Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hibridisasi Budaya dalam Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo di Desa Mola Wakatobi T2 752015031 BAB II

BAB II
TEORI RITUAL DAN LANSKAP GLOBALISASI

2.1. Ritual Sebagai Identitas Budaya
Budaya merupakan cara bagaimana manusia hidup atau cara bertahan hidup di tengah
masyarakat atau cara belajar dari masyarakat.1 Dalam perspektif sosiologis, budaya merujuk
pada elemen simbolik dari kehidupan sosial, terlebih khusus pada objek sosial dan aktifitas
masyarakat.2 Salah satu unsur dari budaya adalah ritual, ritual berguna sebagai simbol pemersatu
dan juga pembaharu kehidupan bermasyarakat. Di dalam ritual mengandung nilai kesakralan
yang membuat pengikutnya terpanggil untuk hidup dalam solidaritas. Selain itu, ritual juga
menjadi alat untuk melakukan pembedaan terhadap satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Karena di dalamnya terkandung proses inisiasi terhadap ‘individu baru’ yang masuk dalam
komunitas tersebut. Melalui proses inisiasi, individu itu melebur menjadi satu bagian tak
terpisahkan dalam komunitas itu. Oleh sebab itu, ritual wajib hukumnya dilaksanakan di dalam
suatu masyarakat, baik itu masyarakat tradisional maupun masyarakat modern saat ini. Tanpa
disadari, pola hidup dan interaksi kita dalam masyarakat merupakan suatu ritual yang
berlangsung terus menerus. Meskipun hal itu terkadang merupakan hal biasa, sehingga tidak bisa
dikatakan sebagai suatu ritual di dalam masyarakat. Namun, ritual merupakan suatu proses yang
berlangsung melalui beberapa tahapan di dalam masyarakat, dan pada akhirnya ritual itu menjadi
karakter masyarakat.


Joh R. Hall a d Mary Jo Neitz, Culture: Sociological Perspectives” (New Jersey: Prentice-Hall), 4.
Steve Bruce and Steven Yearley, "Culture," in The Sage Dictionary of Sociology (California: SAGE
Publications Inc, 2006), 111.
1

2

16

Rites of Passage (ritus peralihan) yang diperkenalkan oleh Arnold van Gennep,

merupakan suatu transisi kehidupan dari setiap individu, dari satu masa kehidupan ke masa
selanjutnya, dan proses pembentukan identitas masyarakat dipengaruhi oleh ritus peralihan
tersebut.3 Ritus dalam suatu kebudayaan terus berubah, namun nilai di dalamnya tetap bertahan
sesuai dengan konteks masing-masing. Ritus ini berfungsi untuk menjaga masyarakat dalam
tatanan yang seimbang. Karena perubahan sosial yang begitu cepat dalam masyarakat,
menyebabkan perubahan perilaku di tengah masyarakat. Karena itu, ritus sosial menguatkan atau
mengintesifkan habitual (kebiasaan) relasi dalam masyarakat. Dengan kata lain, ritus mencegah
punahnya kebiasaan-kebiasaan yang telah ada dalam masyarakat.4
Sedangkan kata ritual, berdasarkan kamus besar sosiologi, yakni suatu aktifitas yang

dilakukan secara signifikan oleh tindakan-tindakan formal dalam suatu pola tertentu, melalui
simbol, dan ekspresi yang bermakna. Dalam istilah sosiologis, ritual merupakan suatu tindakan
berulang-ulang yang memiliki pola tertentu dalam suatu masyarakat. 5 Grant Potts mengutip
pandangan Roy Rappaport, seorang antropolog, yang menyatakan bahwa ritual berguna sebagai
alat untuk beradaptasi dalam masyarakat, alat untuk memelihara komunitas yang memungkinkan
kita untuk bertahan hidup dan bereproduksi.6 Ritual memiliki berbagai definisi, karena makna
istilah itu begitu dalam dan bervariasi. Secara umum, penggunaan ritual diidentifikasi dengan
yang sakral. Richard Schechner mempertimbangkan ritual sebagai berikut:

3

Miri Rubin, "Introduction: Rites of Passage," in Rites of Passage: Cultures of Transition in the Fourteenth
Century, ed. Nicola F. McDo ald a d W. M. Or rod U iversity of York’s: York Medieval Press, 2004 , 8.
4
Debika Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology: A Reference Handbook, ed. H. James Birx
(California: Sage Publications, 2010), 769.
5
Steve Bruce and Steven Yearley, "Ritual," in The Sage Dictionary of Sociology (California: SAGE
Publications Inc, 2006), 263.
6

Grant Potts, "Negotiating the Social in the Ritual Theory of Victor Turner and Roy Rappaport," in
Negotiating Rites, ed. Ute Husken and Frank Neubert (New York: Oxford University Press, 2012), 284.

17

1) Sebagai bagian dari perubahan evolusioner dari binatang; 2) sebagai struktur
dengan kualitas resmi dan suatu hubungan yang dapat dijelaskan; 3) sebagai sistem
simbol dari makna; 4) sebagai suatu pertunjukkan atau sebuah proses; 5) sebagai
suatu pengalaman.7
Definisi di atas mempertajam pemahaman akan ritual sebagai aspek religius karena orang-orang
menggunakannya untuk mencari bantuan dari roh-roh leluhur, baik melaksanakan ritual dengan
cara yang sesuai dan dengan keinginan untuk memperoleh, misalnya: hujan, kesehatan, tanaman
yang baik atau status sebagai orang dewasa.8
Ritual tidak hanya mengandung nilai kesakralan saja, tetapi juga mengandung nilai
profan yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Sakral dan profan merupakan terminologi
yang dibuat oleh Emile Durkheim dalam bukunya Elementary Forms of the Religious Life, yang
mengarah pada suatu distingsi antara yang suci dan tidak suci (duniawi). 9 Simbol-simbol yang
sakral memiliki sifat padat akan makna, kemurnian, solidaristik dan menenangkan, sedangkan
simbol-simbol profan bersifat membagi dan menyebar, berbahaya dan merusak, serta terutama
mengancam yang sakral.10 Nilai profan dan nilai sakral inilah yang seringkali sifatnya bertalian

dan tumpang tindih ketika berada dalam suatu budaya. Kedua nilai tersebut saling
mempengaruhi dan memberi dampak terhadap pola kebiasaan dalam masyarakat. Karena itu,
konsep kebudayaan menurut Clifford Geertz cukup baik untuk ditempatkan dalam ranah ini,

7

Richard Schechner, The Future of Ritual: Writings on Culture and Performance (London: Routledge,
1993), 228.
8
Thera Rasing, "The Importance of Ancestors in The Religion of The Bemba of Northern Zimbabwe," in
David Levinson, "Encylopedia of Religious Rites, Rituals, and Festivals" (New York: Routledge, 2004), 7.
9
Steve Bruce and Steven Yearley, "Sacred and Profane, in 21st Century Anthropology: A Reference
Handbook, ed. H. James Birx (California: Sage Publications, 2010), 266.
10
Chris Jenks, Culture: Studi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2013), 35.

18

yakni kebudayaan sebagai sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna. 11 Makna

ini sebagai suatu proses yang terus berjalan dan dinamis, sesuai dengan konteks ruang dan waktu
masing-masing.

2.2. Pertemuan antara Lokal dan Global
Kebudayan yang menjadi akar dalam masyarakat lama kelamaan tergerus oleh perubahan
yang terjadi, karena arus modernisasi memberi peluang untuk mengangkat nilai-nilai
kebudayaan, dan di saat yang sama membuat suatu celah untuk menggeser nilai-nilai
kebudayaan tersebut. Dalam hal ini budaya global memberi dampak besar terhadap perubahan
yang terjadi di konteks lokal, yang mengakibatkan menipisnya nilai-nilai kebudayaan dalam
masyarakat. Masyarakat mulai memberi ruang kepada arus globalisasi dalam kehidupannya,
tanpa menyadari dampak yang akan terjadi terhadap identitas mereka. Wunderlich dan Warrier
mengutip pandangan dari David Held bahwa globalisasi merupakan suatu fenomena space
(ruang), yakni sebuah rangkaian kesatuan antara lokal di satu sisi dan global di sisi lainnya. Hal
itu ditandai dengan organisasi dan aktifitas inter-regional, dan suatu interaksi yang melibatkan
kekuasaan.12 Merujuk pada pandangan tersebut bahwa globalisasi merupakan suatu fenomena
dua arah, yakni global dan lokal saling mempengaruhi. Karena itu, ketika kekuatan lokal
masyarakat mampu mendapatkan tempatnya di tengah globalisasi ini, maka kebudayaan dan
nilai-nilainya akan bertahan sesuai dengan konteks yang diberikan. Meskipun tidak ada satu pun
kebudayaan di dunia ini yang tidak berubah, namun dengan mempertahankan nilai-nilai tradisi


11

Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 5.
Jens-Uwe Wunderlich and Meera Warrier, "A DIctionary Of Globalization," (London: Routldege Taylor
and Francis Group, 2007), 5.
12

19

dan kepercayaannya dalam masyarakat, maka proses tarik menarik antara kebudayaan lokal dan
global terus berlangsung dan akan menciptakan suatu hybrid baru, yaitu suatu sintesa akibat dari
meleburnya kebudayaan lokal dan global di tengah masyarakat. Hal ini yang menjadi realitas
baru dalam masyarakat pos modern, yakni suatu masyarakat yang mampu membuat
kebudayaannya kokoh, meskipun ada sedikit tambalan-tambalan dari kebudayaan global yang
menerpanya.
Globalisasi menunjukkan suatu proses penyebaran yang dinamis dari struktur, institusi
dan budaya oleh 'modernitas barat' seperti demokrasi liberal, konsumerisme, perdagangan bebas,
kapitalisme, bahasa inggris, dan mass media yang mendominasi budaya Amerika/barat, dan ini
bahkan menuju kepada homogenisasi budaya, yang merupakan konsep dari Arjun Appadurai.
Homogenisasi budaya nyata di berbagai aspek kehidupan, mulai dari aspek politik, ekonomi,

maupun interaksi antar budaya.13 Proses pertemuan antara budaya lokal dan global
mempengaruhi ritus siklus kehidupan dalam masyarakat, mulai dari kelahiran (inisasi),
pernikahan, penyembuhan dan kematian. Ritus ini dijalankan secara terus menerus, sama seperti
suatu siklus yang tidak pernah berhenti dan bersifat maju, serta dinamis dalam
perkembangannya.
2.3. Teori Ritus Peralihan dalam Siklus Kehidupan
Untuk dapat menganalisis ritus siklus kehidupan lebih mendalam, maka dibutuhkan
kerangka teoritis yang relevan dan signifikan sebagai pisau analisis data yang diperoleh.
Pencetus pertama mengenai ritus siklus kehidupan adalah Arnold van Gennep, seorang
antropolog dari Belgia, yang mempublikasikan pemikirannya pada tahun 1908, melalui buku

13

Jens-Uwe Wunderlich and Meera Warrier, "A DIctionary Of Globalization," 31.

20

yang berjudul Les Rîtes des Passages. Terjemahan yang tepat untuk kata passage, adalah transisi
atau peralihan. Jadi, istilah van Gennep adalah ritus peralihan, namun peneliti menambahkannya,
menjadi ritus peralihan dalam siklus kehidupan. Karena dalam pemikiran van Gennep tentang

ritus peralihan, yang dibahas adalah suatu siklus kehidupan manusia yang terus berputar seperti
spiral, namun bersifat dinamis dalam prosesnya, sehingga terus bersifat progresif (maju). Dalam
tulisannya, van Gennep membandingkan ritus dan upacara antara budaya Eropa dan non Eropa
(Barat), yang menentukan pola dan proses kehidupan dalam masyarakat melalui fase-fase dalam
hidup.14 Pandangan van Gennep yang menyatakan bahwa masyarakat adalah gabungan dari
individu, dan mungkin bagi individu untuk mengubah keseluruhan, bertentangan dengan
pemikiran Emile Durkheim, yang melihat bahwa individu tidak dapat melawan tindakan kolektif
dari masyarakat. Van Gennep melihat dari sudut pandang upacara ritual, yang di dalamnya ada
masa transisi dari kehidupan manusia yang berbeda secara detail dari budaya satu dengan yang
lainnya, tetapi mereka (budaya-budaya itu), secara esensial adalah universal. Karena itu, ritual
merupakan cerminan atau refleksi terhadap budaya,. 15
Ritus siklus kehidupan menandakan perubahan status sosial di dalam diri individu. Dalam
hal ini, terkandung hirarki sosial, nilai-nilai dan kepercayaan dari budaya tersebut. Dalam ritus
tersebut, terdapat upacara terbagi atas beberapa fase kehidupan manusia: kelahiran, inisiasi, masa
pubertas, masa dewasa, pernikahan, dan kematian. Ini merupakan fase kehidupan manusia dari

14

Michael J. Simonton, "Europe: Past and Present," in 21st Century Anthropology: A Reference Handbook,
ed. H. James Birx (California: Sage Publications, 2010), 717.

15
Debika Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology: A Reference Handbook, ed. H. James Birx
(California: Sage Publications, 2010), 767.

21

satu posisi ke posisi lainnya. Van Gennep lebih fokus terhadap upacara yang bersifat sosiokultural, daripada secara biologis.16
Fase-fase tersebut terangkai dalam skema ritus siklus kehidupan, yang terbagi atas fase
preliminal (ritus dari pemisahan), fase liminal (ritus dari transisi), dan fase postliminal (ritus dari
penggabungan), dan dalam realitanya ketiga ritus tersebut tidak selalu setara satu sama lain.17
Dalam setiap fase peralihan yang dialami dan dilewati oleh manusia, semuanya mempunyai sifat
kesakralan, karena semua peralihan adalah peralihan yang suci.18

1) Fase Preliminal
Pada fase pertama, pemisahan, masyarakat memisahkan diri dari lingkungan sosialnya.
Pemisahan ini membuat mereka unik, karena mereka adalah orang-orang spesial yang tergabung
dalam upacara yang sudah terorganisir.19 Ritus pemisahan yang paling menonjol dalam tulisan
van Gennep adalah tentang ritus kematian, yang begitu kontras dengan ritus transisi dan ritus
penggabungan. Ritus ini sebagai tanda adanya pemisahan antara dunia sebelumnya, dan berpisah
dengan masyarakat tempat ia hidup. Dalam ritus kematian,yang termasuk dalamnya fase

pemisahan ini, orang-orang dari berbagai latar belakang datang dan saling berbaur dalam ritus
tersebut.20 Karena itu, dalam situasi dukacita yang dialami oleh keluarga dekat maupun
masyarakat sekitar terdapat kedekatan emosional antara orang yang meninggal dan orang-orang
di sekitarnya. Van Gennep menyatakan bahwa hal ini menunjukkan adanya hubungan spesial di
16

Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology, 767.
Arnold Van Gennep, The Rites of Passage, trans. Monica B. Vizedom and Gabrielle L. Caffee (Chicago:
The University of Chicago Press, 1960), 21.
18
Van Gennep, The Rites, 12.
19
Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology, 767.
20
Van Gennep, The Rites, 146.
17

22

dalam kelompok dari dunia orang hidup dan dunia orang mati.21 Melalui ritus kematian ini,

masyarakat tradisional (pra-industri) yang mengikuti proses ritus tersebut mengalami refleksi diri
dari kehidupannya, yang sedang berada dalam fase transisi (tidak berada di dunia masa lalu dan
kematian), dan memiliki ingatan-ingatan kolektif akan peristiwa yang terjadi dalam
kehidupannya dan bagaimana seharusnya ia hidup di dunia ini.
Catherine Bell menganalisis dalam fase pertama, pemisahan, terkadang dibuat ritus
pemurnian di dalamnya dan simbol sindiran kepada hilangnya identitas yang lama (sebagai efek,
kematian dari hidup yang lama): individu dimandikan, rambut dicukur, baju diganti, dan dibuat
tanda di tubuh individu tersebut.22 Fase pemisahan ini menunjukkan terjadinya transformasi dari
kehidupan normal, peran dan identitas individu dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini, individu
terpisah dari kelompok dan identitas sebelumnya, setelah mereka terpisah dari masyarakat,
mereka melewati fase transisi yang melekat dalam diri mereka. Kemudian, mereka mengalami
keadaan liminalitas yang berhubungan dengan ambang pintu dalam kehidupan mereka.23
2) Fase Liminal
Fase kedua adalah fase transisi. Fase ini termasuk dalam Fase yang vital, karena
masyarakat hampir membentuk ulang status sosial dari masa lalu. Masa transisi ini ditandai
dengan tindakan yang bersifat transformatif.24 Van Gennep menyatakan bahwa dalam fase
liminal ini bukan merupakan upacara persatuan, namun suatu persiapan menuju persatuan.25
Salah seorang yang mendalami dan mengembangkan teori liminalitas adalah Victor Turner, yang
21

Van Gennep, The Rites, 147.
Catherine Bell, Ritual Perspectives and Dimensions (USA: Oxford University Press, 2009), 36.
23
Benjamin Feinberg, "Rites of Passage, in "Encylopedia of Religious Rites, Rituals, and Festivals" (New
York: Routledge, 2004), 311.
24
Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology, 767.
25
Van Gennep, The Rites, 21.
22

23

menyatakan bahwa aspek liminality (liminalitas) sebagai the mother of all invention (Ibu dari
segala penemuan/sumber dari segala ciptaan).26 Karena menurut Turner bahwa fase liminalitas
merupakan suatu kondisi bagi manusia untuk mengembangkan dirinya, menemukan jati dirinya
dan merefleksikan keadaan yang terjadi di masa lalu, masa kini dan akan datang, sehingga dapat
terbentuk anggota masyarakat baru. Sejatinya, konsep liminalitas merupakan fase personae
(threshold people atau orang-orang berada di ambang pintu), yang menunjukkan keambiguan
dalam kondisi tersebut, dan orang-orang berada dalam posisi tersebut dalam ruang lingkup
budaya mereka.27 Menyebrangi ambang pintu berarti menyatukan diri dengan dunia baru. Hal ini
nampak dalam ritual pernikahan, pengangkatan anak, inisiasi, tahbisan dan pemakaman.28
3) Fase Post-Liminal
Fase ketiga, merupakan fase penggabungan. Di dalamnya terdapat ritual yang
menyambut kembali individu dalam masyarakat.29 Dengan adanya ritus inkorporasi
(penggabungan) ini, maka sampai pada suatu tahap penyatuan ke dalam dunia baru, yang disebut
sebagai ritus post-liminal. Van Gennep menganalisis pertunangan dan pernikahan yang masuk
dalam fase penggabungan, karena di kehidupan sebelumnya individu hanya mengurus diri
sendiri atau bersifat otonomi, namun setelah memasuki fase penggabungan ini, individu masuk
dalam fase baru setelah melewati fase transisi (liminalitas). Individu tersebut masuk dalam
lingkungan yang benar-benar baru dari sebelumnya, dan dalam fase ini individu membentuk
identitas baru dalam dirinya kembali.30 Bell menyatakan bahwa dalam fase ini, individu memiliki
26
27

Barry Stephenson, Ritual: A Very Short Introduction, (London: Oxford University Press, 2015), 59.
Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (New York: Cornell University Press,

1969), 95.
28

Y.W. Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), 34.
29
Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology, 767.
30
Van Gennep, The Rites, 117.

24

status baru di tengah masyarakat, sehingga menunjukkan bahwa mereka telah melalui fase
peralihan dengan baik dan telah disambut, serta diterima oleh masyarakat untuk menjadi satu
bagian yang utuh di dalamnya.31 Kehidupan itu sendiri, menurut van Gennep, berarti berpisah
dan bergabung kembali, untuk mengubah bentuk dan kondisi, untuk mati dan lahir kembali.32
Menurut Debika Saha, upacara atau ritual bukan hanya berfungsi sebagai perekat sosial
dalam masyarakat, lebih dari itu, ritual merupakan cerminan spiritual, religius, dan perasaan
alami dari manusia. Dengan kata lain, ritual merefleksikan bagaimana orang-orang terbentuk,
belajar dan bertransformasi dalam budaya, sehingga dapat memberi makna dan mendefinisikan
eksistensinya dalam hidup ini.33
2.4. Skema Ritus Peralihan dalam Drama Sosial
Richard Schechner, proffesor di bidang pertunjukan Universitas New York, memetakan
konsepnya mengenai ritus yang terjadi dalam teater dan dihubungkan dengan antropologi.
Schechner mengambil gagasan van Gennep tentang fase-fase dalam ritus siklus kehidupan
(separation, transition and incorporation), dan menambahkan aspek-aspek penting dalam
gagasannya mengenai pertunjukan teater sosial. Konsep Schechner di bawah ini memberi
gambaran signifikan mengenai ritus siklus kehidupan dalam aspek sosial-budaya.

31

Bell, Ritual Perspectives, 36.
Van Gennep, The Rites, 189.
33
Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology, 768.

32

25

Sumber: Buku Richard Schechner “Between theater and anthropology.”34
2.5. Aspek Kultural Globalisasi
Jan Nederveen Pieterse, professor di bidang ilmu global dan sosiologi, membagi tiga
paradigma dari aspek kultural globalisasi, yakni diferensialisme kultural, konvergensi budaya,
dan hibridisasi budaya. Paradigma dari Pieterse ini menunjukkan bahwa adanya suatu cara
pandang dunia terhadap budaya-budaya di seluruh dunia: selalu berbeda, memusat, atau
menciptakan bentuk “percampuran” baru dari kombinasi unik antara budaya lokal dan global.35

34

Richard Schechner, Between theater and anthropology (Philadelphia:University of Pennsylvania Press,
1985), 288.
35
Ritzer, Teori Sosiologi, 985.

26

Di bawah ini tabel Three Ways of Seeing Cultural Difference (Tiga jalan melihat perbedaan
budaya) dari Pieterse, dalam bukunya “Globalisasi dan Budaya: Globalisasi Campuran.”

Sumber:
Buku Jan Nederveen Pieterse “Globalization and Culture.” 36
Melalui tiga paradigma aspek kultural globalisasi di atas, maka peneliti merujuk pada
fokus, yakni dalam dimensi mixing atau campuran, di masa modern, diikuti dengan hibridisasi
sebagai aspek utama dalam penelitian ini.
2.6. Hibridisasi Budaya
Glokalisasi merupakan bagian dari paradigma hibridisasi budaya. Identitas dibangun
melalui negosiasi yang mengandung perbedaan yang terdapat celah, dan kesenjangan di

36

Jan Nederveen Pieterse, Globalization and Culture: Global Melange (USA: Rowman & Littlefield
Publisher, 2009), 57.

27

dalamnya. Hibriditas muncul dalam proses 'ruang ketiga,' yakni sebagi tempat elemen lainnya
mengubah satu sama lain, sehingga proses pertemuan bertemu dan menghasilkan satu perubahan.
Dalam perspektif fungsionalis, hal ini dipandang sebagai model pertukaran budaya. Dalam
bahasa Nikos Papastergiadis, hal itu dilihat sebagai sesuatu yang "mix and match" yang timbul di
banyak budaya dan berbagai wacana tentang identitas.37 Hibridisasi budaya merupakan salah
satu paradigma dari aspek kultural globalisasi yang menekankan terjadinya penyatuan antara
global dan lokal. George Ritzer menyatakan bahwa hibridisasi sebagai sebuah proses yang
sangat kreatif dalam memandang globalisasi, karena dari istilah ini akan muncul berbagai budaya
baru dan berkelanjutan, sehingga dapat meningkatnya heterogenitas di banyak tempat berbeda. 38
Hibridisasi tersebut merupakan sintesa dari budaya yang berbeda atau identitas sosial,
yang menghasilkan bentuk ketiga baru. Beberapa ahli antropologi mengklaim bahwa
percampuran ras menghasilkan "jenis sosial" yang mereka sebut hybrid.39 Hibridisasi tidak sama
dengan hybrid. Hibridisasi merupakan kata aktif dan istilah yang berkonotasi proses yang sedang
berjalan sedangkan hybrid adalah penjelasan tentang sesuatu yang statis, dan bukan akhir dari
proses menjadi.40 Pencampuran budaya itu sebagai akibat dari globalisasi dan produksi. Akibat
penyatuan

tersebut

akan

menghasilkan

bentuk-bentuk

hibrida

yang

khas,

dan

ini

mengindikasikan keberlanjutan heterogenisasi daripada homogenisasi.41 Barker dan beberapa
ahli budaya berpendapat bahwa kebudayaan dan identitas kultural tidak bisa dipahami lagi
sebagai ‘tempat,’ tetapi sebagai suatu perjalanan. Hal ini berarti kebudayaan sebagai arena
37

Nikos Papastergiadis, The Turbulence of Migration: Globalization, Deterritorialization and Hybridity 1st
ed. (USA: Blackwell Publishers Inc, 2000), 170.
38
Ritzer, Teori Sosiologi, 999.
39
Julian Go, "Hybridity," in The Cambridge Dictionary of Sociology, ed. Bryan S. Turner (New York:
Cambridge University Press, 2006), 275.
40
Sten Pultz Moslund, Migration Literature and Hybridity: The Different Speeds of Transcultural Change,
First ed. (United Kingdom: Palgrave Macmillan, 2010), 14.
41
Ritzer, Teori Sosiologi, 999.

28

bertemunya para pelancong, sehingga meningkatnya perbenturan, pertemuan dan percampuran
kultural di dalamnya.42
Konsep hibridisasi budaya berkaitan erat dengan teori glokalisasi.43 Glokalisasi
merupakan sebuah istilah yang diadopsi oleh sosiolog dari strategi pemasaran perusahaanperusahaan global yang memperkenalkan modifikasi kecil sebagai produk global untuk pasar
lokal yang berbeda dan untuk mengikuti keinginan lokal. Dalam konsep sosiologis, hal ini
mengungkapkan ketegangan antara budaya lokal dan global. Sebagai sebuah proses, itu mengacu
pada globalisasi dari yang lokal dan glokalisasi dari yang global.44
2.7. Glokalisasi
Teori ini dikembangkan oleh Roland Robertson, seorang sosiolog, dan pakar teori tentang
globalisasi. Robertson berpandangan bahwa globalisasi mengakibatkan tekanan yang mendalam
kepada dunia dan intensifikasi kesadaran dunia secara menyeluruh. Ada dua dinamika dalam
globalisasi yang terus terjalin satu dengan lainnya, yakni mengenai penkhususan masalah dunia
dan penduniaan masalah khusus.45 Hailey menyatakan bahwa “globalisasi merupakan konsep
penting dalam mengamati sistem yang kompleks dalam masyarakat, karena konsepnya yang
memadai, maka globalisasi memerlukan analisis yang cermat dari arah vertikal dan horizontal,
internal dan eksternal.”46

42

Chris Barker, Cultural Studies: Teori & Praktik, trans. Nurhadi, Nineth ed. (Bantul: Kreasi Wacana, 2015),

211.
43

Ritzer, Teori Sosiologi, 999.
Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, and Bryan S. Turner, "Glocalization," in Dictionary of
Sociology(England: Penguin Books, 2006), 170.
45
Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture, 1st ed. (London: Sage, 1992), 8-9.
46
Kenneth D. Bailey, "Systems Theory," in Handbook of Sociological Theory, ed. Jonathan H. Turner(New
York: Springer, 2001).
44

29

Teori glokalisasi digunakan untuk meneliti isu-isu dan permasalahan yang berhubungan
dengan pertemuan identitas lokal dan global, sehingga fokus utama bukan identitas global yang
mempengaruhi yang lokal, melainkan identitas lokal dapat memberi pengaruh terhadap identitas
global. Hal ini mengindikasikan bahwa topik tentang kebudayaan berkaitan dengan konsep lokal
dan global, sehingga akan terjadi proses konstruksi dan reproduksi kebudayaan oleh masyarakat,
melalui interaksi sosial, negosiasi sosial, sampai pada proses internalisasi kebudayaan dalam
suatu masyarakat.
Teori glokalisasi dikembangkan Robertson pada pertengahan tahun 1990-an. Masalah
kemudian muncul, tentang hubungan antara glokalitas dan motif-motifnya, seperti polietnisitas,
kosmopolitanisme, lintas kebudayaan, sinkronisitas, hibriditas, transkultural, kreolisasi,
pribumisasi, dan diasporisasi. Hal tersebut mengidentifikasikan bahwa gagasan global memiliki
berbagai makna di berbagai konteks "lokal." Dengan cara yang sama, konsep lokal dapat
mengglobal.47 Penekanan dalam teori glokalisasi ini merujuk pada individu dan semua kelompok
lokal sebagai agen sosial yang penting dan kreatif yang mempunyai kekuatan untuk beradaptasi,
dan berinovasi dalam sebuah dunia yang mengalami glokalisasi. Ritzer menambahkan bahwa
teori glokalisasi paling cermat terhadap berbagai perbedaan di dalam dan di antara berbagai
kawasan di dunia.48

2.8. Landscape: Ethnoscapes, Ideoscapes, Financescapes, Technoscapes, dan Mediascapes
47

Roland Robertson, "Coping with Binaries: Bays, Seas and Oceans," Glocalism: Journal of Culture, Politics
and Innovation 1, DOI: 10.12893/gjcpi.2013.1.10.
48
Ritzer, Teori Sosiologi, 1000.

30

Arjun Appadurai merupakan seorang teoritis globalisasi, ia dikenal dengan teorinya yang
menjelaskan kompleksitasi gerakan kemasyarakatan, media, finansial, teknologi dan budaya
dalam konteks dunia yang tidak menentu. Ia mengkonseptualisasikan hal itu dalam lima scapes,
yakni ethnoscapes, ideoscapes, financescapes, technoscapes dan mediascapes. Penggunaan kata
scape menunjukkan bahwa semua proses di setiap area tersebut memiliki bentuk cair, tidak tetap

dan beragam, sehingga gagasan heterogenisasi tepat dalam hal ini, bukan homogenisasi.49
Landscapes tersebut dibangun dari pemikiran Bennedict Anderson mengenai imagined world

(dunia imajiner), yang dilakukan oleh berbagai individu dan komunitas yang tersebar di seluruh
dunia.50 Bagi Appadurai, memahami globalisasi perlu melihat landscapes tersebut, karena
globalisasi merupakan proses yang kompleks, dinamis dan interaktif.51
Berikut lima pokok pemikiran dari Arjun Appadurai:
1) Ethnoscape dari individu maupun kelompok yang bergerak (turis, pendatang, pengungsi,
tenaga kerja asing) yang memainkan peran penting dalam dunia yang terus berubah.
Sadar maupun tidak, hal ini menunjukkan terjadinya pergerakan yang sesungguhnya di
tengah masyarakat.52 Istilah Ethnoscape dipakai oleh Appadurai untuk menggambarkan
suatu perubahan sosial, teritorial dan reproduksi kultural dan identitas kelompok.
Kerangka konseptual dari Appadurai membahas tentang perdebatan kultural, yang
menurutnya bahwa terjadi proses perkembangan dinamika kultural yang begitu cepat, dan
ia menyebutnya sebagai deteritorialisasi, yang berarti adanya suatu korporasi

49

Ritzer, Teori Sosiologi, 1002.
Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (London: University of
Minnesota Press, 1996), 33.
51
Jens-Uwe Wunderlich and Meera Warrier, "A DIctionary Of Globalization," 35.
52
Ritzer, Teori Sosiologi, 1002.
50

31

transnasional dan berkaitan dengan pasar uang, juga kepada kelompok etnik, gerakan
sektarian dan formasi politik.53
2) Technoscape merupakan suatu konfigurasi global yang terus berjalan melalui teknologi
informasi dan mekanika, serta sejumlah besar materi (data unduhan, e-mail), yang dalam
masa pos-modern ini sangat bebas dan begitu cepat mengalir tanpa adanya batasan. 54
Appadurai menambahkan bahwa distribusi teknologi tidak meningkat karena adanya
dorongan dari skala ekonomi, kontrol politik atau dari rasionalitas pasar, tetapi meningkat
karena adanya hubungan yang kompleks di antara arus peredaran uang, kemungkinankemungkinan politis dan ketersediaan dari pekerja (buruh) yang berkompeten dalam
industri.55
3) Financescape adalah suatu area peredaran uang secara besar-besaran, yang bergerak dari
satu wilayah ke wilayah lain (antar negara) dan proses tersebut berputar dengan cepat di
seluruh dunia melalui pasar uang, perdagangan mata uang, spekulasi, bursa saham, dan
sebagainya. Namun, Appadurai melihat titik kritis dalam hubungan global antara
ethnoscapes, technoscapes, dan financescapes, yang begitu berlawanan dan sangat tidak
bisa diprediksi, karena dari setiap area ini subyek itu sendiri terpaksa dan terdorong oleh
beberapa aspek (misalnya: aspek politik, beberapa yang bersifat informasi, dan yang
bersifat tekno-lingkungan), pada saat yang sama hal itu bertindak memaksa dan adanya
parameter terhadap gerakan-gerakan dari satu area ke area lainnya.56
4) Mediascape merupakan penyebaran informasi ke seluruh dunia melalui berbagai media
yang tersedia (Internet, social media , televisi, koran, majalah, dan buletin), sehingga

53

Appadurai, Modernity at Large, 49.
Ritzer, Teori Sosiologi, 1002.
55
Appadurai, Modernity at Large, 34.
56
Appadurai, Modernity at Large, 35.
54

32

pihak-pihak yang terlibat merupakan orang-orang yang kompeten di bidangnya untuk
memberikan tampilan atau pertunjukkan yang sesuai dengan konteks dan situasi di
masing-masing tempat. Mediascape dan ideoscapes ditujukkan kepada audience lokal,
nasional dan internasional. Mediascapes ini dapat menunjukkan suatu karakter, plot, dan
bentuk-bentuk tekstual, yang dapat mengubah perspektif individu maupun komunitas,
sehingga mereka dapat mengubah kehidupannya melalui gambaran tersebut.57
5) Ideoscapes, hampir senada dengan mediascape, namun dalam ideoscape lebih
menonjolkan gambaran-gambaran politk atau ideologi masing-masing kelompok,58
berdasarkan kepentingannya masing-masing. Karena ideoscape mau menangkap bagianbagian kecil dari kekuasaan masing-masing kelompok. Appadurai menyatakan bahwa:
Ideoscapes terbentuk dari berbagai unsur, yakni cara pandang tentang pencerahan,

yang mana terdiri dari rangkaian ide-ide, istilah dan gambaran, termasuk di
dalamnya: kebebasan, kesejahteraan, hak-hak, kedaulatan, representasi dan istilah
yang unggul adalah demokrasi.59

Dalam area ini terdapat gerakan-gerakan pro dan kontra terhadap berbagai kepentingan
yang ada, namun terdapat juga gerakan yang bersifat netral dan anti terhadap kepentingan
politis tersebut.

57

Appadurai, Modernity at Large, 35.
Ritzer, Teori Sosiologi, 1003.
59
Ritzer, Teori Sosiologi, 1003.
58

33

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kontrak Bisnis dengan Orang Asing T2 322011012 BAB II

0 3 56

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlakuan terhadap Orang Meninggal dalam Tradisi Penguburan Masyarakat Desa Trunyan Bali T2 752012015 BAB II

0 1 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Migran dalam Bingkai Orang Papua T2 092011007 BAB II

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Christian Entrepreneurship T2 912010027 BAB II

0 1 59

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tato sebagai Representasi Spiritual Orang-Orang Bertato T2 752014027 BAB II

0 1 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hibridisasi Budaya dalam Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo di Desa Mola Wakatobi

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hibridisasi Budaya dalam Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo di Desa Mola Wakatobi T2 752015031 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hibridisasi Budaya dalam Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo di Desa Mola Wakatobi T2 752015031 BAB IV

0 0 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hibridisasi Budaya dalam Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo di Desa Mola Wakatobi T2 752015031 BAB I

0 0 16

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evidence dalam Membuktikan Adanya Kartel di Indonesia T2 BAB II

0 1 35