada dua belas anak-anak yang usia rata-rata 11.8 ± 3.3 tahun hingga rentang usia 3.5 hingga 17.3 tahun yang telah didiagnosis PSA non traumatik dengan pemberian oral nimodipin 1 mg/kg setiap 4 jam. Hasil dari penelitian ini menunjukkan terapi nimodipin bervariasi yaitu vasospasme diamati 67%, infark baru 33%, perdarahan ulang 17% dan terjadi hipotension. Namun outcome positif dari data profil klinis diperoleh pada pasien yaitu defisit fungsi neurologi dan kognitif yang minor di dua pertiga dan absen pada pasien lain (Heffren, 2015).

  Pada kondisi uji klinik yang lain, terapi pemberian nimodipin secara intra arterial dilakukan pada 29 pasien yang didiagnosa serebral vasospasme dari PSA di Jepang antara tahun 2009 dan 2011, menunjukkan secara statistik peningkatan yang signifikan terhadap diameter pembuluh darah dan gejala klinis pada profil angiografi serebral. Hasil persentase peningkatan diameter pembuluh darah adalah lebih 40% pada 8 pasien, 30-40% pada 1 pasien, 20-30% pada 8 pasien, 10-20% pada 8 pasien dan kurang dari 10% pada empat pasien (Kim et al, 2012). Hasil dari penelitian retrospektif yang dilakukan di rumah sakit University Aga Khan untuk mengetahui terjadinya vasospasme, lokasi aneurisma intrakranial dan ukuran aneurisma yaitu dengan melihat gambaran angiografi pasien PSA menggunakan Digital Substraction Angiography (DSA).

  Pada pasien stroke PSA nimodipin oral sering digunakan di Indonesia untuk memperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme (Perdossi, 2011). Dari studi uji klinis diketahui bahwa nimodipin dapat meningkatkan perbaikan fungsi neurologis dan mencegah terjadi vasospasme serebral pada pasien stroke PSA (Gijn, 2001). Kajian lain menyebutkan bahwa nimodipin pada pasien stroke PSA aman digunakan namun hasil studi berdasarkan outcome klinis perlu dilakukan lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik secara keseluruhan pada pasien stroke PSA non traumatik (Heffren, 2015).

  Berdasarkan latar belakang di atas maka dilakukan penelitian mengenai studi penggunaan nimodipin pada sejumlah pasien stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik di RSUD Dr. Soetomo untuk mengetahui efektivitas terapi dari gambaran profil angiografi serebral pasien yang meliputi dosis pemberian obat, frekuensi pemberian, lama terapi dan efek samping obat (ESO). Penelitian dilakukan dengan cara rektospektif dan difokuskan pada efektivitas dari penggunaan nimodipin dalam rangka meningkatkan kualitas hidup pasien stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik.

  1.2 Rumusan Masalah

  Bagaimana profil klinis dan angiografi pada pasien stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik yang menggunakan Nimodipin di Bagian Neurologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya?

  1.3 Tujuan Penelitian

  1.3.1 Tujuan Umum

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan nimodipin terhadap pasien stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik berdasarkan gambaran angiografi serebral di Bagian Neurologis RSUD Dr.Soetomo Surabaya.

  1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis dosis, rute pemberian, frekuensi pemberian, dan lama penggunaan nimodipin.

  2. Mengetahui efek nimodipin pada pendarahan subarakhnoid non traumatik, baik profil klinis maupun gambaran angiografi serebral.

  3. Membandingkan perbaikan kondisi neurologis (GCS) pasien masuk rumah sakit dan keluar rumah sakit selama terapi nimodipin

1.4 Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah data kajian tentang peran nimodipin pada stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik.

  2. Data yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan farmasis dan klinisi dalam penggunaan terapi nimodipin pada pasien stroke pendarahan subarakhnoid non traumatik dalam memberikan terapi yang optimal dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

  3. Hasil penelitian dapat menjadi bekal pengalaman serta tambahan data dan informasi dalam melakukan penelitian selanjutnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Definisi Stroke

  Stroke didefinisikan sebagai suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau langsung menimbulkan kematian disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (WHO, 2010). Stroke hemoragik atau pendarahan adalah stroke yang terjadi karena pembuluh darah diotak pecah sehingga terjadi hematoma yang menyebabkan tekanan tinggi intrakranial dan keadaan in memicu terjadinya pendarahan intrakranial (Sacco, 2013). Pada stroke hemoragik, darah arteri dari sistem pembuluh darah dapat masuk ke dalam rongga subarakhnoid sekunder. Bila sumber perdarahan berasal dari rongga subarakhnoid maka disebut perdarahan subarakhnoid sekunder (Junaidi 2011).

  2.2 Klasifikasi Stroke Stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria.

  Menurut American Heart Association (2013) stroke dapat diklasifikan stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke iskemik disebabkan baik oleh pembentukan thrombus local maupun fenomena emboli sehingga mengakibatkan oklusi dari arteri serebral.Stroke iskemik dibagi kepada tiga macam yaitu Transient Ischemic Attack (TIA) ; Serangan stroke sementara yang berlangsung kurang dari 24 jam, Thrombosis arteri ; Penyumbatan pembuluh darah oleh kerak/ plak dinding arteri dan Emboli Serebri ; Sumbatan arteri oleh pecahan plak (emboli) (Sacco, 2013).Stroke hemoragik adalah disebabkan oleh perdarahan pada suatu arteri serebralis. Stroke hemoragik dibagi kepada tiga macam yaitu pendarahan intraserebral, pendarahan subarakhnoid dan subdural hematoma. Pendarahan intraserebral merupakan suatu kondisi patologis dimana pembuluh darah pada paremkim otak pecah dan membentuk hematoma yang menyebabkan kerusakan jaringan di sekitarnya melalui efek mekanis yang ditimbulkan (mass effect) dan neurotoksisitas dari komponen darah dan produk degradasinya. Perdarahan subarakhnoid adalah salah satu kedaruratan neurologis yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di ruang subarakhnoid (Setyopranoto, 2012). Subdural hematoma merujuk kepada pengumpulan darah di bawa dura (meliputi otak) dan disebabkan oleh trauma (Fagan & Hess, 2008)

Gambar 2.2 Jenis Stroke (Ritter, 2015)

2.3 Stroke Pendarahan Subarakhnoid

  Perdarahan subarakhnoid (PSA) merupakan perdarahan arteri di ruang antara dua meningen yaitu piameter dan arakhnoidea. Sekitar 85% PSA berasal dari pecahnya aneurisma sakuler yang terjadi di dalam pembuluh darah pada bagian dasar otak yang utamanya berada didaerah “Circle of Willis”. “Circle of Willis” terdiri dari bagian anterior dan posterior serta berbentuk simetris terhadap bidang sagital. Bagian anterior terdiri dari arteri serebral anterior yang berhubungan dengan arteri pada saluran utama anterior dan arteri karotid internal. Delapan puluh lima persen aneurisma pecah pada bagian anterior. Lima belas persen aneurisma pecah pada bagian arteri yang berhubungan dengan posterior dan berpasangan dengan arteri serebral posterior dari ujung bifurkasi arteri basilar (Lemonick, 2010). PSA aneurisma biasanya ditandai dengan nyeri hebat di kepala seperti “ terserang petir ”. Aneurisma yang pecah pada pasien PSA membuat penurunan kesadaran sementara yang disebabkan oleh lonjakan akut tekanan intrakranial dan penurunan tekanan perfusi serebral, atau dari vasokonstriksi difusi akut arteri serebral. Pendarahan intrakranial yang berlangsung lama dapat mengurangi aliran sirkulasi intrakranial dan menyebabkan edema serebral global serta hipertensi intrakranial refrakter bahkan kematian (Freeman, 2012).

Gambar 2.3 Pendarahan Stroke Subarakhnoid (Medicinenet, 2011)

2.3.1 Epidemiologi Stroke Pendarahan Subarakhnoid

  Dari data Stroke Statistik (2013) diperkirakan ada 152.000 penderita stroke di Amerika Serikat setiap tahun yaitu lebih dari 1 kasus setiap 5 menit. Stroke menduduki peringkat utama penyebab mortalitas dan morbilitas. Insidens stroke diperkirakan 25% lebih tinggi pada laki-laki dibandingakan dengan perempuan. Diperkirakan 85% kasus stroke disebabkan oleh stroke iskemik dan 15 % disebabkan oleh stroke hemoragik dengan 10% disebabkan perdarahan intraserebral dan 5% disebabkan perdarahan subarakhnoid. PSA relatif kecil jumlahnya (<0,01% dari populasi di USA) sedangkan di ASEAN 4% dan di Indonesia 4,2%.

  Berdasarkan data 10 besar penyakit terbanyak di Indonesia tahun 2013, prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per mil dan 12,1 per mil untuk yang terdiagnosis memiliki gejala stroke. Prevalensi stroke tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Utara (10,8%) dan terendah di Provinsi Papua (2,3%), sedangkan Provinsi Jawa Tengah sebesar 7,7% (Kemenkes, 2013). Menurut Dinkes Provinsi Jawa Tengah (2012), stroke dibedakan menjadi stroke hemoragik dan stroke hemoragik.

  Prevalensi stroke hemoragik di Jawa Tengah tahun 2012 adalah 0,07 lebih tinggi dari tahun 2011 (0,03%). Prevalensi tertinggi tahun 2012 adalah Kabupaten Kudus sebesar 1,84%. Prevalensi stroke non hemoragik pada tahun 2012 sebesar 0,07% lebih rendah dibanding tahun 2011 (0,09%).

2.3.2 Patofisiologi

  Perdarahan subarakhnoid diklasifikasikan menjadi dua kategori: Pendarahan Subarakhnoid Traumatik

  • Perdarahan subarakhnoid traumatik terjadi hasil dari cedera kepala. Namun, perdarahan karena cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak dianggap sebagai stroke. Perdarahan subarakhnoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan yaitu, ketika perdarahan tidak hasil dari faktor-faktor eksternal, seperti kecelakaan atau jatuh (Vergouwen et al, 2006).
  • Sebuah perdarahan spontan biasanya hasil dari pecahnya aneurisma mendadak di sebuah arteri otak, yaitu pada bagian aneurisma yang menonjol di daerah yang lemah dari dinding arteri itu. Aneurisma biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat muncul pada saat kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian, yaitu setelah bertahun-tahun dimana tekanan darah tinggi melemahkan dinding arteri. Kebanyakan perdarahan subarakhnoid adalah hasil dari aneurisma kongenita (Setyopranoto, 2012). Sedangkan spontan

  Pendarahan Spontan Non Traumatik subarakhnoid hemoragik disebabkan oleh karena ruptur aneurisma atau abnormalitas pembuluh darah pada otak (Dalbjerg et al, 2013). Mekanisme lain yang kurang umum adalah perdarahan subarakhnoid dari pecahnya koneksi abnormal antara arteri dan vena (malformasi arteri) di dalam atau di sekitar otak. Sebuah malformasi arteri dapat muncul pada saat kelahiran,tetapi biasanya hanya diidentifikasi jika gejala berkembang. Jarang sekali suatu bentuk bekuan darah pada katup jantung yang terinfeksi, perjalanan (menjadi emboli) ke arteri yang memasuk otak, dan menyebabkan arteri menjadi meradang. arteri kemudian dapat melemah dan pecah (Harsono, 2009).

2.3.3 Etiologi

  Penyebab paling sering pada perdarahan subarakhnoid non traumatik adalah ruptur aneurisma serebral, yaitu sekitar 70% hingga 80%, dan malformasi arteriovenosa sekitar 5-10%. Risiko pecahnya aneurisma tergantung pada lokasi, ukuran, dan ketebalan dinding aneurisma. Aneurisma dengan diameter kurang dari 7 mm pada sirkulasi serebral anterior mempunyai risiko pecah terendah dan risiko lebih tinggi terjadi pada aneurisma di sirkulasi serebral posterior dan akan meningkat sesuai besarnya ukuran aneurisma. Kebanyakan PSA terjadi karena perdarahan intraserebral primer

  (hipertensif), 10 % pada pendarahan primesensefalik, tumor susunan saraf pusat, trauma dan cedera iatrogenic selama pembedahan (Setyopranoto, 2012). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelainan perdarahan seperti leukemia,vaskulitis, anemia aplastik,

  ITP, gangguan fungsi hati, komplikasi obat trombolitik atau anti koagulan, hipofibrinogenemia, diseksi arterial dan hemophilia dapat memicu terjadinya PSA. Obat vasopressor, kokain, herpes simpleks ensefalitis, diseksi arteri vertebral, dan acute necrotizing

  haemorrhagic encephalitis terdiri dari salah satu penyebab terjadi PSA (Warlow, 2007).

2.3.4 Faktor Resiko

  Faktor resiko stroke adalah kondisi atau penyakit atau kelainan yang terdapat pada seseorang yang memiliki potensi untuk memudahkan orang mengalami serangan stroke pada suatu saat. Fartor resiko PSA secara umum dibagi menjadi dua jenis, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan atau dimodifikasi dan faktor resiko yang dapat dikendalikan (Setyopranoto, 2012). Faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan adalah riwayat keluarga pendarahan subrarakhnoid atau aneurisma, riwayat pernah menderita perdarahan subarakhnoid, penderita atau riwayat keluarga menderita polikistik renal atau penyakit jaringan ikat (sindrom Ehlers Danlos, sindrom Marfan dan Pseudoxanthoma Elasticum). Sedangkan faktor resiko yang dapat dikendalikan adalah hipertensi, konsumsi alkohol, perokok (masih atau riwayat), body mass index rendah, bekerja keras terlalu ekstrim pada 2 jam sebelum onset ,konsumsi kokain dan narkoba jenis lainnya (Warlow, 2007).

2.4 Gejala klinis

  Gambaran klinis dari perdarahan subarakhnoid sangat bervariasi mulai dari hampir asimptomatis hingga menyebabkan kematian secara mendadak. Hal ini dipercayai menyebabkan terjadinya misdiagnosis dengan konsekuensi pada keterlambatan penanganan (Harsono, 2009). Sakit kepala adalah gejala yang paling utama dan 74% dari pasien mengalami sakit kepala yang berat diikuti dengan 77% mual dan muntah, 54% hilang kesadaran dan

  35% nuchal rigidty. Dua pertiga pasien saat masuk rumah sakit dengan penurunan kesadaran, dan setengah dari mereka dalam keadaan koma. Lokasi utama kesakitan pada kepala terletak di regio

  nuchal-occipital dan intensitas parah tergantung pada kecepatan

  mencapai intensitas maksimum dan extravasasi pendarahan (Wijdicks et al, 2005). Nuchal rigidty yaitu peningkatan resistensi terhadap fleksi atau ekstensi pasif leher, adalah tanda klinis iritasi meningeal akibat ekstravasasi darah di ruang subarakhnoidal. Tanda- tanda lain dari iritasi meningeal termasuk tanda Lasegue positif atau tanda-tanda Kernig dan Brudziski. Tanda-tanda meningeal akan muncul dalam 3-12 jam dan kadangkala tanda-tanda ini tidak muncul dalam kasus koma atau ketika ekstravasasi darah minimal. Dengan demikian, tidak adanya gejala nuchal rigidty tidak dapat dikecualikan dari diagnosa pendarahan subarakhnoid (Kuramatsu dan Hutter, 2014).

  Gejala seterusnya adalah kejang yang terjadi sekitar 7% dari semua pasien. Pendarahan ulang dan adanya hidrosefalus merupakan faktor resiko utama untuk gejala kejang awal manakala vasospasme dengan iskemia kortikal, perdarahan intraparenkimal dan pembedahan saraf merupakan faktor risiko untuk kejang onset lambat. Sekitar 14% pasien biasanya ada pendarahan intraocular yaitu peningkatan mendadak dalam tekanan intrakranial dapat menyebabkan oklusi vena retina sentral dengan ektravasasi darah preretinal (subhyaloidal). Defisit neurologis fokal mungkin terjadi dalam kasus pendarahan intraparenkimal yang lama dan menyebabkan kompresi saraf kranial atau lesi iskemik disebabkan vasospasme segera (Gijn dan Rinkel, 2001).

2.5 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis a. Computed Tomography (CT) dan CT Angiography Scan.

  Pemeriksaan ini dapat menunjukkan lokasi pendarahan yang terekstravasasi di ruang subarakhnoid dengan sensitivitas yang tergantung pada jumlah perdarahan serta waktu interval setelah munculnya gejala (Wijdicks, 2005). CT scan dikatakan positif dalam 98-100% kasus jika dilakukan dalam waktu 12 jam, persentase ini menurun menjadi 93% pada 24 jam dan 50% satu minggu setelah onset gejala. Pola khas pada darah yang tersebar dapat memberikan petunjuk awal lokasi aneurisma pecah dan prediksi jumlah darah untuk delayed infraksi. Terdapat beberapa parameter kuantitatif untuk memprediksi outcome dapat dijadikan panduan intervensi atau menjelaskan prognosis delayed cerebral infraction (DCI) (Vergouwen et al, 2010). Misalnya skala Fisher dan skala Hess & Hunt digunakan untuk mengklasifikasikan perdarahan subarakhnoid berdasarkan munculnya pendarahan di kepala pada pemeriksaan CT scan. Selain itu, CT scan dapat membuktikan pendarahan intaparenkimal atau pendarahan intraventrikular yang lama, hidrosefalus, edema serebral atau lesi iskemik akibat vasospasme (Kuramatsu dan Hutter, 2014).

Gambar 2.5 Hasil Ct scan kepala menunjukkan PSA(Wijdicks, 2005)

  Table 2.5a Skor Fisher Grading dan modifikasi skor Fisher grading dan resiko DCI (Kuramatsu dan Hutter, 2014).

  Grade Hunt & Hess WFNS

  I Asimptomatik, atau nyeri GCS=15, tidak kepala minimal ada defisit motor

  II Nyeri kepala GSC=13-14, sedang/berat, Nuchal tidak ada defisit

  rigidity, tidak ada defisit motor

  neurologis, kecuali parese nervi kraniales

  III Mengantuk, bingung, GSC=13-14, ada defisit neurologis fokal defisit motor sedang

  IV Stupor, hemiparesis GSC=7-12, tidak sedang/ berat, mungkin / ada defisit terjadi rigiditas motor deserebrasi dini

  V Koma dalam, rigiditas GSC=3-6, tidak / deserebrasi, munculnya ada defisit motor tanda-tanda end state Table 2.5b Skala grading skales pada pasien PSA (Kuramatsu dan Hutter,2014) Grade

  Skor Grading Fisher

  Modifikasi Skor Grading Fisher

  Resiko DCI

  Tidak ada PSA atau IVH minimal

  1 Tidak terdeteksi adanya darah Minimal/ tipis PSA, tidak ada

  IVH pada kedua lateral ventrikel resiko rendah

  2 Deposit darah difus atau lapisan vertikal terdapat darah ukuran <1 mm, tidak ada jendalan

  Minimal/ tipis PSA, ada IVH pada kedua lateral ventrikel intermediet

  3 Terdapat jendalan dan/atau lapisan vertikal terdapat darah tebal dengan ukuran >1 mm

  Tebal PSA, tidak ada IVH pada kedua lateral ventrikel intermediet

  4 Terdapat jendalan pada intraserebral atau intraventrikuler secara difus atau tidak ada darah

  Tebal PSA, ada

  IVH pada kedua lateral ventrikel resiko tinggi

b. Digital Subtraction Angiography (DSA)

  Merupakan gold standard untuk deteksi aneurisma serebral, tetapi CTA lebih sering digunakan karena non-invasif serta sensitivitas dan spesifisitasnya lebih tinggi. Metode ini dapat memberikan informasi tentang fitur morfologi aneurisma dan hubungannya dengan arteri lainnya sehingga memungkinkan rencana pengobatan yang lebih baik (Setyopranoto, 2012). Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma multipel. Foto radiologik yang negatif harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama (Hamid et al, 2010). Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma,

  Magnetic Resonance Imaging (MRI) harus dilakukan untuk melihat

  kemungkinan adanya malformasi vaskular di otak maupun batang otak (Wijdicks, 2005).

  Gambar 2.5b Gambaran hasil angiografi serebral DSA(Hamid, 2010)

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Magnetic

  Resonance Angiografy (MRA)

  MRI dapat memperbolehkan evaluasi pembuluh darah serebral tanpa media kontras. MRA digunakan untuk mengetahui etiologi dari hemoragik dan untuk mendeteksi DCI dengan difusi dan perfusion weighted imaging (Gijn, 2001). Penggunaan MRI /MRA dalam mendeteksi PSA semakin berkembang tetapi sering terbatas karena ketersediaan alat, logistik, membutuhkan kerjasama pasien, kebutuhan waktu dan biaya (Hamid, 2010).

d. Lumbar Puncture