Gerakan Islam Indonesia Dalam Memperjuangkan Penggunaan Jilbab Pada Masa Orde Baru Chapter III IV

BAB III

Analisis Pola Gerakan Islam dalam Memperjuangkan
Jilbab

A. Hubungan Pemerintah Orde Baru Dengan Kelompok Islam.
Sebuah sistem pemerintahan yang baik pada suatu negara, harus adanya
komunikasi yang baik pula dari setiap elemen-elemen di dalam membangun
hubungan satu sama yang lain, termasuk kepada kelompok-kelompok yang
bersifat mengawasi pemerintah dalam menjalankan kekuasaan guna mewujudkan
cita-cita negara tersebut. Kelompok-kelompok ini terdiri dari gerakan-gerakan
sosial, politik maupun agama yang hadir ditengah-tengah susunan sistem
pemerintah yang telah dibangun. Gerakan-gerakan sosial ini lahir dan muncul
dikarenakan berbagai hal dan tentunya mempunyai tujuan. Didalam mekanisme
gerakan sosial dikemukan oleh Peter Eisinger terdapat Political Opportunity
Structure (POS) yang menjelaskan gerakan sosial terjadi disebabkan oleh tingkat
akses terhadap lembaga-lembaga politik mengalami keterpurukan sehingga
gerakan tersebut menginginkan perubahan dan struktur politik serta situasi ini
dilihat sebagai kesempatan. 132
Teori yang dikemukan oleh Peter Eisinger juga pernah dialami oleh
Indonesia, pada saat penghujung kekuasaan rezim Orde Lama yang semakin

terpuruk, keseimbangan politik sedang tercerai berai dan adanya perlawanperlawan yang dilakukan oleh PKI. Sehingga pada tanggal 4 Oktober 1966
dilakukan rapat umum yang dihadirkan oleh Partai Politik dan Organisasi
Masyarakat. Dalam rapat tersebut dikeluarkan kesepakatan salah satu diantaranya
132

Abdul wahib. 2007. Gerakan sosial studi kasus beberapa perlawanan. Yogyakarta: pustaka
belajar. Hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

diresmikan suatu gerakan yang baru lahir yaitu Kesatuan Aksi Pengganyangan
(KAP) Gesatapu/PKI, yang tergabung didalamnya adalah gerakan-gerakan Islam
seperti NU, Muhamadiyah, Generasi Muda Islam, sekber Golkar dam PSII. 133
Selain itu juga lahirnya Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) yang terdiri dari
kelompok-kelompok Islam dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Gerakan KAP
Gestapu dan KAMI yang bersatu untuk melahirkan sistem pemeritahan yang baru
yaitu masa Orde Baru.
Lahirnya Orde Baru membawa harapan besar dan semangat baru untuk
kelompok-kelompok Islam terkhususnya, karena telah berjuang dalam melawan
PKI maupun ketertindasan dari penguasa terdahulu. Akan tetapi dalam

kenyataanya, harapan dari kelompok Islam menjadi sirna karena keinginan dari
kelompok Islam bertubrukan dengan strategi pembangunan Orde Baru yaitu
marginalisasi peran partai-partai politik dan melarang adanya pembicaraan
masalah-masalah ideologi (selain pancasila), terutama bersifat keagamaan. 134
Pada suatu masa umat Islam dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan
pemerintah Orde Baru dan dipenghujung masa pemerintahan Orde Baru, umat
Islam dijadikan mitra untuk menjaga kestabilitas negara pada saat kekuatankekuatan lain diluar Islam mendesak pemerintah.
A.1. Hubungan Bersifat Represif
Pada awal hubungan yang terbangun antara kelompok Islam dengan
Rezim Soharto dikenal dengan hubungan bersifat reprsif terjadi pada awal
pemerintah Orde Baru. 135 Pada masa awal kepemimpinan Soeharto terlihat
bagaimana Soeharto ingin menjauhkan umat Islam dari kancah politik
dikarenakan Islam ditakuti akan menghambat proses pembangunan yang telah
dirancang sedemikian rupa oleh Soeharto dengan para antek-anteknya. Hubungan
133

Abdul azis thaba.Op.cit. Hal. 241.
Ibid.Hal. 240.
135
Bersifat represif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan menekan, mengekang,

menahan, menghambat atau menindas

134

Universitas Sumatera Utara

yang terjalin pada awal masa pemerintahan Soharto tidak begitu harmonis, hal ini
diperjelas oleh pernyataan oleh Pak Ahmad Taufan dalam wawancara:
“Pada tahun 1980 an awal itu, situasi hubungan politik antara pemerintah Orde Baru
dengan kelompok Islam belum harmonis. Masih situasi melanjutkan situasi politik tahun
1970-an, walaupun aneh sebetulnya, pada saat situasi politik menjatuhkan sokarno itu,
Kelompok Islam paling didepan. Kelompok Islam dengan Soeharto dulunya
136
berkoloborasi....”

Selain itu, hubungan yang terjalin pada awalnya, Soeharto menjadikan
kelompok Islam sebagai kelompok yang Istimewa dan mendapat perhatian khusus
dari penguasa pada saat itu, sebagaimana yang di ungkapan Ibu Masdalifah:
“ ...memang pada masa Orde Baru kelompok-kelompok Islam inikan mendapat perhatian
spasial dari pemerintah. Dia itu dijaga sekali supaya kelompok Islam ini tidak bertindak

diluar apa yang tidak diingikan pemerintah....”. 137

Pernyataan yang disampaikan oleh Ibu Masdalifah terlihat bagaimana
Untuk menjaga tujuan yang diinginkan pemerintah pada saat itu, pemerintah harus
mengeluarkan berbagai macam peraturan–peraturan yang bersifat represif. Hal ini
diperjelas oleh pernyataan Siti Aminah dalam wawancara yang mengatakan:
“tentunya pada saat itu banyak sekali peraturan yang tidak sesuai dengan pedoman kita,
contohnya peraturan tentang perkawainan, hak waris.....”. 138

Pernyatan dari Ibu Siti Aminah mengenai peraturan perkawinan yang
dimaksudkan itu, terdapat pada Rancangan Undang-undang perkawinan yang
diajukan oleh pemerintah pada tanggal 16 Agustus 1973. 139 Didalam RUU
perkawinan ini terdapat 9 butir yang bertententangan dengan ajaran Islam yaitu
pasal 2 ayat 1, pasal 3 ayat 2, pasal 7 ayat 1, pasal 8 ayat c, pasal 10 ayat 2, pasal
11 ayat 2, pasal 13ayat 1 dan 2, pasal 37, pasal 46 ayat c dan d, pasal 62 ayat 2
dan pasal 62 ayat 9, RUU ini di buat tanpa dikonsultasikan lebih dulu dengan

136

Taufan Damanik. Wawancara pada hari Senin, tanggal 20 Febuari 2017 pukul 11.00- 11.35

WIB di Fisip USU.
137
Masdalifah. Wawacara pada hari Jum’at, 6 Januari 2017, Pukul 11.00-12.10 WIB. Di Fisip
USU.
138
Siti Aminah. Wawancara pada hari Jumat, 20 Januari 2017, Pukul 13.00-13.30WIB. di jalan
kejaksaan gang mala. No 61.Tembung
139
Sabili. Op.cit. Hal.21.

Universitas Sumatera Utara

umat Islam. 140 Tetapi setelah terjadi lobbying antara tokoh-tokoh Islam dengan
pejabat negara bahkan dengan presiden Soharto, hasil dari lobbying yang telah
dilakukan adalah presiden memberikan jaminan bahwa beberapa pasal yang
dianggap bertentangan dengan ajaran Islam akan dihapuskan. 141
Disisi lain Soeharto dengan para pendukungnya di hampiri rasa cemas dan
khawatir jika semangat keislaman yang terjadi pada masa lalu muncul kembali
disaat Soeharto baru mencicipi manisnya kursi kekuasaan, sehingga Soeharto
berusaha untuk membuat peraturan dengan berkerjasama dalam membentuk

kebijakan-kebijakan yang menghambat perkembangan Umat Islam dilakukan di
semua sendi-sendi pemerintahan, baik itu dari bidang keagamaan sendiri bahkan
dalam bidang pendidikan. Didalam bidang pendidikan siswa-siswi pada bulan
ramadhan diwajibkan untuk sekolah dengan kegiatan belajar mengajar seperti
biasa dan dilarang untuk libur, peraturan ini di keluarkan oleh Mentri Kebudayaan
dan Pendidikan pada saat itu di jabat oleh Daoed Josoef dengan dikeluarkannya
SK No. 0211/U/1978. Peraturan ini diperkuat dengan pernyataan Bapak Ahmad
Taufan dalam wawancara:
“ Pada saat dipimpin Bapak Daud Yusuf, beliau mengeluarkan kebijakan pada bulan
puasa sekolah tidak diliburkan. Padahal tahun sebelumnya sekolah diliburkan satu bulan
selama puasa.......” 142.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan
Daoed Josoef adanya kebijakan mengintervensi kehidupan kampus dengan
dikeluarkannya SK No. 0156/U/1978 mengenai Normalisasi Kehidupan Kampus
(NKK) disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi
dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Kebijakan-kebijakan
ini dikeluarkan oleh pemerintah sebagai bentuk upaya untuk meredam aktivitas
politik kampus, dimana mahasiswa dilarang untuk ikut berpolitik, kebebasan
intelektual para mahasiswa dihambat dengan dalih stabilitas politik dan

140

Abdul azis thaba. Op.cit.Hal. 258.
Ibid. Hal.261.
142
Hasil wawancara bersama Bapak Ahmad Taufan.
141

Universitas Sumatera Utara

pembangunan. Pernyataan ini diperkuat oleh Bu Wilda Andriani yang
mengatakan:
“....karna ada peraturannya namanya itu NKK BKK menganai normalisasi kampus, jadi
mahasiswa saat itu diarahkan untuk belajar, belajar dan ya belajar...”. 143

Kebijakan yang sering dikenal dengan NKK BKK ini sangat menghambat
para mahasiswa untuk bisa menikmati gerakan-gerakan didalam maupun diluar
kampus, termasuk gerakan-gerakan Islam juga sangat sulit untuk memasuki dunia
kampus. Dengan kebijakan ini mahasiswa-mahasiswi Islam sangat sulit untuk
menimba ilmu agama mengenai kajian-kajian Islam termasuk kajian-kajian

mengenai kewajiban Jilbab yang tentunya tidak didapatkan oleh mahasiswi
Muslim. Kebijakan mengenai NKK BKK juga di sampaikan oleh Bapak Ahmad
Taufan sebagai berikut:
“sesuai dengan peraturan pada saat itu, organisasi ekternal tidak boleh masuk, pada
zaman NKK BKK.” 144

Mahasiswi-mahasiswi muslim yang ingin mengikutipengajian-pengajian,
mereka harus besembunyi-sembunyi pada awalnya. Seperti hal yang pernah
dirasakan oleh Ibu Wilda Adriani yang mengatakan bahwa
“mau pergi halaqah atau pengajian-pengajian itu sulit. Saya.masih teringat bagaimana
kami harus mengisi halaqah-halaqah dari rumah ke rumah dengan sembunyisembunyi”. 145
kejadian yang dialami oleh Ibu Wilda Adriani juga dirasakan oleh Ibu Siti
Aminah sebagaimana pemaparan yang disampaikan beliau:

143

Wilda Adriani.wawancara pada hari kamis, 8 Januari 2017, Pukul 14.50-15.45 WIB.di Tanjung
Morawa.
144


Hasil wawancara bersama Bapak Ahmad Taufan..
Halaqah merupakan suatu kelompok yang terdiri dari 8 sampai 10 orang yang dibina oleh satu
orang yang disebut Murabbi, didalam kelompok ini membahas berbagai macam persoalan agama
.Di saat melakukan pengajian halaqah ia harus bersembunyi-sembunyi untuk memasuki rumah
tempat peretemun halaqah yang disepakati, memasukinya secara berganti-gantian, dengan
membawa masuk sendal-sendal kedalam rumah supaya tidak dicurigai.
145

Universitas Sumatera Utara

“....Kalau untuk pengajian saat itu termasuk dihalangi-halangi, karna pada saat itu, kalau
ada yang berkumpul 3 orang atau lebih itu di curigai, makanya kalau mau pengajian itu,
ya kami harus sembunyi-sembunyi. jadi mau pergi ke pengajian itu saya sama kawankawan itu naik sadako yang sama tapi kami turun itu di tempat yang beda-beda padahal
rumah yang dituju itu sama” 146

Tidak hanya Ibu Wilda dan Ibu Siti Aminah yang beranggapan sikap
pemerintah terhadap Islam bersifat repesif sama halnya yang disampaikan oleh
Bapak Ahmad Taufan sebagai berikut:
“Disisi lain pemerintah cukup represtif sehingga mengakibatkan dukungan politiknya
kurang bagus....”. 147


Penjelasan yang telah disampaikan oleh Ibu Wilda, Ibu Siti Aminah dan
Pak Taufan memperjelas sifat represif dari pemerintahan saat itu. Sedangkan
untuk Kajian mesjid yang dulunya intens dilakukan di daerah ITB tepatnya di
Mesjid Salmam ITB. Didalam pengajian yang dilakukan di Mesjid Salman ITB
adanya materi-materi yang membuat semangat para mahasiswa kembali, selain itu
juga adanya materi mengenai kewajiban menggunakan Jilbab.
Semangat penggunaan Jilbab yang dilakukan oleh Mahasiswi maupun
Pelajar di Bandung menyebar ke setiap daerah-daerah yang ada di Indonesia.
Inilah yang menjadikan penggunaan Jilbab ditakuti bahkan dituduh sebagai
afiliasi dari sebuah gerakan radikal yang akan menentang pemerintah. Jilbab pada
saat itu dianggap menjadi sebuah busana yang sangat kolot, Kuno dan bahkan
“labeling (julukan)” yang buruk selalu disematkan ke pada mereka, seperti Nenek
sihir, Jahula, penculikan danlainnya. Seperti halnya yang di ungkapkan oleh Ibu
Wilda,
“perempuan yang memakai Jilbab bahkan mereka sering mentertawai dengan sebutan
“nenek lampir, nenek sihir” bahkan orang tua tidak membolehkan anaknya dekat dengan
perempuan yang menggunakan Jilbab, mereka takut anak mereka akan diculik oleh
perempuan yang menggunakan Jilbab.” 148


146

Hasil wawancara bersama Siti Aminah..
Hasil wawacara bersama Bapak Ahmad Taufan.
148
Hasil wawancara bersama Wlda Adriani.

147

Universitas Sumatera Utara

Pemberian “labelling” yang diterima oleh perempuan yang menggunakan
Jilbab diperjelas oleh pernyataan Ibu Siti hajar dalam wawancara yang
mengatakan,
“....di masyarakatakn belum ada yang memakai Jilbab, jadi yang pakai Jilbab sering di
ejek “jahula, jahula”. 149

Pada tahun 1982 Mentri Kebudayaan dan Pendidikan menghasilkan
sebuah kebijakan dikeluarkannya sebuah kebijakan secara tersembunyi yang
menyebabkan pelarangan penggunaan Jilbab baik di sekolah-sekolah, perguruan
tinggi, tempat bekerja bahkan ditengah masyarakat menjadikan busana Jilbab
menjadi sesuatu yang merisaukan masyarakat. Memasuki tahun 1982 hingga
tahun 1985, pada periode ini umat Islam dan pemerintah Orde Baru mulai saling
memahami posisi masing-masing. Periode ini diawali dengan dikeluarkan
kebijakan asas tunggal pancasila bagi Orsospol (organisasi sosial dan politik)
ditujukan untuk semua ormas di Indonesia. Bagi umat Islam, gagasan asas tunggal
menimbulkan masalah karena dikhawatirkan akan menghapuskan asas ciri Islam,
dan menjadikan pancasila sebagai “agama baru” 150.
Pemerintah pada saat itu menerapkan asas tuggal pancasila dilandasi oleh
trauma masalalu dengan jatuh bangunnya kabinet dalam sistem demokrasi, yang
dikhawatirkan oleh pemerintah akan berdampak pada proses kerja pemerintah
serta menganggu stabilitas politik dan keamanan Indonesia. 151 Reaksi umat Islam
terhadap kebijakan asas tunggal bermacam-macam diantaranya ada menerima
tanpa syarat, menerima karena terpaksa dan menolak sama sekali. 152 Pernyataan
ini diperjelas oleh Ibu Masdalifah dalam wawancara yang mengatakan:
“....dasar semua itu pancasila, yang menjadi problamatika adalah sebagian besar
kelompok-kelompok Islam tidak menyetujui itu, karena biasanya yang menjadi acuan
bagi kelompok Islam adalah Al-quran dan Hadist, tetapi ketika negara hadir dan

149

Siti Hajar. Wawancara pada hari Minggu, 5 Febuari. Pukul 19.05-19.40 WIB di tanjung Anom.
Ishlah. Dinamika Politik Umat Islam di Era Orde Baru.edisi khusus tahun III , 1996. Ha 33
151
Abdul azis.Opcit.hal.263.
152
Ibid.Hal.265.
150

Universitas Sumatera Utara

menjadikan setiap aktivitas dasarnya harus pancasila, inilah ya menjadikan hubungan
pemerintah dengan kelompok Islam, yang menyebabkan disharmoni.” 153

Peraturan mengenai asas tunggal pancasila menyebabkan ketegangan
antara pemerintah dengan kelompok Islam dan, tentunya peraturan ini mendapat
reaksi dari kelompok-keompok Islam bahkan ada yang menolak dengan adanya
asa tunggal pancasila, dan tentunya ada juga menerima, tetapi tetap saja yang
menerima asas tunggal pancasila, mereka merasa peraturan itu dibuat terkesan
memaksa, ini terlihat dari ungkapan Bapak Ahmad Taufan:
“.... Di tambah lagi dengan Asas tunggal tidak hanya terjadi dengan kelompok Islam,
tetapi juga kelompok Marhein, gerakan Marhein juga dibubarkan. Gerakan yang menolak
asas tunggal ada dua organisasi yaitu Maherin dan PII sedangkan HMI akhirnya
menerima. Meskipun secara politik GMNI dan GMKI menerima asas tunggal tetapi
mereka tidak nyaman dengan asas tunggal karna seperti sikap otoritarian pemerintah,
sehingga terkesan memaksakan kepada masyatakat....” 154

Peraturan yang mengenai asas tunggal pancasila yang dirasakan memaksa
juga dirasakan oleh Bapak Satmian yang merupakan kader PII yang menolak asas
tunggal, hal ini diperjelas melalui wawancara dengan pak Satiman yang
mengatakan:,
UU Keormasan inilah yang dipaksakan agar dijadikan pedoman sehingga asasnya yang
semula itu memilik asas yang berbeda ada yang Islam dan lainnya. Dan mereka harus
merubahnya dan taat dengan pancasila. Jadi sifatnya menyesuaikan diri dengan Undagundang. Hanya memang ada beberapa organisasi yang tidak mematuhi peraturan itu,
diantaranya ya PII. 155

Peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang bersifat represif tidak hanya
asas tunggal pancasila, didalam dunia pendidikan kebijakan yang dikeluarkan
belum berpihak dengan umat Islam seperti Sk dirjen Dikdasmen no
052/C/Kep./D.82 ketentuan seragam sekolah yang disusul dengan peraturan
pelaksanaan No. 18306/C/D.83 tentang pedoman Pakaian Seragam disekolahsekolah, bagi beberapa siswi yang melakukan penyimpangan karena keyakinan
153

Hasil wawancara bersama Ibu Masdalifah.
Hasil wawancara baersama Bapak Ahamad Taufan..
155
Bapak satiman. Wawancara pada hari Selasa, 20 Febuari 2017 pada pukul 11.05-11.35 di SMK
Swasta PAB Helvetia.

154

Universitas Sumatera Utara

agama diberlakukan secara persuasif, edukatif dan manusiawi. 156 Tujuan dari
diberlakukan SK 052 tentunya baik untuk dunia pendidikan yang terdapat didalam
peraturan ini, pada bab 1 pasal 1 ayat 3 mengenai tujuan dari penyeragaman
sekolah adalah Memperkecil rasa kebanggaan yang berlebihan-lebihan dan
mengembalikan ke rasa bangga yang wajar terhadap sekolah-sekolahnya masingmasing, serta Memperkecilkan perbedaan status sosial keluarga dari mana murid
atau siswa berasal. 157
Hubungan yang kurang baik sudah terbangun diantara Pemerintah dan
kelompok Islam, menjadikan pandangan umat Islam terhadap peraturan ini
sebagai bentuk represif yang dilakukan pemerintah, agar menghalangi-halangi
kelompok Islam. Seperti yang sudah pernah di jelaskan, semakin banyaknya para
siswi, mahasiswi maupun muslimah yang sudah menggunakan Jilbab menjadi
ketakutan tersendiri bagi pemerintah. Stigma yang dibangun dikalangan
masyarakat dimana wanita-wanita yang menggunakan Jilbab harus dijauhi karena
dianggap anggota dari kelompok radikal pada saat itu. Hal ini diperjelas dengan
wawancara bersama Bapak Alwi Alatas yang mengataka,:
“....Jilbab dilihat sebagai representasi Islam garis keras, radikal, anti pancasila. Ketika itu
suasana memang masih panas terkait asas tunggal pacasila. Muslim sering menjadi
sasaran kecurigaan pemerintah dan di anggap memusuhi pancasila, sehingga simbolsimbol Islam tertentu termasuk Jilbab, serta menguatnya aspirasi Islam di lihat sebagai
158
ancaman bagi pemerintah”

Mengantisipasi semakin banyaknya siswi-siswi yang menggunakan Jilbab,
maka dikeluarkanlah peraturan Sk dirjen Dikdasmen No 052/C/Kep./D.82
peraturan yang penggunaan seragam sekolah. Dimana siswa-siswi harus
menggunakan seragam sekolah yang sama dan telah disepakati. Jadi disini terlihat
bagaimana pemerintah membuat sebuah aturan yang tidak secara terang-terang
156

Heni yuningsih.Tarbiyah. Volume: 1. 20015.hal 188
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departement Pendidilcan Dan
Kebudayaanno. 052/C'/Kep/D 82 Diakses pada Senin 1 November 2016 pukul 13.00 WIB
melalui: https://tamadduniaislam.files.wordpress.com/2012/11/sk-952-1982.pdf.
158
Hasil wawancara baersama Bapak Alwi Alatas.

157

Universitas Sumatera Utara

melarang menggunakan Jilbab. Tapi jika ditelusuri, tentunya hasil kesepakatan
yang dibuat mengenai busana sekolah adalah baju dengan rok bagi perempuan
dan celana bagi laki-laki tanpa menggunkan kerudung itu menjadi sebuah
pedoman yang harus dipatuhi oleh pelajar.
Dikeluarkannya peraturan untuk menggunakan seragam sekolah yang
sama di sekolah negri, memberikan efek negatif bagi siswi-siswi yang mulai
untuk menggunakan Jilbab. Berbagai reaksi dari kepala sekolah maupun guru di
Sekolah Negri memberikan sanksi kepada siswi yang menggunakan Jilbab. Sanksi
yang diterima dari teguran, diduga sebagai kelompok gerakan radikal, namanya
tidak tercatat di daftar kehadiran sampai pada saksi yang berat yaitu siswi–siswi
dikeluarkan untuk pindah ke sekolah swasta. Hal ini diperjelas dengan hasil
wawancara Bapak Masri sitanggang yang mengatakan.:
“mahasiswa dan pelajar itu diingatkan untuk tidak memakai bahkan di beberapa daerah
159
dijakarta “dipulangkan kerumah” artinya gak boleh sekolah.”

Berbagai kasus-kasus yang pelarangan Jilbab siswi-siswi SMA negri
terjadi didaerah Jawa terkhususnya, bahkan di Sumatra Utara. Dari tahun setelah
dikeluarkan SK ini, maka bertambah banyak kasus-kasus pelarangan Jilbab.
Walaupun begitu, peristiwa ini menarik perhatian dari gerakan-gerakan Islam
untuk semakin menyebar luaskan kajian mengenai Jilbab, supaya bertambah
banyak wanita-wanita muslimah mengetahui hukum dari penggunaan Jilbab
sebagai suatu kewajiban yang harus dijalankan.
A.2. Hubungan Bersifat Akomodatif
Memasuki hubungan pemerintah dengan kelompok Islam yang bersifat
akomodatif. 160 Orde Baru berupaya untuk memperbaiki hubungannya dengan
kelompok-kelompok Islam melalui cara keberpihakkan rezim Orde Baru terhadap
159

Masri Sitanggang. Wawancara pada Rabu 1 Maret 2017 pada pukul 17.00-17.45WIB Di Kantor
MUI Sumatra Utara.
160
Bersifat akomodatif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan bersifat dapat
menyesuaikan diri.

Universitas Sumatera Utara

kepentingan aspirasi umat Islam. Pemerintah sepertinya telah memahami
kelompok Islam dan menjalin hubungan yang semakin dekat dengan kelompokkelompok Islam dibuktikan dengan berbagai kebijakan rezim Orde Baru antara
lain: 161 1) pada masa Mentri pendidikan dan kebudayaan Fuad Hassan, kebijakan
pendidikan mulai berubah. Misalnya pemberlakukan kembali liburan puasa dan
pelajar muslimah boleh memakai Jilbab di sekolah umum/ negri. 2) pendidikan
yang bersesuaian dengan ajaran Islam diakomodasi dalam beberapa pasal
Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional 3) Undangundang tentang peradilan agama yang mengakui pemberlakuan syariah Islam
dalam pengadilan agama di Indonesia. 4) pengiriman seribu Dai ke berbagai
daerah oleh yayasan Amal Bakti Muslim pancasila sekaligus dengan
pembiayaannya. 5) pengangkatan berbagai tokoh/ intektual yang dianggap dekat
dengan Islam ke dalam kabinet pemerintahan maupun lembaga DPR/MPR dan 6)
berdirinya Ikatan Candikiawan Muslim (ICMI) se-indonesia. Pernyataan ini
diperjelas dengan hasil wawancara bersama Bapak Ahmad Taufan:
“ ....memasuki awal tahun 1990-an, pemeritah mengubah arah kebijakannya menjadi
lebih akomodatif terhadap kelompok Islam, ini di tandai dengan berbagai tindakan yang
dilakukan oleh Soeharto pada saat itu yaitu didorong dengan pendirian ICMI, pendirian
Amal Bakti Muslimin, Soharto mulai mengahadiri muktamar NU, mulai aktif dengan
kegiatan ke agamaan dengan menggunakan simbol keagamaan dengan pakai baju kokoh
dan pakai kopiah putih itu.....”. 162

Hubungan yang mulai terjalin dengan harmonis, juga bisa terlihat dalam
sistem pemerintahan dimana kelompok-kelompok Islam memasuki kancah politik
seperti partai Golkar, sehingga bisa dikatakan kelompok Islam pada saat itu
“menghijaukan Golkar”. Dengan banyak toko-tokoh Islam yang memasuki partai
milik pemerintah pada saat itu, mengakibatkan meleburnya ketegangan yang
selama ini terjadi antara pemerintah dengan kelompok Islam. Pernyaataan ini di

161

Djayadi hanan. 2006. Dibawah bayang-bayang negara studi kasus (pelajar islam indonesia
tahun 1980-1997). Yogyakarta: UII Press. Hal 2.
162
Hasil wawancara bersama Bapak Ahamad Taufan.

Universitas Sumatera Utara

perjelas dalam Hasil wawancara bersama Bapak Ahmad Taufan yang
mengatakan:,
“.....Tapi 1980an dan 1990-an awal anak muda dari NU dan HMI mulai memasuki partai
politik salah satu tokohnya Akbar Tanjung. Dengan tokoh HMI dan NU yang ramai
mendatangi Golkar, karna partai besar. Bahkan bisa dikatakan kelompok Islam
“menghijaukan” pemerintahan Orde Baru”. 163.

Sejalan dengan menurunnya ketegangan antara kelompok Islam dengan
Pemerintah, sehingga isu mengenai Jilbab bukan lagi menjadi persoalan yang
ekstrim dan fanatik lagi. Pemerintah pada saat itu juga melihat, jika tetap
mempertahankan sikap yang bersifat represif termasuk pelarangan Jilbab, maka
hubungan yang mulai terjalin mesra ini akan berdampak tidak baik untuk
kekuasaannya.Pada akhir tahun 1980 dan awal 1990 dimasa Orde Baru kegiatan
keislaman mulai meningkat. Kajian–kaijian Islam bukan menjadi hal yang tabu
untuk diperbincangkan, bahkan kajian-kajian Islam di selenggarakan di
perkantoran dan di Mesjid-mesjid kampus turut marak. 164
Kesadaran yangtumbuh ditengah umat Islam untuk melaksanakan ajaran
Islam secara kaffah tidak hanya itu, para mahasiswi berduyun-duyun mengenakan
busana muslimah atau Jilbab yang menyebabkan kampus-kampus bagai lautan
Jilbab. Selain itu penggunaan Jilbab juga merebak di perkantoran-perkantoran,
baik dikota atau di daerah. Walupun tidak semudah itu penggunaan Jilbab
diterima di masyarakat, bahkan walaupun dikeluarkan SK 100/C/Kep/D/1991
mengenai peraturan seragam sekolah yang baru tapi tetap saja ada hambatanhamabatan yang harus dihadapi. Maka dapat dikatakan “suasana keagamaan juga
di pengaruhi oleh suasana politik” seperti yang diungkapkan oleh Bapak Taufan
Damanik, yang mengatakan:,
“sehingga ketegangan pemerintah dengan Islam juga menurun, sehingga sejalan dengan
menurunnya itu, Jilbalisasi tidak menjadi seesuatu yang ekstrim, karna dulu dianggap

163

Hasil wawancara bersama Bapak Ahamad Taufan.
Gerakan Tarbiyah mencoba memasuki kantor-kantor pemerintah dengan memberikan kajiankajian pada saat khutbah Jumat dan dalam acara lainnya.
164

Universitas Sumatera Utara

panatik. susana keagamaan juga di pengaruhi oleh suasana politik. Ada kaitan dengan
pewacanaan politik apa yang berkembang.” 165

B. Hambatan-Hambatan dalam Memperjuangkan Jilbab
Perjuangan-perjuangan yang dilakukan gerakan Tarbiyah, PII maupun
HMI dalam mensyiarkan Jilbab tentunya tidak berjalan mulus, harus menghadapi
berbagai tantangan dan hambatan dari berbagai pihak. Adapun tantangan ataupun
hambatan yang harus dilalui adalah:
B.1 Peraturan Normalisasi Kehidupan Kampus Badan Kordinator Kampus
Peraturan NKK BKK merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk
normalisasi kegiatan-kegiatan kampus yang mengakibatkan organsasi-organisasi
Intral dan Eksternal dilarang masuk ke kampus. Dengan adanya Peraturan NKK
BKK organisasi-organisasi Eksternal tidak dapat bergerak memasuki dunia
kampus, termasuk HMI yang merupakan organisasi eksternal, pada awalnya HMI
mendapatkan kesulitan dalam melakukan pengajian-pengajian Islam yang
didalamnya disisipkan materi tentang Jilbab.
Situasi itu pernah di alami oleh HMI Komesariat Fisip USU pada tahun 1984
dengan ketua yang dipimpin oleh Bapak Ahmad Taufan Damanik membuat
sebuah acara atau kajian yang pada saat itu terdapat lambang dari HMI, jelas saja
itu mendapat teguran langsung oleh Dekan Fisip USU pada saat itu jabatan Dekan
di pegang oleh Bapak Adam Nasution. Karna mengingat peraturan NKK BKK
yang berlaku pada saat itu. Peristiwa yang di alami HMI, dapat kita melihat
bagaimana organisasi-organisasi Islam internal maupun eksternal akan sulit untuk
memasuki dunia kampus, apalagi untuk membuat sebuah kajian mengenai materi
Islam terkhsusnya mengenai Jilbab.

165

Hasil wawancara bersama BapakAhmad Taufan.

Universitas Sumatera Utara

B.2.Peraturan Mengenai Asas Tunggal Pancasila
Peraturan mengenai Asas tunggal pancasila yang dikeluarkan dalam UU
No.5/1985 dan UU No 8/1985 kepada organisasi sosial dan politik di Indonesia,
pendaftaran kembali Ormas-ormas diberi batas sampai tanggal 17 Juli 1987,
ormas yang tidak menerima asas tunggal tidak akan didaftarkan sehingga
mendapatkan konsekuensi di bubarkan. Ini lah yang dialami oleh PII pada tahn
1987 tidak menyetujui dengan adanya asa tunggal, sehingga sampai pada tanggal
yang telah ditetapkan PII tidak mendaftarkan diri. Sejak saat itu PII tidak diakui
lagi keberadaanya secara Formal. Pernyatan ini diperjelas dalam Hasil wawancara
dengan Ibu Siti Hajar yang mengatakan
“... pada saat penerapan asas tunggal, PII menolak asas tunggal. Jadi PII ini dilarang, ya kami
melakukan kegiatan sembunyi-sembunyilah dan pada saat itu training-training dilarang.” 166

Dari pemaparan Ibu Siti Hajar, PII harus mengalami hambatan dalam
pergerakannya untuk menjalankan program-program yang menjadi handalan PII
pada saat itu yaitu training-training. Disaat PII Jakarta mengalami kemandekkan
diikuti dengan PII di Sumatra Utara yang bergerak tidak semaksimal sebelumnya
dengan menerapkan “gerakan bawah tanah” untuk tetap menjalankan kegiatankegiatan training dengan menggunakan nama-nama lain seperti Syiam, Usroh dan
GAS (Gerakan Amal Shalih). Jelas dengan gerakan bawah tanah ini, PII menjadi
lebih lambat selain itu juga mengakibatkan kepada massa yang ikut dalam training
juga menurun. Saat peserta training menurun tentunya akan berdampak pada syiar
penggunaan Jilbab juga mulai terhambat, dikarenakan banyak peserta yang
menggunakan Jilbab pada saat setelah mengikuti training ini. Hal ini diperjelas
dalam hasil wawancara bersama Bapak Satiman, yang mengatakan:,
“Jadi kita tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi ketika daedline itu PII tidak menyetujui dengan
asas tunggal. Karna PII tidak menerima, akhirnya PII melakukan kegiatan ya

166

Hasil wawancara bersama IbuSiti Hajar..

Universitas Sumatera Utara

terhambatlah, kita terhambat untuk bisa mengadakan training, kegiatan lainnya. 10 tahun
PII Tiarap pada saat itu. Tidak bisa mengadakan kegiatan itu.” 167

B.3. Pihak yang Berkuasa/Berwenang
Gerakan-gerakan ini mengalami hambatan dari pihak-pihak yang mempunyai
wewenang dan kekuasaan seperti Rektor, Dekan, Kepala Sekolah dan guru-guru.
Dari pihak kampus, dengan adanya peraturan-peraturan yang dikeluarkan
Kemendikbud mengakibat Rektor dan Dekan FISIP USU tidak dekat dengan
kelompok Islam. Pada saat itu Bapak Ahamd Taufan melakukan pendekatan yang
intensif dan hubungan komunikasi ayah dan anak dengan Dekan Fisip USU yang
bernama Pak Adam Nasution. Sehingga hasil dari komunikasi yang dijalin begitu
intens, akhirnya Bapak Adam Nasution ikut hadir dalam kajian-kajian yang dibuat
oleh HMI.
Sedangkan disekolah-sekolah Negri dijumpai hambatan dari pihak yang
mempunyai kekuasaan yaitu kepala sekolah dan guru-guru yang memberikan
berbagai macam sanksi-sanksi yang dapat menghambat siswi-siswi untuk
menggunakan Jilbab dan harus melepaskan Jilbab mereka. Pada awal tahun 1982,
terjadi lagi kasus pelarangan Jilbab terjadi kepada seorang siswi bernama
Triwulandari, biasa dipanggil Titik yang merupakan siswi dari SMAN 1
Jember. 168 Walaupun banyak juga siswi-siswi yang menggunakan Jilbab tetapi
mereka harus memilih untuk melepaskan Jilbab selama di lingkungan sekolah.
Memasuki tahun 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Departemen P
dan K) Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D/82.
Menurut bapak Alwi Alatas:
“Dikeluarkannya SK 052 ini bermula dari munculnya semangat berjilbab di sebagian
siswi-siswi sekolah negri. Sehingga pemerintah melalui Dikdasmen (pendidikan dasar
dan Menengah) di Kemendikbud mengeluarkan peraturan seragam nasional yang bersifat
wajib dan tidak mengakomodir Jilbab di dalamnya. Itu kemudian menjadi dasar untuk
melarang penggunaan Jilbab. Sejak itu terjadi konflik. Siswi-siswi yang mulai tumbuh
kesadaran beragamanya tetap bertahan dengan pakaian Jilbabnya, sementara sekolah
167
168

Hasil wawancara bersama Bapak satiman.
Alwi Alatasa. Op.cit. hal 25.

Universitas Sumatera Utara

menekan mereka untuk ikut dengan peraturan. Banyak yang akhirnya keluar dari
sekolah”. 169

Kasus pelarangan Jilbab setelah SK 052 dialami sekolah Negri SMAN 68,
Jakarta Pusat yang lebih ekstrim dalam memberikan sanksi kepada siswi yang
mengenakan Jilbab yaitu dikeluarkan dari sekolah itu. 170 Di daerah yang berbeda
juga terjadi pelarangan Jilbab yang dialami oleh empat orang siswi dari SMA 1
Bogor, dimana orang tua dari mereka menerima surat pemberitahuan dari kepala
sekolah SMA 1 Bogor, yang mengatakan anak-anak mereka telah di coret dari
absen tidak hanya itu, tugas rumah, kuis, dan ulangan juga tidak di periksa oleh
guru mereka, dengan demikian status dari empat orang siswa ini menjadi
mengambang. 171
Pelarangan Jilbab tidak hanya dirasakan oleh siswi-siswi di daerah pulau
Jawa ternyata didaerah Sumatra Utara walaupun tidak sebegitu ekstrim jika
dibandingkan dengan pulau Jawa. Pelarangan Jilbab di Sumatra Utara terjadi pada
awal tahun 1990-an, bahkan pelarangan Jilbab terjadi di Sumatra Utara setelah SK
Dirjen Dikdasmen NO 100/C/Kep/D/1991 yang sudah memperbolehkan
penggunaan Jilbab bagi siswi-siswi sekolah Negri. Seperti contohnya yang
dirasakan oleh Riris yang bersekolah di SMA Negri 1 Tebing Tingggi yang pada
saat itu begitu gigih untuk mempertahankan Jilbabnya walaupun ia harus
menerima hukuman seperti dijemur dilapangan sambil hormat bendera, serta
tugasnya tidak diperiksa bahkan dia hampir dikelurakan dari sekolahnya.
Permasalahan yang sama juga dirasakan oleh Mutarabbi dari Ibu Wilda yang
mengatakan:
“saat itu untuk pas poto STTB di sekolah Madrasah Aliyah Al Wasliyah ada siswi
yang bernama Renawati sama juga di Madrasah Tsanawiyah GUPI Tebing Tinggi
siswinya itu namanya Nurjannah Purba, mereka berdua ini tidak di bolehkan pas poto
STTB dengan menggunakan Jilbab, ya harus membuka Jilbab, pada hal pada saat itu

169

Hasil wawancara dengan Bapak Alwi Alatas. Pada tanggal 27 Januari 2017.
Alwi Alatas.Op.cit.Hal.24
171
Abu Al-Ghifari.Op.cit. Hal 152.

170

Universitas Sumatera Utara

kan udah keluar SK baru tahun 90-an kalau dia boleh menggunakan Jilbab dan bersedia
menerima konsekwinsinya” 172

Kedua siswi ini bersekolah di sekolah agama tetapi sayangnya tidak
diperbolehkan menggunakan Jilbab untuk pas foto STTB, dengan alasan susah
untuk dikenal nantinya. Begitu pula dengan Riris yang harus berjuang untuk bisa
meyakinkan guru agamanya, supays bisa diizinkan untuk menggunakan Jilbab.
Didalam koran Mimbar Umum yang ditulis oleh Drs.Bactiar pada hari Jumat
tanggal 2 Noveber 1992 yang berjudul “Teliti Oknum Guru Yang Larang Siswi
Berjilbab” terdapat 2 kasus pelarangan Jilbab yaitu pada tahun 1991 yang dialami
oleh Rosmalinda br Kambaren siswi kelas III SMA Kabanjahe yang diusir, ditolak
dan tidak diperkenankan mengkuti pelajaran oleh kepala sekolahnya karna
mengenakan Jilbab. 173 Permasalahan dapat diselesaikan saat Rosmalinda br
Kambaren dan kepala sekolah datang ke Medan menemui Kakanwil Depdikbud
Sumatra Utara Drs.H, RM.Soezetya guna mengemukakan alasan masingmasing. 174 Akhirnya Kakanwil menjaminnya bisa mengikuti pelajaran sesuai
dengan ketentuan yang sudah ada.
Satu tahun setelah pelarangan yang terjadi di Kaben Jahe, pelarangan
Jilbab mulai muncul didaerah di kisaran merupakan Ibu kota kabupaten Asahan.
Pelaranga Jilbab ini dilakukan oleh 3 guru SMPN 2 Kisaran berinisial P, LP, dan
JS masing-masing guru dibidang studi Bahasa Inggris, Fisika dan PMP. 175
Pernyataan yang disampaikan oleh oknum Guru bidang studi bahasa inggris
berinisial P yang mengatakan bahwa “Jilbab menghalangi pelajar yang berada di
belakang siswi tersebut” 176, tidak hanya sampai disitu sikap dan tindakan dari 3
guru ini yang membuat siswi-siswi sedih, kecil hati bahkan ada yang sampai
memberontak, dikarenakan ketiga oknum ini memberi gelar burung hantu bagi

172

Hasil wawancara bersama Ibu Wilda Adriani
Drs. Bactiar. Telitti Oknum Guru Yang Larang Siswi Berjilbab. Jumat, 2 November 1992.
Almarhum Bachtiar merupakan ketua PW PII Sumatra Utara pada tahun 1985.
174
Ibid.
175
Ibid.
176
Ibid.

173

Universitas Sumatera Utara

siswi yang menggunakan Jilbab. Sedangkan Dalam dunia pendidikan guru tidak
boleh memberikan gelar-gelar jelek pada siswa, karena guru adalah pembimbing,
pelindung dan menjadi tauladan untuk siswa-siswi.
Pelarang Jilbab juga terjadi di daerah Pematang Siantar tahun 1990 yang
dialami oleh Ibu Suryah Nisa yang bersekolah di Sekolah Menengah Ekonomi
Pematang Siantar. Pada saat kelasa 1 SMAE, Ibu Suryah Nisa sudah
menggunakan Jilbab dari rumahnya tetapi pada saat berada di lingkungan sekolah,
beliau membuka Jilbab dan mengganti rok panjangnya dengan rok pendek.
Sampai pada suatu hari, Sri Widiyana yang merupakan kakak senior dari Ibu
Suryah Nisa, mendatangi Ibu Surya Nisa dan temannya yang bernama Fauziah,
Sri Widiyana mengatakan keinginannya untuk menggunakan busana muslimah ke
sekolah, serta ada panggilan dalam hati yang tidak mungkin ditunda lagi. Sebelum
menggunakan Jilbab, mereka berusaha beberapa kali untuk Menemui kepala
sekolah untuk meminta izin, tetapi kepala sekolah tidak bisa dijumpai, sehingga
Ibu Suryah Nisa mengatakan ,
“kalau kita tidak beraksi pasti tidak ada reaksi”. Kalau kita melakukan langsung memakai
jilbab, pasti kita akan tau reaksi mereka seperti apa penolakan atau menerima.” 177

Ibu Suryah Nisa, Sri widiyana dan Fauziah untuk pertama kalinya
menggunakan Jilbab mereka terlihat sangat berbeda dan menarik perhatian semua
orang-orang yang disekolah termasuk guru-guru dan siswa-siswi. Setelah berbaris
dilapangan, Ibu Suryah Nisa dipanggil oleh guru yang beragama Islam
mempertanyakan berbagai macam pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab,
tidak hanya pertanyaan dari guru agama tetapi Ibu Suryah Nisa juga dipanggil
oleh kepala sekolah. Hal ini diperjelas oleh Ibu Suryah Nisa dalam wawancara
yang mengatakan:

177

Hasil Wawancara bersama Ibu Suryah Nisa.
Maksud dari “kalau kita tidak berasksi pasti tidak ada reaksi” adalah kalau kita tidak melakukan
aksi berupa menggunakan Jilbab, tentunya tidak mengetahui apa reaksi atau respon yang
didapatkan.

Universitas Sumatera Utara

“....Setelah itu, kepala sekolah langsung jumpai dijalan bukan disuruh ke kantor, tidak
lama kami di panggillah ke kantor. Ditanyain semuanya, mungkin beliau sedikit curiga
ada gerakan apa, ternyata kami tidak punya pengajian apa-apa, sebelumnya tarbiyah kan
belum ada disitu, jadi kami secara pribadi menggunakan Jilbab karna dari hati, sehingga
allah mempertemukanlah hati-hati ini. Jadi setelah kepala sekolah menanyakan semua,
akhirnya sudah nyerah beliau tidak bisa menghalangi kami, beliau melihat kami ini betulbetul dari hati nurani, beliau membolehkan kami menggunakan Jilbab, tapi ada satu
syaratnya kalian jangan mengajak teman-teman kalian” 178

Kepala sekolah telah memberi izin bagi Ibu Suryah Nisa, Sri Widiyana
dan Fauziah untuk menggunakan Jilbab ke sekolah, tetapi itu tidak membuat
mereka terhindar dari berbagai macam bentuk sanksi-sanksi yang diterima dari
guru-guru. Sanksi ini dialami oleh Sri Widiyani, melihat kakak kelas yang tidak
masuk pelajaran sejarah. Hal ini diperjelas dalam wawancara bersama Ibu Suryah
Nisa yang mengatakan,
“Ada seorang guru sejarah dia tidak senang dengan kita sampai dia bilang begini, dia
tidak mau mengajar, sampai ada orang yang berpakain berbeda keluar dari kelas ini. 179

Akhirnya dengan keberanian Ibu Suryah Nisa menemui kepala sekolah
dan meminta bantuan, agar mereka tidak dihalangi-halangi dalam belajar
dikarenakan menggunakan Jilbab. Kepala sekolah membuat surat laporan
mengenai

pengaduan

tersebut

dan

menyuruh

semua

guru

untuk

menandatanganinya. Sri Widayana akhirnya diperbolehkan masuk kelas untuk
belajar. Tetapi guru mempunyai kekuasaan dalam memberikan nilai kepada
siswa-siswinya, Dengan kekuasaan dalam memberi nilai-nilai siswa-siswi maka
guru bisa memberikan berapapun nilai siswa-siswi itu, walaupun dia termasuk
yang berprestasi selama di sekolah. inilah yang di utarakan oleh Ibu Suryanisah:,
“kami rata-rata siswa yang berprestai di kelas, kami tidak ikut peraturan, sehingga
prestasi itu tidak kami dapatkan lagi, nilai-nilai kami turun. Walaupun kami ujian, tetapi
tetap saja itu sepertinya tidak di periksa....” 180.

178

Suryah Nisa. Wawancara pada hari Selasa, 7 Febuari 2017 pada pukul 14.40-15.35WIB di jalan
Balai Umum Gang Pisang tembung.
179
180

Hasil wawancara bersama Ibu Suryah Nisa.
Hasil wawancara bersama Ibu Suryah Nisa.

Universitas Sumatera Utara

Pelarangaan Jilbab terjadi di dunia kerja, para pemimpin perusahaan tidak
menyukai karyawan yang menggunakan Jilbab, sehingga bagi pelamar kerja lebih
di utamakan yang tidak menggunakan Jilbab. Berdasarkan hasil wawancara saya
bersama Ibu Masdalifah mengatakan:,
“.....Di tempat bekerja juga menerapkan itu, ikut-ikutan karna mungkin disekolah
dilarang, jadi di tempat kerja jadi ikutan-ikutan untuk melarang. Teman saya ada yang
mengurungkan niatnya untuk tidak memakai Jilbab....” 181.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Ibu Siti Aminah dalam wawancara
yang mengatakan:
“saat saya melamar pekerjaan di sebuah perusahaan pemerintah (BUMN) maupun kantor
pemerintah itu sangat sulit bagi saya, yang pada saat itu sudah menggunakan Jilbab”. 182
Pemaparan yang telah disampaikan di atas, sangat terlihat jelas bagaimana
pengaruh dari kekuasaan dapat melunturkan niat seseorang untuk menggunakan
Jilbab, bahkan bagi yang telah berjilbab harus berjuang untuk tetap
mempertahankan Jilbab walaupun berbagai bentuk sanksi-sanksi seperti mulai
dari teguran, di interogasi di ruang BK, dijatuhi hukuman skors, tidak diperiksa
ulangan maupun tugas rumah, dicoret namanya dari daftar hadir bahkan sampai di
keluarkan dari sekolah negri dan pindah ke sekolah swasta. Maupun hambatan
yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan.
B.4. Lingkungan Masyarakat
Manusia merupakan makhluk sosial yang berinteraksi dengan manusia lain
dalam lingkup masyarakat. Respon dari masyarakat dapat mempengaruhi
kepribadian seseorang termasuk isu yang telah menyebar di tengah-tengah
masyarakat mengenai penggunaan Jilbab sebagai sesuatu yang dianggap “aneh”
sehingga stigma yang terbangun menjadikan Perempuan Islam takut dengan
hambatan dan rintangan yang harus di hadapinya. Sehingga diperlukan
pendekatan personal, perhatian dan selalu mengingatkan mengenai Jilbab kepada
181
182

Hasil wawancara bersama Ibu Masdalifah.
Hasil wawancara bersama Ibu Siti Aminah.

Universitas Sumatera Utara

mahasiswi-mahasiswi yang mengikuti pesantren kilat. Tidak hanya itu saja,
pemberian julukan kepada pengguna Jilbab, hal ini diperjelas dengan hasil
wawancara bersama Ibu Wilda Adriani yang mengatakan:
“Bagi Orang-orang agak aneh melihat orang menggunakan Jilbab, bahkan itu anak-anak
takut bermain dengan orang menggunakaan Jilbab, takut di culik, bukan itu aja, sering
juga perempuan yang pakai Jilbab di lempari karna dianggap sebagai nenek sihir.” 183

Pernyataan yang di sampaikan oleh Ibu wilda sama halnya dengan hasil
wawancara bersama Bapak taufan yang mengatakan:
“Pada awalnya, Diluar pun belum terlampau lazim, menjadi pemula ditengah masyarakat
yang belum menganggap sesuatu yang wajib dan menjadi yang lazim di tengah
masyarakat, pastinya ancam dan ejeka ninjan, di caci maki bahkan ada yang
dilempar.....”. 184

Dari hal ini, kita melihat bagaimana perempuan yang menggunakan Jilbab
oleh berjuang ditengah masyarakat agar dapat diterima tanpa adanya rasa
kecurigaan untuk mereka lagi. Sampai kepada labelling yang selalu tersemat bagi
pengguna Jilbab seperti jaula 185, nenek sihir, burung hantu dan lainnya juga telah
menyebar

ditengah

masyarakat

yang

mengakibatkan

muslimah

yang

menggunakaan Jilbab harus berbesar hati dengan julukan yang diberikan.
B.5. Orang Tua
Orang tua merupakan sarana yang paling dekat dengan seorang anak.
Tetapi pada saat itu, tidak jarang kita menemui orang tua yang melarang anakanaknya untuk menggunakan Jilbab, karena ditakuti anaknya akan mendapat
hambatan, tantangan disekolah, pertemanan bahkan dalam mencari kerja. Hal ini
diperjelas dalam wawancara bersama Ibu Siti Hajar yang mengatakan,:
“Kalau hambatan mungkin yang ada komplain, dari orang tuanya di anggap orang tuanya
yang sudah berjilbab kemana-mana itu masuk gerakan radikal dan aneh, padahal

183

Hasil wawancara bersama Ibu Wilda Adriani.
Hasil wawancara bersama Bapak Ahamad Taufan.
185
Jaula merupaka julukan yang diberikan kepada anggota dari Jamaah tablig.

184

Universitas Sumatera Utara

mamaknya itu seorang yang taat, tapi hanya mengasih anaknya mnggunakan Jilbab ke PII
saja,kalau diluar itu dilarang pakai Jilbabnya.” 186

Orang tua pada saat itu belum memahami hukum dalam menggunakan
Jilbab, sehingga pada saat itu, orang tua hanya membolehkan anaknya
menggunakan Jilbab pada saat training, setelah training anak-anak mereka
dilarang menggunakan Jilbab. Sangat di sayangkan pada saat itu, pelarangan yang
dilakukan oleh orang tua–orang tua yang merupakan hajidan bahkan Ustadz. Hal
ini dipertegas dalam wawancara bersama Bapak Taufan yang mengatakan:
“Ada yang pakai seminggu gak tahan termasuk keluarganya mempertanyakan karna itu
tidak lazim. orang tuanya yang sudah berhaji pun masih khawatir dengan anaknya,
gimana nantinya di kampus dan dengan temannya”.

Hal yang sama juga dialami oleh Ibu Masdalifah sebagaimana yang
diungkapkannya,:
“Kalau hambatan dari orang tua, awalnya kelihatan berat tetapi karna saya berhasil
meyakinkan saya tunjukan juga dalilnya apa. Akhirnya orang tua saya, ya udah terserah
kau lah”. 187

pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Pak Masri Sitanggang yang
mengatakan,:
“orang tuanya sendiri yang melarang mengggunakan Jilbab dengan berbagai alasan,
pertama dikhawatirkan tidak dapat kerja karena pada masa itu tidak ada yang berjilbab,
begitula posisi umat Islam pada saat itu yang memunculkan atau menampakan identitas
saja sangat sulit. Payah nanti dapat kerja, dan payah dapat jodoh, Yang kedua, kalau kita
berjilbab payah dapat jodoh, itu tidak benar. Adalagi yang unik, dari rumah gak berjilbab,
alasan lainya yang unik, karna ibu mereka mengatakan saya saja yang sudah tua tidak
pakai Jilbab, tidak berani pakai Jilbab. Jadi seolah-olah beban pakai Jilbab ini luar
biasa.” 188
Sikap dari pelarangan yang dilakukan oleh Orang tua juga di dukung oleh
faktor dilingkungan masyarakat yang menganggap orang yang menggunakan
Jilbab itu sesuatu yang sangat aneh dan tidak lazim. Selain itu orang tua juga
186

Hasil wawancara bersama Ibu Siti Hajar.
Hasil wawancara bersama Ibu. Masdalifah..
188
.Masri Sitanggang. Pada hari Rabu, 01 Maret 2017 pada pukul 17.00-17.45WIB di Kantor
Majelis Ulama Indonesia Sumatra Utara.

187

Universitas Sumatera Utara

khawatir dengan tantangan, hambatan serta pergaulan anak mereka jika
menggunakan Jilbab.
Kebebasan dalam menggunakan Jilbab sebenarnya sudah diatur didalam
pasal 38 E dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Dari pasal-pasal ini telah dipaparkan
bahwa setiap orang bebas untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama
dan kepercayaannya. Jilbab yang digunakan oleh wanita Muslimah ini merupakan
suatu bentuk peribadatan didalam ajaran Islam, karena Jilbab merupakan suatu
kewajiban yang harus dipatuhi dan ditaati. Peraturan penggunanan Jilbab ini
terdapat didalam Alquran yang merupakan petunjuk dan pedoman bagi Umat
Islam yaitu didalam Qs:Al-Ahzab ayt 59 dan Qs: An-Nur ayat 31. Selain itu
prinsip HAM diantaranya prinsip non diskriminasi, dimana tidak adanya
pemberlakuan yang berbeda dalam pemenuhan hak seseorang. Jadi Jilbab
bukanlah sesuatu yang harus dilarang bahkan harus di berikan sanksi-sanksi bagi
pengguna Jilbab, dan tidak ada pemberlakuan yang berbeda terhadap wanita
Muslimah yang menggunakan Jilbab, baik itu di sekolah maupun di lingkungan
masyarakat.
Berbagai kasus-kasus hambatan bahkan pelarangan yang dirasakan baik di
daerah Jawa maupu di Sumatra Utara, bukan hanya dari kalangan pelajar tetapi
juga dirasakan oleh perempuan-perempuan Islam pada saat itu dan inilah yang
menjadikan semangat dari gerakan-gerakan Islam untuk semakin gigih dan gencar
dalam memberikan pengajian-pengajian, memberikan pemahaman dan menyusun
strategi dengan berbagai pola-pola yang telah dirancang untuk mensyiarkan
Jilbab. Gerakan-gerakan Islam seperti PII, HMI dan Tarbiyah mempunyai cara
tersendiri dalam memperjuangkan Jilbab.
C. Pola Gerakan Islam Terhadap Perjuangan Jilbab
Pada tahun 1982 merupakan awal dari hubungan yang bersifat represif,
tentunya sikap pemerintah tidak langsung bisa memahai kelompok Islam sehingga
memerlukan

pendekatan-pendekatan,

tapi

sayangnya

awal

tahun

1982

Universitas Sumatera Utara

pemerintahan tidak memberikan kesan yang membuat kelompok Islam simpati,
tetapi dibuat bertanya-tanya dengan kebijakan yang dikeluarkan dari departemen
pendidikan dan kebudayaan. Mereka menilai penggunaan Jilbab sebagai budaya
Arab yang masuk ke Indonesia melalui gerakan–gerakan radikal, yang nantinya
akan melawan pemerintah, sehingga untuk menghindari ini pemerintah
mengantisipasinya dari bidang pendidikan agar para siswi-siswi menggunakan
seragam sekolah (satu seragam) dan tidak memakai atribut tambahan (Jilbab).
Siswi-siswi yang telah menggunakan Jilbab tidak menyerah dengan peraturan
yang telah dibuat, walaupun banyak hadangan yang mereka terima dari sanksi
halus sampai sanksi yang keras berupa dikeluarkan dari sekolah.
Hambatan bahkan larangan tidak hanya dirasakan oleh kalangan pelajartetapi
Mahasiswi dan perempuan-perempuan Islam yang telah menggunakan Jilbab atau
bahkan yang telah berniat untuk berjilbab harus berhadapan dengan berbagai
persoalan dan terkadang membuat niat untuk menggunakan Jilbab luntur bahkan
dengan terpaksa untuk membuka Jilbabnya kembali. Gerakan-gerakan Islam
melihat kasus dari pelarangan Jilbab sebagai isu untuk membangkitkan kembali
semangat pergerakan dari gerakan Islam dalam menyiarkan ajaran-ajaran
keislaman terkhususnya syiar mengenai hukum memakai Jilbab gerakan-gerakan
itu antara lain gerakan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PII (Pelajar Islam
Indonesia) dan Tarbiyah. Perjuangan yang dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam
tidak hanya dilakukan di pusat tetapi perjuangan dilakukan oleh cabang-cabang
gerakan di daerah Sumtara Utara terkhususnya Medan.
C.1. Himpunan Mahasiswa Islam
Organisasi himpunan mahasiswa Islam yang merupakan organsasi yang
diperuntukan bagi kalangan mahasiswa. HMI Berkembang Begitu Pesat Karena
HMI Lebih Mencirikan Islam Modrenis yang menjadi jembatan di antara
kelompok–kelompok Islam lainnya. Dan selain itu sebagai mahasiswa yang
merupakan golongan terpelajar yang dipandang sebagai agen perubahan oleh

Universitas Sumatera Utara

masyarakat, sehingga memerlukan sebuah wadah yaitu organisasi untuk
menampung aspirasi masyarakat. Pada saat itu didalam tubuh HMI adanya
perpecahan antara HMI yang setuju dengan asas tunggal dan HMI yang tidak
setuju dengan pemberlakuan asas tunggal, tetapi walaupun ada konflik internal
ini, tidak membuat gerakan HMI terhenti, tetapi lebih gencar lagi terutama dengan
adanya isu dari pelarangan Jilbab sebagai pembangkit semangat keislaman yang
semakin memudar. 189 Pelarangan Jilbab tidak haya