Makna FBF 2015 Bagi Industri Buku Indone (1)
Makna FBF 2015
Bagi Industri Buku Indonesia
Anggun Gunawan
Direktur Gre Publishing – Yogyakarta – Indonesia
http://grepublishing.com
Peserta Workshop Marketing Internasional Frankfurt Book Fair 2014
Dari tanggal 14 sampai 18 Oktober 2015, semua mata praktisi, akademisi, pemerhati dan
pecinta buku dari seluruh penjuru dunia akan tertuju kepada Indonesia yang menyandang status
sebagai Guest of Honor Frankfurt Book Fair 2015. Kerja 2 tahun Komite Nasional Buku Nasional yang
diketuai oleh Goenawan Mohamad bisa dibilang sangat singkat dibandingkan persiapan dengan tamutamu kehormatan sebelumnya. Penerjemahan buku-buku sastra pilihan, buku-buku anak-anak dan
buku-buku resep masak ke dalam bahasa Inggris dan bahasa Jerman dikebut agar bisa ditampilkan
sebanyak mungkin di Frankfurt. Dana 146 miliar rupiah digelontorkan dari APBN untuk menyokong
hajatan prestisius yang menjadi sorotan masyarakat literasi dunia.
Mengusung tagline 17000 Islands of Imagination, Komite Buku hendak mempersembahkan
kebhinekaan, keragaman, dan kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Jatah 130-an nama penulis,
sastrawan, koki masak, akademisi dan aktivis buku yang berangkat menjadi sumber kehebohan
sekaligus keirian. Karena banyak yang merasa berjasa atas dunia perbukuan dan literasi di Indonesia.
Penerbit-penerbit besar bisa membawa banyak staf sekaligus memajang buku-bukunya di stand-stand
khusus, sementara para penerbitan kecil kebanyakan malah tidak tahu apa itu Frankfurt Book Fair.
Hingga Senin malam, 12 Oktober 2015, 2 hari menjelang Opening Ceremony Frankfurt Book
Fair 2015 yang merupakan rangkaian pidato panjang dari panitia dan sederetan nama penting dari
negara yang bertindak sebagai Guest of Honor, fans page facebook Pulau Imaji yang menjadi akun
official Indonesia sebagai GoH FBF 2015 belum mampu menyundul angka 2000 like. Akun official
twitter RI Goes to FBF 2015 @PulauImaji hanya memiliki follower 941 orang, masih tertatih untuk
menembus angka 1000. Sangat kontras jika dibandingkan dengan 1,27 juta follower yang dimiliki oleh
Dewi Dee Lestari ya g sudah e jadi pusat perhatia sejak FBF
4 ya g lalu.
Hiruk-pikuk dan histeria para pelaku utama industri buku Indonesia menuju Frankfurt Book
Fair 2015 tak sejalan dengan respon publik yang merupakan nafas dan parameter kemajuan industri
buku itu sendiri. Press Release yang dikeluarkan oleh Digital Book World tanggal 1 Oktober 2015
kemarin sesungguhnya menjadi penegas masih lesunya industri buku di Indonesia. Pada tahun 2013,
penjualan buku di Indonesia hanya mencapai 48,1 juta euro atau sekitar 7.2 triliyun (Kurs 1 Euro sama
dengan Rp. 15.000). Jumlah yang lumayan besar, tetapi sebenarnya kalau dikomparasikan dengan 250
juta rakyat Indonesia, hanya bermakna bahwa dalam satu tahun masing-masing orang Indonesia ratarata hanya mengeluarkan budget Rp. 28.000 untuk membeli buku.
Di tahun 2014 tercatat ada 40,000 judul buku yang ditawarkan oleh penerbit-penerbit
Indonesia kepada publik. Dari segi kuantitas, raihan ini cukup mengagumkan karena mampu
menempatkan Indonesia masuk dalam 20 besar negara dengan produksi buku terbanyak. Namun
apabila dibandingkan dengan India yang sama-sama masih berstatus sebagai negara berkembang,
1
Indonesia masih kalah. Di tahun 2013, jumlah judul buku yang diterbitkan India sudah mencapai angka
90.000 judul buku.
Sementara jumlah eksemplar buku yang berhasil dijual di Indonesia pada tahun 2013 adalah
33.199.557 kopi. Angka yang apabila dikomparasikan dengan populasi Indonesia menunjukkan angka
setiap 8 orang Indonesia hanya membeli 1 buku. Buku belumlah menjadi konsumsi pokok bagi
masyarakat Indonesia. Masih jauh dari prinsip Tan Malaka yang rela mengurangi anggaran buat beli
makanan dan pakaian demi mendapatkan sebuah buku.
Penyadaran lain yang bisa dipelajari dari Frankfurt Book Fair adalah soal penghargaan kita
kepada karya dan hak kekayaan intelektual. Masih banyak penerbit-penerbit di Indonesia yang
menerjemahkan buku-buku asing, terutama berbahasa Inggris, tanpa sebuah proses kontrak jual-beli
atau kerjasama dengan penerbit sang pemilik buku asli. Kadang juga diperparah dengan kualitas
terjemahan yang sekenanya. Anehnya, terjemahan dari buku-buku babon keilmuan itu kemudian
menjadi bacaan wajib dan kegemaran para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Bahkan banyak yang mendapatkan gelar master dan doktor dengan mengambil referensi dari bukubuku terjemahan seadanya itu.
Industri buku berbeda dengan industri-industri yang lain. Yang dijual itu adalah nutrisi pikiran
dan penghidup rasa. Oleh karenanya, ada suatu proses intelektual yang sangat ketat dalam
menerbitkan sebuah buku. Ketika berbagai macam bidang pekerjaan dipersiapkan secara serius di
perguruan tinggi, menjadi sangat aneh ketika pasokan sumber daya manusia untuk industri buku
nasional tidak dibentuk dari sebuah tempaan pendidikan tinggi. Kebanyakan para pelaku industri buku
di Indonesia adalah orang-orang yang memang jatuh cinta dengan buku atau orang-orang yang tergiur
dengan cerukan pundi-pundi finansial dari industri buku.
Rasanya perlu diinisiasi pendirian jurusan penerbitan di berbagai perguruan tinggi di
Indonesia. Di Leiden University Belanda kita bisa menemukan jurusan Book dan Digital Media Studies
dari jenjang S1 sampai S3. Di Amerika dan Inggris berbagai universitas membuka jurusan Publishing
Studies. Bahkan di negeri jiran kita, Malaysia, kampus nomor satunya, University of Malaya Malaysia,
sudah punya program master dan doktoral bidang publishing studies. Dengan adanya jurusan
penerbitan ini di perguruan tinggi Indonesia, diharapkan mampu membawa angin segar bagi dunia
industri perbukuan terutama dalam program ekselerasii sumber daya manusia dunia buku dan
pengembangan bisnis yang lebih massif untuk penguatan ekonomi nasional.
Apapun yang akan terjadi di Frankfurt Book Fair 2015, harusnya sebagai bangsa kita harus
merasa bangga. Suntikan APBN yang katanya 140-an miliar rupiah tak ada bandingannya dengan
persepsi positif dari kaum intelektual yang bergelut di dunia perbukuan dari seantero penjuru dunia.
Tak dapat dipungkiri masih banyak kekurangan atas perhelatan akbar ini. Tetapi dari sana para pelaku,
pecinta dan penikmat buku bisa berbenah diri. Karena perbaikan industri buku bukan hanya sematamata untuk kepentingan profit dan pelipatgandaan revenue. Melebihi itu semua, kebangkitan dunia
buku Indonesia adalah cermin dari kebangkitan intelektual bangsa Indonesia.
2
Bagi Industri Buku Indonesia
Anggun Gunawan
Direktur Gre Publishing – Yogyakarta – Indonesia
http://grepublishing.com
Peserta Workshop Marketing Internasional Frankfurt Book Fair 2014
Dari tanggal 14 sampai 18 Oktober 2015, semua mata praktisi, akademisi, pemerhati dan
pecinta buku dari seluruh penjuru dunia akan tertuju kepada Indonesia yang menyandang status
sebagai Guest of Honor Frankfurt Book Fair 2015. Kerja 2 tahun Komite Nasional Buku Nasional yang
diketuai oleh Goenawan Mohamad bisa dibilang sangat singkat dibandingkan persiapan dengan tamutamu kehormatan sebelumnya. Penerjemahan buku-buku sastra pilihan, buku-buku anak-anak dan
buku-buku resep masak ke dalam bahasa Inggris dan bahasa Jerman dikebut agar bisa ditampilkan
sebanyak mungkin di Frankfurt. Dana 146 miliar rupiah digelontorkan dari APBN untuk menyokong
hajatan prestisius yang menjadi sorotan masyarakat literasi dunia.
Mengusung tagline 17000 Islands of Imagination, Komite Buku hendak mempersembahkan
kebhinekaan, keragaman, dan kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Jatah 130-an nama penulis,
sastrawan, koki masak, akademisi dan aktivis buku yang berangkat menjadi sumber kehebohan
sekaligus keirian. Karena banyak yang merasa berjasa atas dunia perbukuan dan literasi di Indonesia.
Penerbit-penerbit besar bisa membawa banyak staf sekaligus memajang buku-bukunya di stand-stand
khusus, sementara para penerbitan kecil kebanyakan malah tidak tahu apa itu Frankfurt Book Fair.
Hingga Senin malam, 12 Oktober 2015, 2 hari menjelang Opening Ceremony Frankfurt Book
Fair 2015 yang merupakan rangkaian pidato panjang dari panitia dan sederetan nama penting dari
negara yang bertindak sebagai Guest of Honor, fans page facebook Pulau Imaji yang menjadi akun
official Indonesia sebagai GoH FBF 2015 belum mampu menyundul angka 2000 like. Akun official
twitter RI Goes to FBF 2015 @PulauImaji hanya memiliki follower 941 orang, masih tertatih untuk
menembus angka 1000. Sangat kontras jika dibandingkan dengan 1,27 juta follower yang dimiliki oleh
Dewi Dee Lestari ya g sudah e jadi pusat perhatia sejak FBF
4 ya g lalu.
Hiruk-pikuk dan histeria para pelaku utama industri buku Indonesia menuju Frankfurt Book
Fair 2015 tak sejalan dengan respon publik yang merupakan nafas dan parameter kemajuan industri
buku itu sendiri. Press Release yang dikeluarkan oleh Digital Book World tanggal 1 Oktober 2015
kemarin sesungguhnya menjadi penegas masih lesunya industri buku di Indonesia. Pada tahun 2013,
penjualan buku di Indonesia hanya mencapai 48,1 juta euro atau sekitar 7.2 triliyun (Kurs 1 Euro sama
dengan Rp. 15.000). Jumlah yang lumayan besar, tetapi sebenarnya kalau dikomparasikan dengan 250
juta rakyat Indonesia, hanya bermakna bahwa dalam satu tahun masing-masing orang Indonesia ratarata hanya mengeluarkan budget Rp. 28.000 untuk membeli buku.
Di tahun 2014 tercatat ada 40,000 judul buku yang ditawarkan oleh penerbit-penerbit
Indonesia kepada publik. Dari segi kuantitas, raihan ini cukup mengagumkan karena mampu
menempatkan Indonesia masuk dalam 20 besar negara dengan produksi buku terbanyak. Namun
apabila dibandingkan dengan India yang sama-sama masih berstatus sebagai negara berkembang,
1
Indonesia masih kalah. Di tahun 2013, jumlah judul buku yang diterbitkan India sudah mencapai angka
90.000 judul buku.
Sementara jumlah eksemplar buku yang berhasil dijual di Indonesia pada tahun 2013 adalah
33.199.557 kopi. Angka yang apabila dikomparasikan dengan populasi Indonesia menunjukkan angka
setiap 8 orang Indonesia hanya membeli 1 buku. Buku belumlah menjadi konsumsi pokok bagi
masyarakat Indonesia. Masih jauh dari prinsip Tan Malaka yang rela mengurangi anggaran buat beli
makanan dan pakaian demi mendapatkan sebuah buku.
Penyadaran lain yang bisa dipelajari dari Frankfurt Book Fair adalah soal penghargaan kita
kepada karya dan hak kekayaan intelektual. Masih banyak penerbit-penerbit di Indonesia yang
menerjemahkan buku-buku asing, terutama berbahasa Inggris, tanpa sebuah proses kontrak jual-beli
atau kerjasama dengan penerbit sang pemilik buku asli. Kadang juga diperparah dengan kualitas
terjemahan yang sekenanya. Anehnya, terjemahan dari buku-buku babon keilmuan itu kemudian
menjadi bacaan wajib dan kegemaran para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Bahkan banyak yang mendapatkan gelar master dan doktor dengan mengambil referensi dari bukubuku terjemahan seadanya itu.
Industri buku berbeda dengan industri-industri yang lain. Yang dijual itu adalah nutrisi pikiran
dan penghidup rasa. Oleh karenanya, ada suatu proses intelektual yang sangat ketat dalam
menerbitkan sebuah buku. Ketika berbagai macam bidang pekerjaan dipersiapkan secara serius di
perguruan tinggi, menjadi sangat aneh ketika pasokan sumber daya manusia untuk industri buku
nasional tidak dibentuk dari sebuah tempaan pendidikan tinggi. Kebanyakan para pelaku industri buku
di Indonesia adalah orang-orang yang memang jatuh cinta dengan buku atau orang-orang yang tergiur
dengan cerukan pundi-pundi finansial dari industri buku.
Rasanya perlu diinisiasi pendirian jurusan penerbitan di berbagai perguruan tinggi di
Indonesia. Di Leiden University Belanda kita bisa menemukan jurusan Book dan Digital Media Studies
dari jenjang S1 sampai S3. Di Amerika dan Inggris berbagai universitas membuka jurusan Publishing
Studies. Bahkan di negeri jiran kita, Malaysia, kampus nomor satunya, University of Malaya Malaysia,
sudah punya program master dan doktoral bidang publishing studies. Dengan adanya jurusan
penerbitan ini di perguruan tinggi Indonesia, diharapkan mampu membawa angin segar bagi dunia
industri perbukuan terutama dalam program ekselerasii sumber daya manusia dunia buku dan
pengembangan bisnis yang lebih massif untuk penguatan ekonomi nasional.
Apapun yang akan terjadi di Frankfurt Book Fair 2015, harusnya sebagai bangsa kita harus
merasa bangga. Suntikan APBN yang katanya 140-an miliar rupiah tak ada bandingannya dengan
persepsi positif dari kaum intelektual yang bergelut di dunia perbukuan dari seantero penjuru dunia.
Tak dapat dipungkiri masih banyak kekurangan atas perhelatan akbar ini. Tetapi dari sana para pelaku,
pecinta dan penikmat buku bisa berbenah diri. Karena perbaikan industri buku bukan hanya sematamata untuk kepentingan profit dan pelipatgandaan revenue. Melebihi itu semua, kebangkitan dunia
buku Indonesia adalah cermin dari kebangkitan intelektual bangsa Indonesia.
2