Hakwaris Janda Dalam Perkawinan Yang Tidak Memiliki Keturunan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara 73k Ag 2015)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga sebagai kelompok terkecil dalam interaksi antar manusia terbentuk
melalui perkawinan, ikatan antara kedua orang yang berlainan jenis dengan tujuan
membentuk mahligai rumah tangga. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.1
Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan menyatakan dalam ayat (1), Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, dan ayat (2)
menjelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.2 Sahnya suatu perkawinan selanjutnya akan menimbulkan
akibat hukum keperdataan serta hak dan kewajiban secara hukum bagi setiap individu
dalam perkawinan.
Pasal 33 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
menjelaskan bahwa suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.3

1


Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
3
Pasal 33 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
2

1

Universitas Sumatera Utara

2

Tujuan dari pengaturan hak dan kewajiban suami istri adalah agar suami istri
dapat menegakkan rumah tangga yang merupakan sendi dasar dari susunan
masyarakat.Sehingga undang-undang memberikan hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.4
Hak dan kewajiban suami istri terkait harta benda dalam perkawinan telah
diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengaturan

terkait harta benda dalam perkawinan ini dirasa perlu guna mencegah terjadinya
perselisihan terkait harta benda dalam perkawinan jika dikemudian hari salah satu
individu dalam perkawinan meninggal dunia terlebih dahulu, yang menyebabkan
terbukanya harta warisan.
Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan
bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama5.
Artinya, sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta
bersama menyeluruh antarà suami isteri. Harta bersama itu meliputi barang-barang
bergerak dan barang-barang tak bergerak suami isteri, baik yang sudah ada maupun
yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma. Hukum,
sebagaimana ditentukan Pasal 122 KUHPerdata, mensyaratkan bahwa semua
penghasilan dan pendapatan suami-istri, begitu pula semua keuntungan-keuntungan
dan kerugian-kerugian yang diperoleh selama perkawinan, juga menjadi keuntungan

4
5

Pasal 31 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 35 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan


Universitas Sumatera Utara

3

dan kerugian harta bersama. Yang dianggap sebagai keuntungan pada harta bersama
suami isteri ialah bertambahnya harta kekayaan mereka berdua, yang selama
perkawinan timbul dan hasil harta kekayaan mereka dan pendapatan masing-masing,
usaha dan kerajinan masing-masing dan penabungan pendapatan yang tidak
dihabiskan. Sementara yang dianggap sebagai kerugian ialah berkurangnya harta
benda itu akibat pengeluaran yang lebih tinggi dari pendapatan. Adapun untuk
pemanfaatan dan penggunaan harta bersama, Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan
menyatakan bahwa suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak.
Seiring dengan pengertian harta bersama perkawinan sebagaimana diatur
dalam UU No.1 Tahun 1974 dan KUHPerdata, Kompilasi Hukum Islam juga
mengatur pengertian tentang harta bersama yang sama seperti dianut dalam UU No. 1
Tahun 1974 dan KUHPerdata di atas. Harta bersama perkawinan dalam Kompilasi
Hukum Islam diistilahkan dengan istilah “syirkah” yang berarti harta yang diperoleh
baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

Dikalangan masyarakat awam, terkait dengan harta bersama suami istri, sering
menjadi polemik adalah mengenai kedudukan serta hak janda cerai mati (istri yang
menjadi janda karena kematian suami) yang telah mendapatkan bagian dari harta
bersama tetapi menuntut pula bagian dari harta warisan almarhum. Sebagian kalangan
masyarakat awam tersebut menyatakan janda cerai mati tidak berhak atas harta
warisan, sebagian kalangan menyatakan berhak.

Universitas Sumatera Utara

4

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris
sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia
pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum
yang timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah
masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
seseorang yang menjadi ahli waris.
Hukum waris merupakan bagian dari hukum harta benda6, karena wafatnya
seseorang maka akan ada pemindahan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati

dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya. Pemindahan
harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati pada dasarnya diberikan kepada
keluarga tapi juga tidak menutup kemungkinan adanya pemindahan harta kekayaan
tersebut kepada pihak ketiga.
Terdapat aneka hukum waris yang berlaku bagi warga negara Indonesia,
yaitu:7
1. Hukum Waris Barat, tertuang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
2. Hukum Waris Islam, merupakan ketentuan yang diatur dalam Alquran dan
Hadist.
3. Hukum Waris Adat, beraneka ragam tergantung di lingkungan mana masalah
warisan itu terbuka.

6

H.Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),

hal 82.
7


Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, (Bandung: Pionir Jaya,
1992), hal 7.

Universitas Sumatera Utara

5

Pembagian warisan menurut hukum waris perdata dapat dilaksanakan ketika
terbukanya warisan, ditandai dengan meninggalnya pewaris. Pewarisan hanya
berlangsung karena kematian.8 Peristiwa kematian menurut hukum mengakibatkan
terbukanya warisan dan sebagai konsekuensinya seluruh kekayaan (baik berupa
aktiva maupun pasiva ) yang tadinya dimiliki oleh seorang peninggal harta beralih
dengan sendirinya kepada segenap ahli warisnya secara bersama-sama.9
Pembagian harta warisan atau harta peninggalan diawali dengan penentuan
siapa saja yang berhak untuk mendapatkan bagian-bagian tersebut, menentukan besar
bagian yang didapat oleh yang berhak tersebut serta langkah selanjutnya penyelesaian
pembagian harta warisan yang dilaksanakan dengan kesepakatan para pihak yang
berhak dalam pembagian harta warisan tersebut. Pihak yang berhak dalam pembagian
harta warisan atau harta peninggalan adalah ahli waris, ahli waris merupakan orangorang yang berhak menerima harta warisan (harta pusaka).
Pasal 174 KHI menyatakan mengenai kelompok ahli waris dalam hukum

Islam, yang berbunyi:
1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
1) Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman dan kakek.
2) Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dari nenek.
8

Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Syahril Sofyan, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan), ( Medan :
Pustaka Bangsa Press, 2011), hal. 5.
9

Universitas Sumatera Utara

6

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya

anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Dalam kajian fiqh islam, ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang
dengan orang lain saling waris mewarisi, yaitu:
1. Karena hubungan pertalian darah
Ajaran islam mengatur bahwa kekerabatan melalui pertalian darah merupakan
factor penyebab antara seseorang dengan orang lain saling mewarisi.
Kekerabatan melalui hubungan darah dapat dalam bentuk hubungan
kekerabatan garis lurus ke atas, atau garis lurus ke bawah, atau kekerabatan
dalam garis menyamping.10
2. Karena ikatan perkawinan yang sah
Ikatan perkawinan yang dianggap sah sehingga karena nya timbul hak saling
mewarisi antara suami dan istri, adalah ikatan perkawinan yang telah
memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (1 dan 2) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan.11 Ketentuan pasal 2 tersebut berbunyi sebagai
berikut:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu;

10


M. Anshary, Hukum Kewarisan Islam, dalam teori dan praktik, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2013, hal. 25
11
Ibid,hal. 28-29

Universitas Sumatera Utara

7

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Karena kesamaan iman pewaris dan ahli waris
Kompilasi Hukum Islam memberikan satu syarat lagi tentang sebab adanya
saling mewaris di samping karena adanya hubungan pertalian darah dan
pertalian perkawinan sebagaimana di atas, adalah bahwa seorang ahli waris
dan pewaris harus memiliki iman dan akidah yang sama, yaitu sama-sama
berakidah islam.12 Ketentuan ini diatur dalam pasal dalam pasal 171 huruf b
dan c Kompilasi Hukum Islam, bunyinya sebagai berikut:
(b) pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan pengadilan agama Islam, meninggalkan

ahli waris dan harta peninggalan.
(c) ahli waris adalan orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam. Ayat-ayat
Al Qur’an mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci : hal ini dapat
dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Sedemikian
pentingnya kedudukan hukum waris Islam dalam hukum Islam dapat terlihat dari
hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dan Darru Quthni sebagaimana dikutip Mukhlis
Lubis yang menyatakan bahwa “Pelajarilah faraidh (hukum waris) dan ajarkanlah
12

Ibid,hal 42-43

Universitas Sumatera Utara

8

kepada manusia (orang banyak), karena dia (faraidh) adalah setengah ilmu dan dia
(faraidh) mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari

umatku”.13
Ketentuan-ketentuan hukum waris mengenai warisan untuk janda terdapat
perbedaan yang sangat signifikan antara ketentuan KUHPerdata dan hukum Islam.
Dalam KUHPerdata janda karena kematian suami mendapatkan warisan yang sama
besar dengan anak-anak yang ditinggalkan dan apabila tidak terdapat keterununan
maka janda tersebut berhak atas seluruh warisan.14 Suami atau istri yang hidup
terlama tersebut mengesampingkan orang tua, saudara laki-laki dan perempuan
seandainya mereka masih ada.
Dalam Hukum Islam warisan untuk janda dibagi berdasarkan dengan bagian
tertentu.15 Dalam Al-Qur’an Surat An Nisa’ ayat 7 memberi ketentuan bahwa lakilaki dan perempuan sama-sama berhak atas warisan orang tuanya dan kerabatnya.
Menurut Hukum Islam, istri adalah ahli waris dari almarhum suaminya. Janda
termasuk Dzul fara-idh yaitu ahli waris yang bagiannya telah ditentukan, dalam
sistem Hukum Waris Islam walaupun tidak ada anak, janda tidak mewaris seluruh
warisan. Janda mewaris bersama orang tua dan saudara-saudara pewaris.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dalam penelitian ini akan
dikaji putusan Mahkamah Agung Nomor 73K/Ag/2015. Perkara ini diawali DH bin
13

Mukhlis Lubis, Ilmu Pembagian Waris, Pesantren Al Manar, Medan , 2011, hal. 87
Riki Budi Aji, Perbandingan Pembagian Warisan Untuk Janda Menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata Dan Kompilasi Hukum Islam, JOM Fakultas Hukum, 2015, hal. 2
15
Bagian tertentu dalam Al-Qur’an yang disebut Furudh adalah dalam bentuk angka pecahan
yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 1/6, 1/3, dan 2/3.
14

Universitas Sumatera Utara

9

JH telah melangsungkan pernikahan dengan seorang perempuan yang bernama Hj.
SL binti BNS, dan dalam pernikahan tersebut telah dikaruniai 9 orang anak kandung,
masing-masing bernama:
1.

HBH (almarhum/suami Tergugat);

2.

BSH (Saudara alm HBH);

3.

KH (Saudara alm HBH);

4.

Alm. H. IEH (almarhum/ Saudara alm. HBH);

5.

OH (Saudara alm HBH);

6.

NH (Saudari alm HBH);

7.

ATH (Saudara alm HBH)

8.

LKH (Saudari alm HBH);

9.

GSH (Saudara alm HBH);
Pada Tahun 1985, semasa hidupnya alm. HBH/saudara laki-laki kandung para

Penggugat telah menikah dengan seorang perempuan yang bernama Hj. NN/Tergugat
di mana pernikahan tersebut dilangsungkan di Lingkungan I, Kelurahan Pasar
Sibuhuan, Kecamatan Barumun, Kabupaten Padang Lawas dahulu Kabupaten
Tapanuli SelatanKabupaten Padang Lawas. pada hari Jum’at tanggal 21 September
2012, HBH/suami Tergugat meninggal dunia disebabkan sakit, dan dalam keadaan
beragama Islam. Selama pernikahan alm. HBH dengan Tergugat Hj. NN hingga
meninggal dunia tidak dikaruniai keturunan atau anak, sehingga ketika alm. HBH
meninggal dunia, beliau meninggalkan ahli waris yaitu:
1.

Hj. SL (ibu kandung alm. HBH);

Universitas Sumatera Utara

10

2.

Hj. NN (istri/Tergugat);

3.

BSH (Saudara alm. HBH);

4.

KH (Saudara alm. HBH);

5.

Alm. H. IEH, dengan ahli waris pengganti:
1. MH;
2. AAH;
3. MAH;
4. CH;
5. SMH;

6.

OH (Saudara alm. HBH);

7.

NH (Saudari alm. HBH);

8.

ATH (Saudara alm. HBH);

9.

LKH (Saudari alm. HBH);

10. GSH (Saudara alm. HBH);
Semasa hidupnya dalam pernikahan antara alm. HBH dengan Tergugat/Hj.
NN telah memperoleh harta bersama yang merupakanharta pencaharian bersama
berupa: rumah, tanah, mobil. Setelah meninggalnya alm. HBH, maka seluruh objek
perkara tersebut dikuasai oleh Hj. NN.
Oleh karena itu penggugat melakukan gugatan terhadap tergugat yang tetap
menguasai harta warisan alm. HBH dan menuntut hak-hak mereka atas harta warisan
tersebut.

Universitas Sumatera Utara

11

Berdasarkan uraian di atas tesis ini akan difokuskan untuk melakukan
penelitian terkait dengan hak waris janda dengan mengambil judul “Hak Waris Janda
Dalam Perkawinan Yang Tidak Memiliki Keturunan (Studi Putusan

Mahkamah

Agung Nomor Perkara 73K/AG/2015)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1.

Bagaimanakah kedudukan janda tanpa keturunan terhadap harta warisan suami
menurut Hukum Islam?

2.

Berapakah bagian warisan untuk janda tanpa keturunan menurut Hukum Islam?

3.

Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam putusan Mahkamah Agung

Nomor Perkara 73K/AG/2015 dalam pandangan Hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang disebut diatas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah untuk :
1.

Mengetahui kedudukan janda tanpa keturunan terhadap harta warisan suami
menurut Hukum Islam.

2.

Mengetahui bagian warisan untuk janda tanpa keturunan menurut Hukum Islam.

3.

Mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam putusan Mahkamah Agung Nomor
Perkara 73K/AG/2015 dalam pandangan Hukum Islam.

Universitas Sumatera Utara

12

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara Teoritis maupun
secara Praktis dibidang hukum perdata dan hak waris janda.
1.

Secara Teoritis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
a. Menambah khasanah ilmu Hukum Perdata khususnya mengenai kedudukan
janda sebagai ahli waris.
b. Memberi bahan masukan dan/atau dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih
lanjut untuk melahirkan berbagai konsep keilmuan yang dapat memberikan
andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum perdata khususnya
mengenai kedudukan janda sebagai ahli waris.

2.

Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
a. Manfaat yang sebesar-besarnya bagi para praktisi hukum khususnya bagi para
Notaris sehubungan dengan hak waris janda dalam perkawinan yang tidak
memiliki keturunan.
b. Mengungkap masalah-masalah yang timbul dan/atau muncul dalam lapangan
hukum dan masyarakat serta memberikan solusinya sehubungan dengan hak
waris janda dalam perkawinan yang tidak memiliki keturunan.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas
Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister

Universitas Sumatera Utara

13

Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Hak
Waris Janda Dalam Perkawinan Yang Tidak Memiliki Keturunan (Studi Kasus
Mahkamah Agung Nomor Perkara73K/AG/2015) belum pernah dilakukan. Akan
tetapi ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini
diantara lain :
1.

Rizki Febri Hadiyati, NIM. 087011102, dengan judul Kedudukan Janda
Terhadap Harta Peninggalan Suami Menurut Hukum Waris Adat Bali (Studi
Penelitian Pada Masyarakat Bali Di Desa Kertalangu Kecamatan Kesiman
Kabupaten Badung Denpasar Timur).
Rumusan Masalah :
a. Bagaimanakah pergeseran kedudukan janda dalam hukum waris adat Bali?
b. Bagaimanakah pembagian harta warisan dalam hukum waris adat Bali?
c. Upaya yang dilakukan oleh janda apabila pembagian warisan suami yang
meninggal dunia tidak dapat diselesaikan menurut hukum adat waris Bali?

2.

Fedy Ridho, NIM. 087011141, dengan judul Hak Mewaris Bagi Ahli Waris
Golongan Kedua (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor Perkara :
127/PDt.G/2008/PN.Mdn.
Rumusan Masalah:
a. Bagaimana kedudukan hukum ahli waris golongan II setelah terbitnya
penetapan pengesahan yang dilakukan setelah pewaris meninggal dunia ?
b. Bagaimana akibat hukum penetapan pengesahan perkawinan yang dilakukan
setelah pewaris meninggal dunia ?

Universitas Sumatera Utara

14

c. Bagaimana kekuatan pembuktian surat ke terangan ahli waris yang dibuatkan
oleh Notaris ?
3.

Villa Sari, Nim. B4B001210, dengan judul Kedudukan Janda dalam Hukum
Waris Adat di Kabupaten Semarang.
Rumusan Masalah:
a. Bagaimana kedudukan janda dalam hukum waris adat terhadap harta gono
gini dan harta gono di Kabupaten Semarang ?
b. Bagaimanakah kedudukan janda dalam hukum waris adat terhadap harta
gono-gini dan harta gono sehubungan dengan adanya dua putusan yang
berbeda antara Pengadilan Negeri Kab. Semarang dan Pengadilan Tinggi Jawa
Tengah ?
Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang

dilakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga
penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Dalam penelitian suatu permasalahan hukum, maka relevan apabila

pembahasan dikaji menggunakan teori-teori hukum, konsep-konsep hukum dan asasasas hukum. Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan menerangkan
pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan untuk menjawab permasalahan
yang muncul dalam penelitian hukum.16

16

Salim H. S, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (RajawaliPers : Jakarta,2010), hal 54.

Universitas Sumatera Utara

15

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau
proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada faktafakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini
adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan
gejala yang diamati.17
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuanpenemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, prediksi atas dasar
penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaanpertanyaan. Penelitian ini berusaha untuk memahami kepastian hukum dari hak waris
janda yang tidak memiliki keturunan. Hal ini berarti teori yang digunakan untuk
menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi sebagai pisau analisis dalam
penelitian ini adalah teori kepastian hukum dan teori keadilan.
Pembahasan mengenai hak waris janda jika tidak memiliki keturunan pada
hakekatnya tidak dapat terlepas dari hubungan dengan masalah kepastian hukum dan
keadilan, dimana adanya kepastian hukum dan keadilan hak waris janda. Teori
kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu:
a.
b.

Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan,
Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena
dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui
apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-Pasal dalam undang-undang
melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim

17

JJ. Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, (Jakarta : UI
Press, 1996), hal. 203.

Universitas Sumatera Utara

16

yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di
putuskan”.18
Kepastian hukum bermuara pada ketertiban secara sosial. Dalam kehidupan
sosial, kepastian adalah mensamaratakan kedudukan subjek hukum dalam suatu
perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam paham positivisme, kepastian diberikan oleh
negara sebagai pencipta hukum dalam bentuk undang-undang. Pelaksanaan kepastian
di konkritkan dalam bentuk lembaga yudikatif yang berwenang mengadili atau
menjadi wasit yang memberikan kepastian bagi setiap subjek hukum. Dalam
hubungan secara perdata, setiap subjek hukum dalam melakukan hubungan hukum
melalui perjanjian juga memerlukan kepastian hukum. Pembentuk Undang-undang
memberikan kepastiannya melalui Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Perjanjian yang berlaku sah adalah Undang-undang bagi para subjek hukum
yang melakukannya dengan itikad baik. Subjek hukum diberikan keleluasaan dalam
memberikan kepastian bagi masing-masing subjek hukum yang terlibat dalam suatu
kontrak. Kedudukan yang sama rata dipresentasikan dalam bentuk itikad baik. Antar
subjek hukum yang saling menghargai kedudukan masing-masing subjek hukum
adalah perwujudan dari itikad baik.
Teori kepastian hukum menurut Radbruch, hubungan antara keadilan dan
kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh karena kepastian hukum harus dijaga demi
keamanan dalam negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, walaupun isinya
kurang adil atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum.Tetapi dapat pengecualian
18

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Pranada Media Group,
2008), hal. 158.

Universitas Sumatera Utara

17

bilamana pertentangan antara isi tata hukum tentang keadilan begitu besar. Sehingga
tata hukum itu tampak tidak adil pada saat itu tata hukum boleh dilepaskan.19
Menurut Soerjono Soekanto bagi kepastian hukum yang penting adalah
peraturan dan dilaksanakan peraturan itu sebagaimana yang ditentukan. Dengan
tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapa pun yang berkepentingan akan
mudah mengetahui kemungkinan apa yang tersedia baginya untuk menguasai,
bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta larangan-larangan apa
yang ada didalam.20
Tentang teori kepastian hukum, Soerjono Soekanto mengemukakan: Wujud
kepastian hukum adalah peraturan-peraturan dari pemerintah pusat yang berlaku
umum diseluruh wilayah negara. Kemungkinan lain adalah peraturan tersebut berlaku
umum, tetapi bagi golongan tertentu, selain itu dapat pula peraturan setempat, yaitu
peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat yang hanya berlaku di daerahnya saja,
misalnya peraturan kotapraja.21
Jika dikaitkan dengan teori kepastian hukum menurut Satjipto Rahardjo,
kepastian hukum adalah “Sicherkeit Des Rechts Selbst” (kepastian mengenai hukum
itu sendiri). Ada 4 (empat) hal yang erat kaitannya dengan makna kepastian hukum.22
a. Hukum itu positif, dengan maksud bahwa hukum adalah perundang-undangan
(gesetzliches Recht).
19

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta, Kanisius, 1982) hal.

163
20
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah
Sosial,(Bandung, Alumni, 1982) hal. 21
21
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan
Indonesia, Jakarta, UI Pres, 1974) hlm. 56
22
Satjipto Rahardjo,Hukum Dalam Jagat Ketertiban, (Jakarta: UKI Press, 2006), hal 102.

Universitas Sumatera Utara

18

b. Hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan pada suatu rumusan
tentang penilaian yang nantinya akan diterapkan oleh hakim, seperti
“kemauan baik” dan ”kesopanan”.
c. Fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga nantinya
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping itu juga bertujuan agar
mudah dijalankan.
d. Bahwa hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah atau diganti.
Berdasarkan teori kepastian hukum menurut Satjipto Rahardjo diatas, bahwa
hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), fakta itu harus dirumuskan dengan cara
yang jelas sehingga nantinya menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping
itu juga bertujuan agar mudah dijalankan. Jika dikaitkan dengan teori kepastian
hukum tersebut bahwa hak waris janda kurang memiliki kepastian hukum yang jelas,
disebabkan karena peraturan perundang-undangan yang belum baku mengenai hak
waris janda di Indonesia sangat sering menimbulkan permasalahan dan kebingungan
dalam masyarakat.
Keadilan menjadi isu penting dalam penerapan hukum yang diberlakukan
pada masyarakat. Untuk menjamin situasi adil tersebut perlu ada jaminan terhadap
sejumlah hak dasar yang berlaku bagi semua, seperti kebebasan untuk berpendapat,
kebebasan berpikir, kebebasan berserikat, kebebasan berpolitik dan kebebasan di
mata hukum.23 Hesti Armiwulan Sochmawardiah, memberikan konsep mengenai
teori keadilan :
a. Teori keadilan Rawls dapat disimpulkan memiliki inti sebagai berikut
memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya
untuk kepentingan kemerdekaan sendiri.

23

Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM, Studi Tentang
Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa. (Yogyakarta, Genta Publishing. 2013).Hal 101.

Universitas Sumatera Utara

19

b. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial
maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social
goods”). Pembatasan dalam hal ini anya dapat diizinkan bila ada
kemungkinan keuntungan yang lebih besar.
c. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap
ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.24
Rawls melahirkan 3 (tiga konsep) prinsip keadilan, yang sering dijadikan
rujukan oleh beberapa ahli yakni :
a. Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
b. Prinsip perbedaan (difference principle)
c. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Rawls berpendapat jika terjadi benturan (konflik), maka :Equal liberty
principle harus diprioritaskan daripada prinsip-prinsip yang lainnya. Dan
Equal opportunity principle harus diprioritaskan daripada difference
principle.25
Teori Keadilan John Rawls juga mempersoalkan kebenaran dari Teori
Utilitarianisme atau Utilisme yang selama ini digunakan untuk memahami hakekat
dari norma hukum dalam suatu negara.26 Dalam Teori Utilitarianisme, pada
hakekatnya hukum dibentuk dibentuk tentu dimaksudkan tidak hanya sekedar sebagai
norma yang mengatur masyarakat namun hukum tentu dibentuk untuk mencapai
kebahagian individu atau setidak-tidaknya untuk sebagian terbesar masyarakat. Teori
Utilitarianisme selama ini digunakan untuk menganalisis tentang makna hukum.
Teori Utilitarianisme atau Utilisme adalah alliran yang meletakkan kemanfaatan
sebagai tujuan utama hukum.27

24

Ibid.
Ibid. Hal 102
26
Ibid. Hal 102-103
27
Ibid. Hal 103.
25

Universitas Sumatera Utara

20

Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang
bersifat subjektif. Walalupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu
tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesarnyasebesarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan tertentu, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan.28 Teori
ini mengemukakan bahwa nilai keadilan berlaku apabila dapat dinikmati oleh
masyarakat banyak.
Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan
ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan
keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu
hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah).
Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan cendekiawan
Islam muncul. Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang
bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiah,
dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama teologi dialektika Islam
yaitu: mu`tazilah dan asy`ariyah.
Dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai yang bebas, bertanggung
jawab di hadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategorikategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar yaitu, tak bergantung pada
wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu
melihat yang baik dan buruk secara obyektif. Ini merupakan akibat wajar dari tesis
pokok mereka bahwa keadilan Allah tergantung pada pengetahuan obyektif tentang
28

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (Bandung : Nusa Media, 2011), Hal 7

Universitas Sumatera Utara

21

baik dan buruk, sebagaimana ditetapkan oleh nalar, apakah sang Pembuat hukum
menyatakannya atau tidak. Dengan kata lain, kaum Mu`tazilah menyatakan
kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan
demikian menegakkan bentuk obyektivisme rasionalis.29
2.

Kerangka Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dalam teori, peranan konsepsi

dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal- hal yang khusus yang disebut definisi operasional.30 Oleh
karena itu, untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini haruslah didefinisikan
beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini
yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan konsep merupakan alat yang dipakai
oleh hukum disamping yang lain- lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu
kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal- hal yang
dirasakan penting dalam hukum.
Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh
suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.31 Suatu
konsep atau suatu kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan suatu pengarah
atau pedoman yang lebih konkrit dari pada kerangka teoritis yang seringkali masih
bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsionil, kadang- kadang

29
30

Mumtaz Ahmad , Masalah-Masalah Teori politik Islam, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 154-155.
Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1998) , hal. 3

31

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1995, hal 7

Universitas Sumatera Utara

22

dirasa masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang
akan dapat menjadi pegangan konkrit di dalam proses penelitian. 32
Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan
beberapa konsep dasar sehingga diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan
penelitian yang telah ditentukan. Konsep tersebut sebagai berikut :
a.

Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan
pada orang yang masih hidup.33

b.

Harta warisan adalah segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris
setelah dikurangi dengan semua hutangnya. Harta warisan menjadi hak ahli
waris.34

c.

Ahli waris adalah setiap orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris dan
berkewajiban menyelesaikan hutang-hutangnya. Hak dan kewajiban tersebut
timbul setelah pewaris meninggal dunia. Hak waris ini didasarkan pada
hubungan perkawinan, hubungan darah, dan surat wasiat, yang diatur dalam
undang-undang.35

d.

Janda adalah orang yang tidak bersuami, baik karena perceraian hidup maupun
mati.36 Janda dalam hukum waris adalah sebagai suami atau istri yang hidup
terlama dalam hubungan perkawinan yang putus akibat peristiwa kematian atau
32

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press,
2008, hal 13
33
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000,
hal. 270.
34
Ibid, hal.292
35
Ibid,282
36
Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang:CV Widya
Karya, 2005, hal. 199.

Universitas Sumatera Utara

23

cerai mati.
e.

Hak waris janda adalah sesuatu yang menjadi hak milik seorang janda yang
berasal dari harta peninggalan suaminya.37

f.

Keturunan adalah adanya hubungan darah antara orang seorang dengan orang
lain atau pertalian keluarga.38

g.

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha.39

h.

Harta bersama adalah harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga
sehingga menjadi hak berdua suami istri. Sedangkan dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia yang dimaksud harta bersama atau harta gono-gini adalah harta
perolehan bersama selama bersuami istri.40

i.

Harta asal (bawaan) adalah harta benda yang telah dimiliki masing-masing
suami-istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan, baik yang berasal dari
warisan, hibah, atau usaha mereka sendiri-sendiri. Harta bawaan dikuasai oleh
masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri.41

j.

Mahkamah Agung adalah sebuah lembaga Negara yang berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
37

Muhammad Najich Chamdi, Hak Waris Janda Dalam Tradisi Masyarakat Osing Di Desa
Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim, 2008, hal. 1.
38
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003) hal. 672
39
Pasal 1Undang-undang Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
40
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian, (Jakarta:
Visimedia, 2008), hal. 2
41
Pasal 36 ayat (2) Undang-undang Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Universitas Sumatera Utara

24

undangundang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang.42
k.

Boedel harta adalah warisan yang berupa kekayaan saja, dan Yang perlu segera
dikeluarkan dari harta orang meninggal dunia antara lain ialah :
1. Biaya pengurusan mayat.
2. Dibayarkan utangnya.
3. Dilaksanakan wasiatnya/hibah wasiatnya.
4. Dalam Hukum Waris Islam diambil zakatnya/sewanya.
5. Sisanya adalah harta warisan.
Umumnya biaya pengurusan mayat ditanggung oleh pihak keluarganya.43

l.

Boedel menurut Hukum Islam adalah seluruh harta kekayaan berupa atau yang
terdiri dari aktiva dan passiva yang dimiliki oleh seorang muslim semasa
hayatnya dan yang ditinggalkan saat wafatnya.44

G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.
Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah

42
43

Pasal 24A angka (1) Undang-undang Dasar 1945.
Subekti Raden, Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta : PT. Pradnya Paramita,

1995.
44

M. Hasballah Thaib dan Syahril Sofyan, Teknik Pembuatan Akta Penyelesaian Warisan,
Menurut Hukum Waris Islam Di Indonesia, Medan, Citapustaka Media, 2014, hal 11.

Universitas Sumatera Utara

25

berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang
bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.45
1.

Jenis dan Sifat Penelitian

a.

Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif, yaitu penelitian

hukum kepustakaan. Pendekatan normatif oleh karena sasaran penelitian ini adalah
hukum atau kaedah (norm). Pengertian kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam
arti sempit (value), Peraturan hukum konkret. Penelitianyang berobjekan hukum
normatif berupa asas-asas hukum, sistem hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan
horisontal.46
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara
menganalisa hukum yang tertulis dari bahan perpustakaan atau data sekunder belaka
yang lebih dikenal dengan nama bahan sekunder dan bahan acuan dalam bidang
hukum atau bahan rujukan bidang hukum.47
b.

Sifat Penelitian
Metode pendekatan penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat

deskriptif analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran
secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis

45

Soerjono Soekanto. Opcit, hal. 42.
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji. Opcit hal 70.
47
Ibid, hal .33.
46

Universitas Sumatera Utara

26

dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis
secara cermat untuk menjawab permasalahan.48
2.

Sumber Data
Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder sebagai data yang

dapat menunjang keberadaan data primer tersebut, adapun kedua data tersebut
meliputi sebagai berikut:
a.

Data Sekunder
Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder merupakan
data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahaan terhadap
berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi
penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum.49 Data sekunder berasal dari
penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari :
1) Bahan Hukum Primer.
Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan
utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini yaitu : Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Studi Kasus Mahkamah Agung
Nomor Perkara 73K/AG/2015.
2) Bahan Hukum Sekunder.
Yaitu bahan hukum memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Fiqh islam, Al-Qur’an dan

48

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung
Alumni, 1994), hal 101.
49
Fajat dan Yulianto, Dualisme Penelitan Hukum. Normatif dan Empiris, (yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010) hal 34.

Universitas Sumatera Utara

27

Hadist, hasil-hasil penelitian, hasil karangan dari kalangan hukum, dan
seterusnya.50
3) Bahan Hukum Tertier.
Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus dan ensiklopedia
lain.51
3.

Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan

melalui penelitian kepustakaan (Library Research). Studi Kepustakaan ini dilakukan
untuk mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasilhasil permikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Sedangkan
alat pengumpulan datanya adalah mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan
permasalahan yang diajukan dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian
dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait selanjutnya digunakan
untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.
4.

Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna

untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan
metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang

50
51

Ibid, hal 13.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

28

bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regulitas atau pola tertentu, namun
penuh dengan variasi (keragaman).52
Analisis data penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang
menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang
terkumpul untuk dipergunakan memecahkan masalah yang dijadikan objek
penelitian.53
Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, yang artinya data
diuraikan secara deskriptif, sebagaimana bentuk-bentuk penelitian ilmu sosial, bila
dilakukannya sebuah penelitian atas ilmu tersebut. Selanjutnya ditarik kesimpulan
dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari
hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, dengan
menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalildalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik
kesimpulan

terhadap

fakta-fakta

yang

bersifat

khusus,

guna

menjawab

permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

52

Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis
Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 53.
53
Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Jambi : Mandar Maju, 2008), hal. 174.

Universitas Sumatera Utara