Hakwaris Janda Dalam Perkawinan Yang Tidak Memiliki Keturunan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara 73k Ag 2015)

29

BAB II
KEDUDUKAN JANDA TANPA KETURUNAN
DALAM KEWARISAN ISLAM

A. Hubungan Ahli Waris Dengan Pewaris
Hukum waris adalah segala peraturan hukum yang mengatur tentang
beralihnya harta warisan dari pewaris karena kematian kepada ahli waris atau orang
yang ditunjuk.54 Subekti dan Tjitrosoedibio mengatakan bahwa waris adalah hukum
yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan dari seorang
yang meninggal.55
Pengertian waris timbul karena adanya peristiwa kematian yang terjadi pada
seorang anggota keluarga yang memiliki harta kekayaan. Yang menjadi pokok
persoalan bukanlah mengenai peristiwa kematian itu, melainkan harta kekayaan yang
ditinggalkan. Artinya siapakah yang berhak atas harta kekayaan yang ditinggalkan
oleh almarhum tersebut. Dengan demikian bahwa waris disatu sisi berakar pada
keluarga dan di sisi lain berakar pada harta kekayaan. Berakar pada keluarga karena
menyangkut siapa yang menjadi ahli waris, dan berakar pada harta kekayaan karena
menyangkut


hak

waris

atas

harta

kekayaan

yang

ditinggalkan

oleh

pewaris/almarhum.
Hukum kewarisan Islam sering dikenal dengan istilah faraidh. Hal ini karena
dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan


54
55

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, (Bandung: 1990), hal.267
R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2005), hal. 56

29

Universitas Sumatera Utara

30

dalam Al Qur’an. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar, karena
pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan. 56
Hukum kewarisan menurut fiqh mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan
pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui
bagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan
untuk setiap yang berhak menerimanya.57
Pengertian hukum kewarisan menurut Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum
Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta

peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris
dan berapa bagiannya masing-masing. Dalam konteks yang lebih umum, warisan
dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya yang masih hidup.58
Mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal dalam
hubungan hukum harta kekayannya. Hubungan-hubungan hukum yang lain, misalnya
hubungan hukum dalam hukum keluarga.59 Dalam redaksi yang lain, Hasby AshShiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapasiapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris
dan cara-cara pembagiannya. Berbeda dengan dua definisi di atas, Wirjono

56

Ahmad Rofiq , Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995),

hal.355.
57
http://edon79.wordpress.com/2009/07/10/fiqh-mawaris/, di unduh pada tanggal 29
Desember 2015.
58
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta : PT Raja GrafindoPersada, 2002), hal.4.
59

R Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, (Surabaya: Airlangga University
Press, 2000), hal.3.

Universitas Sumatera Utara

31

Prodjodikoro menjelaskan, warisan adalah soal apa dan bagaimana berbagai hak-hak
dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan
beralih kepada orang lain yang masih hidup.60
Waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka, yaitu harta benda dan hak yang
ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak
menerimanya. Pembagian itu lazim disebut Faraidh, artinya menurut syara’ ialah
pembagian pusaka bagi yang berhak menerimanya.61
Adapun yang menjadi dasar pelaksanaan pembagian harta warisan dalam
hukum Islam adalah berpedoman pada ayat-ayat Al Qur’an berikut ini, yaitu :
a. Surat An-Nisa’ ayat 7, yang artinya :
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu
bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah

ditetapkan.”62
b. Surat An-nisa’ ayat 8, yang artinya :
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang
miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang baik.”63
c. Surat An-Nisa’ ayat 11, yang artinya :
60

Ahmad Rofiq , Hukum Islam di Indonesia, Op.Cit., hal.355.
Moh Rifai, Ilmu Fiqih Islam, (Semarang: CV Toha Putra,1978), hal.513.
62
Joko Utama, Muhammad Faridh, Mashadi, Al-Qur’an Al Karim dan Terjemahnya,
(Semarang: CV. Putra Toha Semarang), hal.62.
63
Ibid.
61

Universitas Sumatera Utara

32


“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan
untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan
yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia
memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu bapak,
bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang
meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai
anak dan dia diwarisi oleh kedua ibubapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah
(dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya.
(Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetpan
Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha bijaksana.”64
d. Surat An-Nisa’ ayat 12, yang artinya
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteriisterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah

dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak,
maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutanghutangmu. Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah, dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja), atau saudara perempuan (seibu saja), maka
bagian masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benarbenar dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”65
e. Surat An-Nisa’ ayat 33
“Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan
para ahli waris atas apa yang telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Dan
64
65

Ibid.
Ibid.


Universitas Sumatera Utara

33

orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka
berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan
segala sesuatu.”66
f. Surat An-Nisa’ ayat 176, yang artinya :
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : “Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : Jika seseorang meningal
dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkanya dan saudara-saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh
harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara
laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”67

g. Surat Al-Baqarah ayat 180, yang artinya :
“Diwajibkan atas kamu apabila sesorang di antara kamu kedatangan (tandatanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu
bapak dan karib kerabatnya secara makruf (ini adalah) kewajiban atas orangorang bertakwa.”68
h. Surat Al-Baqarah ayat 240, yang artinya :
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk ister-isterinya (yaitu) diberi nafkah hingga
setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi
jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris
dari yang meninggal) membiarkan mereka membuat yang makruf terhadap
diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”69

66

Ibid., hal.66.
Ibid., hal.84.
68
Ibid., hal.21
69
Ibid., hal 31.
67


Universitas Sumatera Utara

34

i. Surat Al-Azhab ayat 4, yang artinya :
“Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan Dia tidak menjadikan isteri-isteri yang kamu zhihar itu
sebagai ibu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu
saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan
(yang benar).”70
Masalah-masalah yang menyangkut warisan ada yang sudah dijelaskan
permasalahannya dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret,
sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma’
(konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Selain dari itu masih banyak masalah
warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan.71 Dan dasar hukum pelaksanaan
pembagian warisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu terdapat dalam
Pasal 171-193 KHI.
1.


Sebab Terjadinya Hubungan Waris Dalam Hukum Islam
Pewarisan adalah peralihan hak waris dari pewaris kepada ahli waris yang

masih hidup, sedangkan pewarisan tersebut baru bisa terjadi jika ada sebab-sebab
yang mengikat antara pewaris dan ahli warisnya. Adapun seseorang yang berhak
mendapat waris berdasarkan salah satu sebab sebagai berikut:72
a. Kekerabatan
Kekerabatan adalah hubungan nasab antara pewaris dengan orang yang akan
menerima warisan karena adanya pertalian darah, waris karena hubungan nasab ini
mencakup:
70

Ibid., hal 334.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), hal.535.
72
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau,
(Jakarta: Gunung Agung, 1984),hal. 28-41
71

Universitas Sumatera Utara

35

1) Anak, cucu baik laki-laki maupun perempuan (furu’i)
2) Ayah, kakek, ibu (usuly)
3) Saudara laki-laki atau perempuan, paman dan anak laki-laki paman, bibi
(hawasy)
b. Perkawinan
Perkawinan menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara
suami dan istri, apabila di antara keduanya ada yang meninggal dunia, maka istri atau
jandanya mewarisi harta suaminya. Demikian juga jika istri meninggal dunia, maka
suami mewarisi harta istrinya.73
c. Wala’
Wala’ yaitu hubungan hukmiyah, yaitu suatu hubungan yang ditetapkan oleh
Hukum Islam, karena tuannya telah memberikan kenikmatan untuk hidup merdeka
dan mengembalikan hak asasi kemanusiaan kepada budaknya. Tegasnya, jika seorang
tuan telah memerdekakan budaknya, maka terjadilah hubungan kekeluargaan yang di
sebut wala’ itqi.74 Dengan adanya hubungan tersebut, seorang tuan menjadi ahli waris
dari budak yang dimerdekakannya itu, dengan syarat budak yang bersangkutan itu
tidak mempunyai ahli waris sama sekali, baik karena hubungan kekerabatan maupun
karena perkawinan.75 Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya
(budak) adalah 1/6 (seperenam) dari harta peninggalan.76

73

Rachmad Bodiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bahkti, 1999),hal. 8.
74
Muhammad Ali as-shabuni, Hukum Waris Dalam Syariat Islam, (Bandung: Diponegoro,
1988), hal. 47.
75
Ibid, hal. 47.
76
Rofiq Ahmad, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002). hal. 37

Universitas Sumatera Utara

36

Oleh syari’at Islam, wala’ digunakan untuk memberikan pengertian:
a. Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak
emansipasi) kepada hamba sahaya.
b. Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong
menolong dan sumpah setia antara seorang dengan seorang yang lain.77
Pada masyarakat sekarang , sebab mewarisi karena wala’ tersebut sudah
kehilangan makna, dilihat dari segi praktis secara umum pada masa sekarang ,
perbudakan sudah tidak ada lagi. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam pasal 174 ayat
1 hanya membedakan dua sebab, yakni karena hubungan darah atau hubungan
perkawinan.78
Dalam Kompilasi Hukum Islam, hubungan pewaris dengan pewaris diatur
dalam Pasal 174 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Adapun isi lengkap Pasal 174
Kompilasi Hukum Islam itu menegaskan sebagai berikut :
a. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
1) Menurut hubungan darah ;
a) golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman dan kakek.
b) golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek.
2) Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
77

Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris untuk UIN, STAIN, dan PTAIS, (Bandung: Pustaka
Setia, 2006, cet. III), hal. 22.
78
Rachmad Bodiono, Op.Cit.

Universitas Sumatera Utara

37

b. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya:
anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Yang membedakan dengan ilmu faraidh adalah dalam KHI terdapat ahli waris
pengganti yang terdapat dalam Pasal 185 tentang ahli waris pengganti dirumuskan
sebagai berikut;
1. Ahli

waris

yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris

maka

kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut
dalam pasal 173.
2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.
Pasal ini memerlukan perhatian karena dalam anak pasal 1 secara tersurat
mengakui ahli waris pengganti. Adalah bijaksana pasal ini menggunakan kata dapat
yang tidak mengandung maksud imperative. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan
tertentu yang kemaslahatan menghendaki keberadaan ahli waris pengganti dapat
diaku. Namun, dalam keadaan tertentu bila keadaan menghendaki, tidak diberlakukan
adanya ahli waris pengganti.
Anak pasal 2 menghilangkan kejanggalan penerimaan adanya ahli waris
pengganti dengan tetap menganut asas perimbangan laki-laki dan perempuan.
2.

Syarat-syarat Kewarisan
a. Meninggal dunianya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggal dunia di sini ialah baik meninggal dunia
hakiki (sejati), meninggal dunia hukmi (menurut Putusan Hakim) dan

Universitas Sumatera Utara

38

meninggal dunia taqdiri (menurut dugaan).79 Tanpa ada kepastian, bahwa
pewaris meninggal dunia, warisan tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli
waris.
b. Hidupnya ahli waris
Hidupnya ahli waris harus jelas, pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli
waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh
pewaris. Perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh
karena itu, sesudah pewaris meninggal dunia, ahli warisnya harus benarbenar
hidup.
c. Mengetahui status kewarisan agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang
meninggal dunia, haruslah jelas hubungan antara keduanya. Misalnya,
hubungan suami-isteri, hubungan orang tua-anak dan hubungan saudara, baik
sekandung, sebapak maupun seibu.
3.

Halangan Mewaris
Tidak semua ahli waris mendapatkan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si

mati. Ada beberapa hal yang meghalangi seseorang ahli waris untuk mendapatkan
harta warisan. Halangan tersebut adalah :80
a. Pembunuhan
Para ulama Fiqih sepakat, bahwa pembunuhan tidak bisa menerima warisan
mulai dari masa tabi’in sampai pada masa mujtahid, hal ini berdasarkan orang
79

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademiko Pressindo,
1992), hal. 79
80
Ahmad Rofiq, Op.Cit,hal 33-34.

Universitas Sumatera Utara

39

yang membunuh sesamanya, berarti ia telah berbuat dosa, dan dosa tidak bisa
dijadikan alasan atau sebab menerima warisan. Mereka berlandaskan pada
sabda Nabi Muhammad :
Artinya: “barang siapa membnuh seorang korban, maka ia tidak dapat
mempusakainya, walaupun si korban tidak mempunyai pewaris selainnya dan
jika sikorban itu bapakya atau anaknya, maka bagi pembunuh tidak berhak
menerima harta peninggalan.”81
Bila para ulama sepakat, bahwa pembunuhan merupakan penghalang untuk
mewaris, maka mereka berbeda pendapat mengenai jenis-jenis pembunuhan
yang menjadi penghalang untuk mewaris. Perbedaan pendapat di kalangan
para ulama muncul mengenai pembunuhan yang dilakukan tanpa kesengajaan.
Para ulama Hanafiyah membagi pembunuhan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu
pembunuhan langsung (mubasyarah) dan pembunuhan tidak langsung
(tasabbub). Pembunuhan yang langsung tersebut dibagi lagi menjadi empat,
yakni pembunuhan dengan senganja, pembunuhan yang serupa sengaja,
pembunuhan yang tidak dengan sengaja dan pembunuhan yang dipandang
tidak dengan sengaja.
Menurut

para

ulama

Hanafiyah,

pembunuhan

langsung

merupakan

penghalang untuk mewaris, sedangkan pembunuhan tidak langsung, bukan
merupakan penghalang untuk mewaris.82

81
82

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Alma’arif, 1981) hal. 86
Rachmad Budiono, Op.Cit,hal. 12.

Universitas Sumatera Utara

40

b. Fitnah
Dalam kompilasi hukum Islam menyebutkan dalam Pasal 173 bahwa hakim
bisa memutuskan adanya halangan menjadi ahli waris antara lain sebagai
berikut: Dipersalahkan secara fitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau lebih berat. Ketentuan ini tidak terdapat dalam literature Fikih
secara persis tetapi ada yang berdekatan yaitu Kalau melihat pendapat dari
Imam Malik beliau mengatakan bahwa pembunuhan yang menjadi mawani’ul
iris (sebab-sebab terhalang memperoleh harta waris) harus ada dalam unsur
yang bermaksud dengan sengaja dan permusuhan.83
c. Berlainan Agama
Islam menetapkan, bahwa tidak ada antara orang dengan orang kafir meskipun
diantaranya ada hubungan yang menyebabkan kewarisan atau ada wasiat
maka wasiat itu wajib dilaksanakan sedang hak waris antara kedua tetap
terhalang, sebab perbedaan agama menyebabkan terhalangnya hak waris, hal
ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad :
Artinya : “Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir
pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam”.
(H. R. Al-Bukhari dan Muslim).84

83

Abu Zahra Muhammad: Ahkam Tirkat Wal Mawaris dikutip dari Achmad Khudzi , Sistem
Asabah Dasar Pemindahan Hak Atas harta peninggalan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 27
84
Fatchur Rahman, Op.Cit, hal. 97

Universitas Sumatera Utara

41

Sedangkan berlainan mazhab atau aliran dalam Agama Islam, menurut
kesepakatan para fuqaha, bukan merupakan penghalang untuk mewaris,85
karena mereka itu tetap sesama muslim.
d. Perbudakan
Perbudakan

menjadi

penghalang

mewarisi

bukan

karena

status

kemanusiaannya, tetapi karena status formalnya sebagai hamba sahaya
(budak). Mayoritas sepakat seorang budak terhalang untuk menerima warisan
karena ia tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Sebagaimana firman
Allah :
Artinya: “Allah telah membuat perumpamaan, yakni seorang budak (hamba
sahaya) yang dimiliki yang tidak dapat bertindak sesuatupun”
(Q.S. Al-Nahl: 75)
Ayat di atas menegaskan, bahwa seorang budak itu tidak cakap mengurusi hak
miliknya dengan jalan apapun. Seorang budak tidak dapat mewarisi karena ia
tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seorang budak tidak dapat diwarisi,
jika ia meninggal dunia, sebab ia orang miskin yang tidak memiliki harta
kekayaan sama sekali.
e. Berlainan Negara
Pengertian negara adalah suatu wilayah yang ditempati suatu bangsa yang
memiliki angkatan bersenjata sendiri, kepala negara tersendiri, dan memiliki
kedaulatan sendiri dan tidak ada ikatan kekuasaan dengan negara asing. Maka
85

Abdurahman, Op. Cit hal. 95.

Universitas Sumatera Utara

42

dalam konteks ini, negara bagian tidak dapat dikatakan sebagai negara yang
berdiri sendiri, karena kekuasaan penuh berada di negara federal.
Adapun berlainan negara yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila
di antara ahli waris dan muwarisnya berdomisili di dua negara yang berbeda.
Apabila dua negara sama-sama sebagai negara muslim, menurut para Ulama,
tidak menjadi penghalang saling mewarisi antara warga negaranya. Malahan
mayoritas ulama mengatakan, bahwa meskipun negaranya berbeda, apabila
antara ahli waris dan muwarrisnya non muslim, tidak berhalangan bagi
mereka untuk saling mewarisi. Demikian juga jika antara dua warga negara
sama-sama Muslim.86
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam hanya menyebutkan dua hal yang
menghalangi kewarisan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 173, yaitu : “Seorang
terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :
1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat pada pewaris.
2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan, bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.”
Akan tetapi pada Pasal 171 huruf c, yang berbunyi: Ahli waris adalah orang
yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
86

Ahmad Rofiq Op.Cit, hal. 40

Universitas Sumatera Utara

43

perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris.
Bunyi pasal diatas secara tersirat telah menunjukkan bahwa perbedaan agama
menjadi penghalang untuk mewarisi. Terdapat perbedaan halangan untuk mewarisi
antara fiqih dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam fiqih perbudakan dan perbedaan
negara dapat menjadi penghalang. Untuk mewarisi, sedangkan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) hanya menyebutkan pembunuhan dan fitnah, perbedaan agama yang
menjadi penghalang.
4.

Ahli Waris Pengganti
Konsep ahli waris pengganti di dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana

tertuang dalam Pasal 185 KHI, yang lengkapnya berbunyi:
Ayat (1) : Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris, maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka
yang tersebut dalam Pasal 173.
Ayat (2):

Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti.

Dari rumusan Pasal 185 KHI mengenai ahli waris pengganti diatas dapat
dipahami bahwa:87
Ayat pertama, secara tersurat mengakui ahli waris pengganti, yang merupakan
hal baru untuk hukum kewarisan Islam. Karena di Timur Tengah-pun belum ada
Negara yang melakukan seperti ini, sehingga mereka perlu menampungnya dalam
87

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 15.

Universitas Sumatera Utara

44

lembaga wasiat wajibah. Ayat pertama ini juga menggunakan kata “dapat” yang tidak
mengandung maksud imperatif. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan tertentu dimana
kemashlahatan menghendaki keberadaan ahli waris pengganti maka keberadaannya
dapat diakui, namun dalam keadaan tertentu bila keadaan tidak menghendaki, maka
ahli waris pengganti tersebut tidak berlaku. Ayat pertama ini secara tersirat mengakui
kewarisan cucu melalui anak perempuan yang terbaca dalam rumusan “ahli waris
yang meninggal lebih dahulu” yang digantikan anaknya itu mungkin laki-laki dan
mungkin pula perempuan.
Ayat kedua, menghilangkan kejanggalan penerimaan adanya ahli waris
pengganti dengan tetap menganut asas perimbangan laki-laki dan perempuan. Tanpa
ayat ini sulit untuk dilaksanakan penggantian ahli waris karena ahli waris pengganti
itu menurut asalnya hanya sesuai dengan sistem Barat yang menempatkan kedudukan
anak laki-laki sama dengan perempuan.
Konsep ahli waris pengganti di dalam Kompilasi Hukum Islam ini
sebagaimana dalam BW dikenal dengan istilah Plaatsvervulling. Pemberian bagian
kepada ahli waris pengganti (terutama bagi para cucu), walaupun tidak seperti
Plaatsvervulling dalam BW, ini sejalan dengan doktrin mawâlî Hazairin dan cara
succession perstrepsi dan prinsip representasi yang dapat dipakai oleh golongan
Syi’ah. Namun demikian, dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut bagian ahli waris

Universitas Sumatera Utara

45

pengganti dibatasi, tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan ahli
waris yang diganti.88
Pada dasarnya hukum kewarisan Islam tidak mengenal istilah waris pengganti.
Hukum waris Islam di Indonesia baru mengenal adanya ahli waris pengganti setelah
di keluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Ketentuan tersebut jika di dasarkan pada al-Qur’an memang tidak ada ayat yang
mengatur masalah waris pengganti secara jelas, akan tetapi al- Qur’an bisa
mengimbangi setiap kepentingan, keadaan dan memberikan ketentuan hukum
terhadap semua peristiwa dengan cara tidak keluar dari syari’at dan tujuannya.
5.

Harta Peninggalan Dalam Hukum Islam
Tirka (harta peninggalan) ialah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang

meninggal dunia yang dibenarkan oleh syari’at untuk dipusakai oleh para ahli waris.
Maurus atau miras adalah harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya
perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal ini yang
dimaksudkan hal tersebut adalah:
a.

Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan.
Misalnya benda-benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang simati yang
menjadi tanggungan orang lain, diyah-wajibah (denda wajib) yang dibayarkan
kepadanya oleh sipembunuh yang melakukan pembunuhan karena silap, uang

88

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2008), hal. 199.

Universitas Sumatera Utara

46

pengganti qisas lantaran tindakan pembunuhan yang diampuni atau lantaran yang
melakukan pembunuhan adalah ayahnya sendiri dan lain sebagainya.
b.

Hak-hak kebendaan.
Seperti hak monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan
lalu-lintas, sumber air minum, irigasi pertanian dan perkebunan dan lain
sebagainya.

c.

Hak-hak yang bukan kebendaan
Seperti hak khiyar (pilihan), hak syuf’ah (hak beli), hak memanfaatkan barang
yang diwasiatkan dan lain sebagainya.

d.

Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain
Seperti benda-benda yang sedang digadaikan oleh simati, barang-barang yang
telah dibeli oleh si-mati sewaktu hidup yang harganya sudah dibayar tetapi
barangnya belum diterima, barang-barang yang dijadikan mas kawin istrinya
yang belum diserahkansampai ia mati dan lain sebagainya.89
Hak-hak yang bersangkutan dengan harta peninggalan itu, menurut jumhurulfuqaha’ dan menurut ketentuan yang termuat dalam kitab Undang-Undang
Hukum Warisan Mesir dalam pasal: 4 ada empat macam dan tersusun sebagai
berikut:
a. Biaya-biaya perawatan (tajhiz)
Yang disebut tajhiz ialah biaya-biaya perawatan yang diperlukan oleh orang
yang meninggal, mulai dari saat meninggalnya sampai saat penguburannya.
89

Fatchur Rahman, Op.Cit, hal. 36-37.

Universitas Sumatera Utara

47

Biaya

itu

mencakup

biaya-biaya

untuk

memandikan,

mengkafani,

menghusung dan menguburkannya.90
b. Hutang-hutang.
Hutang ialah suatu tanggungan yang wajib dilunasi sebagai imbalan dari
prestasi yang pernah diterima oleh seseorang. Hutang-hutang tersebut harus
dilunasi dari harta peninggalan simati setelah dikeluarkan untuk membiayai
perawatannya. Melunasi hutang-hutang itu adalah termasuk kewajiban yang
utama, demi untuk membebaskan pertanggung jawabnya dengan seseorang di
akhirat nanti dan untuk menyingkap tabir yang membatasi dia dengan
surga.91
c. Wasiat
Wasiat ialah memberikan hak milik sesuatu secara sukrela (tabarru’) yang
pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematian dari yang
memberikan, baik sesuatu itu berupa barang maupun manfaat.92
d. Ahli waris.
Sisa harta peninggalan setelah diambil untuk memenuhi 3 macam hak
tersebut diatas dihaki oleh para ahli waris yang selanjutnya bakal mereka bagi
sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’at.93

90

Ibid. hal. 42-43.
Ibid. hal. 45-46.
92
Ibid. hal. 49-50.
93
Ibid. hal. 67.
91

Universitas Sumatera Utara

48

Dalam setiap kematian erat kaitannya dengan harta peninggalan. Setiap harta
yang ditinggalkan oleh seseorang baik yang bersifat harta benda bergerak maupun
harta benda yang tidak bergerak akan menjadi harta warisan seseorang yang telah
meninggal dunia. Begitu seseorang dinyatakan telah meninggal, pada saat itu juga
semua hartanya secara otomatis menjadi harta warisan bagi ahli waris yang
ditinggalkannya tanpa terkecuali.
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta
bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya,
biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat pewaris.94
Harta warisan menurut hukum waris Islam adalah harta bawaan dan harta
bersama dikurang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pewaris selama sakit dan
setelah meninggal dunia. Misalnya pembayaran hutang, pengurusan jenazah dan
pemakaman. Harta warisan dalam hukum waris Islam tidak hanya harta benda tetapi
juga hak-hak dari pewaris.95
Harta warisan berbeda dengan harta peninggalan. Tidak semua harta
peninggalan menjadi harta warisan yang dapat diwariskan kepada ahli waris,
melainkan semua harta warisan baik berupa benda maupun berupa hak-hak harus
bersih dari segala sangkut paut dengan orang lain.96
Pengertian harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh orang yang
mati secara mutlak.97 Sedangkan pengertian harta warisan menurut Pasal 171 huruf e

94

Zainuddin Ali, Op.Cit, hal. 46.
F. Satrio Wicaksono, Hukum Waris, ( Jakarta: Visi Media, 2011), hal. 7.
96
Ibid
97
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta Selatan: Pena Pundi Aksara, 2006), hal. 483.

95

Universitas Sumatera Utara

49

KHI yaitu : “Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.”
Dengan demikian, berdasarkan hukum Islam dan berdasarkan aturan KHI di
atas, dapat dinyatakan bahwa harta benda yang ditinggalkan sebelum diambil untuk
memenuhi berbagai kepentingan tersebut disebut sebagai harta peninggalan bukan
harta warisan jika sudah melewati pemenuhan berbagai kewajiban yang harus
dijalankan untuk kepentingan pewaris.
B. Bagian Masing-Masing Ahli Waris Dalam Hukum Islam
Ahli waris itu ada yang ditetapkan secara khusus dalam al-Qur’an dan
langsung oleh Allah dalam al-Qur’an dan oleh Nabi dalam hadisnya; ada juga yang
ditentukan melalui ijtihad dengan meluaskan lafaz yang terdapat dalam nash hukum
dan ada pula yang dipahami dari petunjuk umum dari al-Qur’an dan atau hadis
Nabi.98 Artinya para ahli waris yang mempunyai hak waris dari seseorang yang
meninggal dunia baik yang ditimbulkan melalui hubungan turunan (zunnasbi),
hubungan periparan (asshar), maupun hubungan perwalian (mawali)– dapat
dikelompokkan atas dua golongan, yakni (1) ahli waris yang hak warisnya
mengandung kepastian, berdasarkan ittifaq oleh para ulama dan sarjana hukum Islam,
dan (2) golongan yang hak warisnya masih diperselisihkan (ikhtilâf) oleh para ulama
dan sarjana hukum Islam.99

98

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 154
Ahli waris yang sudah ittifaq ulama berjumlah 25 orang, (15 orang laki-laki dan 10 orang
perempuan); sedangkan ahli waris yang masih ikhtilâfulama tentang hak warisnya adalah keluarga
terdekat (zul arhâm) yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an tentang bagiannya (fardh) ataupun tentang
‘ushbat; mereka inilah yang dikenal dengan zawil arhâm. lihat, Suparman Usman dan Yusuf
99

Universitas Sumatera Utara

50

Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima, ahli waris dapat
dibedakan kepada:
1. Ahli waris ashâb al-furûdh, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang besar
kecilnya telah ditentukan dalam al-Qur’an, seperti 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 1/6 dan
2/3.
2. Ahli waris ‘ashabah, yaitu ahli waris yang bagian yang diterimanya adalah
sisa setelah harta waris dibagikan kepada ahli waris ashâb al-furûdh.
3. Ahli waris zawi al-arhâm, yaitu ahli waris yang sesungguhnya memiliki
hubungan darah, akan tetapi menurut ketentuan al-Qur’an tidak berhak
menerima warisan, selama ada ahli waris ashabah furudh dan ashabah, dan
ahli waris pengganti.
Sesungguhnya, sepanjang suatu persoalan kewarisan telah diatur secara tegas
oleh Al-Qur’an, ketentuan tersebut akan dipatuhi oleh semua golongan yang
mengajarkan sistem kewarisan.
Apabila dilihat dari bagiannya yang diterima, dapat dibedakan :100
a. Ahli waris ashab al-furud, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang
ditentukan besar kecilnya yang dikenal sebagai Al-Furud Al-Muqadarah yang
diatur dalam Al-Qur’an 6 (enan) bagian, yaitu : 1/2 (setengah), 1/3 (sepertiga),
1/4 .(seperempat), 1/6 (seperenam), 1/8 (seperdelapan), 2/3 (duapertiga).

Somawinata, Fiqh Mawaris: Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002, hlm. 63
dan 65; Ibnu Rusyd, Waris Wasiat, disalin oleh Yoesoef Soueyb, Jakarta, Wijaya, 1963, hal. 11.
100
Ahmad Rofiq, Op.Cit, hal 49-61.

Universitas Sumatera Utara

51

b. Ahli waris asabah, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah harta
warisan dibagikan kepada ahli waris ashab al-furud. Ahli waris ini ada 3
(tiga) macam, yaitu :
1) Asabah bin nafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri
berhak menerima bagian asabah, ahli waris kelompok ini semua laki-laki
kecuali mu’tikah (perempuan yang memerdekakan hamba sahayanya),
mereka adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dan garis laki-laki bapak,
kakek dari garis bapak, saudara laki-laki sekandung dan seayah anak lakilaki saudara laki-laki sekandung dan seayah paman sekandung dan
seayah, anak laki-laki paman sekandung dan seayah, mu’tiq dan
muti’qah.
2) Asabah bi al-gair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa, karena
bersama dengan ahli waris lain yang telah menerima bagian sisa. Mereka
adalah anak laki-laki dan perempuan, cucu perempuan garis lakil-laki
bersama cucu laki-laki garis laki-laki, saudara perempuan sekandung
bersama saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan seayah
bersama saudara laki-laki seayah.
3) Asabah ma’al-gair, yaitu ahli waris yang menerima bagian asabah,
karena bersama ahli waris lain yang bukan penerima bagian asabah,
apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu.
Mereka adalah saudara perempuan sekandung karena bersama anak

Universitas Sumatera Utara

52

perempuan atau bersama cucu perempuan garis laki-laki dan saudara
perempuan seayah bersama dengan anak atau dengan cucu perempuan.
c. Ahli waris Zawi Al-Arham, yaitu ahli waris karena hubungan darah tetapi
menurut ketentuan Al-Qur’an tidak berhak menerima warisan. Adapun
perincian Furud Al-Muqadarah dan ahli waris yang menerima (ashab alfurud)
adalah sebagai berikut :
1) Ahli Waris yang mendapatkan bagian 1/2 (setengah) :
a)

Seorang anak perempuan, jika tidak menjadi asabah bi al-gair
sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa Ayat 11.101

b) Seorang cucu perempuan, bila tidak bersama mua’sibnya dan anak
perempuannya.
c)

Saudara perempuan sekandung, bila tidak terjadi asabah.

d) Saudara perempuan seayah, bila tidak terjadi asabah, tidak bersama
saudara perempuan sekandung.
e)

Suami bila tidak bersama far’un mutlaq (anak).

2) Ahli waris yang mendapatkan 1/4 (seperempat) :
a)

Suami bila ada fur’un mutlaq (anak), sebagaimana firman Allah
dalam Surat An-Nisa Ayat 12.102

b) Istri bila ada fur’un mutlaq (anak), sebagaimana firman Allah dalam
Surat An-Nisa Ayat 12.103

101
102

Ibid, hal. 166.
Ibid, hal. 117.

Universitas Sumatera Utara

53

3) Ahli waris yang mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian ini, hanya
diberikan kepada isteri, apabila meninggalkan anak, baik laki-laki
maupun perempuan, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa
Ayat 12.104
4) Ahli waris yang mendapatkan bagian dua pertiga (2/3) :
a) Dua anak perempuan atau lebih jika tidak menjadi asabah bi al-gair,
sebagaimana dalam firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11.105
b) Dua orang cucu perempuan atau lebih.
c)

Dua orang bersaudara perempuan atau lebih yang sekandung, bila
tidak bersama mua’sibnya, sebagaimana firman Allah dalam Surat
An-Nisa Ayat 176.106

d) Dua orang saudara perempuan yang sebapak jika tidak ada far’un
perempuan dan mua’sibnya.
5) Ahli waris yang mendapatkan bagian sepertiga (1/3) :
a)

Ibu bila tidak ada anak laki-laki maupun perempuan sebagaimana
firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11.107

b) Dua orang atau lebih saudara seibu atau sebapak, baik lakilaki atau
perempuan.
6) Ahli waris yang mendapatkan seperenam (1/6) :
103

Ibid, hal. 117.
Ibid, hal. 117.
105
Ibid, hal. 116.
106
Ibid, hal. 153.
107
Ibid, hal. 116
104

Universitas Sumatera Utara

54

a)

Bapak, bila tidak ada far’un, sebagaimana firman Allah dalam Surat
An-Nisa Ayat 11.108

b) Ibu jika ada far-un dan saudara sekandung sebapak atau seibu, lakilaki atau perempuan, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa
Ayat 11.109
c)

Kakek bila tidak ada bapak.

d) Nenek bila tidak ada ibu, sebagaimana Hadist Nabi Muhammad :
Artinya :
“Sesungguhnya

Nabi

Muhammad

telah

menetapkan

nenek

seperenam bagian bila tidak ada ibu.” (H.R Abu Dawud)110
e)

Cucu perempuan bila ada seorang anak perempuan.

f)

Seorang saudara seibu (laki-laki atau perempuan) bila si mati dalam
keadaan kalala, yaitu tidak mempunyai anak dan cucu (laki-laki
ataupun perempuan) dan orang tua laki-laki, sebagaimana firman
Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11.

g) Saudara perempuan sebapak jika ada saudara perempuan sekandung.
Di dalam KHI terdapat pengaturan mengenai besaran bagian masing-masing
ahli waris, terhadap harta peninggalan, yaitu:
1. Pasal 176 KHI, tentang besarnya bagian.

108

Ibid.
Ibid.
110
Abu Dawud Sulaiman Al-Sijijtani, Sunan Abu Dawud, Juz 111, (Beirut: Dar Al-Fikr 1),
109

hal. 122.

Universitas Sumatera Utara

55

Anak perempuan bila hanya seorang, ia mendapat separoh bagian, bila dua
orang atau lebih, mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan
apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian
anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
2. Pasal 177 KHI.
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Bila
ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
3. Pasal 178 KHI.
Ayat (1), ibu mendapat seperempat bagian bila ada anak atau dua saudara atau
lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia
mendapat sepertiga bagian.
Ayat (2), ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda
atau duda bila bersama-sama dengan ayah.
4. Pasal 179 KHI.
Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak. Dan
bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.
5. Pasal 180 KHI.
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak.
Dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdepalapan
bagian.
6. Pasal 181 KHI.

Universitas Sumatera Utara

56

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara
laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam
bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama
mendapat sepertiga bagian.
7. Pasal 182 KHI.
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia
mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat
separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan
saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka
bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut
bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian
saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.
8. Pasal 183 KHI.
Pada ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian
harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.
9. Pasal 184 KHI.
Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan
kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas
usul anggota keluarga.
10. Pasal 185 KHI.
Ayat (1), ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut

Universitas Sumatera Utara

57

dalam pasal 173 Ayat (2), bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi
dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
11. Pasal 186 KHI.
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling
mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
12. Pasal 187 KHI.
Ayat (1), bilamana pewaris meninggalkan harta peninggalan, maka oleh
pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa
orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:
a.

Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda
bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli
waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang.

b.

Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai
dengan pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c.

Ayat (2), sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta
warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
13. Pasal 188 KHI.
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat
mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan
pembagian harta warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui
permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan.

Universitas Sumatera Utara

58

14. Pasal 189 KHI.
Ayat (1), bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang
luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana
semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang
bersangkutan.
Ayat (2), bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan
karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan
uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris
dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan
bagiannya masing-masing.
15. Pasal 190 KHI.
Bagi pewaris yang beristri lebih dari seorang, maka masing-masing istri
berhak mendapat bagian atas gono gini dari rumah tangga dengan suaminya,
sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya.
16. Pasal 191 KHI.
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya
tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas utusan Pengadilan
Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan
Agama Islam dan kesejahteraan umum.
17. Pasal 192 KHI, tentang aul rad.
Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud
menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka

Universitas Sumatera Utara

59

angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah
itu harta warisan dibagi secara aul menurut angka pembilang.
18. Pasal 193 KHI.
Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud
menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut,
sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta warisan
tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli
waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka.
19. Pasal 209 KHI.
Ayat (1), harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal pasal 176
sampai dengan 193 tersebut di atas. Sedangkan terhadap orang tua angkat
yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3
dari harta warisan anak angkatnya.
Ayat (2), terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
C. Kedudukan Janda Sebagai Ahli Waris
Hak kewarisan dapat berlaku atas dasar hubungan perkawinan, dengan
pengertian bahwa suami sebagai ahli waris istrinya yang meninggal dan istri sebagai
ahli waris suaminya yang meninggal. Dalam Hukum Waris Islam ini Janda adalah
ahli waris dari suami atau istri yang telah meninggal dunia. Bagian pertama dari Surat
An-nisa’ (4):12 menyatakan hak kewarisan suami istri. Bila hubungan kewarisan
berlaku antara yang mempunyai hubungan kekerabatan karena adanya hubungan

Universitas Sumatera Utara

60

alamiah diantara keduanya, maka adanya hubungan kewarisan antara suami istri
disebabkan adanya hubungan hukum antara suami dan istri.111
Mengenai hak kewarisan suami atau istri ditentukan dalam AlQur’an Surat
An-nisa’ (4):12 yang menyatakan sebagai berikut :
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istriistrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu….”
Menurut Amir Syarifuddin berlakunya hubungan kewarisan antara suami
dengan istri didasarkan pada dua ketentuan :
1.

Antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah
Mengenai perkawinan sah diatur dalam Pasal 4 KHI yang menyebutkan sebagai
berikut:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.”
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1)

menyatakan :
“Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya.”
Ketentuan diatas berarti bahwa perkawinan orang-orang yang beragama Islam
adalah sah bila menurut hukum perkawinan Islam tersebut adalah sah. Pengertian sah

111

Amir Syarifuddin, Op.Cit, hal 188

Universitas Sumatera Utara

61

menurut istilah hukum Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan rukun dan
syaratnya dan telah terhindar dari segala penghalangnya. Dengan demikian nikah
yang sah adalah nikah yang telah dilaksanakan telah memenuhi rukun syarat
pernikahan dan telah terlepas dari segala halangan pernikahan itu.
2.

Suami dan istri masih terikat dalam tali perkawinan saat salah satu pihak
meninggal
Termasuk dalam ketentuan ini adalah bila salah satu pihak meninggal dunia

sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’i dan perempuan
masih berada dalam masa ‘iddah. Seseorang perempuan yang sedang menjalani iddah
talak raj’i berstatus sebagai istri dengan segala akibat hukumnya, kecuali hubungan
kelamin (menurut jumhur ulama) karena halalnya hubungan kelamin telah berakhir
dengan adanya perceraian.112
Di dalam sistem Hukum Waris Islam, Janda merupakan ahli waris keutamaan
sehingga tidak terhalang (terhijab) oleh ahli waris yang lain. Namun demikian,
walaupun tidak ada anak, Janda tidak mewaris seluruh harta warisan, namun Janda
mewaris bersama orang tua dan saudara-saudara pewaris.113 Dalam hal pewaris
mempunyai isteri lebih dari satu orang, pasal 190 KHI mengatur bahwa masingmasing istri berhak mendapat bagian atas gono gini dari rumah tangga dengan
suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli waris.
Ikatan perkawinan antara seorang suami dan isteri menimbulkan hak saling mewaris.
112

Ibid, hal 189
Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil, (Surabaya: Airlangga University
Press, 2003), hal. 83
113

Universitas Sumatera Utara

62

Ketentuan Hukum Waris tidak dapat dipisahkan dengan Hukum Perkawinan,
karena disebabkan hal-hal sebagai berikut :
1. Penentuan ahli waris dimulai dari adanya perkawinan Dalam hal ini Janda
adalah sebagai ahli waris, demikian juga hasil perkawinan berupa anak
keturunan perkawinan mereka adalah ahli waris.
2. Penentuan harta waris Harta waris didasarkan pada separuh harta bersama
yang diperoleh selama perkawinan, ditambah dengan harta bawaan. 114
Suatu ikatan perkawinan berdasarkan Hukum Islam, menimbulkan adanya
harta perkawinan, yaitu semua harta yang diperoleh selama perkawinan. Harta
perkawinan ini menjadi harta bersama milik suami dan istri. Di dalam Pasal 1 huruf f
KHI ditentukan bahwa :
“Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh
baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami istri selama dalam ikatan
perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.”
Dengan demikian apabila ada yang ingin mengadakan perjanjian mengenai
kedudukan harta dalam perkawinan, menurut Pasal 47 ayat (2) KHI, perjanjian
tersebut dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencarian
masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Dengan
demikian ada 3 (tiga) macam harta dalam perkawinan, yaitu :
1. Harta pribadi suami atau harta bawaan suami;
114

Afdol, Op.Cit, hal 67.

Universitas Sumatera Utara

63

2. Harta pribadi istri atau harta bawaan istri;
3. Harta perkawinan atau harta bersama, milik suami dan istri.115
Ketentuan dalam Pasal 86 ayat (1) KHI menentukan bahwa pada dasarnya
tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Hak atas
harta bawaan ini ditegaskan dalam Pasal 86 ayat (2) KHI, yang menentukan bahwa
harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta
suami, tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Mengenai harta bawaan ini KHI mengatur lebih lanjut dalam Pasal 87 ayat
(1), bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh
dari masin