Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan
pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola
konsumsi yang sehat oleh masyarakat, selain itu juga karena adanya pola yang salah
dalam mengelola kebijakan pangan dan pertanian. Pangan yang merupakan
sumberdaya kemanusiaan dan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling asasi,
sehingga ketersediannya bagi masyarakat harus selalu terjamin. Penyediaan pangan
yang cukup, berkualitas dan merata dapat memenuhi kualitas hidup manusia, yang
maju, mandiri, dalam suasana tentram serta sejahtera lahir dan bathin (Siswono,
2002). Pangan yang tidak mencukupi kebutuhan akan menimbulkan gangguan pada
kesehatan dan menyebabkan masalah pada gizi.
Data RISKESDAS (2010) permasalahan gizi yang masih tinggi di Indonesia
adalah dengan melihat tingginya prevalensi kekurangan gizi pada balita, yaitu sebesar
17,9 persen dan tingginya persentase anak balita pendek (stunting), yaitu sebesar 35,6
persen. Angka ini menunjukkan bahwa masih tinggi masalah kesehatan masyarakat,
karena angka status gizi anak merupakan indikator derajat kesehatan masyarakat.
Masalah gizi yang terjadi ini disebabkan banyak faktor seperti pola konsumsi yang
tidak memadai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.



 
 
Universitas Sumatera Utara


 

Menurut UNICEF (WHO, 1989) masalah kekurangan gizi terutama
ditentukan oleh penyebab langsung seperti kekurangan pangan dan penyakit infeksi
serta perawatan keluarga yang kurang baik. Dimana ketiga faktor penyebab langsung
kekurangan gizi ini ditentukan oleh penyebab tidak langsung seperti ketahanan
pangan keluarga dan pelayanan kesehatan atau keadaan lingkungan. Seterusnya yang
paling mendasari penyebab langsung dan penyebab tidak langsung kekurangan gizi
adalah kemiskinan, pendidikan dan ekologi.
Salah satu penentu kualitas sumber daya manusia adalah gizi. Kekurangan
gizi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan
terganggu, menurunnya produktifitas kerja dan daya tahan tubuh yang berakibat
meningkatnya angka kesakitan dan kematian. Kecukupan gizi sangat diperlukan oleh

setiap individu sejak janin masih didalam kandungan, bayi, anak–anak, masa remaja,
dewasa sampai usia lanjut (DEPKES RI, 2001).
Kekurangan gizi pada umumnya terjadi pada balita karena pada umur
tersebut anak mengalami pertumbuhan yang pesat. BALITA termasuk kelompok
yang rentan gizi di suatu kelompok masyarakat di mana masa itu merupakan masa
peralihan antara saat disapih dan mulai mengikuti pola makan orang dewasa
(Adisasmito, 2007). Keadaan kurang gizi yang banyak diderita BALITA adalah
masalah pendek dimana tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal
menurut umurnya. Jumlah BALITA pendek lebih banyak dari pada BALITA kurus
yaitu sebanyak 9,3 juta atau sekitar 37 persen dari BALITA di Indonesia. Gangguan
pertumbuhan yang mengakibatkan balita pendek bukan hanya terjadi setelah anak

Universitas Sumatera Utara


 

lahir, tetapi juga terjadi pada saat anak masih didalam kandungan ibunya sebagai
akibat keadaan gizi dan kesehatan ibu selama hamil yang kurang baik (DEPKES RI,
2009).

Di Indonesia diperkirakan masih terdapat sekitar 900 jiwa BALITA terancam
kekurangan gizi yang keberadaannya tersebar di pelosok-pelosok daerah Jumlah itu
merupakan 4,5 persen dari jumlah balita di Indonesia yang mencapai 23 juta jiwa.
Jumlah balita di Indonesia menurut data Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) Tahun 2013 mencapai 28.8 persen dengan laju pertumbuhan
penduduk 1.49 persen per tahun. United Nations Children’s Fund (UNICEF)
melaporkan Indonesia berada di peringkat kelima dunia untuk negara dengan jumlah
anak yang terhambat pertumbuhannya paling besar dengan perkiraan sebanyak 7,7
juta balita (DEPKES RI, 2012). Berdasarkan hasil penelitian dilakukan UNICEF
(1998), UNAND (1998) dan HKI (2000) memperlihatkan angka yaitu 31 persen anak
balita di Sumatera Barat menderita gizi kurang dan 6,6 persen diantaranya menderita
gizi buruk. Salah satu penyebab masalah gizi pada balita tersebut terjadi karena pola
asuh anak yang kurang dalam keluarga.
Gangguan pertumbuhan dari usia balita berlanjut pada saat anak masuk
sekolah. Selama kurun waktu lima tahun terjadi peningkatan status gizi anak sekolah
yang diukur dengan tinggi badan menurut umur (TB/U). Pada tahun 1994 jumlah
anak sekolah yang pendek sekitar 40 persen dan turun menjadi 36,4 persen pada
tahun 1999. Masalah gizi lain yang juga menjadi masalah pada usia sekolah adalah

Universitas Sumatera Utara



 

adanya gangguan pertumbuhan. Anak usia sekolah juga mengalami GAKY,
walaupun prevalensinya telah menurun secara berarti.
Masalah gizi kurang juga dapat terjadi pada kelompok usia produktif, yang
dapat diukur dengan Lingkar Lengan Atas kurang dari 23,5 cm (LILA < 23,5 cm).
Ukuran ini merupakan indikator yang menggambarkan resiko Kekurangan Energi
Kronis (KEK). Secara nasional, proporsi LILA < 23,5 cm menurun dari 24,9 persen
pada 1999 menjadi 16,7 persen pada 2003. Pada umumnya WUS kelompok usia
muda memiliki prevalensi KEK lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lebih tua.
WUS dengan resiko KEK mempunyai resiko melahirkan bayi BBLR Selain KEK,
pada kelompok usia produktif juga terdapat masalah kegemukan (IMT>25) dan
obesitas (IMT>27). Kedua masalah gizi ini juga terjadi di wilayah kumuh di
perkotaan maupun perdesaan. Hasil survey NSS-HKI tahun 2001 di empat kota
(Jakarta, Semarang, Makassar, Surabaya) menunjukkan bahwa prevalensi kegemukan
pada wanita usia produktif daerah kumuh perkotaan berkisar antara 18-25 persen,
yang justru lebih besar daripada prevalensi kurus (11-14 persen). Demikian juga, di
wilayah perdesaan provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur,

Lampung, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan, prevalensi
kegemukan berkisar 10-21 persen, sementara prevalensi kurus antara 10-14 persen.
Persediaan makanan di keluarga yang terbatas dan anak yang sering
menderita penyakit infeksi merupakan dua faktor utama yang menyebabkan kurang
gizi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Utomo (1998) bahwa penyakit infeksi (diare
dan saluran pernafasan) mempunyai hubungan sinergis dengan keadaan gizi. Di

Universitas Sumatera Utara


 

antara penyakit infeksi tersebut, diare merupakan penyebab utama gangguan
pertumbuhan anak Balita. Pada kelompok umur 18-36 bulan, pengenalan terhadap
lingkungan semakin luas sehingga jika lingkungan kurang sehat anak akan lebih
mudah terkena infeksi. Dari hasil penelitian Tarigan (2003) diketahui faktor-faktor
risiko pada kelompok umur 18-36 bulan berdasarkan BB/U terlihat bahwa perubahan
prevalensi gizi kurang pada anak diare pada saat krisis cenderung meningkat dari 50
persen menjadi 55,3 persen. KEP disebabkan oleh masukan (intake) energi dan
protein yang sangat kurang dalam waktu yang cukup lama. Kondisi ini akan lebih

cepat terjadi bila anak mengalami diare dan penyakit infeksi lainnya.
Faktor tidak langsung seperti ketahanan pangan dalam rumah tangga
mengacu pada pangan yang cukup dalam jumlah dan tersedia di rumah tangga,
sehingga dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Konsumsi pangan dan
tingkat keadaan gizi memiliki kaitan yang erat. Tingkat keadaan gizi optimal akan
tercapai apabila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi, namun demikian perlu
diketahui bahwa keadaan gizi seseorang dalam suatu masa ditentukan oleh konsumsi
zat gizi pada masa lampau. Perilaku konsumsi pangan atau pola konsumsi merupakan
perwujudan dari kebiasaan makan yang tumbuh berkembang dalam proses sosialisasi
keluarga dan dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya (Baliwati, 2004).
Berdasarkan data BPS (2010), selama tahun 2008, ketersediaan energi
penduduk Indonesia meningkat dari 3005 menjadi 3145 kkal/kapita/hari, sedangkan
protein meningkat dari 76,2 gram menjadi 83,28 gram/kapita/hari. Jumlah
ketersediaan ini telah melampaui angka ketersediaan energi dan protein yang telah

Universitas Sumatera Utara


 


direkomendasikan WNPG (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi) ke delapan tahun
2004 yakni masing-masing 2200 kkal/kapita/hari dan 57 gram protein/kapita/hari.
Data tingkat konsumsi energi penduduk Indonesia pada tahun 2007 rata-rata
mencapai 2015 kkal/kapita/hari, meningkat dari tahun 2005 sebesar 1996
kkal/kapita/hari. Sementara konsumsi protein pada tahun 2007 telah mencapai 57,65
gram/kapita/hari, meningkat dibandingkan konsumsi protein pada tahun 2005 sebesar
55,37 gram/kapita/hari. Konsumsi rata-rata tersebut telah melampaui angka konsumsi
yang di rekomendasikan WNPG ke delapan, yakni energi sebesar 2000
kkal/kapita/hari dan protein sebesar 52 gram/kapita/hari Kontribusi jumlah energi
pada kelompok pangan terhadap keseluruhan asupan energi per kapita per hari yang
menunjukkan bahwa sumber utama dari konsumsi makanan di Indonesia adalah padipadian terutama beras (63% dari total energi), asupan yang masih rendah pada
kelompok pangan hewani (7% dari total energi), begitu juga dengan asupan pada
kelompok pangan sayuran dan buah-buahan (5% dari total energi), yang berarti
terjadi ketidakseimbangan pola konsumsi pangan penduduk (BPS ,2010). Untuk
Sumatera Utara, rata-rata konsumsi energi sebesar 2057 kkal/kap/hari dan tingkat
konsumsi protein 57,7 gram/kap/hari. Hal ini sebenarnya sudah melebihi anjuran
2000 kkal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari tapi dilihat dari skor pola pangan harapan
sebesar 76,8 dimana skor idealnya adalah 100, menunjukkan bahwa konsumsi pangan
penduduk Sumatera Utara belum berimbang antara kelompok pangan dan gizi
(Dewan Ketahanan Pangan, 2006).


Universitas Sumatera Utara


 

Rendahnya

skor

pola

pangan

harapan

tersebut

terkait


dengan

ketidakseimbangan pola konsumsi pangan. Pemahaman terhadap ketidakseimbangan
pola konsumsi rumahtangga berguna untuk memahami kondisi kesejahteraan
rumahtangga, tingkat dan jenis-jenis pangan yang dikonsumsi serta perubahan yang
terjadi. Informasi tersebut diharapkan menjadi bahan masukan bagi pengambil
keputusan di bidang pangan dan gizi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
rumahtangga melalui perbaikan konsumsi (Rachman, 2004).
Dari hasil penelitian Aswartini, Noveria, dan Fitranita (2007), konsumsi
sayur-sayuran dan buah-buahan penduduk Indonesia baru sebesar 95 kkal/kapita/hari,
atau 79 persen dari anjuran kebutuhan minimum sebesar 120 kkal/kapita/hari. Pola
konsumsi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya kemampuan ekonomi,
ketersediaan dan pengetahuan tentang manfaat mengkonsumsi sayur-sayuran dan
buah-buahan yang sangat berpengaruh terhadap pola dan perilaku konsumsi.
Kemampuan ekonomi (pendapatan) keluarga dapat mempengaruhi pola
konsumsi suatu kelompok masyarakat. Artinya jika masyarakat mempunyai daya beli
yang cukup maka akan mendapatkan bahan pangan sesuai dengan kebutuhan dan
pilihan setiap individu anggota keluarga. Atau secara umum dapat dikatakan tingkat
pendapatan yang berbeda-beda menyebabkan keanekaragaman taraf konsumsi suatu
masyarakat atau individu.

Dari hasil penelitian Suryana (2008), ditinjau dari kelompok pendapatan,
data menunjukkan bahwa (a) 67,8 persen penduduk tergolong tahan pangan
(konsumsi energi >2000 kkal/kapita/hari); (b) 29,6 persen penduduk tergolong rawan

Universitas Sumatera Utara


 

pangan (konsumsi energi 80-90 % dari rekomendasi); (c) 2,6 persen sangat rawan
yang hanya mampu memenuhi kebutuhan kalori maksimal 70 persen dari
rekomendasi.
Kerawanan pangan tersebut, akan berdampak terhadap status gizi anggota
keluarga. Dari hasil penelitian Fauziaty (2007) menyatakan bahwa, diantara
limapuluh keluarga yang berasal dari keluarga yang ketahanan pangan yang cukup,
terjamin terdapat 2,0 persen berstatus gizi lebih, tiga puluh dua keluarga yang
ketahanan pangannya termasuk kategori tingkat kelaparan tingkat ringan terdapat
43,7 persen dengan status gizi kurang, enambelas keluarga rawan pangan tingkat
sedang terdapat 68,7 persen balita dengan satus gizi kurang, dua keluarga rawan
pangan tingkat berat 100 persen berstatus gizi buruk. Hal ini di pengaruhi oleh tingkat

pendapat.
Kaitan antara keadaan gizi anak balita dengan faktor ekonomi rumah tangga
di tunjukkan oleh hasil analisis DEPKES (1995) yang menunjukkan bahwa ciri-ciri
rumah tangga defisit energi dan protein di tujuh propivinsi dapat di identifikasikan
antara lain melalui jumlah anggota keluarga. Bila jumlah anggota rumah tangga
sudah mencapai rata-rata lima orang maka setiap kenaikan satu anggota rumah tangga
menaikkan resiko 1,2 kali untuk menjadi rumah tangga defisit kalori, bahkan di
Jakarta pertambahan satu anggota rumah tangga menaikkan resiko setinggi 1,5 kali.
Kota Padangsidimpuan terbagi dalam beberapa wilayah yang sangat beragam
potensi sumberdaya dan beragam kondisi perkotaan dan pedesaan yang berakibat
pada perbedaan dalam aspek sosial ekonomi. Sektor pertanian tanaman pangan yang

Universitas Sumatera Utara


 

terdapat di Kota Padangsidimpuan adalah berupa tanaman padi sawah dengan luas
panen sekitar 8079 Ha pada tahun 2007. Kecamatan yang menonjol kegiatan
pertanian dan perkebunannya adalah Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara.
Berdasarkan data BPS (2010) diketahui pengeluaran konsumsi rumah tangga
di Kota Padangsidimpuan digolongkan menjadi dua sub pengeluaran yaitu
subpengeluaran makanan dan sub pengeluaran nonmakanan. Selama lima tahun
terakhir, Kota Padangsidimpuan masih didominasi untuk konsumsi pangan rumah
tangga, dimana pengeluaran atau penggunaan pada konsumsi pangan rumah tangga
sangat besar, yaitu melebihi separuh dari total pendapatan rata-rata daerah, pada
tahun 2009 mencapai 1.102.099,08 juta rupiah dan pada tahun 2010 mengalami
peningkatan menjadi 1.232.119,54 juta rupiah. Oleh karena itu, pengeluaran atau
penggunaan pada konsumsi pangan rumahtangga merupakan pengeluaran terbesar
dari seluruh pengeluaran atau penggunaan yang ada. Pengeluaran rumah tangga Kota
Padangsidimpuan untuk konsumsi pangannya terjadi fluktuasi dari total pengeluaran
rumah tangga pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 yakni tahun 2006 sebesar
58,08 persen menurun pada tahun 2007 sebesar 57,29 persen, meningkat kembali
pada tahun 2008 sebesar 59,87 persen kemudian pada tahun 2009 terjadi penurunan
pengeluaran rumah tangga sebesar 58 persen dan data pada tahun 2010 terlihat
meningkat sebesar 58,84 persen dari total pengeluaran rumah tangga.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian yang
berjudul “Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan Ketersediaan Pangan dengan Status

Universitas Sumatera Utara

10 
 

Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan
tahun 2012.”

1.2

Permasalahan
Sektor pertanian tanaman pangan yang terdapat di Kota Padangsidimpuan

yang terbanyak adalah berupa tanaman padi sawah, sehingga produksi beras di Kota
padangsidimpuan adalah baik. Sementara berdasarkan data BPS (2010), Pengeluaran
rumah tangga Kota Padangsidimpuan

masih didominasi untuk konsumsi rumah

tangga, dimana pengeluaran atau penggunaan pada konsumsi rumah tangga sangat
besar, yaitu melebihi separuh dari total pendapatan rata-rata daerah dengan perkiraan
besarnya konsumsi makanan/minuman yang dikonsumsi di luar rumah, pada tahun
2009 mencapai 1.102.099,08 juta rupiah dan pada tahun 2010 mengalami
peningkatan menjadi 1.232.119,54 juta rupiah. Data profil Dinas kesehatan tahun
2011 di ketahui dari seluruh jumlah balita yang ada yakni sebesar 7769 anak, yang
berstatus gizi buruk sebanyak 3 anak dan berstatus gizi kurang sebanyak 64 anak
(0,82%).
Oleh karena belum tersedianya informasi data konsumsi yang nyata
sehubungan dengan masih didapatnya kasus status gizi buruk dan status gizi kurang
di Kota Padangsidimpuan, dirasa perlu untuk meneliti bagaimana hubungan pola
konsumsi pangan dan ketersediaan pangan dengan status gizi keluarga di Kecamatan
Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan.

Universitas Sumatera Utara

11 
 

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola
konsumsi pangan dan ketersediaan pangan dengan status gizi keluarga di Kecamatan
Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan.
Tujuan Khusus :
1.

Mendiskripsikan Ketersediaan pangan keluarga

2.

Mendiskripsikan pola konsumsi keluarga (kuantitas dan kualitas)

3.

Mendiskripsikan penyakit infeksi (Diare & ISPA)

4.

Mendiskripsikan status gizi keluarga (seluruh anggota rumah tangga)

5.

Menganalisis hubungan ketersediaan pangan keluarga dengan pola konsumsi
pangan (kuantitas konsumsi pangan)

6.

Menganalisis hubungan ketersediaan pangan keluarga dengan pola konsumsi
pangan (kualitas konsumsi pangan/skor mutu pangan).

7.

Menganalisis hubungan ketersediaan pangan keluarga dengan status gizi
keluarga.

8.

Menganalisis hubungan pola konsumsi pangan (kuantitas konsumsi pangan)
dengan status gizi keluarga

9.

Menganalisis hubungan pola konsumsi pangan (kualitas konsumsi pangan/skor
mutu pangan) dengan status gizi keluarga

Universitas Sumatera Utara

12 
 

1.4. Manfaat Penelitian
Kegunaan penelitian ini secara umum diharapkan dapat dijadikan suatu
indikator untuk menggambarkan keanekaragaman pangan di wilayah Kota
Padangsidimpuan, sehingga dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengambil
keputusan di bidang pangan dan gizi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
rumahtangga melalui perbaikan konsumsi serta dapat juga digunakan dalam
penentuan kebijakan peningkatanan status gizi masyarakat.
Bagi dunia ilmu pengetahuan di harapkan dapat menambah informasi yang
ada tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pola konsumsi pangan dan status
gizi, serta hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lanjutan
sebagai informasi atau masukan mengenai pola konsumsi keluarga di daerah lain.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Hubungan Ketahanan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga Buruh Kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh Tahun 2014

4 44 137

Pola Konsumsi Makanan Jajanan Dan Status Gizi Remaja Pesantren Irsyadul Islamiyah Tanjung Medan Dan SMU Negeri 1 Kampung Rakyat Rantau Prapat Tahun 2006

0 38 83

Hubungan Pola Konsumsi, Ketersediaan Pangan, Pengetahuan Gizi Dan Status Kesehatan Dengan Kejadian Kek Pada Ibu Hamil Di Kabupaten Simalungun 2008

13 92 114

Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 0 21

Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 0 2

Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 0 32

Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 1 8

Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 0 39

POLA PENYEDIAAN DAN KONSUMSI PANGAN TERHADAP STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA BURUH TANI

0 0 70

1. Karakteristik Status Sosial Ekonomi Keluarga - Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan Status Sosial Ekonomi KeluargaDengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah Dasar SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan 2014

0 0 22