Aktivitas Enzim Peroksidase (POD) Lateks dan Analisis Fisiologi Kulit Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Klon PB 260 dan RRIM 921 Dengan Pemberian Antidepresan Pada Musim Gugur Daun

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Steenis (2005) mengelompokkan kedudukan tanaman karet dalam
tatanama

(sistematika)

sebagai

berikut:

Kingdom:

Plantae,

Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Dicotyledoneae,
Ordo: Euphorbiales, Famili: Euphorbiaceae, Genus: Hevea, Species : Hevea
brassiliensis Muell. Arg.
Sebagai tanaman berbiji belah akar pohon karet berupa akar tunggang
yang mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi keatas. Dengan akar
yang seperti itu pohon karet bisa berdiri kokoh meskipun tingginya mencapai 25

meter (Setiawan dan Andoko, 2007).
Karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar.
Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh
lurus dan memiliki percabangan yang tinggi. Di beberapa kebun karet ada
kecondongan

arah

tumbuh

tanamannya

agak

miring

ke

arah


utara

(Nugroho, 2010).
Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang
tangkai daun utama 3-20 cm. Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10 cm, pada
ujungnya terdapat kelenjar. Ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun
karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing
(Astuti, 2008).
Pembungaan pada tanaman karet dimulai setelah selesai masa gugur daun.
Waktu pembungaan pada tanaman karet berbeda-beda dan bergantung pada lokasi
geografis tanaman. Pembuahan terjadi dalam 24 jam setelah penyerbukan dan

Universitas Sumatera Utara

bunga betina yang tidak fertil akan mengalami pengguguran secara cepat. Buah
yang bertahan berkembang, mencapai ukuran maksimum pada hari ke 80-90 dan
menjadi keras pada hari ke 110 (Priyadarshan, 2011).
Buah karet berbentuk seperti setengah bola dengan pembagian ruang yang
jelas. Jumlah ruang biasanya adalah tiga dan terkadang dapat mencapai enam
ruang pada satu buah. Dalam setiap ruang buah terdapat biji yang berperan

penting dalam perkembangbiakan. Biji karet berukuran besar dengan berat 3.5-6.0
g, memiliki kulit keras, dan berwarna coklat kehitaman dengan bercak berpola
yang khas. Ukuran biji besar dengan kulit keras. Warnanya coklat kehitaman
dengan bercak-bercak berpola yang khas (Astuti, 2008).
Lateks merupakan hasil fotosintesis dalam bentuk sukrosa yang
ditranslokasikan dari daun melalui pembuluh tapis ke dalam pembuluh lateks. Di
dalam pembuluh lateks terdapat enzim seperti invertase yang akan mengatur
proses perombakan sukrosa untuk pembentukan karet. Biosintesis lateks
berlangsung dalam sel-sel pembuluh lateks dengan bahan dasar berupa sukrosa
yang ditranport dari daun sebagai hasil fotosintesis yang telah mengalami
perubahan secara enzimatik (Dalimunthe, 2004).
Syarat Tumbuh
Iklim
Secara garis besar tanaman karet dapat tumbuh baik pada kondisi iklim
sebagai berikut: suhu rata-rata harian 280C (dengan kisaran 25 – 350C) dan curah
hujan tahunan rata-rata antara 2.500 - 4.000 µM dengan hari hujan mencapai 150
hari pertahun. Pada daerah yang sering hujan pada pagi hari akan mempengaruhi
kegiatan penyadapan bahkan akan mengurangi hasil produktifitasnya. Keadaan

Universitas Sumatera Utara


daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah daerah-daerah Indonesia bagian
barat, yaitu Sumatera, Jawa, dan Kalimatan, sebab iklimnya lebih basah
(Budiman, 2012).
Tanah
Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet
baik tanah vulkanis muda dan tua, bahkan pada tanah gambut < 2 m. Tanah
vulkanis mempunyai sifat fisika yang cukup baik terutama struktur, tekstur,
sulum, kedalaman air tanah, aerasi dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara
umum kurang baik karena kandungan haranya rendah. Tanah aluvial biasanya
cukup subur, tetapi sifat fisikanya terutama drainase dan aerasinya kurang baik.
Reaksi tanah berkisar antara pH 3,0 - pH 8,0 tetapi tidak sesuai pada pH < 3,0 dan
> pH 8,0 (Anwar, 2001).
Indonesia memiliki kisaran iklim yang luas yaitu dari tropika basah hingga
semi-arid dan curah hujan merupakan unsur utama iklim yang bervariasi pada
berbagai wilayah. Sebahagian besar perkebunan karet di Indonesia terletak di
Sumatera dan Kalimantan dengan kisaran curah hujan antara 1.500 – 4.000 µM/th
dan rata-rata bulan kering 0-4 bulan per tahun (Thomas et al., 2009).
Klon Tanaman
Menurut Sumarmadji et al. (2005) dan Kuswanhadi et al. (2009), terdapat

kecenderungan bahwa klon metabolisme tinggi memulai puncak produksi di
periode awal (quick starter) dan klon dengan metabolisme rendah memiliki
puncak produksi di periode belakang (slow starter). Klon metabolisme tinggi
telah diuji pada beberapa klon yaitu PB 235, PB 260, PB 280, PB 340, RRIM 712,
IRR 1, IRR 2, IRR 3, IRR 4, IRR 5, IRR 6,IRR7, IRR 8, IRR 10, IRR 17, IRR 32,

Universitas Sumatera Utara

IRR 103, IRR 104, IRR 105, IRR 106, IRR 107, IRR 109, IRR 110, IRR 111, IRR
112, IRR 117, IRR 118, IRR 119 dan IRR 120 dan klon dengan metabolisme
rendah telah diuji pada beberapa klon antara lain: AVROS 2037, BPM 107, BPM
109, PB 217, RRIC 102, PR 303, TM 2, TM 6, TM 8, TM 9, IRR 24, IRR 39, IRR
41, IRR 42 dan IRR 44.
Klon PB 260 berasal dari persilangan klon PB 5/51 dengan PB 49 yang
dikategorikan sebagai tipe klon penghasil lateks. Produksi karet kering rata-rata
klon PB 260 adalah 2.063 kg/ha/th. Klon PB 260 memiliki karakteristik
pertumbuhan lilit batang 45 cm, tebal kulit murni 6,3 µM dan cenderung resisten
terhadap

Oidium,


Colletotrichum,

Corynespora

dan

jamur

upas

pertumbuhan

jagur,

(Daslin et al., 2009).
Potensi

klon


PB

260

penghasil

lateks

resisten terhadap Corynespora colletotrichum dan Oidium. Produksi lateks
mencapai 1.5-2.5 ton/ha/th dengan warna lateks putih kekuningan. Lateks diolah
dalam bentuk sheet (Janudianto et al., 2013).
Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet tahun 2005 telah
merekomendasikan beberapa klon unggul, di antaranya adalah klon PB 260 yang
telah teruji pada periode sebelumnya memiliki produktivitas mencapai 2,1 ton
karet kering per hektar per tahun. Selain itu karet klon PB 260 juga memiliki
ketahanan

terhadap

terpaan


angin

karena

perakarannya

yang

kuat

(Marchino et al., 2010).
Produktivitas klon unggul ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan dan
interaksi keduanya. Kendala lingkungan sangat bervariasi menurut kondisi
agroekosistem penanaman, sehingga jenis klon yang memiliki karakteristik

Universitas Sumatera Utara

berbeda akan membutuhkan kondisi lingkungan (agroekosistem) yang sesuai guna
mewujudkan tingkat produktivitas yang optimal. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa beberapa kultivar tanaman karet dapat beradaptasi pada berbagai daerah
dengan agroekosistem yang luas ataupun pada lingkungan yang spesifik
(Thomas et al., 2009).
Kering Alur Sadap (KAS)
Penyakit karet sering menimbulkan kerugian ekonomis di perkebunan
karet. Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya berupa kehilangan hasil akibat
kerusakan tanaman, tetapi juga biaya yang dikeluarkan dalam upaya
pengendaliannya. Lebih dari 25 jenis penyakit menimbulkan kerusakan di
perkebunan karet. Salah satu penyakit tanaman karet yang ditemukan pada
perkebunan karet adalah KAS (Tapping Panel Dryness, Brown Bast)
(Sirait dan Syahnen, 2013).

Gambar 1. Tanaman yang terserang KAS (Foto di lapangan)
KAS telah ditemukan diperkebunan karet sejak tahun 1920. Penyebab
kejadian ini adalah over exploitation yang memicu peningkatan senyawa radikal
yang menyebabkan koagulasi lateks di dalam pembuluh lateks dan pembentukan

Universitas Sumatera Utara

sel tilasoid. Luka kayu juga menjadi penyebab terjadinya KAS pada panel bawah.

Status kejadian KAS di bidang sadapan menjadi nyata merugikan apabila dalam
satu populasi telah terserang lebih dari 5%. Kejadian KAS dilapangan juga
ditemukan di bidang sadap kulit perawan bahkan pada waktu awal buka sadap
(Mochlisin dan Tistama, 2014).
Pengendalian penyakit KAS dapat dilakukan secara terpadu dengan
pemupukan, pengikisan, pengistirahatan bidang sadapan selama 6 bulan,
pengolesan fungisida Anti rot F95 (mengandung fungisida 1%, ZPT 200 ppm dan
bahan lain 4%) atau pengolesan fungisida berbahan aktif triadimefon 250 g/l
(Sirait dan Syahnen, 2013).
Analisis kandungan lateks pada tanaman KAS parsial diketahui
menunjukkan kandungan gula tinggi, tetapi fosfat anorganik (Pi) rendah demikian
pula dengan kandungan thiol meskipun tanaman diberi stimulan ethepon.
Intensitas eksploitasi yang tinggi pada tanaman sehat menyebabkan kandungan
gula didalam lateks turun. Sementara kandungan Pi dan thiol justru meningkat.
Gula yang tersedia tidak dapat diolah karena energi yang tersedia sangat rendah
dan enzim yang terlibat dalam metabolisme karet terganggu aktivitasnya.
Kandungan Pi berkorelasi negatif terhadap KAS (Sumarmadji, 2000).
Kejadian KAS menurut Abraham et al. (2006) diklasifikasikan menjadi
tanaman tidak terserang KAS (0%), rendah (0-25%), sedang (25-50%), tinggi (5075%), dan sangat tinggi (>75%). Klasifikasi tersebut digunakan untuk mengetahui
luasan kejadian KAS di bidang panel sadapan. Persentase KAS dapat diperoleh

dari perbandingan panjang luasan bidang sadap yang tidak mengeluarkan lateks
dengan total panjang keseluruhan bidang sadap dikalikan 100%.

Universitas Sumatera Utara

Gejala KAS ditandai dengan terdapatnya bagian-bagian alur sadap yang
tidak mengeluarkan lateks. Bagian-bagian tersebut kemudian meluas dan akhirnya
seluruh pohon tidak mengeluarkan lateks sama sekali. Kulit sebelah dalam bagian
yang sakit berubah warna menjadi cokelat (Semangun, 2000).

Gambar 2. Perbedaan Tanaman Sehat dan Terserang KAS (Jacob, 1989).
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa sel lutoid pada tanaman sehat tidak
terdapat ruang kosong yang artinya aliran lateks mengalir dengan baik. Berbeda
dengan Sel lutoid pada tanaman KAS yang terdapat sela-sela kosong yang akan
mengakibatkan terjadinya koagulasi. Hal ini dikarenakan pada tanaman KAS
senyawa radikal bebas menyerang sedangkan enzim antioksidan tidak mampu
melawannya. Menurut Siswanto (1994) terjadinya koagulasi dalam pembuluh
lateks disebabkan oleh adanya degradasi membran lutoid oleh senyawa ROS
seperti O2-, H2O selanjutnya senyawa yang terkandung dalam lutoid akan
dibebaskan sehingga menyebabkan koagulasi. Faktor yang berpengaruh positif
terhadap kestabilan membran lutoid adalah enzim SOD dan katalase serta
senyawa thiol dan asam askorbat yang bisa menetralkan senyawa ROS tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Gugur Daun Karet
Salah satu faktor penentu terpenuhinya ketersediaan air bagi tanaman karet
adalah curah hujan dan hari hujan. Curah hujan dan hari hujan merupakan faktor
iklim yang ikut mengalami penyimpangan dikarenakan perubahan iklim.
Perubahan iklim dapat berdampak negatif maupun positif bagi tanaman karet di
lapangan (Irsal et al., 2015).
Perontokan atau gugur daun pada pohon karet lazim disebut wintering atau
leaf shedding. Perontokan daun merupakan aklimatisasi saat periode kering.
Perontokan daun penting dalam rangka homoeostatik, untuk mempertahankan
keseimbangan antara tajuk dengan bagian tanaman lain, dan keseimbangan pohon
dengan lingkungan (Siregar et al., 2007).
Morgan (1984) berpendapat bahwa perontokan daun terdiri atas 3 tahap :
1. Inisiasi perontokan daun melalui signal internal perontokan
2. Induksi perontokan melalui sintesis hormon pada daun
3. Perontokan daun yang didahului perubahan-perubahan biokimia, anatomi, dan
fisiologi. Perontokan daun dapat terjadi secara serentak ataupun bertahap
Ciri musim gugur daun tahunan tidak sama di setiap wilayah. Disamping
itu juga terdapat perbedaan lamanya klon mengalami gugur daun, di antaranya ada
yang berlangsung serentak dan ada yang bertahap. Keserentakan gugur daun
kurang dapat dibedakan antar klon (Sumarmadji, 1999).
Menurut Turner dan Jones (1980) adaptasi tanaman terhadap kekeringan :
1. Menghindari kekeringan (drought escape), yaitu kemampuan tanaman untuk
menyelesaikan siklus hidupnya lebih cepat untuk menghindari kekeringan
yang lebih parah.

Universitas Sumatera Utara

2. Penundaan dehidrasi (drought postponement) yaitu kemampuan tanaman
untuk bertahan dalam kondisi kekeringan dengan cara mempertahankan status
air yang tinggi melalui peningkatan absorbsi air dan mengurangi tingkat
transpirasi
3. Toleran terhadap dehidrasi (dehydration tolerance) yaitu ketahanan membran
sel terhadap dehidrasi
Dalam pertumbuhan karet diketahui bahwa menjelang berakhirnya musim
hujan, pohon karet mulai menggugurkan daunnya. tetapi masa gugur daun pada
tanaman tidak terjadi dalam waktu yang bersamaan. Masa gugur daun dipengaruhi
oleh klon dan keadaan iklim setempat (Setyamidjaja, 1986).
Tanaman karet dalam menghadapi kondisi cekaman kekeringan akan
beradaptasi dengan cara menggugurkan daunnya. Klon-klon karet dapat pulih
kembali mendekati kondisi normal hanya terjadi jika kondisi stres air sampai pada
tingkat payung daun pertama menguning 50% saja. Apabila kondisi tanaman stres
sampai

payung daun pertama rontok dan payung kedua mengguning 50%,

payung daun kedua rontok > 75%, payung daun pertama dan kedua rontok serta
batang

menguning

dan

keriput,

tanaman

dapat

pulih

kembali,

tetapi

pertumbuhannya sangat lambat (Amypalupy dan Wijaya, 2009).
PB 260 mengalami jumlah daun gugur yang lebih tinggi hingga April.
Terdapat dua kemungkinan yang menyebabkan perbedaan ini. Pertama, tajuk pada
PB yang umumnya lebih tebal dan lebat berkonsekuensi kepada jumlah daun yang
gugur lebih banyak. Kedua PB memiliki respon yang cepat terhadap perubahan
curah hujan. Dengan kata lain, respon homeostatik pada PB 260 lebih cepat
(Siregar, 2014).

Universitas Sumatera Utara

Fisiologi Karet
Karakter-karakter yang mendukung sifat fisiologi aliran lateks dari genotipe
klon penghasil lateks dan lateks kayu memiliki jumlah ring pembuluh lebih
banyak yaitu 11,75 pembuluh, diameter ring pembuluh lateks lebih besar sama
dengan 34, 48 mikron, indeks penyumbatan lebih kecil sama dengan 22,99,
kecepatan aliran lateks lebih besar sama dengan 8, 18 (ml/menit/cm) dan indeks
hasil lebih besar sama dengan 77,03% (Pasaribu et al., 2014).
Pada umumnya klon yang berproduksi tinggi tanpa stimulasi mempunyai
kadar fosfat anorganik (Pi) tinggi dan sukrosa rendah, yang menunjukkan aktifitas
metabolisme yang tinggi. Sebaliknya, kadar Pi rendah dan sukrosa tinggi pada
klon berproduksi rendah, yang menunjukkan rendahnya aktifitas metabolisme
lateks (Lacote, 2007).
Thiol (R-SH) berfungsi sebagai antioksidan, sehingga stress oksidatif
sebagai akibat aktifnya metabolisme dalam sel dapat ditekan. Kadar R-SH yang
rendah menunjukkan terlalu intensifnya eksploitasi sehingga perlu dikurangi
dengan menurunkan intensitas sadapan maupun stimulasi (Gohet et al., 1996).
Kisaran optimal kadar fosfat anorganik lateks adalah 10-20 µM. Semakin
rendah kandungan fosfat anorganik dari kisaran optimal tersebut berarti
kemampuan tanaman dalam melakukan metabolisme juga semakin berkurang.
Sebaliknya, semakin tinggi kadar fosfat anorganik dari kisaran optimalnya,
mengindikasikan bahwa tanaman mengalami over eksploitasi atau mungkin juga
terserang penyakit (D’ Auzac et al., 1989).
Klon PB 260 melakukan metabolisme yang lebih intensif dalam
memanfaatkan sukrosa untuk proses diferensiasi latisifer sedangkan metabolisme

Universitas Sumatera Utara

sukrosa pada klon IRR 42 lebih diutamakan dalam proses pembelahan sel-sel pada
jaringan kulit sehingga latisifer lebih padat pada klon PB 260 dibanding klon IRR
42 (Lubis, 2014).
Kadar sukrosa yang terukur dalam lateks merupakan selisih antara influks
sukrosa dengan banyaknya sukrosa yang digunakan untuk metabolisme lateks.
Kadar sukrosa lateks yang tinggi tidak mutlak memberikan gambaran pada
potensi produksinya tetapi justru dapat menggambarkan produksi aktual yang
rendah, karena produksi lateks dan pertumbuhan berkompetisi dengan kuat dalam
hal penggunaan sukrosa (Sumarmadji, 2000).
Pada klon RRIM 623 yang berasal dari Malaysia kulit karet memiliki
kandungan K+ yaitu 186,7 µM, Pi memiliki kandungan 20,3 µM, Mg+ sebesar
27,5 µM, Ca+ adalah 15,5 µM, Na+ yaitu 2,9 µM, dan untuk nilai total protein
adalah 67 mg/unit, serta nilai sukrosa adalah 18-27 mg/mol (Gohet et al., 1996).
Tanaman karet dengan metabolisme rendah memiliki tingkat pemulihan
terhadap KAS lebih baik dibandingkan tanaman karet dengan metabolisme tinggi.
Hal tersebut diduga berkaitan dengan tipe metabolisme masing-masing klon.
Tanaman karet metabolisme rendah memiliki respon fisiologis yang lebih rendah
sehingga memiliki tingkat stress fisiologis yang lebih rendah dibandingkan
tanaman karet metabolisme tinggi. Hal ini mempengaruhi kadar sukrosa pada
tanaman, tanaman karet metabolisme rendah yang mengalami KAS akan
mengalami biosintesis sukrosa dengan baik pada saat pemulihan dibandingkan
dengan tanaman karet metabolisme tinggi (Wibowo, 2016).
Respons tanaman karet terhadap intensitas eksploitasi umumnya berbeda
pada setiap klon dan variasi musiman, sehingga peningkatan intensitas eksploitasi

Universitas Sumatera Utara

harus

mempertimbangkan

nilai

kritis

dari

karakter

fisiologinya

(Sumarmadji, 1999).
Beberapa faktor yang menyebabkan penurunan produksi tanaman karet
antara lain adalah keletihan fisiologis tanaman, kebocoran aplikator, dan sisa
panel sadap yang semakin menipis (Siregar et al., 2013).
Antidepresan
Auksin dan sitokinin berbeda dengan hormon tumbuhan yang lain. Auksin
dan sitokinin merupakan agen sinyal yang sangat penting dalam mempengaruhi
viabilitas tanaman. Auksin mengontrol bermacam-macam proses perkembangan
tanaman diantaranya perpanjangan batang, dominansi apikal, inisiasi akar,
perkembangan buah dan pertumbuhan (Taiz dan Zeiger, 2002).
Asam naftalena asetat (NAA) dan 2.4-D merupakan senyawa tanpa ciri
indol tapi mempunyai aktivitas biologis seperti IAA. NAA banyak digunakan
sebagai hormon akar dan selang konsentrasi yang mendorong pembesaran sel-sel
pada akar adalah sangat rendah. Menurut Zaer dan Mapes (1985), NAA memiliki
sifat kimia lebih stabil dibanding IAA dan tidak mudah teroksidasi oleh enzim.
Anwar (2007) menambahkan bahwa NAA merupakan IAA sintetik yang sering
digunakan karena memiliki sifat yang lebih tahan, tidak terdegradasi dan lebih
murah. Naphthalene Asetic Acid/Naphtyl Acetic Acid (NAA) memiliki berat
molekul 186.21 dengan rumus molekul C12H10O2.
NAA dan 2,4 D pada umumnya digunakan pada konsentrasi rendah untuk
mengenali tipe respon auksin dalam pertumbuhan sel, pembelahan sel, pembuahan
dan perakaran meskipun efek yang ditimbulkan bervariasi. NAA lebih aktif

Universitas Sumatera Utara

dibandingkan IAA dalam menginduksi pertumbuhan akar pada stek batang.
Senyawa ini cenderung lebih stabil di dalam jaringan tanaman (Srivastava, 2002).
Askorbat berperan penting dalam beberapa proses fisiologis tanaman
diantaranya adalah pertumbuhan, diferensiasi, dan metabolisme. Selain itu
askorbat juga berfungsi sebagai pereduktor untuk beberapa radikal bebas sehingga
dapat meminimalkan kerusakan yang disebabkan oleh cekaman oksidatif
(Mc Kersie dan Leshem 1994).
Asam askorbat atau vitamin C merupakan salah satu bentuk antioksidan
yang secara alami terdapat pada tumbuhan. Askorbat merupakan senyawa
metabolit utama pada tumbuhan yang memiliki fungsi sebagai antioksidan, yang
melindungi tanaman dari kerusakan oksidatif yang dihasilkan dari metabolisme
aerobik, fotosintesis dan berbagai polutan. Askorbat juga merupakan kofaktor
untuk beberapa enzim hidroksilase (misalnya prolyl hidroksilase) dan
violaxanthin de-epoxidase. Askorbat berada di dinding sel sebagai baris
pertahanan pertama terhadap ozon (Smirnoff, 1996).
Diantara bahan tambahan yang dianggap paling aman sebagai penyerap
oksigen, asam askorbat (vitamin C) dianggap yang paling aman untuk digunakan
sebagai oxygen scavenger. Pada prinsipnya, asam L-askorbat akan dioksidasi
menjadi aam dehidro L-askorbat dengan bantuan enzim oksidase atau peroksidase
(Vermeiren et al., 1999).
Enzim Peroksidase
Menurut Van Loon et al., (1994) enzim peroksidase merupakan suatu
kelompok PR-protein (Pathogenesis Related-protein) dari golongan PR-9 yang
terakumulasi pada saat tanaman sakit atau sejenisnya. Selain itu peningkatkan

Universitas Sumatera Utara

aktivitas enzim peroksidase dipengaruhi juga oleh adanya serangan virus.
Gupta et al. (1990) menyatakan bahwa tanaman yang tahan terhadap penyakit
cenderung memperlihatkan aktivitas peroksidase yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tanaman rentan.
Peroksidase termasuk ke dalam enzim golongan oksidoreduktase, yaitu
enzim yang menggunakan hidrogen peroksida sebagai substrat. Enzim
peroksidase berkaitan erat dengan sejumlah proses fisiologi yang meliputi
lignifikasi, penyembuhan luka, oksidasi fenol, dan pertahanan terhadap pathogen
(Reimmann et al. 1992).
Gen ketahanan hipersensitif yang dominan diekspresikan pada tanaman
adalah gen penyandi enzim peroksidae dan polifenol peroksidase. Kedua enzim
tersebut lebih umum berperan dalam mekanisme pertahanan terhadap penyakit
sehingga

aktivitasnya

dijadikan

sebagai

induksi

ketahanan

(Saravanan et al., 2004).
Nilai absolut aktivitas kitinase dan peroksidase berbeda diantara jaringan
tanaman. Hal ini kemungkinan disebabkan perbedaan tingkat diferensiasi sel
jaringan dan juga faktor lingkungan. Pada kalus dan tunas in vitro, lingkungan
dalam kondisi steril sehingga faktor yang berpengaruh terhadap ekspresi gen
kitinase dan peroksidase kemungkinan adalah faktor abiotik seperti media dan
lingkungan (Sukma et al., 2008).
Enzim peroksidase terdapat di vakuola atau ruang interseluler dan dinding
sel dengan bobot molekul 44.000 Dalton, tersusun dari gugus prostetik hemin, Ca,
308 asam amino termasuk empat jembatan disulfida dalam satu rantai polipeptida
yang membawa delapan rantai karbohidrat netral (Gaspar,1984).

Universitas Sumatera Utara

Penyadapan dan stimulasi etefon direspons oleh tanaman karet sebagai
cekaman bagi kehidupannya. Cekaman lingkungan akan menyebabkan akumulasi
Reactive Oxygen species (ROS) yang dapat menghancurkan makromolekul
penyusun membran organel atau sel. Kerusakan membran tersebut akan memicu
kematian sel. Untuk mengatasi cekaman tersebut, tanaman karet meningkatkan
aktivitas askorbat peroksidase (APX; EC 1.11.1.9). Enzim tersebut berperan
dalam detoksifikasi ROS invivo, dan berperan dalam ketahanan terhadap cekaman
dan/atau mengatur lamanya aliran lateks (Astuti, 2008).
Pada tanaman yang toleran/tahan diketahui terjadi peningkatan aktivitas
peroksidase, sedangkan pada tanaman yang peka tidak ada perubahan atau bahkan
turun dibandingkan dengan keadaan sehat. Enzim tersebut merupakan enzim
oksidase yang paling tinggi intensitasnya di dalam jaringan luka atau sakit
(Agrios, 2005).
Peroksidase termasuk ke dalam enzim golongan oksidoreduktase yaitu
enzim yang mengkatalis reaksi oksidasi-reduksi. Radikal bebas yang terbentuk
dari proses respirasi aerobik, misalnya radikal hidroksida (OH-), superoksida (O-),
dan hidrogen peroksida (H2O2), dapat merusak fraksi lipid membran dan
menghasilkan lipid peroksida dan selanjutnya terurai menjadi senyawa produk
oksidasi sekunder yang toksik (Dumet & Benson 2000). Molekul-molekul toksik
tersebut dibatasi jumlahnya di dalam sel oleh sejumlah enzim antioksidan.
Superoksida dipecahkan oleh Superoksida dismutase (SOD) dimana dalam proses
tersebut dihasilkan hidrogen peroksida (H2O2) yang kemudian diuraikan oleh
enzim peroksidase. Peroksidase memecahkan H2O2 menjadi air (Gambar 3)
ketika mengoksidasi sejumlah substrat. Dengan demikian peroksidase adalah

Universitas Sumatera Utara

enzim golongan oksidoreduktase yang menggunakan H2O2 sebagai akseptor
elektron untuk mengkatalis berbagai reaksi oksidatif. Peroksidase juga
membutuhkan kofaktor untuk melakukan aktivitas enzimatisnya yaitu heme
sehingga

peroksidase

disebut

juga

heme

dependent

peroxidase

(Quiambao & Rojah 2000).

Gambar 3. Reaksi penghilangan ROS (Quiambao & Rojah 2000).
Pada tanaman karet, ada tiga gen yang terekspresi saat suatu klon tercekam
kekeringan, yaitu 1) Peroksidase, tingkat peroksidase yang tinggi menunjukkan
keterkaitannya dalam perbaikan stres melalui detoksifikasi Species oksigen reaktif
(ROS) yang diproduksi dalam jumlah besar ketika tanaman mengalami
kekeringan yang dikombinasikan dengan suhu dan cahaya tinggi. Klon karet
RRIM 600 dan RRII 430 diketahui mempunyai sistem pembilasan ROS yang
lebih baik sehingga klon tersebut lebih toleran selama kondisi kekurangan air di
lapang yang dialami selama musim panas; 2) Protein Late embryogenesis
abundant 5 (LEA 5), merupakan protein hidrofobik yang mengandung proporsi
yang jauh lebih tinggi dari residu hidrofobik. Akumulasi dari protein ini
merupakan respon terhadap kondisi stres seperti kekeringan, salinitas, suhu dingin
dan pelukaan. Tingginya tingkat protein LEA 5 yang ditemukan pada semua klon
toleran kekeringan menunjukkan keterkaitannya dengan sifat toleran kekeringan
dari klon-klon tersebut; dan 3) Glutation peroksidase (GPX), berfungsi untuk
mempercepat reduksi

glutathione, dimana glutathione berperan sebagai

Universitas Sumatera Utara

antioksidan pada bagian-bagian sel selain kloroplas seperti mitokondria, sitosol,
peroksisom dan dalam inti. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat GPX yang
lebih tinggi pada semua klon toleran menunjukkan relevansinya terhadap
pembilasan ROS selama cekaman kekeringan (Sathik et al., 2011).
Protein sangat penting artinya bagi makhluk hidup, karena semua enzim
yang terlibat dalam reaksi-reaksi metabolisme adalah protein. Tetapi tidak berarti
bahwa semua protein adalah enzim. Komposisi dan ukuran setiap molekul protein
tergantung pada asam-asam amino penyusunnya. Setiap enzim terbentuk dari
molekul protein sebagai komponen utama penyusunnya dan beberapa enzim
hanya terbentuk dari molekul protein dengan adanya penambahan komponen lain
(Lakitan, 1993).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Respons Pertumbuhan Stum Mata Tidur Karet (Hevea brasilliensis Muell Arg.) Dengan Pemberian Air Kelapa Dan Pupuk Organik Cair.

15 91 108

Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Terhadap Penyakit Gugur Daun ( Corynespora Cassiicola (Berk. &amp; Curt.) Wei.) Di Kebun Entres

0 57 66

Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea Brassiliensis Muel. Arg.) Terhadap 3 Isolat Penyakit Gugur Daun (Colletotrichum Gloeosporioides Penz. Sacc.) Di Laboratorium

0 48 59

Uji Resistensi Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

0 35 61

Aktivitas Enzim Peroksidase (POD) Lateks dan Analisis Fisiologi Kulit Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Klon PB 260 dan RRIM 921 Dengan Pemberian Antidepresan Pada Musim Gugur Daun

1 12 76

Aktivitas Enzim Peroksidase (POD) Lateks dan Analisis Fisiologi Kulit Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Klon PB 260 dan RRIM 921 Dengan Pemberian Antidepresan Pada Musim Gugur Daun

0 0 14

Aktivitas Enzim Peroksidase (POD) Lateks dan Analisis Fisiologi Kulit Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Klon PB 260 dan RRIM 921 Dengan Pemberian Antidepresan Pada Musim Gugur Daun

0 0 2

Aktivitas Enzim Peroksidase (POD) Lateks dan Analisis Fisiologi Kulit Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Klon PB 260 dan RRIM 921 Dengan Pemberian Antidepresan Pada Musim Gugur Daun

0 0 4

Aktivitas Enzim Peroksidase (POD) Lateks dan Analisis Fisiologi Kulit Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Klon PB 260 dan RRIM 921 Dengan Pemberian Antidepresan Pada Musim Gugur Daun

0 0 5

Aktivitas Enzim Peroksidase (POD) Lateks dan Analisis Fisiologi Kulit Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Klon PB 260 dan RRIM 921 Dengan Pemberian Antidepresan Pada Musim Gugur Daun

0 0 6