Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tato sebagai Representasi Spiritual Orang-Orang Bertato T2 752014027 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Tato memberikan fenomena tersendiri dalam masyarakat, terkait
pemakaiannya dan persepsi setuju atau ketidaksetujuan mengenai itu. Perbedaan
persepsi individu dalam menilai tato memberikan ilustrasi yang tidak hanya secara
sama menjadikannya sebagai bentuk pilihan antara memakai atau tidak, suka atau
tidak suka, setuju atau tidak setuju, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai lain di
luar dua pilihan hitam-putih. Para peneliti kesehatan, misalnya, telah menyatakan
bahwa persepsi terhadap orang yang ditato lebih negatif dibandingkan dengan
persepsi terhadap orang yang tidak. Hal ini dikarenakan keinginan untuk
mengekspresikan diri dapat menuntun seseorang pada perilaku beresiko, baik
secara fisik maupun sosial, misalnya menato.1 Tato, berdasarkan persepsi ahli
kesehatan tersebut, dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
membahayakan fisik manusia.
Tato pun oleh masyarakat dipandang sebagai hal yang identik dengan
kriminal dan dekat dengan budaya pemberontakan karena dianggap melanggar
aturan, oleh karenanya dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Image (gambaran)
tentang pengguna tato memang masih beraneka ragam, tapi kebanyakan
masyarakat masih menilai tato itu menyeramkan karena berkaitan dengan pelaku


1
Annette Resenhoeft, Julie Villa, David Wiseman, “Tattoos Can Harm Perceptions: A
Study and Suggestions” dalam Journal of American College Health Volume 56 Issue 5
(March/April 2008), 593 mengutip Degelman D., Price ND, “Tattoos and Ratings of Personal
Characteristics” dalam Psychol Rep 90 (2002).

1

kriminal, padahal awalnya tato itu lebih dikenal sebagai nilai seni dan simbol
ritual, kepercayaan, daripada sebagai simbol kriminal.
Peneliti adalah salah seorang pengguna tato dan mengalami persepsi
negatif dari keluarga mengenai itu. Keluarga memandang itu sebagai suatu hal
yang tabu sehingga ketika peneliti memiliki tato, terutama letaknya pada bagian
tubuh yang terlihat, yakni di bawah leher, dan lengan bawah sebelah kanan, itu
menjadi sebuah aib bagi keluarga. Alasan lain yang mendukung persepsi mereka
adalah karena peneliti merupakan seorang perempuan dan lulusan sebuah sekolah
teologi. Persepsi negatif yang mereka miliki tersebut menutup mereka dari
kemungkinan untuk memahami tentang apa yang peneliti maksudkan dalam
gambar yang menjadi hasil guratan tato tersebut.

Peneliti juga mengalami beberapa bentuk penolakan secara tidak
langsung ketika sedang mencari lowongan pekerjaan dalam awal tahun 2013 lalu,
dimana pada beberapa info maupun iklan lowongan pekerjaan di surat kabar,
peneliti menemukan catatan penting tertera pada iklan-iklan tersebut yakni bahwa
pihak pemberi lowongan tidak mengharapkan orang-orang yang memiliki tato di
tubuhnya untuk mengajukan lamaran di tempat mereka. Pengalaman-pengalaman
tersebut menunjukkan bahwa tidak semua lingkungan dan lapisan sosial
menerima kehadiran orang-orang bertato maupun tato itu sendiri, namun peneliti
berasumsi bahwa situasi tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari kekurangan
informasi mengenai tato yang dimiliki oleh masyarakat.
Tato dalam sejarahnya merupakan bagian kebudayaan kuno yang dapat
ditemukan pada beberapa suku di dunia. Orang-orang, selama ribuan tahun, secara

2

virtual telah mewakili budayanya melalui body art (seni tubuh).2 Tato di
Indonesia, tepatnya bagi suku Mentawai, menjadi lambang pesona yang cantik
sejak keindahan dan kecantikan menjadi sesuatu yang dianggap penting. 3 Tubuh
pendatang pertama ke tanah itu sudah dibubuhi tato. Tato tradisional mungkin
menjadi sesuatu yang bersifat religius dan magis karena gambar yang digunakan

berupa simbol-simbol yang terkait dengan alam dan kepercayaan masyarakat.
Dokumen tertua yang tercatat mengenai tato ialah yang terdapat pada
sisa-sisa manusia pada mumi yang dikenal sebagai Otzi selama Zaman Perunggu.
Jenazahnya berada di es di Pegunungan Alpen sekitar tahun 1990 yang memiliki
tato secara utuh pada kulit dan terdiri dari garis, oleh karena tempatnya yang
strategis pada bagian tubuh yang diteliti, diduga itu adalah untuk tujuan
pengobatan.4 Temuan lain yakni Man Ice yang berada di sekitar 3300 SM telah
memiliki tato, yang menurut para peneliti digunakan untuk mengusir roh jahat
atau untuk ritual. Tato tersebut ditempatkan pada tulang punggungnya, lutut dan
salah satu pergelangan kaki, dihitung ada sebanyak 57 tato.5 Tato pada masa itu
digunakan sebagai bagian dari ritual pengobatan dan pengusiran roh jahat.
Mesir mula-mula pun terlibat dalam praktek tato sekitar 2160-1994 SM.
Salah satunya adalah mumi yang terkenal yang merupakan pendeta disebut
Amunet. Desain tatonya yang terlibat garis dan titik-titik tersebut ditempatkan

Jeffrey Schulz, Christine Karshin, D. Kay Woodiel, “Body Art: The Decision Making
Process Among College Students” dalam American Journal of Health Studies Volume 21 Issue ½
(2006), 123.
3
Wilfried Wagner, “The Mentawaian Sense of Beauty: Perceived Through Western

Eyes” dalam Indonesia & the Malay World (2003), 200.
4
Gloria Dansby-Giles, Frank L. Giles, Irene Jhonson, “College Students with Tattoos
and Piercings: Issues and Challenges” dalam NAAAS & Affiliates Conference Monographs (2011),
126 mengutip Tony, B. “Tribal Tattoos- popularity, History and Meaning” dalam Hobbies
Community (May 2008).
5
Dansby-Giles, Giles, Jhonson, “College Students”, 127 mengutip C. Hargreaves,
“Tattoos Design in History” dalam Hobbies Community (Januari 2008).
2

3

pada dada, punggung, panggul dan kaki. Tato di punggung dan dada menyerupai
pola kalung, ikat pinggang, dan kerah. Sejarah Amerika menceritakan penduduk
Amerika Asli yang menggunakan tato untuk mengidentifikasi status seseorang di
dalam suku tersebut. Bangsa Polynesia menggunakan tato untuk menyebarkan
sejarah keluarga dan masing-masing orang memiliki tato unik yang diwariskan
oleh keluarga.6 Bentuk-bentuk penggunaan dan kepercayaan melalui media
gambar tato menjadikannya sebagai nilai yang memiliki unsur budaya yang kuat.

Sejarah pun dilibatkan, karena tato dapat menunjukkan hal-hal yang pernah terjadi
dalam momen-momen tertentu.
Tato yang tidak hanya dipandang sebagai kajian usang mengenai
kebudayaan primitif sekarang ini sepertinya tidak cukup kuat untuk dapat
menghalalkannya sebagai perilaku yang dianggap umum dan biasa, sekalipun
seharusnya dapat disadari dan diakui bahwa menato tubuh merupakan bentuk unik
dan bersejarah dari gambaran manusia. Hal tersebut tentunya terlepas dari
persoalan menyimpang atau tidak sebab menandai tubuh atau menato tubuh
merupakan cara untuk menandakan kemanusiaan manusia sebagai spesies, untuk
mengekspresikan dan mengomunikasikan kesosialannya.7 Seni desain dalam tato
memiliki hubungan kuat dengan adanya sisi artistik dari gambar tato, dan adanya
pertimbangan ingin meniru tubuh bertato dari artis musik dan aktor film favorit8,
dengan kata lain tato tubuh ini pun menjadi satu komoditas lain untuk dapat
mengapresiasi seni, bahkan hal ini justru dijadikan ‘alasan’ umum untuk kaum

Dansby-Giles, Giles, Jhonson, “College Students”.
Michael Atkinson, Tattooed: The Sociogenesis of a Body Art (Toronto Buffalo
London: University of Toronto Press, 2003), x.
8
Marti, “Tattoo, Cultural Heritage”, 8.

6

7

4

urban dalam mengklaim penggunaan tato. Roberts, dalam penelitiannya
menemukan bahwa,

The expanding popularity of tattoos seems to be based on the fact that
these can serve various purposes for different individuals. Some use them
as a fashion tool whereas others use them as a method of identity
formation, such as commemorating a lost loved one or representing one’s
neighborhood. At the same time, society condemns tattooees for their
permanent markings based on the idea that only deviants would do such a
thing. Successful musicians, actors and athletes are regularly seen with
visible tattoos and inspire many young tattooees to join the ranks of the
tattooed. 9

Kemajuan teknologi, pertukaran informasi, akulturasi budaya, dan

menjamurnya studio tato menjadi suatu alasan tato untuk dapat dilihat sebagai
hasil dari perkembangan zaman. Ketika generasi muda mengikuti perkembangan
zaman yang menjadikan tato sebagai gaya hidup, mungkin juga terdorong oleh
gaya hidup idolanya yang memberi kesan ‘keren’ bagi penampilannya, terlepas
dari makna apa yang hendak disampaikan melalui desain

tatonya. Berbicara

tentang komponen estetis tersebut, masing-masing orang dapat saja menyimpang
menurut pendapat pribadi, latar belakang, sistem kepercayaan dan citarasa
seseorang.
Sikap religiusitas masyarakat Indonesia yang menghubungkan agama
sebagai alasan kuat untuk tidak menato tubuh, menjadi suatu batasan ketat dan
utama. Kristen sendiri melihat tato sebagai suatu perilaku yang tidak seharusnya
dilakukan. Muslim pun melihat itu sebagai sesuatu yang haram. Tidak heran jika
masyarakat Indonesia yang masih melihat

tato dari kacamata agama,

menghubungkannya sebagai bentuk perbuatan dosa bagi pemiliknya atau bentuk

Derek John Roberts, “Secret Ink: Tattoo’s Place in Contemporary American Culture”
dalam The Journal of American Culture Volume 35 Number 2 (June 2012), 163.
9

5

penyangkalan terhadap ciptaan Tuhan, terlebih tato sering menjadi asumsi
tersendiri bagi masyarakat sebagai yang berhubungan dengan bentuk-bentuk
kriminilitas. Tidak salah memang, karena banyak sekali preman menggunakan tato
di tubuhnya, pencuri bertato, gangster bertato, berandalan bertato, bahkan hal ini
kadang dibenarkan pada saat melihat tayangan program kriminalitas di televisi
yang sering memperlihatkan polisi menunjukkan tato di tubuh pelaku. Tidak
salah, tetapi tidak sepenuhnya benar.
Seorang kriminolog, Cesare Lombroso, pernah memperjuangkan konsep
degenerasi sebagai penjelasan utama dari penyimpangan dan pengaitan tato
dengan perilaku kriminal. Menurutnya, para penjahat merupakan bawaan makhluk
primitif dan atavistic dengan kecacatan fisik yang dapat dikenali. Tato merupakan
manifestasi fisik dari pribadi kriminal secara biologis yang lebih kelihatan sebagai
tanda-tanda patologis. Tidak heran jika psikiatris dan psikolog mengaitkan tato
dengan mental illness (penyakit mental), perilaku kriminal, perilaku selfmultilative (mutilasi diri), dan penyimpangan seksual.10 Terlalu sempit jika


melihat tato dari satu sisi kriminalitas dengan mengeneralisasi tato dekat dengan
kejahatan, padahal orang jahat juga banyak yang tidak bertato di tubuhnya.
Stigmatisasi ini tidak sepenuhnya manusiawi, dimana masyarakat
membuat banyak diskriminasi untuk mengurangi peluang hidup seseorang secara
efektif11, yang bertato misalnya, sehingga tidak heran beberapa tempat kerja tidak
menginginkan orang-orang bertato untuk melamar atas dasar inferioritasnya.
Stigma menghambat perkembangan pengenalan terhadap seseorang karena rasa

10
Mary Kosut, “Tattoos and Body Modification” dalam International Encyclopedia of
the Social and Behavioral Sciences 2nd Edition Volume 24 (2015), 35 mengutip Cesare Lombroso,
Criminal Man (2006).
11
Erving Goffman, Stigma (London: Penguin, 1963), 13.

6

takut untuk bersentuhan diawetkan dan diperbesar.12 Di dalam stigma ada
semacam undangan untuk menghina dan phobia karena yang terstigma dianggap

sebagai ancaman. Itu keadaan masyarakat yang sering memandang tato sebagai
bentuk kemunduran budaya, jika memang dikaitkan pada posisinya sebagai bentuk
gaya hidup modern.
Hal itu tanpa disadari menjadi pembatasan terhadap eksistensi para
pengguna tato

sebagai manusia yang memiliki pilihan dan kehendak. Setiap

kehendak dipicu oleh motif rasional manusia itu sendiri, yang bisa saja berlawanan
dengan perasaan sensoriknya, dalam hal tato misalnya, seseorang setuju
mengalami rasa sakit dalam menato tubuh karena tertarik oleh goodness yang
terpikirkan; dan oleh karena itu terpikirkan maka itu dievaluasi sebagai yang lebih
penting daripada rasa sakit secara langsung yang tak dapat dihindari.13 Tato juga
bisa saja menjadi sebuah segi penting dari manajemen perasaan, dimana seseorang
mencoba untuk mengatasi perasaan-perasaan emosional dari rasa sakit, stress,
kedukaan dan kehilangan, dalam cara yang terkontrol, normatif, dan aktif.14 Tato
bukanlah sekedar memorial yang nyata, namun merupakan cara untuk melepaskan
rasa sakit dan kehilangan melalui pengalaman rasa sakit secara fisik.
Alasan lain mungkin berkaitan dengan pendapat bahwa manusia eksis
secara simbolik dan “essentially a symbol-making being” (pencipta simbol).15


12

F.Budi Hardiman, Massa, Teror dan Trauma: Menggeledah Negativitas Masyarakat
Kita (Yogyakarta: Lamalera, 2011), 13-14.
13
Louis Leahy, Human Being: A Philosophical Approach (Yogyakarta: Kanisius,
2008), 164.
14
Atkinson, Tattooed: The Sociogenesis, 242.
15
Bernard Cooke, Gary Macy, Christian Symbol and Ritual: An Introduction (New
York: Oxford University Press, 2005), 20 mengutip Susanne Langer, Philosophy in a New Key
(1957). Pemikiran Langer ini didasarkan pada sebuah pencapaian tradisi filosofis yang mendekati
karya filosofis Immanuel Kant (1724-1804) pada masa Revolusi Amerika yang menekankan
bahwa faktanya persepsi dan pemahaman manusia terhadap realitas membentuk realitas manusia

7

Seseorang dapat berkata bahwa Roh yang mewujud secara sederhana
menerangkan bahwa setiap orang benar-benar eksis secara tubuh, dimana tanpa
tubuh, manusia mati. Oleh karenanya, mereka identik dengan ritual. Kegiatan
sehari-hari

pun

termasuk

ritual,16

dan

simbol

adalah

wadah

untuk

mengekspresikannya, sehingga tato pun dapat dianggap sebagai simbol ‘yang
berbicara’ melalui pesan yang tersirat di dalamnya.
Tato pada dasarnya diaplikasikan pada bagian-bagian tubuh yang sesuai
dengan kehendak penggunanya. Bagi kelompok, komunitas, atau sekte dalam
kaitannya sebagai suatu keanggotaan, terkadang tato dibuat pada bagian tubuh
yang sama pada setiap anggotanya, misalnya pada lengan, kaki, wajah, leher, atau
dada, menurut kesepakatan atau ketentuan yang telah ada, dan biasanya tato yang
menggambarkan nama kelompok ditempatkan di dada tanpa sedikit pun tato lain
mengitarinya. Gambar, angka, huruf, maupun tulisan memiliki gambaran tertentu
bagi setiap kelompok. Hal ini sebagai suatu penunjuk keanggotaan, solidaritas,
syarat, atau sebagai identitas dari kelompok bersangkutan.17 Selain bagian tubuh,
pemilihan gambar tato memiliki bagian penting dalam
menato tubuh

penelitian ini, karena

dengan sendirinya menempatkan gambar tertentu pada bagian

tubuh tertentu.
Mengenai gambar yang digunakan, itu akan menyangkut pada masalah
kecenderungan individual untuk menentukan pilihannya. Gambar tato individual

itu sendiri. Langer, dalam hal ini, berpendapat bahwa simbol-simbol sebenarnya membentuk
realitas manusia.
16
Cooke, Macy, Christian Symbol, 21.
17
Ruth Struyk, “Gangs in Our Schools” dalam Clearing House Volume 80 Issue 1
(September/October 2006), 12.

8

memiliki banyak ragam arti18, di luar dari gambar tato kelompok atau komunitas
tertentu yang sebagian bersifat seragam karena diperuntukkan sebagai identitas
bersama atau memiliki arti yang dipahami bersama. Di Pasifik misalnya, gambargambar tato menyampaikan pesan bahwa seseorang merupakan anggota dari
keluarga, suku, maupun masyarakat tertentu bahkan menceritakan segalanya
mulai dari tempat lahirnya hingga kuasa menerima warisan dan pencapaianpencapaiannya.19 Mungkin, beberapa pengguna tato tidak banyak yang
mengetahui mengenai sejarah penggunaan tato ini di beberapa budaya, namun
nilai seni yang menjadi acuan dalam berkomunikasi terhadap orang lain patut
dipertimbangkan sebagai bentuk ekspresi mereka, yang bisa saja sebagai ekspresi
spiritualisme, idealisme, maupun pengalaman yang berkesan dalam hidupnya.
Masyarakat awam yang belum paham sama sekali mengenai tato perlu
melibatkan diri dalam keingintahuan terhadap pesan apa yang hendak
disampaikan seorang pengguna tato dalam simbol yang tergambar dalam bentuk
tato tersebut, sehingga ada keterbukaan untuk merekonstruksi stigma buruk
mengenai eksistensi tato selama ini dan ada keterbukaan untuk menyadari
eksistensi orang-orang bertato di antara mereka. Bertolak dari paparan tersebut di
atas inilah peneliti menentukan sebuah judul untuk penelitian ini sebagai berikut:

Tato Sebagai Representasi Spiritual Orang-Orang Bertato

Peneliti akan memaparkan tentang pandangan orang-orang bertato
terhadap tato dan bagaimana tato dijadikan sebagai representasi spiritual orangorang bertato di Yogyakarta, berdasarkan pada cerita pengalaman orang-orang
18
Juniper Ellis, Tattooing The World: Pacific Designs in Print and Skin (New York:
Columbia University Press, 2008), 3.
19
Ellis, Tattooing The World , 11.

9

bertato dan nilai-nilai spiritual yang tersirat di dalam cerita tersebut dalam
kehidupannya bermasyarakat.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana tato dalam pandangan orang-orang bertato di Yogyakarta?
2. Bagaimana tato yang dianggap negatif oleh masyarakat dapat menjadi
representasi spiritual orang-orang bertato di Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan dan menganalisa bagaimana orang-orang bertato di
Yogyakarta memandang tato.
2. Mendeskripsikan dan menganalisa tato sebagai representasi spiritual
orang-orang bertato di Yogyakarta.

1.4 Metodologi Penelitian
1.4.1

Pendekatan

Penelitian ini akan menggunakan metode deskripsi analitis dengan
pendekatan kualitatif, yang mencoba untuk menerjemahkan pandanganpandangan mendasar, antara lain pertama; bahwa realitas sosial adalah sesuatu
yang subjektif dan diinterpretasikan, kedua, bahwa manusia menciptakan
rangkaian makna dalam menjalani hidupnya, ketiga, bahwa ilmu didasarkan pada
pengetahuan sehari-hari dan bersifat induktif, ideografis, serta tidak bebas nilai,
dan keempat, bahwa tujuannya adalah memahami kehidupan sosial.20 Peneliti
20

E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia
(Depok: LPSP3 UI, 2011), 42-43.

10

mencoba untuk mendeskripsikan pandangan-pandangan orang-orang bertato
terhadap tato dan representasi spiritual yang digambarkan dalam tato-tato tersebut.

1.4.2

Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ini ialah para responden yang mengalami kasus
tipikal, yakni yang memiliki tato dan ditemui di daerah sekitar kota Yogyakarta.
Peneliti memilih kota ini sebagai objek penelitian karena banyaknya ditemukan
orang-orang bertato di sekitar area kota. Hal ini diperkuat dengan adanya studiostudio tato berdiri di kota ini.

1.4.3

Teknik Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dari para responden bertato melalui wawancara yang
mendalam mengenai tato sebagai representasi spiritual orang-orang bertato. Dua
pertanyaan umum yang akan diajukan ialah perihal pengalaman responden terkait
dengan fenomena tato di dalam masyarakat, dan perihal konteks yang biasanya
memengaruhi pengalaman fenomena terkait tato tersebut. Hal ini untuk
mempermudah usaha mengumpulkan data yang mengarahkan pada deskripsi
tekstual dan struktural tentang pengalaman, dan dapat memberikan yang lebih
baik tentang pengalaman yang sama dari responden.

1.4.4

Teknik Analisis Data

Memeriksa data, yakni transkrip wawancara dan menyoroti berbagai
pernyataan penting, kalimat, atau kutipan yang menyediakan pemahaman tentang
bagaimana responden mengalami fenomena tato di dalam masyarakat, kemudian

11

mengembangkannya menjadi berbagai tema untuk menulis deskripsi tekstural,
yang kemudian akan diklasifikasikan menjadi kode dan tema untuk dapat
ditafsirkan hingga akhirnya disajikan sebagai data visual.

1.5 Sistematika Penelitian
Penelitian ini terdiri dari lima bab, yakni Bab Satu, yang memaparkan
tentang alasan peneliti memilih judul dan latar belakang masalah, serta tujuan
sistematika yang memaparkan secara ringkas isi bab demi bab. Bab Dua
merupakan pemaparan teori mengenai etimologi tubuh, tato, dan spiritualitas yang
meliputi pemahaman tubuh dalam konteks sosial, modifikasi tubuh, tato sebagai
modifikasi tubuh, sejarah istilah tato, jejak kuno tato pra sejarah, tato sebagai
budaya universal, tato kontemporer, dan spiritualitas. Bab Tiga ialah mengenai
deskripsi temuan hasil penelitian yang diperoleh peneliti mengenai tato dalam
pemahaman orang-orang bertato di Yogyakarta. Bab Empat berisi pembahasan
dan analisis tato sebagai representasi spiritual orang-orang bertato di Yogyakarta.
Penelitian akan ditutup dengan Bab Lima yang berisi kesimpulan berupa temuantemuan yang diperoleh dari hasil penelitian, pembahasan dan analisis, serta saransaran berupa kontribusi dan penelitian lanjutan.

12