Tindak Pidana Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu dalam Akte Otentik (studi Putusan Nomor : 1545 PID.B 2012 PN-Medan. jo putusan nomor : 39 Pid 2013 PT-Medan)

BAB II
PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
MENYURUH MENEMPATKAN KETERANGAN PALSU DALAM AKTE
OTENTIK
A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak
pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat
atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah
laku yang melanggar Undang-Undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang
dilarang oleh Undang-Undang harus dihindari dan barang siapa melanggarnya maka
akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu
yang harus ditaati oleh setiap warga negara wajib dicantumkan dalam UndangUndang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun
daerah. 54
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam UndangUndang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan
dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan
apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan
pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan. 55 Tindak pidana adalah

54


P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.
Bandung. 1996. hlm. 7.
55
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.
2001. hlm. 22

perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan
sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan
pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya
kepentingan umum. 56
Pengertian tindak pidana belum ada kesatuan pendapat diantara para sarjana,
dalam garis besarnya perbedaan pendapat tersebut terbagi dalam dua aliran atau dua
pandangan monistis dan pandangan dualistis. Menurut Moeljatno, pandangan
monistis adalah bahwa para sarjana melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk
adanya

pidana itu kesemuanya itu merupakan sifat dari perbuatan, sedangkan

pandangan dualistis adalah membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan
dan dipidana orangnya, dan sejalan ini dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana

tidak meliputi pertanggungjawaban pidana. 57
Berdasarkan pengertian dan pemisahan pandangan tersebut berikut ini akan
disebutkan pendapat para sarjana berdasarkan pandangan mereka masing-masing
sehingga jelas letak perbedaannya.
. 1. Aliran Monistis
Menurut Simon, Strafbaarfeit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana
yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Van Hamel mengatakan

56

P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta
Bakti.Bandung. 1996 hlm. 16
57
Sudarto, Hukum Pidana, Jilid. I A-B, (Purwokerto : Fakultas Hukum Unsoed. Tahun. 1991,
Hal. 25

bahwa Strafbaarfeit adalah kelakuan yang dirumuskan dalam Undang-undang, yang
bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Tindak pidana menurut E. Mezger adalah keseluruhan syarat untuk adanya

pidana. Menurut Karni, delik itu mengandung perbuatan yang mengandung
perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal
budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungjawabkan. Dan menurut
definisi pendek Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan pidana.
Jadi jelas sekali dari definisi-definisi tersebut diatas tidak adanya “pemisahan antara
Criminal Act dan Criminal Responsibility”. 58
2. Aliran Dualistis
Pompe berpendapat bahwa menurut hukum positif, Strafbaarfeit adalah tidak
lain dari pada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, selanjutnya
menurut beliau bahwa menurut teori Strafbaarfeit itu adalah perbuatan yang bersifat
melawan hukum dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam
dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. “Pandangan golongan
dualistis ini mengadakan pemisahan antara dilarangnya suatu perbuatan dengan
sanksi ancaman pidana dan dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat”. 59

58
59


Ibid, hal 26
Ibid, hal 27-28

Penggolongan pandangan para sarjana tersebut diatas juga merupakan
penggolongan terhadap unsur-unsur tindak pidana yang terbagi menjadi dua yaitu:
1. Aliran Monistis
Menurut pendapat D. Simons, unsur-unsur Strafbaarfeit adalah:
a. Perbuatan manusia
b. Diancam dengan pidana
c. Melawan hukum
d. Dilakukan dengan kesalahan
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab
Selanjutnya Simon menyebutkan adalah unsur objektif dan unsur subjektif.
Yang disebut sebagai unsur objektif adalah :
a. Perbuatan orang
b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu
c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan itu “
seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “Openbaar” atau “dimuka umum”.
Segi subjektif dari Strafbaarfeit adalah :
a. Orangnya mampu bertanggung jawab

b. Adalah kesalahan (dolus atau culpa) perbuatan harus dilakukan dengan
kesalahan.”
Menurut Van Hamel, “unsur-unsur Strafbaarfeit adalah :

a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang
b. Bersifat melawan hukum
c. Dilakukan dengan kesalahan
d. Patut dipidana.” 60
Menurut E. Mezger, “unsur-unsur tindak pidana adalah :
a. Perbuatan dalam arti yang luar dari manusia
b. Sifat melawan hukum
c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang
d. Diancam dengan pidana.” 61
2. Aliran Dualistis
Menurut H.B. Vos, Strafbaarfeit hanya dirumuskan :
1. Kelakuan manusia
2. Diancam pidana dalam undang-undang
Kemudian menurut Moeljatno, perbuatan pidana memiliki unsur-unsur
sebagai berikut :
1. Perbuatan manusia

2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)
3. Bersifat melawan hukum (syarat materil)
Syarat formil tersebut harus ada, hal ini disebabkan karena :

60
61

Ibid, hal 26
Ibid

Adanya asas legalitas yang tersimpul dalam pasal 1 KUHP, syarat materil itu
harus ada pula, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat
sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan , oleh karena bertentangan
dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicitacitakan oleh masyarakat itu.
Memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikuti pendirian
Moeljatno, maka tidak cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan pidana
belaka atau disamping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan bertanggung
jawab. Jika seseorang melakukan tindak pidana kejahatan dan harus masuk ke dalam
persidangan untuk di adili dalam rangka mempertanggungjawabkan tindak pidana apa
yang telah diperbuatnya. Hukum Acara Pidana akan memberi keterangan seperti:

rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke
depan pengadilan, perkara-perkara kepidanaan dan bagimana cara menjatuhkan
hukuman oleh Hakim, jika ada orang yang disangka melanggar aturan hukum pidana
yang telah ditetapkan sebelum perbuatan melanggar hukum itu terjadi, dengan lain
perkataan: Hukum Acara Pidana ialah hukum yang mengatur tata cara bagaimana
alat-alat negara (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) harus bertindak jika terjadi
pelanggaran.
Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana
berhak dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan menurut aturan-aturan
hukum yang berlaku, dan si tersangka dalam sidang itu diberikan segala jaminan
hukum yang telah ditentukan dan yang telah diperlukan untuk pembelaan.

Ruang lingkup kepidanaan meliputi hal pengusutan, penuntutan, penyelidikan,
penahanan, pemasyarakatan dan lain-lain. Perkara pidana ialah perkara tentang
pelanggaran atau kejahatan terhadap suatu kepentingan, umum, perbuatan mana di
ancam dengan hukuman yang bersifat suatu penderitaan.
Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai berikut:
a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain
kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku
III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan

hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku
ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam
perundang-undangan secara keseluruhan.
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel
Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil
adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu
adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang
pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan
akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang
itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.
c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja
(dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak
pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai
berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan
hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang
lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan,
misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya
seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.
d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga
disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan

dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362
KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi
tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana
yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur
perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan
552 KUHP. 62
62

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.
2001. hlm. 25-27

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak Pidana
terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak Pidana
formil dan tindak Pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak
sengaja serta tindak Pidana aktif dan tindak Pidana pasif.
Unsur-unsur tindak Pidana adalah sebagai berikut:
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan);
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
d. Unsur melawan hukum yang objektif ;

e. Unsur melawan hukum yang subyektif; 63
Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas),
yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang
didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas
yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa
pertanggungjawaban Pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak
menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability)
kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku
tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan. 64
Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan
untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
63

Ibid. hlm. 30
Nawawi Arief,Barda . Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23
64

pengayoman masyarakat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan, memulihkan
keseimbangan, mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, memasyarakatkan

terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan
membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan
kelalaian (culpa). Istilah kesengajaan atau dalam bahasa Belanda disebut sebagai
opzet, adalah dari bahasa Indonesia yang berasal dari kata "sengaja", yang berarti
secara umum sebagai sesuatu yang memang disengaja atau benar-benar ditujukan
untuk itu. Pengertian kesengajaan ini tidak ditemukan rumusan-rumusan oleh Kitab
Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Untuk itu hendaknya dikaji dari penjelasan
sejarah perundang- undangan (Memorie van Toe!killing), yang ternyata menerangkan
bahwa maksud daripada kesengajaan adalah "willens en weten", yang artinya
seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja, harus menghendaki
(willen) perbuatan itu, serta harus menginsyafi (weten) akan akibat dari perbuatannya
itu". 65
Pengertian kesengajaan yang dirumuskan oleh Satochid Kartanegara, ialah
"Melaksanakan sesuatu perbuatan, yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat
atau bertindak. 66 Oleh Bambang Poernomo, dikemukakannya bahwa kesengajaan itu
secara alternatif dapat ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga

65

Sutochid Kurtunepra, Hukum Pidana, Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta,
Tanpa Tahun.
66
Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Cetakan III, Jakarta, 1978

terwujud kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat dan
kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana. 67
Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam,
yaitu sebagai berikut:
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan (Opzet als Oogmerk)
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai.
Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas
dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat
tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat
yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.
b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan
untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar
bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Opzet hij Zekerheidsbewustzijn)
Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian
akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu
kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena
merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya. 68
Unsur kesengajaan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan jalan melawan hukum. Syarat dari melawan hukum harus selalu
dihubungkan dengan alat-alat penggerak atau pembujuk yang dipergunakan.
Sebagaimana diketahui arti melawan hukum menurut Sudarto ada tiga pendapat
yakni:
a) Bertentangan dengan hukum (Simons)

67

Satochid Kartanegara, Op.Cit. hal. 292.
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina
Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46
68

b) Bertentangan dengan hak (subjektif recht) dan orang lain (noyon)
c) Tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak perlu bertentangan dengan
hukum (hoge road). 69
Pengertian melawan hukum menurut sifatnya, juga dibedakan menjadi dua
yaitu:
1. Melawan hukum yang bersifat formil yaitu suatu perbuatan itu
bersifat melawan hukum apabila perbuatan diancam pidana dan
dirumuskan sebagai delik dalam suatu undang-undang, sedangkan
sifat hukumnya perbuatan itu harus hanya berdasarkan suatu
ketentuan undang-undang. Hukum pidana formil hukum yang berisi
aturan yang berkaitan dengan tata cara melaksanakan hukum pidana
itu sendiri dalam tatarann prakteknya. 70Jadi menurut ajaran ini
melawan hukum sama dengan melawan hukum atau bertentangan
dengan undang-undang (hukum tertulis).
2. Melawan hukum yang bersifat materil yaitu suatu perbuatan itu
melawan hukum atau tidak, tidak hanya terdapat dalam undangundang yang tertulis saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya asasasas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan
yang nyata-nyata masuk dalam rumusan dalik itu dapat hapus
berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturanaturan yang tidak tertulis. 71

Perbuatan melawan hukum juga diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor : 003/PUUU-IV/2006 , tanggal 25 juli 2006 sebagaimana telah diuraikan
dalam bab terdahulu bahwa inti pemikiran dari sociological jurisprudence, yang oleh
Paton digunakan terminologi functional (sociological) jurisprudence, adalah bahwa
hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
69

Sudarto. Op-cit, hal. 51
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah, (Balai Lektur Mahasiswa: Bagian
satu, tanpa tahun), hal. 1
71
Ibid, hal. 47-48
70

masyarakat. “Sesuai” dalam pengertian ini ialah bahwa hukum itu mencerminkan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (the living law). Terlihat betapa sociological
jurisprudence mengetengahkan pentingnya living law ini. Hukum adalah pengalaman
yang diatur dan dikembangkan oleh akal yang diumumkan dengan wibawa oleh
badan-badan yang membuat undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi
politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat. Hukum positif akan memiliki daya
berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat tadi. Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’

mencakup

perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang- undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.”
Perbuatan melawan hukum karena kelalaian (culpa) terletak antara sengaja
dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan
sengaja, oleh karena itu delik culpa, merupakan delik semu (quasideliet) sehingga
diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik
kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang
diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan
antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat

dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu
menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana. 72
Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:
1. Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum,
adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan
terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar.
Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan.
Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang
mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak
mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana
sikap berbahaya.
2. Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum,
mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan,
kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam
caranya melakukan perbuatan. 73
Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme
untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan
atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku,
disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang
telah ditentukan dalam Undang-Undang.
Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan
dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut
melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan
hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan
bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan
72
73

Ibid. hlm. 48
Ibid. hlm. 49

adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal
dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah
diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia
mempunyai kesalahan. 74
Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan
menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:
1. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si
pembuat.
2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang
terkait dengan kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau lalai
3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan
pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat. 75

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa kemampuan
bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya
kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan
dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab
dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya
dan mampu bertanggungjawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan
bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, Hakim
memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun
tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan Hakim, itu berarti
bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada
74

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina
Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 49
75
Ibid. hlm.50

dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan.
B. Tindak Pidana Pemalsuan Surat
1. Tindak Pidana Pemalsuan Surat Dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana

Pemalsuan berasal dari suku kata “palsu” yang berarti tidak tulen, tidak sah,
tiruan, curang dan tidak jujur. Pemalsuan dapat diartikan sebagai perbuatan meniru
sesuatu atau membuat sesuatu secara tidak sah sehingga tampak seperti yang asli. 76
Pemalsuan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : 77
1.

Pemalsuan secara materiil yaitu merubah suatu benda, tanda, merek, mata
uang atau tulisan yang semula asli, dirubah sedemikian rupa sehingga
mempunyai sifat yang lain. Dengan kata lain, surat atau tulisan tersebut di
dalam wujudnya sama sekali palsu sejak dari awalnya.

2. Pemalsuan secara intelektual yaitu pemalsuan yang dilakukan dengan cara

merubah keterangan atau pernyataan yang terdapat dalam suatu surat atau
tulisan sehingga tidak sesuai dengan fakta sebenarnya. Dengan kata lain, pada
pemalsuan secara intelektual, bentuk surat atau tulisan ini sejak awal adalah
asli, namun isinya atau yang diterangkan atau yang dinyatakan di dalam surat
atau tulisan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Pemalsuan intelektual ini hanya dapat terjadi pada tulisan atau surat-surat.

76
77

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta) hal. 719
R. Tresna ). Asas-Asas Hukum Pidana.( Jakarta: PT. Tiara Ltd 1959). hal. 271-272

Pemalsuan secara materiil ini sering dilakukan orang dengan maksud
mempergunakan atau untuk membuat orang lain mempergunakan benda yang
dipalsukan itu sebagai benda yang asli. Pemalsuan secara intelektual sering disertai
dengan maksud-maksud yang tidak dapat dibenarkan. Sifatnya yang sangat mencolok
adalah adanya suatu kebohongan yang diterangkan atau dinyatakan orang di dalam
surat-surat atau tulisan-tulisan.
Membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau
sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang
sebenarnya. Membuat surat palsu ini dapat berupa hal-hal sebagai berikut: 78
1) Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak sesuai atau
bertentangan dengan kebenaran. Perbuatan ini disebut dengan pemalsuan
secara intelektual (intelectuele valschheid).
2) Membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain
dari si pembuat surat. Palsunya surat ini terletak pada asal atau si pembuat
surat. Perbuatan ini disebut pemalsuan secara materiil (materiele valschheid).
Di samping isi dan asalnya sebuah surat yang disebut surat palsu, juga apabila
tanda tangannya tidak benar. Hal ini bisa terjadi dalam hal: 79
1. Membuat dengan meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada, misalnya
seseorang yang telah meninggal dunia atau yang sama sekali tidak pernah ada
(fiktif);
78

Adami Chazawi . Kejahatan Mengenai Pemalsuan. (Jakarta: PT. RajaGrafindo 2000), hal.

79

Ibid.

100.

2. Membuat dengan meniru tanda tangan orang lain baik dengan persetujuannya
ataupun tidak;
3. Tanda tangan yang dimaksud disini termasuk tanda tangan dengan
menggunakan cap atau stempel tanda tangan (Arrest HR, 12-12-1920) yang
menyatakan bahwa disamakan dengan menandatangani suatu surat adalah
membubuhkan stempel tanda tangannya);
Wirjono Prodjodikoro memberikan ilustrasi bahwa dikatakan membuat surat
palsu adalah: 80
a. Seorang A membuat surat seolah-olah berasal dari seorang B dan
menandatangani dengan meniru tanda tangan si B;
b. Seorang A membuat surat dan menandatangani sendiri tetapi isinya tidak
benar;
c. Seorang A mengisi kertas kosong yang sudah ada tanda tangan si B dengan
tulisan yang tidak benar.
Perbuatan membuat surat palsu dapat mengenai tanda tangan maupun
mengenai isi dari tulisan atau surat, dimana perbuatan itu menggambarkan secara
palsu bahwa surat itu, baik secara keseluruhan maupun dari hanya tanda tangannya
atau isinya berasal dari seseorang yang namanya tercantum dalam tulisan tersebut.
Pemalsuan tandatangan dapat terjadi dengan kondisi sebagai berikut: 81

80

Wirjono Prodjodikoro . Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. (Bandung: PT.
Eresco 1986) hal. 188.
81
HAK. Moch. Anwar . Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I.( Bandung:
Alumni 1982), hal. 189.

a. Meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada, misalnya seseorang yang telah
meninggal dunia atau yang sama sekali tidak pernah ada (fiktif);
b. Pembubuhan tanda tangan orang lain dengan menirunya atas persetujuannya;
c. Mengisi sutau blanko-kertas segel yang telah lebih dulu dibubuhi tanda tangan
orang lain, pengisian mana pada dasarnya bertentangan atau menyimpang dari
kehendak penanda tangan; Menanda tangani dengan nama sendiri, apabila isi
dan penggunaan surat tersebut menimbulkan gambaran seakan-akan tanda
tangan itu berasal dari seseorang yang sama namanya.
Dasar hukum tindak pidana pemalsuan surat atau akta terdapat dalam Pasal
263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya
benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan
kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam
tahun.
2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai
surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu
dapat menimbulkan kerugian.
Unsur-unsur pemalsuan surat berdasarkan pasal 263 ayat (1) diatas adalah :

1. Membuat surat palsu atau memalsukan surat, artinya membuat yang isinya bukan
semestinya (tidak benar), atau memalsukan surat dengan cara mengubahnya
sehingga isinya menjadi lain seperti aslinya yaitu dengan cara:
a. Mengurangkan atau menambah isi akta.
b. Mengubah isi akta.

c. Mengubah tandatangan pada isi akta.
Unsur pertama ini adalah unsur obyektif yang artinya perbuatan dalam
membuat surat palsu dan memalsukan surat.
2. Dalam penjelasan pada pasal tersebut disebutkan, yang diancam hukuman dalam
pasal ini adalah orang yang membuat surat palsu atau memalsukan surat yakni :
a. Yang dapat menerbitkan sesuatu hak.
b. Yang dapat menerbitkan sesuatu perutangan.
c. Yang dapat membebaskan daripada hutang.
d. Yang dapat menjadi bukti dalam sesuatu hal, dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah
surat itu asli dan tidak dipalsukan, jikalau pemakaian surat itu dapat
mendatangkan kerugian. Unsur kedua ini tergolong kepada unsur
objektf.
3. Dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan, seolah-olah surat
itu asli dan tidak dipalsukan. Artinya perbuatan memalsukan surat seolah-olah
surat asli harus dengan niat menggunakannya atau menyuruh orang lain,
menggunakannya. Unsur ketiga ini tergolongkan pada unsur subjektif.
4. Merugikan orang lain yang mempergunakan surat tersebut.
Sedangkan unsur-unsur dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana adalah :
1) Unsur obyektif yaitu :
a. Perbuatan yaitu memakai.

b. Obyeknya yaitu surat palsu dan surat yang dipalsukan
c. Pemakaian surat tersebut dapat merugikan
2) Unsur subyektif dengan sengaja
Ketentuan Pasal 264 ayat (1) dan Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum
Pidana menyebutkan:
1) Yang bersalah karena memalsukan surat dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 8 (delapan ) tahun, kalau perbuatan itu dilakukan terhadap:
a. Surat pembuktian resmi (akta otentik)
b. Surat utang atau tanda utang dari suatu negara atau sebagiannya atau dari
lembaga hukum.
c. Sero atau surat utang atau surat tanda sero atau surat tanda utang dari suatu
perhimpunan yayasan, perseroan atau maskapai.
d. Talon atau surat untung sero (deviden) atau surat bunga uang dari salah
satu surat yang diterangkan pada huruf b dan c atau tentang surat bukti
yang dikeluarkan sebagai surat pengganti surat itu.
e. Surat kredit atau surat dagang yang disediakan untuk diedarkan.
2) Di pidana dengan pidana itu juga barang siapa dengan sengaja memakai surat
palsu atau surat yang dipalsukan tersebut dalam ayat (1), seolah –olah surat itu
asli dan tidak dipalsukan. Jika hal memakai surat itu dapat mendatangkan
kerugian.

Unsur-unsur kejahatan pada ayat (1) adalah: 82
1. Unsur-unsur obyektif yaitu:
a. Perbuatan itu membuat surat palsu dan memalsukan
b. Obyeknya yaitu surat sebagaimana tercantum dalam ayat (1) huruf “a”
sampai dengan “ e”.
c. Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut.
2. Unsur subyektif yaitu: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh
orang lain seolah-olah isinya benar dan tidak palsu.
Unsur-unsur kejahatan pada ayat (2) diatas adalah :
1) Unsur-unsur obyektif yaitu :
a. Perbuatan yaitu memakai
b. Obyeknya adalah surat-surat sebagaimana tersebut dalam ayat (1).
c. Pemakaian itu seolah-olah isinya benar dan tidak palsu.
2) Unsur subyektif yaitu dengan sengaja.
2. Tindak Pidana Pemalsuan dalam Pasal 266 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana.
Sanksi menurut ketentuan pasal ini adalah mereka yang menyuruh
menggunakan sarana tersebut untuk melakukan kejahatan, atau mereka dengan
sengaja menggunakan sertifikat palsu sebagai sarana melakukan kejahatan
pertanahan.
Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal diatas adalah sebagai berikut. 83
82

Ibid. Hlm. 281
P.A.F. Lamintang. Op. Cit. Hal. 86-92

83

Ayat Ke- 1 mempunyai unsur-unsur:
1. Unsur Objektif.
a. Perbuatan : menyuruh memasukkan.
Kata “menyuruh melakukan” seperti dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
angka 1 KUHP , orang yang disuruh melakukan itu haruslah merupakan
orang yang tidak dapat diminta pertanggungjawabannya menurut hukum
pidana. Sedangkan perbuatannya “menyuruh mencantumkan” seperti yang
dimaksud dalam pasal 266 ayat (1) KUHP itu. Orang yang disuruh
mencantumkan keterangan palsu di dalam suatu akta otentik itu tidaklah
perlu

harus

merupakan

orang

yang

tidak

dapat

diminta

pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Undang-undang menyatakan
bahwa harus menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu di dalam
suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut.
b. Obyeknya: keterangan palsu
c. Kedalam akta otentik
Akta otentik yang di buat oleh Notaris mempunyai fungsi untuk
membuktikan kebenaran tentang telah dilakukannya suatu perbuatan
hukum yang dilakukannya suatu perbuatan hukum yang dilakukan dengan
mencantumkan nama masing-masing para pihak yang melakukan suatu
perbuatan hukum.

d. Mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan dengan akta
itu.
e. Jika pemakaiannya dapat menimbulkan kerugian
Menurut Hoge Raad kerugian itu tidak perlu benar-benar telah timbul
melainkan cukup jika terdapat memungkinkan timbul kerugian seperti itu. Yang
dimaksud dengan kerugian dalam pasal 266 ayat (1) KUHP. Hoge Raad dalam
Arresnya tanggal 14 Okteber 1940. NJ 1941 No. 42 antara lain telah memutuskan
bahwa: yang dimaksud dengan kerugian itu bukan hanya kerugian materil saja. Jika
pengguna surat yang berisi keterangan palsu itu dapat menyulitkan pemeriksaan yang
dilakukan pihak kepolisian. Maka kepentingan umum telah dirugikan.
2. Unsur subyektif.
Ayat ke- 2 mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur-unsur objektif:
a. Perbuatan memakai
b. Objeknya akta otentik seperti tersebut pada ayat 1
c. Seolah-olah isinya benar.
2. Unsur subyektifnya dengan sengaja:
Perbuatan menyuruh mengandung unsur-unsur:
a. Inisiatif atau kehendak untuk membuat tentang apa (objek yakni
mengenai sesuatu hal atau kejadian) yang disuruh kedalamnya
adalah berasal dari orang yang menyuruh bukan dari pejabat
pembuat akta otentik.

b. Dalam hubungannya dengan asalnya inisiatif dari orang yang
meminta dibuat akta otentik, maka dalam perkataan unsur
menyuruh berarti orang itu dalam kenyataannya memberikan
keterangan tentang suatu hal. Hal mana adalah bertentangan
dengan kebenaran palsu.
c. Pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui bahwa keterangan
yang disampaikan oleh orang yang menyuruh memaksukkan
keterangan kepadanya itu adalah keterangan yang tidak benar.
d. Oleh karena pejabat pembuat akta otentik tidak

mengetahui

perihal tidak benarnya keterangan tentang sesuatu hal itu, maka
tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap pembuatannya yang
melahirkan akta otentik yang isinya palsu itu dan karenanya tidak
dapat dipidana.
Menurut R. Soesilo, tentang Pasal 266 KUHP ini diterangkannya secara
panjang lebar sebagai berikut :
1. Yang dinamakan akta otentik yaitu suatu surat yang dibuat menurut bentuk
dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang, oleh pegawai umum.
2. Yang dapat dihukum menurut Pasal ini misalnya orang yang memberikan
keterangan tidak benar kepada pegawai Burgerlijke Stand untuk dimasukkan
ke dalam akta kelahiran yang harus dibuat oleh pegawai tersebut, dengan
maksud untuk mempergunakan atau menyuruh orang lain mempergunakan
akte itu seolah-olah keterangan yang termuat di dalamnya itu benar.

3. Yang diancam hukuman itu tidak hanya orang yang memberikan keterangan
tidak benar dun sebagainya, akan tetapi juga orang yang dengan sengaja
menggunakan surat (akte) yang memuat keterangan tidak benar itu. Dalam
kedua hal ini senantiasa harus dibuktikan, bahwa orang itu bertindak seakanakan surat itu benar dan perbuatan itu dapat mendatangkan kerugian.
4. Orang yang memberikan keterangan palsu (tidak benar) kepada pegawai polisi
untuk dimasukkan ke dalam proses verbal itu tidak dapat dikenakan Pasal ini,
karena proses verbal itu gunanya bukan untuk membuktikan kebenaran dari
keterangan orang itu, tetapi hanya untuk membuktikan bahwa keterangan
yang diberikan orang itu demikianlah adanya. Ini beda sekali halnya dengan
surat (akte) kelahiran yang gunanya benar-benar untuk membuktikan
kebenaran kelahiran itu.
5. Dapat dihukum menurut pasal ini misalnya pedagang yang menyuruh
membuat persetujuan dagang kepada seorang Notaris mengenai sebidang
tanah, jika terlebih dahulu ia telah menjual tanah itu kepada orang lain. Dalam
hal ini maka Akte Notaris merupakan suatu surat yang digunakan sebagai
bukti terhadap suatu pemindahan hak milik. Kerugian akan diderita oleh
pembeli sudah terang, ialah jumlah uang yang telah dibayar untuk pembelian
itu yang bukan semestinya, biaya Notaris dan sebagainya. 84
Pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang biasanya praktis baru ada arti
apabila orang itu melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh hukum dan
84

S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHM-PTHM, 1983.

sebagian besar dari perbuatan-perbuatan seperti itu merupakan suatu perbuatan yang
didalam KUHPerdata, dinamakan dengan perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige
daad).
“Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu
mengganti kerugian tersebut”
Munir Fuady mengemukan, Perbuatan melawan hukum termasuk setiap
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain. Atau bertentangan
dengan kewajiban hukumnya dan bertentangan dengan tata susila, dengan kepatutan,
kebiasaan dan undangp-undang, maka orang yang karena kesalahannya menyebabkan
timbulnya kerugian bagi orang lain sebagai akibat dari perbuatannya wajib membayar
ganti rugi. 85
Notaris dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara perdata berdasarkan
tuntutan adanya perbuatan melawan hukum. Artinya walaupun Notaris hanya
mengkonstatir keinginan dari para pihak penghadap bukan berarti Notaris tidak
mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Misalnya apabila
Notaris mencantumkan sesuatu didalam akta tidak seperti yang dikehendaki oleh para
pihak sehingga menimbulkan kerugian pada orang lain atau kliennya. Maka
berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata perbuatan Notaris tersebut dapat dikatakan telah
melakukan perbuatan melawan hukum. Artinya adalah untuk mengembalikan

85

Munir Fuady. Perbuatan Melawan Hukum pendekatan Kontemporer ( PT. Cintra Adytia
Bakti. Bandung). Tahun 2002. Hlm. 4

kerugian sipenderita pada keadaan semula atau pengembalian secara nyata yang
lebih sesuai dengan pembayaran ganti kerugian dalam bentuk uang.
Di dalam hukum pidana terdapat berbagai pendapat mengenai arti dari unsur
melawan hukum yang merupakan terjemahan dari istilah wedertrehtlijk. Mengetahui
sifat melawan hukum terdapat 2 (dua) pendirian yang berbeda yaitu menurut ajaran
formil dan ajaran hukum materiil. Menurut pendapat P.A.F. Lamintang mengemukan:
“Menurut ajaran wedertrechtlijkheid dalam arti formil suatu perbuatan dapat
dipandang sebagai bersifat wedertrechtlijkheid apabila perbuatan tersebut memenuhi
unsur yang terdapat didalam suatu rumusan suatu delik menurut Undang-undang.
Sedangkan menurut ajaran wedertrechtlijkheid dalam arti materil. Apakah suatu
perbuatan itu dapat dipandang sebagai bersifat wedertrechtlijkheid atau tidak.
Masalahnya bukan saja ditinjau dari sesuatu dengan ketentuan-ketentuan hukum
tertulis, melainkan juga harus ditinjau menurut azas-azas hukum umum dan hukum
yang tidak tertulis. 86
Di sebutkan dalam Pasal 274 KUHP yang mengatur masalah delik pemalsuan
yang masuk dalam kejahatan terhadap tanah, yang berbunyi:
1. Barangsiapa membuat palsu atau memalsukan surat keterangan pegawai
Negeri yang menjalankan kekuasaan yang sah mengenai hak milik atau
sesuatu hak lain atas suatu barang dengan maksud akan memindahkan
penjualan atau penggadaian barang itu atau dengan maksud akan
memperdaya pegawai kehakiman atau polisi tentang asalnya barang
tersebut.

86

Nico. Op,Cit . hlm. 148

2. Dengan hukuman serupa itu dihukum juga barangsiapa dengan maksud
dengan maksud yang serupa menggunakan surat keterangan palsu atau
yang dipalsukan itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan. 87
C. Akta Notaris dan Kaitannya dengan Pemalsuan Akta
Akta yang dibuat dihadapan Notaris tidak terlepas dari pasal-pasal yang
mengatur tentang perjanjian itu sendiri yang terdapat dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan perundang-undang Hukum
Perdata. Prosedur pembuatan akta tidak sesuai dengan Undang-undang Jabatan
Notaris misalnya dalam akta tidak di cantumkan nama lengkap, tempat dan tanggal
lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal, para
pengahap atau orang yang mereka wakili. 88
Notaris sebagai pejabat umum yang diberikan wewenang oleh perundangundangan membuat akta yang juga disebut sebagai Akta Notaris (akta otentik) ini,
dalam menjalankan kewenangan yang diberikan itu, Notaris pun harus mengucapkan
sumpah/janji. Notaris berjanji akan menjalankan tugasnya dengan jujur, seksama dan
tidak berpihak serta akan mentaati dengan seteliti-telitinya semua Peraturan Jabatan
Notaris yang sedang berlaku atau yang akan diadakan dan merahasiakan serapatrapatnya isi akta selaras dengan ketentuan-ketentuan peraturan itu. Bagian sumpah ini
dinamakan "beroespeed" (sumpah jabatan). 89

87

Ibid, hlm. 58.
Lihat Pasal 38 ayat (3) butir a UUJN
89
Komar Andasmita, Notaris Selayang Pandang, Alumni, Cetakan ke-2, Bandung, 1983

88

Tugas dan kewenangan Notaris adalah suatu hal yang berat, oleh karena
terkait dengan sumpah jabatannya. Notaris harus secara adil, jujur, teliti untuk
melaksanakan tugas-tugas dan kewajiban-kewajibannya. Untuk itulah sumpah jabatan
Notaris merupakan faktor yang amat penting untuk mengikat dan menyadarkan
Notaris pada kedudukan dan tanggungjawabnya yang cukup berat tersebut. Walaupun
demikian, tidak jarang terjadi kasus di mana timbul pemalsuan
terhadap akta otentik Notaris baik karena kesalahan Notaris yang kurang teliti
menerima keterangan dari kliennya tentang sesuatu hal dan memuatnya pada akta
tersebut, maupun pemalsuan akta oleh Notaris sendiri.
Adapun tentang akta otentik itu sendiri di samping itu dikenal pula akta di
bawah tangan. Tentu saja ada perbedaan yang mendasar dari kedua jenis akta ini.
Perbedaannya terletak pada kekuatannya, yaitu bahwa akta otentik memberikan
diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari
pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dibuat di dalamnya, yang
berarti mempunyai kekuatan bukti demikian rupa karena dianggap melekatnya akta
itu sendiri, sehingga tidak perlu dibuktikan lagi, dan bagi Hakim merupakan bukti
wajib/keharusan (verplicht bewijs). 90
Komar Andasasmita, menjelaskan mengenai akta di bawah tangan; bahwa
akta macam ini bagi Hakim merupakan bukti bebas (vrij bewijs), oleh karena akta di
bawah tangan hanya mempunyai kekuatan bukti material setelah dibuktikan kekuatan

90

Ibid

formilnya dan yang disebut paling akhir ini barn terjadi bila pihak-pihak yang
bersangkutan mengakui akan kebenaran isi dan cara pembuatan akta itu.
Pemalsuan akta otentik terkandung suatu kejahatan yang pantas untuk
ditanggulangi mengingat dengan akta seperti itu, bukan hanya berkaitan dengan alat
bukti tetapi juga dengan faktor kepercayaan terhadap pejabat yang berwenang yang
oleh perundang-undangan diberikan kewenangan membuat akta tersebut. Pemalsuan
akta otentik memang berkaitan erat dengan pemalsuan surat pada umumnya, yang
dengan demikian bertalian pula dengan Pasal 263 KUHP.
Tentang Pasal 263 KUHP ini, menurut Lamintang, dan C. Djisman Samosir,
disebutkan bahwa Pasal ini melindungi "publica fides" atau kepercayaan umum yang
diberikan kepada sesuatu surat.." Memang ada perbedaan di antara "membuat surat
palsu" dan "memalsukan surat".Bahwa pada perbuatan membuat secara palsu itu,
semula belum ada sesuatu surat apa pun, kemudian dibuatlah surat itu akan tetapi
dengan isi yang bertentangan dengan kebenaran. Sedangkan pada perbuatan
memalsukan, semula memang ada sepucuk surat, yang kemudian isinya dirubah
sedemikian rupa, sehingga isinya menjadi bertentangan dengan kebenaran atau pun
menjadi berbeda dari isinya semula.
Pemalsuan akta yang menjadi materi pokok pada Pasal 266 KUHP, di mana
yang terjadi ialah terkecohnya Notaris oleh pihak yang ingin memintakan bantuan
Notaris untuk membuat sesuatu akta, misalnya akta jual-beli tanah, akta sewamenyewa, akta warisan (testamen), maupun akta pendirian Perusahaan Terbatas (PT).

Pada pihak yang memerlukan akta tersebut memberikan keterangan yang tidak benar
kepada Notaris, yang berdasarkan keterangan (yang tidak benar) itu Notaris kemudian
membuatkan surat akta, kemudian ternyata pihak yang bersangkutan mengambil
manfaat dari keterangannya kepada Notaris itu yang merugikan pihak lain. Di sini
Notaris adalah pihak yang membuat akta dan berbeda dengan pemalsuan dalam Pasal
263 KUHP yang mana pelakunya ialah pihak yang bersangkutan itu sendiri. Namun
menyimak dari yurisprudensi klasik tentang pemalsuan surat ini pemalsuan surat ini
pantas dikaji putusan Hoge Raad (HR) tanggal 18 Maret 1940 bahwa "suatu surat itu
adalah palsu, apabila suatu bagian yang integral dari surat itu adalah palsu. 91
Dengan demikian tugas dan kewajiban Notaris yang diantaranya membuat
Akta Notaris adalah riskan terhadap kejahatan pemalsuan. Belum lagi pemalsuan
yang notabene adalah dilakukan oleh Notaris itu sendiri yang kemudian membawa
akibat berupa kerugian bagi pihak yang lainnya. Pemalsuan oleh Notaris bukanlah
suatu hal yang aneh, mengingat kedudukannya yang memang rawan dengan godaan
untuk peluang dan penyalahgunaan jabatan yang tentu saja membawa kerugian bagi
pihak lainnya.

BAB III
91

Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi, Alumni, Bandung, 1979.

Dokumen yang terkait

Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

10 177 117

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Bersyarat (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 5.089/Pid.B/2006/PN.Medan)

2 139 75

Analisa Kasus Tindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN)

4 52 94

Asas Ne Bis In Idem Dalam Hukum Pidana (Pendekatan Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1384 / Pid.B / Pn. Mdn / 2004 Jo Putusan Pengadilannegeri Medan No. 3259 / Pid.B / Pn. Mdn / 2008)

2 49 163

Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan)

3 130 140

Tindak Pidana Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu dalam Akte Otentik (studi Putusan Nomor : 1545 PID.B 2012 PN-Medan. jo putusan nomor : 39 Pid 2013 PT-Medan)

0 0 16

Tindak Pidana Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu dalam Akte Otentik (studi Putusan Nomor : 1545 PID.B 2012 PN-Medan. jo putusan nomor : 39 Pid 2013 PT-Medan)

0 0 2

Tindak Pidana Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu dalam Akte Otentik (studi Putusan Nomor : 1545 PID.B 2012 PN-Medan. jo putusan nomor : 39 Pid 2013 PT-Medan)

0 7 44

Tindak Pidana Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu dalam Akte Otentik (studi Putusan Nomor : 1545 PID.B 2012 PN-Medan. jo putusan nomor : 39 Pid 2013 PT-Medan)

0 0 4