Hubungan Ketahanan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga Buruh Kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh Tahun 2014

(1)

HUBUNGAN KETAHANAN PANGAN KELUARGA DENGAN STATUS GIZI KELUARGA BURUH KAYU DI KAMPUNG KOTALINTANG

KECAMATAN KOTA KUALASIMPANG KABUPATEN ACEH TAMIANG PROVINSI ACEH TAHUN 2014

TESIS

Oleh

DIZA FATHAMIRA HAMZAH 127032139/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

HUBUNGAN KETAHANAN PANGAN KELUARGA DENGAN STATUS GIZI KELUARGA BURUH KAYU DI KAMPUNG KOTALINTANG

KECAMATAN KOTA KUALASIMPANG KABUPATEN ACEH TAMIANG PROVINSI ACEH TAHUN 2014

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kebijakan Gizi Masyarakat

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

DIZA FATHAMIRA HAMZAH 127032139/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN KETAHANAN PANGAN KELUARGA DENGAN STATUS GIZI

KELUARGA BURUH KAYU DI KAMPUNG KOTALINTANG KECAMATAN KOTA KUALASIMPANG KABUPATEN ACEH TAMIANG PROVINSI ACEH TAHUN 2014 Nama Mahasiswa : Diza Fathamira Hamzah

Nomor Induk Mahasiswa : 127032139

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si)

Ketua Anggota

(Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 8 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M. Si Anggota : Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si

Ir. Etty Sudaryati, M.K.M, Ph.D Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes


(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN KETAHANAN PANGAN KELUARGA DENGAN STATUS GIZI KELUARGA BURUH KAYU DI KAMPUNG KOTALINTANG

KECAMATAN KOTA KUALASIMPANG KABUPATEN ACEH TAMIANG PROVINSI ACEH TAHUN 2014

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2014

Diza Fathamira Hamzah 127032139/IKM


(6)

ABSTRAK

Kurangnya pendapatan akan mengakibatkan kurangnya kemampuan keluarga untuk menyediakan pangan yang cukup dan bergizi bagi seluruh anggota keluarga. Kondisi ini erat kaitannya dengan ketahanan pangan rumah tangga. Secara tidak langsung, ketahanan pangan rumah tangga berhubungan dengan status gizi keluarga.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi keluarga buruh kayu. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain potong lintang. Populasi adalah seluruh keluarga buruh kayu. Sampel sebanyak 83 keluarga yang diperoleh melalui metode acak sederhana. Ketahanan pangan rumah tangga diukur dengan metode Jonsson & Toole. Penentuan status gizi setiap anggota keluarga dilakukan dengan indikator BB/U, BB/TB, IMT/U, IMT dan LILA. Hubungan antara ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi keluarga dianalisis dengan menggunakan Uji Exact Fisher dengan tingkat

kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga buruh kayu tergolong rentan pangan (61,4%) dan berstatus gizi keluarga yang tergolong baik (80,7%). Hasil Uji Exact Fisher menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi keluarga buruh kayu (p=0,076). Temuan ini mengindikasikan bahwa penggunaan persentase pengeluaran pangan sebagai indikator ketahanan pangan keluarga kurang sensitif untuk memprediksi status gizi pada keluarga berpenghasilan rendah.

Diperlukan perhatian pemerintah daerah untuk mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga yang baik untuk seluruh lapisan masyarakat dengan cara peningkatan pendapatan keluarga melalui diversifikasi usaha skala kecil atau rumah tangga. Selain itu, diperlukan peningkatan usaha promosi gizi dan kesehatan oleh tenaga kesehatan dan tokoh masyarakat untuk mencapai dan mempertahankan status gizi keluarga yang baik.


(7)

ABSTRACT

Lack of income will lead family’s inability in providing nutritious food for all family members. The condition is closely related to the household food security. Indirectly, household food security is related to family nutritional status.

The research aims to know the correlation between household food security and nutritional status of wood worker’s family. The research used observational method with cross-sectional design. The population were whole wood worker’s family and 83 of them were used as the study sample obtained by simple random sampling method. Household food security was measured by using Jonsson and Toole Method. Family nutritional status determined by using weight/age, weight/height, BMI/age, BMI, and the upper arm circumference indicators. The correlation between

household food security and the family nutritional status was analyzed by using Fisher’s Exact Test with confidence level of 95%.

The result showed most families are sensitive household food security (61,4%) and the family nutritional status classified as good (80,7%). Fisher Exact Test’s indicated no significant correlation between household food security and the nutritional status of wood worker’s family (p=0,076). This research indicated the household food expenditure percentage as the indicator of household food security was not sensitive to predict the nutritional status of low income family.

It is recommended for local government attention is required to achieve the sustainable household food security for whole society wood worker’s family by increasing the amount of income per month through small or household scale bussines diversification. Beside, it is important to improve the nutrition and health promotion effort by health workers and community leaders in order to achieve and mantain the good family nutritional status.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul “Hubungan Ketahanan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga Buruh Kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh Tahun 2014” ini.

Tesis ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta, Papa M. Rizal S.H., M.Hum dan Mama Nyak Budi Suciati, S.H. yang tiada henti memberikan kasih sayang, mendoakan penulis tiada henti, serta selalu memberikan bimbingan, arahan dan motivasi kepada penulis dalam menuliskan skripsi ini.

Selanjutnya tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp. A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara,

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara,

3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat serta pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan,

4. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU sekaligus Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak


(9)

meluangkan waktu untuk memberikan dukungan dan bimbingan yang sangat menginspirasi penulis dalam menyelesaikan tesis ini,

5. Ir. Etty Sudaryati, M.KM , Ph.D, dan Ernawati Nasution, S.K.M., M.Kes selaku anggota tim penguji yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan guna penyempurnaan tesis ini,

6. Seluruh staf pengajar Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berarti selama penulis menjalani pendidikan,

7. Azmi Arifin , S.Pi selaku Datok Penghulu Kampung Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian dan dukungan selama melakukan penelitian, dan

8. Wan Indah Kumala selaku tenaga pelaksana gizi Puskesmas Kota Kualasimpang yang telah membantu memberikan arahan dan bimbingan dalam penyelesaian tesis ini.

Selanjutnya, secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Nenek tersayang, Prof. Dr. Hj. Fathul Djannah, S.H., M.Sc. yang selalu memantau perkembangan penulisan tesis ini serta selalu memberikan arahan, dukungan, dan doa yang tiada henti dalam penulisan tesis ini,

2. Om Ikhwan, Tante Mimi, Indah Yunita serta Latifah Yasmin yang telah rela meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam membantu penulis untuk


(10)

mengumpulkan data selama penelitian di Kampung Kotalintang, memberikan arahan serta bimbingan dalam penyelesaian tesis,

3. Hara Habibi Hasibuan, S.E, terima kasih atas motivasi, dukungan, kesabaran, serta kebersamaannya selama ini,

4. Seluruh teman-teman satu angkatan AKGM yang telah menyumbangkan masukan dan saran serta kritikan yang membangun untuk kesempurnaan tesis,

5. Seluruh teman-teman satu bimbingan serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas bantuannya sehingga tesis ini dapat terselesaikan

Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna. Akan tetapi, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2014 Penulis

Diza Fathamira Hamzah 127032139/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Diza Fathamira Hamzah, dilahirkan di Medan pada tanggal 13 Agustus 1990, beragama Islam, bertempat tinggal di Jalan Setia Indah No. 60 Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan M. Rizal, S.H.,M.Hum dan Nyak Budi Suciati, S.H.

Jenjang pendidikan formal penulis dimulai di SD Swasta Panca Budi Medan pada tahun 1996 dan tamat tahun 2002. Pada tahun 2005, penulis menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 7 Medan. Pada tahun 2008, penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Medan. Pada tahun 2012, penulis menyelesaikan pendidikan di FKM USU Medan. Pada tahun 2012 sampai 2014, penulis menjalani pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Selama menjalani pendidikan S2, penulis mengisi waktu kosong kuliahnya dengan mengajar sebagai dosen honor di salah satu akademi keperawatan swasta di daerah Kota Binjai.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2Permasalahan ... 9

1.3Tujuan Penelitian ... 9

1.4Hipotesis ... 10

1.5Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Pengertian Ketahanan Pangan Keluarga ... 11

2.1.1 Subsistem Ketahanan Pangan Keluarga ... 16

2.2 Metode Pengukuran Ketahanan Pangan Keluarga ... 17

2.2.1 Ketahanan Pangan Keluarga Berdasarkan Konteks Demografi 17 2.2.2 Ketahanan Pangan Keluarga Berdasarkan Masalah Kerawanan Pangan ... 19

2.2.3 Ketahanan Pangan Keluarga secara Kuantitatif dan Kualitatif .. 20

2.2.4 Ketahanan Pangan Keluarga Berdasarkan Pengeluaran dan Konsumsi Pangan Keluarga ... 22

2.2.4.1 Tingkat Pengeluaran Pangan Keluarga ... 23

2.2.4.2 Tingkat Kecukupan Konsumsi Pangan Keluarga ... 26

2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Konsumsi Pangan Keluarga ... 28

2.3.1 Pendapatan Keluarga per Bulan ... 28

2.3.2 Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga ... 29

2.3.3 Pengetahuan Gizi Ibu ... 30

2.3.4 Jumlah Anggota Rumah Tangga ... 32

2.4 Status Gizi ... 33

2.4.1 Penilaian Status Gizi Rumah Tangga secara Langsung ... 34

2.4.2 Penilaian Status Gizi Rumah Tangga secara tidak Langsung ... 36

2.4.3 Penyakit Infeksi ... 37

2.5 Jenis Pekerjaan di Sektor Informal ... 38


(13)

2.6.1 Karateristik Keluarga, Ketahanan Pangan Keluarga, dan

Status Gizi Keluarga ... 42

2.7 Landasan Teori ... 45

2.8 Kerangka Konsep ... 47

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 49

3.1 Jenis Penelitian ... 49

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 50

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 51

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 54

3.5.1 Variabel Penelitian ... 54

3.5.2 Definisi Operasional ... 55

3.6 Metode Pengukuran ... 57

3.7 Metode Analisis Data ... 64

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 66

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 66

4.2 Jenis-Jenis Pekerjaan Buruh Kayu ... 67

4.3 Karakteristik Keluarga ... 69

4.4 Penyakit Infeksi ... 71

4.5 Ketahanan Pangan Keluarga ... 72

4.6 Status Gizi Keluarga ... 74

4.7 Hubungan Ketahanan Pangan Keluarga dengan Status Gizi ... 76

BAB 5. PEMBAHASAN ... 78

5.1 Ketahanan Pangan Keluarga Buruh Kayu ... 78

5.2 Status Gizi Keluarga Buruh Kayu ... 82

5.3 Hubungan Ketahanan Pangan dengan Status Gizi Keluarga Buruh Kayu ... 86

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

6.1 Kesimpulan ... 91

6.2 Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93 LAMPIRAN


(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1 Pengukuran Ketahanan Pangan di Tingkat Keluarga ... 18 2.2 Skala Ketahanan Pangan Keluarga Berdasarkan Tingkat Keparahan ... 21 2.3 Pengukuran Ketahanan Pangan Keluarga ... 22 2.4 Indeks Antropometri yang Digunakan pada Penelitian untuk Mengukur

Status Gizi Anggota Rumah Tangga ... 36 2.5 Penggolongan Status Gizi Keluarga ... 36 3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen

Pengetahuan Gizi Ibu ... 54 3.2. Pengukuran Ketahanan Pangan Keluarga ... 57 3.3. Indeks Antropometri Berat Badan Menurut Umur pada Anak

Usia 0-2 Tahun ... 59 3.4. Indeks Antropometri Berat Badan Menurut Tinggi Badan pada Anak

Usia >2 Tahun sampai 5 Tahun ... 60 3.5. Indeks Massa Tubuh Menurut Umur Anak Usia >5 Tahun sampai 18

Tahun ... 60 3.6. Kategori Indeks Massa Tubuh untuk Golongan Usia Dewasa

(>18 Tahun) ... 61 3.7. Kategori Ukuran Lingkar Lengan Atas (LILA) pada Wanita Hamil

Usia 15-45 Tahun ... 61 4.1 Tingkat Pendidikan Penduduk Kampung Kotalintang ... 67 4.2 Distribusi Frekuensi Jenis Pekerjaan Kepala Keluarga Buruh Kayu di

Kampung Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2014 ... 69


(15)

4.3 Karakteristik Keluarga Buruh Kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2014 ... 71 4.4 Distribusi Frekuensi Penyakit Infeksi Keluarga Buruh Kayu di

Kampung Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten

Aceh Tamiang Tahun 2014 ... 72 4.5 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengeluaran Pangan Keluarga Buruh

Kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang

Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2014... 72 4.6 Distribusi Frekuensi Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi Rata-Rata

Keluarga Buruh Kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kota

Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2014 ... 73 4.7 Distribusi Frekuensi Ketahanan Pangan Keluarga Buruh Kayu

di KampungKotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2014 ... 74 4.8 Distribusi Frekuensi Status Gizi Keluarga Buruh Kayu di Kampung

Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2014 ... 75 4.9 Status Gizi Tidak Normal pada Setiap Golongan Usia Anggota Rumah

Tangga Buruh Kayu di Kampung Kotalintang ... 76 4.10 Hubungan antara Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan

Status Gizi Keluarga Buruh Kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2014 ... 77


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Izin Kepala Kampung tentang Izin Penelitian ... 100

2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Pengetahuan Gizi Ibu ... 101

3. Pengantar Lembar Persetujuan Responden Penelitian ... 103

4. Formulir Lembar Persetujuan ... 105

5. Kuesioner A. Data Karateristik Keluarga, Penimbangan Berat Badan dan Tinggi Badan Anggota Keluarga ... 106

6. Kuesioner B. Data Tingkat Pengeluaran Pangan Keluarga ... 107

7. Kuesioner C. Data Penyakit Infeksi ... 108

8. Kuesioner D. Formulir Food List Recall 2 x 24 jam ... 109

9. Kuesioner E. Data Pengetahuan Gizi Ibu ... 110

10. Data Status Gizi Keluarga Buruh Kayu Kampung Kotalintang ... 112

11. Data Karakteristik Keluarga dan Penyakit Infeksi Keluarga Buruh Kayu Kampung Kotalintang ... 119

12. Data Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu, Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Jenis Pekerjaan Keluarga Buruh Kayu di Kampung Kotalintang ... 121

13. Hasil Uji Statistik ... 123

14 Jenis Tingkatan Pekerjaan Buruh Kayu ... 128


(17)

ABSTRAK

Kurangnya pendapatan akan mengakibatkan kurangnya kemampuan keluarga untuk menyediakan pangan yang cukup dan bergizi bagi seluruh anggota keluarga. Kondisi ini erat kaitannya dengan ketahanan pangan rumah tangga. Secara tidak langsung, ketahanan pangan rumah tangga berhubungan dengan status gizi keluarga.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi keluarga buruh kayu. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain potong lintang. Populasi adalah seluruh keluarga buruh kayu. Sampel sebanyak 83 keluarga yang diperoleh melalui metode acak sederhana. Ketahanan pangan rumah tangga diukur dengan metode Jonsson & Toole. Penentuan status gizi setiap anggota keluarga dilakukan dengan indikator BB/U, BB/TB, IMT/U, IMT dan LILA. Hubungan antara ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi keluarga dianalisis dengan menggunakan Uji Exact Fisher dengan tingkat

kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga buruh kayu tergolong rentan pangan (61,4%) dan berstatus gizi keluarga yang tergolong baik (80,7%). Hasil Uji Exact Fisher menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi keluarga buruh kayu (p=0,076). Temuan ini mengindikasikan bahwa penggunaan persentase pengeluaran pangan sebagai indikator ketahanan pangan keluarga kurang sensitif untuk memprediksi status gizi pada keluarga berpenghasilan rendah.

Diperlukan perhatian pemerintah daerah untuk mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga yang baik untuk seluruh lapisan masyarakat dengan cara peningkatan pendapatan keluarga melalui diversifikasi usaha skala kecil atau rumah tangga. Selain itu, diperlukan peningkatan usaha promosi gizi dan kesehatan oleh tenaga kesehatan dan tokoh masyarakat untuk mencapai dan mempertahankan status gizi keluarga yang baik.


(18)

ABSTRACT

Lack of income will lead family’s inability in providing nutritious food for all family members. The condition is closely related to the household food security. Indirectly, household food security is related to family nutritional status.

The research aims to know the correlation between household food security and nutritional status of wood worker’s family. The research used observational method with cross-sectional design. The population were whole wood worker’s family and 83 of them were used as the study sample obtained by simple random sampling method. Household food security was measured by using Jonsson and Toole Method. Family nutritional status determined by using weight/age, weight/height, BMI/age, BMI, and the upper arm circumference indicators. The correlation between

household food security and the family nutritional status was analyzed by using Fisher’s Exact Test with confidence level of 95%.

The result showed most families are sensitive household food security (61,4%) and the family nutritional status classified as good (80,7%). Fisher Exact Test’s indicated no significant correlation between household food security and the nutritional status of wood worker’s family (p=0,076). This research indicated the household food expenditure percentage as the indicator of household food security was not sensitive to predict the nutritional status of low income family.

It is recommended for local government attention is required to achieve the sustainable household food security for whole society wood worker’s family by increasing the amount of income per month through small or household scale bussines diversification. Beside, it is important to improve the nutrition and health promotion effort by health workers and community leaders in order to achieve and mantain the good family nutritional status.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah kemiskinan sangat erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan gizi pada setiap individu. Menurut berita resmi statistik, pada bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia (atau penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) berjumlah sebanyak 28,07 juta jiwa atau sebesar 11,37%. Meskipun demikian, jumlah penduduk miskin di Indonesia telah berkurang sebesar 0,52 juta jiwa dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada bulan September 2012 yaitu sebesar 28,59 juta jiwa atau sebesar 11,66% (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2013).

Salah satu program yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan adalah MDG’s, dengan tujuan utamanya adalah penanggulangan kemiskinan dan kelaparan. Ukuran penting MDG’s tentang kemiskinan dan kelaparan adalah terkait dengan gizi, yaitu apakah masyarakat sudah mengkonsumsi makanan yang berkecukupan. Kemiskinan sangat erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan, dimana kemiskinan merupakan penyebab mikro dari timbulnya masalah ketahanan pangan.

Ketahanan pangan dapat diasumsikan sebagai suatu keadaan pangan yang stabil akan ketersediaan, aksesibilitas (keterjangkauan) dan stabilitas pengadaannya. UU No. 7 tahun 1996 menerangkan konsep ketahanan pangan sebagai suatu kondisi ketika setiap individu dalam suatu keluarga memiliki kecukupan makan setiap saat,


(20)

kecukupan kuantitas dan kualitas makanan yang aman dan terjangkau. Maka dari itu, fokus ketahanan pangan tidak hanya cukup pada tingkat global, nasional maupun regional saja, tetapi juga pada tingkat keluarga.

Pangan dan gizi merupakan dua unsur penting dalam peningkatan produktivitas nasional dan perbaikan kualitas hidup setiap manusia. Penyediaan pangan haruslah memenuhi kebutuhan gizi, keamanan, serta terjangkau oleh masyarakat setiap saat. Ketahanan pangan dan status gizi merupakan suatu kesatuan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa.

Status gizi seseorang ditentukan oleh kuantitas dan kualitas (ragam) pangan yang dikonsumsi oleh seseorang karena setiap pangan memiliki nilai gizi yang berbeda-beda. Semakin beragam pangan yang dikonsumsi, maka semakin baik zat gizi yang diterima oleh tubuh. Status gizi yang baik dapat mencerminkan baik atau buruknya ketahanan pangan suatu keluarga(Amaliyah, 2011).

Baik atau buruknya ketahanan pangan suatu keluarga dapat diketahui dengan mengukur ketahanan pangan keluarga tersebut. Ketahanan pangan keluarga adalah tingkatan dari suatu keluarga yang mampu menyediakan bahan makanan yang cukup, aman, dan bergizi dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari untuk dapat hidup aktif dan sehat. Menurut Rumalean (2013) yang mengutip pendapat Handewi (2004), terdapat empat ketahanan pangan tingkat keluarga, yaitu : (i) keluarga tahan pangan, (ii) keluarga rentan pangan, (iii) keluarga kurang pangan, dan (iv) keluarga rawan pangan (Rumalean, 2013). Secara nasional, proporsi keluarga yang tergolong rentan


(21)

pangan mencapai lebih dari 47%. Data distribusi keluargadi Indonesia menurut ketahanan pangan keluarga dan provinsi di Indonesia tahun 1999, provinsi yang rentan ketahanan pangan keluarganya paling tinggi adalah Provinsi NAD yaitu sebesar 68,92% (Badan Pusat Statistik, 1999).

Penentuan derajat ketahanan pangan di tingkat keluarga memerlukan beberapa faktor. Faktor penentu utama ketahanan pangan di tingkat keluarga adalah akses (fisik dan ekonomi) terhadap pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut (Purwantini dkk, 2000).

Banyak metode yang dapat digunakan untuk mengukur derajat ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Metode pengukuran ketahanan pangan keluarga yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Jonnson dan Toole (1991) yang menggabungkan dua indikator ketahanan pangan yaitu tingkat pengeluaran pangan dan kecukupan konsumsi energi (Ariani M & Handewi PSR, 2003).

Menurut Amaliyah (2011), tingkat konsumsi dan kualitas pangan yang dikonsumsi oleh suatu keluargaditentukan oleh berbagai faktor. Faktor pendapatan merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi pola konsumsi rumah tangga. Pendapatan yang semakin tinggi menunjukkan daya beli yang semakin meningkat, sehingga meningkat pula aksesibilitas terhadap pangan dengan kualitas yang baik (Amaliyah, 2011).

Tingkat pengeluaran pangan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menganalisis ketahanan pangan rumah tangga. Tingkat pengeluaran pangan adalah biaya yang dikeluarkan untuk makanan oleh suatu keluarga dalam waktu


(22)

setiap bulannya dan membandingkannya dengan total pengeluaran per bulan. Semakin besar tingkat pengeluaran pangan berarti ketahanan pangan suatu keluarga semakin berkurang. Semakin tingginya kesejahteraan masyarakat suatu negara, maka besar tingkat pengeluaran pangan keluarganya semakin kecil, demikian sebaliknya (Amaliyah, 2011).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ariani dkk (2003) diperoleh bahwa terdapat keluarga di Indonesia yang tidak memiliki akses yang cukup terhadap pangan. Diketahui pada tahun 2003, sebanyak 47,3% keluarga di Indonesia tergolong keluarga yang rentan pangan dengan faktor akses yang menjadi penyebab utama masalah ini. Keluarga rentan pangan dapat dilihat dari tingkat pengeluaran pangan sebesar lebih dari 60% dan konsumsi energi lebih dari 80% kecukupan konsumsi energi yang seharusnya (Ariani M & Handewi PSR, 2003).

Menurut hasil penelitian Handewi (2004) yang dikutip oleh Rumalean (2013) dengan menggunakan data SUSENAS yang dilakukan oleh BPS tahun 1999, diperoleh bahwa sebesar 30% keluarga di Indonesia tergolong rawan pangan. Ketahanan pangan memiliki kaitan yang erat dengan status gizi. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Natalia dkk (2013) di Desa Gondangwinangun, terdapat sebanyak 89,2% keluarga yang tergolong tahan pangan dengan status gizi batita yang baik (Natalia dkk, 2013).

Berdasarkan laporan Badan Pusat Satistik Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2012, secara garis besar pengeluaran masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang tertinggi berasal dari pengeluaran untuk konsumsi keluarga. Pada tahun 2012, pengeluaran


(23)

konsumsi keluarga di Kabupaten Aceh Tamiang mencapai Rp 989.422,87 sedangkan pengeluaran bukan untuk konsumsi keluarga mencapai Rp 799.295,12. Dapat dilihat pengeluaran untuk konsumsi keluarga sangat besar, yaitu melebihi separuh dari pengeluaran keluargabukan untuk konsumsi. Hal ini dapat menjadi landasan untuk mengukur ketahanan pangan keluargadi sekitar wilayah Aceh Tamiang (Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tamiang, 2013).

Konsep ketahanan pangan keluarga ditekankan pada akses pangan dari keluargatersebut. Data anak seperti angka kematian bayi, berat bayi lahir rendah (BBLR), serta data gangguan pertumbuhan pada anak (bayi maupun balita) dapat menunjukkan adanya indikasi belum terpenuhinya kebutuhan gizi di setiap anggota keluargadalam suatu keluarga. Keadaan ini dapat menjadi suatu cerminan bahwa ketahanan pangan keluargatersebut masih lemah. Penyebab utama lemahnya ketahanan pangan tersebut adalah kemiskinan yang menyebabkan keluarga tidak mampu membeli pangan untuk mencukupi kebutuhan mereka.

Menurut profil Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2012, kasus kematian bayi di Kabupaten Aceh Tamiang ada sebanyak 90 kasus dari 5.699 kelahiran hidup atau sebesar 16 per 1000 kelahiran hidup. Selain itu, adanya peningkatan kasus gizi buruk balita pada tahun 2012 berdasarkan indikator BB/TB dan atau disertai dengan gejala klinis yang terjadi di daerah Kabupaten Aceh tamiang yakni sebanyak 116 orang balita dari 22.680 balita yang ditimbang. Data tersebut dapat mengindikasikan ketahanan pangan keluarga di daerah Kabupaten Aceh Tamiang tergolong masih lemah (Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tamiang, 2012).


(24)

Kabupaten Aceh Tamiang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam yang menduduki urutan ke-6 kabupaten dengan jumlah penduduk miskin terbesar di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 45.300 jiwa atau sebesar 17,49% (Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, 2011). Kabupaten Aceh Tamiang terdiri dari 12 kecamatan dan penduduk utamanya adalah Suku Tamiang yang paling banyak terdapat di Kecamatan Kota Kualasimpang. Daerah yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Kota Kualasimpang, yakni sebanyak 4185 orang/km2

Berdasarkan hasil kegiatan survei pendahuluan yang dilakukan, Kampung Kotalintang terbagi atas dua bagian, yaitu Kota Lintang Atas dan Kota Lintang Bawah. Kampung Kotalintang Atas adalah daerah yang tidak dialiri oleh Sungai Tamiang dan mayoritas penduduknya adalah bukan suku asli atau bukan Suku Tamiang, melainkan Suku Aceh yang berasal dari Banda Aceh, Bireun, dan Lhokseumawe, dan kebanyakan penduduknya bekerja sebagai pedagang. Sedangkan Kotalintang Bawah merupakan daerah langsung yang dialiri oleh Sungai Tamiang dan mayoritas penduduknya adalah bersuku asli atau suku Tamiang. Banyaknya penduduk miskin ataupun keluargamiskin dapat dilihat dari banyaknya penduduk yang memilih untuk bekerja di sektor informal, dikarenakan penduduk Kampung Kotalintang Bawah lebih memilih untuk bekerja daripada bersekolah, sehingga daerah ini tergolong daerah dengan pendidikan rendah. Hal ini dapat dilihat dari dengan penduduk terbanyak terdapat di daerah Kampung Kotalintang (Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tamiang, 2013).


(25)

jumlah penduduk yang tidak tamat SD sebanyak 1904 jiwa. Mereka lebih memilih untuk bekerja daripada bersekolah (Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tamiang, 2013).

Data penduduk untuk wilayah Kampung Kotalintang Bawah pada bulan Desember tahun 2013 terdiri dari 671 keluarga dan kebanyakan penduduk Kampung Kotalintang Bawah bekerja di sektor informal yaitu sebagai buruh kayu dan buruh tambang pasir, dimana sebagian besar penduduk Kota Lintang Bawah memilih bekerja sebagai buruh kayu dibandingkan dengan buruh tambang pasir. Mereka berpendapat bahwa pendapatan dari bekerja sebagai buruh kayu lebih tinggi dibandingkan sebagai buruh tambang pasir. Sebagai buruh kayu, mereka menggantungkan hidupnya kepada keadaan Sungai Tamiang. Sungai Tamiang merupakan media transportasi untuk membawa kayu dengan menggunakan rakit. Keadaan Sungai Tamiang sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca yang saat ini tidak bisa diprediksikan. Jika terjadi gangguan pada Sungai Tamiang, misalnya terjadi banjir ataupun air surut, maka aktivitas kerja terganggu sehingga masyarakat yang bekerja sebagai buruh kayu tidak dapat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hal ini menyebabkan kurangnya pendapatan dari keluarga buruh kayu tersebut (Kantor Datok Penghulu Kampung Kota Lintang, 2013).

Pendapatan buruh kayu diukur dari berapa ton kayu yang ia kerjakan selama satu hari kerjanya. Jenis upah berbeda-beda sesuai dengan tingkat jenis pekerjaannya dan besarnya risiko kerja yang ditanggung. Jika dihitung secara kasar, pendapatan buruh kayu yang dapat diperolehnya selama sebulan bisa mencapai Rp. 450.000


(26)

hingga 1.500.000. Namun, pendapatan tersebut tidak pasti dapat diperoleh setiap bulannya. Hal ini diakibatkan oleh pengaruh cuaca yang memengaruhi keadaan Sungai Tamiang, sehingga pendapatan sebulan hanya seadanya saja. Buruh kayu merupakan pekerjaan dengan risiko besar dengan jam kerja yang tinggi. Maka dari itu, diperlukan asupan nutrisi yang baik untuk menjalankan hidupnya. Ketika terjadi ketidakstabilan pendapatan, keluarga buruh kayu hanya dapat belanja seadanya saja.

Faktor kurangnya pendapatan dari suatu rumah tangga, pada akhirnya dapat berhubungan dengan tingkat status gizi dari setiap anggota keluarga buruh kayu. Tingkat status gizi setiap anggota keluarga dari buruh kayu akan memengaruhi tingkat produktivitas dari setiap anggota keluarga, dan akhirnya dapat memengaruhi dari kualitas sumber daya manusia Kabupaten Aceh Tamiang (Serambi Indonesia, 2012).

Berdasarkan hasil pengamatan pada survei pendahuluan, kebanyakan status gizi buruh kayu cenderung lebih mengarah kepada status gizi lebih atau obese. Kurangnya pendapatan karena tidak tentunya jumlah besar pendapatan yang diperoleh setiap bulan oleh mayoritas buruh kayu di kampung kota lintang bawah, tidak menjadikan mereka untuk membatasi pengeluaran konsumsi pangan. Banyaknya makanan berkalori tinggi yang dijual dengan harga murah di daerah Kampung Kotalintang, misalnya seperti nasi gurih, lontong, bakso, siomay, sate matang dan jajanan pasar lainnya yang dapat memengaruhi perilaku konsumsi pangan masyarakat di daerah tersebut terutama keluarga buruh kayu. Masyarakat Kampung Kotalintang pada umumnya lebih mementingkan kuantitas makanan yang dikonsumsi


(27)

untuk memenuhi kebutuhan biologisnya (rasa lapar) dari pada kualitas makanan yang dikonsumsi oleh setiap anggota keluarganya. Hal ini pun dapat memengaruhi status gizi dari keluarga buruh kayu.

Kemiskinan ataupun kurangnya pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan keluargauntuk menyediakan pangan yang cukup dan bergizi bagi seluruh anggota keluarganya sehingga, dapat menyebabkan lemahnya ketahanan pangan dalam suatu rumah tangga, yang nantinya membawa pengaruh terhadap kurangnya asupan zat gizi. Kondisi ini dapat menurunkan status gizi yang dapat berakibat buruk pada produktivitas buruh kayu maupun anggota keluarganya. Maka dari itu, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Ketahanan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga Buruh Kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh Tahun 2014”.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan hal tersebut, dirasa perlu untuk mengetahui bagaimana hubungan ketahanan pangan keluarga dengan status gizi keluarga buruh kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh tahun 2014.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan ketahanan pangan keluargadengan status gizi keluarga buruh kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang.


(28)

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketahanan pangan keluarga, menganalisis status gizi keluarga, menganalisis tingkat pengeluaran pangan keluarga sebulan terhadap total pengeluaran sebulan, menganalisis tingkat kecukupan konsumsi energi rata-rata keluarga, menganalisis penyakit infeksi, serta menganalisis tingkat pengetahuan gizi ibu.

1.4 Hipotesis

Ada hubungan antara ketahanan pangan keluarga dengan status gizi keluarga buruh kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh.

1.5 Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai suatu indikator untuk menggambarkan ketahanan pangan keluarga yang bekerja di sektor informal, sehingga dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan di bidang pangan dan gizi dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dapat dilihat dari ketahanan pangan keluarga.

Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan untuk menentukan kebijakan dalam peningkatan status gizi masyarakat, terutama pekerja di sektor informal dengan jumlah pendapatan per bulan di bawah upah minimum provinsi.


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ketahanan Pangan Keluarga

Seiring kemajuan ilmu pengetahuan, defenisi dan paradigma ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sejak adanya Conference of Food and Agriculture tahun 1943 yang menggalakkan konsep secure, adequate, and suitable supply food for everyone. Perkembangan lingkungan strategis global dan domestik, dimana terjadi perubahan sistem pemerintahan dan paradigma pembangunan ke arah yang lebih terdesentralisasi, demokratis dan lebih terbuka pada ekonomi pasar yang lebih kompetitif, maka arah dan pendekatan pembangunan ketahanan pangan perlu disesuaikan dan dikoreksi ke arah paradigma baru yang lebih tepat (Adriani M & Bambang W, 2012).

Paradigma baru dalam pembangunan dan pemantapan ketahanan pangan antara lain: (1) pendekatan pengembangan dari ketahanan pangan pada tataran agregat (makro) menjadi ketahanan pangan berbasis rumah tangga; (2) pendekatan manajemen pembangunan, dari pola sentralistik menjadi pola desentralistik; (3) pelaku utama pembangunan, dari peran pemerintah menjadi dominasi peran masyarakat; (4) fokus pengembangan komoditas, dari beras menjadi komoditas pangan dalam arti luas; (5) keterjangkauan rumah tangga atas pangan, dari penyediaan pangan murah menjadi peningkatan daya beli; dan (6) perubahan perilaku


(30)

keluarga terhadap pangan, dari sadar kecukupan pangan menjadi sadar kecukupan gizi (Afandi, 2011).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Hal itu diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 tahun 2006 Tentang Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan.

Secara rinci pengertian ketahanan pangan dapat dipahami sebagai berikut (Novitri, 2005) :

a. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup mencakup aspek volume dan keragamannya untuk memenuhi kebutuhan zat mikro, yang dibutuhkan oleh manusia untuk tumbuh, hidup sehat dan produktif.

b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kima, serta benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah agama.

c. Terpenuhinya pangan yang terjangkau, diartikan pangan secara fisik mudah diperoleh oleh setiap waktu oleh rumah tangga dengan harga terjangkau. Pada dasarnya konsep ketahanan pangan terkait dengan beberapa hal seperti : ketersediaan pangan, stabilitas harga, dan keterjangkauan pangan/akses terhadap pangan. Konsep ketahanan pangan paling tidak harus memenuhi lima unsur pokok,


(31)

yaitu berorientasi pada kebutuhan rumah tangga dan individu, setiap bahan pangan tersedia dan mudah diakses, mengutamakan aksesibilitas baik bagi rumah tangga maupun individu secara fisik, maupun sosial-ekonomi, bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan gizi secara aman yang dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, serta mampu hidup sehat dan produktif (Soemarno, 2010).

Secara umum, konsep ketahanan pangan lazimnya memenuhi lima syarat utama, yaitu ketersedian pangan, akses pangan, penyerapan pangan, stabilitas pangan serta status gizi. Ketersediaan pangan merupakan syarat yang menunjukkan bahwa pangan tersebut tersedia dalam jumlah yang cukup, aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan mapun bantuan pangan, dimana pangan tersebut juga harus mampu mencukupi jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kebutuhan yang aktif dan sehat (Soemarno, 2010).

Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga dan individu dengan sumber daya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan pangannya sendiri. Penyerapan pangan merupakan syarat yang mengambarkan penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup yang sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air serta kesehatan lingkungan. Stabilitas pangan merupakan dimensi waktu dari ketahanan pangan yang terbagi menjadi kerawanan pangan kronis dan kerawanan pangan sementara (Soemarno, 2010).

Ketahanan pangan bukan hanya merupakan suatu isu gizi dan kesehatan yang hanya mencakup tingkat nasional, maupun regional saja, tetapi juga tingkat rumah


(32)

tangga. Ketahanan pangan keluarga sebagaimana hasil rumusan International Congres of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefenisikan bahwa: “Ketahanan pangan keluarga (household food security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari”. Dalam sidang Committee on World Food Security 1995 definisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan harus diterima oleh budaya setempat (Suhadi Purwantoro, 2009).

Hal lain dinyatakan Hasan (1995) yang dikutip oleh Suhadi Purwantoro (2009) menyatakan bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam, yang memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya setempat (Suhadi Purwantoro, 2009).

Menurut Suhadi (2012) yang mengutip pendapat Sutrisno (1996) kebijakan peningkatan ketahanan pangan memberikan perhatian secara khusus kepada mereka yang memiliki risiko tidak mempunyai akses untuk memperoleh pangan yang cukup (Suhadi Purwantoro, 2012).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Faktor-faktor yang diduga memengaruhi ketahanan pangan keluarga


(33)

tersebut diatas, dapat dirinci menjadi 4 faktor. Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 faktor yang memengaruhi ketahanan pangan yaitu: kecukupan ketersediaan pangan secara nasional, stabilitas ketersediaan pangan, aksesibilitas terhadap pangan serta kualitas/keamanan pangan (Adriani M & Bambang W, 2012).

Hasil perhitungan angka kecukupan energi dan angka kecukupan protein pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin, serta komposisi penduduk hasil sensus penduduk tahun 2010, diperoleh rata-rata angka kecukupan energi dan angka kecukupan protein pada tingkat konsumsi masing-masing adalah sebesar 2150 kkal dan 57 gram per kapita per hari dengan proporsi anjuran protein hewani 25%. Sementara itu, angka kecukupan energi dan angka kecukupan protein pada tingkat ketersediaan pangan mencapai 2400 kkal dan 63 gram per kapita per hari. (Hardinsyah dkk, 2010). Walaupun ketahanan pangan di tingkat nasional dan provinsi sudah dapat dikatakan tergolong aman dan terjamin, hal tersebut belum dapat menentukan ketahanan pangan di tingkat keluarga.

Ketahanan pangan di tingkat keluarga adalah kemampuan sebuah keluarga untuk cukup tahan dalam hal pangan untuk menjamin kecukupan intake makanan bagi seluruh anggota keluarga. Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi, meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi (Sukandar dkk, 2006). Konsep ketahanan pangan terdiri dari berbagai subsistem yang dapat menjadi acuan untuk mengukur derajat ketahanan pangan suatu keluarga.


(34)

2.1.1 Subsistem Ketahanan Pangan Keluarga

Menurut Novitri (2005) yang mengutip pendapat Thaha (2000) menjelaskan bahwa terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil interaksi dari berbagai subsistem ketahanan pangan, yaitu subsistem ketersediaan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi (Novitri, 2005).

1. Subsistem Ketersediaan Pangan

Subsistem ini mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan. Ketersediaan pangan menyangkut masalah produksi, stok, impor dan ekspor, yang harus selalu dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan sebagian bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, pangan yang tersedia bagi keluarga harus cukup volume dan jenisnya serta stabil dari waktu ke waktu.

2. Subsistem Distribusi

Subsistem ini mencakup upaya memperlancar proses peredaran pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas harga pangan. Hal ini ditujukan dalam rangka meningkatkan daya akses masyarakat terhadap pangan yang cukup. Surplus pangan tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu ataupun masyarakatnya.

3. Subsistem Konsumsi

Subsistem ini menyangkut tingkat pendidikan masyarakat agar memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsi individu secara optimal sesuai dengan tingkatan kebutuhannya. Konsumsi pangan


(35)

tanpa memperhatikan asupan zat gizi yang cukup dan berimbang tidak efektif bagi pembentukan manusia yang sehat, daya tubuh yang baik, cerdas dan produktif.

Tidak tercapainya ketiga subsistem tersebut maka ketahanan pangan tidak mungkin terwujud, sehingga menimbulkan kerawanan pangan. Rawan pangan merupakan suatu keadaan dimana suatu wilayah baik fisik maupun ekonomi tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan untuk seluruh warganya (Novitri, 2005).

2.2 Metode Pengukuran Ketahanan Pangan Keluarga

Banyak metode yang dapat digunakan untuk mengukur ketahanan pangan di tingkat keluarga baik di perdesaan maupun di perkotaan, antara lain sebagai berikut. 2.2.1 Ketahanan Pangan Keluarga Berdasarkan Konteks Demografi

Menurut LIPI, dalam mengukur ketahanan pangan keluarga secara bertahap dan mengukurnya menurut subsistem ketahanan pangan keluarga. Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:

1. Kecukupan ketersediaan pangan

2. Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun

3. Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta 4. Kualitas/keamanan pangan


(36)

Menurut LIPI (2004), pengukuran ketahanan pangan dihitung dengan cara mengkombinasikan keempat indikator ketahanan pangan tersebut. Kombinasi antara kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan memberikan indikator stabilitas ketersediaan pangan. Selanjutnya kombinasi antara stabilitas ketersediaan pangan dengan akses terhadap pangan memberikan indikator kontinyuitas ketersediaan pangan. Pengukuran ketahanan pangan diukur berdasarkan gabungan antara indikator kontinyuitas ketersediaan pangan dengan kualitas /keamanan pangan. Pengukuran ketahanan pangan ditingkat keluarga dikategorikan pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Pengukuran Ketahanan Pangan di Tingkat Keluarga Kontinuitas

Ketersediaan Pangan

Kualitas/Keamanan Pangan: Konsumsi Protein Hewani dan/atau Nabati Protein Hewani dan

Nabati/Protein Hewani Saja

Protein Nabati Saja

Tidak Ada Konsumsi Protein Hewani, dan Nabati

Kontinu Tahan Kurang Tahan Tidak Tahan

Kurang Kontinu Kurang Tahan Tidak Tahan Tidak Tahan Tidak Kontinu Tidak Tahan Tidak Tahan TidakTahan Sumber : LIPI, 2004

Berdasarkan matriks tersebut, maka keluarga dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu:

1. Keluarga tahan pangan adalah keluarga yang memiliki persediaan pangan/makanan pokok secara kontinu (diukur dari persediaan makan selama jangka masa satu panen dengan panen berikutnya dengan frekuensi makan 3 kali


(37)

atau lebih per hari serta akses langsung) dan memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati atau protein hewani saja

2. Keluarga kurang tahan pangan adalah keluarga yang memiliki kontinuitas pangan/makanan pokok tetapi hanya mempunyai pengeluaran untuk protein nabati saja, ketersediaan pangan/makanan yang kurang kontinu serta mempunyai pengeluaran untuk protein hewani dan nabati

3. Keluarga tidak tahan pangan adalah keluarga yang memiliki kontinyuitas ketersediaan pangan, tetapi tidak memiliki pengeluaran untuk protein hewani maupun nabati. Kemudian, kontinuitas ketersediaan pangan yang kurang kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran untuk protein hewani atau nabati, atau tidak untuk kedua-duanya. Selain itu, keluarga tidak tahan pangan adalah keluarga yang ketersediaan pangannya tidak kontinu walaupun memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati atau hanya memiliki pengeluaran untuk protein nabati saja, atau tidak untuk kedua-duanya

2.2.2 Ketahanan Pangan Keluarga Berdasarkan Masalah Kerawanan Pangan Penilaian ketahanan pangan dapat ditentukan melalui masalah kerawanan pangan yang terjadi di suatu wilayah. Biasanya metode penilaian tersebut dilakukan pada daerah-daerah yang penduduknya sering mengalami masalah kemiskinan dan kelaparan. Menurut Baliwati (2004), rawan pangan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan beraktivitas dengan baik.


(38)

Kondisi rawan pangan dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu rawan pangan kronis dan rawan pangan transien/transistori. Rawan pangan kronis adalah kondisi ketidakcukupan pangan secara menetap akibat ketidakmampuan suatu keluarga untuk memperoleh pangan yang dibutuhkan melalui pembelian di pasar atau melalui produksi sendiri. Kondisi ini berakar pada kemiskinan, rendahnya kualitas sumberdaya serta sering terjadi di daerah terisolir dan gersang. Sedangkan rawan pangan transien/ transistori, yaitu penurunan akses terhadap pangan yang dibutuhkan oleh suatu keluarga secara kontemporer. Hal ini disebabkan adanya bencana alam, kerusuhan, musim yang menyimpang dan keadaan lain yang bersifat mendadak, sehingga menyebabkan ketidakstabilan harga pangan, produksi, atau pendapatan (Mustofa, 2012).

2.2.3 Ketahanan Pangan Keluarga secara Kuantitatif dan Kualitatif

Pengukuran ketahanan pangan di tingkat keluarga dapat ditentukan secara kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif menurut Smith (2002) dalam Fathonah TY dan Nuraini WP (2011), dilakukan dengan menggunakan survei pengeluaran keluarga (household expenditure survey) dan asupan pangan individu (individual food intake). Dalam metode kuantitatif, terdapat empat variabel yang digunakan yaitu jumlah konsumsi energi keluarga, tingkat kecukupan energi, diversifikasi pangan, dan persentase pengeluaran pangan (Fathonah TY & Nuraini WP, 2011).

Penilaian kualitas pangan telah dikembangkan di Amerika Serikat dengan menggunakan alat kuesioner. Menurut Bickel et al (2000) dalam Fathonah TY dan Nuraini WP (2011), penilaian ketahanan pangan keluarga secara kualitatif dapat dilakukan dengan menanyakan kondisi kejadian perilaku dan reaksi subjektif, yaitu:


(39)

1. Kekhawatiran bahwa anggaran pangan rumah tangga atau ketersediaan pangan kemungkinan tidak mencukupi

2. Persepsi bahwa konsumsi orang dewasa atau anak-anak dalam keluarga tidak mencukupi dari segi kualitas

3. Kejadian mengurangi konsumsi dewasa dalam keluarga atau berbagai akibat yang muncul dari pengurangan asupan makanan tersebut

4. Kejadian mengurangi makanan atau berbagai akibat yang muncul dari pengurangan asupan makanan tersebut pada anak-anak dalam suatu keluarga

Isi dari pertanyaan dalam kuesioner tersebut kemudian dikategorikan ke dalam skala ketahanan pangan yang terdiri dari 4 kategori tingkat keparahan yang tertera pada tabel berikut.

Tabel 2.2 Skala Ketahanan Pangan Keluarga Berdasarkan Tingkat Keparahan

No. Skala Ketahanan Pangan Penilaian pada Keluarga

1. Tahan Pangan Jika suatu keluarga tidak menunjukkan tidak ada atau hanya sedikit bukti ketidaktahanan pangan

2. Tidak Tahan pangan tanpa kelaparan

Jika hanya sedikit atau tidak ada pengurangan asupan makanan pada setiap anggota keluarga

3. Tidak Tahan Pangan dengan Kelaparan Sedang

Jika asupan makanan orang dewasa dalam keluarga dikurangi sehingga terjadi kelaparan yang berulang

4. Tidak Tahan Pangan dengan Kelaparan Berat

Jika keluarga yang memiliki anak melakukan pengurangan asupan makanan sehingga terjadi kelaparan pada anak


(40)

2.2.4 Ketahanan Pangan Keluarga Berdasarkan Pengeluaran dan Konsumsi Pangan Keluarga

Pengukuran ketahanan pangan keluarga dapat dilakukan dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Jonsson and Toole (1991) dalam Ariani M dan Handewi PSR (2003) yang menggabungkan dua indikator ketahanan pangan yaitu tingkat pengeluaran pangan dan konsumsi energi rata-rata keluarga. Batasan untuk konsumsi energi rata-rata keluarga adalah 80%, sedangkan batasan tingkat pengeluaran pangan adalah 60% dari total pengeluaran. Indikator tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Pengukuran Ketahanan Pangan Keluarga

Konsumsi Energi Rumah Tangga

Tingkat Pengeluaran Pangan Rendah

(≤ 60% Pengeluaran Total)

Tinggi

(>60% Pengeluaran Total)

Cukup

(>80% kecukupan energi rata-rata keluarga)

Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang

(≤ 80% kecukupan energi rata-rata keluarga)

Kurang Pangan Rawan Pangan Sumber : Jonsson and Tole, 1991 dalam Ariani M & Handewi PSR, 2003

Tabel di atas menjelaskan bahwa ada empat tingkatan dalam menilai ketahanan pangan keluarga, yaitu : keluarga tahan pangan, keluarga rentan pangan, keluarga kurang pangan, dan keluarga rawan pangan. Selain itu, dianggap penting untuk mengetahui bagaimana karakteristik dari keluarga tersebut, meliputi pendapatan sebulan, aspek sosio demografi, konsumsi, tingkat pengetahuan ibu.


(41)

Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan di Kampung Kotalintang, sebagian besar keluarga buruh kayu memiliki pendapatan keluarga sebulan yang rendah, namun ketersediaan pangan dalam keluarga tetap terjaga sehingga kondisi kelaparan tidak terjadi pada sebagian besar keluarga buruh kayu. Hal inilah yang menjadi latar belakang peneliti dalam memilih metode pengukuran ketahahan pangan keluarga dalam penelitian ini.

Menurut Ilham dan Bonar yang mengutip pendapat Pakpahan dkk (1993) menyebutkan bahwa ada hubungan antara tingkat pengeluaran pangan dengan ketahanan pangan keluarga. Tingkat pengeluaran pangan berbanding terbalik dengan ketahanan pangan, semakin besar tingkat pengeluaran pangan maka semakin rendah ketahanan rumah tangga yang bersangkutan. Semakin menurunnya kesejahteraan suatu rumah tangga menyebabkan daya beli menjadi rendah akibatnya tingkat pengeluaran suatu rumah tangga untuk pangan menjadi meningkat (Ilham N & Bonar M Sinaga, 2007).

2.2.4.1 Tingkat Pengeluaran Pangan Keluarga

Tingkat pendapatan suatu keluarga berpengaruh dalam menentukan jenis dan jumlah pangan yang akan dibeli serta seberapa besar proporsi (tingkat) dari pendapatan yang akan digunakan untuk membeli pangan. Tingkat pendapatan suatu keluarga memiliki kaitan yang erat akan ketersediaan pangan di keluarga. Tidak cukupnya persediaan pangan keluarga, menunjukkan adanya kerawanan pangan rumah tangga (household food insecurity). Hal ini berarti bahwa kemampuan


(42)

keluarga tersebut untuk memenuhi kebutuhan pangan, baik kuantitas maupun kualitas bagi seluruh anggota keluarga nya belum terpenuhi (Soekirman, 2000).

Tingkat pengeluaran pangan keluarga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi konsumsi pangan keluarga. Tingkat pengeluaran pangan masih mendominasi pengeluaran keluarga (51,92%), keluarga nasional dan perkotaan dalam hasil penelitian termasuk ke dalam keluarga mampu karena tingkat pengeluaran pangannya berada pada interval 20% sampai 59%. Selain itu, karena tingkat pengeluaran pangan ≤ 60% pengeluaran total dan tingkat konsumsi energi >80% syarat kecukupan gizi, maka keluarga tersebut masih termasuk ke dalam kelompok rumah tangga tahan pangan. Berdasarkan data BPS (1992), rumah tangga tidak dinyatakan miskin karena tingkat pengeluaran pangannya lebih kecil dari 70%. Kondisi rumah tangga nasional dan perkotaan berbeda dengan rumah tangga pedesaan. Rumah tangga pedesaan termasuk ke dalam keluarga miskin. Keluarga tersebut juga termasuk dalam rumah tangga rentan pangan (Arbaiyah, 2013).

Tingkat pengeluaran pangan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menganalisis ketahanan pangan keluarga. Tingkat pengeluaran pangan adalah biaya yang dikeluarkan untuk makanan oleh suatu rumah tangga dalam waktu setiap bulannya dan membandingkannya dengan total pengeluaran per bulan. Semakin besar tingkat pengeluaran pangan berarti ketahanan pangan suatu keluarga semakin berkurang. Semakin tingginya kesejahteraan masyarakat suatu negara, maka besar tingkat pengeluaran pangan rumah tangganya semakin kecil, demikian sebaliknya (Amaliyah, 2011).


(43)

Kerangka ekonomi dapat memengaruhi analisis gizi. Secara langsung maupun tidak langsung variabel-variabel ekonomi dapat memengaruhi konsumsi pangan dan status gizi pada sekelompok individu. Analisis gizi dalam kerangka ekonomi dapat digunakan untuk mempelajari kecenderungan ataupun hukum yang menerangkan pengaruh berbagai variabel ekonomi seperti pendapatan, pengeluaran, harga terhadap konsumsi pangan dan gizi serta status gizi. Berdasarkan hasil laporan Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tamiang menjelaskan bahwa pengeluaran pangan rumah tangga mencapai 55% dari total pengeluaran rumah tangga selama sebulan, dimana rata-rata pengeluaran pangan rumah tangga di Kabupaten Aceh Tamiang mencapai Rp 989.422,87 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tamiang, 2013).

Hal tersebut sesuai dengan Hukum Engel yang menjelaskan bahwa ketika terjadi peningkatan pendapatan, akan mengakibatkan penurunan persentasi pengeluaran terhadap pangan, dan demikian sebaliknya. Selain itu, didukung juga oleh Hukum Bennet yang menyatakan bahwa persentase bahan pangan pokok berpati dalam konsumsi pangan rumah tangga akan semakin berkurang seiring dengan meningkatnya pendapatan dan cenderung beralih kepada pangan berenergi yang lebih mahal. Rumah tangga yang memiliki peningkatan pendapatan, biasanya mengganti makanan pokok mereka menjadi makanan yang harganya lebih mahal, misalnya pada saat kenaikan gaji ataupun ketika baru saja gajian, biasanya suatu keluarga yang makanan pokoknya nasi menggantikan nasi menjadi mie ataupun roti. Sedangkan pada rumah tangga dengan pendapatan yang rendah, biasanya permintaan terhadap pangan akan tertuju kepada pangan yang padat kalori.


(44)

Peningkatan pendapatan lebih lanjut akan meningkatkan konsumsi pangan rumah tangga yang lebih beragam serta kaya akan zat gizi. Peningkatan pangan lebih lanjut tidak hanya akan meningkatkan konsumsi keanekaragaman konsumsi pangan, tetapi juga akan berakibat pada peningkatan konsumsi lemak, protein hewani dan gula, termasuk peningkatan konsumsi pangan di luar rumah. Sedangkan di sisi lain, peningkatan pendapatan juga akan memengaruhi penurunan konsumsi pangan yang lebih murah, yaitu pangan pokok berpati dan protein nabati (Soekirman, 2000). 2.2.4.2 Tingkat Kecukupan Konsumsi Pangan Keluarga

Konsumsi pangan adalah salah satu faktor yang dapat memengaruhi status gizi secara langsung dimana status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Konsumsi pangan juga digunakan untuk mengukur derajat ketahanan pangan suatu rumah tangga. Menurut pendapat Radhardja P (2001) yang dikutip oleh Harahap (2012) menyatakan bahwa bagi sebagian negara yang sedang berkembang ada empat faktor yang sangat berpengaruh terhadap konsumsi pangan sehari-hari, yaitu produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, pengeluaran uang untuk keperluan rumah tangga, pengetahuan gizi, dan tersedianya pangan (Harahap, 2012).

Tercukupinya kebutuhan pangan suatu kelompok individu ataupun keluarga dapat dilihat dari pemenuhan kebutuhan energi dan proteinnya. Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi VIII (WNPG) tahun 2004 menganjurkan konsumsi energi dan


(45)

protein penduduk Indonesia masing-masing adalah sebesar 2000 kkal/kapita/hari dan 52 gram/kapita/hari (Adriani M & Bambang W, 2012).

Kecukupan konsumsi energi dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi keluarga. Konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi makanan, yaitu gastronomik, identitas budaya, religi dan magis, komunikasi, lambang status ekonomi, serta kekuatan dan kekuasaan (Khomsan, 2000).

Konsumsi makanan keluarga merupakan makanan dan minuman yang tersedia layak untuk dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga (Supariasa dkk, 2002). Idealnya, Konsumsi pangan rumah tangga yang baik harus memenuhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan rumah tangga yang dianjurkan. Jika ditinjau dari segi kuantitasnya, konsumsi pangan yang dianjurkan adalah konsumsi dengan sumbangan energinya 60-70% berasal dari karbohidrat, 15-20% dari protein dan 20-30% dari lemak, di samping cukup akan vitamin, mineral dan serat. Konsumsi pangan tersebut terbagi dalam tiga periode, yaitu sarapan, makan siang dan malam (Harahap, 2012).

Penilaian konsumsi pangan merupakan salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok secara tidak langsung. Informasi tentang konsumsi pangan dapat dilakukan dengan cara survei konsumsi pangan dan akan menghasilkan data yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif.


(46)

Penilaian konsumsi pangan energi keluarga dilakukan dengan meninjau dua aspek, yaitu aspek kuantitas pangan dan aspek kualitas pangan. Metode food list recall adalah metode yang digunakan untuk mengukur penilaian konsumsi pangan baik dari aspek kuantitas maupun aspek kualitas konsumsi pangan di tingkat keluarga yang dilakukan dengan menanyakan dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi selama penelitian dilakukan, dalam penelitian ini dilakukan metode food list recall selama 2 x 24 jam dengan waktu yang tidak berdekatan. Jumlah makanan diperkirakan dengan ukuran berat ataupun URT.

2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi Pangan Keluarga

Setiap keluarga terdiri dari beberapa individu yang disebut sebagai anggota keluarga atau anggota rumah tangga. Hal ini yang mendasari bagaimana konsumsi pangan dari keluarga tersebut. Konsumsi pangan dari suatu keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut.

2.3.1 Pendapatan Keluarga per Bulan

Tingkat pendapatan yang tinggi akan memberi peluang yang lebih besar bagi keluarga untuk memilih pangan dalam jumlah maupun jenisnya. Keluarga yang berpendapatan rendah mempergunakan sebagian besar dari pendapatannya untuk membeli makanan, dan semakin tinggi pendapatan semakin menurun proporsi yang digunakan untuk membeli makanan.

Keluarga yang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan akan berakibat buruk pada status gizi anggota rumah tangganya. Pendapatan memiliki


(47)

kaitan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan keluarga, dimana adanya perubahan pendapatan secara langsung dapat memengaruhi perubahan konsumsi dari suatu keluarga. Adanya peningkatan pendapatan keluarga, diindikasikan dapat memperbesar peluang keluarga untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan dari keluarga tersebut.

Daya beli keluarga sangat memengaruhi akan memengaruhi pemenuhan konsumsi pangan yang bergizi. Keluarga dengan pendapatan yang terbatas, kurang mampu memenuhi kebutuhan makanan yang diperlukan oleh tubuh, dan pasti memengaruhi tingkat keberagaman konsumsi pangan. Pengeluaran keluarga juga penting untuk diperhitungkan, karena pengeluaran keluarga dianggap sebagai proksi dari pendapatan yang memengaruhi tingkat konsumsi pangan suatu keluarga (Afandi, 2011).

2.3.2 Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga

Faktor sosial ekonomi yang ikut memengaruhi tumbuh kembang anak adalah pendidikan (Supariasa dkk, 2002). Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai kepada perubahan tingkah laku yang baik. Pendidikan sangat memengaruhi penerimaan informasi tentang gizi. Masyarakat dengan pendidikan yang rendah akan lebih mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan sehingga sulit menerima informasi baru di bidang gizi.


(48)

Semakin tinggi pendidikan seseorang, terutama seorang kepala keluarga maka aksesnya terhadap media massa (koran, majalah, media elektronik) juga makin tinggi yang juga berarti aksesnya terhadap informasi yang berkaian dengan gizi juga semakin tinggi (Hardinsyah, 2007).

2.3.3 Pengetahuan Gizi Ibu

Pengetahuan gizi ibu dapat memengaruhi keragaman konsumsi pangan keluarganya. Namun demikian pengaruh positif ini dapat ditiadakan/berubah oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah daya beli atau ekonomi, ketersediaan waktu untuk membeli, mengolah dan menyiapkan makanan, preferensi atau kesukaan pangan, kepercayaan terhadap jenis pangan, dan ketersediaan pangan. Selain faktor tersebut, menyebutkan ada faktor lain yang berpengaruh terhadap keragaman konsumsi pangan, yaitu pendidikan gizi, paparan media masa dan pengalaman gizi, usia kedua orang tua, dan partisipasi ibu dalam kegiatan sosial (Hardinsyah, 2007).

Tingkat pengetahuan gizi ibu akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi keluarganya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Arbaiyah, 2013). Secara umum, di negara berkembang, ibu memainkan peranan penting dalam memilih dan mempersiapkan pangan untuk dikonsumsi anggota keluarganya. Walaupun sering kali para ibu bekerja di luar, mereka tetap mempunyai andil besar dalam kegiatan pemilihan dan penyiapan makanan dan mengidentifikasi pola pengambilan keputusan dalam keluarga (Hardinsyah, 2007).


(49)

Penyelenggaraan makanan dalam rumah tangga sehari-hari secara umum dikoordinir oleh ibu. Ibu yang mempunyai kesadaran gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makan sehat sedini mungkin kepada putra putrinya. Ibu berperan penting dalam melatih anggota keluarganya untuk membiasakan makan yang sehat. Untuk memperoleh pangan sehat dan sesuai dengan standar maka perlu menguasai pengetahuan tentang pemilihan bahan pangan (Puspita, 2004).

Pengetahuan ibu tentang gizi adalah apa yang diketahui ibu tentang pangan sehat, pangan sehat untuk golongan usia tertentu (misalnya gizi pada anak, gizi pada ibu hamil dan menyusui) dan cara ibu memilih, mengolah dan menyiapkan pangan dengan benar. Pengetahuan ibu tentang bahan pangan akan memengaruhi perilaku pemilihan pangan dan ketidaktahuan dapat menyebabkan kesalahan dalam pemilihan dan pengolahan pangan. Pengetahuan tentang gizi dan pangan yang harus dikonsumsi agar tetap sehat, merupakan faktor penentu kesehatan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan gizi ibu meliputi pengetahuan ibu tentang pemilihan dan konsumsi sehari-hari dengan baik dan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Pemilihan dan konsumsi bahan makanan berpengaruh terhadap status gizi anggota keluarganya. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Status gizi kurang terjadi apabila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi essential. Sedangkan status gizi lebih terjadi apabila tubuh memperoleh zat gizi dalam jumlah


(50)

yang berlebihan, sehingga menimbulkan efek yang membahayakan (Almatsier, 2009).

2.3.4 Jumlah Anggota Rumah Tangga

Pemantauan konsumsi gizi tingkat rumah tangga tahun 1995-1998 menyatakan bahwa jumlah anggota rumah tangga yang semakin banyak, akan semakin mengalami kecenderungan turunnya rata-rata asupan energi dan protein per kapita per hari yang ditunjukkan dengan prevalensi tertinggi pada rumah tangga yang beranggotakan diatas enam orang. Hasil penelitian Latief (2000) yang dikutip oleh Arbaiyah (2013) menunjukkan bahwa selama terjadi krisis moneter, distribusi pangan yang dikonsumsi semakin memburuk pada rumah tangga yang mempunyai anggota yang cukup besar (Arbaiyah, 2013).

Survei pangan di India memperlihatkan bahwa tersedianya protein bagi setiap anak dalam keluarga dengan salah satu atau dua anak, mendapat 22 % lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai anak empat atau lima anak. Kasus gizi buruk yang paling berat sering menimpa anak-anak dari keluarga besar (Soekirman, 2000). Ukuran rumah tangga (household size) merupakan penentu dalam konsumsi energi. Semakin besar ukuran rumah tangga, maka semakin sedikit pangan tersedia yang yang dapat didistribusikan pada anggota rumah tangga (Arbaiyah, 2013). Faktor- faktor yang memengaruhi konsumsi pangan dalam suatu rumah tangga tersebut dapat memengaruhi keadaan ketahanan pangan keluarga, dan secara tidak langsung ketahanan pangan dapat memengaruhi tingkat status gizi rumah tangga tersebut.


(51)

2.4 Status Gizi

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang maupun sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absrobsi dan penggunaan dari zat gizi makanan. Status gizi merupakan suatu keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau gambaran dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Status gizi seseorang memiliki kaitan dengan keadaan gizi, yang menunjukkan keadaan dari akibat keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan pengeluaran zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologi akibat dari tersedianya zat-zat gizi dalam seluler tubuh (Supariasa dkk, 2002). Status gizi adalah salah satu jenis masalah kesehatan mikro yang terdapat di Indonesia dan dianggap penting karena status gizi dapat menjadi salah satu faktor risiko untuk terjadinya kesakitan maupun kematian. Dengan adanya status gizi, keadaan tubuh sebagai akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi dapat dilihat.

Status gizi juga dianggap sebagai outcome ketahanan pangan yang merupakan cerminan dari kualitas hidup seseorang. Subsistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan penyediaan pangan di tingkat makro (nasional maupun regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi dari setiap anggota rumah tangga (Adriani M & Bambang W, 2012).


(52)

2.4.1 Penilaian Status Gizi Keluarga secara Langsung

Tingkat status gizi seseorang dapat diketahui melalui kegiatan penilaian status gizi. Penilaian status gizi pada dasarnya adalah proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan mengumpulkan data-data yang dianggap penting untuk menilai status gizi yang bersifat objektif mupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan standar baku yang telah ditetapkan. Data-data tersebut tentu nya diperoleh melalui kegiatan pengumpulan data. Penilaian status gizi masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung adalah penilaian yang dapat memberikan gambaran status gizi secara langsung dari seorang individu yang dapat dilihat dari bagaimana ukuran fisiknya, bagaimana organ , struktur serta jaringan penyusun tubuhnya.

Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian, yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung adalah kegiatan penilaian status gizi dimana hasil dari kegiatan tersebut dapat dijadikan sebagai bukti awal seseorang mengalami kekurangan gizi. Metode penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga bagian yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital serta faktor ekologi. Idealnya, untuk memperoleh hasil penilaian status gizi yang akurat dapat dilakukan dengan kedua metode penilaian status gizi tersebut (Supariasa dkk, 2002).

Penentuan status gizi dari suatu keluarga alangkah baiknya jika kita dilakukan dengan menilai status gizi dari masing-masing anggota keluarga tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Umumnya, kegiatan penilaian status gizi secara


(53)

langsung kebanyakan menggunakan metode antropometri, yaitu dengan menggunakan ukuran tubuh manusia. Parameter antropometri merupakan dasar dari kegiatan penilaian status gizi secara langsung. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri lebih sering digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi dari suatu individu yang dapat terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa dkk, 2002).

Antropometri digunakan untuk menilai dan memprediksi status gizi, performa, kesehatan dan kelangsungan hidup seseorag dan dapat menggambarkan keadaan sosial ekonomi atau kesejahteraan penduduk. Banyak ukuran indeks antropometri yang digunakan untuk menilai status gizi maupun tingkat pertumbuhan anak. Namun, indeks antropometri yang paling sering digunakan terdiri dari 4 ukuran, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), dan indeks mass tubuh (IMT). Masing-masing indeks tersebut dapat digunakan berbeda untuk setiap jenis golongan usia.

Penilaian status gizi keluarga pada penelitian ini, dilakukan dengan mengukur status gizi dari setiap anggota keluarga, kemudian dari hasil pengukuran status gizi tersebut, dapat disimpulkan bagaimana tingkat status gizi keluarga. Indeks antropometri yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur status gizi pada setiap anggota keluarga dapat dilihat pada tabel berikut ini.


(54)

Tabel 2.4 Indeks Antropometri yang Digunakan pada Penelitian untuk Mengukur Status Gizi Anggota Rumah Tangga

Usia Anggota Rumah Tangga Keluarga Buruh Kayu

Indeks Antropometri yang Digunakan

0- 2 tahun BB/U

>2 – 5 tahun BB/TB

>5-18 tahun IMT/U

>18 tahun IMT

15-45 tahun pada wanita hamil LILA

Hasil pengukuran status gizi dari setiap anggota rumah tangga keluarga, dikelompokkan lagi dan dikategorikan seperti pada tabel berikut.

Tabel 2.5 Penggolongan Status Gizi Keluarga

Kriteria Status Gizi Keluarga

>50% dari status gizi anggota rumah tangga berstatus gizi normal

Baik 50% dari status gizi anggota rumah

tangga berstatus gizi normal

Sedang <50% dari status gizi anggota rumah

tangga berstatus gizi normal

Tidak baik Sumber : Arbaiyah, 2013

2.4.2 Penilaian Status Gizi Keluarga secara tidak Langsung

Penilaian status gizi secara tidak langsung adalah kegiatan penilaian status gizi dimana hasil dari kegiatan tersebut dapat dijadikan sebagai bukti awal seseorang mengalami kekurangan gizi. Metode penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga bagian yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital serta faktor ekologi.

Hal-hal yang menyangkut akan tiga aspek penilaian status gizi secara tidak langsung yang terdiri dari statistik vital, survei konsumsi makanan serta faktor-faktor


(55)

ekologi, digunakan pada penelitian ini untuk mengukur status gizi rumah tangga keluarga buruh kayu dengan memperhitungkan karakteristik keluarga yang berhubungan dengan ketiga aspek penilaian status gizi secara tidak langsung tersebut. 2.4.3 Penyakit Infeksi

Interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi akan memengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi. Mekanisme patologisnya dapat bermacam-macam, baik terjadi secara sendiri-sendiri maupun bersamaan, misalnya seperti : penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya absorpsi, dan kebiasaan mengurangi makan saat sakit. Peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat penyakit diare, mual/muntah dan pendarahan yang terjadi secara terus menerus. Kemudian, adanya peningkatan kebutuhan,baik peningkatan kebutuhan akibat sakit (human host) dan parasit yang terdapat dalam tubuh (Arisman, 2004).

Pengaruh timbal balik antara gizi kurang dengan penyakit infeksi dapat dilihat secara luas, dan diketahui bahwa ISPA sering menyertai gizi kurang maupun gizi buruk. Berdasarkan penelitian Rasmaliah (2004), ada hubungan antara status gizi dengan rawannya terkena penyakit infeksi (ISPA dan diare), tidak lain karena status gizi sangat berpengaruh terhadap kekebalan tubuh. Kurang gizi pada anak dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygiene akan menyebabkan penurunan reaksi kekebalan tubuh yang berarti kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun (Rasmaliah, 2004).


(56)

Menurut laporan SP2TP Puskesmas Kota Kuala Simpang tahun 2013 tentang 10 penyakit terbesar yang diderita, penyakit ISPA merupakan penyakit peringkat pertama dan penyakit diare menduduki peringkat ketiga, yang penderitanya mencakup semua golongan umur dengan mayoritas penderita adalah golongan usia 20 sampai 44 tahun (Puskesmas Kota Kuala Simpang, 2013). Hal tersebut didukung dari fakta yang terjadi di lapangan, dimana mayoritas buruh kayu dan keluarga sering terpapar dengan debu kayu yang berasal dari pekerjaan ataupun dari lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat setempat dalam menjaga kebersihan diri dan lingkungan menyebabkan tingginya kejadian diare di daerah kampung kota lintang bawah. Penyakit infeksi yang memengaruhi terjadinya gizi buruk adalah Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas (ISPA) dan diare. Penyakit infeksi dapat menyebabkan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu menghilangkan bahan makanan melalui muntah-muntah dan diare (Arbaiyah, 2013).

2.5 Jenis Pekerjaan di Sektor Informal

Fenomena perekonomian yang terjadi di kebanyakan negara berkembang dan di beberapa negara maju adalah tingginya peningkatan penduduk yang bekerja di sektor informal. Hal tersebut didukung oleh karena adanya tingkat urbanisasi yang tinggi dimana penawaran pasar tenaga kerja mampu direspon oleh permintaan tenaga kerja informal. Serapan tenaga kerja di sektor informal dari segi usia, sangat fleksibel, karena jenis tenaga kerja informal tidak mengenal usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan yang tinggi (Kuemba, 2013).


(57)

Pekerjaan sektor informal adalah segala jenis pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap, tempat pekerjaan yang tidak terdapat keamanan kerja dan umumnya pekerja memiliki motivasi kerja untuk mempertahankan kelangsungan hidup bukan untuk memupuk keuntungan. Satu-satunya yang mereka andalkan hanyalah tenaga atau diri mereka sendiri. Jenis pekerjaan di sektor informal antara lain adalah penjual makanan, pembantu rumah tangga, penjual obat tradisional, pelayan, pengrajin, buruh tani, kuli bangunan, buruh kayu, dan lain-lain (Sihombing, 2011). Pada penelitian ini, pekerja di sektor informal yang diteliti adalah buruh kayu.

2.6 Ketahanan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga

Secara agregat rumah tangga yang tergolong tahan pangan di Indonesia pada tahun 1999, hanya mencapai 12% sebaliknya rumah tangga yang rawan pangan mencapai lebih dari 30%. Jika ketahanan pangan keluarga diukur berdasarkan kriteria ketersediaan pangan, ketahanan pangan tingkat nasional telah tercapai, namun tidak berarti ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dapat terjamin.

Pengukuran ketahanan pangan keluarga terdapat berbagai metode pengukuran. Dari hasil penelitian Ariani (2003) menunjukkan bahwa sebesar 47,3% rumah tangga tergolong rentan pangan, dimana faktor akses sangat menentukan ketahanan pangan kelompok rumah tangga tersebut karena dalam hal ini rumah tangga yang rentan pangan adalah rumah tangga dengan tingkat pengeluaran pangannya lebih dari 60% (kelompok dengan pendapatan rendah) namun tingkat konsumsi energi mencapai lebih dari 80%. Berdasarkan penelitian tersebut,


(58)

disimpulkan bahwa terjadinya rumah tangga rentan pangan sebesar 47,3% dikarenakan pangan yang dikonsumsi berasal dari pangan dengan sumber energi dengan harga yang lebih murah. Disinyalir pangan yang dikonsumsi adalah pangan dengan kualitas yang rendah dan kurang beragam (dominan pangan sumber karbohidrat), tidak sesuai dengan anjuran gizi untuk mencapai status gizi yang baik (Ariani M & Handewi PSR, 2003).

Status gizi keluarga merupakan indikator dalam menentukan derajat kesehatan suatu keluarga. Adanya pencapaian status gizi keluarga yang baik dapat diasumsikan bahwa ketahanan pangan di tingkat rumah tangga tersebut pun baik. Dalam suatu keluarga, status gizi anak merupakan hal yang penting, mengingat anak (bayi dan balita) merupakan golongan kelompok rawan gizi. Status gizi anak yang baik (bayi dan balita) merupakan modal utama dalam meningkatkan kualitas hidup bangsa. Hasil penelitian Tambunan (2010) menyatakan bahwa rendahnya ketahanan pangan keluarga di desa tertinggal daerah Toba Samosir merupakan pemicu banyaknya balita yang mengalami gizi kurang (Tambunan, 2010).

Hal tersebut dilihat dari banyaknya balita gizi buruk di Kecamatan Pintupohan Meranti Kabupaten Toba Samosir sebesar 40%. Frekuensi makan penduduk setempat juga tidak sesuai dengan standar kesehatan, yaitu masyarakat Toba Samosir hanya makan dua kali sehari. Masih lemahnya derajat ketahanan pangan di tingkat rumah tangga akan memengaruhi frekuensi makan penduduk dari setiap anggota keluarganya dan pada akhirnya menentukan tingkat status gizi setiap anggota rumah tangganya (Tambunan, 2010).


(59)

Penelitian Setiorini dan Asih (2009) menunjukkan bahwa anak yang pernah dibawa ke posyandu memiliki peluang 2,2 kali memiliki status gizi yang baik dibandingkan dengan anak yang tidak pernah dibawa ke posyandu setelah dikontrol dengan variabel ketahanan pangan keluarga, diare, pernah panas, mendapatkan vitamin A, dan jumlah balita dalam keluarga.

Penelitian yang dilakukan oleh Natalia dkk (2012) dengan pendekatan cross sectional yang berjudul hubungan ketahanan pangan tingkat keluarga dan tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi batita di Desa Gondangwinangun tahun 2012 menjelaskan bahwa ada hubungan ketahanan pangan tingkat keluarga dengan status gizi batita (p=0,001). Dari hasil penelitian tersebut, diperoleh bahwa sebanyak 33 orang batita (89,2%) memiliki status gizi baik dan berasal dari keluarga tahan pangan. Hal ini berarti ada kecendrungan keluarga yang tahan pangan mampu mencukupi kebutuhan gizi batita dalam keluarga sehingga status gizi baik dapat tercapai.

Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga yang tergolong jelek, mengakibatkan minimnya pemenuhan pangan yang bergizi bagi seluruh anggota keluarga sehingga berpengaruh terhadap status gizi anggota keluarga tersebut terutama status gizi anak, yang pada akhirnya dapat berakibat buruk dengan produtivitasnya yang dapat dilihat dari prestasi belajar anak di sekolah. Dari penelitian yang dilakukan oleh Sujai (2011), menunujukkan bahwa sebanyak 67,6% rumah tangga tergolong tidak tahan pangan dan sebanyak 13,3% siswa memiliki status gizi pendek. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ada hubungan bermakna


(1)

2.

Analisis Bivariat

Hubungan antara Ketahanan Pangan Keluarga dengan

Status Gizi Keluarga Buruh Kayu

ke taha nan pa nga n ke lua rga * ka tegori status gizi kelua rga Crossta bulation

6 3 1 10

60.0% 30.0% 10.0% 100.0%

9.0% 27.3% 20.0% 12.0%

7.2% 3.6% 1.2% 12.0%

44 5 2 51

86.3% 9.8% 3.9% 100.0%

65.7% 45.5% 40.0% 61.4%

53.0% 6.0% 2.4% 61.4%

3 0 0 3

100.0% .0% .0% 100.0%

4.5% .0% .0% 3.6%

3.6% .0% .0% 3.6%

14 3 2 19

73.7% 15.8% 10.5% 100.0%

20.9% 27.3% 40.0% 22.9%

16.9% 3.6% 2.4% 22.9%

67 11 5 83

80.7% 13.3% 6.0% 100.0%

100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Count

% within ketahanan pangan keluarga % within kategori status gizi keluarga % of Total

Count

% within ketahanan pangan keluarga % within kategori status gizi keluarga % of Total

Count

% within ketahanan pangan keluarga % within kategori status gizi keluarga % of Total

Count

% within ketahanan pangan keluarga % within kategori status gizi keluarga % of Total

Count

% within ketahanan pangan keluarga % within kategori status gizi keluarga tahan pangan rentan pangan kurang pangan rawan pangan ketahanan pangan keluarga Total baik (>50% yang normal) sedang (50% yang normal) tidak baik (<50% yang normal) kategori status gizi keluarga


(2)

Chi-Square Tests

5.502

a

6

.481

.470

5.490

6

.483

.575

6.104

.334

.055

b

1

.814

.841

.436

.076

83

Pearson Chi-Square

Lik elihood Ratio

Fis her's Ex act Tes t

Linear-by-Linear

As soc iation

N of Valid Cas es

Value

df

As ymp. Sig.

(2-sided)

Ex act Sig.

(2-sided)

Ex act Sig.

(1-sided)

Point

Probability

8 c ells (66.7%) have ex pec ted count les s than 5. The minimum expected count is .18.

a.

The standardiz ed s tatis tic is .235.

b.


(3)

Lampiran 11

Jenis Tingkatan Pekerjaan Buruh Kayu

Jenis Buruh Kayu Definisi Pekerjaan Upah/Penghasilan

1. Tukang Derek Tukang Derek merupakan jenis buruh kayu yang bekerja untuk membawa balok

dari bibir sungai tamiang sampai ke kilang kampung kota lintang bawah

Rp 20.000 per ton kayu

2. Tukang Sorong Tukang sorong adalah buruh kayu yang bekerja untuk mengolah balok (bahan

mentah) menjadi potongan-potongan kayu jadi

Rp 20.000 per ton kayu

3. Tukang Mal Tukang mal adalah buruh kayu yang bekerja dalam membentuk kayu menjadi

ukuran-ukuran kayu yang biasa digunakan, dengan ukuran biasa yang dibentuk adalah panjang 4,8 meter dan lebar 8 inchi

Rp 16.000 per ton kayu

4. Tukang sambut Tukang sambut adalah buruh kayu yang bertugas untuk mengambil kayu yang

telah dibentuk oleh tukang mal tadi

Rp 18.000 per ton kayu

5. Tukang Samping Setelah kayu tadi telah diambil oleh tukang sambut, kayu tersebut diambil dan

diletakkan ke samping oleh tukang samping

Rp 16.000 per ton kayu

6. Tukang Pok Tukang pok adalah buruh kayu yang memanggul kayu untuk dipindahkan ke

tempatnya

Rp 15.000 per ton kayu

7. Tukang buang abu Tukang buang abu adalah buruh kayu yang bertugas mengumpulkan abu kayu,

yang berasal dari pengolahan balok menjadi kayu yang banyak mengeluarkan abu/serbuk kayu

Rp 50.000 per hari

8. Tukang lansir Tukang lansir adalah buruh kayu yang berugas dalam membawa kayu (barang

jadi) ke gudang ataupun tempat penyimpanan atau tempat penjualan

Rp 50.000 per ton kayu

9. Tukang Jaga

Kayu/Tukang Sortir

Tukang jaga kayu atau tukang sortir adalah buruh kayu yang bertugas untuk menyortir kayu agar ukuran kayu menjadi seragam sehingga dapat menjadi layak untuk dijual ke konsumen

Rp 25.000 per ton

10. Tukang Ikat Kayu

Lat

Tukang ikat kayu lat adalah buruh kayu yang bertugas mengikat kayu lat, dimana setiap ikat kayu lat berisikan 10 batang kayu

Rp 1.500 per ikat kayu lat

11. Tukang Kayu Api Tukang kayu api adalah buruh kayu yang bekerja untuk memotong-motong kayu,

dimana kayu yang dipotong tersebut berasal dari sisa potongan kayu yang masih bisa dipakai dengan ukuran 30 cm , diikat, kemudian dijual. Biasanya kayu api ini digunakan untuk bahan bakar masak pada warung makanan


(4)

Lampiran 12

DOKUMENTASI PENELITIAN


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Analisis Penentuan Sektor Unggulan Perekonomian Wilayah Kabupaten Aceh Utara Dengan Pendekatan Sektor Pembentuk PDRB

3 79 102

Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 0 21

Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 0 2

Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 0 12

Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 0 32

Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 1 8

Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 0 39

GAMBARAN PENGETAHUAN DAN DUKUNGAN KELUARGA IBU TENTANG IMUNISASI BCG PUSKESMAS KOTALINTANG KABUPATEN ACEH TAMIANG

0 0 7

Hubungan Ketahanan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga Buruh Kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh Tahun 2014

0 1 38

Hubungan Ketahanan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga Buruh Kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh Tahun 2014

0 0 16