Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

 

 

13 

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Status Gizi
Status Gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk
variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu
(Supariasa. 2002), menurut Adriani (2012), status gizi adalah keadaan kesehatan yang
berhubungan dengan pengggunaan makanan oleh tubuh. Pendapat Suhardjo (1996),
status gizi merupakan tingkat kesehatan seseorang yang dipengaruhi oleh makanan
yang dikonsumsi dinilai dengan ukuran atau parameter gizi sedangkan status gizi
anak adalah keadaan kesehatan anak yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik
energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak
fisiknya diukur secara antroppometri. Status gizi menurut Almatsier (2009) adalah
keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.
Menurut DEPKES (2002), status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang

akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari
pangan yang dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan pada kategori dan indikator
yang digunakan
Menurut Supriasa (2002), dalam pengukuran status gizi ada beberapa cara
yang dapat digunakan yaitu dengan pengukuran klinis, biokimia, biofisik, dan
antropometrik. Sedangkan menurut Jelliffe (1989) status gizi dapat dijelaskan dengan
menilai melalui dua cara yaitu pengukuran secara langsung dan pengukuran secara

13
Universitas Sumatera Utara

14 
 

tidak langsung. Pengukuran secara langsung dapat dilakukan dengan:a) antropometri,
b) pemeriksaan biokimia, c) pemeriksaan klinis dan d) pemeriksaan biofisik.
Pengukuran secara tidak langsung dilakukan dengan a) survei konsumsi pangan, b)
statistik vital dan c) faktor ekologi.
Soekirman (2000), pengukuran status gizi kelompok orang dalam suatu
survei gizi dilakukan melalui perhitungan statistik, cara pengukuran dengan

melakukan pengukuran antropometri, dimana nilai berat badan hasil penimbangan
dibandingkan dengan median dan standar deviasi (SD) acuan standar internasional
yang ditetapkan oleh WHO. Menurut DEPKES (2001), penentuan status gizi balita
yang relative lebih mudah adalah dengan menggunakan indikator berat badan
menurut umur (BB/U) dipakai di dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk memantau
pertumbuhan anak secara perorangan. KMS yang digunakan di posyandu pada
dasarnya adalah penerapan pengukuran status gizi anak balita. KMS adalah alat yang
sederhana dan murah yang digunakan untuk memantau pertumbuhan anak dan harus
selalu dibawa setiap mengunjungi posyandu atau fasilitas pelayanan kesehatan
termasuk bidan dan dokter.
Saat ini pengukuran antropometri (ukuran-ukuran tubuh) digunakan secara
luas dalam penilaian status gizi, terutama jikat terjadi ketidakseimbangan kronik
antara energi dan protein. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik
dan proporsi jaringan tubuh, seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.
Pengukuran antropometri terdiri atas dua dimensi yaitu pengukuran pertumbuhan dan

Universitas Sumatera Utara

15 
 


komposisi tubuh. Komposisi tubuh mencakup komponen lemak tubuh ( fat mass )
dan bukan lemak tubuh ( non-fat mass) (Baliwati, 2010).
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran masa
tubuh masa sekarang ataupun masa lalu. Tinggi badan bertambah seiring dengan
bertambahnya umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak sama dengan berat badan,
tinggi badan kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam jangka waktu yang
pendek. Indikator BB/U mencerminkan status gizi saat ini, sedangkan indikator TB/U
lebih mencerminkan status gizi masa lalu dan rendahnya nilai z-score berdasarkan
TB/U dikatakan sebagai indikator kekurangan gizi kronik (Martianto, Riyadi &
Ariefiani, 2011). Indikator TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa
lalu juga lebih erat kaitannya degan status sosial ekonomi yang dapat digunakan
sebagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat (Diana, 2004).
Masalah kesehatan masyarakat tergolong sangat tinggi apabila prevalensi
anak balita gizi kurang, pendek dan kurus lebih dari 30,0 persen, 40,0 persen dan 15,0
persen (Martianto, dkk, 2011). Diketahui dari hasi penelitian Aryunita (2002), bahwa
prevalensi anak yang pendek diperkotaan hanya 6,6 persen sedangkan dipinggiran
kota jauh lebih tinggi, lebih kurang enam kali dibandingkan dengan diperkotaan
(40%), dan menunjukkan bahwa faktor ekonomi dan lingkungan lebih berpengaruh
terhadap perbedaan pertumbuhan anak dari pada faktor genetik dan etnik.


Universitas Sumatera Utara

16 
 

2.2

Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi
Di Indonesia, pada saat ini menghadapi masalah gizi ganda, yaitu masalah

gizi kurang dan ,masalah gizi lebih. Beberapa masalah yang timbul tersebut pada
umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang
baiknya kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
gizi, menu seimbang dan kesehatan. Masalah gizi tersebut yang berkaitan dengan
kesehatan secara garis besar di pengaruhi oleh beberapa faktor yakni :
2.2.1

Konsumsi Makanan
Tingkat konsumsi kualitas hidangan makanan tergantung kepada keadaan


keseimbangan gizi dimana menunjukan jumlah suatu zat gizi terhadap kebutuhan
hidup. Bila susunan hidangan kebutuhan tubuh baik dari sudut kuantitas, maka tubuh
akan mendapatkan kesehatan gizi sebaik-baiknya. Sebaliknya konsumsi yang kurang
baik dalam kualitas maupun kuantitas akan memberi dampak kesehatan pangan dan
gizi yang baik ditentukan oleh terciptanya keseimbangan antara banyaknya jenis zat
gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya zat yang dibutuhkan tubuh.
Makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial individu dari segi
kualitas dan kuantitas dipengaruhi oleh banyak hal yang saling terkait. Untuk
memenuhi kebutuhan fisiologis maupun psikologis juga untuk memenuhi rasa lapar.
Yang memandakan bahwa gizi yang diperlukan oleh tubuh tidak mencukupi lagi
adalah rasa lapar dan dahaga. Usaha untuk mengatasi rasa lapar sebenarnya juga
diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup, memenuhi kebutuhan fisiologis
tubuh, pertumbuhan (pada bayi dan anak) dan pergantian sel-sel dan jaringan yang

Universitas Sumatera Utara

17 
 


rusak. Zat gizi yang di konsumsi harus sesuai dengan kebutuhan dalam jumlah dan
jenis yang sesuai dengan kebutuhan sehingga dapat memberikan kesehatan,
kegairahan dan kekuatan dalam bekerja (Khumaidi, 1994).
Batas suatu konsumsi energi dan protein yang dianggap rawan (defisit berat)
adalah tingkat konsumsinya kurang dari 70 persen angka kecukupan yang dianjurkan.
Pada tingkat konsumsi tersebut tubuh tidak dapat memenuhi energi basal
metabolisme yaitu suatu energi minimal yang diperlukan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup (Cahyani, 2008 ). Menurut rumusan PERSAGI (Persatuan Ahli
Gizi Indonesia) tentang penyebab gizi kurang, salah satu faktor yang mempengaruhi
keadaan gizi adalah asupan makanan (Supariasa, 2002). Tingkat konsumsi energi
pada rumah tangga berpendapatan tinggi jauh melebihi Angka Kecukupan Energi
(AKE). Kondisi ini perlu mendapat perhatian khusus karena kelebihan energi/kalori
dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan (penyakit) (Mauludyani, 2008).
2.2.2 Infeksi
Gangguan gizi dapat disebabkan oleh penyakit infeksi melalui beberapa cara
yaitu menghilangkan bahan makanan melalui muntah-muntah dan diare. Selain itu
penyakit infeksi seperti infeksi saluran pernapasan dapat juga menurunkan nafsu
makan (Arisman, 2004). Infeksi sendiri mengakibatkan si penderita kehilangan bahan
makanan, selain itu juga penghancuran jaringan tubuh akan mengikat karena dipakai
untuk pembentukan protein atau enzim yang diperlukan dalam usaha pertahanan

tubuh. Gangguan gizi dan infeksi sering bekerja secara sinergis, infeksi akan
memperburuk kemampuan seseorang untuk mengatasi penyakit infeksi. Zat gizi

Universitas Sumatera Utara

18 
 

dibutuhkan oleh tubuh untuk tumbuh kembang guna mencapai hasil yang optimal
sesuai dengan kebutuhan.
Diketahui bahwa ada hubungan yang sinergis antara malnutrisi dan infeksi,
Infeksi dengan derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Penyakit infeksi
yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk adalah Infeksi Saluran Pernapasan bagian
Atas (ISPA) dan diare. Menurut Ezzel dan Gorgon penyakit paru-paru kronis juga
dapat mempengaruhi terjadinya gizi buruk. Penyakit infeksi akan menyebabkan
gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu menghilangkan bahan makanan melalui
muntah-muntah dan diare (Pudjiadi, 2000).

2.3


Pola Konsumsi
Menurut Cahyono (2003), konsep konsumsi, yang merupakan konsep yang di

Indonesiakan dari bahasa Inggris ”Consumption”. Konsumsi adalah pembelanjaan
atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut.
Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan
mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang
diproduksi digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan
barang konsumsi
Menurut Hardinsyah (1992), pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan
jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu,
hal ini berarti bahwa telaahan terhadap konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek

Universitas Sumatera Utara

19 
 

jenis pangan yang di konsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Madanijah

(2004) mengartikan pola konsumsi pangan sebagai susunan jenis dan jumlah pangan
yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.
Menurut BPS (2010), pola konsumsi adalah jumlah persentase dari distribusi
pendapatan terhadap masing-masing pengeluaran pangan, sandang , jasa-jasa serta
rekreasi dan hiburan. Secara terperinci pengeluaran konsumsi adalah semua
pengeluaran untuk makanan, minuman, pakaian, pesta atau upacara, barang-barang
lama ,dan lain-lain. Yang dilakukan oleh setiap anggota rumah tangga baik itu di
dalam maupun di luar rumah, baik keperluan pribadi maupun keperluan rumah
tangga. Sedangkan menurut Departemen Pertanian (2005) pola konsumsi pangan
diartikan sebagai sejumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum
penduduk/seseorang dalam rangka memenuhi kebutuhan hayati.
Menurut Magrabi, Cha, Chung,& Yang, (1991), karakteristik demografi
secara empiris berkorelasi dengan pola konsumsi. Karakteristik demografi yang
dimaksud antara lain adalah (1) jumlah anggota rumah tangga, dimana makin besar
jumlah anggota keluarga maka cenderung jumlah konsumsi rumah tangga semakin
besar, (2) komposisi rumahtangga, umur dan jenis kelamin, (3) tahapan siklus hidup
keluarga, (4) tingkat pendidikan, (5) status dan jenis pekerjaan anggota rumah tangga,
(6) urbanisasi, dalam hal ini aktivitas, kebutuhan dan ketersediaan produk tertentu
bervariasi menurut kepadatan penduduk, (7) letak geografis dari tempat tinggal, dan
(8) status penguasaan rumah tinggal.


Universitas Sumatera Utara

20 
 

Dari hasil penelitian Purwantini dan Ariani (2010), pola konsumsi pangan
hasil analisisnya menunjukkan bahwa: (1) Pengeluaran pangan rumah tangga terbesar
adalah pengeluaran makanan pokok, kemudian diikuti dengan pengeluaran
tembakau/sirih dan pangan hewani; (2) Beras adalah pangan pokok petani padi dan
bersifat tunggal, yang bersumber dari hasil sendiri, berkisar 38-63 persen di Jawa dan
53-94 persen di Luar Jawa. Sumbangan energi terbesar dari kelompok padi-padian
(44-69%). Implikasinya adalah masih diperlukan upaya perbaikan pola konsumsi
pangan pada rumah tangga petani padi secara terus menerus dan terarah agar pola
pangannya sesuai dengan kaidah gizi dan kesehatan.
Muhilal (1994), dalam upaya peningkatan sumber daya manusia diharapkan
protein hewani menyumbang 25–30 persen dari total protein yang dibutuhkan atau
sama dengan 13–17 gram per orang per hari atau rata-rata lima belas gram perorang
per hari. Dari lima belas gram protein tersebut diharapkan enam gram berasal dari
peternakan dan sembilan gram dari perikanan. Ini berarti bahwa anak 1–2 tahun

membutuhkan protein hewani sebanyak 6,25 gram. Ini berarti 2,5 gram dari
peternakan dan 3,75 gram dari ikan. Bila dikonversikan ke bahan makanan ikan maka
ikan yang dibutuhkan sebanyak 18,75 gram.
Perilaku konsumsi pangan masyarakat dilandasi oleh kebiasaan makan (food
habit) yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga melalui proses
sosialisasi. Kebiasaan makan tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan ekologi (ciri
tanaman pangan, ternak dan ikan yang tersedia dan dapat dibudidayakan setempat)
lingkungan budaya dan sistem ekonomi. Oleh karena itu kesadaran untuk

Universitas Sumatera Utara

21 
 

mengkonsumsi pangan lokal dapat ditingkatkan. Peningkatan kesadaran tersebut
dilakukan melalui kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) sehingga
permintaan komoditi pangan lokal akan berkembang yang dapat dimulai dari tingkat
rumah tangga
Diversifikasi yang merupakan kebutuhan nasional yang harus segera
dilaksanakan. Pemerintah telah membuat kebijakan untuk mendukung diversifikasi
makanan dengan tujuan agar dapat memenuhi kebutuhan karbohidrat yang tidak
hanya tergantung pada beras. Bahan makanan non beras yang diutamakan dalam
diversifikasi makanan sebaiknya bersumber dari produksi daerah seperti jagung,
ubi,sagu dan lain-lain. Dengan pemanfaatan produksi bahan makanan non beras yang
bersumber dari potensi local diharapkan dapat meningkatkan ketahanan pangan di
daerah.
Pengukuran keberhasilan upaya diversifikasi baik dibidang produksi,
penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diperlukan suatu parameter. Salah satu
parameter yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan
adalah Pola Pangan Harapan (PPH). PPH tidak hanya pemenuhan kecukupan gizi
yang diketahui tetapi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi yang
didukung oleh cita rasa, daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas dan
kemampuan daya beli. Melalui pendekatan PPH dapat dinilai mutu pangan penduduk
berdasarkan skor pangan. Semakin tinggi skor pangan maka semakin beragam dan
semakin baik komposisinya (BKP, 2005).

Universitas Sumatera Utara

22 
 

Masing-masing negara didunia mempunyai potensi dan sosial budaya yang
berbeda-beda. Di Indonesia menurut hasil Workshop on Food and Agriculture
Planning for Nutritional Adequacy di Jakarta tanggal 11-13 Oktober 1989
direkomendasikan sebagai berikut: Kelompok padi-padian sekitar lima puluh persen
makanan berpati sekitar lima persen, pangan hewani sekitar 15-20 persen, minyak
dan lemak lebih dari sepuluh persen, kacang-kacangan sekitar lima persen , gula 6-7
persen, buah dan sayur lima persen (FAO-MOA, 1989).
Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai tingkat
keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan. Pola Pangan Harapan adalah
susunan beragam pangan atau kelompok pangan yang didasarkan atas sumbangan
energinya, baik secara absolute maupun relatif terhadap total energi baik dalam hal
ketersediaan maupun konsumsi pangan, yang mampu mencukupi kebutuhan
konsumsi pangan penduduk.
Pola Pangan Harapan yang merupakan kumpulan beragam jenis dan jumlah
kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat
gizi pada komposisi yang seimbang. Pola pangan ini dapat digunakan sebagai ukuran
keseimbangan dan keanekaragaman gizi (Hardinsyah, 2001). Selanjutnya dijelaskan
bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai
PPH, secara implisit kebutuhan zat gizi juga terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang
sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Oleh karena itu, skor PPH
mencerminkan mutu gizi konsumsi dan keragaman konsumsi pangan. Disamping itu
dalam pembobotan setiap kelompok pangan telah mempertimbangkan kepadatan

Universitas Sumatera Utara

23 
 

energi, zat gizi esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan dan tingkat
kelezatan (Riyadi 1996).
PPH disusun berdasarkan DPP (Desirable Dietary Pattern) FAO-RAPA yakni
didasarkan pada pertimbangan faktor yang essensial seperti, kondisi iklim, geografis,
genetik, sosial, ekonomi, budaya dan gaya hidup penduduk Indonesia. Metode PPH
ini dapat menilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan. Skor pangan
diperoleh dari hasil perkalian antara tingkat kontribusi energi kelompok pangan
dengan bobotnya. Bahan pangan dikelompokkan menjadi sembilan yaitu padi-padian,
umbi-umbian/pangan berpati, pangan hewani, minyak dan lemak, buah dan biji
berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur/buah dan lain-lain. Bobot untuk
setiapkelompok pangan didasarkan kepada konsentrasi kalori, kepadatan kalori, zat
gizi esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan dan tingkat
kelezatannya (Suhardjo, 1996).
Perhitungan untuk skor Pola Pangan Harapan: (1) bahan makanan yang
dikonsumsi (energy) dikelompokkan ke dalam 9 jenis kelompok bahan makanan; (2)
kemudian dihitung persentase masing-masing kelompok terhadap total energi; (3)
persentase masing-masing kelompok dikalikan dengan rating menurut FAO untuk
golongan padi-padian dan umbi-umbian 0.5; untuk golongan pangan hewani 2; untuk
golongan minyak dan lemak 0.5 untuk golongan kacang-kacangan 2; untuk golongan
buah/biji berminyak 0.5; untuk golongan gula 0.5; dan golongan sayur/buah 5.
Menurut Swindale & Bilinsky (2006),keragaman konsumsi pangan adalah
indikator yang baik untuk alasan sebagai berikut yakni (1) Konsumsi pangan yang

Universitas Sumatera Utara

24 
 

lebih beragam berhubungan dengan peningkatan hasil pada berat kelahiran, status
anthropometrik anak, dan peningkatan konsentrasi hemoglobin. (2) Konsumsi pangan
yang lebih beragam erat kaitannya dengan faktor seperti: kecukupan energi dan
protein, persentase protein hewani (protein kualitas tinggi), dan pendapatan rumah
tangga. Bahkan pada rumah tangga yang sangat miskin, peningkatan pengeluaran
untuk makanan yang dihasilkan dari penghasilan tambahan berhubungan dengan
peningkatan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan.

2.4

Ketersediaan Pangan Keluarga
Ketersediaan pangan keluarg merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi keputusan individu dalam membuat pilihan terhadap makanan untuk
dikonsumsi di rumah. Hal ini penting karena jenis makanan yang dikonsumsi tiap
individu mempengaruhi kesehatannya secara keseluruhan. Ada sejumlah faktor yang
dapat mempengaruhi ketersediaan pangan rumah tangga, seperti komposisi rumah
tangga, akses ke outlet makanan, pendapatan rumah tangga, transportasi ke akses
pangan, pendapatan, dan fasilitas penyimpanan rumah tangga (Sisk, Sharkey,
Mcintosh & Anding, 2010).
Ketersediaan dan distribusi pangan serta konsumsi pangan merupakan
subsistem dari ketahanan pangan. Ketersediaan dan distribusi pangan memfasilitasi
pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah. Subsistem konsumsi
pangan memungkinkan setiap rumah tangga memperoleh pangan yang cukup dan
memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga (Suryana, 2004).

Universitas Sumatera Utara

25 
 

Rasmussen, Krolner & Klep, (2006) melaporkan ketersediaan pangan
rumahtangga sebagai salah satu faktor penentu yang paling penting dari pola makan
keluarga.

Ketersediaan pangan keluarga dianggap sebagai hubungan antara

masyarakat atau sumber lingkungan penjualan makanan dan asupan gizi perorangan.
Berdasarkan penelitian Sisk, et.al. (2010), bahwa masyarakat di Amerika, lebih dari
tujuh puluh persen ketersediaan pangan di rumah tangga di dapat dari membeli, dan
tujuh puluh lima persen makanan tersebut merupakan sumber energi. Makanan yang
tersedia di rumah tangga dapat memberikan gambaran tentang ketersediaan pangan
keluarga dan pola konsumsi pangan keluarga.
Pada tingkat rumah tangga, keadaan ketahanan pangan sangat tergantung
pada cukup tidaknya pangan yang dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga
dalam mencapai keadaan gizi yang baik dan hidup sehat. Data ketahanan pangan
tingkat rumah tangga dapat diketahui berdasarkan perkiraan pengeluaran pangan
dalam seminggu terakhir. Dari data SUSENAS tahun 1995 dan 2003 terjadi
perubahan rasio pengeluaran pangan sumber energi dari 32,64 persen tahun 1995
menjadi 24,2 persen tahun 2003. Pengeluaran pangan untuk makanan jadi meningkat
dari 7,9 persen tahun 1995 menjadi 8,7 persen tahun 2003. Pengeluaran pangan untuk
konsumsi lainya juga meningkat, terutama ikan, daging dan buah-buahan.
Ketersediaan pangan dapat mempengaruhi berapa banyak makanan yang
dapat dikonsumsi oleh seseorang. Dari hasil penelitian Hidayat, (2004) menunjukkan
hasil bahwa ada hubungan yang positif antara konsumsi makanan dengan status gizi

Universitas Sumatera Utara

26 
 

anak (P< 0,001). Anak yang diberi makanan lengkap status gizinya lebih baik
daripada anak yang diberi makanan tidak lengkap.

2.5 Faktor – Faktor Karakteristik Keluarga
Keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal atau hidup bersama dalam
satu rumahtangga dan ada ikatan darah. Berdasarkan Norma Keluarga Kecil Bahagia
dan Sejahtera (NKKBS) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN), sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu dan dua orang
anak (BPS 2000). Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dalam hal
konsumsi pangan. Kebiasaan ini dipengaruhi oleh karakteristik keluarga tersebut,
diantaranya umur orang tua, besar keluarga, pendidikan orang tua, pengetahuan gizi
ibu, pekerjaan orang tua dan alokasi pengeluaran rumahtangga.
2.5.1 Pengetahuan
Pengetahuan gizi dapat mempengaruhi keragaman konsumsi pangan
penduduk. Namun demikian pengaruh positif ini dapat ditiadakan/berubah oleh
beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah daya beli atau ekonomi, ketersediaan
waktu untuk membeli, mengolah dan menyiapkan makanan, preferensi atau kesukaan
pangan, kepercayaan terhadap jenis pangan, dan ketersediaan pangan. Selain faktor
tersebut, menyebutkan ada faktor lain yang berpengaruh terhadap keragaman
konsumsi pangan, yaitu pendidikan gizi, paparan media masa dan pengalaman gizi,
usia kedua orang tua, dan partisipasi ibu dalam kegiatan sosial (Hardinsyah, 2007).

Universitas Sumatera Utara

27 
 

Selanjutnya, Suhardjo (2003) menyatakan suatu hal yang menyakinkan
tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan: (1) status gizi
yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, (2) setiap orang hanya
akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang
diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi, (3) ilmu
gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga masyarakat dapat belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.
Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku
dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi
individu yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang
diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati, 1992). Secara umum, di
negara berkembang, ibu memainkan peranan penting dalam memilih dan
mempersiapkan pangan untuk dikonsumsi anggota keluarganya. Walaupun seringkali
para ibu bekerja di luar, mereka tetap mempunyai andil besar dalam kegiatan
pemilihan dan penyiapan makanan dan mengidentifikasi pola pengambilan keputusan
dalam keluarga (Hardinsyah, 2007).
Umumnya penyelenggaraan makanan dalam rumahtangga sehari-hari
dikoordinir oleh ibu. Ibu yang mempunyai kesadaran gizi yang tinggi akan melatih
kebiasaan makan sehat sedini mungkin kepada putra putrinya. Ibu berperan penting
dalam melatih anggota keluarganya untuk membiasakan makan yang sehat. Untuk
memperoleh pangan sehat dan sesuai dengan standar maka perlu menguasai
pengetahuan tentang pemilihan bahan pangan (Nasoetion & Riyadi 1995).

Universitas Sumatera Utara

28 
 

Pengetahuan ibu tentang gizi adalah apa yang diketahui ibu tentang pangan
sehat, pangan sehat untuk golongan usia tertentu (misalnya anak, ibu hamil dan
menyusui) dan cara ibu memilih, mengolah dan menyiapkan pangan dengan benar.
Pengetahuan ibu rumahtangga tentang bahan pangan akan mempengaruhi perilaku
pemilihan pangan dan ketidaktahuan dapat menyebabkan kesalahan dalam pemilihan
dan pengolahan pangan. Pengetahuan tentang gizi dan pangan yang harus dikonsumsi
agar tetap sehat, merupakan faktor penentu kesehatan seseorang (Notoatmodjo,
2007).
Pengetahuan gizi meliputi pengetahuan tentang pemilihan dan konsumsi
sehari-hari dengan baik dan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk
fungsi normal tubuh. Pemilihan dan konsumsi bahan makanan berpengaruh terhadap
status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi apabila tubuh
memperoleh cukup zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Status gizi kurang terjadi apabila
tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi essential. Sedangkan status gizi
lebih terjadi apabila tubuh memperoleh zat gizi dalam jumlah yang berlebihan,
sehingga menimbulkan efek yang membahayakan (Almatsier, 2009).
2.5.2 Pendidikan
Faktor sosial ekonomi yang ikut mempengaruhi tumbuh kembang anak
adalah pendidikan (Supariasa, 2002). Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai
kepada perubahan tingkah laku yang baik. Pendidikan sangat mempengaruhi
penerimaan informasi tentang gizi. Masyarakat dengan pendidikan yang rendah akan

Universitas Sumatera Utara

29 
 

lebih mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan sehingga
sulit menerima informasi baru di bidang gizi.
Menurut Hardinsyah (2007), semakin tinggi pendidikan seseorang, maka
aksesnya terhadap media massa (koran, majalah, media elektronik) juga makin tinggi
yang juga berarti aksesnya terhadap informasi yang berkaian dengan gizi juga
semakin tinggi. Wanita terpelajar cenderung untuk tertarik terhadap informasi gizi
dan banyak di antara mereka yang memperoleh informasi tersebut dari media cetak,
khususnya majalah dan koran.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa ibu
dengan tingkat pendidikan dan penghasilan lebih tinggi mendapat paparan dari media
massa lebih tinggi juga (National Board for Family Planning (BKKBN) and
Community System Foundation, 1986). Di Indonesia, seseorang dengan tingkat
pendapatan lebih tinggi relatif lebih mudah mengakses televise dan mereka yang
tinggal di daerah perkotaan lebih mudah mengakses berbagai majalah populer. Oleh
karena itu, tingkat pendidikan orang tua, pendapatan rumahtangga dan wilayah
tempat tinggal (desa atau kota) diasumsikan mempengaruhi kondisi individu
seseorang/rumahtangga untuk terpapar media massa.
2.5.3 Pendapatan
Faktor penting yang diduga sebagai determinan dalam keragaman konsumsi
pangan adalah daya beli pangan. Pola ’daya beli pangan’ ini merupakan hal yang
umum dalam pustaka ekonomi, walaupun hal ini tidak dapat diukur secara langsung.
Daya beli pangan biasanya didefinisikan sebagai kemampuan ekonomi rumahtangga

Universitas Sumatera Utara

30 
 

untuk memperoleh bahan pangan yang ditentukan oleh besarnya alokasi pendapatan
untuk pangan, harga bahan pangan yang dikonsumsi, dan jumlah anggota
rumahtangga. Dengan kata lain, daya beli pangan tergantung pada besarnya
pendapatan dan harga bahan pangan. (Hardinsyah, 2007)
Menurut Soekirman (2000), apabila pendapatan meningkat pola konsumsi
pangan akan makin beragam, serta umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi
pangan yang lebih bernilai gizi tinggi. Peningkatan pendapatan lebih lanjut tidak
hanya akan meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan dan peningkatan
konsumsi pangan yang lebih mahal, tetapi juga terjadi peningkatan konsumsi pangan
di luar rumah.Pada kondisi terjadi peningkatan pendapatan, konsumen akan
membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan persentase yang semakin kecil
(Soekirman, 2000).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan cenderung
semakin menurun sejalan dengan meningkatnya pendapatan walaupun total
pengeluaran semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rachman (1994)
mengenai Hukum Working yaitu pangsa pengeluaran pangan memiliki hubungan
yang negatif dengan pengeluaran rumah tangga. Masyarakat akan terdorong memilih
pangan dengan nilai prestise yang lebih tinggi sesuai dengan pendapatannya yang
meningkat.
Jika rata-rata konsumsi energi dan protein tahun 2002 dibandingkan dengan
Angka Kecukupun Gizi (AKG) berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
tahun 1998, yaitu Angka Kecukupa Energi (AKE) 2200 kkal/kapita per hari dan

Universitas Sumatera Utara

31 
 

Angka Kecukupan Protein (AKP) 48 gram/kapita, hanya penduduk berpendapatan
tinggi saja yang telah melampaui AKE dan hanya penduduk berpendapatan rendah
yang belum mencapai AKP. Namun jika menggunakan standar yang dihitung oleh
Hardinsyah dan Tambunan (2004) yaitu AKE 2000 kkal/kapita/hari dan AKP 52
gram/kapita/hari hanya kelompok penduduk berpendapatan rendah saja yang belum
melampaui AKG. Untuk bahasan selanjutnya AKG yang digunakan tetap
menggunakan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998.
Menurut Madanijah (2004), menyatakan bahwa perubahan pendapatan secara
langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi keluarga. Jika pendapatan
meningkat maka pembelian pangan dalam hal kualitas maupun kuantitas akan lebih
baik. Jika pendapatan meningkat, pembelanjaan untuk membeli makanan juga
bertambah, termasuk untuk buah–buahan, sayuran dan jenis makanan lainnya.
Dengan demikian pandapatan merupakan faktor yang selanjutnya akan berpengaruh
terhadap zat gizi.
2.5.4

Jumlah Anggota Keluarga
Anggota rumah tangga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal

di suatu rumah tangga, baik berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara
tidak ada. Anggota rumah tangga yang telah bepergian enam bulan atau lebih, dan
anggota rumah tangga yang bepergian kurang dari enam bulan tetapi bertujuan pindah
atau akan meninggalkan rumah enam bulan atau lebih, tidak dianggap anggota rumah
tangga. Orang yang telah tinggal di suatu rumah tangga enam bulan atau lebih, atau
yang telah tinggal di suatu rumah tangga kurang dari enam bulan tetapi berniat

Universitas Sumatera Utara

32 
 

menetap di rumah tangga tersebut, dianggap sebagai anggota rumah tangga (BPS,
2004).
Pemantauan konsumsi gizi tingkat rumah tangga tahun 1995-1998 juga
menyatakan bahwa jumlah anggota rumah tangga yang semakin banyak, akan
semakin mengalami kecenderungan turunnya rata-rata asupan energi dan protein per
kapita per hari yang ditunjukkan dengan prevalensi tertinggi pada rumah tangga yang
beranggotakan diatas enam orang (Mapandin, 2006). Hasil penelitian Latief, (2000)
menunjukkan bahwa selama terjadi krisis moneter, distribusi pangan yang
dikonsumsi semakin memburuk pada rumah tangga yang mempunyai anggota yang
cukup besar.
Survey pangan di India memperlihatkan bahwa tersedianya protein bagi
setiap anak dalam keluarga dengan salah satu atau dua anak, mendapat 22 persen
lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai anak empat atau lima
anak. Kasus gizi buruk yang paling berat sering menimpa anak-anak dari keluarga
besar (Soekirman, 2000). Menurut Hartog, Starveren & Brouwer (1995) ukuran
rumah tangga (household size) merupakan penentu dalam konsumsi energi. Semakin
besar ukuran rumah tangga, maka semakin sedikit pangan tersedia yang yang dapat
didistribusikan pada anggota rumah tangga.
2.5.5

Umur Orang Tua
Orang tua muda, terutama ibu, cenderung kurang pengetahuan dan

pengalaman dalam merawat anak sehingga mereka umumnya merawat anak
didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga

Universitas Sumatera Utara

33 
 

cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri
daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas perawatan kurang
terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima perannya
dengan sepenuh hati (Gabriel, 2008).
Menurut Hardinsyah (2007), menyatakan bahwa pasangan orang tua dengan
usia lebih tua kemungkinan mempunyai pengetahuan gizi dan kesehatan lebih baik
jika dibandingkan dengan pasangan orang tua dengan usia muda karena pengalaman
mereka dalam menggunakan berbagai layanan kesehatan. Akan tetapi, bahwa
pasangan orang tua dengan usia lebih tinggi mungkin mempunyai kekurangan
informasi tentang pengetahuan gizi yang terbaru jika dibandingkan dengan pasangan
orang tua dengan usia muda. Hal ini terjadi karena perkembangan ilmu gizi dan
berbagai promosi produk-produk gizi dan kesehatan.
2.5.6

Pengeluaran Pangan Keluarga
Pengeluaran

pangan

keluarga

merupakan

salah

satu

faktor

yang

mempengaruhi pola konsumsi pangan keluarga. Ini dapat dijelaskan dari hasil
penelitian Sugiarto (2005), yang menununjukkan ada 32 rumahtangga (35,56%) yang
tergolong tidak mampu (persentase pengeluaran pangan lebih dari 60%) yang masih
perlu mendapat perhatian. Untuk mendukung Tingginya pengeluaran rumahtangga
petani padi sawah untuk pangan dibandingkan pengeluaran untuk bukan pangan
tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan petani padi sawah harus terus
ditingkatkan.Walaupun demikian seiring dengan peningkatan pendapatan maka
lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan porsi

Universitas Sumatera Utara

34 
 

pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan dan peningkatan porsi pendapatan yang
dibelanjakan untuk bukan pangan. Pergeseran komposisi atau pola pengeluaran
tersebut terjadi karena elastisitas permintaan terhadap pangan pada umumnya rendah,
sementara elastisitas permintaan terhadap barang bukan pangan pada umumnya
tinggi. Keadaan ini semakin jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat
konsumsi pangannya sudah mencapai titik jenuh (saturation point), sehingga
peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan
pangan atau ditabung.
Pola pengeluaran pangan rumah tangga telah menunjukkan perubahan dari
pola pangan rumah ke pola pangan luar rumah. Selain itu juga terdapat
kecenderungan meningkatnya konsumsi mie instan. Hasil analisis data SUSENAS
yang dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian serta
Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian menunjukkan bahwa pada tahun
2002, mie merupakan pangan pokok kedua, dan semakin signifikan pada tahun 2005,
bahwa semua masyarakat di kota atau desa dan kaya atau miskin hanya mempunyai
satu pola pangan pokok yaitu beras dan mie. Analisis lain dengan data data
SUSENAS 1999, 2002 dan 2005 yang dilakukan oleh Saliem dan Ariningsih (2008)
menunjukkan telah terjadi perubahan pola konsumsi dan pengeluaran rumah rangga
di pedesaan Indonesia yang mengarah pada mie/terigu, serta meningkatnya konsumsi
dan pengeluaran untuk makanan jadi dan rokok (tembakau dan sirih).
Pangsa pengeluaran pangan masih mendominasi pengeluaran rumah tangga
(51,92%), rumah tangga nasional dan perkotaan dalam hasil penelitian termasuk ke

Universitas Sumatera Utara

35 
 

dalam rumah tangga mampu karena pangsa pengeluaran pangannya berada pada
interval 20-59 persen. Selain itu, karena pangsa pengeluaran pangan ≤ 60 persen
pengeluaran total dan tingkat konsumsi energi >80 persen syarat kecukupan gizi,
maka rumah tangga tersebut masih termasuk ke dalam kelompok rumah tangga tahan
pangan. (Mauludyani & Resty, 2008). Berdasarkan data BPS (1992), rumah tangga
yang tidak dinyatakan miskin karena pangsa pengeluaran pangannya lebih kecil dari
70 persen. Kondisi rumah tangga nasional dan perkotaan berbeda dengan rumah
tangga pedesaan. Rumah tangga pedesaan termasuk ke dalam rumah tangga miskin.
Rumah tangga tersebut juga termasuk dalam rumah tangga rentan pangan.

2.6

Keterkaitan antar Variabel dan Penelitian-penelitian Terdahulu

2.6.1 Hubungan Pola Konsumsi dengan Status Gizi
Dari hasil penelitian Hidayat (2004) menunjukkan hasil bahwa ada hubungan
yang positif antara konsumsi makanan dengan status gizi anak (P< 0,001). Anak yang
diberi makanan lengkap status gizinya lebih baik daripada anak yang diberi makanan
tidak lengkap. Penelitian yang dilakukan di Nusaniwe Ambon yang merupakan hasil
penelitian Pellokila dan Picauly (2004) menunjukkan bahwa ikan memberikan
kontribusi protein yang cukup baik (42,7 %) dari total konsumsi protein balita yaitu
sebesar 36,8 gram/orang/hari. Angka ini mendekati besar kontribusi protein dari
pangan non ikan yaitu sebesar 57,3 gram/orang/hari, dimana hasil penelitiannya
menunjukkan hasil bahwa ada hubungan antara konsumsi pangan ikan dan non ikan
terhadap status gizi balita (p < 0,01). Dari hasil penelitian Damora, Anwar &

Universitas Sumatera Utara

36 
 

Heryatno, (2008), tingkat kecukupan konsumsi energi dipengaruhi oleh pengeluaran
yang pangan menunjukkan hubungan positif yang nyata (p

Dokumen yang terkait

Hubungan Ketahanan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga Buruh Kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh Tahun 2014

4 44 137

Pola Konsumsi Makanan Jajanan Dan Status Gizi Remaja Pesantren Irsyadul Islamiyah Tanjung Medan Dan SMU Negeri 1 Kampung Rakyat Rantau Prapat Tahun 2006

0 38 83

Hubungan Pola Konsumsi, Ketersediaan Pangan, Pengetahuan Gizi Dan Status Kesehatan Dengan Kejadian Kek Pada Ibu Hamil Di Kabupaten Simalungun 2008

13 92 114

Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 0 21

Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 0 2

Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 0 12

Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 1 8

Hubungan Pola Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 0 39

POLA PENYEDIAAN DAN KONSUMSI PANGAN TERHADAP STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA BURUH TANI

0 0 70

1. Karakteristik Status Sosial Ekonomi Keluarga - Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan Status Sosial Ekonomi KeluargaDengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah Dasar SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan 2014

0 0 22