Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hibridisasi Budaya dalam Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo di Desa Mola Wakatobi T2 752015031 BAB IV

BAB 4
SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN

Komunitas orang Bajo membentuk suatu sistem kebudayaan dalam dirinya, yang terus
mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sistem Kebudayaan ini bersifat simbolik dan
subjektif, sehingga kebudayaan dapat ditularkan dari satu sistem ke sistem lainnya, yakni dari
sistem sosial yang satu ke sistem sosial lainnya. 1 Talcott Parson, dalam bukunya social system,
yang terbit tahun 1951, menyatakan bahwa sistem kebudayaan merupakan salah satu dari tiga
model dari sistematisasi tindakan sosial, yakni kepribadian, sistem kebudayaan yang berorientasi
pada sistem nilai, dan sistem sosial. Definisi Parson menegaskan bahwa sistem kebudayaan
berada di puncakan sistem tindakan masyarakat, sehingga dari sistem tersebut terjadi yang proses
dekonstruksi dan rekonstruksi nilai dan norma. 2
Perubahan sistem kebudayaan komunitas orang Bajo di desa Mola, dipengaruhi oleh
lebih dari satu faktor, yakni faktor dari dalam komunitas orang Bajo yang memilih untuk
berubah maupun bertahan dengan kondisi yang ada. Selain itu, faktor eksternal berperan penting
dalam mengubah sistem kebudayaan orang Bajo, Anthony Giddens menyatakan bahwa konsep
ruang-waktu, yang mengarahkan perhatian kepada keterlibatan lokal dan interaksi lintas jarak,
sehingga globalisasi mengacu pada intensifikasi relasi sosial sedunia yang menghubungkan
lokalitas yang saling berjauhan, sehingga peristiwa sosial dapat terbentuk. 3 Parson melihat

1


George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, trans.
Saut Pasaribu, Rh. Widada, and Eka Adi Nugraha, Second ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 419.
2
Talcott Parsons, The Social System (New York: Free Press, 1951), 6.
3
Anthony Giddens, Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas (Bantul: Kreasi Wacana, 2014), 84.

83

adanya pola yang konsisten antara sistem budaya yang berhubungan dengan kepribadian dan
sistem sosial, sehingga dapat mempengaruhi aktor di dalam sistem sosial. 4
4.1.

Skema Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo

Ritual Pra
Kelahiran
Ritual
Kematian


Ritual
Pengobatan

Ritual
Kelahiran

Ritus Siklus Kehidupan
Orang Bajo

Ritual
Perkawinan

Ritual Pasca
Kelahiran

Ritual Potong
Rambut

Ritual Melaut


Ritual
Sunatan

Orang Bajo memiliki beberapa tahap pelaksanaan ritual dalam kehidupan mereka,
dimulai dari pra kelahiran sampai kematian. Setiap fase tersebut mempunyai alur seperti skema
di atas. Ritual tersebut wajib dilaksanakan bagi orang Bajo, karena hal itu sudah termasuk dalam
sistem kepercayaan mereka, yang mengandung nilai kesakralan dan terdapat kekuatan untuk
menyatukan setiap elemen masyarakat. Ritual pra kelahiran dilaksanakan oleh kaum ibu yang
4

Parsons, The Social System, 17.

84

sedang mengandung, orang Bajo mempercayai bahwa ritual pra kelahiran adalah salah satu
syarat utama jika mau mendapatkan anak yang sehat secara jasmani dan rohani. Arnold van
Gennep menganalisis bahwa ketika wanita sedang hamil, di saat itulah fase pemisahan terjadi,
yakni keterpisahan antara kaum ibu yang sedang hamil dengan masyarakat di sekitarnya. Tujuan
utamanya untuk ‘mengisolasi’ kaum ibu agar sehat dalam masa kehamilannya dan melahirkan

bayi yang sehat kelak. Van Gennep juga menganalisis upacara-upacara kehamilan dalam ritus
peralihan yang ditelitinya, yakni banyaknya ritus yang mengandung rasa simpati atau yang
bersifat menular, baik secara langsung maupun tidak, bersifat animistik maupun dinamistik,
namun semua itu bertujuan untuk menjaga sang Ibu dan sang bayi (terkadang juga untuk
menjaga ayah, keluarga terdekat, keluarga besar atau seluruh klan) untuk melawan kekuatan iblis
yang dipersonifikasikan oleh kepercayaan masyarakat.5
Sependapat dengan pandangan dari van Gennep, orang Bajo mempercayai hal-hal yang
bersifat animistik, yakni mempercayai bahwa roh memiliki pengaruh dalam mengatur kehidupan
mereka. Daniel L. Pals mengutip pandangan Frazer yang menganaslis bahwa masyarakat primitif
selalu beranggapan bahwa prinsip-prinsip kerja alam selalu tetap, universal dan tidak bisa
dilanggar. Hal ini sama dengan prinsip sebab-akibat, yang dikenal di dunia modern saat ini,
sehingga Frazer mengembangkan konsep yang disebutnya ‘magis,’ yang dibangun berdasarkan
asumsi bahwa ketika suatu ritual atau perbuatan dilakukan secara tepat, maka akan terwujud
suatu akibat seperti yang diharapkan dalam masyarakat setempat.6 Orang Bajo mempercayai ada
kekuatan besar di luar dirinya, sehingga pada prinsipnya orang Bajo taat pada aturan-aturan lisan
yang telah ditetapkan oleh masyarakatnya mengenai ritual yang wajib dilaksanakan ketika

5

Arnold Van Gennep, The Rites of Passage, trans. Monica B. Vizedom and Gabrielle L. Caffee (Chicago:

The University of Chicago Press, 1960), 41.
6
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 57.

85

sedang melahirkan. Jika melanggar aturan tersebut, orang Bajo harus menanggung resikonya,
baik itu berdampak pada sang ibu maupun sang anak. Ada pendapat dari orang Bajo di desa
Mola bahwa pernah terjadi ‘musibah’ kepada keluarga yang tidak melaksanakan ritual pra
kelahiran itu, sehingga orang Bajo banyak belajar dan merefleksikan kejadian masa lampau serta
mengaitkannya pada masa kini.
Namun, ada perbedaan antara ritus yang diteliti oleh van Gennep di India dan orang Bajo
di desa Mola. Perbedaan itu antara lain: ketika perempuan sedang dalam masa kehamilan di
India, mereka benar-benar melalui tahap pemisahan dengan masyarakat dan tidak diperbolehkan
masuk ke dalam tempat-tempat ‘suci’ serta di India mempunyai upacara yang dikenal sebagai
upacara pemisahan dan upacara penyatuan kembali ke rumahnya. 7 Orang Bajo memiliki tiga
ritual yang dilakukan oleh sang Ibu ketika dalam masa kehamilan, pertama, ritual pra kelahiran,
yang dilaksanakan orang Bajo untuk menurunkan tuli ke laut, agar kehamilan dapat berjalan
dengan baik dan mempunyai anak yang sehat secara jasmani dan rohani, serta dijauhkan dari
roh-roh jahat yang mengganggu kehidupan sang bayi dan sang ibu dalam masa kehamilan. Ritual

kedua, yakni ketika melahirkan sang bayi, terjadi suatu ritual yang dilaksanakan oleh sanro
untuk memotong ari-ari (orang Bajo menganalogikannya dengan sebutan kagumbarang atau
kembaran) dan juga sanro memandikan sang bayi dengan air laut yang telah ditaruh di ember,
tentu saja dalam prosesi tersebut sanro melakukanya sambil mengucapkan doa-doa. Jadi,
pemahaman mengenai ritual tidak hanya difokuskan kepada upacara yang bersifat sakral saja,
Barry Stephenson, professor dalam bidang agama dan budaya dari Kanada, menyatakan bahwa
ritual juga menghubungkan manusia kepada kerabat atau sanak saudara yang bersifat biologis.8
Senada dengan Stephenson, orang Bajo menganggap bahwa ritual pemotongan terhadap ari-ari
7
8

Van Gennep, The Rites, 42.
Barry Stephenson, Ritual: A Very Short Introduction (London: Oxford University Press, 2015), 5.

86

merupakan suatu simbol keterhubungan antara orang Bajo dan saudaranya (ari-ari) itu. Ritual
kelahiran yang dilaksanakan orang Bajo memberi isyarat terima kasih kepada sang pencipta,
yang telah memberikan bayi kepada keluarga dan telah memberi ari-ari sebagai pelindung serta
pemberi kehidupan bagi sang bayi. Tahap ketiga, yakni suatu ritual yang dilaksanakan pasca

kelahiran bagi orang Bajo, ritual ini merupakan tahap lanjutan dari tahap kedua (memotong ariari). Dalam tahap ini, perwakilan dari keluarga harus diwakili oleh sang ayah (jika tidak,
sekurang-kurangnya bisa diwakili oleh orang tua keluarga), yang melaksanakan ritual ini. Ritual
ini dilaksanakan ketika sang bayi lahir, kemudian ari-arinya telah dipisahkan dari tubuh sang
bayi oleh sanro, dan sang bayi telah dimandikan oleh sanro menggunakan air laut. Tahap
selanjutnya, ritual ini dilaksanakan oleh sang ayah, yakni menaruh ari-ari itu di bawah tangga
rumah, lebih tepatnya di air laut yang berada di bawah tangga rumah, prosesnya dilakukan
dengan perlahan. Sang ayah harus serius dalam melaksanakan tugas ini, karena sebagai kepala
rumah tangga, maka ini adalah tugas pertama pasca melahirkan sang bayi. Di dalam proses ini
mengandung

esensi

fungsionalisme

dalam

ranah

domestik,


meskipun

terlalu

dini

mengatakannya, namun melalui ritual pasca kelahiran ini, kedua pihak (ibu maupun ayah)
mempunyai peran dan fungsi masing-masing dalam kehidupannya. Sang ayah dalam masyarakat
Bajo dikenal sebagai pengembara dan pekerja untuk mencari ikan bagi keluarga, dan sang ibu
dikenal sebagai penata dan pemelihara dalam rumah tangga. Hal ini tidak dianggap sebagai
diksriminasi atau menonjolnya sistem patriarki dalam masyarakat Bajo, namun pembagian peran
dan fungsi ini telah lama dikenal bagi orang Bajo, sehingga konflik dalam ranah domestik sangat
jarang terjadi di masyarakat Bajo. Orang Bajo tidak hanya mewariskan kepada anak cucu tentang
proses ritual dalam siklus kehidupan mereka, namun juga mewariskan nilai mengenai pembagian
peran dan fungsi dalam masyarakat, baik itu dari perempuan maupun laki-laki. Hal itu dipahami

87

oleh orang Bajo sebagai suatu cara untuk mengokohkan hubungan antara suami dan istri, dan
kepada komunitasnya (orang Bajo).

Selain ritual kelahiran di atas, orang Bajo memiliki ritual lain; ritual potong rambut, ritual
sunatan, ritual pernikahan dan ritual kematian. Keempat ritual itu telah masuk dalam kategori
ritual yang dibungkus dalam semangat keagamaan, karena ritual tersebut lebih banyak
mengandung nilai islami daripada tradisi budaya yang telah ada di masyarakat Bajo. Benny
Baskara, seorang peneliti agama orang Bajo, yang menganalisis bahwa terjadinya perpaduan
identitas keagamaan orang Bajo; keyakinan Islam dengan keyakinan asli orang Bajo. Hal ini
terwujud dalam kehidupan keagamaan orang Bajo, khususnya dalam melakukan elaborasi
terhadap ritual-ritual yang dilaksanakan orang Bajo.9
Di sela-sela ritual antara kelahiran dan kematian, terdapat ritual melaut dan ritual
pengobatan, Victor Turner mengkonsepsikan ini sebagai fase liminalitas, yang merupakan suatu
kondisi bagi manusia untuk memberdayakan dan mengembangkan dirinya, sehingga dapat
melakukan refleksi terhadap kejadian yang terjadi di masa lalu, evaluasi di masa kini, dan
penantian terhadap masa akan datang. Dalam fase ini masyarakat berada di ambang pintu,
sehingga terjadi keambiguan dalam hidup mereka. 10 Orang bajo menyadari bahwa kehidupan di
masa kini tidak bisa dilakukan dengan kekuatan mereka sendiri, sehingga orang Bajo di satu sisi
menggunakan agama Islam sebagai penopang dalam tuntunan hidup bermasyarakat, sedangkan
di sisi lain, menggunakan keyakinan mereka sebagai orang Bajo dalam kehidupan pekerjaan
(melaut) maupun yang menyangkut dengan kesehatan mereka. Dalam kehidupan pekerjaan,
khususnya melaut, orang Bajo menyadari bahwa laut yang memberikan kehidupan bagi mereka,
9


Benny Baskara, Islam Bajo Agama Orang Laut (Banten: Javanica, 2016), 261.
Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (New York: Cornell University Press,
1969), 95.
10

88

dan mempercayai bahwa ada sang penguasa laut yang mengatur kehidupan mereka. Karena itu,
orang Bajo mempercayai beberapa ‘mitos’ yang berkembang di masyarakat bahwa jika
melakukan hal yang tidak sesuai dengan norma dan nilai dalam masyarakat Bajo, maka pasti
akan kesulitan mendapatkan ikan di laut, bahkan bisa mendapat celaka (angin kencang maupun
ombak besar) akibat perbuatan yang dilakukannya. Jack Goody, antropolog sosial dari Inggris,
mengamati bahwa mitos digunakan sebagai suatu hal yang diduga oleh masyarakat berada di
bawah hukum budaya yang berlaku, yang berhubungan dengan simbol dalam masyarakat, hal itu
disebutnya sebagai "struktur bawah sadar dalam masyarakat."11 Goody menambahkan bahwa
mitos terbentuk dari literatur oral, yang sebagian besarnya merupakan bagian dari pemahaman
kosmologi masyarakat setempat, sehingga mitos dipertimbangkan sebagai penghargaan tertinggi
dari literatur oral dalam masyarakat.12


11
12

Jack Goody, Myth, Ritual and the Oral (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 6.
Goody, Myth, Ritual., 52.

89

4.1. Ritus Kelahiran Sebagai Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo

Pemisahan
(Ritual
Kematian)

Penggabungan
(Ritual
Perkawinan)

Transisi (Ritual
Kehamilan,
Inisiasi, dan
sebagainya)

Skema Ritus Peralihan Arnold van Gennep
Skema di atas merupakan teori ritus siklus peralihan (rites of passage) yang dibuat oleh
Arnold van Gennep untuk menjelaskan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, yang
dianalisis berdasarkan pada ritus peralihan dalam masyarakat. Van Gennep membagi tiga tahap
tersebut, yakni separation (pemisahan), transisition (transisi), incorporation (penggabungan).13
Dalam skema tersebut, van Gennep menganalisis tiga tahap tersebut dan mencoba untuk
mengembangkannya dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Van Gennep memulai
analisisnya dari ritus pemisahan, yakni diadakan pada saat ritual kematian. Dilanjutkan oleh
ritual transisi dalam kehidupan masyarakat, van Gennep menganalisisnya dari ritual kehamilan,
ritual inisiasi dalam masyarakat, dan sebagainya. Akhir dari ritus peralihannya, van Gennep
13

Van Gennep, The Rites, 166.

90

menganalisis suatu tahap akhir, yang disebutnya sebagai tahap penggabungan, yang di dalamnya
terdapat penyatuan elemen dalam masyarakat, yakni dalam ritual perkawinan. Ketiga ritual ini
terus berlangsung, sifatnya seperi siklus, dan di dalam setiap tahap tersebut, tidak jarang ada
yang bersifat tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Karena ritus peralihan dari van Gennep
melihat lebih jelas fakta yang terjadi dalam setiap kondisi perubahan sosial dalam masyarakat.

Penyatuan
(Ritual Pra
Kelahiran dan
Ritual
Kelahiran)

Transisi (Ritual
Kaka)

Pemisahan
(Ritual Pasca
Kelahiran)

Skema Ritus Siklus Kelahiran Orang Bajo
Melalui ritus peralihan dari van Gennep tersebut, peneliti mengembangkan suatu
pemikiran baru, yakni didasarkan pada ritus siklus kehidupan orang Bajo di desa Mola,
Wakatobi. Fokus utamanya tidak pada setiap fase kehidupan dalam masyarakat, seperti teori
yang dikembangkan oleh van Gennep, melainkan lebih spesifik pada satu fase, yakni fase
kelahiran dalam masyarakat Bajo. Peneliti menganalisis bahwa dalam fase kelahiran, ada ritual
yang tetap dan terus bertahan dalam masyarakat Bajo. Peneliti mengembangkannya dalam tiga
91

tahap, yang dimulai dari tahap penyatuan, di dalamnya terdapat ritual pra kelahiran dan ritual
kelahiran. Karena dalam ritual pra kelahiran tersebut, orang Bajo mempercayai bahwa
kehidupannya menyatu dengan kagumbarang-nya atau ari-ari, yang dianggap sebagai saudara
kembarnya, di sisi lain, orang Bajo menganggap hal tersebut sebagai bukti pemeliharaan dari
pencipta, yang memberikan kehidupan bagi orang Bajo. Ritual pra kelahiran tersebut
dilaksanakan untuk memberi keamanan dan kesehatan bagi sang bayi. Sedangkan ritual kelahiran
adalah ritual yang dilakukan oleh orang Bajo ketika sang bayi telah lahir, dan dilakukan
pemotongan terhadap ari-arinya, serta dimandikan menggunakan air laut oleh sanro, sehingga
dalam tahap tersebut dipahami terjadinya proses inisiasi bagi sang bayi untuk diterima dalam
masyarakat Bajo. Tahap selanjutnya, yakni tahap pemisahan, yang dilaksanakan pasca kelahiran.
Dalam tahap ini, sang bayi dipisahkan dengan kagumbarang-nya, yakni diletakkan di laut (di
bawah rumah) oleh sang ayah, yang dimaksudkan untuk memisahkan secara fisik antara sang
bayi dan ari-ari tersebut. Namun, terdapat penyatuan secara roh, ketika ari-ari itu ditempatkan di
laut, maka orang Bajo mempercayai bahwa ari-ari itu menyatu dalam kehidupan mereka,
meskipun tidak terlihat secara logika. Jadi, dalam tahap pemisahan, terdapat penyatuan yang
mempunyai yang sarat akan makna.Tahap ketiga adalah tahap transisi, peneliti mengembangkan
tahap ini sebagai suatu tahap bagi masyarakat Bajo untuk mengenal, mengidentifikasi dan
mengevaluasi setiap tindakan yang mereka lakukan dalam kehidupannya. Karena dalam tahap ini
terdapat ritual kaka, yang berfungsi sebagai kekuatan bagi orang Bajo untuk mempertahankan
identitasnya. Ritual kaka wajib hukumnya dilaksanakan oleh orang Bajo setiap tahun, namun
kini, akibat modernisasi dan perubahan yang begitu cepat, ritual kaka dijadikan sebagai alat
penyembuh semata. Ketika orang Bajo sudah sakit baru mengingat kagumbarang-nya, dan
melakukan ritual tersebut. Namun, secara keseluruhan, pola kehidupan orang Bajo tidak bisa

92

terlepas dari ritual kaka, karena ritual ini telah menjadi pusat dari kehidupan orang Bajo. Jadi,
masa transisi bagi orang Bajo adalah situasi bagi orang Bajo untuk membangun hubungan
dengan kagumbarang-nya atau (kaka), sehingga melalui itu kekuatan secara fisik mereka
dapatkan dan identitas kebudayaan mereka semakin menguat, serta ritual kaka tersebut dapat
menjadi mempererat kohesi sosial dalam masyarakat Bajo.

4.1. Ritual Kaka Sebagai Strategi Tandingan
Tekanan dari arus ekonomi dan politik global membuat komunitas lokal menjadi terseokseok untuk menunjukkan identitasnya. Akibatnya, penyebaran ideologi yang tidak relevan
membuat komunitas lokal menjadi korban. Komunitas orang Bajo mencoba untuk
mempertahankan dan memperjuangkan identitasnya di tengah kerasnya tekanan dari dominasi
global atasnya. Salah satu strategi yang dilakukan oleh komunitas orang Bajo di desa Mola
adalah dengan menekankan pada pentingnya melaksanakan ritual kaka, yang adalah simbol
kehidupan dan persaudaraan komunitas orang Bajo.
Orang Bajo menjalankan ritual dalam kehidupannya berdasarkan pengalaman dan
refleksi atas sesuatu yang terjadi dalam dirinya. Misalnya, ketika bayi lahir dalam komunitas
orang Bajo, komunitas itu membangun suatu pemahaman tentang aspek persaudaraan dan aspek
ketuhanan. Simbol yang digunakan untuk melegitimasi hal itu adalah kaka (saudara tertua) atau
kagumbarang (kembaran) orang Bajo, yang merupakan ari-ari (plasenta) manusia. Anthony
Ellioott mendefinisikan simbol sebagai jantung dari sistem budaya dan reproduksi makna terjadi

93

melaluinya. 14 Orang Bajo merefleksikan kaka sebagai bagian penting dalam kebudayaan mereka,
karena dengan dijadikannya kaka sebagai simbol orang Bajo, maka nilai-nilai kebajoan turut
serta dalam paradigma dan tindakan orang Bajo. Kaka dimaknai sebagai suatu hubungan
berkelanjutan dengan laut sebagai sumber kehidupan orang Bajo. Laut sebagai tempat bernanung
orang Bajo, dan tempat bagi setiap peralihan dalam fase hidup orang Bajo. Dengan menyadari
bahwa laut tidak hanya mengandung aspek mistis atau yang sakral saja, namun juga terdapat
aspek emosional, sejarah, dan budaya di dalamnya.
Kaka dijadikan sebagai simbol persaudaraan ketika orang Bajo melakukan produksi dan
reproduksi makna terhadap hal itu. Orang Bajo melihat bahwa kaka adalah saudara yang
menjaga individu (orang Bajo) dari hal-hal yang tidak diinginkan, namun kaka juga bisa
membuat orang Bajo jatuh sakit dan tak berdaya, hal itu sebagai konsekuensi orang Bajo yang
tidak bisa menjaga hubungan persaudaraan yang baik dengan kaka-nya. Di sisi lain, orang Bajo
sadar akan kelemahan yang dimiliki setiap individu, kelemahan itu berupa sesuatu yang tidak
dapat dikontrol dari diri mereka. Karena itu, orang Bajo melakukan sakralisasi terhadap kaka
sebagai simbol ketuhanan, yang merujuk pada kuasa yang ilahi menjaga sang bayi dalam
kandungan dikarenakan oleh kaka itu sebagai perantara kehidupan manusia. Nilai kesakralan itu
terwujud dalam setiap ritual yang dilakukan oleh orang Bajo, dan hingga sekarang kaka sebagai
simbol utama orang Bajo tetap dipertahankan serta dilestarikan melalui ritual adat orang Bajo.
Ritual sering diasosiasikan kepada ranah yang sakral, yang penuh dengan sesuatu yang mistik,
transenden, dan tidak dapat dijangkau oleh akal manusia.

14

Anthony Ellioott, "symbol," in The Cambridge Dictionary of Sociology, ed. Bryan S. Turner (New York:
Cambridge University Press, 2006), 618.

94

4.2. Ikatan Sosial dalam Ritual
Orang Bajo melaksanakan ritual dalam setiap fase peralihan kehidupan mereka, yang
peneliti sebut sebagai ritus siklus kehidupan. Hal itu terwujud dalam fase pertama dan terpenting
dalam masyarakat Bajo, yakni kelahiran. Kelahiran berarti suatu generasi baru telah hadir dan
sebagai tanda bahwa masyarakat Bajo terus bertahan serta survive dalam derasnya arus
perubahan yang ada. Dalam fase ini, orang Bajo melakukan ritual untuk melakukan internalisasi
nilai kepada penerus warisan orang Bajo, yakni dengan melaksanakan ritual yang bersifat privat
di ruang publik (di laut). Ritual dalam fase pertama, yakni kelahiran, bertujuan untuk
menunjukkan kepada orang Bajo bahwa adat dan tradisi leluhur terus dijaga dan dilestarikan. Inti
dari ritual kelahiran adalah pada momen ketika ari-ari atau kaka itu telah berpisah dengan sang
bayi, kemudian dibersihkan oleh sanro (dukun adat), dan prosesi terakhir, yakni menurunkan
kaka di laut. Hal itu sebagai tanda kebersatuan dan keterpisahan. Sang bayi menyatu dengan
kaka terjadi dalam dua waktu, pertama, peneliti sebut sebagai masa temporal, ketika berada
dalam kandungan selama kurang lebih sembilan bulan, yakni ketika kaka sebagai simbol
pemersatu antara ibu dan sang bayi selama masa mengandung, karena melalui kaka, kehidupan
nutrisi dan oksigen yang menuju ke otak sang bayi terpenuhi. Ketika sang bayi berada dalam
kandungan, kaka menjadi aspek vital dalam kehidupan manusia. Orang Bajo memandang kaka
sebagai saudara tertua karena memiliki nilai bersejarah dalam kehidupan sang bayi, dan
keterikatan lahiriah itu tidak terputus begitu saja. Di satu sisi, kaka yang disimpan di dalam laut
merupakan tanda berpisahnya sang bayi dari kaka-nya, namun orang Bajo melihat itu sebagai
suatu tanda penyatuan antara orang Bajo dan kehidupannya di laut, karena itu, peneliti menyebut
tahap ini sebagai tahap kebersatuan selanjutnya, yang bersifat continuing atau berkelanjutan di
sepanjang hidup orang Bajo. Kehidupan orang Bajo tidak bisa dilepaskan dengan kaka, dan ini
95

menjadi suatu hal yang wajib untuk dilaksanakan bagi orang Bajo untuk melestarikan budaya di
satu sisi, serta membangun persaudaraan di antara orang Bajo melalui hubungan personalnya
dengan kaka.
4.3. Pemaknaan Memori Kolektif Orang Bajo dalam Ritual
Orang Bajo di desa Mola memandang ritual sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan
dalam kehidupan mereka, karena ritual merupakan hal primer dan terpenting dalam kehidupan
manusia, Barry Stephenson mendefinisikan ritual sebagai cara pikir dan mengetahui. 15 Orang
Bajo memandang bahwa ritual yang mereka lakukan tidak berbeda dengan kehidupan yang
mereka jalani sehari-hari, sehingga distingsi antara yang sakral dan profan memiliki batas yang
tipis, serta dapat dimasuki kapanpun ketika orang Bajo melalui proses ritual yang mereka miliki.
Ritual menjadi tempat berbagi dan menguatkan solidaritas kolektif dari orang Bajo yang
memiliki permasalahan fisik maupun psikis. Dalam pelaksanaannya, ritual menjadi sarana bagi
orang Bajo untuk mengingat, merefleksikan, dan membangun hubungan kepada leluhur mereka.
Ritual merupakan bagian dalam kebudayaan yang menjadi suatu mekanisme kontrol dalam
masyarakat untuk mengatur tingkah laku masyarakat, sehingga integrasi sosial dapat terjalin
erat.16 Orang Bajo melaksanakan ritual secara kolektif, yakni dari keluarga inti (orang tua dan
saudara/i kandung), keluarga besar yang terdiri dari: kakek, nenek, tante, om, sepupu,
keponakan, maupun dari keluarga orang Bajo, yang termasuk di dalamnya adalah tetangga
maupun orang Bajo lainnya, yang mengikuti ritual tersebut. Ritual orang Bajo didasarkan pada
memori kolektif mereka terhadap orang-orang terdekat yang berada di sekitar mereka maupun
terhadap leluhur mereka.

15
16

Stephenson, A Very Short, 3.
Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 55.

96

Ritual kaka yang dilakukan oleh orang Bajo menjadi satu kesatuan utuh yang
dilaksanakan oleh orang Bajo, dan ritual kaka dilaksanakan untuk membangun ingatan-ingatan
masa lampau ketika orang Bajo berlayar dan hidup di tengah lautan, sehingga dengan
menjadikan kaka sebagai bagian dari kehidupan orang Bajo, maka orang Bajo terus
memperbaharui hubungannya dengan penguasa laut, yaitu Mbo Janggo, Mbo Ma Dilao, Mbo
Dugah. Keyakinan orang Bajo terhadap penguasa laut tersebut merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari ritual yang dilaksanakan orang Bajo, yakni sebagai sarana untuk
mengekspresikan nilai budaya dan model yang ada di dalamnya, ritual juga berfungsi sebagai
perantara untuk membawa pesan kepada budaya yang ada di dalamnya, sehingga ritual
mengizinkan masyarakat setempat untuk melakukan modifikasi terhadap tatanan sosialnya, pada
saat yang sama, ritual berfungsi untuk memperkuat tatanan budaya yang ada di dalamnya. 17
Benny Baskara melihat bahwa peristiwa-peristiwa penting dalam daur kehidupan orang Bajo
diwujudkan dalam ritual-ritual yang merupakan ekspresi dari nilai-nilai yang diyakini oleh orang
Bajo, khususnya hubungan antara nilai keislaman sebagai keyakinan religious orang Bajo dan
nilai kebajoan sebagai nilai budaya dari orang Bajo, sehingga kedua nilai tersebut telah berpadu
dalam daur kehidupan orang Bajo yang dilaksanakan dalam ritual. 18
4.4. Integrasi Sosial dalam Ritual Orang Bajo
Orang Bajo secara umum mempunyai pekerjaan yang berhubungan dengan laut, yakni
nelayan, penambang pasir, pengangkut batu karang, dan berdagang hasil laut. Kehidupan orang
Bajo terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu, namun kekuatan dari integrasi sosial
dalam masyarakat Bajo berpengaruh dalam perkembangan perekonomian mereka. Integrasi

17
18

Catherine Bell, Ritual Perspectives and Dimensions (USA: Oxford University Press, 2009), 65.
Benny Baskara, Islam Bajo (Banten: Javanica, 2016), 115.

97

sosial berarti suatu pengalaman kolektif dalam suatu kelompok yang memiliki suatu perasaan
memiliki, yang berdasar dari norma-norma, kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai. 19 Perasaan
memiliki itu terwujud dalam kehidupan orang Bajo yang memiliki kepercayaan yang sama
terhadap leluhur mereka maupun penguasa yang ada di laut, sehingga ritual menjadi salah satu
media bagi orang Bajo untuk memupuk solidaritas di antara suku Bajo. Ritual secara heuristik
didefinisikan sebagai suatu 'pengulangan dari prosedur atau tata cara yang biasa dilaksanakan,
yang diasosiasikan dengan agama dan setidaknya dua orang yang berpartisipasi di dalamnya.
Ritual tidak perlu diasosiasikan dengan agama, tetapi di dalam ritual terdapat tumpang tindih
antara ritualisasi, institusi sosial dari agama, dan berbagai variasi pengalaman fenomenologikal
yang merujuk pada kesadaran kosmik atau ide dari yang kudus.20
Melaut merupakan pekerjaan ‘turunan’ yang tidak bisa dipisahkan dari orang Bajo,
karena dengan melaut mereka dapat menghidupi keluarga dan membangun relasi yang baik
dengan orang Bajo lainnya. Secara umum orang Bajo di desa Mola memiliki kehidupan yang
sederhana, meskipun dana pembangunan yang dikucurkan kepada desa itu tidak sedikit, namun
pola hidup orang Bajo tetap sederhana dan menjunjung tinggi kebersamaan. Hal itu
menunjukkan adanya sabuk sosial yang kuat dalam masyarakat Bajo, sehingga konflik sosial
tidak terjadi di antara orang Bajo. Integrasi erat kaitannya dengan kohesi sosial, yang mengacu
pada kapasitas masyarakat untuk menetapkan tujuan dan mengimplementasikannya untuk
mencapai tujuan tersebut. Di satu sisi, masyarakat yang baik dalam kohesi sosialnya dapat
bertindak sebagai unit yang efektif. Di sisi lain, masyarakat yang tidak memiliki kohesi, maka

19

Steve Bruce and Steven Yearley, "Subculture," in The Sage Dictionary of Sociology (California: SAGE
Publications Inc, 2006), 154.
20
Mary Catherine Bateson, Ritualization: A Study in Texture and Texture Change, in Religious Movements
in Contemporary America, ed: Irving I. Zaretsky & Mark P. Leone (Princeton, Oxford: Princeton University Press,
1974), 150-151.

98

individu atau kelompok yang berada di dalamnya gagal untuk berkontribusi dalam tindakan
kolektif yang efektif. 21
4.5. Pembentukan Identitas Kultural Orang Bajo
Orang sama merupakan istilah bagi orang Bajo, khususnya yang memiliki keturunan
orang Bajo. Sama, memiliki arti sama-sama atau memiliki kemiripan, dan konsep sama dimaknai
oleh orang Bajo sebagai identitas yang tidak bisa terlepas dari dirinya. Identitas kultural
merupakan sesuatu yang individu miliki dan itu merupakan salah satu dasar dari identitas sosial
yang pasti dalam diri individu.22 Orang sama adalah identitas kultural masyarakat Bajo yang
terus bertahan, beradaptasi dan berevolusi dengan perubahan yang terjadi. Kini, identitas orang
sama dapat terbentuk dari hasil kawin silang atau kawin campur antara orang sama dan
bagai,hasilnya adalah, sang anak langsung memiliki identitas kultural, yakni orang sama. Hal itu
terjadi sebagai akibat dari internalisasi nilai-nilai adat orang Bajo, yang begitu terbuka dengan
perubahan yang ada, khususnya mengenai perpindahan penduduk dan cepatnya arus perubahan
sosial yang terjadi. Nilai-nilai kebajoan itu sebagai bentuk dari reaksi terhadap ‘pendatang’ yang
hadir dan hidup bersama dalam lingkungan mereka, sehingga orang Bajo melihat itu sebagai
peluang untuk mempertahankan dan melestarikan suku mereka. Pada masa lampau, orang sama
hidup berdampingan hanya bersama orang sama saja. Orang sama biasa menyebut orang bagai
dengan asal daerahnya, seperti bagai Bugis, bagai kendari, bagai Jawa, dan seterusnya. Dengan
penyebutan tersebut, orang Bajo membuat perbedaan identitas yang jelas kepada orang Bagai.
Hubungan antara orang sama dan orang bagai saat itu terlihat dalam proses interaksi sosial

21

Jeffrey G. Reitz, Assessing Multiculturalism as a Behavioural Theory, in Multiculturalism and Social
Cohesion: Potentials and Challenges of Diversity, ed: Jeffrey G. Reitz, Raymond Breton, Karen Kisiel Dion, and
Kenneth L. Dion (Canada: Springer: 2009), 20.
22
Jonathan Friedman, Cultural Identity and Global Process (London: Sage Publication, 1994), 30.

99

mereka ketika berada di pasar, yakni proses jual-beli sebagai satu-satunya tempat bertemu antara
orang ‘laut’ dan orang ‘darat’, sebagai istilah bagi orang darat yang menyebut perbedaan tersebut
demikian.
Pada saat itu, orang sama atau orang laut biasa diidentikkan sebagai suku yang
‘kampungan’, dan status sosialnya jauh di bawah orang bagai atau orang darat. Orang bagai
menganggap bahwa ketergantungan orang sama yang begitu kuat dengan laut, membuat mereka
tidak bisa berkembang dan memiliki pemikiran yang sama seperti orang darat atau orang bagai.
Akibatnya, orang sama merasa minder ketika bertemu dengan orang bagai, karena takut untuk
bersaing dan tidak mau terjadi konflik, lebih baik orang sama mundur serta hidup dalam
komunitasnya saja. Orang sama dikenal sebagai suku yang tidak suka terlibat dalam
permasalahan, sehingga di masa lampau mereka dikenal sebagai suku yang nomadik atau hidup
berpindah-pindah, akibat ketikdaknyamanan dan ketidakamanan yang mereka rasakan.
Ketidaknyamanan itu berhubungan dengan aspek cuaca maupun alam yang berada di sekitar
mereka, sehingga orang sama dapat memprediksi kekuatan dan ketahanan dari lepa atau perahu
tempat mereka tinggal itu. Ketidakamanan berhubungan dengan gesekan maupun konflik yang
terjadi antara orang sama dan orang bagai, yang paling dikenal adalah kerusuhan akibat DI/TII
(Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang menyerbu orang-orang sama dan mengganggu
aktivitas keseharian mereka. Ditarik dari akar sejarahnya, itulah yang membuat orang sama
memiliki jarak pemisah dengan orang bagai.
4.6. Trust di Antara Dua Identitas

Orang sama di masa kini memiliki pandangan yang relatif sama dengan pandangan masa
lalu mereka kepada orang bagai, aspek utama yang menonjol adalah tentang trust atau

100

kepercayaan. Piotr Sztompka melihat bahwa pentingnya aspek

trust

sebagai

kualitas

fundamental dari tindakan manusia. Khususnya dalam melakukan interaksi dengan orang lain,
kita harus membentuk ekspektasi tentang tindakan yang terjadi di masa yang akan datang.
Kepercayaan menjadi sebuah strategi yang krusial untuk menyepakati hal-hal di luar kontrol
yang tidak dapat diprediksi. Karena itu, trust terdiri dari dua komponen utama, yakni beliefs
(kepercayaan) dan commitment (komitmen).23 Beliefs terbentuk dari hubungan emosional antar
individu maupun institusi, dan hal itu terjadi jika ada kesepakatan antar dua pihak, baik secara
langsung maupun tidak. Beliefs saja tidak cukup untuk mencapai kondisi trust antar kedua pihak,
dibutuhkan juga commitment untuk mempertahankan dan menindaklanjuti nilai-nilai yang telah
ada dalam beliefs tersebut. Melalui kedua hal itu, maka trust dapat terwujud. Secara sederhana,
trust memiliki definisi mempercayakan, yang berarti menaruh kepercayaan penuh kepada orang
lain. Hubungan orang sama dan orang bagai diselimuti oleh kegelisahan, kekhawatiran, dan
prasangka yang disebabkan oleh aspek trust yang tidak berjalan dengan baik, sehingga terjadi
relasi yang tidak sehat dari kedua pihak.
Relasi antara orang sama dan orang bagai secara sepintas dilihat biasa saja atau memiliki
interaksi yang tidak berbeda, seperti yang dilakukan oleh orang darat atau orang bagai pada
umumnya. Namun, Erving Goofman menyebut hal ini sebagai performance front (pertunjukkan
depan panggung), yang secara umum fungsi dan penampilan didefinisikan maupun diatur
(setting) begitu rupa dalam konteks yang dialami oleh manusia. Terdapat performer (pelaku) di
dalamnya yang berperan melalui situasi dan konteks mereka berada. 24 Hal ini sama seperti
hubungan antara orang sama dan orang bagai, yang dalam tampilan depan panggung atau ketika
23

Piotr Sztompka, "trust," in The Cambridge Dictionary of Sociology, ed. Bryan S. Turner (New York:
Cambridge University Press, 2006), 639-640.
24
Erving Goofman, The Presentation of Self in Everyday Life (Edinburgh: University of Edinburgh, 1956),
13-14.

101

melakukan interaksi satu dengan lainnya, sehingga yang nampak dalam interaksinya adalah
sebatas personal front (tampilan depan dari individu) itu sendiri, yang sudah banyak dimodifikasi
oleh nilai-nilai dan norma-norma masing-masing komunitas. Hal ini terlihat ketika peneliti
tinggal bersama masyarakat Bajo desa Mola, Wakatobi, yakni timbul persoalan sosial antara
orang sama dan orang bagai. Meskipun masih dalam taraf mikro, namun inti persoalannya jelas,
yakni terjadinya pergesekan di antara kedua pihak yang menyebabkan orang bagai semakin
menanggap rendah orang sama dalam hubungan kepercayaan mereka, dan sebaliknya, orang
sama semakin kurang percaya kepada orang bagai jika melakukan transaksi maupun di dunia
pekerjaan. Karena ada beberapa pemilik modal di kampung Bajo desa Mola yang berasal dari
luar atau orang bagai, yang memiliki taraf ekonomi yang cukup untuk membeli bodi atau perahu
besar untuk melaksanakan aktifitas melaut. Sebaliknya, ada sebagian dari orang Bajo yang tidak
memiliki cukup modal untuk membeli bodi, dan dengan terpaksa, orang Bajo bekerja kepada
orang bagai untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Adapun orang Bajo yang bekerja di
tempat orang bagai tersebut sebagai upaya untuk membangun trust kepada orang bagai, yang
selama ini tidak memiliki hubungan yang sehat. Namun, dalam perjalanannya, orang Bajo
mendapati kesan bahwa tindakan dan kontrak sosial yang mereka telah pegang bersama
seringkali tidak ditaati oleh orang bagai, yang adalah pemilik modal itu sendiri. Hal ini membuat
merenggangnya hubungan antara orang sama dan bagai. Orang sama semakin sulit untuk
menaruh trust kepada orang bagai, karena orang bagai dikenal dengan karakternya yang senang
jika terjadi konflik. Sedangkan orang sama tidak menyukai konflik apapun alasannya, karena hal
itu mengganggu harmoni sosial yang terjadi dalam komunitas orang Bajo.

102

4.7. Kesadaran Ekologis Orang Bajo
Anthony Giddens menyatakan bahwa modernitas mengandung unsur kesempatan yang
lebih luas bagi manusia untuk berekspresi dan memperjuangkan identitasnya. Di sisi lain,
modernitas mempunyai sisi yang mengerikan, 25 yakni dengan kemajuan yang begitu pesat,
membuat manusia sibuk terhadap produksi sumber daya alam yang berlebihan, bahkan di
beberapa tempat, alam dijadikan sebagai objek bagi kaum kapitalis. Mirisnya, di era global ini,
mereka yang merusak alam, justru dengan lantangnya menyuarakan untuk menjaga alam. Sebuah
fenomena yang menarik, ketika dialektika pertemuan di antara peradaban global, yang berusaha
mengambil keuntungan atas alam, dan di sisi lain memperjuangkan untuk mempertahankannya.
Isu ekologis merupakan isu global yang terbentuk akibat kebijakan dari sistem ekonomi lokal,
regional maupun global yang tidak memperhatikan pembangunan yang bersahabat terhadap
lingkungan dan alam.
Orang Bajo terlebih dahulu sadar akan hal ini, dan telah menjadi bagian dalam kehidupan
mereka untuk memberi perhatian lebih terhadap lingkungan laut. Orang Bajo menganggap laut
sebagai sumber penghasilan dan sumber kehidupan mereka, sehingga orang Bajo menjaga dan
melestarikan kehidupan laut. Ada opini dari luar komunitas orang Bajo yang menyatakan bahwa
orang Bajo mengambil ikan di laut dengan cara ilegal, seperti melakukan bom ikan dan
meracunnya, sehingga merusak terumbu karang yang ada di dalamnya. Setelah diselidik lebih
jauh, ternyata orang-orang yang melakukan pengrusakan terumbu karang itu adalah orang luar
komunitas Bajo, dan orang Bajo dijadikan kambing hitam terhadap hal tersebut. Orang Bajo
yang memiliki kedekatan emosional dan historis dengan laut tidak memiliki alasan untuk
merusak laut, karena mereka percaya bahwa jika mereka merusak laut, sama saja seperti merusak
25

Anthony Giddens, Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas (Bantul: Kreasi Wacana, 2014), 9.

103

kehidupan mereka sendiri. Orang Bajo memiliki trust kepada laut, namun tidak kepada orang
darat atau orang bagai, karena tindakan mereka yang menangkap ikan dengan cara ilegal tersebut
membuat terumbu karang rusak dan ikan-ikan semakin menjauh dari pemukiman orang Bajo.
Aspek kultural yang melekat dalam diri orang Bajo kepada laut membuat mereka sadar bahwa
laut adalah rumah mereka yang utama dan harus dijaga untuk dilestarikan. Ada beberapa
penelitian mengenai orang Bajo sebagai pelindung terumbu karang dan sebagai penjaga
ekosistem laut, salah satunya penelitian dari Julian Clifton dan Chris Majors, yang meneliti
orang Bajo melalui budayanya, konservasi, dan konflik: dari sudut pandang penjaga lautan di
antara orang Bajo dari Asia Tenggara. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa masyarakat
indegenous (asli) dan etnik minoritas seringkali dirasakan sebagai sahabat dari upaya konservasi
yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga dari keterbukaan orang Bajo dapat menolong upaya
konservasi lautan yang semakin lama rusak oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. 26
Orang Bajo menyatakan bahwa laut dijadikan sebagai sumber kehidupan yang tidak terbatas jika
dapat dikelola dengan baik, sama seperti lahan pertanian yang ada di darat, begitu pula yang
terjadi bagi masyarakat Bajo, yang kehidupannya tidak lepas dari laut.
4.8. Orang Bajo dalam Percaturan Politik
Desa Mola dibagi menjadi lima desa, yang memiliki keunggulan masing-masing.
Meskipun memiliki identitas yang sama, yakni sebagai orang Bajo, namun kepentingan politis
menjadi aparat desa merupakan suatu hal yang berpengaruh dan dapat mengangkat status
sosialnya dalam masyarakat. Menariknya, program di setiap desa Mola berpengaruh dari

26

Julian Clifton & Chris Majors: Culture, Conservation, and Conflict: Perspectives on Marine Protection
Among the Bajau of Southeast Asia, Society & Natural Resources: An International Journal, (2012):, 716-725.

104

identitas kebajoan mereka, yakni suatu bentuk ‘peniruan’ dari satu desa dengan desa yang lain.
Orang Bajo menyadari hal ini sebagai suatu identitas yang tidak bisa terlepas di antara mereka.
Jumlah penduduk yang tidak sedikit membuat desa Mola, Wakatobi, sebagai desa yang
cukup berpengaruh dalam percaturan politik di daerah Wakatobi. Desa Mola, yang dikenal
sebagai kampung Bajo ikut serta dalam politik praktis ketika masyarakatnya telah terdata dan
menjadi bagian dalam penduduk Indonesia. Hal itu didukung oleh peran aparat desa yang
berfungsi untuk menyuarakan aspirasi penduduk desa kepada pemerintahan setempat. Orang
Bajo yang awalnya dipandang sebelah mata oleh orang darat, karena dianggap tidak memiliki
kemampuan apa-apa, khususnya dalam pendidikan yang tidak sama dengan orang darat. Namun,
seiring berjalannya waktu dan perubahan yang terus bergulir membuat orang Bajo belajar lebih
banyak dan masuk dalam politik praktis, ada orang Bajo yang telah masuk dalam ranah legislatif
(DPRD), karena memang kemampuan ekonomi juga berpengaruh terhadap hal ini. Seperti yang
terjadi pada pemilihan bupati akhir tahun 2015 lalu, ketika persaingan ketat dan panas antar
kepentingan, khususnya di dalam masyarakat Bajo desa Mola yang mendukung salah satu
pasang calon, dan seringkali terjadi gesekan dan konflik dengan pendukung lawannya. Hal ini
membuat orang Bajo desa Mola semakin terlihat eksistensinya, dan masyarakat Bajo sendiri
memiliki dasar politik yang kuat melalui setiap pengalaman, pemikiran dan refleksi kritis mereka
terhadap perubahan demi perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan mereka.
4.9. Globalisasi dan Kontradiksi Kultural
Anthony Giddens melihat bahwa globalisasi secara langsung merupakan konsekuensi
dari modernisasi yang terjadi begitu cepat, Anthony Giddens dalam bukunya The Consequences
of Modernity, yang diterbitkan tahun 1991, memberi suatu distingsi antara hubungan time and

105

space (waktu dan ruang), ia memaparkan bahwa karateristik dari globalisasi ditemukan dari
reorganisasi dari ruang dan waktu dalam kehidupan sosial dan budaya. 27 Sebagai hasil dari
distingsi time-space itu adalah, hubungan sosial menjadi disembedded (tidak melekat) atau
terpisah, dalam kata lain berarti tercabut dari akar konteks mereka, sehingga menjadi terstruktur
kembali melalui time-space.28
Dengan adanya pariwisata yang masuk di desa Mola, Wakatobi, orang Bajo memiliki
suatu kesadaran global yang mendorong mereka untuk melakukan suatu perubahan, yang
berdampak pada identitas kultur mereka. Identitas kultur merupakan suatu proses yang berjalan
dan mengalami perubahan sesuai dengan situasi yang terjadi. Dengan kata lain, global
consciousness (kesadaran global) tidak hanya sebuah hasil dari proses, tetapi merupakan motor
dari globalisasi. 29 Pariwisata yang kreatif merupakan salah satu cara untuk menyediakan hal
ini……30
Giulianotti dan Robertson mendiskusikan pola dari imigrasi terhadap proses yang disebut
glokalisasi, mereka membagi dalam empat jenis proyek dari glokalisasi:
1. Relativisasi atau suatu pemeliharaan oleh aktor sosial, dengan demikian mempunyai
kontribusi kepada diferensiasi dari budaya tuan rumah.
2. Akomodasi atau penyerapan oleh aktor sosial dari pemaknaan dan tindakan yang berhubungan
dengan masyarakat lainya.

27

Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford: Stanford University Press, 1990), 18
Jens-Uwe Wunderlich and Meera Warrier, A Dictionary of Globalization (London: Routledge, 2010), 149.
29
Chris Rumford, Cosmpolitan Spaces: Europe, Globalization, Theory (New York: Routledge, 2008), 135.
30
Anya Diekmann and Melanie Kay Smith, Aspects of Tourism: Ethnic and Minority Culture as Tourist
Attractions, ed. Anya Diekmann and Melanie Kay Smith (United Kingdom: Channel View Publications, 2015), 25.
28

106

3. Hibridisasi atau suatu percampuran dan campuran oleh aktor sosial dan representasi sosial
budaya lainnya, serta kebiasaan-kebiasaan untuk memproduksi suatu bentuk-bentuk baru yang
khusus.
4. Transformasi atau suatu keadaan yang bebas oleh aktor sosial dari tradisi mereka di dalam
kepentingan yang berhubungan dengan sistem sosial budaya lainnya. 31
4.10. Respon Globalisasi: Pariwisata
Pariwisata merupakan suatu hal yang menarik dalam kajian sosiologis, alasannya bahwa
dampak dari pariwisata yang menghubungkan antara orang asing (turis) dan orang lokal. Di
dalam pariwisata ini terdapat suatu hal yang saling bertentangan, yakni akibat dari pembangunan
pariwisata menyebabkan hancurnya hal-hal yang bersifat otentik dan lingkungan yang murni.
Hal tersebut berpengaruh kepada budaya lokal dan pembangunan ekonomi dan sosial yang
terjadi di sekitar masyarakat.32 Pariwisata melakukan transformasi dalam bentuk yang berbeda
melalui diskursus global dari konsumerisme, yang merupakan sebuah proses melalui 'orang lain'
menjadi sebuah komoditi untuk dikonsumsi. 33 Jika menggunakan kacamata Marx dalam
tulisannya Das Kapital, yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikaan antara
penampilan luar dan realitas yang sebenarnya dari produksi budaya yang dilakukan. 34 Karena
dalam realitanya, pariwisata digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan pasar saja, tetapi
melupakan nilai yang sejati dari budaya itu. Bahkan budaya telah dijadikan sebagai ruang jualbeli yang mempertemukan antara budaya global dan budaya lokal, sehingga pertemuan ini
31

Diekmann and Kay Smith, Aspects of Tourism, 10.
Steve Bruce and Steven Yearley, "Tourism," in The Sage Dictionary of Sociology (California: SAGE
Publications Inc, 2006), 304.
33
Stroma Cole, Tourism, Culture and Development: Hopes, Dreams and Realities in East Indonesia (Great
Britain: Cromwell Press, 2008), 21.
34
Chris Jenks, Culture: Studi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2013), 110.
32

107

menyebabkan status quo dalam masyarakat lebih kuat, karena masyarakat lokal dijadikan
sebagai alat untuk memuaskan keinginan ‘pelanggan’, dan dibalik itu ada pihak-pihak luar yang
lebih untung daripada masyarakat lokal. Jadi, terdapat kebudayaan borjuis dalam masyarakat
yang hanya menilai segala sesuatu dari nilai materialnya saja, dan melihat nilai budaya dari sudut
pandang untung-rugi semata.35
Dengan melihat fenomena tersebut, tepat yang dikatakan Clifford Geertz bahwa terjadi
ketegangan budaya, sosial dan psikologis. 36 Ketegangan di sini mencakup suatu realitas di dalam
masyarakat lokal (orang Bajo) dan masyarakat global (pendatang atau turis). Ketegangan ini bisa
menciptakan sesuatu yang baik untuk memberdayakan masyarakat, sebaliknya hal ini bisa
menyebabkan ketidakharmonisan dalam struktur sosial. Dalam konteks masyarakat Bajo di desa
Mola, menunjukan bahwa ketegangan antara orang Bajo dan turis merupakan suatu bentuk
ketegangan yang kreatif. Pertemuan yang kreatif ini merupakan hasil dari pembangunan aspek
pariwisata yang menghasilkan produk-produk yang inovatif. 37 Ketegangan tersebut bukan
semata-mata menjadi perselisihan, namun memberi kontribusi yang baik kepada kedua pihak.
Orang Bajo sebagai fasilitator dalam pariwisata yang mereka kembangkan, sedangkan turis
maupun pendatang sebagai tamu yang menikmati suguhan, yang disediakan oleh orang Bajo.
Pariwisata bukan hanya pertemuan dari warisan budaya masa lalu, tetapi lebih dari itu
teristimewa bagi orang-orang atau komunitas yang hidup dalam sebuah konteks tertentu.
Pariwisata memberi kontribusi terhadap komunitas lokal, khususnya dari berbagai bentuk
warisan budaya yang tidak terlihat, namun dapat dirasakan melalui pengalaman hidup di dalam

35

Jenks, Culture: Studi Kebudayaan, 107.
Clifford Geertz, Politik Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 32.
37
Mike Robinson & David Picard, Tourism, Culture and Sustainable Development (France: Unesco, 2006),

36

21.

108

komunitas tersebut, sehingga turis melihat dan mengalami secara langsung tampilan budaya dan
ritual yang terjadi dalam komunitas tersebut.38 Budaya lokal yang ditampilkan oleh orang Bajo
ini tampil sebagai lawan tanding budaya global yang menghempas nilai dan tradisi orang Bajo.
Dengan kehadiran pariwisata di tengah masyarakat Bajo ini memberi peluang sekaligus
tantangan untuk melakukan revitalisasi nilai kebajoan bagi masyarakat Bajo. Nilai merupakan
suatu prinsip etis dan ideal, yang berhubungan dengan hal universal, secara spesifik merupakan
persepsi moral yang ada sesuai dengan konteks masing-masing.39 Orang Bajo menerima
kehadiran pariwisata yang masuk dalam kehidupan mereka, meskipun pada awalnya mereka
tidak begitu menerima kehadiran pariwisata ini, namun dengan pemahaman baru yang diberikan
kepada mereka bahwa pariwisata berfungsi untuk menguatkan identitas lokal (kebajoan) mereka,
sehingga orang Bajo di desa Mola mulai menerima dan memberdayakan pariwisata yang ada di
desa mereka.
Pada satu sisi, pariwisata sangat dipengaruhi oleh sektor publik, khususnya infrastuktur
dasar (energi, jalan, persedian air, dan sebagainya). Di sisi lain, sektor pariwisata terdiri dari
kepemilikan pribadi dan kepentingan bisnis yang dioperasikan sedemikian rupa, sehingga sulit
untuk dilakukan koordinasi dan mengatur hal-hal tersebut.40
Pariwisata tidak hanya sebagai bentuk menguatnya identitas lokal, tetapi juga merupakan
bentuk lain dari dominasi kekuatan global yang menjelajahi setiap sudut dunia ini. Hibriditas
dilihat sebagai sebuah efek sejarah dari kolonialisme yang merupakan sebuah diskursus dari
sebuah kondisi yang disebut sebagai pos-kolonialisme. Hal ini dapat membentuk suatu identitas

38

Robinson & Picard, Tourism, Culture and Sustainable Development, 19.
Steve Bruce and Steven Yearley, "Values," in The Sage Dictionary of Sociology (California: SAGE
Publications Inc, 2006), 314.
40
Robinson & Picard, Tourism, Culture., 9.
39

109

baru dalam masyarakat, yakni sebuah budaya global. Budaya global disebut juga sebagai
mélange, yang memiliki definisi sederhana, yaitu suatu percampuran dari hal-hal yang berbeda.
Mélange juga merupakan suatu istilah yang menunjukkan dialektika antara lokal dan global,
yang melahirkan peningkatan budaya yang berbeda, khususnya memberi bentuk komunitas lokal
baru, yang terbentuk dari bentuk hybrid dan identitas-identitas baru.41
Budaya ketiga merupakan hasil bentukan dari homogenitas dan heterogenitas, yang
membuat suatu bentuk hybrid transnasional budaya ketiga. Budaya ketiga terbentuk melalui
tindakan-tindakan maupun gaya hidup yang mempengaruhi proses global baru, yang membuat
kemungkinan terbentuknya budaya baru. Di satu sisi, hal itu membuat budaya yang ada dalam
dunia bersif

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kontrak Bisnis dengan Orang Asing T2 322011012 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlakuan terhadap Orang Meninggal dalam Tradisi Penguburan Masyarakat Desa Trunyan Bali T2 752012015 BAB IV

0 2 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Migran dalam Bingkai Orang Papua T2 092011007 BAB IV

0 0 35

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Christian Entrepreneurship T2 912010027 BAB IV

0 1 50

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tato sebagai Representasi Spiritual Orang-Orang Bertato T2 752014027 BAB IV

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hibridisasi Budaya dalam Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo di Desa Mola Wakatobi

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hibridisasi Budaya dalam Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo di Desa Mola Wakatobi T2 752015031 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hibridisasi Budaya dalam Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo di Desa Mola Wakatobi T2 752015031 BAB II

0 1 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hibridisasi Budaya dalam Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo di Desa Mola Wakatobi T2 752015031 BAB I

0 0 16

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evidence dalam Membuktikan Adanya Kartel di Indonesia T2 BAB IV

0 0 4