BAB II TINJAUAN UMUM MASA RESTORASI MEIJI DAN SEJARAH SHINTO 2.1 Awal Restorasi Meiji - Meiji Jidai Ni Kokka Shinto No Gainen
BAB II TINJAUAN UMUM MASA RESTORASI MEIJI DAN SEJARAH SHINTO
2.1 Awal Restorasi Meiji
Restorasi Meiji yang dikenal juga dengan sebutan Meiji Ishin (明治維 新)atau Revolusi Meiji atau Pembaruan Meiji, adalah serangkaian kejadian yang berpuncak pada pengembalian kekuasaan di Jepang kepada Kaisar pada tahun 1868. Serangkaian kejadian itu sendiri terjadi pada tahun 1866 sampai 1869, tiga tahun yang mencakup akhir zaman Edo. Restorasi ini menyebabkan perubahan besar – besaran pada struktur politik dan sosial Jepang, yang berlangsung sejak zaman Edo pada akhir Keshogunan Tokugawa dan awal zaman Meiji. Restorasi ini adalah akibat dari Perjanjian Shimoda dan Perjanjian Towsen Harris yang dilakukan oleh Komodor Matthew Perry dari Amerika Serikat.
2.1.1 Berakhirnya Pemerintahan Tokugawa
Zaman Tokugawa atau yang biasa disebut dengan zaman Edo (1603-1868) merupakan zaman dimana Jepang diperintah oleh keluarga Tokugawa secara turun
- – temurun yang diawali oleh Tokugawa Ieyasu yang mampu mengalahkan Toyotomi Hideyoshi dalam perang Sekigahara tahun 1600. Kemudian menjadi
seiitaishogun pada tahun 1603. Dalam Suryohadiprojo (1982: 15) dituliskan
bahwa Shogun atau panjangnya seiitaishogun berarti jabatan militer tertinggi dalam negara. Disebut zaman Edo karena pemerintahan saat itu berpusat di kota Edo (sekarang Tokyo). Selama zaman pemerintahan Tokugawa di Edo berlangsung kira – kira 260 tahun (Situmorang, 2009:19).
Menurut C.F Strong dalam Syafiie (2009:22) menyebutkan tentang defenisi pemerintahan sebagai berikut:
“Government in the broader sense, is changed with the maintenance of the peace and security of state with in and with out. It must therefore, have first military power or the control of armed forces, secondly legislative power or the means of making laws, thirdly financial power or the ability to extract sufficient money from the community to defray the cost of defending of state and of enforcing the law it makes on the state behalf.”
Maksudnya, pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara, ke dalam dan ke luar. Oleh karena itu, pertama, harus mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang, yang kedua, harus mempunyai kekuatan legislatif atau dalam arti pembuatan undang – undang, yang ketiga harus mempunyai kekuatan finansial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan masyarakat dalam rangka membiayai ongkos keberadaan negara dalam menyelenggarakan peraturan, hal tersebut dalam rangka penyelenggaraan kepentingan negara.
Pemerintahan zaman Tokugawa (zaman Edo) adalah pemerintahan keshogunan, yaitu pemerintah pusat dipegang oleh shogun. Sedangkan sistem pemerintahannya disebut sistem bakuhantaisei, yaitu sistem pemerintahan bakufu dan han. Bakufu adalah pemerintahan pusat dan mempunyai wilayah sendiri, sedangkan han diperintah oleh daimyo dan urusan di dalamnya bebas tanpa campur tangan shogun. Namun demikian banyak sekali peraturan keshogunan yang memperlemah kedaimyoan atau wilayah han. Pemerintahan keshogunan telah berlangsung di Jepang sejak zaman Kamakura (1192) hingga zaman Edo (1867). Pemerintahan yang seperti ini juga disebut dengan Houkenseido (sistem feodalisme). Martin dalam Situmorang (2009:79) menyebutkan bahwa “feodalisme adalah penguasaan tanah yang terpecah belah sebagai faktor produksi melalui kekuatan militer, dimana kaum feodal menyediakan keamanan bagi petani sehingga para petani dapat mengerjakan lahannya, sedangkan pembagian hasil ditentukan oleh Tuan Feodal sehingga petani tidak bisa hidup menjadi kuat, tetapi harus selalu tergantung pada tuannya”.
Untuk memahami kemunduran pemerintahan Tokugawa, hal pertama yang harus dipahami adalah kekuatannya. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Tokugawa membuat berbagai kebijaksanaan. Diantaranya, Sankinkoutai yaitu peraturan bahwa setiap daimyo harus membuat tempat tinggal keluarganya di Edo, sehingga para daimyo wajib tinggal di Edo sekitar 6 bulan, dan 6 bulan lagi tinggal di wilayah kekuasaannya; kemudian ada kebijaksanaan Sakoku yaitu kebijaksanaan menutup negara dari negara luar; juga ada peraturan Kugeshohatto yaitu larangan berkomunikasi dengan keluarga Kaisar, dan Bukeshohatto adalah larangan sesama daimyo membentuk ikatan maupun perkawinan. Oleh karena berbagai kebijaksanaan ini dilaksanakan secara ketat, maka pada zaman Tokugawa ini dalam negri Jepang sangat tenang dan kebudayaan terbentuk secara menyeluruh (universal).
Selama periode Tokugawa, lima belas anggota keluarga Tokugawa secara berturut – turut memegang posisi sebagai Shogun, menggunakan sedikit banyak kekuasaan yang meyakinkan pendatang Eropa untuk berpikir bahwa Shogun sebagai Kaisar dan Kaisar seperti Paus (Beasley, 1972:13).
Para shogun diberikan kekuasaan militer oleh Kaisar, dan mereka juga dibantu oleh para daimyo yang merupakan tuan tanah semenjak abad ke – 10 hingga awal abad ke – 19. Daimyo dalam Suryohadiprojo (1982:16) adalah pemimpin militer daerah yang independen. Sedangkan daimyo dalam Situmorang (2009:18) disebut juga hanshu (藩 主 ) adalah tuan penguasa wilayah di daerah. Para daimyo memiliki hak kepemilikan tanah secara turun – temurun dan bahkan tentara untuk melindungi tanah dan pekerjanya. Pada awal zaman Tokugawa (zaman Edo) perekonomian berpusat pada beras, sehingga banyak tanah merupakan lahan pertanian beras yang dikerjakan oleh para petani pekerja dan dijaga oleh pengawas daerah pertanian yang disebut Sakimori atau Tsuwamono atau Samurai yang kemudian dikenal dengan sebutan Bushi pada zaman Edo.
Bakufu dan Han mengutamakan produksi beras karena beras merupakan pajak.
Bushi juga menerima beras sebagai gaji dari Han.Shinzaburo dalam Situmorang (1995:41), membagi periode pemerintahan Tokugawa berdasarkan kemantapannya atas tiga periode:
1. Periode pertama tahun 1603 – 1632 Periode pertama adalah masa pemerintahan shogun Ieyashu (1603 – 1605) sampai pada masa pemerintahan shogun Hidetada (1605 – 1632).
Pada periode ini berkembang aliran Konfusionis yang bertujuan demi kepentingan politik.
2. Periode kedua tahun 1633 – 1854 Periode kedua adalah masa kemantapan keshogunan Tokugawa, yang diperintah oleh sepuluh generasi Tokugawa, dari Iemitsu (1633 –
1651) sampai shogun Ieyoshi (1837 – 1853)
3. Periode ketiga tahun 1855 – 1867 Periode ketiga adalah masa kehancuran keshogunan Tokugawa hingga menyerahkan kekuasaan kepada Kekaisaran. Periode ketiga ini diperintah oleh tiga generasi Tokugawa yaitu shogun Iesada, Iemochi dan Yoshinobu.
Pemerintahan Tokugawa mengalami masa jaya yang panjang, tetapi pada abad ke – 19, kekuasaan Tokugawa mulai mengalami kemunduran. Berakhirnya pemerintahan Tokugawa berakar dari pembukaan negara dan pelabuhan. Selama kurang lebih 250 tahun kekuasaan Tokugawa, Jepang menjalankan politik isolasi atau Sakoku, yaitu kebijakan menutup negara dari pengaruh luar. Adapun maksud Tokugawa melakukan politik isolasi untuk Jepang khususnya disebabkan oleh rasa khawatirnya akan kaum Kristen dan pengaruhnya. Sejak Tokugawa berkuasa agama Kristen dilarang dan semua orang asing dilarang masuk Jepang, kecuali orang Belanda yang masih boleh berdagang melalui pulau kecil Deshima di depan Nagasaki. Orang Jepang juga dilarang keluar negeri. Selama melakukan sakoku, Jepang tidak menyadari adanya kemajuan – kemajuan yang terjadi di bangsa barat, terutama dalam bidang industri. Dengan adanya revolusi industri di Inggris dan di Eropa Barat sehingga terjadi kemajuan perdagangan. Negara – negara Eropa berpikir bahwa negara Jepang adalah pasar komoditi yang baru. Sehingga menjelang akhir abad ke - 18, bangsa Eropa menuntut pembukaan negara (kaikoku) kepada Jepang yang melakukan Sakoku.
Tahun 1853, Amerika mengirimkan utusan yang dipimpin oleh Komodor Matthew.C.Perry untuk melakukan ekspedisi ke Jepang. Perry tiba di Uraga pada
8 Juli 1853, datang langsung ke dekat ibukota untuk menuntut perundingan pembukaan negara (Kaikoku) kepada Bakufu melalui sebuah surat dari presiden Amerika kepada Kaisar yang bertahta pada saat itu, yaitu Kaisar Komei. Dan lagi, dalam surat yang ditulis secara pribadi oleh Perry, yang menyertai surat dari Presidan, mengatakan bahwa jika pendekatan yang santun dan damai tidak diterima maka ia akan kembali datang pada musim semi tahun berikutnya dengan kekuatan yang lebih besar. Tindakan Perry menyebabkan ketakutan besar bagi Jepang. Pemerintahan Bakufu memanfaatkan satu tahun tersebut untuk mempertimbangkan tuntutan Perry. Setahun kemudian, tahun 1854 dengan kedatangan Komodor Perry kedua kali dengan armada perang menggunakan
kurofune (kapal hitam), Bakufu harus menjalin perjanjian dengan Amerika.
Bakufu tidaklah ingin berperang karena menyadari kekalahan China dari Inggris
yang dalam anggapan Jepang pada saat itu bahwa negara barat lebih kuat daripada negara Asia. Dengan ketakutan Jepang akan kekuatan kurofune, maka Jepang selanjutnya melakukan Kaikoku. Pada tanggal 31 Maret 1854 pemerintah Tokugawa akhirnya menandatangani perjanjian dengan Amerika di Kanagawa.
Lalu Amerika menempatkan Konsul Jendral pertama yang bernama Townsend Harris di Yokohama. Empat tahun setelah itu, tepatnya pada tahun 1858, Townsend Harris sebagai konsul jenderal Amerika, berhasil memaksa Jepang untuk menandatangani persetujuan yang isinya mirip persetujuan bangsa – bangsa barat dengan Cina pada waktu itu. Persetujuan itu menggambarkan keangkuhan bangsa – bangsa Barat terhadap Cina dan Jepang. Keadaan ini amat tidak disukai oleh rakyat Jepang pada umumnya dan para samurai khususnya. Juga lingkungan kekaisaran yang berada di Kyoto tidak setuju dengan perkembangan demikian.
Sebab ini adalah pertama kalinya dalam sejarah Jepang, bahwa bangsa asing dapat menunjukkan kekuasaannya di bumi Jepang. Mereka khawatir bahwa langkah demi langkah Jepang akan mengalami nasib yang sama seperti Cina atau bangsa – bangsa lain di Asia yang menurut pendengaran mereka dikuasai oleh bangsa – bangsa Eropa. Dengan perjanjian ini maka dibukalah pelabuhan Nagasaki, Hakodate, Yokohama dan lain – lain, dan sejak tahun1859 dimulailah dilakukan perdagangan bebas. Sehingga pada tahun 1867 pada masa Tokugawa Yoshinobu (Keiki) masih menjabat sebagai shogun, Hyogo (Kobe modern) terbuka bagi perdagangan luar negeri.
Dengan pergerakan yang baru yaitu pembukaan negara dan pelabuhan, harga – harga kebutuhan masyarakat menjadi naik, maka bersamaan dengan itu kehidupan petani dan bushi level bawah menjadi lemah, demikian pula dengan kekuatan politik bakufu. Sejak terjadinya pembukaan negara, terjadi pemberontakan dalam negri karena rakyat Jepang tidak menginginkan perjanjian tersebut ditandatangani oleh pemerintahan Tokugawa, terutama pihak kekaisaran karena perjanjian itu belum memperoleh izin dari Kaisar. Akibat dari penandatanganan perjanjian tersebut, pemerintah Tokugawa tidak lagi memperoleh kepercayaan dari rakyat karena mereka menganggap bahwa ini semua dapat terjadi karena Tokugawa tidak memenuhi fungsinya sebagai shogun, yaitu tidak dapat memberikan perlindungan terhadap bangsa Jepang (Suryohadiprojo, 1982:23).
Alasan tersebut dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang ingin menggulingkan kekuasaan Tokugawa. Sehingga oleh bakufu muncul gerakan penentangan yang sangat keras yang disebut Sonnojyoui. Dalam Beasley (1972:84), Sonnojyoui berarti “hormati Kaisar, usir orang asing”. Adapun pihak yang beraliran Sonnojyoui itu adalah daimyo dari Satsumahan dan dari Choshuhan dari barat daya Jepang. Mereka yang beraliran Sonnojyoui menyadari kekuatannya karena telah kalah perang dengan negara – negara maju, Eropa dan Amerika. Karena hal tersebut, para aliran Sonnojyoui merubah cara berpikirnya dan bermaksud menggulingkan Tokugawa Bakufu yang dianggap telah gagal mempertahankan Jepang atas negara – negara asing.
Tahun 1867, Kekaisaran di Kyoto mengeluarkan surat keputusan rahasia yang memberikan kuasa kepada Sachou (Satsuma dan Choshu) untuk menggulingkan Bakufu. Bertepatan pada hari yang sama pada saat Sachou ingin menyerang Bakufu, Shogun yang terakhir dari keluarga Tokugawa yaitu Tokugawa Yoshinobu muncul di Kekaisaran di Kyoto untuk mengembalikan kekuasaan pada istana. Keshogunan Tokugawa secara resmi berakhir pada 9 November 1867 ketika Shogun Tokugawa ke – 15 yaitu Tokugawa Yoshinobu menyerahkan kekuasaan prerogatifnya kepada Kaisar. Sepuluh hari kemudian Yoshinobu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala negara. Kemudian istana menyatakan menerima kembali kekuasaan tertinggi yang pernah dimilikinya pada periode kuno. Maka dengan demikian berakhirlah Edo Bakufu yang berlangsung 265 tahun.
2.1.2 Pemulihan Jepang
Setelah berakhirnya masyarakat feodal yang panjang maka masuklah zaman yang baru yang disebut masyarakat modern atau kindai shakai. Memasuki zaman yang baru atau Kindai Shakai, berbagai tindakan dilakukan Jepang untuk memulihkan keadaan negaranya.
Pemerintah Oligarki Meiji yang bertindak atas nama kekuasaan Kaisar memperkenalkan upaya – upaya mengonsolidasi kekuasaan untuk menghadapi sisa – sisa pemerintahan zaman Edo, keshogunan, daimyo dan kelas samurai. Setelah Restorasi Meiji, Jepang memperoleh kesempatan yang baik untuk mulai berkembang dengan melakukan pembaharuan – pembaharuan. Pembaharuan yang paling utama adalah penghapusan sistem feodal yang diterapkan oleh Tokugawa. Pada tahun1868, semua tanah feodal milik keshogunan Tokugawa disita dan dialihkan di bawah kendali kekaisaran. Tindakan ini sekaligus menempatkan mereka di bawah kekuasaan pemerintahan baru Meiji. Pada tahun 1869, daimyo Tosa, daimyo Hizen, Daimyo Satsuma dan daimyo Chosu yang telah berjasa melawan keshogunan, dibujuk untuk mau mengembalikan domain mereka kepada Kaisar. Daimyo lainnya juga selanjutnya diperintahkan untuk melakukan hal yang sama. Dengan adanya penghapusan wilayah domain, maka untuk pertama kalinya tercipta pemerintahan Jepang yang terpusat dan berkuasa di semua wilayah negeri.
Pada tahun 1871, semua daimyo dan mantan daimyo dipanggil untuk menghadap Kaisar untuk menerima perintah pengembalian semua domain kepada Kaisar. Sekitar 300 han bentuknya menjadi prefektur yang dipimpin oleh gubernur yang ditunjuk oleh negara. Kemudian beberapa prefektur telah berhasil dilebur menjadi satu sehingga jumlah prefektur menyusut menjadi 75 prefektur dan sistem pertuanan wilayah diganti menjadi provinsi. Wilayah – wilayah kekuasaan dari tempat – tempat suci dan kuil – kuil juga disita. Kepada mantan daimyo, pemerintah berjanji untuk menggaji mereka sebesar 1/10 dari pendapatan bekas wilayah mereka sebagai penghasilan pribadi. Selanjutnya, utang – utang mereka berikut pembayaran gaji serta tunjangan untuk samurai diambil alih oleh negara. Para kelompok bushi juga tidak selamanya menjadi bushi lagi karena kebijakan pemerintah membuat peraturan Heimin Byoudo, yaitu persamaan kedudukan di dalam masyarakat.
Di zaman yang baru ini, Edo dinamakan Tokyo kembali. Tepat pada tahun 1868, nama era diubah menjadi “Meiji” dengan maksud membuat semua nama era pada masa depan sesuai dengan masa pemerintahan kerajaan. Pada 1870 rakyat biasa mulai diizinkan mempunyai nama diri (bukan nama keluarga besar/marga). Dan setahun kemudian, pada tahun 1871, pemerintah mengeluarkan undang – undang pendaftaran anggota keluarga.
Perubahan juga terjadi dikalangan masyarakat bekas samurai. Para bekas samurai dipecah menjadi 2, yaitu samurai tingkat atas yang dinamakan shizoku, dan samurai tingkat rendah yang dinamakan sotsu. Namun pada tahun 1872, kelas
sotsu dihapuskan dan eselonnya yang lebih tinggi berpadu menjadi satu dengan
kelas shizoku, sisanya turun kelas menjadi rakyat biasa. Para bekas samurai tersebut diberi kebebasan oleh pemerintah untuk memilih menyandang pedang atau tidak. Sebaliknya bagi rakyat biasa dilarang menyandang pedang. Pada zaman Tokugawa, pasukan militer hanya terdiri dari bushi tapi pada zaman Meiji ini laki – laki yang berusia 20 tahun ke atas semua harus menjadi pasukan tentara. Dengan begitu mulailah sistem wajib militer di Jepang.
Dibidang pertanahan juga mengalami perubahan. Misalnya saja, para pemilik tanah telah diperbolehkan untuk menanam apa saja yang mereka kehendaki. Keputusan mengenai tanah (sertifikat tanah) pada awalnya dikeluarkan pemerintah hanya bagi tanah yang letaknya di wilayah ibukota Tokyo, tetapi pada tahun 1872, pemerintah memutuskan untuk memberikan surat sertifikat tanah kepada semua orang yang memiliki (shoji) tanah. Pada tahun yang sama, sistem pendidikan umum dimulai, dan terbukalah peluang untuk rakyat Jepang terhadap pendidikan yang meniru sistem pendidikan Barat dan penanggalan Gregorian pun mulai diterima.
2.2 Pemerintahan Masa Meiji 1867 – 1912
Runtuhnya pemerintahan Tokugawa merupakan berakhirnya zaman Edo yang ditandai dengan penyerahan kekuasaan Shogun Keiki (Tokugawa Yoshinobu) kepada Kaisar Meiji. Zaman baru ini disebut zaman Meiji yang berarti ‘kekuasaan pencerahan’, yang berlangsung antara 1868 – 1912. Kaisar yang bertahta pada zaman ini disebut sebagai Kaisar Meiji atau Meiji Tenno (明治 天皇), Meiji Agung atau Meiji Taitei (明治
大帝). Dan nama pribadinya adalah Mutsuhito (睦仁). (Wikipedia).
Pada umumnya, rezim baru ini menekankan pentingnya Kaisar memerintah bangsa. Maka setelah wafatnya Kaisar Komei pada tahun 1866, anak laki – lakinya yang baru berumur empat belas tahun, yaitu Mutsuhito menggantikannya. Semua pengumuman resmi pemerintahan yang baru, dibuat atas namanya.
Pada tahun 1868, Meiji Tenno sebagai pemerintah baru mengutarakan janji (Situmorang, 2009:21). Tepatnya tanggal 6 April 1868 Kaisar mengeluarkan Sumpah Jabatan 五箇条の御誓文
Gokajō no Goseimon ( yang terdiri dari lima
pasal, yang menggambarkan garis besar azas – azas yang harus dianut oleh pemerintahnya. Isi dari lima pasal tersebut adalah:
1. Dewan – dewan musyawarah akan dibentuk secara luas dan tiap – tiap kebijaksanaan akan ditetapkan berdasarkan musyawarah;
2. Golongan tinggi dan rendah harus bersatu dalam melaksanakan rencana – rencana bangsa dengan penuh gairah;
3. Semua warga sipil dan pejabat militer dan rakyat diijinkan untuk memenuhi cita – cita mereka, dengan demikian tidak ada ketidakpuasan antara mereka; 4. Adat istiadat masa lalu yang tidak baik harus dihapus, dan azas – azas yang adil dan wajar haruslah menjadi dasar kebijaksanaan kita;
5. Pengetahuan harus dicari keseluruh dunia dan dengan demikian kesejahteraan kerajaan dapat ditingkatkan.
Sumpah tersebut menguatkan asas politik yang baru berupa mendengarkan pendapat umum, pemerintahan terpusat, wajib militer yang universal dan penciptaan suatu sistem pendidikan di seluruh negara.
Struktur pemerintahan pusat atau daijoukan (太政官) yang dibentuk pada tahun 1868, merupakan kombinasi antara struktur pemerintahan pada periode Nara dan Heian dan sistem pemerintahan di barat. Daijoukan terdiri dari lembaga legislatif, lembaga eksekutif, urusan Shinto, keuangan, militer, hubungan luar negeri, dan urusan dalam negeri. Kementerian Kehakiman dibuat terpisah, sama seperti yang diterapkan di barat.
Adapun pemerintah pusat mengadakan reorganisasi pada tahun 1869 untuk memperkuat kekuasaan pusat, dengan membentuk Majelis Nasional sebagai lembaga tertinggi, membentuk Dewan Penasihat atau sangi (参議) dan delapan kementrian yaitu, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Luar Negeri, Keuangan, Angkatan Darat, Angkatan Laut, Urusan Rumah Tangga Kekaisaran, Kehakiman, Pekerjaan Umum, dan Pendidikan.
Kepemimpinan Meiji sangat terpengaruh oleh gagasan untuk mengembalikan sistem pemerintahan Kekaisaran yang kuno di Jepang, dan karena itu cenderung untuk menegakkan kembali praktek – praktek hukum yang lebih lama lagi. Praktek hukum yang dimaksud bukanlah hukum feodal melainkan pola
- – pola Ritsuryo dan sistem hukum Cina yang dihasilkan dalam jumlah besar. Dalam Situmorang (2009:81) menyebutkan bahwa sistem Ritsuryou lahir pada abad ke 7 pada masa pemerintahan Shotokutaishi. Dalam struktur Ritsuryou melahirkan masyarakat “Shisei” (sistem keluarga). Sistem pemerintahan
Ritsuryou diperkenalkan kepada Jepang selama periode purba (tahun 603 – 967
M). Dalam sistem Ritsuryou, Kaisar (Tenno) adalah penguasa administrasi pemerintahan tertinggi. Saudara – saudara Kaisar adalah menjadi bangsawan. Para bangsawan kerabat Tenno ini bertugas melaksanakan pekerjaan birokrasi di istana maupun di daerah.
Pemerintahan masa Meiji berusaha menghilangkan ajaran Konfusius melalui penghapusan sistem status dalam masyarakat. Pemerintah secara perlahan
- – lahan menuju penghapusan berbagai pembatasan feodal dan ajaran Konfusius yang menggolongkan masyarakat ke dalam samurai, petani, tukang, dan pedagang.
Meskipun alam pikiran feodalisme masih merupakan suatu segi yang tidak dapat disangkal pada masa Meiji khususnya dalam hukum. Misalnya, untuk kejahatan yang sama dikenai hukuman yang berbeda – beda tergantung dari apakah pihak yang bersalah itu dari kelompok kazoku, shizoku, heimin atau seorang pejabat pemerintah. Praktek – praktek diskriminasi semacam ini dibenarkan secara hukum oleh intisari Kitab Undang – undang Hukum Pidana Baru tahun 1870 dan Kitab Undang – undang Pidana dan Undang – undang Dasar yang disempurnakan tahun 1873. Sehingga tahun – tahun awal Meiji dicirikan oleh suatu rezim Ritsuryo bergaya Cina yang terpusat dan otoriter, yang dibangun di atas dasar feodal. Tentara wajib militer dianggap sebagai tentara Kaisar, dan pejabat – pejabat pemerintah sebagai pejabat – pejabat Kaisar. Inilah pemerintah yang menyebabkan Jepang bertanggungjawab untuk membangun suatu “negeri yang kaya raya dan militer yang kuat” (fukoku kyohei) dan suatu masyarakat yang modern.
2.2.1 Susunan Administrasi
Jepang pada masa Meiji merupakan negara dengan bentuk pemerintahan kekaisaran (negara kerajaan). Dalam Syafiie (2009:85), negara kerajaan adalah suatu negara dimana kepala negaranya adalah seorang raja, sultan atau kaisar (bila kepala negaranya laki – laki) dan matahari atau ratu (bila kepala negaranya perempuan). Kepala negara dinobatkan secara turun – temurun dengan memilih putra/putri tertua dari istri yang sah (permaisuri).
Pada masa Meiji pemerintah mengakhiri seluruh Jepang yang dibagi dalam
han dan mengubahnya dengan ken (prefektur) dalam administrasi pusat karena
dianggap perlunya menghilangkan kekuatan ekonomi han dan kekuatan militer
han . Dengan demikian pemerintah Meiji telah membuat sistem negara yang
sentralisasi. Dalam Syafiie (2009:45), sentralisasi adalah pemusatan kekuasaan pada pemerintah pusat, dalam hubungan pusat dan daerah, pada suatu sistem pemerintahan.
Tahun 1869, pemerintah Meiji menciptakan silsilah kekeluargaan dalam kekaisaran dan kebangsawanan di Jepang, dengan menyatukan para bangsawan istana (kuge=公家) dan para keluarga daimyo menjadi sebuah kelas bangsawan yang dikenal sebagai kazoku ( 家 族 ). Kemudian pada tahun 1884, sambil menunggu pembukaan dewan tinggi, maka diundangkanlah Kazoku Rei (Undang
- – Undang Kebangsawanan) yang membagi kazoku (家族) menjadi lima golongan yang mirip dengan pembagian strata kerajaan di Inggris. Undang – undang tersebut menetapkan lima gelar kebangsawanan dari urutan yang tertinggi sampai terendah yaitu: prince, marquis, count, viscount, dan baron.
Pada tahun 1885 daijokan dihapuskan dan wewenangnya dialihkan kepada sebuah kabinet (naikaku) menurut model Eropa. Di bawah sistem dajokan maka
daijodaijin bersama dengan sadaijin dan udaijin dianggap sebagai membantu
Kaisar dalam menangani masalah – masalah negara, sedangkan yang membantu kepala – kepala berbagai kementrian hanya merupakan pegawai – pegawai bawahan saja. Kabinet baru itu merupakan sebuah badan pembuat keputusan dan terdiri dari seorang perdana menteri dan menteri – menteri luar negri, dalam negeri, keuangan, angkatan darat, angkatan laut, kehakiman, pendidikan, pertanian, perdagangan, dan perhubungan. Di dalam kabinet, semua menteri ini mengambil bagian dalam menentukan politik negara di luar kabinet, tiap menteri menjalankan kewajibannya menurut bidangnya. Sistem baru itu juga menetapkan perbedaan yang jelas antara pemerintah dan takhta Kekaisaran. Suatu kementerian tambahan yang mengurusi rumah tangga istana (kunai) dibentuk di luar kabinet.
Dan pada masa itu, dalam tahun 1885, Sanjo Sanetomi, yang sudah menjadi
dajodaijin , diberi gelar menteri naidaijin. Dengan demikian Sanjo menjabat sebagai penghubung antara istana dan pemerintah. Sejumlah besar kekayaan negara juga dialihkan kepada kepala rumah tangga istana (Ishii, 1989:148).
Berikutnya dalam administrasi negara didirikan berbagai dewan dan dikeluarkan undang – undang. Sebelumnya pada 1869 telah dibuka kogisho (Dewan Pertimbangan), dan pada tahun 1888 didirikan Dewan Pertimbangan Agung (Sumitsuin).
Kemudian pada tanggal 11 Februari 1889 Konstitusi diundangkan dan mulai berlaku tanggal 29 November 1890 yaitu hari pembukaan Sidang Perdana dari
Teikoku Gikai (帝国議会) atau Parlemen Kekaisaran sebagai badan legislatif.
Menurut Konstitusi ini, kekaisaran Jepang harus diperintah oleh Kaisar dari garis keturunan yang tak terputus sejak berabad – abad. Ketiga cabang pemerintahan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif dipimpin oleh Kaisar sendiri. Dan perubahan – perubahan terhadap konstitusi hanya dapat diusulkan oleh Kaisar.
Kaisar juga diberi kekuasaan yang besar untuk mengeluarkan peraturan – peraturan pelengkap yang berdiri sendiri (dokuritsu meirei) dan peraturan – peraturan pelengkap yang mendelegasikan wewenangnya kepada para bawahannya (inin meirei). (Ishii, 1989: 151)
Konstitusi yang diundangkan pada 11 Februari 1889 tersebut adalah Konstitusi Kekaisaran Jepang 大日本帝國憲法
Dainihon Teikoku Kenpō yang
umumnya dikenal sebagai Konstitusi Meiji. Konstitusi Meiji adalah undang – undang Kekaisaran Jepang dari tahun 1889 hingga tahun 1947. Undang – Undang Dasar ini mengizinkan adanya sebuah monarki konstitusional yang berdasarkan model Prusia yang menempatkan Kaisar Jepang sebagai penguasa aktif dan mempunyai kekuasaan politik yang besar, namun membaginya dengan anggota parleman yang dilantik. Dampak langsung dari Konstitusi ini adalah dibukanya pemerintah parlementer pertama di Asia.Konstitusi Meiji menetapkan batasan yang jelas antara kekuasaan badan eksekutif dan kekuasaan mutlak Kaisar. Pada tahun 1947, seiring kekalahan Jepang pada akhir Perang Dunia II, Konstitusi Meiji digantikan dengan dokumen baru yang disebut 日本国憲法 Nihon Koku Kenpō atau Konstitusi Jepang.
Parlemen kekaisaran terdiri dari dua bagian yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih seluruh rakyat, dan Dewan Bangsawan (Kizokuin=貴族院) yang terdiri dari kazoku atau golongan bangsawan, yang merupakan kubu keluarga besar Kaisar. Adapun anggota dari Kizokuin (貴族院) adalah:
1. Putra Mahkota dari usia 18 tahun;
2. Semua pangeran (shinnou) dan pangeran yang memiliki darah kekaisaran yang berusia di atas 20 tahun; 3. 150 orang wakil yang dipilih berdasarkan urutan counts, viscounts dan baron, yang berusia di atas 25 tahun; 4. 150 orang anggota tambahan yang dipilih oleh Kaisar; 5. 66 orang yang dipilih untuk mewakili 6000 orang pembayar pajak tertinggi.
Bersamaan dengan konstitusi, dikeluarkan pula Undang – Undang Rumah Tangga Kaisar (Koshitsu Tenpan), Undang – Undang Parlemen, Undang – Undang Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Peraturan Kerajaan tentang Majelis Bangsawan.
2.2.2 Ideologi Negara
Kata ideologi berasal dari bahasa Yunani, idein dan logos. Idein berarti ide, gagasan atau konsep dan logos yang berarti ilmu dan ajaran. Jika digabungkan antara keduanya maka kita dapatkan pengertian ideologi sebagai kumpulan gagasan, ide, keyakinan, kepercayaan, yang bersifat menyeluruh dan sistematis.
Ideologi ini menyangkut seluruh bidang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan keagamaan.
Ideologi dalam Syafiie (2009:78) adalah sistem pedoman hidup dan cita – cita yang ingin dicapai oleh banyak individu dalam sebagian besar masyarakat yang bersifat khusus disusun secara sadar oleh para pemikir di daerah tersebut. Menurut Jean Bodin dalam Syafiie (2009:78) negara adalah persekutuan daripada keluarga – keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat.
Ideologi suatu bangsa mencerminkan cara berpikir masyarakatnya dan mengarahkan suatu bangsa untuk mencapai tujuan nasional negaranya. Ideologi juga merupakan sebuah landasan semangat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ciri – ciri ideologi suatu negara antara lain adalah ideologi berada di posisi tertinggi sebagai nilai hidup berbangsa dan bernegara; serta ideologi mewujudkan asas kerohanian, pandangan dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara, dikembangkan, diamalkan, dan dilestarikan kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban (Simanjuntak, 2007).
Sebelum periode Meiji, ketika masih pada masa pemerintahan Tokugawa, ideologi negara Jepang berdasarkan kesetiaan atas bawah. Hal ini disebabkan adanya pengaruh ajaran Neo-Konfusius dan Budha yang pada saat itu lebih diterima daripada Shinto. Dimasa pemerintahan Tokugawa Ieyasu tercipta struktur kekuasaan dimana shogun berada pada posisi tertinggi, juga sebagai pusat pengabdian seluruh masyarakat Jepang. Hal ini karena Tokugawa Ieyasu memilih konfusionisme sebagai dasar filosofisnya untuk usaha menanamkan penghormatan bawahan terhadap atasan. Namun pada periode Meiji, dengan kembalinya keberadaan Shinto, maka ideologi negara berlandaskan kepercayaan Shinto.
Kepercayaan Shinto mengajarkan kesetiaan kepada yang berkuasa, sehingga menetralisasi (kemungkinan) sifat sombong seorang pejuang militer. Kepercayaan
Shinto menekankan kesetiaan dan kecintaan kepada Negara dan Tenno. Shinto
tidak mengenal ajaran dosa, tetapi lebih menekankan soal kehormatan dan harga diri (Suryohadiprojo, 1982:49).
Selama periode Meiji, melalui doktrin Shinto disebarkanlah ideologi militeristik yang mencakup ajaran – ajaran, keyakinan, dan teori, yang menganjurkan atau membenarkan misi Jepang untuk memperluas kekuasaannya atas bangsa – bangsa dan orang lain. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa Kaisar Jepang lebih unggul dari kepala negara lain karena asal keturunannya yang istimewa, juga menganggap bahwa pulau – pulau Jepang lebih unggul daripada negeri lain karena sejarah asal mulanya yang istimewa. Tetapi pemikiran seperti ini dihentikan melalui dikeluarkannya Instruksi Shinto (Shinto Shirei) atas perintah SCAP (Supreme Commander Allians Powers) Amerika kepada Pemerintah Jepang pada 15 Desember 1945 yang melarang propagasi dan penyebaran ideologi militeristik dalam doktrin Shinto beserta filsafatnya.
2.3 Sejarah Shinto dan Karakteristik Shinto
Diantara beberapa agama yang dianut orang Jepang saat ini, Shinto adalah yang tertua dan dianggap sebagai agama pribumi orang Jepang. Berbeda dengan agama Budha, Konfusianisme, Katolik, Protestan dan Islam yang masuk kemudian (Danandjaja, 1997).
Sebagai agama tertua di Jepang, tentulah keberadaan Shinto memiliki sejarah yang panjang. Dan melalui sejarah panjang Shinto sehingga dapat melihat karakteristik Shinto tersebut. Bagaimana sejarah Shinto akan dibahas pada sub- bab berikut.
Shinto
2.3.1 Sejarah
Dalam Shinto, tidak ada yang disebut dengan kitab suci sebagaimana Alkitab pada Kristen dan Qur’an pada Islam. Tetapi ada catatan - catatan tentang pengetahuan dan adat serta sejarah yang menuliskan riwayat dan latar belakang kepercayaan Shinto. Buku – buku tersebut antara lain adalah:
- - Kojiki, yaitu catatan rekaman tentang keadaan masa kuno. Inilah sebagai dasar penulisan sejarah Shinto.
- Shoku Nihongi dan Nihon Shoki ( sambungan dari rentetan sejarah Jepang).
Cenderung berisi sistem struktur pemerintahan, kebijakan luar negeri, hirarki agama, dan tatanan sosial luar negeri.
- - Rikkokushi, yaitu sejarah enam negri, termasuk didalamnya Shoku Nihongi dan
Nihon Shoki
- Jinno Shotoki, yaitu pembelajaran tentang Shinto dan politik Jepang dan
sejarahnya. Ditulis pada abad 14.
Shinto sudah berakar sejak jaman kuno bagi Jepang. Sejarah mencatat
dalam Kojiki pada tahun 712 dan dalam Nihon Shoki pada tahun 720, tetapi para ahli arkeologi mencatat lebih jauh sebelumnya. Kojiki menuliskan bahwa keluarga Kekaisaran Jepang sebagai dasar kebudayaan orang Jepang, juga keturunan Amaterasu Omikami yang diyakini sebagai dewa matahari. Dalam
Kojiki juga terdapat dongeng dan silsilah para dewa. Dalam catatan sejarah
tersebut dituliskan bahwa dewi matahari Amaterasu Omikami mengutus cucunya yang bernama Ninigi no mikoto ke bumi Jepang untuk memerintah Jepang, dan Jimmu Tenno adalah anak dari Ninigi no mikoto, menjadi kaisar pertama Jepang dari klan Yamato. Ketika klan Yamato mulai berkuasa di Jepang pada abad 3 M, klan ini tidak hanya berperan dalam pemerintahan tetapi juga berperan sebagai pendeta yang menjalankan ritual – ritual keagamaan sehubungan dengan pengakuannya sebagai titisan dewa matahari.
Pada masa Jimmu Tenno belum muncul istilah Shinto. Istilah Shinto baru muncul dan dikenal luas dalam kehidupan masyarakat Jepang setelah masuk dan diterimanya agama Budha dalam pemerintahan dan kehidupan masyarakat Jepang. Untuk membedakan agama Budha dengan agama yang sudah dipercayai dan dijalankan oleh rakyat Jepang maka dibuatlah istilah Shinto.
a. Periode Jomon
Pada akhir periode Jomon, pendatang baru dari benua lain menginvasi Jepang wilayah barat, dengan membawa teknologi baru seperti pertanian beras.
Para pendatang baru hidup berdampingan dengan orang – orang Jomon untuk beberapa waktu sehingga memberikan pengaruh. Maka budidaya baru dari Jomon berkembang canggih seperti sawah pertanian dan kontrol pemerintah. Banyak elemen lain dari budaya Jepang dari periode ini dan mencerminkan migrasi bercampur dari benua Asia utara dan wilayah Pasifik Selatan. Di antara elemen tersebut seperti mitologi Shinto, adat pernikahan, gaya arsitektur, teknologi tekstil, logam dan pembuatan kaca.
b. Periode Yayoi
Budaya Jepang mulai berkembang karena pengaruh dari perdagangan daratan dan imigrasi dari Cina. Selama masa ini, dalam sejarah zaman pra-tulisan, benda – benda dari daratan Cina mulai muncul dalam jumlah besar, khususnya cermin, pedang, dan perhiasan. Ketiganya memiliki kaitan langsung bagi status ilahi kekaisaran karena benda – benda tersebut adalah simbol ketuhanan kekaisaran dan benda kehormatan Shinto. Juga budaya padi mulai mekar di seluruh Jepang dan ini menyebabkan perkampungan masyarakat serta ketergantungan terhadap tanaman musiman. Kedua perubahan ini sangat berpengaruh pada hubungan masyarakat Jepang dengan alam, dan memungkinkan adanya pengembangan sistem agama yang lebih kompleks. Periode ini juga dirujuk sebagai awal dari keilahian keluarga kekaisaran. Budaya Yayoi merupakan budaya berbasis klan yang hidup secara tergabung dengan pemimpinnya yang juga ditetapkan sebagai imam kepala. Para pemimpin klan bertanggung jawab atas hubungan klannya dengan Kami. Perkembangan festival panen Shinto adalah juga disebabkan periode ini sebagai persembahan untuk panen yang baik.
c. Periode Kofun
Periode ini merupakan periode perkembangan negara feodal, dan budaya Yamato dan Izumo. Kedua budaya yang dominan ini memiliki sebuah kuil besar dan merupakan pusat yang masih ada hingga sekarang ini, seperti Kuil Ise di Barat daya dan Izumo Taisha di timur laut. Terdapat peningkatan pengaruh budaya Cina yang mengubah jalannya struktur pemerintahan, struktur sosial, praktek penguburan, dan peperangan. Kerajaan Paekche dari Korea memiliki aliansi politik dengan Yamato, dan pada abad ke 5 diterima sistem tulisan Cina untuk mencatat nama – nama Jepang serta kegiatan perdagangan dan catatan politik. Pada tahun 513 Paekche mengirimkan seorang sarjana Konfusius ke istana untuk membantu pengajaran dalam pemikiran Konfusius. Kemudian patung Budha diberikan kepada pemimpin Yamato sehingga hal ini sangat mengubah jalannya sejarah agama Jepang, terutama dalam kaitannya dengan pencampuran agama berkembang pribumi yaitu Shinto. Namun pada akhir abad ke 6, terjadi gangguan hubungan antara Jepang dengan Paekche, pengaruhnya menyebabkan penetapan Shinto sebagai agama asli sebagai upaya dalam menentang pengaruh luar yang ekstrim.
d. Periode Asuka
Secara khusus para penguasa Asuka dari tahun 552 – 645 melihat perselisihan antara keluarga yang lebih besar dalam klan keluarga Shinto. Ada perselisihan tentang siapa yang akan naik ke kekuasaan dan mendukung keluarga kekaisaran antara Soga dan Mononobe/ keluarga Nakatomi Shinto. Keluarga Soga akhirnya menang dan didukung Ratu Suiko dan Pangeran Shotoku, yang membantu pengaruh agama Budha ke Jepang. Namun, tidak sampai pada periode kekuasaan Hakuho tahun 645 – 710, Shinto ditempatkan dalam keyakinan kekaisaran bersamaan dengan Klan Fujiwara dan reformasi yang mengikutinya.
e. Periode Hakuho
Dimulai dengan kaisar Temmu (672-686), terus berlanjut sampai Kaisar Jito (686-697) dan Kaisar Mommu (697-707) tata cara Shinto diperkuat dan dibuat sejajar dengan keyakinan Budha dalam kehidupan istana. Sebelum masa Hakuho ini, klan Shinto telah mendominasi, dan penyusunan sistem Shinto Kekaisaran tidak ada. Keluarga Nakatomi dibuat sebagai kepala pendeta Shinto istana dan imam – imam kepala di Ise Daijingu yang berlangsung hingga 1892. Juga praktik pengiriman putri kekaisaran ke Kuil Ise dimulai. Hal ini menandai kebangkitan Ise Daijingu sebagai kuil kekaisaran utama dalam sejarah. Karena meningkatnya pengaruh dari Budha dan pemikiran daratan Asia, penyusunan sistem jalan religi Jepang (The Japanese way of religion) dan hukum dimulai dengan sungguh – sungguh. Hal ini menghasilkan tiga hal, yakni: Kitab Undang – Undang Taiho (701), Kojiki (712) dan Nihon Shoki (720).
Kitab Undang – Undang Taiho atau yang disebut juga Ritsury
ō (律令)
merupakan upaya untuk menciptakan bentuk terhadap pengaruh luar dan menstabilkan masyarakat melalui kekuasaan Kekaisaran. Hal ini merupakan liturgi kekuasaan dan penyusunan sistem undang – undang, terutama difokuskan pada peraturan agama, susunan pemerintahan, undang – undang pertanahan, pidana dan hukum perdata. Semua imam, biarawan, dan biarawati harus terdaftar. Ritual Shinto dari garis kekaisaran disusun secara sistematis, terutama siklus musiman, ritual kalender lunar, festival panen, dan upacara penyucian. Pembuatan
Jingi-kan kekaisaran atau kantor Kuil Shinto selesai pada masa ini.
f. Periode Nara
Periode ini mengalami banyak perubahan bagi negara, pemerintah, dan agama. Pada masa ini ibukotanya pindah lagi ke Heijyokyo atau Nara tahun 710 oleh Ratu Gemmei karena kematian Kaisar. Praktek ini diperlukan karena bagi kepercayaan Shinto, kematian termasuk hal kotor atau kecemaran sehingga perlu untuk menghindari pencemaran ini. Namun, kegiatan pemindahan ibukota karena “pencemaran kematian” ini kemudian dihapus oleh Undang – Undang Taiho dan naiknya pengaruh Budha. Pembentukan kota Kekaisaran dalam hubungannya dengan Undang – Undang Taiho dianggap penting untuk Shinto sebagaimana kantor ritual Shinto menjadi lebih kuat dalam asimilasi kuil klan lokal ke dalam pengawasan kekaisaran. Kuil baru dibangun dan berasimilasi setiap kali kota tersebut akan dipindahkan. Semua kuil besar diatur dalam Taiho dan diharuskan untuk memperhitungkan pendapatan, imam, dan praktek karena konstribusi nasional. Selama masa ini, Buddhisme menjadi dibentuk secara tersusun di Jepang oleh Kaisar Shomu (pemerintahan 723-749), dan melakukan beberapa proyek bangunan besar. Kaisar menyusun rencana untuk Dainichi Budha (Great Sun
Budha ), di Todaiji dibantu oleh Pendeta Gyogi (atau Gyoki) Bosatsu. Pendeta
Gyogi pergi ke kuil Ise Daijingu atas restu untuk membangun Dainichi Budha.Mereka mengidentifikasikan patung Viarocana dalam Budha dengan Amaterasu (dewi matahari dalam Shinto) sebagai perwujudan lambang tertinggi semesta.
Pada reformasi Taika (646 M), Shinto dijadikan agama negara dengan memasukkannya dalam satu departemen dalam pemerintahan yang disebut dengan
jingikan dan kuil Ise (Ise Jingu) dijadikan kuil utama untuk menjalankan ritual
dan perayaan Shinto secara nasional. Pada abad 7-8 M, sementara ajaran Budha dan Konfusianisme mendominasi Jepang, Shinto menjadi agama masyarakat.
(PDF:shintobagibangsajepang:478) Memasuki zaman Meiji (1868-1912) ketika pemerintahan yang dari tangan
shogun kembali kepada Kaisar, Shinto kembali mendapat perhatian oleh
pemerintah. Pada zaman ini didirikan Kokugakuin university yakni tempat para pendeta Shinto dididik dan agama Shinto dijadikan sebagai agama negara dengan dibentuknya departemen Shinto.
Setelah Jepang kalah dalam perang dunia dua dan diubahnya undang – undang dasar negara Jepang tahun 1947, Shinto tidak lagi dijadikan sebagai agama negara. Sejak saat itu setiap warga negara Jepang memiliki kebebasan dalam memillih agama dan menjalankan ritual keagamaan.
- bangunan permanen kuil shinto diperkirakan adalah hasil pengaruh agama Budha yang selalu memiliki bangunan untuk menyimpan patung Buddha.
Ryoubu Shinto
2.3.2 Dalam Canter (2011:33) menuliskan :
“It should be noted that the syncretism resulted in a form of Buddhism that is totally unique to Japan. The uniqueness of the Japanese Buddhism came from the adapting
Shintō rites. Even though a Japanese Buddhist can relate to another countries’ Buddhism, the Japanese Buddhism has become “something different from every other form of
91 the faith in Asia.” The resulting syncretism is called 神 仏 習 合 , S hinbutsu Shūgō (神仏混淆, Shinbutsu Konkō) “mixture of Buddhism and
Shintō” or 両部神道, Ryōbu Shintō (両部習合神道, Ryōbu Shūgō Shintō) “two-sided Shintō.”
Menurut kutipan di atas, dikatakan bahwa
Ryōbu Shintō merupakan hasil
dari perpaduan paham (sinkretisme) Buddhisme dengan
Shintō. Buddhisme
masuk dan diterima di Jepang tanpa menggantikan keberadaan kepercayaan asli Jepang yaitu Shintō, melainkan beradaptasi dengan kepercayaan rakyat Jepang. Adanya adaptasi upacara
Shintō ke dalam Buddhisme menjadikan Buddhisme
Jepang memiliki keunikan dan sedikit perbedaan dengan Buddhisme di daerah lain di Asia. Hasil perpaduan agama melembaga seperti Buddhisme dengan Shinto itulah disebut
Ryōbu Shintō atau dapat dipahami seperti Shintō yang memiliki 2 sisi.
Menurut Danandjaja (1997:165), karakteristik orientasi agama orang Jepang tidak sama dengan cara berpikir orang Barat terhadap agama, karena orang Jepang tidak menganggap agama sebagai sesuatu yang eksklusif. Sikap ini mempunyai beberapa arti, yaitu:
- Seorang Jepang yang sama akan menyembah dewa – dewa dari agama yang
berbeda tanpa perasaan yang bertentangan. Misalnya orang Jepang akan bersembahyang di altar agama Budha yang ada di rumahnya pada pagi hari, dan pada sorenya akan pergi bersembahyang ke tempat pemujaan Shinto;
- Ada tempat pemujaan yang menyemayamkan patung – patung dewa dari
berbagai agama yang berbeda. Contohnya di Jepang ada klenteng Budha di dalam kompleks pemujaan Shinto dan demikian sebaliknya;
- Konsep religi orang Jepang mengenai seorang dewa dapat mencakup unsur –
unsur yang berasal dari agama – agama berbeda;
- Seorang pendeta dari suatu agama boleh memimpin upacara keagamaan dari
agama lain.
Terdapat perbedaan yang tidak jelas diantara agama Budha dan Shinto. Tetapi bagi penduduk Jepang, kebanyakan perbedaan – perbedan itu tidak penting, sehingga mereka tidak terlalu peduli. Jika mereka mengetahuinya, hal itu adalah berkat upaya pemerintahan Meiji untuk membedakannya dan berusaha memisahkan dua agama itu dalam usahanya untuk membuat Shintoisme menjadi agama negara, dengan menjadikan Kaisar sebagai pendeta tertingginya. Namun pemisahan tersebut tidak pernah tuntas di dalam pemikiran rakyat, sehingga unsur