Analisa Kasus Tindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN)

(1)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

KHAIRU RIZKI NIM. 040200013

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2008


(2)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

TINDAK PIDANA MEMBERIKAN IJAZAH TANPA HAK (STUDI PUTUSAN PN MEDAN REG. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

KHAIRU RIZKI NIM. 040200013

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

ABUL KHAIR,S.H,M.Hum. NIP. 131 842 854

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

MADIASA ABLISAR,S.H,M.S M. EKA PUTRA,S.H,M.Hum NIP. 131 570 461 NIP. 132 208 327

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh...

Alhamdulilllah. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam atas limpahan nikmat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada Penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam atas Rasulullah Muhammad

Shallallahu ‘alaihi Wassalam teladan utama, kepada para keluarga dan para

sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in serta seluruh pengikutnya yang setia di jalan Islam hingga akhir zaman.

Skripsi ini diberi judul “Analisa Kasus Tindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. No. 1932/Pid.B/2005/PN.Mdn). Penulisan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Huku m.

Penulis mengakui bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan yang harus dievaluasi. Hal ini karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dari penulis serta bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan analisa tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini disadari oleh Penulis tidak lepas dari bantuan, arahan, petunjuk, dorongan dan perhatian dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:


(4)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

1. Bapak Prof.Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof.Dr. Suhaidi, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan II, dan Bapak Muhammad Husni, S.H, M.H selaku Pembantu Dekan III;

3. Bapak Abul Khair, S.H, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini;

4. Bapak Madiasa Ablisar, S.H, M.S selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Muhammad Eka Putra, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah mau peduli dan perhatian serta banyak memberikan pedoman bagi Penulis dalam penulisan skripsi ini;

5. Ibu Zulfi Chairi, SH selaku Dosen/Penasihat Akademik Penulis;

6. Bapak/Ibu Dosen Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik Penulis selama Penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Seluruh saudara/i seiman di KAMMI Komisariat USU, KAM Rabbani, dan BTM Aladdinsyah, SH Fakultas Hukum USU;

8. Rahmat Fauzi Salim Lubis, Rahmat Suhargon Harahap, Surya Dharma, Diki Altrika (Presma USU yang original); Firdaus Armanda, Ahmad Rizki Sadly, Lidya Octaviani, Eko Susilo dan seluruh teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum USU khususnya stambuk 2004;

9. Ustadz Khairur Rasyid, ST dan teman-teman halaqoh Ibnu Tawakkal, Rizka, Pak Yadi , Bang Ari dan Bang Akhiruddin;


(5)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

10.Keluarga besar Penulis, kakak-kakakku: Kak Yuyu, Kak Era Kak Mimi, Kak Zamra dan Lila; abang-abangku: Bang Budi dan Kiki; Abang/kakak iparku: Bang Ucok, Bang Ami dan Kak Ida; keponakanku: Andri, Putri, Mayang, Kiki, Dinda, Fadli, Fadil, Laina, Azmi dan Fathrina.

11.Seluruh pihak yang telah membantu dan memberikan sumbangan moril maupun materiil demi selesainya penulisan skripsi ini.

Wa bil khusus, Penulis ingin mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada dua manusia hebat sepanjang masa, yakni kedua orangtua Penulis, Ayahanda H. Faidhullah S. dan Ibunda Hj. Nurbah Pane yang telah mendidikkan arti hidup, mengajarkan menjadi manusia, meneladankan ketegaran sikap, melimpahkan perhatian dan kasih sayang untuk besarkan Penulis meniti jalan Ilahi. Tanpa ridho mereka, Penulis akan menjadi manusia yang paling merugi.

Akhirnya Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya, khususnya bagi penegak hukum dalam menegakkan hukum dan keadilan di negeri kita yang tercinta ini. Amiin.

Wassalam Penulis,


(6)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………..…. i

DAFTAR ISI ………....….. iv

ABSTRAK ………. vi

BAB I PENDAHULUAN ……….…. 1

A. Latar Belakang ……….…………. 1

B. Perumusan Masalah ……… 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ……….. 7

D. Keaslian Penulisan ………. 8

E. Tinjauan Kepustakaan ……….….. 9

1. Gambaran Umum Tindak Pidana ………. 9

2. Tentang Pemalsuan Surat ……….… 14

3. Tentang Pemberian Ijazah ………..….. 19

F. Metode Penelitian ……….…. 23

G. Sistematika Penulisan ………... 25

BAB II KRITISI FORMULASI TINDAK PIDANA MEMBERIKAN IJAZAH TANPA HAK DALAM UU SISDIKNAS ……… 27

A. Masalah Kualifikasi Tindak Pidana ……….. 29

B. Masalah Subjek Tindak Pidana ………. 34

C. Masalah Jenis Sanksi ……… 36

BAB III UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MEMBERIKAN IJAZAH TANPA HAK ……….. 38

A. Sarana Penal ………. 39


(7)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

BAB IV ANALISA KASUS TINDAK PIDANA MEMBERIKAN IJAZAH TANPA HAK DALAM PUTUSAN PN

MEDAN REG. NO. 1932/PID.B/2005/PN.MDN ….……. 55

A. Kasus Posisi ……….. 55

B. Analisa Kasus ………..……. 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 82

A. Kesimpulan ……….. 82

B. Saran ……… 83


(8)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

ABSTRAK

Praktek pemberian ijazah tanpa hak merupakan suatu bentuk penyerangan terhadap suatu kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran suatu ijazah, terlebih lagi hal itu merupakan suatu bentuk tindakan penyerangan martabat atau penghinaan terhadap dunia pendidikan oleh pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang mengaku sebagai suatu satuan pendidikan yang sah.

Dalam hukum pidana positif Indonesia, tindak pidana ini telah diatur baik secara umum dalam KUHPidana yaitu pada Pasal 263 sebagai kejahatan pemalsuan surat, maupun secara khusus dalam Ketentuan Pidana UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Namun dalam ketentuan khusus tersebut malah mengandung berbagai kekurangan-kekurangan dalam formulasinya.

Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini yaitu pertama, apa saja kekurangan-kekurangan dalam formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam Ketentuan Pidana UU Sisdiknas tersebut. Kedua, apa saja upaya yang dapat diterapkan dalam menanggulangi tindak pidana tersebut. Terakhir, bagaimana analisa kasus tindak pidana tersebut (Putusan PN Medan Reg. No. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN) dalam perspektif hukum pidana.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa sajakah kekurangan-kekurangan dalam formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam Undang Undang Sisdiknas. Selain itu juga penulisan diarahkan untuk menemukan upaya-upaya apa saja yang dapat ditempuh untuk menanggulangi tindak pidana yang dibahas serta menganalisa kasus yang berkaitan dengan tindak pidana ini.

Metode penelitian yang digunakan Penulis adalah metode penelitian hukum normatif, dengan menganalisa ketentuan pidana Undang-undang No. 20 tahun 2003 sebagai peraturan positif yang mengatur tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak. Selain itu juga penelitian terhadap asas-asas hukum yang berkaitan dengan kebijakan penanggulangan tindak pidana tersebut serta analisa terhadap kasus yang berkaitan.

Hasil penelitian ini mencoba menjawab permasalahan-permasalahan yang dimunculkan. Antara lain, kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak yaitu adanya masalah kualifikasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak yang tidak secara tegas dirumuskan dalam UU Sisdiknas sebagai “kejahatan” atau “pelanggaran”. Selain itu pula masalah perumusan korporasi sebagai subjek tindak pidana namun tidak disertai dengan pengaturan pertanggungjawaban pidananya. Dan juga masalah jenis sanksi pidana, yang berkaitan dengan korporasi bila dipidana. Hal lain yang turut dibahas yaitu upaya-upaya dalam menanggulangi tindak pidana tersebut. Dimana upaya-upaya tersebut melalui pendekatan integral antara sarana penal dan non

penal. Terakhir, penelitian ini turut menganalisa suatu kasus tindak pidana

memberikan ijazah tanpa hak dalam putusan PN Medan melalui perspektif hukum pidana.

Ada beberapa saran dalam penelitian ini yang dirumuskan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi penegak hukum dalam upaya menanggulangi tindak pidana tersebut baik dari segi formulasi, aplikasi maupun eksekusi oleh para penegak hukum.


(9)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukum dalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai, dan menjaga eksistensinya di dunia telah diakui.1

Pengertian tersebut didasarkan pada penglihatan hukum dalam arti kata materiil, sedangkan dalam arti kata formil, hukum adalah kehendak manusia ciptaan manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk tingkah laku tentang apa yang boleh dilakukan dan tentang apa yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan dianjurkan untuk dilakukan.

Secara umum kita dapat melihat bahwa hukum merupakan seluruh aturan tingkah laku berupa norma/kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur dan menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu.

2

Unsur utama yang dibutuhkan manusia dari hukum adalah ketertiban. Dengan terwujudnya ketertiban, maka berbagai keperluan sosial manusia dalam bermasyarakat akan terpenuhi. Untuk mewujudkan ketertiban itu manusia memunculkan keharusan-keharusan berperilaku dengan cara tertentu yang dirumuskan dalam bentuk kaidah. Ketertiban dan kaidah yang diperlukan manusia

1

Jhonny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, h. 1

2


(10)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

adalah ketertiban dan kaidah yang secara otentik menciptakan kondisi yang memungkinkan manusia secara wajar mewujudkan kepribadiannya secara utuh, yang dengan itu ia dapat mengembangkan semua potensi kemanusiaan seperti apa yang secara bebas dikehendakinya.3

Unsur kedua yang tidak kalah pentingnya, yakni keadilan. Keadilan senantiasa mengandung unsur penghargaan, penilaian dan pertimbangan. Karena itu mekanisme bekerjanya hukum digambarkan sebagai suatu neraca keadilan. Keadilan menuntut bahwa dalam keadaan yang sama setiap orang harus menerima bagian yang sama pula. Sehubungan dengan keadilan tersebut hukum bersifat kompromistis, karena keadilan manusia tidaklah mutlak. Mengingat, manusia adalah makhluk tidak sempurna, kekhilafan merupakan sifat insani manusia (errare humanum est). Aliran hukum alam meyakini bahwa keadilan itu hanya bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa, tetapi manusia juga diberi kecakapan dan kemampuan untuk meraba atau merasakan apa yang dinamakan adil. Aliran hukum alam mempercayai bahwa apa yang diamati dalam segala kejadian alam sekitar manusia sudah menumbuhkan dasar-dasar keadilan.4

Unsur ketiga yang diharapkan dari hukum adalah kepastian (legal

certainty). Lembaga-lembaga hukum seperti hak milik, status perkawinan, dan

kontrak, semuanya harus ditepati oleh para pihak yang mengadakannya. Tanpa kepastian hukum akan muncul kekacauan dalam masyarakat. Oleh karena itu jelas

3

Jhonny Ibrahim, Op.Cit, h. 2

4


(11)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

bahwa berfungsinya hukum untuk menciptakan ketertiban, keadilan dan kepastian dalam masyarakat.5

1. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen);

Banyak kepentingan hukum dalam masyarakat yang dilindungi oleh hukum, yang pada pokoknya dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan besar, yakni:

2. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappelijke belangen); 3. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen).

Walaupun dapat dibedakan dalam 3 kelompok kepentingan hukum, namun adakalanya suatu kepentingan hukum dapat dimasukkan ke dalam lebih dari satu golongan kepentingan hukum tersebut. Seperti pada kejahatan pemalsuan. Perkosaan atau pelanggaran terhadap kepentingan hukum atas kepercayaan pada kebenaran obyek yang dipalsukan, tidak saja berupa pelanggaran/penyerangan terhadap kepentingan hukum masyarakat tetapi juga sekaligus terhadap kepentingan hukum negara.

Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (objek) yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.6

Hal itu pula yang terjadi pada pemalsuan ijazah yang semakin marak dewasa ini. Ijazah yang seharusnya diberikan kepada peserta didik sebagai

5

Ibid, h. 7

6

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, h. 2


(12)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang ddiselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi7

Penggunaan ijazah palsu sebenarnya bukan fenomena baru dalam masyarakat kita. Paling sedikit 2 universitas swasta di Jakarta pada tahun 80-an dihantam oleh kasus ijazah sarjana aspal, asli tapi palsu. Fenomena ijazah palsu semakin menggila pada era reformasi. Hal ini terkait dengan kehidupan demokrasi di Indonesia yang semakin baik. Pemilihan umum yang langsung dan bebas membuka sekian banyak posisi politik, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Dan para calon seakan merasa malu jika hanya bermodalkan ijazah SLTA, apalagi SLTP. Maka ijazah palsu SLTA dan Strata-1 pun laku keras. Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik di pusat maupun daerah-daerah, menemukan cukup banyak kasus ijazah palsu pada Pemilu 2004 maupun pilkada bulan Juni-Juli 2005. Sayang, hanya ada satu dua kasus ijazah palsu yang sampai ke meja hijau.

, bisa didapatkan dan digunakan oleh yang bukan peserta didik. Penggunaan mana biasanya untuk memenuhi syarat rekruitmen dari suatu jabatan.

8

Hal ini tentu sangat ironis, dimana pemerintah sedang gencar-gencarnya berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia, melalui berbagai program pembangunan, salah satunya melalui jalur pendidikan. Namun segala upaya pemerintah tersebut terganjal akibat adanya pihak-pihak yang bersedia ‘memudahkan’ bagi orang yang ingin mendapatkan ijazah tanpa perlu mengikuti jalur pendidikan. Bila hal ini dibiarkan terus menerus maka nantinya

7

Pasal 61 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

8

Tjipta Lesmana, Dugaan Ijazah Palsu Paskah Suzetta,


(13)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

jabatan-jabatan penting pemerintahan dapat diisi oleh orang-orang yang tidak berkompeten karena ijazahnya palsu.

Demi mewujudkan ketertiban, keadilan dan kepastian hukum sebagaimana dikemukakan di atas, maka pengaturan pemidanaan terhadap tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak ini mutlak perlu diformulasikan dalam peraturan hukum pidana positif. Di Indonesia, hal ini telah diatur baik di dalam KUHP maupun dalam UU di luar KUHP. Dalam KUHP tindak pidana ini digolongkan kedalam Kejahatan Pemalsuan Surat (Buku II, Bab XII KUHP. Di luar KUHP, ketentuan mengenai tindak pidana ini diatur dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Sebagai peraturan yang lebih khusus, Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas mengatur tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak ini pada Bab XX Ketentuan Pidana. Bila dilihat dari Ketentuan Pidana tersebut masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam formulasi pengaturan tindak pidana ini. Hal ini tentu berdampak pada proses penyelesaian tindak pidana ini dalam prakteknya.

Misalnya saja, seperti dalam kasus PN Medan Register No. 1932/Pid.B/2005/PN.Mdn. Dalam perkara ini, tindak pidana dilakukan oleh penyelenggara pendidikan tinggi yang dalam hal ini adalah Rektor Universitas Generasi Muda Medan. Bila ditinjau dari Ketentuan Pidana UU Sisdiknas di atas, subjek tindak pidana yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah tidak hanya perseorangan, namun juga organisasi ataupun penyelenggara pendidikan yang berbentuk badan hukum. Dengan kata lain, korporasi dapat dibebani


(14)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

pertanggungjawaban pidana. Namun, bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi tersebut dan sanksi apa yang dijatuhkan padanya sama sekali tidak diatur secara tegas dalam Ketentuan Pidana tersebut. Hal inilah yang terlihat pada putusan PN Medan dalam kasus di atas. Walaupun telah terbukti bersalah, yang dapat dipidana berdasarkan putusan tersebut hanya Rektor Universitas tersebut sebagai perseorangan. Sedangkan korporasinya, yakni Universitas Generasi Muda Medan tetap beroperasi. Hal inilah salah satu kekurangan dari formulasi tindak pidana dalam Ketentuan Pidana UU tersebut, disamping kekurangan-kekurangan lainnya. Kekurangan mana yang seandainya dieliminasi, dapat lebih mengefektifkan upaya penanggulangan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak ini.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian pada bagian latar belakang di atas, Penulis merumuskan permasalahan yang menjadi pokok pembahasan pada Bab selanjutnya yaitu:

1. Apa saja kekurangan-kekurangan dalam formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional?

2. Upaya apa saja yang dapat dilakukan dalam menanggulangi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak?

3. Bagaimana analisa kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam putusan PN Medan Register No. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN dalam perspektif hukum pidana?


(15)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. untuk mengetahui kekurangan-kekurangan apa sajakah yang terdapat dalam formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam UU Sisdinas.

2. Untuk mengetahui upaya apa sajakah yang dapat ditempuh untuk

menanggulangi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak.

3. Untuk mengetahui bagaimana analisa kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam Putusan PN Medan Register No. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN.

Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran seputar kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak khususnya kasus yang terdaftar di Pengadilan Negeri Medan dengan register perkara Nomor 1932/Pid.B/2005/PN.MDN.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi kalangan mahasiswa, agar dapat lebih kritis terhadap produk legislatif dan peradilan, baik yang menyimpang maupun yang berkualitas. Dengan belajar mengkritisi setiap produk legislatif dan peradilan, nantinya apabila telah menjadi bagian dari badan legislatif ataupun peradilan


(16)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

sebagai penegak hukum dapat menghasilkan produk legislatif dan peradilan yang benar-benar sesuai dengan ilmu yang diperolehnya.

b) Bagi lingkungan eksekutif, agar dapat merumuskan kebijakan

penanggulangan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dengan lebih efektif dan efisien. Selain itu juga agar memberi penilaian terhadap putusan-putusan yang dihasilkan oleh peradilan khususnya dalam kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak, demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum.

c) Bagi lembaga legislatif, agar dalam menyusun suatu produk perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana suatu tindak pidana khususnya tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak, dibuat dengan cermat dan jelas sehingga tepat guna dan dapat mempersempit kesempatan bagi pihak-pihak yang hendak mencari celah dalam melakukan suatu tindak pidana tanpa tersentuh hukum. Selain itu untuk menghindarkan penerapan ketentuan pidana yang tidak efektif dalam rangka menanggulangi suatu tindak pidana khususnya tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak. d) Bagi lembaga peradilan, agar meningkatkan integritas, moral kredibilitas

dan profesionalismenya di dalam memeriksa dan memutus suatu perkara tindak pidana sehingga tidak melukai rasa keadilan dalam masyarakat.

D. Keaslian Penulisan

Topik permasalahan ini sengaja dipilih dan ditulis, oleh karena sepengetahuan penulis topik permasalahan yang begitu pentingnya ini kurang


(17)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

mendapatkan perhatian. Banyak karya ilmiah yang membahas tentang penggunaan ijazah palsu, namun belum ada yang membahas tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak. Padahal tanpa adanya orang/lembaga yang memberikan ijazah tanpa hak, maka kemungkinan terjadinya penggunaan ijazah palsu pun semakin kecil.

Penulisan skripsi ini adalah berdasarkan hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini setahu penulis belum pernah ada yang membuat. Kalaupun sudah ada, penulis yakin bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Gambaran Umum Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu Strafbaar feit. Istilah tindak pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Undang-Undang-undang No. 19 tahun 2002), Undang-undang No. 11/PNPS/1963 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diganti dengan Undang-undang No. 31 Tahun 1999), dan perundang-undangan lainnya.

Mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana, ada dua pandangan berbeda yang berkembang, yaitu pandangan monisme dan dualisme. Pandangan


(18)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

monisme tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. Hal ini dapat dilihat dari rumusan pengertian tindak pidana penganut pandangan tersebut.

J.E. Jonkers sebagaimana yang dikutip Adami Chazawi, yang merumuskan peristiwa pidana ialah “perbuatan yang melawan hukum (wederrechtelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.9

Begitu pula Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana.10

Pompe sebagaimana yang dikutip Adami Chazawi, merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.

Sedangkan pada pandangan dualisme, memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan. Hal ini terlihat dari rumusan tindak pidana penganut paham tersebut.

11

Begitu pula Moeljatno yang dikutip Adami Chazawi, beliau menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikannya sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”.12

9

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana: Bagian 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h. 75.

10

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2003, h. 59

11

Op.Cit, h. 67.

12


(19)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Dari pandangan demikian, pertanggungjawaban pidana bukanlah menjadi unsur tindak pidana. Kemampuan bertanggungjawab merupakan hal yang lain dari tindak pidana dalam artian abstrak, yakni mengenai syarat untuk dapat dipidananya terhadap pelaku yang terbukti telah melakukan tindak pidana atau melanggar larangan berbuat dalam hukum pidana, dan sekali-kali bukan syarat ataupun unsur dari pengertian tindak pidana. Sebagaimana diketahui bahwa orang yang perbuatannya telah melanggar larangan berbuat (tindak pidana) tidak selalu dengan demikian dijatuhi pidana.

Jadi, dapat disimpulkan suatu tindak pidana memiliki unsur-unsur yaitu: a) perbuatan;

b) melawan hukum (bertentangan dengan peraturan perundang-undangan); c) ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

Dari rumusan unsur tersebut dapat dilihat bahwa perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum. Suatu perbuatan yang tidak dikehendaki (dilarang) oleh masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk peraturan. Perbuatan yang tidak dikehendaki adalah berupa perbuatan negatif. Artinya, perbuatan yang tidak dikehendaki secara tegas dinyatakan dilarang dalam peraturan perundang-undangan tertulis. Isi dari peraturan perundang-perundang-undangan tersebut berupa perbuatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan. Jadi prinsipnya, semua perbuatan itu boleh dilakukan kecuali yang dilarang. Sedangkan perbuatan yang


(20)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

dilarang tersebut diatur dalam bahagian bentuk peraturan atau norma yang tertulis atau tidak tertulis.13

Unsur melawan hukum merupakan suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, dimana sifat tercela tersebut dapat bersumber pada undang-undang (melawan hukum formil/formelle wederrechtelijk) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materiil/materiel wederrechtelijk). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, sifat tercela tersebut tidak tertulis.14

Hazewinkel Suringa dan Moeljatno mengatakan sebagaimana yang dikutip Teguh Prasetyo, sebenarnya unsur melawan hukum itu telah inheren di dalam setiap delik, dengan kata lain, unsur itu diam-diam selalu dianggap ada di dalamnya. Barangkali akan lebih baik jika unsur itu tidak usah dicantumkan dengan tegas di dalam pasal-pasal KUHP. Misalnya, Pasal 167 ayat (1) KUHP yang berisi larangan untuk memaksa masuk rumah atau pekarangan (dinyatakan dengan melawan hukum). Seandainya kata-kata dengan melawan hukum itu dihilangkan, bukankah secara diam-diam sudah jelas bahwa memasuki rumah/pekarangan orag lain tanpa izin itu adalah perbuatan melawan hukum karena memang sudah dilarang. Seandainya ada seorang polisi yang hendak menggeledah, dan pemilik rumah menolak atas dasar Pasal 167 ayat (1) tersebut, polisi itu dapat menunjukkan surat tugas penggeledahan, dengan demikian sifat

13

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, h. 39

14


(21)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

melawan hukum dihapuskan atas dasar perintah jabatan atau menjalankan undang-undang (Pasal 50 dan 51 KUHP).15

Mencantumkan secara tegas unsur sifat melawan hukum dalam suatu rumusan tindak pidana didasarkan pada suatu alasan tertentu, sebagaimana tercermin dalam keterangan risalah penjelasan WvS Belanda, yaitu adanya kekhawatiran bagi pembentuk undang-undang, bahwa jika tidak dimuatnya unsur melawan hukum disitu, akan dapat dipidananya pula perbuatan lain yang sama, namun tidak bersifat melawan hukum, ia berhak melakukan itu. Contoh konkret Pasal 362, jika tidak dicantumkan unsur melawan hukum dalam rumusan (maksu memiliki dengan melawan hukum) orang yang mengambil benda-benda di toko swalayan sebelum membayar di tempat kasir dapat dipidana pula, walaupun mengambil benda-benda itu tidak bersifat melawan hukum (materiil). Artinya jelas bahwa setiap unsur melawan hukum itu dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, sudah pasti ada perbuatan yang sama yang tidak bersifat melawan hukum, yang jika unsur melawan hukum itu tidak dicantumkan dalam rumusan, orang yang berhak melakukan perbuatan tadi akan dipidana pula. Hal ini tidak dikehendaki oleh pembuat undang-undang.

16

Sifat tercela ini dinyatakan dalam rumusan tindak pidana dengan pelbagai istilah

17

15

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit, h. 38.

16

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Op.Cit, h. 87.

17

Ibid, h. 89.


(22)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

a) dengan tegas menyebut melawan hukum (wederrechtelijk). Cara inilah yang paling sering digunakan oleh pembentuk undang-undang, misalnya 362, 368, 369, 372, 378;

b) dengan menyebut “tanpa hak atau tidak berhak” atau tanpa wenang (zonder

daartoe gerichtigd te zijn), misalnya Pasal: 548, 549c;

c) dengan menyebut “tanpa izin” (zonder verlof), misalnya pada Pasal 496, 510; d) dengan menyebut “melampaui kekuasaannya” (met overschrijding van zijne

bevoegdheid), misalnya pada Pasal 430;

e) dengan menyebut “tanpa memperhatikan cara yang ditentukan dalam

peraturan umum” (zonder inachtneming van de bij algemeene verordening bepaalde vormen) pada Pasal 429.

Unsur terakhir yaitu ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah inkonkrito orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan hal yang lain dari pengertian perbuatan tindak pidana.18

2. Tentang Pemalsuan Surat

Kejahatan pemalsuan surat pada umumnya adalah berupa pemalsuan surat dalam bentuk (bentuk standar) yang dimuat dalam Pasal 263, yang rumusannya adalah sebagai berikut:

18


(23)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.

Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Dalam Pasal 263 tersebut ada 2 kejahatan, masing-masing dirumuskan pada ayat 1 dan 2. Rumusan pada ayat (1) terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: unsur-unsur obyektif:

1) perbuatan: a) membuat palsu; b) memalsu; 2) obyeknya: yakni surat:

yang dapat menimbulkan suatu hak; yang menimbulkan suatu perikatan;

yang menimbulkansuatu pembebasan hutang;

yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal;

3) dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut.

unsur subyektif: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.


(24)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Sedangkan ayat (2) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a. unsur-unsur obyektif:

1) Perbuatan: memakai; 2) Obyeknya:

a) surat palsu;

b) surat yang dipalsukan;

3) Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian b. unsur subyektif: dengan sengaja

surat (geschrift) adalah suatu lembaran kertas yang diatasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka yang mengandung/berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apapun.19

a) membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat palsu yang demikian disebut dengan pemalsuan intelektual (intelectuele valschheid);

Membuat surat palsu (membuat palsu/valselijkopmaaken suatu surat) adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu ini dapat berupa:

b) membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut

19


(25)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

dengan pemalsuan materiil (materiele valschheid). Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat.20

Sedangkan perbuatan memalsu (vervalsen) surat adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan isi surat semula. Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar ataukah tidak atau bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, memalsu surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat surat.21

Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat palsu/membuat palsu surat, sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat, kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat palsu atau surat tidak asli. Tidak demikian dengan perbuatan memalsu surat, sebelum perbuatan ini dilakukan, sudah ada sebuah surat-disebut surat asli. Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuatan memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat yang dipalsu.22

20

Ibid.

21

Ibid, h. 100.

22


(26)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Unsur kesalahan dalam pemalsuan surat pada ayat (1) yakni dengan

maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat dipalsu itu seolah-olah isinya benar dan tidak palsu. Maksud yang demikian

sudah harus ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat akan memulai perbuatan itu. Pada unsur/kalimat “seolah-olah isinya benar dan tidak palsu” mengandung makna: (1) adanya orang-orang yang terpedaya dengan digunakannya surat-surat yang demikian, dan (2) surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang, orang mana adalah orang yang menganggap surat itu asli dan tidak dipalsu, yakni orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bias orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu.23

Unsur lain daripada pemalsuan surat dalam ayat (1), ialah jika pemakaian surat palsu atau surat dipalsu tersebut dapat menimbulkan kerugian. Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkan/dimaksudkan petindak. Dalam unsur ini terkandung pengertian bahwa: (1) pemakaian surat belum dilakukan. Hal ini ternyata dari adanya perkataan “jika” dalam kalimat/unsur itu, dan (2) karena penggunaan pemakaian surat belum dilakukan, maka dengan sendirinya kerugian itu belum ada. Hal ini ternyata juga dari adanya perkataan “dapat”.24

Oleh karena dipisahnya antara kejahatan membuat surat palsu dan memalsu surat dengan kejahatan memakai surat palsu atau surat dipalsu, maka terhadap hal yang demikian dapat terjadi pelanggaran ayat (1) dan pelanggaran ayat (2) dapat dilakukan oleh orang yang sama. Dalam hal yang demikian telah terjadi perbarengan perbuatan.

23

Ibid, h. 105.

24


(27)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

3. Tentang Pemberian Ijazah

Berdasarkan Pasal 61 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dapat disimpulkan bahwa ijazah adalah salah satu bentuk sertifikat selain sertifikat kompetensi yang diberikan kepada peserta didik25 sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan26 setelah ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan27 yang terakreditasi28

c) Diberikan kepada peserta didik .

Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk dapat diberikannya suatu ijazah yang sah menurut hukum harus dipenuhi unsur-unsur antara lain:

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa ijazah hanya dapat diberikan kepada peserta didik yang telah terdaftar pada suatu satuan pendidikan sehingga tidak boleh pemberian ijazah kepada yang bukan peserta didik.

25

Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu (Pasal 1 angka 4 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas).

26

Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdsarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan (Pasal 1 angka 8 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas).

27

Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (Pasal 1 angka 10 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas)

28

Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan (Pasal 1 angka 22 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas).


(28)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Dalam Bab V Pasal 12 Undang-undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, diatur mengenai hak dan kewajiban peserta didik yaitu antara lain:

1) Hak peserta didik:29

a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;

b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannnya;

c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;

d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;

e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara;

f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.

2) Kewajiban Peserta didik:30

a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan;

29

Pasal 12 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas.

30


(29)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

b. ikut menanggung biaya penyelengggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hal tersebut berlaku pula bagi warganegara asing yang menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d) Sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian

Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 14 disebutkan bahwa jenjang pendidikan formal terdiri atas: 1) pendidikan dasar;

2) pendidikan menengah; 3) pendidikan tinggi.

e) Diselengggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi

Dalam Pasal 53 Undang-undang Sisdiknas tersebut, disebutkan bahwa penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Jadi, satuan pendidikan yang dimaksudkan haruslah berbentuk badan hukum.

Kemudian dalam Bab XVII Pasal 62 UU Sisdiknas disebutkan mengenai syarat-syarat bagi setiap satuan pendidikan formal dan nonformal untuk memperoleh izin pendirian satuan pendidikan sehingga berhak menyelenggarakan program pendidikan dan memberikan ijazah, gelar akademik, profesi atau vokasi


(30)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

yaitu antara lain meliputi: isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi serta manajemen dan proses pendidikan.

Dalam hal pendirian satuan pendidikan berbentuk universitas, Dra. Hafni Oemry, Kepala bagian Administrasi Akreditasi dan Kelembagaan Kopertis Wilayah I Sumut-NAD31

1) mempunyai organisasi perguruan tinggi yang mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999;

, menjelaskan bahwa syarat pendirian universitas adalah sebagai berikut:

2) jumlah minimal untuk program studi pada universitas: mewakili 3 kelompok disiplin ilmu, 6 IPA dan 4 IPS;

3) mempunyai dosen tetap minimal: untuk jenjang S-1 minimal 2 orang (S-2) dan 4 orang (S-1) untuk setiap program studi;

4) dosen tetap yang mempunyai kualifikasi jenjang jabatan akademik 5) mempunyai laboratorium dasar;

6) mempunyai nisbah dosen 1:30 untuk bidang IPS dan 1:20 untuk bidang IPA; 7) mempunyai tenaga administrasi tetap untuk jenjang S-1 6 orang dengan

kualifikasi pendidik minimal 1 orang S-1 dan 2 orang diploma;

8) Mempunyai tenaga penunjang akademik tetap minimal 3 orang dengan kualifikasi pendidikan minimal diploma;

9) Mempunyai mahasiswa untuk universitas minimal 1000 orang; 10)Mempunyai ruang kuliah 0,5 m2 per mahasiswa;

31


(31)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

11)Mempunyai ruang dosen tetap 4 m2 per orang;

12)Mempunyai ruang administrasi/kantor 4 m2 per orang;

13)Mempunyai ruang perpustakaan 1 judul buku per mata kuliah dan berjumlah 10 % dari jumlah mahasiswa;

14)Kurikulum mengacu pada SK Mendiknas No. 232/U/2000 dan SK

045/U/2002.

F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur dan berkaitan dengan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak.

2. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan analitis (analytical approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti apakah kumpulan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang ada sudah cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada berkaitan dengan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak. Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep tentang tindak


(32)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

pidana memberikan ijazah tanpa hak, hingga diharapkan penormaan dalam aturan hukum, tidak lagi memungkinkan ada pemahaman yang ambigu dan kabur sehingga menjadi celah bagi pelaku tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak untuk menghindar dari jeratan hukum. Sedangkan pendekatan analitis dilakukan untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan hukum suatu kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak.

3. Bahan Hukum

a) Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hierarki mulai dari UUD 1945, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan aturan lain di bawah undang-undang yang masih berkaitan dengan pengaturan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak.

b) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus hukum, serta simposium yang dilakukan para pakar terkait dengan pembahasan tentang tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak.

c) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus huku m, ensiklopedia, dan lain-lain.


(33)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel dimaksud, penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapaun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.

Bab I (Pendahuluan) berisi uraian latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II menguraikan kritikan terhadap formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak yang ada dalam hukum positif di Indonesia yaitu dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang


(34)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

mengandung berbagai masalah, antara lain: masalah kualifikasi tindak pidana, subjek tindak pidana dan jenis sanksi.

Selanjutnya dalam Bab III, dibahas tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menanggulangi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak ini dengan menggunakan kebijakan criminal melalui pendekatan integral antara sarana penal dengan non penal.

Dalam Bab IV dibahas tentang analisa kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1932/Pid.B/2005/PN.Mdn untuk melihat dan menganalisa bagaimana keseriusan para penegak hukum khususnya di bidang peradilan dalam menangani kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak tersebut.

Akhirnya dalam Bab V dikemukakan rangkuman hasil penelitian dan analisis bab-bab terdahulu, sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai hal tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dan dapat merumuskan saran tindak yang diperlukan.


(35)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

BAB II

KRITISI FORMULASI TINDAK PIDANA MEMBERIKAN IJAZAH TANPA HAK DALAM UNDANG-UNDANG SISDIKNAS

Ketentuan hukum yang mengatur tentang tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak secara khusus adalah di dalam Ketentuan Pidana Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Ketentuan pidana dalam Undang-undang ini diatur dalam Bab XX mulai Pasal 67 sampai dengan Pasal 71. Adapun ketentuan yang berkaitan dengan tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak selengkapnya dikutip sebagai berikut:

Pasal 67:

(1) perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 68:

(1) setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun


(36)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 69:

(1) setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Dari perumusan di atas, dapat dilihat beberapa permasalahan-permasalahan dalam memformulasikan ketentuan hukum terhadap tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak tersebut yang patut dikritisi karena berpotensi memberi celah hukum kepada pelaku tindak pidana yang ingin lepas dari jerat hukum.


(37)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

A. Masalah Kualifikasi Tindak Pidana

Sangat disayangkan, penegasan kualifikasi tindak pidana sebagai kejahatan atau pelanggaran tidak dirumuskan dalam Ketentuan Pidana Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini bisa menimbulkan masalah, karena perundang-undangan pidana diluar KUHP tetap terikat pada aturan umum KUHP mengenai akibat-akibat yuridis dari pembedaan antara “kejahatan” dan “pelanggaran”.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, kata-kata “kejahatan” dan “pelanggaran” kini merupakan istilah-istilah sebagai terjemahan dari istilah-istilah misdrijf dan

overtreding dalam Bahasa Belanda. Misdrijf atau kejahatan berarti suatu

perbuatan yang tercela dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain daripada “perbuatan melanggar hukum”. Overtredingen atau pelanggaran berarti suatu perbuatan yang melanggar sesuatu, dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain daripada “perbuatan melanggar hukum”. Jadi, sebenarnya arti kata dari kedua istilah itu sama, maka dari arti kata tidak dapat dilihat perbedaan antara kedua golongan tindak pidana ini.32

Membedakan “kejahatan” dan “pelanggaran” penting artinya karena di dalam Buku I KUHP terdapat peraturan yang hanya berlaku terhadap kejahatan dan tidak pada pelanggaran. Kegunaan pembedaan kejahatan terhadap pelanggaran, kita temukan dalam sistematika KUHP yang merupakan “buku

32


(38)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

induk” bagi semua perundang-undangan hukum pidana, karena dikaitkan dengan akibat hukum yang penting dan tertentu sebagai berikut:

1) Dalam Bab I Buku I KUHP Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 tentang berlakunya aturan pidana dalam undang-undang menurut tempat, tidak selalu mengenai tindak pidana saja tetapi adakalanya hanya mengenai kejahatan tertentu saja (Pasal 5);

2) Dalam Bab II Buku I KUHP yang mengatur tentang pidana diperbedakan antara lain:

a) Masa percobaan pemidanaan , bagi kejahatan lebih lama daripada bagi pelanggaran pada umumnya (Pasal 14 b);

b) Pelepasan bersyarat hanya berlaku untuk kejahatan (pidana penjara) (Pasal 15);

c) Pencabutan hak-hak tertentu hanya boleh dijatuhkan pada kejahatan tertentu (Pasal 36, 37);

d) Pada umumnya ancaman bagi kejahatan lebih berat dibandingkan bagi pelanggaran.

3) Dalam Bab III Buku I KUHP, ditentukan bahwa:

a) Putusan hakim untuk menyerahkan seorang anak yang belum cukup umur kepada pemerintah, hanya jika anak itu telah melakukan ulang suatu kejahatan atau pelanggaran tertentu (Pasal 45);

b) Adanya pemberatan pidana karena melakukan suatu kejahatan dengan menggunakan bendera kebangsaan R.I (Pasal 52 a).


(39)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

a) Percobaan melakukan kejahatan dipidana (Pasal 53);

b) Percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana (Pasal 54). 5) Dalam Bab V Buku I, antara lain:

a) membantu untuk melakukan suatu kejahatan dipidana, tetapi untuk pelanggaran tidak (Pasal 56, 60);

b) “Omkering van Bewijslast” bagi pengurus-pengurus dan sebagainya,

hanya berlaku untuk pelanggar(an) (Pasal 59). 6) Dalam Bab VI Buku I, antara lain:

a) Untuk pemidanaan beberapa kejahatan sekaligus, umumnya digunakan

absortie-stelsel (stelsel penyeraban).

b) Untuk pemidanaan beberapa pelanggaran sekaligus, umumnya digunakan

comulatie-stelsel (stelsel penjumlahan).

7) Dalam Bab VII Buku I, antara lain:

“pengaduan” hanya diatur untuk beberapa kejahatan tertentu saja, sedangkan seseorang yang melakukan suatu pelanggaran, selalu dapat dituntut tanpa adanya pengaduan.

8) Dalam Bab VIII Buku I antara lain:

a) Daluwarsa (penuntutan pidana atau penjalanan pidana) pada kejahatan umumnya lebih lama waktunya dibandingkan dengan pelanggaran;

b) Hanya pada pelanggaran saja ada kemungkinan penyelesaian di luar acara pidana dengan pembayaran maksimum denda dengan sukarela.


(40)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

a) Pembantuan dan percobaan untuk melakukan kejahatan termasuk dalam arti kejahatan. Pembantuan/percobaan untuk melakukan pelanggaran, tidak diatur seperti itu;

b) Permufakatan (samenspanning) hanya untuk melakukan kejahatan. 10)Recidive:

a) Recidive untuk kejahatan tertentu diatur dalam pasal-pasal: 486,487, dan 488.

b) Recidive untuk pelanggaran diatur dalam pasal-pasal yang bersangkutan (489, 492, 495, 501, 517, 530, 536, 540, 541, 542, 544, 545, dan 549). 11)Kesalahan (schuld)

Pada kejahatan selalu ditentukan, atau dapat disimpulkan adanya salah satu bentuk kesalahan, sedangkan pada pelanggaran tidak.

12)Kualifikasi

Hanya dalam kejahatan dikenal adanya kejahatan ringan (pasal-pasal: 302 (1), 352 (1), 364, 379, 384, 407 (1), 482 dan 315 KUHP), sedangkan dalam pelanggaran tidak dikenal.

Berdasarkan riwayat pembentukan KUHP di Nederland dapat diketahui bahwa yang dipakai sebagai dasar untuk membedakan kejahatan dan pelanggaran adalah dari perbedaan antara “rechtsdelicten” dan “wetsdelicten”. Rechtsdelicten merupakan perbuatan yang dianggap sebagai bertentangan dengan perikeadilan atau nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Kalau seandainya perbuatan ini tidak diatur dalam undang-undang dan tidak dikenakan sanksi pidana, maka perbuatan tersebut dalam pandangan masyarakat tetap dianggap sebagai perbuatan yang


(41)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan patut dilarang. Misalnya: membunuh, menipu, mencuri dan sebagainya.

Sedangkan wetsdelicten diartikan sebagai perbuatan yang dilarang dengan hukuman berdasarkan perumusannya dalam undang-undang. Perbuatan ini jika tidak dilarang dengan tegas dalam undang-undang, maka tidak dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan yang salah dan patut dihukum. Misalnya: pelanggaran lalu lintas.

Penetapan kualifikasi tindak pidana sebagai “kejahatan” merupakan “penetapan kualifikasi yuridis” yang mempunyai akibat/konsekuensi yuridis, baik dalam arti konsekuensi yuridis materiel (yaitu terikat pada aturan umum dalam KUHP) maupun konsekuensi yuridis formal (dalam KUHAP), sepanjang tidak ditentukan lain oleh Undang-undang. Penetapan kualifikasi yuridis ini diperlukan untuk “menjembatani” berlakunya aturan umum KUHP terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam UU di luar KUHP. Jadi, identik dengan penetapan kualifkasi yuridis terhadap suatu perbuatan sebagai “Tindak Pidana Ekonomi” atau sebagai “Tindak Pidana Korupsi” yang juga mempunyai akibat yuridis, yaitu:

13)apabila UU di luar UU Tindak Pidana Ekonomi (UU Nomor 7 Drt. 1955) menyebut/menyatakan, bahwa suatu delik adalah “Tindak Pidana Ekonomi”, maka berlakulah ketentuan-ketentuan dalam UU Tindak Pidana Ekonomi itu (lihat Pasal 1 sub 3c UU No. 7 Drt. 1955);

14)apabila UU diluar UU Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999)


(42)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

maka berlakulah ketentuan dalam UU Korupsi itu (lihat Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999).33

Demikian pulalah dengan ketentuan KUHP. Karena aturan umum KUHP membedakan antara “aturan umum untuk kejahatan” dan “aturan umum untuk pelanggaran”, maka apabila aturan umum KUHP itu akan juga diberlakukan terhadap UU di luar KUHP (berdasarkan Pasal 103), maka UU di luar KUHP itu juga harus menyebut kualifikasi yang jelas dari tindak pidana yang diaturnya, apakah merupakan “kejahatan” atau “pelanggaran”.

B. Masalah Subjek Tindak Pidana

Memperhatikan perumusan tindak pidana dalam Pasal 67, 68 dan 69 yang diuraikan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa yang dapat menjadi subjek tindak pidana tidak hanya “orang” secara pribadi, namun juga organisasi dan penyelenggara pendidikan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subjek tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dapat juga berupa korporasi, walaupun tidak secara eksplisit disebutkan dalam perumusan tindak pidana.

Apabila diperhatikan perumusan tindak pidana dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 71, maka subjek tindak pidana berupa korporasi hanya ditujukan untuk tindak pidana yang secara tegas menyebutkan bahwa pelakunya adalah “organisasi atau penyelenggara pendidikan. Jadi, korporasi yang dapat menjadi subjek tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak bukanlah semua korporasi,

33

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum & dan Kebijakan Penanggulangan


(43)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

melainkan hanya “korporasi yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak.

Sekiranya organisasi atau penyelenggara pendidikan itu adalah korporasi, menjadi masalah siapakah yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana/sanksi, karena di dalam UU Sisdiknas ini tidak ada ketentuan umum mengenai pertanggungjawaban korporasi/badan hukum” seperti misalnya diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU NO. 7/Drt. Tahun 1955 (Tindak Pidana Ekonomi), Pasal 25 ayat (1) UU No. 32 Tahun 1964 (Lalu Lintas Devisa), Pasal 39 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1989 (Telekomunikasi), Pasal 35 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1982 (Wajib Daftar Perusahaan), Pasal 46 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 (Perbankan), Pasal 46 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 (Lingkungan Hidup) dan Pasal 20 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 (Tindak Pidana Korupsi).34

1) Badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau yayasan;

Seharusnya dimuat suatu ketentuan dalam Ketentuan Pidana UU Sisdiknas ini bahwa tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dapat dilakukan oleh orang perorangan atau oleh korporasi. Dimana pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada:

2) Mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana; atau

3) Kedua-duanya.35

34

Ibid, h. 240.

35

Sebagaimana dimuat dalam Lampiran Undang-Undang No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada Bab I, Bagian C.3 tentang Ketentuan Pidana


(44)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

C. Jenis Sanksi

Dalam Ketentuan Pidana UU Sisdiknas hanya digunakan 1 (satu) jenis sanksi, yaitu sanksi pidana pokok berupa pidana penjara dan denda, tidak ada tindak pidana yang diancam dengan pidana kurungan. Tidak adanya pidana kurungan ini mungkin disebabkan semua tindak pidana menurut UU Sisdiknas dikualifikasikan sebagai “kejahatan”. Namun patut dicatat, bahwa menurut pola yang dianut selama ini (di dalam/di luar KUHP) bisa saja suatu kejahatan diancam dengan pidana kurungan.

Perumusan ancaman pidana dalam UU tersebut menganut sistem perumusan kumulatif-alternatif. Hal ini tentu saja bermanfaat demi memberi keleluasan kepada hakim untuk memilih pidana apa yang cocok. Selain itu akan bersifat “applicable” apabila hakim akan menjatuhkan pidana kepada pelaku sebagai korporasi/badan hukum.

Sekiranya korporasi juga dapat dipertanggungjawabkan, seyogianya juga ada jenis sanksi spesifik berupa “tindakan” antara lain pencabutan izin usaha, pemberian ganti rugi dan sebagainya. Adanya sanksi berupa “tindakan” (“maatregel/treatment”) ini, dimungkinkan menurut Pasal 21 ayat (5) UU Sisdiknas ini yang menyebutnya dengan istilah “sanksi administratif” berupa penutupan penyelengaraan pendidikan.

Namun, sanksi administratif diatas menurut UU Sisdiknas tidak diintegrasikan ke dalam sistem pertanggungjawaban pidana. Artinya sanksi itu tidak dijadikan sebagai salah satu bentuk sanksi/pertanggungjawaban pidana


(45)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

(misal disebut sebagai “tindakan” atau “pidana administratif”), sehingga tidak dapat diterapkan oleh hakim, sekiranya pelanggaran terhadap ketentuan UU Sisdiknas itu dijadikan sebagai perkara pidana. Melainkan menurut UU tersebut pada Pasal 62 ayat (3) mengenai sanksi adminstratif berupa penutupan/pencabutan izin usaha hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.

Kekurangan lainnya adalah tidak adanya ketentuan khusus mengenai aturan pidana pengganti denda apabila denda tidak dibayar oleh korporasi. Hal ini dapat menimbulkan masalah karena ketentuan pelaksanaan pidana denda dalam Pasal 30 KUHP (yaitu apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan pengganti selama enam bulan) tidak dapat diterapkan untuk korporasi.


(46)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

BAB III

UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MEMBERIKAN IJAZAH TANPA HAK

Upaya dalam rangka menanggulangi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak termasuk bidang “kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan.

Kebijakan kriminal sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (law

enforcement policy) harus mampu menempatkan setiap komponen sistem hukum

dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau partisipasi yang aktif dalam penanggulangan kejahatan.

Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial” (social policy) yang terdiri dari “kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial” (social-welfare policy) dan “kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat” (social-defence policy).36

Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan (a rational total of the responses to crime). Kebijakan ini termasuk

36


(47)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dapat dianggap sebagai kejahatan (criminal policy of designating human behaviour as crime).

Dengan demikian sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal

policy/politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum

pidana) maka “kebijakan hukum pidana” (penal policy) khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social defence”. Aspek “social welfare” dan “social defence” yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat immateriel, terutama nilai kepercayaan, kebenaran/kejujuran/keadilan.37

A. Sarana Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan menurut Hoefnagels dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and

punishment by mass media).

Dengan demikian kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral, ada keseimbangan sarana “penal” dan “non penal”.

37


(48)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa Belanda “politiek”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan melalui sarana penal biasa disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum.

Hubungan antara politik dan hukum, Mahfud M.D. menjelaskan bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Dengan asumsi yang demikian itu, Mahfud merumuskan politik huku sebagai kebijakan hukm yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencaakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang adal dibelakang perbuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperaatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi-materi dan pasal-pasal maupun dalam implementasi dan penegakannnya.38

38


(49)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Menurut M. Solly Lubis, politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.39

Dengan dasar itu, Sudarto mengatakan politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menerapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.40

Jika demikian halnya, maka menurut Sudarto, melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pasa suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.41

Pandangan Sudarto di atas, sejalan dengan Marc Ancel, menurutnya in

modern science has primery three essencial componens: criminology, criminal law, and penal policy. Criminology, mempelajari kejahatan dalam semua aspek.

Selanjutnya, Criminal law menjelaskan dan menerapkan peraturan-peraturan positif atas reaksi masyarakat terhadap fenomena kejahatan. Penal policy baik sebagai ilmu maupun seni mempunyai tujuan praktis, utamanya untuk memungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan lebih baik dan menjadi petunjuk tidak hanya kepada legislator yang merancang peraturan perundang-perundangan pidana, tetapi juga pengadilan di mana peraturan-peratuan itu

39

Ibid.

40

Ibid.

41


(50)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

diterapkan dan penyelenggarakan pemasyarakatan (prison administration) yang memberi pengaruh praktis terhadap putusan pengadilan.42

1) formulasi (kebijakan legislatif);

Dengan demikian, penal policy atau politik/kebijakan hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif).

Upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal

policy” atau “penal law enforcement policy” yang

fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap:

2) aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial); 3) eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).43

Tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana. Tahap formulasi atau kebijakan legislatif tersebut menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi atau operasioanalisasi hukum pidana berikutnya.44

Dengan adanya tahap “formulasi” maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya pencegahan dan

42

Ibid, h. 16

43

Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h. 75.

44


(51)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

penanggulangan melalui “penal policy”. Oleh karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.45

Pada dasarnya, terdapat 2 (dua) masalah sentral yang perlu diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya dalam tahap formulasi, yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.46

Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat dengan masalah “kriminalisasi” yaitu “proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana.47

Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat, dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut maslah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut:48

1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan

nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

45

Barda Nawawi Arief, Loc.Cit

46

Teguh Prasetyo, Op. Cit, h. 22

47

Ibid, h. 23

48


(52)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,: yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spritual) atas warga masyarakat;

3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle);

4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari bahan-bahan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).49

Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada Agustus 1980 di Semarang. Dalam salah satu laporannya dinyatakan bahwa masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminil yang dianut oleh bangsa Indonesa, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.50

Masalah penentuan sanksi apa yang dikenakan kepada pelanggar, harus memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Ted Honderich sebagaimana yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, berpendapat bahwa suatu pidana dapat

49

Ibid, h. 24

50


(53)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis (economical deterrents) apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) pidana itu sungguh-sungguh mencegah;

2) pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih

berbahaya/merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan;

3) tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan

bahaya/kerugian yang lebih kecil.51

Menurut Bassiouni sebagaimana yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, tujuan-tujuan yang ingi dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi, yaitu antara lain:

1) Pemeliharaan tertib masyarakat;

2) Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;

3) Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para penegak hukum;

4) Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.52

Pendekatan humanistik diatas menuntut pula diperhatikannya ide individualisasi pidana dalam kebijakan hukum pidana yang antara lain mengandung beberapa karakteristik sebagai berikut:

51

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1996, h. 38.

52


(1)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

mengurungkan niatnya, menjadi malah terpacu untuk melakukan tindak pidana yang sama, karena seandainya pun ketahuan dan diadili oleh majelis hakim dengan tipe yang sama, maka akan dipidana dengan pidana penjara singkat (enam bulan, itupun tidak perlu dijalani karena adanya masa percobaan sepuluh bulan). Juga pidana denda yang tidak lebih besar dari keuntungan yang didapat dari tindak pidana (dimana keuntungan tersebut berupa uang panjar yang tidak disita).

Berkaitan dengan pidana denda ini, Utrecht sebagaimana yang dikutip M. Hamdan, mengemukakan bahwa: “ilmu hukum pidana modern telah berpendapat bahwa dalam hal-hal tertentu satu pidana denda yang berat adalah lebih baik dan lebih bermanfaat daripada satu hukuman penjara jangka pendek atau satu hukuman kurungan jangka pendek (Utrecht dengan mengutip pendapat Jonkers).66

Dalam putusan ini pula, dapat dilihat dan dirasakan betapa perlunya ada sanksi administratif, berupa penutupan penyelenggaraan/operasional lembaga pendidikan seperti Universitas Generasi Muda Medan. Dimana dalam kasus ini berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan bahwa tindak pidana bukan hanya diakibatkan karena terdakwa memberikan ijazah kepada orang yang tidak berhak (karena tidak mengikuti perkuliahan, dsb). Tetapi juga karena lembaga pendidikan yang memberikan ijazah tersebut tidak mempunyai izin Dari pendapat ini, penulis berasumsi dalam kaitannya dengan kasus ini, walaupun pidana penjara dirasakan kurang efektif untuk memperbaiki dan memberi efek jera pada pelaku, sebaiknya dapat dialihkan dengan memberi pidana denda yang berat namun masih rasional.

66


(2)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

penyelenggaraan pendidikan. Jadi sebagai suatu korporasi, lembaga pendidikan tersebut atau yang sejenis dapat dibebani pertanggungjawaban demikian.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

B. Kesimpulan

Dari berbagai permasalahan yang telah dibahas dalam skripsi ini, maka Penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam peraturan hukum positif di Indonesia yaitu dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengandung berbagai ketidakcermatan perumusan antara lain dengan tidak dimuatnya kualifikasi tindak pidana dalam UU Sisdiknas tersebut sebagai “kejahatan” atau “pelanggaran” yang mana perumusan kualifikasi tersebut diperlukan sehubungan dengan akibat hukum yang ditimbulkannya. Selain itu pula terdapat permasalahan dalam penentuan subjek tindak pidana korporasi, dimana dalam UU tersebut disebut sebagai badan hukum penyelenggara pendidikan namun tidak dimuat tentang pertanggungjawaban pidananya. Selain itu berkaitan pula dengan jenis sanksi pidana yang dapat diterapkan kepada korporasi tersebut, yang juga tidak diatur.

2. Dalam upaya menanggulangi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak ini diperlukan suatu pendekatan integral kebijakan kriminal. Ada keseimbangan antara sarana penal dan non penal. Kebutuhan pendekatan integral antara


(3)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

kedua sarana tersebut disadari urgensinya karena adanya fakta bahwa kebijakan melalui sarana penal semata tidak atau sedikit pengaruhnya terhadap tingkat kejahatan.

3. Kasus tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak sebagaimana yang terdapat pada Putusan PN Medan Reg. No. 1932/Pid.B/2005/PN.Mdn. merupakan suatu contoh bagaimana perlunya ada perbaikan formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam peraturan hukum pidana positif di Indonesia. Hal mana dirasakan perlu mengingat dalam putusan ini, tidak dapat dijeratnya korporasi sebagai subjek tindak pidana, melainkan hanya pengurus yang dalam hal ini Rektor UGM Medan. Itupun sebagai perseorangan, bukan sebagai wakil dari korporasinya. Selain itu pula dengan meninjau putusan ini, dapat dirasakan semakin pentingnya ada pengaturan mengenai pidana minimal bagi pelaku tindak pidana ini. Hal mana sebagai pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan putusan.

C. Saran

1. Perbaikan formulasi tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dalam peraturan hukum positif di Indonesia amatlah diperlukan. Perbaikan oleh lembaga legislatif (DPR) ini dapat dilakukan baik dengan mengadakan perubahan terhadap ketentuan pidana Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ataupun dengan mengeluarkan undang-undang khusus tentang tindak pidana pemalsuan ijazah atau sejenisnya.


(4)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

2. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama secara aktif mengupayakan koordinasi bersama dengan peran pemerintah membuat kebijakan yang sifatnya pencegahan sebelum terjadinya tindak pidana memberikan ijazah tanpa hak dan masyarakat mengawasi dan turut melaksanakan kebijakan tersebut. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan mengadakan seminar-seminar, sosialisasi dan penyuluhan hukum, perluasan lapangan kerja, dan pengawasan terhadap lembaga-lembaga pendidikan melalui pengaktifan secara optimal Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) secara berkelanjutan, baik mengenai kualitas pendidikan maupun izin penyelenggaraan pendidikan.

3. perlu ada perbaikan dalam perekrutan penegak hukum, khususnya dalam dunia peradilan. Perekrutan jaksa dan hakim misalnya. Orang-orang yang direkrut pada posisi tersebut haruslah orang-orang yang berkualitas baik intelegensianya maupun akhlak dan moralnya. Sehingga dengan sendirinya pada pribadi penegak hukum tersebut ada keinginan dan kerinduan untuk menegakkan hukum setegak-tegaknya. Sehingga tujuan hukum yakni ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum dapat tercapai.


(5)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti.

---. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum

Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

---. 2001. Masalah Penegakan Hukum & dan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Arrasjid, Chainur. 2000. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika.

Chazawi, Adami. 2001. Kejahatan Terhadap Pemalsuan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

---. 2005. Pelajaran Hukum Pidana: Bagian 1. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Dwikora, Putu Winata. 2003. Peradilan Dagelan. Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW).

Hamdan, M. 1997. Politik Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Harahap, M. Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Ibrahim, Jhonny. 2005. Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing.


(6)

Khairu Rizki : Analisa Kasustindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Mulyadi, Mahmud. 2007. Politik Hukum Pidana: Bahan Kuliah. Tanpa Tempat dan Penerbit.

Prasetyo, Teguh dan Barkatullah, Abdul Halim. 2005. Politik Hukum Pidana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-asas Hukum Pidana. Bandung: Refika Aditama.

Perundang-undangan:

Undang-undang No. 1 Tahun 1946 (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Internet:

Tjipta Lesmana, Dugaan Ijazah Palsu Paskah Suzetta, <http;//www.sinarharapan.co.id/berita/0512/19/opi01.html>, (25-03-2008, 11.20 WIB)


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Medepleger Yang Dinyatakan Bersalah Tanpa Di Pidananya Pleger Dalam Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Tinjauan Yuridis Putusan PN NO: 2442/PID.B/2011/PN-MDN)

3 118 106

Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perbankan (Studi Putusan PN Jakarta Selatan No: 2068/Pid. B/2005/Pn.Jak.Sel)

1 57 168

Analisis Hukum Terhadap Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan No. Reg. 1576/Pid. B/2010/PN. Medan)

4 52 110

Analisis Yuridis Atas Perbuatan Notaris Yang Menimbulkan Delik-Delik Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan NO. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

0 60 119

Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007)

1 72 106

Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai)

1 52 120

Analisa Kasus Tindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak (Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN)

4 52 94

Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah (Studi Putusan Hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK)

0 4 71

Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan Yang Melakukan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor 275 K/ Pid.Sus/ 2012 Tentang Yayasan Uisu)

0 0 9

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9