Tindak Pidana Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu dalam Akte Otentik (studi Putusan Nomor : 1545 PID.B 2012 PN-Medan. jo putusan nomor : 39 Pid 2013 PT-Medan)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam memenuhi kebutuhan hidup, tindak kriminal semakin marak terjadi.
Hal tersebut tidak lepas dari berbagai aspek sosial, lingkungan, dan aspek lainnya
khususnya pada aspek ekonomi sehingga tidak menutup kemungkinan modus pelaku
tindak kriminal itu sendiri semakin berkembang, baik itu dari segi pemikiran maupun
dari segi teknologi. Dalam hukum di Indonesia pemalsuan terhadap sesuatu
merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang telah diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). 1 Memang pemalsuan sendiri diatur dalam BAB XII
(Pemalsuan Surat) Buku II KUHP (Kejahatan), buku tersebut mencantumkam bahwa
yang termasuk pemalsuan hanyalah berupa tulisan-tulisan saja, termasuk di dalamnya
pemalsuan surat yang diatur dalam Pasal 263 KUHPidana s/d pasal 276 KUHPidana.
Tindak pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUHP
(membuat surat palsu atau memalsukan surat), dan Pasal 264 KUHP (memalsukan
akta-akta otentik) dan Pasal 266 KUHPidana (menyuruh memasukkan keterangan
palsu ke dalam suatu akta otentik). 2
Perbuatan membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah surat yang
sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang
dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Sementara perbuatan
1


Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2005), hal. 11.
2
Ibid, hal. 12.

memalsukan, adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah
surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti salah satu
isi surat sehingga berbeda dengan surat semula. 3
Pemalsuan merupakan suatu bentuk kejahatan yang diatur dalam Bab XII
Buku II KUHPidana, dimana pada buku tersebut dicantumkan bahwa yang termasuk
pemalsuan hanyalah berupa tulisan-tulisan saja, termasuk didalamnya pemalsuan
tanda tangan yang diatur dalam pasal 263 KUHPidana. s/d Pasal 276 KUHPidana.
Tindak Pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263
KUHPidana (membuat surat palsu atau memalsukan surat); dan Pasal 264
(memalsukan akta-akta otentik) dan Pasal 266 KUHPidana (menyuruh memasukkan
keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik).
Adapun Pasal 263 KUHPidana, berbunyi sebagai berikut: 4
1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan
sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai
bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang

lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan
pidana penjara paling lama enam tahun;

3
4

Ibid, hal. 13.
Lihat Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat
palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian.
Sedangkan Pasal 264 KUH-Pidana berbunyi sebagai berikut: 5
1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika
dilakukan terhadap:
1. Akta-akta otentik;
2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya atau pun
dari suatu lembaga umum;
3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari sesuatu perkumpulan,

yayasan, perseroan atau maskapai;
4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam
2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.
2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat
tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan
seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan
kerugian.
Pasal 266 ayat (1) KUHP, berbunyi: “Barang siapa menyuruh memasukkan
keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang
kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau
5

Lihat Pasal 264 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan
kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.” 6
Memperhatikan ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, adapun yang
menjadi unsur-unsurnya yaitu: a. Barang siapa ; b Menyuruh memasukkan keterangan

palsu ke dalam suatu akta otentik ; c. dengan maksud untuk memakai atau menyuruh
orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran.
Kemudian memperhatikan bunyi Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, menetapkan bahwa
sebagai pelaku tindak pidana yaitu : a. mereka yang melakukan, b. mereka yang
menyuruh melakukan, dan c. mereka yang turut serta dalam melakukan perbuatan,
maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur hukumnya, yaitu:
a. Barang siapa ;
b.

Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ;

c. Dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolaholah keterangan sesuai dengan kebenaran ;
d.

Pelakunya:
a. Mereka yang melakukan ;
b. Mereka yang menyuruh melakukan ;
c. Mereka yang turut melakukan.
Ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, yang menjadi subyek ( pelaku ), yaitu


“yang menyuruh memasukkan keterangan palsu”, dan kata “menyuruh” merupakan
6

Pasal 266 ayat 1 KUHP

bagian yang sangat penting (bestanddeel) dari Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pembuat
akte dalam hal ini Notaris, ia (Notaris) bukan sebagai subyek (pelaku) dalam Pasal
266 ayat (1) KUHP, akan tetapi Para Pihak pembuat akte otentik tersebutlah yang
sebagai subyek (pelaku), karena merekalah yang sebagai menyuruh memasukkan
keterangan palsu.
Pejabat Notaris tidak dapat dinyatakan sebagai pelaku (menyuruh melakukan)
menurut Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi ia hanyalah “orang yang disuruh
melakukan”. Kemudian, berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP, tindakan subjek
(pelaku) yaitu menyuruh memasukkan suatu keterangan palsu ke dalam suatu akte
otentik, sehingga kata “menyuruh” dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP ditafsirkan bahwa
kehendak itu hanya ada pada si penyuruh (pelaku/subjek), sedangkan pada yang
disuruh tidak terdapat kehendak untuk memasukkan keterangan palsu dan
seterusnya 7.
Dalam dunia Notaris, dikenal adagium: “setiap orang yang datang menghadap
Notaris telah benar berkata tidak berbanding lurus dengan berkata benar, yang artinya

suatu kebohongan atau memberikan keterangan palsu, hal itu menjadi tanggung
jawab yang bersangkutan (para pihak)”. Kemudian, akta Notaris sebagai akta otentik
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga para pihak yang membaca
akta tersebut harus melihat apa adanya dan Notaris tidak perlu membuktikan apa pun
atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Karenanya, orang lain yang

7

http://alviprofdr.blogspot.com/2010/11/notaris-pelaku-tindak-pidana-pasal-266.html diakses
pada hari selasa, tanggal 29 april 2014, jam 15.30

menilai atau menyatakan akta Notaris itu tidak benar, maka mereka yang menilai atau
menyatakan tersebut, wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai
prosedur hukum yang berlaku. 8
Notaris, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) merupakan pejabat umum yang
diantaranya mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik. 9 Selanjutya,
Notaris dalam menjalankan tugasnya perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan
demi tercapainya kepastian hukum, sehingga dalam menjalankan tugasnya Notaris
diatur dalam ketentuan UUJN, sehingga UUJN merupakan lex specialis dari KUHP,

dan bentuk hubungan Notaris dengan para penghadap harus dikaitkan dengan Pasal
1869 KUHPerdata.
Berdasarkan konstruksi Hukum Kenotariatan, salah satu tugas jabatan Notaris
yaitu “memformulasikan keinginan/tindakan para penghadap dalam bentuk akta
otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku”. 10 Kemudian
Yurisprudensi Mahkamah Agung (Putusan Mahkamah Agung No. 702 K/Sip/1973,
tanggal

5
8

September

1973)

menyatakan:

“Notaris

fungsinya


hanya

http://alviprofdr.blogspot.com/2010/11/notaris-pelaku-tindak-pidana-pasal-266.html diakses
pada hari selasa, tanggal 29 april 2014, jam 15.30
9
Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 yaitu “Notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangann lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Dalam pasal 15 ayat
(1) dikatakan “ Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dintyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semua itu sepanjang pembuatan akta
itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang telah ditetapkan
oleh undang-undang.
10
Lihat Pasal 21 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

mencatat/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak
yang menghadap Notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk

menyelidiki secara materil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di
hadapan Notaris tersebut”;
Perbuatan Notaris dalam melaksanakan kewenangan membuat akta sebagai
perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, tanpa
memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta,
menunjukkan telah terjadi kesalah pahaman atau salah menafsirkan tentang
kedudukan Notaris dan juga akta Notaris adalah sebagai alat bukti dalam Hukum
Perdata.
Keterangan atau pernyataan dan keinginan para pihak yang diutarakan
dihadapan Notaris merupakan bahan dasar bagi Notaris untuk membuat akta sesuai
dengan keinginan para pihak yang menghadap Notaris, tanpa ada keterangan atau
pernyataan dan keinginan dari para pihak tidak mungkin Notaris untuk membuat akta.
Kalaupun ada pernyataan atau keterangan yang diduga palsu dicantumkan
dimasukkan ke dalam akta otentik, tidak menyebabkan akta tersebut palsu, serta tidak
berarti Notaris memasukkan atau mencantumkan keterangan palsu ke dalam akta
Notaris. Secara materil kepalsuan atas hal tersebut merupakan tanggungjawab para
pihak yang bersangkutan, dan tindakan hukum yang harus dilakukan adalah
membatalkan akta yang bersangkutan melalui gugatan perdata.
Akta Notaris lahir karena adanya keterlibatan langsung dari pihak yang
menghadap Notaris, merekalah yang menjadi pemeran utama dalam pembuatan


sebuah akta sehingga tercipta sebuah akta yang otentik. Akta Notaris adalah akta
otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan dalam Undang-Undang. Akta yang dibuat Notaris menguraikan secara
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang disaksikan oleh
para penghadap dan saksi-saksi. 11
Beberapa tahun terakhir ini masalah pemalsuan surat-surat berharga semakin
meningkat. Akta Notaris misalnya, merupakan salah satu jenis akta yang mempunyai
kedudukan hukum yang penting. Namun disadari, bahwa akta yang dibuat oleh atau
dihadapan Notaris itu amat beraneka ragam. Akta tersebut misalnya akta Perjanjian
Jual Beli, Akta Penetapan Warisan, Akta Pendirian Badan Usaha, dan lain
sebagainya. Pemalsuan terhadap berbagai jenis akta seperti inilah yang diatur dalam
Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pada Bab XII dari Pasal 263
sampai dengan Pasal 276. Menurut S.R. Sianturi, bahwa berbicara mengenai
pemalsuan, maka pemalsuan surat ini didahului dengan pemalsuan uang (Bab X),
serta pemalsuan meterai dan merk (Bab XI). Sedangkan mengenai pemalsuan surat
keterangan perahu/kapal diatur di Bab XXIX Buku II KUHP, Pasal 451 bis, 451 ter
dan 452. Juga dalam pemalsuan surat ini sangat mengemukakan terancamnya
kepentingan masyarakat (terutama yang sudah melek huruf) berupa kepercayaan
terhadap surat-surat yang mempunyai akibat hukum. 12


11

Wawan Tunggal Alam, Hukum Bicara Kasus-kasus dalam Kehidupan Sehari-hari,
(Jakarta: Milenia Populer, 2001, hal .85.
12
S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM,
Cetakan Pertama, 1983), hal. 19-20.

Notaris dengan kewenangan yang diberikan oleh perundang-undangan itu,
memegang peranan yang penting dalam pembuatan akta-akta yang resmi (otentik).
Peranan dan kedudukan Notaris yang demikian penting artinya ini karena akta-akta
yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris itu selain mempunyai kekuatan hukum, juga
membawa akibat-akibat hukum tertentu kepada para pihak. KUHP menjaga
kepentingan dan kepercayaan atas surat-surat dan akta-akta yang dibuat oleh yang
berwenang, seperti halnya dengan Akta Notaris. Pada Pasal 263 dan 264 KUHP
mengancam pidana terhadap barang siapa yang melakukan pemalsuan surat. Dalam
Pasal 263 KUHP misalnya, terkandung maksud untuk memberikan perlindungan atau
kepercayaan umum terhadap surat atau akta yang bersangkutan. Bahwa pekerjaan
atau tugas-tugas seorang Notaris itu sangat penting artinya, oleh karena menyangkut
dengan soal kepercayaan yang dilimpahkan oleh perundang-undangan kepadanya.
Tetapi dalam kenyataan, tugas-tugas atau karya dari Notaris itu pun tidak luput dari
pemalsuan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Pemalsuan terhadap Akta
Notaris bukan hanya menyebabkan kerugian bagi pihak lain, tetapi juga merupakan
suatu tindak pidana. 13
Begitu pentingnya peranan Notaris yang diberikan oleh Negara, dimana
Notaris sebagai pejabat umum

dituntut

bertanggung jawab terhadap akta yang

dibuatnya. Karena seorang Notaris haruslah tunduk kepada peraturan yang berlaku
yaitu Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan taat kepada kode etik profesi
hukum. Kode etik yang dimaksud disini adalah kode etik Notaris. Apabila akta yang
13

Ibid, hal. 20-21.

dibuat ternyata dibelakang hari mengandung sengketa maka hal ini perlu
dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan Notaris dengan sengaja untuk
menguntungkan salah satu pihak penghadap atau kesalahan Para Pihak yang tidak
memberikan dokumen ataupun keterangan yang sebenarnya. Apabila akta yang
dibuat/diterbitkan Notaris mengandung cacat hukum karena kesalahan Notaris baik
karena kelalaian (culpa) maupun karena kesengajaan Notaris itu sendiri maka Notaris
harus memberikan pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum. Hal ini harus
terlebih dahulu dapat dibuktikan. Jika Notaris terbukti melakukan kesalahankesalahan, baik yang bersifat pribadi maupun yang menyangkut profesionalitas dalam
suatu pembuatan akta yang mengandung unsur melawan hukum maka beberapa tahap
prosedur yang dapat dikemukakan dilapangan adalah antara lain pemanggilan Notaris
sebagai saksi, kemudian ditingkatkan sebagai tergugat di Pengadilan perdata
menyangkut pertanggungjawaban akta yang dibuat untuk dijadikan alat bukti yang
sebelumnya

adanya

toleransi

dari

Majelis

Pengawas

Notaris,

selanjutnya

ditindaklanjuti dengan pemidanaan yakni Notaris dapat dijadikan saksi dan tersangka
dalam kasus pidana serta penyitaan bundel minuta yang disimpan oleh Notaris. 14
Pelanggaran adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subjek
hukum yang melanggar ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan. Notaris
sebagai subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban sekaligus sebagai anggota
dari Perkumpulan/organisasi Ikatan Notaris Indonesia memiliki kewajiban yang harus
dipatuhi dan larangan yang harus dihindari dalam menjalankan tugas jabatannya.
14

Majalah Renvoi Nomor 3.39.IV, Agustus, 2006, hal. 54.

Kewajiban dan larangan Notaris diatur dalam UUJN (Pasal 16 ayat (1) dan
Pasal 17) serta Kode Etik Notaris (Pasal 3 dan Pasal 4) sebagai berikut:
Pasal 16 :
(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:
a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan
yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian
dari protokol Notaris;
c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan
minuta akta;
d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini,
kecuali ada alasan untuk menolaknya;
e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji
jabatan, kecuali undnag-undang menentukan lain;
f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat
tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat
dalam satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku;
g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya
surat berharga;

h. Membuat daftar yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan akta setiap bulan;
i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf hak tanggungan
atau daftar nihil yang berkenaan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5
(lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir
bulan;
k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia
dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama jabatan, dan tempat
kedudukan yang bersangkutan;
l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2
(dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi
dan Notaris;
m. Menerima magang Notaris.
Pasal 17 :
(2) Notaris dilarang:
a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut
tanpa alasan yang sah;
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;

e. Merangkap jabatan sebagai Advokat;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah atau badan usaha swasta;
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan
Notaris;
h. Menjadi Notaris Pengganti;
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan,
atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan jabatan Notaris.

Notaris rawan terkena jeratan hukum bukan hanya karena faktor internal
yang berasal dari dalam dirinya sendiri misalnya kecerobohan, tidak mematuhi
prosedur, tidak menjalankan etika profesi dan sebagainya. Namun juga dikarenakan
faktor eksternal seperti moral masyarakat dimana Notaris dihadapkan pada dokumendokumen palsu padahal dokumen tersebut mengandung konsekuensi hukum
bagi pemiliknya. 15
Pelanggaran yang menyebabkan penyimpangan dari hukum maka Notaris
dapat dijatuhi sanksi yaitu berupa Sanksi Perdata, Administratif /Kode Etik Jabatan
Notaris. Sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa baik sebelumnya dan
sekarang dalam Undang-Undang Jabatan Notaris terkait Kode Etik profesi Jabatan
Notaris dimana tidak adanya keterangan sanksi pidana melainkan organisasi
Majelis Pengawas Notaris yang berkewenangan memberikan hukuman kepada
Notaris.
15

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang dan
Dimasa Datang, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 226.

Demikian disimpulkan bahwa walaupun didalam Undang-Undang Jabatan
Notaris (UUJN) tidak menyebutkan adanya penerapan sanksi pemidanaan tetapi suatu
tindakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris tersebut
mengandung unsur-unsur pemalsuan atas kesengajaan/kelalaian dalam pembuatan
surat/akta otentik yang keterangan isinya palsu maka setelah dijatuhi sanksi
administratif/kode etik profesi jabatan notaris dan sanksi keperdataan kemudian dapat
ditarik dan dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris
yang

menerangkan

adanya

bukti

keterlibatan

secara

sengaja

melakukan

kejahatan pemalsuan akta otentik. 16
Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengutamakan
tekanan dari kepentingan umum pada masyarakat. Menurut doktrin adanya
suatu pertanggungjawaban pidana harus terpenuhinya syarat yaitu dengan melihat
adanya perbuatan yang dapat dihukum dengan menyebutkan unsur-unsurnya secara
tegas dan berdasarkan undang-undang yang mengatur bahwa perbuatan tersebut
telah bertentangan dengan hukum yang menimbulkan kejahatan pidana, dimana harus
mempertanggungjawabkan sebab-akibat dari pada perbuatan tersebut. 17
Dalam hal-hal yang berkaitan dengan Notaris mengingat telah diatur dalam
undang-undang khusus yakni Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris yang berhubungan dengan Kode Etik profesinya serta terdapat
Majelis Pengawas Notaris dimana berfungsi untuk mengawasi tugas dan
16

Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), CV. Mandar
Maju, Bandung, 2009, (Selanjutnya disebut Buku II), hal 15.
17
Majalah Renvoi, Op. Cit., hal. 57.

kewenangan Notaris, maka penerapan sanksi pidana dikesampingkan menjadi
terbatas kepada Notaris. Hal tersebut antara Penerapan Hukum Undang-Undang
Jabatan Notaris dengan Penerapan Hukum Pidana yang diatur dalam (KUHP)
menjadi tumpang tindih sehingga memberikan ketidakjelasan hukum bagi Notaris
jika terjadi kesalahan dalam bertindak berdasarkan tugas dan kewenangannya.
Sebenarnya sanksi pidana dapat diterapkan apabila adanya bukti suatu pelanggaran
hukum yang menghubungkan dengan perbuatan pidana sebagai alternatif bagian
dalam penyelesaian suatu perkara hukum. Karena Sanksi pidana merupakan Ultimum
Remedium, yaitu obat terakhir, apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum
lainnya tidak mempan. Oleh karena itu penggunaannya harus dibatasi. 18
Salah satu contoh kasus pada tanggal 04 Maret 2008 bertempat di kantor PT.
Tulung Agung yang terletak di jalan Samanhudi No. 9 Medan, saksi Eveline Sago
(Anak kandung terdakwa Ignasius Sago) membeli sebidang tanah seluas ± (kurang
lebih) 515 Ha dari saksi Octo Berman Simanjuntak yang terletak di desa Sikapas,
kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandiling Natal, Propinsi Sumatera
Utara Seharga Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah) dan Saksi Eveline Sago
telah membayar secara bertahap sebesar Rp. 5.750.000.000,- (lima milyar tujuh ratus
lima puluh juta rupiah) dan sisanya sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh
juta rupiah) dibayar Eveline Sago pada bulan Agustus 2009, namun saksi Octo
Berman Simanjuntak tidak mengakui uang Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh
juta rupiah) bukan pelunasan pembayaran harga tanah melainkan untuk pembayaran
18

Habib Adjie, Jurnal Renvoi, Nomor 10-22 Tanggal 3 Maret 2005, hal.31.

pembelian tanah milik keluarga Manaon Sabar Siahaan, jual beli tanah tersebut dibuat
dalam surat perjanjian jual beli Ganti Rugi tanah tanggal 04 Maret 2008 dan alas hak
yang dijual saksi Octo Berman Simanjuntak kepada Eveline Sago adalah akta jual
beli yang dibuat dihadapan F. Zulkifli Nasution (Camat Muara Batang Gadis)
sebanyak 49 (empat puluh sembilan) eksemplar yang terdiri dari :
1. Tanah milik saksi Octo Berman Simanjuntak ;
2. Tanah milik saksi Elisabeth Treny Tambunan (isteri saksi Octo Berman
Simanjuntak) ;
3. Tanah milik saksi Stephanie Aprilia Natasha Simanjuntak (anak saksi Octo
Berman Simanjuntak) ;
4. Tanah milik Eldo Steven Markus Simanjuntak (anak dari Octo Berman
Simanjuntak) ;
5. Tanah milik William Michael D Simanjuntak (anak saksi

Octo berman

Simanjuntak) ;
6. Kemudian sekitar bulan Oktober 2008, Terdakwa Ignasius Sago berencana
menjadikan tanah seluas ± (kurang lebih) 515 ha tersebut menjadi kebun
plasma, dengan maksud untuk memperoleh sertifikat PRONA dari Kantor
Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Mandailing Natal, untuk itu Terdakwa
Ignasius Sago meminta saksi Octo Berman Simanjuntak agar menjual kembali
tanah yang di beli saksi Eveline Sago tersebut kepada 67 (enampuluh tujuh )
orang karyawan PT.SAGO NAULI dan saksi Octo Berman Simanjuntak
memenuhi permintaan Terdakwa Ignasius Sago tersebut dengan harapan agar

uang sebesar Rp.250.000.000,-(duaratus limapuluh juta rupiah) dilunasi oleh
Terdakwa Ignasius Sago, kemudian Terdakwa Ignasius Sago menghubungi
saksi Sondang Matiur Hutagalung, (Notaris di Penyabungan) untuk membuat
Akta Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi kepada karyawan
PT.Sago Nauli.
7. Kemudian akhir bulan Oktober 2008, saksi Sondang Matiur Hutagalung,
bertemu dengan Terdakwa Ignasius Sago, Octo Berman Simanjuntak dan
seorang karyawan Ignasius Sago. Terdakwa Ignasius Sago mengatakan
Kepada Notaris Sondang Matiur Hutagalung, akan melakukan transaksi jual
beli tanah dan kebun kelapa sawit yang berada di Desa Sikapas, Kecamatan
Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal dengan saksi Octo Berman
Simanjuntak dan mengatakan lagi kalau nanti jadi tolong dibuatkan aktanya
dan saksi Sondang menanyakan kepada saksi Octo Berman Simanjuntak,
surat-suratnya ada Pak? Dan oleh saksi Octo Berman Simanjuntak
menjawabnya ada. Berhubung banyak nama-nama pemilik tanahnya memakai
kuasa No 45 tanggal 14 Maret 2008 yang dibuat Notaris Rubianto Tarigan,
dan surat kuasa diserahkan kepada Notaris Sondang yang menerangkan bahwa
Stephanie Aprilia Nathasia Simanjuntak, Eldo Steven Markus Simanjuntak,
dan William Michael Mathen Simanjuntak memberikan kuasa kepada saksi
Octo berman Simanjuntak untuk menjual tanah mereka yang terletak di Desa
Sikapas, Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal lalu

Ignasius Sago memberikan nama-nama karyawan PT.Sago Nauli sebanyak 67
(enam puluh tujuh ) orang yang akan membeli tanah tersebut.
8. Terdakwa Ignasius Sago dan saksi Octo Berman Simanjuntak tidak
memberitahukan kepada Notaris Sondang Hutagalung, bahwa tanah seluas ±
(kurang lebih) 515 ha tersebut sudah di jual saksi Octo Berman Simanjuntak
kepada Saksi Eveline Sago seharga Rp.6.000.000.000,-(enam milyar rupiah).
9. Kemudian bulan Februari 2009 Notaris Sondang Matiur Hutagalung,
membuat Akta Pelepasan Hak Atas Tanah dengan Ganti Rugi dari Saksi Octo
Berman Simanjuntak kepada 67 (enam puluh tujuh) karyawan PT.Sago Nauli
dengan Nomor Akte 35 sd 107 yang menerangkan tanah seluas ± (kurang
lebih) 515 ha tersebut telah di ganti rugi kepada saksi Octo Berman
Simanjuntak,

saksi

Elisabeth

Treny

Tambunan

dengan

harga

Rp.428.000.000,-(empat ratus duapuluh delapan juta rupiah) lalu Para Pihak
membubuhkan tanda tangan pada akta-akta pelepasan hak atas tanah dengan
ganti rugi tersebut namun sebenarnya saksi Octo Berman Simanjuntak tidak
ada menerima uang sebesar Rp.428.000.000,-(empat ratus duapuluh delapan
juta rupiah).
10. Berdasarkan akte-akte tersebut di atas ternyata tidak berhasil mendapatkan
PRONA (Program Nasional) karena lokasi tanah terlalu jauh dari tempat
tinggal karyawan PT.Sago Nauli, lalu Terdakwa Ignasius Sago bermaksud
mengurus izin usaha Perkebunan dan izin Lokasi harus berbadan Hukum,
kemudian Terdakwa meminta kembali agar saksi Berman Simanjuntak

menjual kembali tanah tersebut kepada PT.Bahtera Srikandi dan saksi Octo
Berman Simanjuntak menyetujui permintaan Terdakwa Ignasius Sago
tersebut.
11. Kemudian bulan September 2010 Sekretaris PT.Sago Nauli mendatangi
kantor Notaris soeparno di Medan mengatakan bahwa PT.Tri Bahtera
Srikandi yang diwakili Edysa dan Terdakwa Ignasius Sago akan membeli
tanah dan kebun kelapa sawit yang terletak di Desa Sikapas, kecamatan
Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal dari saksi Octo berman
Simanjuntak, lalu saksi Evaline Senja Sinaga menyerahkan alas Hak berupa
akta Jual Beli yang dibuat dihadapan F Zulkifli Nasution sebanyak 49 (empat
puluh sembilan) eksemplar dan akta surat kuasa no 45 tanggal 14 Maret 2008
yang dibuat dihadapan Notaris Rubianto Tarigan. Notaris Soeparno, akhirnya
membuat draft akta sebanyak 18 (delapan belas).tanggal 24 September 2010
Terdakwa Ignasius Sago, saksi Octo Berman Simanjuntak dan Edysa datang
menghadap saksi Soeparno di Medan lalu Notaris Soeparno, menanyakan
harga jual belinya lalu dijawab Terdakwa

Ignasius Sago sebesar

Rp.31.568.000.000,- (tiga puluh satu milyar limaratus enampuluh delapan juta
rupiah) lalu menuliskan angka tersebut ke dalam akte pelepasan hak atas tanah
dengan ganti rugi, namun Terdakwa Ignasius Sago dan Octo Berman
Simanjuntak tidak memberitahukan kepada Soeparno, yang sebenarnya.
12. Kemudian Para Pihak membubuhkan tanda tangan dan cap ibu jari kiri pada
masing-masing akta yang kedelapan belas tersebut yaitu Akta Pelepasan Hak

Atas Tanah Dengan Ganti Rugi No.18 sd 36 tanggal 24 September 2010
tanah seluas 526,1533 ha yang terletak di di Desa Sikapas, kecamatan
Singkuang Kabupaten Mandailing Natal, namun yang sebenarnya saksi Octo
Berman

Simanjuntak

tidak

ada

menerima

pembayaran

sebesar

Rp.31.568.000.000,- (tiga puluh satu milyar limaratus enampuluh delapan juta
rupiah).
13. Kemudian Akta Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi no. 19 sd 36
tanggal 24 September 2010 yang dibuat Notaris Soeparno, telah digunakan
Terdakwa Ignasius Sago yaitu PT.Tri Bahtera Srikandi memperoleh Izin
Usaha Perkebunan sesuai dengan keputusan Bupati Mandailing Natal Nomor
525.25/037.a/K/2011 tanggal 14 Februari 2011 dan SK Bupati Mandailing
Natal Nomor 525/043/K/2011 tanggal 22 Februari 2011.
Pemakaian Keputusan Mandailing Natal dan Surat Keputusan Bupati
Mandailing Natal tentang Izin Lokasi oleh PT.Tri Bahtera Srikandi telah
menimbulkan kerugian bagi :
1. PT.Madina Agro Lestari, yang menderita kerugian sebesar Rp.4.966.418.400,(empat milyar sembilan ratus enam puluh enam juta empat ratus delapan belas
ribu empat ratus rupiah) karena luas areal Izin Lokasi milik PT tersebut
berkurang, dimana seluas 6.500 ha berkurang menjadi 5.656,84 ha dan
tanaman kelapa sawit seluas 100 ha yang berada di dalam Izin Lokasi tersebut
di klaim menjadi milik PT.Tri Bahtera Srikandi ;

2. Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, yaitu hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal karena tidak
ada kepastian hukum, Terdakwa Ignasius Sago menggunakan Akta Pelepasan
Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi No 19 s/d 36 yang isinya tidak sesuai
dengan sebenarnya dalam pengurusan Izin Usaha Perkebunan ;
3. Notaris Secara Umum yaitu hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
Pejabat Pembuat Akta (Notaris), karena Notaris Soeparno, menerbitkan Akta
yang isinya tidak sesuai dengan yang sebenarnya ;
Sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP jo
Pasal 55 ayat (1) KUHP ;
Hal tersebut diataslah yang membawa terdakwa ke Pengadilan Negeri Medan,
dan Pengadilan Negeri Medan memutus perkara sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa Ignasius Sago tersebut di atas telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan
yaitu “bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta
autentik”
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan.
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dilakukan oleh terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana penjara yan g dijatuhkan.
4. Memerintahkan terdakwa ditahan.
5. Memerintahkan barang bukti berupa :

A. 67 (enam pulub tujuh) lembar foto copy legalisir minut Akta Pelepasan hak
atas tanah dengan ganti rugi yang dibuat di hadapan Notaris Sondang
Matiur Hutagalung yaitu :
1. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 35 s/d 39 tanggal
11 Februari 2009.
2. Akta Pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 40 s/d 48 tanggal
13 Februari 2009.
3. Akta Pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 55 s/d 64 tanggal
17 Februari 2009.
4. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 65 s/d 74 tanggal
18 Februari 2009.
5. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 75 s/d 84 tanggal
19 Februari 2009.
6. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 85 s/d 95 tanggal
20 Februari 2009.
7. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 96 s/d 100 tanggal
21 Februari 2009.
8. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 101 s/d 107 tanggal
23 Februari 2009.
Masing-masing lengkap terlampir dalam berkas perkara ini.
B. 18 (delapan belas ) lembar fotocopi legalisir minut Akta pelepasan hak atas
tanah dengan ganti rugi yang dibuat dihadapan Notaris Soeparno yaitu :

1. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 19 tanggal 24
september 2010.
2. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 20 tanggal 24
september 2010.
3. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 21 tanggal 24
september 2010.
4. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 22 tanggal 2010.
5. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 23 tanggal 24
september 2010.
6. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 24 tanggal 24
september 2010.
7. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 25 tanggal 24
september 2010
8. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 26 tanggal 24
september 2010.
9. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 27 tanggal 24
september 2010.
10. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 28 tanggal 24
september 2010.
11. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 29 tanggal 24
september 2010.

12. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 30 tanggal 24
september 2010.
13. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 31 tanggal 24
september 2010.
14. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 32 tanggal 24
september 2010.
15. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 33 tanggal 24
september 2010.
16. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 34 tanggal 24
september 2010.
17. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 35 tanggal 24
september 2010.
18. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 36 tanggal 24
september 2010.
C. 2 (dua) lembar asli surat jual beli/ganti rugi tanggal 4 Maret 2008 anatara
Octo Bermand Simanjuntak (penjual) dengan Eveline Sago (pembeli)
dikembalikan kepada saksi 7 Evelina Sago.
6. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) kepada
terdakwa.
Putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut, Penasehat Hukum terdakwa
telah menyatakan banding pada tanggal 28 Desember 2012 dan permintaan banding
itu telah diberitahukan kepada Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 3 Januari 2012.

Sehingga permasalahan tersebut sampai kepada Pengadilan Tinggi Medan, dan
Pengadilan Tinggi Medan mengadili dan memutus perkara sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa Ignasius Sago telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana bersama-sama menyuruh
menempatkan keterangan palsu ke dalam akta autentik;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 8
(delapan) bulan;
3. Menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalankan kecuali dikemudian hari
ada perintah lain dalam putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum
tetap karena terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana
sebelum lewat masa percobaan selama 1(satu) tahun
4. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri selain dan selebihnya;
Berdasarkan uraian diatas, sangat menarik untuk membahas persoalan ini
menjadi sebuah penelitian tesis dengan judul : Tindak Pidana Menyuruh
Memasukkan Keterangan Palsu Dalam akte otentik (Studi Putusan Nomor :
1545/PID.B/2012 PN. Medan. Jo Putusan Nomor :39/PID/2013/PT.MDN).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka yang menjadi pokok permasalahan dalam
penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana menyuruh
memasukkan keterangan palsu dalam akte otentik ?

2. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk
membuktikan tindak pidana menyuruh memasukkan keterangan palsu dalam
akte otentik dalam proses Peradilan terkait Putusan Nomor 1545/Pid.B/2012
PN. Medan Jo Putusan Nomor 39/PID/2013/PT.Medan ?
3. Apakah Pertimbangan hukum oleh Hakim terhadap tindak pidana menyuruh
memasukkan keterangan palsu dalam akte otentik pada putusan Nomor
1545/Pid.B/2012 PN. Medan Jo Putusan Nomor 39/PID/2013/PT.Medan?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini
dapat dikemukakan tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana menyuruh
memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan Upaya yang dilakukan oleh Jaksa penuntut
umum untuk membuktikan tindak pidana menyuruh memasukkan keterangan
palsu

dalam

akte

otentik

dalam

proses

peradilan

dalam

Putusan

Nomor.1545/Pid.B/2012PN.Medan Jo Putusan Nomor.39/PID/2013/PT.Medan.
3. Untuk mengetahui Pertimbangan hukum oleh Hakim terhadap Tindak Pidana
menyuruh memasukkan keterangan palsu dalam akte otentik pada putusan
Nomor

1545/Pid.B/2012

39/PID/2013/PT.Medan.

PN.

Medan

Jo

Putusan

Nomor

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis dan praktis. Adapun kedua
kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan penambahan
ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan
kajian pada umumnya, khususnya pengetahuan dalam hal mengetahui dan mempelajari
tentang Analisis Yuridis Normatif Terhadap Tindak Pidana Menyuruh Memasukkan
Keterangan Palsu dalam Akta Otentik yang dibuat oleh Notaris.

2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Para Penegak Hukum dan
masyarakat dalam hal mengetahui secara jelas tentang Perumusan Unsur-Unsur
Perbuatan Tindak Pidana Menyuruh Memasukkan keterangan palsu dalam Akta
Otentik yang dibuat oleh Notaris dan Akibat Hukum Terhadap Pemalsuan Akta
Otentik.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan data dan informasi serta penelusuran yang dilakukan di
Perpustakaan Fakultas Hukum maupun Program Studi Magister Hukum Universitas
Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “ Tindak Pidana

Menyuruh

Memasukkan Keterangan Palsu Dalam Akte Otentik (Studi Kasus Putusan Nomor
1545/Pid.B/2012 PN. Medan Jo Putusan Nomor 39/PID/2013/PT.Medan)”, belum
pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini

adalah benar keaslianya baik dari materi, permasalahan, tujuan penelitian dan
kajiannya. Selain itu, penelitian ini dilakukan dengan menjunjung tinggi kode etik
penulisan karya ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Setelah dilakukan penelusuran, berikut ini ditemukan beberapa penelitian
yang mirip dengan tesis ini, diantaranya sebagai berikut :
1) Yusnani/057011100/MKn, dengan judul penelitian “ Analisis Hukum Terhadap
Akta Autentik yang Mengandung Keterangan Palsu dengan rumusan masalah
“bagaimana pertanggungjawaban Notaris terhadap akte autentik yang mengandung
keterangan palsu, bagaimana sanksi yang diberikan kepada penghadap yang
memberikan keterangan palsu terhadap akte autentik dan bagaimana akibat
hukumnya terhadap bukti autentik yang mengandung keterangan palsu”.
2) Yulia, dengan judul penelitian “kajian yuridis tentang kewenangan Notaris dalam
pembuatan akta tanah berdasarkan pasal 15 ayat (2) huruf f undang -undang no 30
tahun 2004 tentang jabatan Notaris, dengan rumusan masalah bagaimana pelaksanaan
jabatan Notaris berdasarkan pasal 15 ayat (2) huruf f undang -undang no 30 tahun
2004, dan bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dalam pelaksanaan jabatan
Notaris berdasarkan pasal 15 ayat (2) huruf f undang-undang no 30 tahun 2004 di
hubungkan dengan peraturan pemerintah no 37 tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT).

3) Santik Yuristiani, dengan judul penelitian “Analisis yuridis tentang penjatuhan
sanksi pidana terhadap Notaris yang membuat akta otentik dengan memasukkan
keterangan tidak benar (studi kasus putusan mahkamah agung RI nomor 1099

k/pid/2010) dan permasalahan dalam penelitian ini adalah, mengenai akibat
hukum bagi Notaris dalam pembuatan akta yang tidak memasukkan keterangan
para pihak dengan benar. Kemudian mengenai penjatuhan sanksi pidana terhadap
keterlibatan notaris yang tidak memasukkan keterangan para pihak dengan benar.
4) Fitri Kesuma Zebua dengan judul penelitian“Pertanggungjawaban pidana Notaris
terhadap akta yang dibuatnya (studi putusan Mahkamah Agung register no.
1099k/pid/2010), dan rumusan masalah adalah perihal bilakah Notaris dapat
dikatakan telah melanggar Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris,
dan pertanggungjawaban pidana Notaris terhadap akta yang dibuatnya dikaitkan
dengan pertimbangan hukum dan putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim kepada
Notaris sebagai terdakwa.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir–butir pendapat, teori
mengenai kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi pertimbangan, pegangan
teoritis.

19

Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk

mencari pemecahan masalah. Setiap penelitian membutuhkan titik tolak untuk
memecahkan dan membahas masalahnya, untuk itu perlu disusun kerangka teori yang
memuat pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut di amati. 20

19

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung, Mandar Maju,1994), hal. 80
Hadari Nawawi, “ Metode penelitian Bidang Sosial” (yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Press, 2003), hal. 39-40
20

Tujuan hukum adalah tata tertib masyarakat yang damai dan adil. 21 Hukum
dapat terdiri dari hukum tertulis 22 dan tidak tertulis 23. Proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi suatu kenyataan disebut sebagai penegakkan
hukum. 24 Penegakkan hukum adalah suatu proses dilakukannya upaya penerapan
norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan
sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing-masing warga negara maupun aparat
penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan undangundang. 25 Penelitian ini berkaitan dengan proses penegakkan hukum pidana terhadap
pelanggaran norma-norma hukum pidana khususnya tindak pidana penipuan akte
otentik. Tidak ada hukuman tanpa kesalahan merupakan asas penting dalam hukum
pidana untuk sampai kepada penjatuhan hukuman bagi seorang yang didakwa
melakukan tindak pidana. Kesalahan tidaklah otomatis selalu harus dianggap ada
dalam setiap terjadinya suatu tindak pidana, tetapi haruslah dibuktikan terlebih
21

L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2001), hal.16
Umumnya hukum tertulis itu tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Undang –undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang –undang pada
pasal 1 angka (2) disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapakan dalam peratuan perundang-undang.
Sedangkan pasal 7 ayat (1) disebutkan: jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: a.
UUD RI 1945, b. TAP MPR, c. UU/Perpu, d. Peraturan pemerintah, e. Peraturan presiden, f. PERDA,
g. Peraturan daerah Kabupaten/kota.
23
Hukum tidak tertulis (unstatutery law) yaitu hukum yang dalam kenyataan masih hidup
dalam keyakinan dan pergaulan masyarakat tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati (living law).
Lihat C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka,
1986), hlm. 70. Bandingkan dengan Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum,
(Medan:CV. Cahaya Ilmu, 2006), hal. 127.
24
Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009), hlm. 24.
25
Frans. H. Winarta, Evaluasi Peranan Profesi Advokat Dalam Pemberantasan Korupsi,
dimuat dalam Majalah Desain Hukum, Vol. 11 No.10, Edisi November-Desember, 2011,hal.17.
22

dahulu, karena itu untuk sampai kepada pemidanaan maka pembuktian terhadap
kesalahan itu haruslah terlebih dahulu dilakukan. Mengingat itu maka teori
pertanggungjawaban pidana beserta teori kesalahan memiliki relevansi yang urgen
dengan penelitian ini, maka akan digunakan teori-teori sebagai berikut:
a. Teori pembuktian
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa pembuktian termasuk salah satu
pokok bahasan penting dalam hukum apapun termasuk hukum pidana. Perihal
pembuktian dalam bidang hukum pidana Indonesia secara umum diatur dalam
Undang–undang No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana atau lebih dikenal
dengan sebutan Kitan Undang-undang Acara Hukum Pidana (KUHAP).
Andi Hamzah menyatakan bahwa tujuan hukum acara Pidana adalah
menemukan kebenaran materil. 26 M. Yahya Harahap menyatakan bahwa kebenaran
yang hendak dicari dan ditemukan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah
kebenaran sejati atau materil waarheid atau disebut juga dengan absulute truth. 27
Secara lebih tegas dan lengkap formulasi tujuan hukum acara pidana dinyatakan
dalam keputusan Menteri kehakiman Republik Indonesia: M.01.PW.07.03 Tahun
1982 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4
Pebruari 1982, pada bidang umum BAB I Pendahuluan yang berbunyi:
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan
26

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985), (selanjutnya disingkat Andi Hamzah II) hal. 228
27
M. Yahya Harahap I, Op. Cit, hal. 275

ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahakan.”
Beberapa ajaran teori penting terkait dengan pembuktian 28 adalah sebagai
berikut:
1. Conviction in Time
Teori ini mengajarkan bahwa suatu hal dapat dinyatakan terbukti hanya atas
dasar keyakinan Hakim semata timbul dari hati nurani dan sifat bijaksananya tanpa
terikat dengan alat-alat bukti. Keyakinan Hakim dalam teori ini sangat absolut dan
independen sehingga sangat sulit untuk diprediksi dan diawasi. Sistem pembuktian
conviction in time adalah suatu sistem yang untuk menentukan salah tidaknya
seseorang terdakwa, semata–mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan Hakim”. 29
2. Conviction Raisonnee
Berbeda dengan sistem conviction in time yang mengandalkan keyakinan
hakim semata, absolut dan independen tanpa terikat oleh alat bukti atau alasan
apapun, dalam conviction raisonnee keyakinan Hakim dalam memberikan putusan
tetap dominan tetapi harus dilandasi oleh alasan–alasan yang logis atau diterima akal
kenapa

Hakim

sampai

pada

pengambilan

putusan

dimaksud.

Jadi

tetap

memprioritaskan keyakinan tetapi terbatas oleh alasan–alasan logis.

28

Beberapa literatur/ buku saling mempertukarkan istialh teori pembuktian atau sistem
pembuktian. Andi Hamzah misalnya dalam bukunya Pengantar Acara hukum pidana Indonesia
memperguanakan kata-kata sistem atau teori pembuktian
29
M. Yahya harahap I, Op.cit. hal. 277

3. Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif (Positief Wettelijke Bewijs
Theori)
Teori ini mengajarkan bahwa membuktikan sesuatu didasarkan semata–mata
alat-alat pembuktian yang telah ditentukan oleh undang-undang tanpa membuka
ruang pada keyakinan Hakim. Alat bukti yang telah ditentukan oleh undang–undang
dalam teori ini bersifat mengikat dan menentukan secara absolut serta independen
dalam membuktikan kebenaran sesuatu.
4. Pembuktian menurut Undang-undang secara negatif (Negatif Wettelijke Bewijs
Theori)
Sistem pembuktian undang–undang secara negatif ini adalah sebuah sistem
pembuktian yang mengajarkan bahwa pembuktian harus didasarkan atas alat–alat
bukti yang telah ditentukan dalam undang–undang diikuti oleh keyakinan Hakim.
Jadi alat buktilah yang harus terlebih dahulu ada (didepan) baru memunculkan
keyakinan hakim bukan sebaliknya (dibelakang). Keyakinan Hakim yang dimaksud
disini adalah kayakinan yang timbul berdasarkan alat–alat bukti yang ada, jadi
keyakinan itu haruslah berkorelasi dengan alat–alat bukti. Sistem pembuktian ini
dengan demikian merupakan gabungan antara sistem pembuktian menurut undangundang secara positif dengan sistem pembuktian keyakinan Hakim (conviction in
time).
Sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana Indonesia
berdasarkan ketentuan KUHAP adalah sistem pembuktian berdasarkan undangundang negatif, hal ini dapat diketahui dari rumusan Pasal 183 KUHAP yang

berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”. Senada dengan itu Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman pada pasal 6 ayat (2) dinyatakan: ”Tidak seorang pun dapat
dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
b. Teori Pertanggungjawaban Pidana
Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana (criminal liabilityi)
diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk memberikan pembalasan yang
diterima pelaku terkait karena orang lain yang dirugikan. Sehubungan dengan hal
tersebut, Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut :
Berbicara tentang konsep liability atau pertangggungjawaban dilihat dari segi
filsafat hukum, seorang filosof besar bidang hukum pada abad ke-20, Roscou
Pound, dalam An Introduction to the philosophy of Law, telah mengemukakan
pendapatnya” I...Use simple word”Liability”for the situation whereby one
exact legally and other is legally subjected to the exaction” 30
Bertitik tolak pada rumusan tentang pertanggungjawaban (Liability) diatas,
Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem huk

Dokumen yang terkait

Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

10 177 117

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Bersyarat (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 5.089/Pid.B/2006/PN.Medan)

2 139 75

Analisa Kasus Tindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN)

4 52 94

Asas Ne Bis In Idem Dalam Hukum Pidana (Pendekatan Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1384 / Pid.B / Pn. Mdn / 2004 Jo Putusan Pengadilannegeri Medan No. 3259 / Pid.B / Pn. Mdn / 2008)

2 49 163

Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan)

3 130 140

Tindak Pidana Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu dalam Akte Otentik (studi Putusan Nomor : 1545 PID.B 2012 PN-Medan. jo putusan nomor : 39 Pid 2013 PT-Medan)

0 0 16

Tindak Pidana Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu dalam Akte Otentik (studi Putusan Nomor : 1545 PID.B 2012 PN-Medan. jo putusan nomor : 39 Pid 2013 PT-Medan)

0 0 2

Tindak Pidana Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu dalam Akte Otentik (studi Putusan Nomor : 1545 PID.B 2012 PN-Medan. jo putusan nomor : 39 Pid 2013 PT-Medan)

0 1 31

Tindak Pidana Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu dalam Akte Otentik (studi Putusan Nomor : 1545 PID.B 2012 PN-Medan. jo putusan nomor : 39 Pid 2013 PT-Medan)

0 0 4