Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hibridisasi Budaya dalam Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo di Desa Mola Wakatobi T2 752015031 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Orang Bajo merupakan suku yang hidup di laut. Pola interaksi masyarakat Bajo
terpusat pada laut yang

merupakan sumber kehidupan mereka. Gaya hidup nomaden

(mengembara atau berpindah-pindah) membuat orang Bajo merasakan perubahan nyata
dalam budaya mereka. Akibatnya, orang Bajo sulit untuk menunjukkan identitasnya yang
‘asli’. Padahal identitas merupakan fenomena sosial yang timbul dari dialektika antara
individu dan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial, dipelihara,
dimodifikasi atau dibentuk ulang oleh relasi sosial masyarakat.1 Identitas orang Bajo kini
menjadi samar-samar akibat perubahan sosial dan pembangunan yang terjadi begitu cepat.
Selain itu, globalisasi yang menguat sampai ke setiap lini kehidupan membuat orang Bajo
tidak bisa menahan arus perubahan global. Anthony Giddens memakai metafora Juggernaut
(Panser Besar) untuk menggambarkan dunia yang tidak terkendali oleh arus globalisasi,
sehingga menciptakan resiko dan kesempatan.2 Globalisasi sering dianggap sebagai ancaman
dalam masyarakat, khususnya dari pengaruhnya dalam melemahkan kebudayaan lain. Jadi,
proses penduniaan (homogenitas) turut mengambil bagian dalam proses perubahan, pola
pikir, gaya hidup, budaya, sistem kepercayaan, dan perubahan sosial yang menuntun ke arah

universalisme itu sendiri.
Michael Forse menyatakan bahwa “perubahan sosial merupakan hasil dari
ketidakseimbangan mikrososial yang terjadi sehingga menyebabkan reaksi global dan
berantai, serta akan menghasilkan perubahan makrososial dari masyarakat terhadap

1

Peter L. Berger and Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Sebuah Risalah Tentang
Sosiologi Pengetahuan, trans. Hasan Basari, First ed. (Jakarta: LP3ES, 1990), 248.
2
George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern,
trans. Saut Pasaribu, Rh. Widada, and Eka Adi Nugraha, Second ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 979.

1

perubahan tersebut.”3 Perubahan ini berdampak pada tatanan sosial, kultur, dan sistem
kepercayaan orang Bajo. Orang Bajo yang sifatnya terbuka menjadi “santapan segar” dalam
perubahan ini, khususnya terhadap pengaruh globalisasi. Akibatnya, “setiap hal” yang masuk
sulit disaring oleh masyarakat Bajo itu sendiri, karena sifat khas atau karakter kebudayaan
mereka yang terbuka terhadap hal baru. Ini menjadi persoalan ketika identitas global yang

digadang-gadang akan mengganti identitas manapun, bahkan identitas lokal yang ada. Dari
sisi ini, dampak dari globalisasi “menekan ke bawah,” yakni menciptakan tuntutan-tuntutan
dan kesempatan-kesempatan baru untuk meregenerasikan identitas lokal.4
Hal ini terjadi pula terhadap identitas lokal orang Bajo di Desa Mola, Wakatobi.
Pemerataan dalam hal pembangunan terjadi di daerah tersebut, yakni dalam rentang waktu
15-20 tahun ini, mengakibatkan orang Bajo tinggal menetap di daerah tersebut. Persoalan ini
menjadi masalah kultural bagi orang Bajo, karena mereka pada dasarnya sulit untuk tinggal
pada suatu kawasan tertentu dalam waktu yang lama, apalagi menetap untuk “selamanya.”
Orang Bajo dikenal karena hidup di atas air laut, melakukan setiap aktivitas kehidupannya
‘dari laut dan untuk laut.’ Siklus kehidupan orang Bajo mulai dari kelahiran, pernikahan,
pengobatan, sampai kematian selalu dihubungkan dengan laut. Itu yang menyebabkan orang
Bajo membuat satu sistem kepercayaan mereka sendiri yang berpusat dari laut dan untuk laut.
Namun kini, orang Bajo yang terkena dampak dari pembangunan telah tinggal menetap di
atas fondasi batu karang, layaknya rumah di darat. Hanya tersisa satu wilayah yang belum
terkena dampak pembangunan tersebut, yakni Desa Mola Nelayan Bakti. Di Desa ini, rumahrumah penduduk masih dari rumah panggung, dibangun dengan fondasi kayu atau beton cor

3

Michael Forse, "Teori-Teori Perubahan Sosial," in Sosiologi Sejarah Dan Berbagai Pemikirannya, ed.
Anthony Giddens, et al. (Bantul: Kreasi Wacana, 2009), 328.

4
Anthony Giddens, The Third Way, trans. Ketut Arya Mahardika, Fourth ed (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2002), 36.

2

yang ditancapkan ke dasar laut, sehingga belum mendapatkan sertifikat tanah oleh
pemerintah.5
Dari segi kemanusiaan, hal ini penting dilakukan oleh pemerintah. Namun,
pemerintah melupakan pendekatan terhadap kebudayaan orang Bajo ini. Pemerintah sibuk
melakukan pembangunan dari segi fisik (bangunan), dan cenderung mengesampingkan aspek
psikis, sosial, dan budaya. Pemerintah Wakatobi menjadikan Desa Mola sebagai permukiman
orang Bajo. Dengan kata lain, pemerintah dengan kebijakannya telah mengubah ‘status’
masyarakat Bajo menjadi “masyarakat biasa,” karena dengan mengubah identitas fisiknya,
maka identitas kebudayaan orang Bajo ikut berubah. Awalnya orang Bajo tinggal di atas laut
dan memegang teguh ajaran nenek moyang, agar tidak tinggal di darat untuk mencegah
konflik yang terjadi. Kini, orang Bajo telah melanggar “hukum lisan” yang mereka percaya
selama ini, akibat dari pembangunan dan perubahan sosial yang terjadi. Baskara, seorang
antropolog yang melakukan penelititan di daerah Wakatobi berkata bahwa “jarak Desa Mola
dengan darat sangat dekat bahkan hampir menyatu, sehingga desa ini tidak tampak lagi

sebagai kampung Bajo di atas laut, karena timbunan-timbunan batu-batu karang yang lebih
tampak sebagai reklamasi pantai.”6 Jika pembangunan terus dilakukan tanpa disertai
pendekatan terhadap kebudayaan, identitas lokal masyarakat Bajo akan tinggal kenangan
saja. Orang Bajo tidak hanya membutuhkan pembangunan fisik, yang lebih utama adalah
peningkatan kesadaran terhadap orang Bajo, baik melalui pendidikan dan keterampilan yang
diberikan agar pembangunan berjalan seimbang.7 Peningkatan kesadaran di sini merujuk
pada pemahaman orang Bajo terhadap kebudayaannya secara objektif dan berdasar pada
kacamata orang Bajo itu sendiri, agar proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah
tidak mengubah esensi dan makna kebudayaan orang Bajo secara holistik.
5

Benny Baskara, Islam Bajo Agama Orang Laut (Banten: Javanica, 2016), 26.
Baskara, Islam Bajo, 25.
7
Peter L. Berger, Piramida Kurban Manusia: Etika Politik Dan Perubahan Sosial, trans. A. Rahman
Tolleng, First ed. (Jakarta: LP3ES, 1982), 113.
6

3


Di konteks Indonesia, penelitian terhadap orang Bajo mempunyai minat yang tinggi
akhir-akhir ini, baik dari sudut pandang antropologi, ekologi, sosiologi, politik maupun
ekonomi. Tidak sedikit ilmuan sosial yang berusaha meneliti tentang kehidupan orang Bajo,
isu identitas orang Bajo, dan isu tentang agama orang Bajo. Jika melakukan penelitian
terhadap orang Bajo, tidak bisa lepas dari tulisan Robert Zacot, seorang antropolog, yang
meneliti orang Bajo secara mendalam (Orang Bajo di Pulau Nain, di Sulawesi Utara dan
Torosiaje, di Gorontalo). Secara khusus, ia melihat kehidupan orang Bajo secara menyeluruh,
pada saat itu, kira-kira antara tahun 1970 dan 1990-an. Penelitiannya menggunakan metode
etnografi murni, dan masih melihat orang Bajo saat itu yang belum terpengaruh identitasnya
seperti saat ini.8 Kemudian, Suyuti, menjelaskan tentang perubahan makna sama (orang bajo)
dan bagai (bukan orang Bajo). Dari makna tersebut, ia mengidentifikasi perubahan sosial
yang terjadi kepada masyarakat Bajo, perubahan yang dianalisis di sini berkaitan dengan
interaksi orang Bajo dengan orang bukan Bajo, khususnya orang Bajo di Kolaka, Sulawesi
Tenggara.9
Penelitian terbaru mengenai orang Bajo, dilakukan oleh Baskara, yang meneliti orang
Bajo yang telah beradaptasi dengan agama pendatang (Islam), sehingga terjadi suatu proses
akulturasi dalam pembentukkan identitas orang Bajo tersebut. Dalam tulisannya, Baskara
memaparkan secara mendalam pembentukkan identitas orang Bajo dengan agama Islam.
Tulisan ini merupakan adaptasi dari penelitian Baskara yang menganalisis identitas Islam
Bajo dan tantangan yang dihadapi orang Bajo dari orang luar (Bagai) yang mencoba

mengidentifikasi Islam Bajo (Sama ) sebagai agama kafir yang melanggar norma-norma
dalam Islam. Penelitian Baskara secara lugas mendeskripsikan kehidupan orang Bajo,

8

Bandingkan; Francois Robert Zacot, Orang Bajo Suku Pengembara Laut (Jakarta Selatan:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2002).
9
Bandingkan; Nasruddin Suyuti, Orang Bajo Di Tengah Perubahan (Yogyakarta: Penerbit Ombak,
2011).

4

khususnya dalam ritus kehidupan mereka dan dihubungkan langsung dengan agama Islam
sebagai identitas mereka yang kedua.10
Meskipun banyak ahli telah meneliti kehidupan orang Bajo, tetapi penelitianpenelitian tersebut tidak menyentuh bagaimana proses hibridisasi budaya dalam ritus siklus
kehidupan orang Bajo pada masa kini. Bagian yang belum diteliti tersebut adalah research
gap yang akan digali secara mendalam oleh penelitian tesis ini. Tesis ini akan meneliti proses

hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar

(global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa Mola yang
kehidupannya dekat dengan daratan, akibat dari pembangunan, dan juga terdapat pariwisata
di tengah-tengah desa tersebut.
Perubahan makna dan identitas orang Bajo dipengaruhi oleh beberapa faktor:
pembangunan yang menyebabkan pergeseran makna terhadap kehidupan orang Bajo dan
hibridisasi budaya. Tesis utama hibridisasi adalah proses berkesinambungan dari
percampuran budaya,11 Ritzer menjelaskan bahwa “hibridisasi adalah suatu paradigma yang
menekankan pertemuan antara yang global dan yang lokal saling menerobos untuk
menciptakan realitas-realitas pribumi yang unik yang dapat dilihat sebagai “glokalisasi”,”
yang merupakan istilah dari Roland Robertson.12 Perubahan kebudayaan yang disebabkan
oleh perkawinan campuran antara orang asing (Bagai) dan penduduk lokal (Sama ), pada
akhirnya membuat suatu anak budaya yang memberi pemahaman baru kepada orang Bajo.
Teori yang digunakan adalah teori Appadurai sebagai pisau analisis penelitian ini,
yakni dengan merujuk pada lanskap yang dikembangkan Appadurai, di tengah dinamika
tantangan global yang dialami oleh dunia saat ini. Lima lanskap itu sebagai berikut: lima
10

Bandingkan; Baskara, Islam Bajo.
Abderrahman Hassi and Giovanna Storti, "Globalization and Culture: The Three H Scenarios,"
(licensee InTech, 2012), 13.

12
Ritzer, Teori Sosiologi, 392.
11

5

scapes, yakni ethnoscapes, ideoscapes, financescapes, technoscapes dan mediascapes. Bagi
Appadurai, memahami globalisasi perlu melihat landscapes tersebut, karena globalisasi
merupakan proses yang kompleks, dinamis dan interaktif.13 Selain itu, peneliti menggunakan
teori glokalisasi: untuk meneliti isu-isu dan permasalahan yang berhubungan dengan
pertemuan identitas lokal dan global, sehingga fokus utama bukan identitas global yang
mempengaruhi yang lokal, melainkan identitas lokal dapat memberi pengaruh terhadap
identitas global. Hal ini mengindikasikan bahwa topik tentang kebudayaan berkaitan dengan
konsep lokal dan global, sehingga akan terjadi proses konstruksi dan reproduksi kebudayaan
oleh masyarakat, melalui interaksi sosial, negosiasi sosial, sampai pada proses internalisasi
kebudayaan dalam suatu masyarakat.

Robertson menyatakan bahwa teori glokalisasi

dikembangkan pada pertengahan tahun 1990-an. Masalah semakin muncul tentang hubungan

antara glokalitas dan motif-motifnya, seperti polietnisitas, kosmopolitanisme, lintas
kebudayaan, sinkronisitas, hibriditas, transkultural, kreolisasi, pribumisasi, dan diasporisasi.
Hal tersebut mengidentifikasikan bahwa gagasan global memiliki berbagai makna di berbagai
konteks "lokal." Dengan cara yang sama, konsep lokal dapat mengglobal.14 Penekanan dalam
teori glokalisasi ini merujuk pada individu dan semua kelompok lokal sebagai agen sosial
yang penting dan kreatif yang mempunyai kekuatan untuk beradaptasi, dan berinovasi dalam
sebuah dunia yang mengalami glokalisasi. Ritzer menambahkan bahwa teori glokalisasi
paling cermat terhadap berbagai perbedaan di dalam dan di antara berbagai kawasan di
dunia.15
Dalam hal ini, Roland Robertson menyatakan bahwa glokalisasi merupakan
pencampuran antara yang global dan lokal, sehingga terdapat dua relasi yang terus saling
terhubung antara homogenisasi dan heterogenisasi, universalisme dan partikularisme. Untuk
13

Jens-Uwe Wunderlich and Meera Warrier, "A DIctionary Of Globalization," 35.
Roland Robertson, "Coping with Binaries: Bays, Seas and Oceans," Glocalism: Journal of Culture,
Politics and Innovation.1, DOI: 10.12893/gjcpi.2013.1.10.
15
Ritzer, Teori Sosiologi, 1000.
14


6

itu

lokalitas

(glokalisasi)

melakukan

resistensi

terhadap

dominasi

universalisme

(globalisasi).16 Tulisan ini hendak menganalisis kebudayaan orang Bajo akibat pertemuan

yang lokal dan global di ruang publik ini. Wagner menyatakan dalam tesisnya, “penting
untuk menambahkan konsep tambahan dari glokalisasi, yakni hibridisasi, karena keduanya
membahas proses pertemuan lokal dan global dalam interaksinya dengan kebudayaan.”17
Orang Bajo yang hidup dinamis dengan alam mengembangkan ritualnya dari lingkungan laut
dan untuk lingkungan laut, mulai dari kelahiran sampai kematian. Persoalannya adalah,
akibat hibridisasi yang terjadi, maka ritus siklus hidup yang seharusnya dipertahankan orang
Bajo, lama kelamaan surut dan semakin terhisap oleh kebudayaan baru yang hadir di tengahtengah masyarakat Bajo. Melalui ritus tersebut manusia dan alam raya saling meresapi. Oleh
karena itu, kekuatan manusiawi dan ilahi saling melebur.18 Hal ini tergambar dalam ritus
siklus hidup orang Bajo pada masa lampau dan masa kini. Hudson menjelaskan bahwa dalam
siklus hidup atau lingkaran hidup dimulai dari saat kelahiran sampai kematian, hal ini
terungkap juga dari peran individu tersebut dalam suatu kebudayaan, upacara-upacara yang
khas dalam kebudayaan itu, sehingga menggambarkan secara jelas organisasi sosial di
dalamnya.19
Ketika hibridisasi itu terjadi bukan hanya kebudayaan yang berubah, melainkan juga
ritus dalam siklus kehidupan orang Bajo turut mengambil peran dalam perubahan itu. Peneliti
meminjam istilah "Rite of Passage," yang merupakan terjemahan dari bahasa Prancis 'ritual
de passage,' hal itu menunjuk pada upacara atau ritual yang terjadi sebagai bagian dari siklus
hidup. Ini merupakan cara untuk melihat perubahan status dan identitas sosial bahkan
16

Roland Robertson, "Glocalization: Time-Space and Homogeneity-Heterogeneity," in Global
Modernities, ed. M. Featherstone, L. Lash, and R. Robertson (London UK: Sage, 1995), 28-29.
17
Jesse Harold Wagner, "Cultural Hybridization, Glocalization and American Soccer Supporters: The
Case of the Timbers Army" (Portland State University, 2012), 126.
18
C. A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, trans. Dick Hartono, Second ed. (Yogyakarta: Kanisius,
1988), 46.
19
A.B. Hudson, "Siklus Hidup," in Pokok-Pokok Antropologi Budaya, ed. T.O. Ihromi (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2013), 140.

7

perubahan emosi yang kuat terlibat dalam transisi tersebut.20 Teori yang digunakan adalah
ritual de passage (Ritus siklus kehidupan) diciptakan oleh Arnold Van Gennep (1873-

1957),21 ia merupakan seorang antropolog yang melihat kehidupan individu di setiap
masyarakat sebagai rangkaian peristiwa yang berurutan dari satu usia ke usia yang lain. Ritus
ini menarik karena menjelaskan transisi individu dari satu situasi ke situasi yang lain, dan
kehidupan masyarakat dapat diidentifikasi dalam ritual siklus kehidupan.22 Ritus yang
diadakan secara kolektif berfungsi agar masyarakat disegarkan dan dikembalikan akan
pengetahuan dan makna-makna kolektif, terkhusus makna realitas dalam masyarakat (makna
sosial).23 Makna tersebut yang akan membentuk identitas orang Bajo dalam kehidupannya.
Akibat hibridisasi budaya itu, orang Bajo mengalami perubahan paradigma tentang
ritus siklus kehidupannya. Mobilitas kelompok masyarakat (Bagai) telah mendorong
rekonstruksi identitas orang Bajo, sehingga telah terjadi adaptasi kultural dari pendatang,
yang berarti adanya pembentukan hubungan-hubungan sosial baru. Selain itu, terjadi
redefinisi sejarah kehidupan individu karena ada suatu fase kehidupan yang terbentuk, sesuai
dengan konteks sosial yang berbeda. Pada akhirnya, terjadi proses pemberian makna baru
bagi identitas seseorang, yang menyebabkan ia mendefinisikan kembali identitas kultural
dirinya dan asal-usulnya.24 Hibridisasi budaya yang menjadi fokus penulisan ini, adalah
pertemuan budaya lokal (orang Bajo) dan budaya global (pariwisata) yang masuk di tengahtengah masyarakat Bajo, dan telah menjadi satu bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang
Bajo Desa Mola, Wakatobi.
20

Steve Bruce and Steven Yearley, "Rite of Passage," in The Sage Dictionary of Sociology (California:
SAGE Publications Inc, 2006), 263.
21
Miri Rubin, "Introduction: Rites of Passage," in Rites of Passage: Cultures of Transition in the
Fourteenth Century, ed. Nicola F. McDo ald a d W. M. Or rod (U iversity of York’s: York Medieval Press,
2004), 1.
22
Arnold Van Gennep, The Rites of Passage, trans. Monica B. Vizedom and Gabrielle L. Caffee
(Chicago: The University of Chicago Press, 1960), 13.
23
Johannes Supriyono, "Paradigma Kultural Masyarakat Durkheimian," in Teori-Teori Kebudayaan,
ed. Mudji Sutrisno and Hendar Putranto (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 96-97.
24
Irwan Abdullah, Konstruksi Dan Reproduksi Kebudayaan, Fifth ed. (Yogyakarta: Pustaka pelajar,
2015), 45.

8

Objek wisata yang dikembangkan di Desa Mola, Wakatobi, terbagi atas: wisata
bahari, wisata alam dan wisata budaya. Di Desa Mola, fokus objek wisatanya adalah wisata
bahari dan wisata budayanya. Kepala Desa Mola Nelayan Bakti berkata bahwa “Desa Mola
Nelayan Bakti akan dijadikan “wisata budaya” bagi pengunjung, sehingga akan dijaga
keotentikannya oleh masyarakat dan melalui kerja sama dengan pemerintah.”25 Cole
menganalisis bahwa wisata budaya melibatkan keinginan penuh dari wisatawan untuk
mengakses masyarakat "primitif," dalam bahasa yang lebih halus, yakni masyarakat
tradisional, sehingga wisatawan terlibat langsung untuk melihat kehidupan masyarakat,
sekaligus praktik kehidupannya. Pariwisata, sebagai bentuk penting dari globalisasi
menghasilkan integrasi sosial-ekonomi yang lebih besar dengan dunia yang lebih luas,
sehingga menghasilkan 'kekayaan' material bagi pembangunan. Di sisi lain, desa-desa harus
tetap "primitif," tradisional, dan eksotis, agar membawa daya tarik bagi wisatawan. 26 Ini
merupakan sisi lain dari pariwisata budaya, khususnya yang terjadi kepada orang Bajo, di
Desa Mola Nelayan Bakti. Memakai bahasa Piliang bahwa hal di atas sama dengan “kloning
kebudayaan,” yakni perubahan makna pada kebudayaan, yang sesungguhnya bersifat historis
menjadi bersifat ahistoris, merujuk pada rekayasa oleh pemerintah, sehingga menyebabkan
lenyapnya aura kebudayaan yang sesungguhnya.27
Di satu sisi pariwisata berfungsi untuk mengangkat orang Bajo ke permukaan
(global), di sisi lain pariwisata yang ada telah mereduksi pemahaman masyarakat Bajo
terhadap budayanya (misalnya ritual duwata atau ritual pengobatan). Perlunya analisis
mengenai hubungan antara pariwisata dan budaya, identitas dan representasi sosial. Oleh
karena itu, penting untuk melihat beyond (melampaui) pariwisata untuk memahami

25

Wawancara dengan Kepala Desa Mola Nelayan Bakti. Desa Mola, Wakatobi, Desember 2015.
Stroma Cole, Tourism, Culture and Development: Hopes, Dreams and Realities in East Indonesia
(Great Britain: Cromwell Press, 2008), 212.
27
Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika (Yogyakarta:
Percetakan Jalasutra, 2009), 126.
26

9

kepentingan-kepentingan yang ada di dalamnya, nilai-nilai, dan kekuasaan yang bermain di
sekelillingnya. Khususnya terhadap komodifikasi budaya atas nama pariwisata.28 Pada
awalnya, ritual duwata dilakukan untuk proses pengobatan yang bersifat magis dan tertutup,
sekarang telah menjadi ajang tari-tarian terbuka yang dikomersialkan oleh pemerintah dalam
pariwisata tersebut. Budaya telah dikomodifikasikan oleh kepentingan ekonomi dan politik,
tentu saja hal ini tidak lepas dari pengaruh globalisasi yang meresap dalam kehidupan
masyarakat. Ritzer mendefinisikan globalisasi sebagai penyebaran praktik, relasi, kesadaran,
dan organisasi di seluruh penjuru dunia.29
Dengan demikian, fokus penelitian ini adalah mengenai siklus hidup orang Bajo di
Desa Mola, Wakatobi, sejak kelahiran, ritual pengobatan, pernikahan, dan sampai kematian.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitiannya adalah, bagaimana
proses hibridisasi budaya dalam ritus siklus kehidupan orang Bajo di Desa Mola, Wakatobi?,
dan mengapa hibridisasi budaya dalam ritus siklus kehidupan orang Bajo di Desa Mola,
Wakatobi terjadi? Mengacu pada pertanyaan tersebut, maka penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan dan menganalisis proses hibridisasi budaya dalam ritus siklus kehidupan
orang Bajo di Desa Mola, Wakatobi. Tujuan selanjutnya, yaitu untuk menganalisis faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya hibridisasi budaya dalam ritus siklus kehidupan orang
Bajo di Desa Mola, Wakatobi.
1.2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk memahami secara mendalam proses ritus siklus
kehidupan budaya orang Bajo, yang terjadi akibat hibridisasi budaya. Jadi, tulisan ini
memberi pemahaman baru mengenai paradigma orang Bajo terhadap hibridisasi kebudayaan
28

C. Michael Hall, "Power in Tourism: Tourism in Power," in Tourism, Power and Culture:
Anthropological Insights, ed. Donald V.L. Macleod and James G. Carrier (Great Britain: Short Run Press Ltd,
2010), 211.
29
Ritzer, Teori Sosiologi, 976.

10

mereka, yang berdampak terhadap proses interaksi sosial dan kultural dalam kehidupan
sehari-hari. Manfaat hasil penelitian ini secara teoretis akan menjadi sumbangan terhadap
analisis antropologis terhadap suku Bajo yang lebih mendalam. Penelitian ini akan mengkaji
siklus hidup orang Bajo yang tengah diperhadapkan oleh arus globalisasi yang terjadi. Pada
akhirnya, penelitian ini akan memberikan suatu pemahaman baru tentang teori hibridisasi
budaya dan ritus siklus kehidupan,

ditinjau dari konteks orang Bajo. Secara praktis,

penelitian ini akan menjadi suatu sumber acuan orang Bajo Desa Mola untuk
mengaktualisasikan diri mereka, baik dalam budaya maupun ritual kepercayaannya.
1.3. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena
menggambarkan kehidupan "dari dalam ke luar," yakni dari sudut pandang orang-orang yang
berpartisipasi di dalam penelitian tersebut. Jadi, penelitian ini memberi pemahaman yang
lebih baik dalam proses, pola makna, dan ciri struktural dalam masyarakat dapat dikaji secara
mendalam.30 Tujuan menggunakan pendekatan kualitatif ini untuk menganalisis budaya, dan
mendapatkan wawasan baru tentang individu serta kompleksitas sosial yang terjadi. 31 Hal ini
berkaitan dengan metode yang digunakan oleh peneliti, yakni metode etnografi. Metode ini
mengacu pada penjelasan ilmiah sosial tentang manusia dan landasan budaya
kemanusiaannya.32 Metode etnografi ini memiliki fungsi untuk mendalami kebudayaan
tertentu, berdasarkan kata-kata dan tingkah laku mereka. Jadi, peneliti menganalisis pada
pengembangan budaya dan cara kerja budaya tersebut dari waktu ke waktu, dengan kata lain,

30

Uwe Flick, Ernst von Kardorff, and Ines Steinke, "What Is Qualitative Research? An Introduction to
the Field," in A Companion to Qualitative Research (London: SAGE Publications Ltd, 2004), 3.
31
Johnny Saldaña, Fundamentals of Qualitative Research ( Oxford University: Oxford University Press,
Inc, 2011), 4.
32
Arthur J. Vidich and Stanford M. Lyman, "Metode Kualitatif: Sejarahnya Dalam Sosiologi Dan
Antropologi," in Handbook of Qualitative Research, ed. Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), 30.

11

melihat pola individu dan budaya berhubungan satu dengan yang lainnya. 33 Metode ini tepat
menjadi dasar penelitian ini, yakni melihat kebudayaan orang Bajo, ritus siklus kehidupan
mereka, dan pertemuannya dengan masyarakat secara luas.
Terdapat dua cara mengumpulkan sumber data. Pertama, pengumpulan data primer
yang berasal dari lapangan, yakni dari individu, informan kunci dan kelompok responden
yang secara khusus dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian ini. Kedua, pengumpulan
data sekunder, yakni pengumpulan data melalui buku, jurnal ilmiah, artikel, publikasi
pemerintah, dan bahan kepustakaan lainnya.34 Metode sekunder juga bermanfaat untuk
menyusun landasan teoretis yang akan menjadi tolak ukur dalam menganalisis data penelitian
guna menjawab persoalan pada rumusan masalah penelitian. Informan yang dibutuhkan guna
menunjang penelitian ini adalah orang-orang yang dapat memberikan data, dan informasi
yang akurat, serta tepat guna untuk mendukung keakuratan hasil penelitian.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, yakni dengan wawancara terstruktur
yang dilakukan oleh peneliti setelah mengetahui secara jelas dan detail informasi apa yang
dibutuhkan, serta daftar pertanyaan yang sudah ditentukan sebelumnya yang akan
disampaikan kepada responden.35 Oleh karena itu, pengumpulan data di lapangan menjadi
terarah, efektif dan efisien. Pengambilan data dengan teknik pengambilan sampel purposif,
yakni sampel ditetapkan secara sengaja oleh peneliti, sesuai dengan sumber data yang
dibutuhkan dalam penelitian ini.36 Dalam teknik ini peneliti mengumpulkan data bersamasama dengan masyarakat, hidup, dan berinteraksi dengan masyarakat agar tercipta “trust”

33

Isabelle M. Flemming, "Ethnography and Ethnology," in 21st Century Anthropology a Reference
Handbook Volume 1 & 2, ed. H. James Birx (Thousand Oaks, California: SAGE Publications, 2010), 153.
34
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Refika Aditama, 2012), 289.
35
Silalahi, Metode Penelitian, 313.
36
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 67.

12

antara peneliti dan subjek yang diteliti, melalui itu diharapkan akan mendapat data yang lebih
akurat dan valid.37
Setelah peneliti mendapatkan data empiris yang diperoleh di lapangan, yakni dalam
bentuk kata-kata yang diperoleh dalam observasi mendalam, wawancara, dokumen-dokumen,
dan rekaman audio. Kemudian, dilanjutkan pada proses analisis data. Peneliti akan
menggunakan tiga cara dalam menganalisis data, yakni dengan (1) reduksi data, (2) penyajian
data, dan (3) penarikan kesimpulan/verifikasi. Silalahi berpendapat bahwa itu merupakan
suatu proses siklus dan interaktif pada saat penelitian, baik itu sebelum, selama maupun
sesudah pengumpulan data.38 Hal tersebut penting dilakukan dalam melakukan pendekatan
kualitatif, agar data yang didapatkan melalui proses yang objektif, sistematis, dan
komperhensif.
Penelitian dilakukan di Desa Mola, Wakatobi. Peneliti memilih lokasi tersebut, karena
daerah itu merupakan daerah dengan suku Bajo terbesar di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Bahkan, merupakan salah satu kampung Bajo yang terbesar di Indonesia, dengan luas sekitar
8,3 km2 dan jumlah penduduk sekitar 6.000 jiwa.39 Bukan hanya itu, di Desa Mola tersebut
suku Bajo semakin hidup menetap di daratan, akibat kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah. Adapun, sebagian orang Bajo yang masih menetap di rumah kayu (atas laut). Hal
yang menarik di desa ini, yakni adanya sektor pariwisata yang baru masuk di tengah-tengah
desa ini kira-kira 4-5 tahun yang lalu, sehingga membuat kebudayaan Bajo berhadapan
dengan modernisasi yang begitu cepatnya. Hal ini menjadi isu penting dalam penelitian ini.
Dengan memilih tempat yang jauh dari tempat tinggal peneliti, maka penelitian ini
diharapkan semakin bersifat objektif dalam mengambil dan menganalisis data yang ada.

37

Michael Bloor and Fiona Wood, Keywords in Qualitative Methods: A Vocalbulary of Research
Concepts (London: SAGE, 2006), 173.
38
Silalahi, Metode Penelitian Sosial, 339.
39
Baskara, Islam Bajo, 25.

13

1.4. Kerangka Penulisan
Secara garis besar tesis ini ditulis dalam beberapa bagian yang dibagi menjadi
beberapa bab, yakni sebagai berikut: Pada Bab I memuat Pendahuluan; dalam bagian ini
penulis akan memaparkan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan untuk mensistematisasikan
laporan hasil penelitian.
Pada Bab II menjelaskan “Teori Ritual dan Lanskap Globalisasi,” yang bersumber
dari teori ritus peralihan dalam siklus kehidupan oleh Arnold van Gennep, teori Roland
Robertson tentang Glokalisasi dan teori Arjun Appadurai mengenai landscape dalam
Globalisasi.
Pada Bab III menjelaskan: “Wajah Orang Bajo Masa Kini” yang mencakup uraian
mengenai “Individu dan Budaya,” Pertemuan “Budaya Lokal (Orang Bajo) dan “Budaya
Global,” “Pembangunan dan Pariwisata,” dan “Identitas Orang Bajo Masa Kini” yang
merupakan suatu

proses dari pengumpulan data dengan teknik observasi mendalam,

wawancara, dan dari dokumen-dokumen pendukung yang berfungsi untuk mendeskripsikan
proses hibridisasi kebudayaan orang Bajo, Desa Mola, Wakatobi.
Pada Bab IV pembahasan dan analisis data “Sistem Kebudayaan Orang Bajo Dalam
Perubahan” yang mencakup uraian mengenai: “Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo Masa
Lalu dan Masa Kini,” “Makna Ritus Bagi Orang Bajo di Tengah Perubahan,” “Pariwisata dan
Sistem Kepercayaan Orang Bajo,” “Ritus Siklus Kehidupan dan Penguatan Identitas Lokal,”
dan “Lokalitas sebagai yang Global,” dengan berlandaskan teori Robertson mengenai
glokalisasi.

14

Pada bab V kesimpulan, yang merupakan refleksi dari temuan teoretis maupun
praktis,

dan

saran-saran

bagi

orang

Bajo

di

desa

Mola,

Wakatobi

15

16