HUKUM ACARA PERADILAN HAM doc

HUKUM ACARA PERADILAN HAM
Oleh.

Dr. Mochamad Arifinal, SH., MH
A. PENDAHULUAN
Di dalam pengetahuan Ilmu hukum terdapat Asas “Tiada Pidana Tanpa
Kesalahan (keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schul atau nulla
peona sine culpa).1Artinya setiap orang tidak dapat dihukum apabila tidak
ada kesalahan yang ada pada dirinya.Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan ini
terkait erat dengan Asas Legalitas di dalam sistem hukum pidana yang
tertuang di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi : “Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada (Nullun delictum nulla poena
sine praevia lege ponali)”. Ketentuan mengenai asas legalitas tersebut dapat
dimaknai dalam tiga aspek sebagai berikut :
1. Hukum pidana di Indonesia tidak berlaku surut;
2. Hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah hukum pidana
tertulis; dan
3. Adanya larangan analogi dalam hukum pidana di Indonesia.
Berdasar uraian di atas, maka setiap kejahatan harus tunduk pada
asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan di satu sisi dan tunduk pula kepada asas

legalitas di sisi lainnya. Tidak terkecuali terhadap Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan atau dalam istilah lain sering disebut Pelanggaran Hak Asasi
Manusia.
Pertama, kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam
hukum internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal
dengan penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang, sebagai suatu
kejahatan

penyerangan

terhadap

yang

lain.

Para

sarjana


Hubungan

internasional telah secara luas menggambarkan "kejahatan terhadap umat
manusia" sebagai tindakan yang sangat keji, pada suatu skala yang sangat
1Culpa di sini dalam arti luas meliputi juga kesengajaan.Lihat dalam buku Sudarto,
Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 85.

besar,

yang

dilaksanakan

untuk

mengurangi

ras

manusia


secara

keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusian dilakukan atas dasar
kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler
serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia.2
Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang no. 26
tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta
Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah Perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terdapat
penduduk sipil.Kejahatan terhadap kemanusiaan ialah salah satu dari empat
Pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal
Court.Pelanggaran HAM berat lainnya ialah Genosida, Kejahatan perang, dan
kejahatan Agresi.3
Kedua, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia

(selanjutnya dalam tulisan ini disebut UU HAM)


menyebutkan bahwa, “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.”
Bentuk pelanggaran yang sering dijumpai dalam masyarakat misalnya
dilakukan dengan caradiskriminasiyaitu pembatasan, pelecehan, dan
pengucilan yang dilakukan langsung atau tidak langsung yang didasarkan
pada perbedaan manusia atas Suku, Ras, Etnis, dan Agama; atau dengan
cara melakukanpenyiksaanyaitu perbuatan yang menimbulkan rasa sakit
atau penderitaan baik jasmani maupun rohani.Sedangkan pelanggaran HAM
2https://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_kemanusiaan[10/05/2016].
3Idem.

menurut

sifatnya


terbagi

dua

yaitu

pelanggaran

HAM

berat

yaitu

pelanggaran HAM yang mengancam nyawa manusia dan pelanggaran HAM
ringan yaitu pelanggaran HAM yang tidak mengancam jiwa manusia.
Berdasarkan

uraian


di

atas,

kejahatan

sekecil

apapun,

apalagi

kejahatan terhadap kemanusiaan atau pelanggaran HAM harus dilakukan
penegakan terhadapnya, terkait dengan makalah ini akan dibahas mengenai
hukum acara peradilan HAM, namun sebelumnya perlu diketahui terlebih
dahulu terkait dengan pengadilan kriminal internasional dam pengadilan hak
asasi manusian di Indonesia.
B. PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya

Undang-Undang ini Nomor 26 Tahun 2000, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM Ad Hoc yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum
yang pembentukannya atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Dalam
hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya
Pengadilan HAM Ad Hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia mendasarkan
pada dugaan telah terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat
yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia. (Pasal 43)
Pengadilan Hak Asasi Manusia (disingkat Pengadilan HAM) adalah
Pengadilan

Khusus

terhadap

pelanggaran

hak


asasi

manusia

yang

berat.Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan salah satu Pengadilan
Khusus yang berada di lingkungan

Peradilan Umum.Pengadilan HAM

berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya
meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.Pada saat
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mulai berlaku, dibentuklah Pengadilan HAM
di beberapa daerah yang daerah hukumnya berada pada Pengadilan Negeri di :

1. Jakarta Pusat yang meliputi Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta,
Propinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah

2. Surabaya yang meliputi Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
3. Makassar yang meliputi Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara dan Irian Jaya;
dan
4. Medan yang meliputi Propinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh,
Riau, Jambi dan Sumatera Barat.
Berdasarkan Undang-Undang No. 26 tahun 2000, pelanggaran HAM
meliputi

kejahatan

genosida

dan

kejahatan

terhadap


kemanusiaan.

Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
1. membunuh anggota kelompok;
2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggota-anggota kelompok;
3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya
4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di
dalam kelompok
5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, berupa:
1. pembunuhan;

2. pemusnahan;

3. perbudakan;
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain
secara sewenang - wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan
pokok hukum internasional;
6. penyiksaan;
7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan
yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9. penghilangan orang secara paksa; dan
10. kejahatanapartheid.

C. HUKUM ACARA PERADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
1. PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN
Penyelidikan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat
dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan dalam hal melakukan
penyelidikan tersebut Komisi Nasional Hak Asasi Nasional dapat membentuk
Tim Ad Hoc yang terdiri dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur
masyarakat yang berwenang menerima laporan dan melakukan pemeriksaan
tentang dugaan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat
( Pasal 18 dan 19). Kewenangan untuk melakukan penyidikan perkara
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dimiliki oleh Jaksa Agung namun
tidak termasuk kewenangan untuk menerima laporan dan pengaduan
sebagaimana di atur dalam pasal 21.

2. PENANGKAPAN

Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan
untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras
melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat berdasarkan bukti
permulaan yang cukup dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan
tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas
tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan
pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat yang dipersangkakan. Penangkapan dapat dilakukan untuk paling
lama 1 hari (Pasal 11 ayat 1,2 dan 5)
Dalam hal tersangka tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa
surat

perintah

dengan

ketentuan

bahwa

penangkap

harus

segera

penyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada Penyidik
( Pasal 11 ayat 4)
3. PENAHANAN
Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama
90 hari dan dapat diperpanjang paling lama selama 90 hari oleh Ketua
Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Jika proses penyidikan
belum selesai selama jangka waktu sebagaimana di uraikan di atas, maka
penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 hari oleh Ketua Pengadilan
HAM sesuai dengan daerah Hukumnya. Penahanan untuk kepentingan
penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang
paling lama 20 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah
hukumnya. Dalam hal jangka waktu penahanan selama 50 hari telah habis
sedangkan proses penuntutan belum dapat diselesaikan, maka penahanan
dapat diperpanjang paling lama 20 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai
dengan daerah hukumnya.Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di
sidang pengadilan HAM dapat dilakukan paling lama 90 hari dan dapat
diperpanjang untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua Pengadilan HAM
sesuai dengan daerah hukumnya.
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat banding di
Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 hari dan jangka waktu

tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua
Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.
Penahanan untuk pemeriksaan Kasasi di Mahkamah Agung dapat
dilakukan paling lama 60 hari dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang
untuk paling lama 30 hari oleh Ketua Mahkamah Agung. (Pasal 12-17).
4. PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN HAM
Pemeriksaan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Majelis Hakim
Pengadilan HAM yang berjumlah 5 orang terdiri dari 2 orang Hakim pada
Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang Hakim Ad Hoc (Pasal 27
ayat 2)
Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua
Mahkamah Agung yang diangkat untuk masa waktu 5 tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan ( Pasal 28, Pasal 32 ayat 4)
sedangkan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung diangkat untuk satu kali
masa jabatan selama 5 tahun. (Pasal 33 ayat 5). Perkara pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM dalam
waktu paling lama 180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke
Pengadilan HAM ( pasal 31).
Dalam hal perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat
dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa
dan diputus dalam waktu paling lama 90 hari terhitung sejak perkara
dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi (Pasal 32 ayat 2 )
Dalam hal perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat
dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan
diputuskan dalam waktu paling lama 90 hari terhitung sejak perkara
dilimpahkan ke Mahkamah Agung (Pasal 33 ayat 1 ).
5. PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI
Setiap korban dan Saksi dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan

teror dan kekerasan dari pihak manapun. Perlindungan semacan ini wajib
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara
cuma-cuma sejak tahap penyelidikan, Penyidikan, penuntutan dan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000 jo Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
Berat).
6. KOMPENSASI, RESTITUSI DAN REHABILITASI
Setiap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan atau ahli
warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang
dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM (Pasal 35 ayat 1 dan 2).
a. Kompensasi adalah : ganti kerugian yang diberikan oleh negara
karena

pelaku

tidak

mampu

memberikan

ganti

kerugian

sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
b. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya

oleh

pelaku

atau

pihak

ketiga,

dapat

berupa

pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk
kehilangan

atau

penderitaan

atau

penggantian

biaya

untuk

tindakan tertentu.
c. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya
kehormatan,

nama

baik,

jabatan

atau

hak-hak

tertentu.

Kompensasi, Restitusi dan atau Rehabilitasi diberikan kepada
korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya (Pasal
1, Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002
tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat).
7. KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI
Di dalam Undang-Undang Pengadilan HAM memberikan alternatif
penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dilakukan di luar
Pengadilan HAM yaitu dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
( Pasal 47)

Keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud
dalam Ketetapan MPR-RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan
dan Kesatuan Nasional dimaksudkan sebagai lembaga ekstra yudisial yang
ditetapkan dengan Undang-Undang yang bertugas untuk menegakkan
kebenaran

dengan

mengungkapkan

penyalahgunaan

kekuasaan

dan

pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa lampau, sesuai dengan
ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan
rekonsiliasi

dalam

perspektif

kepentingan

bersama

sebagai

bangsa.