Eksistensi Samurai Pada Masa Pemerintahan Meiji Chapter III IV

BAB III
EKSISTENSI SAMURAI PADA MASA PEMERINTAHAN
MEIJI

3.1

Hak Politik dan Kekuasaan Samurai
Pemerintah feodal Tokugawa yang mulai berkuasa sejak tahun 1600

sebagian besar terdiri dari kelas samurai, yaitu sebuah kelas elit militer yang
mempunyai kekuasaan luas, dimana kekuasaan mereka tidak hanya mengatur
pemerintahan Jepang pada saat itu, namun sampai kepada hal-hal kecil dalam
kehidupan masyarakat yang berada dalam hirearki kelas lain. Dalam sejarah
Jepang, Keshogunan Tokugawa menguasai Jepang ratusan tahun lamanya.
Kemudian dengan adanya dekrit pengembalian kekuasaan kepada Kaisar pada
tahun 1868, semakin melemahnya Negara Jepang karena politik isolasi
Keshogunan Tokugawa dan adanya keinginan pemerintah Meiji untuk
mereformasi Jepang secara besar-besaran, menyebabkan berakhirnya kejayaan
kaum samurai pada tahun 1870. Kejatuhan kaum samurai ditengarai tidak hanya
disebabkan kekalahan yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi, namun aspekaspek dari segi sosial, politik, maupun budaya turut memberikan peran.
Restorasi dan reformasi secara besar-besaran pada saat itu berdampak pada

seluruh lapisan masyarakat, terutama kaum samurai. Perpindahan kekuasaan dari
keshogunan Tokugawa yang berkuasa selama ratusan tahun ke tangan Kaisar
sangat berpengaruh. Biarpun Kaisar hanya sebagai simbol dan pemerintahan

Universitas Sumatera Utara

dijalankan oleh para birokrat namun perpindahan kekuasaan ini mengembalikan
kebanggaan nasional. Kaum samurai yang sebelumnya sangat berkuasa
dipemerintahan

berusaha

merebut

pemerintahan

Meiji

kembali


dengan

mengajukan wakil-wakil mereka untuk dapat ambil bagian dalam pemerintahan.
Sebelumnya para daimyo merupakan kaum elit yang bisa mempengaruhi Kaisar
sekalipun, namun ketika sistem pemerintahan berubah menjadi konstitusi maka
kekuasaan mereka otomatis diperkecil. Sistem kasta di Jepang pada saat itu pun
turut berubah, menjadi kozoku (kaum bangsawan), shizoku (kaum samurai dan
tentara), serta heimin (rakyat biasa).
Meskipun kekuasaan politik telah dikembalikan kepada Kaisar, namun
pengaruh dari pemerintahan feodal masih terasa pada tahun-tahun pertama periode
Meiji terutama dalam masalah ekonomi dan sistem sosial. Karena itu, pemerintah
berusaha untuk menghilangkan sisa-sisa feodal sebelum modernisasi dilaksankan.
Untuk kepentingan tersebut, pemerintah segera mengadakan perubahan dengan
mencontoh dunia barat, dengan tujuan membangun Jepang agar setara dengan
negara-negara barat. Dalam hal ini, golongan samurai memegang peranan yang
sangat penting.
Peranan penting samurai yang pertama adalah dominasi mereka dalam
jabatan-jabatan penting di pemerintahan. Hal ini bisa terlihat pada susunan
pemerintah awal restorasi Meiji dimana samurai-samurai yang menempati posisi
dalam pemrintahan kebanyakan adalah para samurai yang memprakarsai

meletusnya restorasi. Yeti Nurhayati (1987: 51) menyatakan bahwa upaya
pembentukan pemerintahn yang baru ini sebenarnya telah dilakukan beberapa
tahun sebelum terjadi restorasi Meiji, tepatnya pada tahun 1863, tetapi perubahan

Universitas Sumatera Utara

tersebut menjadi semakin jelas tatkala terjadi restorasi. Pemerintah mengadakan
perubahan dengan membentuk sistem pengganti bakufu. Pemerintahan yang baru
dikepalai oleh Tenno (Kaisar) dan dibantu oleh tiga badan penasihat. Lebih lanjut
Nurhayti memaparkan bahwa tiga badan yang dimaksud sebagai berikut:
Pertama adalah Sosai atau Majelis Tinggi, yang dikepalai oleh seorang
pangeran.
Kedua, yakni Gijo atau Dewan Penasihat kelas satu yang terdiri dari
anggota-anggota yang diambil dari kalangan bangsawan (Kuge) dan
samurai terkemuka.
Ketiga adalah Sanyo atau Dewan Penasihat kelas dua yang
anggotanya terdiri dari lima orang golongan Kuge dan 15 orang dari
golongan samurai. (Nurhayati, 1987: 51)
Akan tetapi, pada tahun yang sama pemerintah mengubah kembali
susunan di atas dan ketiga badan Penasihat yang ada dlebur kedalam susuna lebih

sederhana yaitu, Dai-Jo- Kan(Majelis Musyawarah)
Kedudukan kaum samurai semakin kuat ketika struktur pemrintahan yang
telah ada diubah kembali dengan dominasi penuh para samurai. Dai-Jo-Kan yang
berisi dua dewarn, berada dibawah kuasa Perdana Menteri (Daijo-daijin)
Pangeran Sanjo Sanetomi dan Pangeran Iwakura Tomomi Sebagai Menteri Luar
Negeri. Adapun setiap kebijakan politik yang dikeluarkan, berasal dari Badan
Penasihat Negara yang merupakan gabungan klan-klan samurai anti Tokugawa.
Tokoh-tokoh yang memegang peranan paling dominan berasal dari klan Satsuma
dan Chosu, Sedangkan dua klan penting lainnya Yaitu Tossa dan Hizen mendapat
kedudukan lebih sederhana.
Pada tahun 1869, pemerintah Meiji berupaya untuk memperlemah
kekuatan paradaimyo, yaitu dengan membujuk mereka untuk menyerahkan tanah

Universitas Sumatera Utara

yang mereka kuasai sebagai ganti untuk mendapatkan kekuasaan politik. Biarpun
kemudian para daimyo ditunjuk sebagai gubernur ditanah mereka, namun
penggantian status dari daimyo menjadi gubernur yang ditunjukoleh pemerintah
menggambarkan adanya kekuasaan Kaisar (pemerintah Meiji) terhadap setiap
golongan masyarakat. Kemudian pemerintah Meiji juga mendesak para daimyo

agar mengambil pegawai yang ditunjuk oleh pemerintah untuk dipekerjakan
sebagai petugas administrasi sebagai langkah awal penghilangan kekuasaan
daimyo terhadap daerah kekuasaan mereka. Mengikuti hal ini, pada tahun 1871
pemerintah Meiji berhasil menghilangkan kekusaan para daimyo, dan membuat
lahan-lahan kekuasaan para daimyo tersebut menjadi perfektur yang baru, dimana
pemerintah dapat mengambil pajak secara langsung dan jabatan gubernur dipilih
secara langsung oleh pemerintah. Saat ini sistem pemerintahan di Jepang
mengadopsi sistem pemerintahan Eropa, yaitu sistem kabinet yan dipimpin oleh
perdana menteri. Biarpun banyak kaum samurai yang ikut serta dalam kabinet
Jepang yangbaru namun, kemudian digugurkan oleh pemerintah dengan alasan
tidak berkualifikasi untuk menjadi staff dalam pemerintahan. Karena banyak
kaum samurai yang tidak setuju dengan hal ini, maka kaum samurai dari provinsi
Satsuma, Chosu, Tosa dan Hizen bersatu dan membentuk sebuah oposisi bagi
pemerintah Meiji. Mereka berkeinginan agar kelas samurai tetap menjadi kelas
yang elit dalam tatanan masyarakat Jepangyang baru. Hal ini menemui kegagalan
karena pemerintah Meiji sejak lama telah melucuti berbagai hak yang dimiliki
oleh kaum samurai, seperti tidak boleh membawa senjata, hilangnya kekuasaan
dan pengaruh daimyo, dan beberapa samurai yang berhasil duduk dalam
pemerintahan menentang oposisi ini. Hal ini membuat para samurai yang tidak


Universitas Sumatera Utara

mendapatkan keuntungan dengan sistem pemerintahan yang baru merasa marah
dan kecewa.

3.2

Kehidupan Ekonomi Samurai
Kaum samurai tidak hanya terkena dampak reformasi dalam bidang

militer saja namun juga dalam bidang ekonomi. Karena kegagalan Tokugawa
sebelumnya dalam pemerintahan Jepang, maka pemerintah Meiji merasa perlu
adanya proses industrialisasi besar-besaran di Jepang. Industrialisasi ini mencakup
pembubaran kelas-kelas dalam masyarakat sehingga membawa universalitas,
sistem pos nasional serta penemuan-penemuan baru seperti telegraph serta kereta
api. Negara Jepang menjadi semakin berjaya dengan dijalankannya reformasi ini
namun, tidak halnya dengan kaum samurai. Ketika proses modernisasi sedang
berjalan maka, dalam jangka panjang akan butuh dana dan sumber daya yang
besar. Karena hal ini pemerintah Meiji merasa perlu mengorbankan kelas samurai
yang pada waktu itu dianggap tidak berguna dalam modernisasi. Hal ini dimulai

dengan adanya pengurangan terhadap gaji untuk kaum samurai, dihilangkannya
hak atas tanah yang sebelumnya diberikan oleh pemerintah Meiji kepada mereka,
serta pembagian kelas samurai menjadi 2 kelas yaitu, smurai kelas atas dan
samurai kelas rendahan. Pemerintah Meiji pada waktu itu menganggap samurai
sebagai sesuatu yang bernilai kecil namun dengan ongkos pemeliharaan yang
besar. Keterampilan mereka dalam seni pedang tidak berguna di masa damai.
Karena hal itu, setidaknya sekitar 2 juta samurai kehilangan sumber
nafkah dan mata pencaharian utama mereka dan banyak diantara mereka harus

Universitas Sumatera Utara

mencari lapangan pekerjaan yang baru bahkan menjadi pengangguran. Lapangan
pekerjaan yang paling banyak menjadi pilihan mereka tentu saja adalah bidangbidang yang sesuai dengan sifat golongan samurai, yaitu sebagai anggota
pemerintah sipil dan angkatan perang. Tetapi, jumlah kaum samurai dari masa
Tokugawa kurang lebih sebanyak 7% dari seluruh penduduk Jepang. Jumlah yang
terlalu besar untuk bisa ditampung seluruhnya dalam pemerintahan sipil maupun
militer.
Menurut peraturan awal setelah dikeluarkannya kebijakan penghapusan
golongan samurai, kepada kaum samurai diberikan separuh dari pendapatan
mereka. Bagi daimyo, hal ini tidak menjadi masalah malah menguntungkan

mereka. Karena, walaupun saat itu mereka hanya diberikan sepersepuluh dari
nominal pendapatan mereka, pengahasilan itu lebih besar daripada pendapatan
mereka yang sebenarnya. Karena jika sebelumnya, pendapatan nominal mereka
harus digunakan untuk membiayai samurai-samurai yang bekerja pada mereka.
Lain halnya dengan apa yang diterima oleh kaum samurai. Pendapatan itu tidak
terlalu besar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Maka,
ketika pendapatan kaum samurai diubah menjadi setengahnya, mereka berada
dalam kesulitan ekonomi. Kehidupan damai pada masa Tokugawa menjadikan
kaum samurai terbiasa mengerjakan hal-hal yang tidak sesuai dengan tugas
mereka yang seharusnya.
Akibat banyaknya jumlah tanggungan tunjangan yang harus dibayarkan
oleh pemerintah, persoalan ini dirasa memberatkan keuangan negara sehingga
pemerintah mengambil keputusan untuk mengubah peraturan pensiun. Pemerintah
mengganti pembayaran pensiun kepada para bekas daimyo dengan obligasi atas

Universitas Sumatera Utara

dasar sukarela. Hal ini dilakukan karena kas negara menjadi kosong sejak emas
banyak mengalir keluar negeri untuk kepentingan modernisasi. Kemudian pada
tahun 1876 golongan samurai dilarang memakai gelung rambut dan dua buah

pilah pedang yang merupakan lambang status mereka. Gaji mereka juga dikurangi
dengan cara pembayaran uang sedikit, ditambah lagi adanya obligasi dari
pemerintah. Akibatnya, mereka terpaksa mulai mencari kehidupan baru di bidang
pertanian, perindustrian dan perdagangan.
Pemerintah tetap berupaya memberikan dana santunan kepada kaum
samurai yang tidak bekerja namun dengan potongan sekitar 30-80% dan pada
akhirnya berusaha menghilangkan kelas yang dianggap tidak berguna tersebut.
Sebagian besar kaum samurai jelas tidak setuju dengan aksi pemerintah Meiji
tersebut dan melakukan pemberontakan. Pemberontakan samurai yang terbesar
adalah pemberontakan Saigo Takamori dari Provinsi Satsuma. Pemberontakan ini
akhirnya gagal dan banyak kaum samurai beralih pekerjaan ke bidang industri.
Kebijakan pemerintah Meiji tersebut memang dimaksudkan untuk menghilangkan
kelas samurai dalam proses modernisasi Jepang.

3.3

Kehidupan Sosial Samurai
Kaum samurai juga mengahadapi perubahan kondisi sosial dalam

masyarakat. Pada tahun 1867 sangat mudah bagi pemerintah Jepang untuk

menerapkan standar baru dalam kehidupan bermasyarakat karena sebagian besar
rakyat patuh dan tunduk pada Kaisar yang baru, mereka beranggapan bahwa
Kaisar adalah pemerintahan. Dalam kasus ini, standar baru yang diterap kan oleh

Universitas Sumatera Utara

pemerintahan Meiji adalah status setiap penduduk adalah sama, tidak ada hak
khusu bagi kaum samurai, setiap permasalahan harus diselesaikan dengan
pemanggilan pihak berwajib. Dikarenakan hal tersebut pemerintah Meiji
menerapkan hukum baru bagi kaum samurai yaitu adanya larangan untuk
membawa senjata dimuka umum. Tidak hanya senjata namun segala sesuatu yang
berhubungan erat dengan samurai seperti pernak pernik pakaian kaum samurai,
dan gaya rambut yang menjadi ciri khas dari seorang samurai pun turut
dihilangkan. Hal-hal ini dianggap tidak modern oleh pemerintah Meiji.
Kaum samurai yang semakin merasa tidak dihargai dengan perlakuan
pemerintah menemui titik cerah ketika Jepang ingin menginvasi Korea karena
adanya masalah dalam suatu perjanjian lama. Kaum samurai merasa dengan
adanya perang kali ini maka mereka akan kembali kepada masa-masa jayanya dan
hak hak serta status sosial mereka yang telah hilang dalam proses modernisasi.
Perihal invasi ke Korea didukung penuh oleh Saigo Takamori, ketua dari klan

Satsuma. Pada awalnya saigo Takamori mendukung pemerintah Meiji namun
ketika invasi ke Korea ditentang oleh pemerintah Meiji dengan alasan akan
mengganggu kestabilan ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan perdagangan
internasional, maka Saigo Takamori berbalik memberontak kepada pemerintah.
Hal ini memicu terjadinya pemberontakan Satsuma yang dipimpin oleh Saigo
Takamori. Pemberontakan Satsuma merupakan pemberontakan samurai terbesar
pada era Meiji, namun pada akhirnya pemberontakan tersebut mengalami
kegagalan dan kaum samurai benar-benar kehilangan statusnya.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1

Kesimpulan
Samurai ( 侍 ), atau dalam bahasa Jepang disebut bushi ( 武士 ) atau buke

( 武家 ), adalah bangsawan militer abad pertengahan dan awal-modern Jepang.
Menurut Wikipedia, samurai adalah sebutan untuk bangsawan militer pada masa
pra-industri Jepang. Kata “samurai” diambil dari bahasa Jepang kuno “samorau”
lalu berubah menjadi “saburau” yang berarti “pelayan”
Samurai merupakan golongan istimewa dalam hirearki masyarakat Jepang
yang berkedudukan sebagai kaum militer dan terbentuk sejak zaman Heian.
Keberadaan mereka banyak berpengaruh bagi perputaran roda pemerintahan
Jepang dari masa kuno sampai Jepang mencapai modernisasi.
Samurai terbentuk untuk mengatasi pemberontakan-pemberontakan yang
dilakukan oleh kelas petani serta melindungi para tuan tanah (daimyo) dari
ancaman para petani yang merasa tidak puas atas kebijakan daimyo yang
merugikan para petani di wilayah mereka sendiri.
Kedudukan dan fungsi samurai pada masa awal restorasi Meiji hampir
tidak jauh berbeda dengan masa pemerintahan Tokugawa, dimana golongan
tersebut mendapat tempat dan perlakuan yang istimewa dari pemerintah. Tugas

Universitas Sumatera Utara

mereka tidak hanya sebagai prajurit militer saja, tetapi juga merambah ke bidangbidang ilmu lainnya.
Restorasi Meiji yang meniru kebudayaan barat membawa dampak positif
terhadap perkembangan Jepang yang pada saat itu sedang dilanda keterpurukan.
Perubahan dilakukan diberbagai aspek sosial, politik, ekonomi, militer yang
berujung pada hilangnya eksistensi kelas samurai dalam strata masyarakat Jepang.
Kaum samurai yang keberadaanya sejak masa Kamakura adalah sebagai alat
pertahanan dan perlindungan terhadap pengusa, perlahan-lahan mulai kehilangan
hak-hak istimewanya.
Pada akhirnya, walaupun fungsi dan keberadaan kaum samuraitidak
sejalan dengan kepentingan modernisasi Jepang pada saat itu namun eksistensi
mereka akan selalu mengingatkan pemerintah Jepang betapa pentingnya menjaga
budaya dan prinsip-prinsip tradisional

4.2

Saran.
Membaca merupakan hal yang sangat bermanfaat. Dengan membaca kita

jadi lebih mengetahui akan segala sesuatunya, khususnya tentang samurai di
Jepang. Bagi penulis sebagai seorang mahasiswa dan terutama bagi para pembaca,
baik mahasiswa maupun orang awam, dengan membaca kita lebih menambah
wawasan pengetahuan yang berhubungan dengan sejarah Jepang, terutama sejarah
mengenai samurai dan perkembangannya di Jepang. Meskipun kelas samurai
sudah dihapuskan sebaiknya nilai-nilai kesetiaan dan semangat bushido yang ada
pada samurai tetap diajarkan kepada generasi-generasi muda, baik mahasiswa

Universitas Sumatera Utara

maupun masyarakat umum agar nilai-nilai dan semangat tersebut tetap melekat di
dalam diri masyarkat Jepang.
Meskipun samurai berasal dan berkembang di Jepang, tidak ada salahnya
agar prinsip-prinsip hidup dan nilai-nilai bushido yang menjadi ciri khas samurai
tersebut diajarkan kepada masyarakat yang berada di luar Jepang, khususnya bagi
mahasiswa-mahasiswa yang ada di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara