Pertanggungjawaban Pidana Pemerkosaan Pelaku Anak Di Bawah Umur Terhadap Korban Anak Di Bawah Umur (studi putusan No. 79 Pid.Sus-anak 2015 PN-Mdn)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak, merupakan generasi penerus bangsa yang seharusnya mendapatkan
perlindungan lebih dari pemerintah, maupun orang tua. Anak memiliki kerentanan
terhadap kejahatan dan rentan pula untuk melakukan kejahatan.Sehingga,
perlindungan lebih terhadap anak tidak dapat dikatakan sebagai hal yang
berlebihan.Kerentanan anak dalam kriminalitas, tidak terlepas dari beberapa
faktor seperti pengaruh lingkungan, dan lainnya.Sikap yang belum dewasa dan
belum mampu untuk membedakan yang baik dan buruk, mengakibatkan anak di
bawah umur menjadi sasaran kejahatan pelaku kejahatan.
Kejahatan, merupakan salah satu perbuatan yang bertentangan baik
bertentangan dengan undang-undang, maupun bertentangan dengan norma sosial
yang
ada.
Menurut
Ediwarman,
terdapat
beberapa
pengertian
kejahatan,menuurutpenggunaanya antara lain : 1
1. Secara Praktis
Secara praktis, kejahatan diartikan sebgai pelanggaran atas normanorma agama, kebiasaan, kesusilaan, yang hidup dalam masyarakat.
2. Secara Religius
Secara religius, kejahatan diartikan sebagai pelanggaran atas perintahperintah tuhan.
1
Edi Warman, Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi, Genta
Publishing : Yogyakarta, 2014. Hal. 25
Universitas Sumatera Utara
Setiap pelaku kejahatan atau pelaku yang melakukan tindak pidana, akan
menerima sanksi berupa sanksi pidana. Tujuan diberikan pidana terhadap pelaku
tindak pidana adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana
tersebut.Selain itu, pemberian pidana kepada pelaku kejahatan, merupakan salah
satu bentuk pertanggungjawaban pidana yang harus diderita pelaku tindak
pidana.Pertanggungjawaban
pidana
tersebut
menjadi
salah
satu
bentuk
pertanggungjawaban karena perbuatan yang dilakukannya.
Pidana berasal dari kata straf, yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai
suatu penderitaan yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang
telah
terbukti
bersalah
melakukan
suatu
tindak
pidana. 2 Andi Hamzah
mengatakan, bahwa ahli hukum membedakan istilah hukuman dengan pidana,
yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf. 3Hukuman adalah istilah
umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum
perdata, administrasif, disiplin dan pidana.Sedangkan istilah pidana diartikan
secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana. Menurut
Jan Remmelink, pidana merupakan suatu pembalasan berupa penderitaan yang
dijatuhkan pengusa terhadap seseorang tertentu yang dianggap bertindak secara
salah melanggar aturan pelaku, yang pelanggaran terhadapnya diancamkan
dengan pidana. 4Sanksi pidana tersebut dimaksudkan sebagai upaya menjaga
ketentraman dan pengaturan lebih baik dari masyarakat.
2
Mohammad Ekaputra dan Abulkhair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP dan
Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Terbaru, USU Press : Medan, 2010. Hal. 1
3
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta : Jakarta, 2008. Hal. 27.
4
P.A.F Lamintang, Hukum Penitensir Indonesia, Armico : Bandung, 1984. Dalam
Muhammad Ekaputra dan Abul Khair, Op.cit hal. 7
Universitas Sumatera Utara
Anak yang berada dibawah umur, tidak terlepas dari perbuatan
pidana.Fakta menyebutkan bahwa angka kejahatan yang dilakukan oleh anak
dibawah umur mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.Misalnya pada
kejahatan penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang.Menurut Badan Narkotika
Nasional (BNN) penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak di bawah umur
serta remaja pada tahun 2014 meningkat 50 hingga 60 persen. 5dikarenakan
dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan.
Selain itu, kriminalitas yang berada dilingkungan anak dibawah umur, juga
sering menimbulkan korban terhadap anak yang masih berada dibawah
umur.Anak dibawah umur dianggap belum mampu untuk menentukan yang mana
yang baik dan yang mana yang benar.Antara id dan ego anak yang berada
dibawah umur, belum stabil.Sehingga, anak dibawah umur rentan mengalami
melakukan kejahatan, dan tidak sedikit anak yang berada dibawah umur menjadi
korban kejahatan.
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia memiliki tujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Anak yang merupakan generasi penerus bangsa,
seharusnya dilindungi dari perbuatan-perbuatan yang akan merusak masa depan
anak. Pemerintah Indonesia, dalam rangka untuk melendungi segenap bangsa
Indonesia pada umumnya dan terkhusus melindungi masa depan anak sebagai
generasi bangsa, membentuk instrument hukum berupa peraturan perundangundangan, yang dibentuk sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tersebut.
5
Lidwina E.H, Berita, “Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap Peningkatan
Kenakalan Remaja”, Kompasnia.com, 2014. http://kompasnia.com/lidwinaeka-dampakpertumbuhan-penduduk-terhadap-peningkatan-kenakalan-remaja.html?m=1. Diakses pada tanggal
23 April 2016 pukul 12:59 WIB
Universitas Sumatera Utara
Upaya pemerintah sebenarnya tidak akan mudah terealisasi apabila tidak
didukung oleh peran serta masyarakat. Tidak dapat kita pungkiri, bahwa pengaruh
budaya barat sulit untuk disaring oleh masyarakat Indonesia.Budaya barat dengan
pergaulan bebas dikalangan remaja bahkan dikalangan anak-anak, memberikan
dampak negatif terhadap tumbuh kembang kepribadian remaja maupun anak
dibawah umur. Kurangnya pemahaman religi yang dimiliki anak pada saat ini,
menyebabkan anak akan mudah untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan agama.
Salah satu perbuatan yang berkembang di kalangan remaja maupun anakanak pada saat ini adalah pergaulan bebas, yang mengakibatkan kehamilan pada
wanita remaja ataupun wanita yang masih dibawah umur.Akibat perkembangan
teknologi dan pengaruh budaya barat, banyak sekali terjadi kasus pemerkosaan
yang dilakukan terhadap anak dibawah umur.Anak dibawah umur kerap menjadi
korban pelecehan seksual, dikarenakan kepolosan, serta ketidakpahaman anak,
terhadap akibat
dari perbuatan pelecehan seksual tersebut.yang paling
mengkhawatirkan adalah, terjadi pemerkosaan terhadap anak dibawah umur, yang
mana pelaku pemerkosaan juga merupakan anak dibawah umur.
Tindak pidana pemerkosaan, merupakan perbuatan yang melanggar
norma-norma yang ada dimasyarakat, seperti norma sosial, norma kesusilaan, dan
sebagainya. Salah satu faktor penyebab dari terjadinya tindak pidana pemerkosaan
terhadap anak adalah pergaulan bebas.
Untuk melindungan generasi penerus bangsa, pemerintah mengeluarkan
peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan
Universitas Sumatera Utara
secara hukum terhadap anak dibawah umur dari korban kejahatan. Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak, menjadi salah satu bentuk keseriusan pemerintah dalam
melindungi generasi bangsa.
Dewasa ini, banyak terjadi pergaulan bebas antar remaja yang saling
menjalin hubungan, yang pada akhirnya melakukan hubungan selayaknya
hubungan suami istri. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilakukan
dengan asas suka sama suka. Tidak ada paksaan, ataupun ancaman bagi salah satu
pihak maupun kedua belah pihak untuk melakukan perbuatan tersebut.Perbuatan
yang melanggar kesusilaan tersbut, tidak hanya dilakukan oleh subjek hukum
yang telah dianggap cakap hukum.Perbuatan tersebut faktanya juga dilakukan
oleh anak yang berada dibawah umur atau anak yang belum cakap hukum.Sistem
hukum Indonesia memandang, bahwa perbuatan tersebut tetap termasuk kedalam
klasifikasi kejahatan kesusilaan, yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana
pemerkosaan.
Pada dasarnya, kebijakan hukum pidana memberikan berbagai pilihan
kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan sarana penal maupun sarana
non
penal,
untuk
meminta
suatu
pertanggungjawaban
pidana
kepada
seseorang.Apabila anak yang melakukan suatu tindak pidana, makan sarana non
penal ini lebih efektif digunakan untuk meminta pertanggungjawaban pidana
kepada anak di bawah umur, mengingat upaya negara dalam melindungi
kepentingan anak di bawah umur sebagai generasi penerus bangsa.
Universitas Sumatera Utara
Sistem hukum pidana, dikenal berbagai bentuk delik.Baik delik materil,
delik formil, delik aduan, dan sebagainya.Tindak pidana pemerkosaan, merupakan
salah satu bentuk delik aduan menurut KUHP.Artinya, pelaku pemerkosaanakan
menerima hukuman apabila perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana
pemerkosaan telah diadukan oleh pihak korban kepada pihak yang berwajib.
Lantas, bagaimana ketika perbuatan tersebut dilakukan tanpa ada ancaman
maupun paksaan seperti yang disebutkan dalam KUHP ?.Pada hakikatnya, anak
yang dianggap menjadi korban pemerkosaan maupun anak yang dianggap
melakukan pemerkosaan, sama-sama merupakan anak yang di bawah umur, yang
seharusnya dilindungi, karena pengaruh utama dari hal tersebut adalah faktor
lingkungan, bukan dengan adanya niat jahat pada pelaku.
Berdasarkan permasalahan pemerkosaan yang dilakukan oleh anak
dibawah umur terhadap anak yang dibawah umur, penulis menuangkannya secara
lengkap dan cermat dalam sebuah skripsi yang berjudul :“Pertanggungjawaban
Pidana Pemerkosaan Pelaku Anak di bawah Umur Terhadap Korban Anak
di bawah Umur (studi putusan nomor 79/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Mdn)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah penulis uraikan di atas, yang
menjadi perumusan masalah dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan terkait perlindungan hukum anak pelaku tindak
Pemerkosaan di bawah umur ?
2. Faktor penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pemerkosaan Anak di
Bawah Umur ?
Universitas Sumatera Utara
3. Bagaimana Pertanggungjawaban pidana Anak pelaku tindak pidana
pemerkosaan
Anak
di
bawah
Umur
dalam
putusan
no.79/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Mdn ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui bentuk pengaturan mengenai perlindungan hukum
terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana pemerkosaan.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana
pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.
c. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terkait tindak pidana
pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.
2. Manfaat penulisan skripsi ini adalah :
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis skripsi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian
lebih lanjut untuk berbagai konsep ilmiah yang pada waktunya nanti dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum
pidana.Khususnya dalam mengetahui bagaimana pertanggungjawaban anak yang
di bawah umur yang melakukan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.
b. Manfaat Praktis
Menjadi masukkan dan pengetahuan bagi masyarakat dan para penegak
hukum serta praktisi hukum, mengenai problematika yang terdapat dalam sistem
hukum ada di Indonesia. Serta dapat menjadi bahan perbandingan bagi penulis
lain yang meneliti lebih lanjut dan lebih mendalam.
Universitas Sumatera Utara
D. Keaslian Penulisan
Setelah dilakukan penelitian di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, belum ada terdapat tulisan yang mengangkat tentang
“Pertanggungjawaban Pidana Pemerkosaan Pelaku Anak di bawah Umur
Terhadap
Korban
Anak
di
bawah
Umur
(studi
putusan
nomor
79/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Mdn)” Oleh karena itu penulisan skripsi ini dapat
dikatakan masih original, sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan
secara moral dan akademis.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan
Setiap pelaku tindak pidana, harus mempertanggungjawabkan apa yang
telah dilakukannya. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berupa pemidanaan atau
pemberian sanksi.Pemidanaan dapat dikatakan sebagai penjatuhan pidana
terhadap pelaku pidana.Jan Remmelink mengartikan pemidanaan adalah
pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi penguasa yang
berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu aturan hukum. 6
Bentuk penjatuhan pidana kepada pelaku atau pemidanaan merupakan
bentuk pertanggungjawaban yang harus dijalani oleh pelaku tindak pidana.Tujuan
dari pemidanaan tersebut pada dasarnya adalah untuk memberikan efek jera
kepada pelaku pidana, serta menjaga agar pelaku tindak pidana tidak melakukan
perbuatan pidana kembali untuk kedepannya.
6
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama : Jakata, 2003. Hal. 7. Dalam
Marlina, Hukum Panitensir, PT. Refika Aditama : Bandung, 2011. Hal. 34
Universitas Sumatera Utara
Pemidanaan atau penjatuhan pidana yang merupakan bentuk dari
pertanggungjawaban pidana terhadap seorang pelaku tindak pidana, memiliki
berbagai bentuk sanksi yang merupakan aplikasi dari bentuk pemberian
pertanggungjawaban pidana oleh undang-undang. KUHP yang menjadi acuan
utama dari hukum pidana, pada Pasal 10 menjelaskan mengenai bentuk-bentuk
sanksi pidana yang dapat diberikan kepada pelaku pidana, antara lain :
a. Pidana Pokok
1) Pidana Mati
2) Pidana Penjara
3) Pidana Kurungan
4) Pidana denda
5) Pidana Tutupan
b. Pidana Tambahan
1) Pencabutan hak-hak tertentu
2) Perampasan barang-barang tertentu
3) Pengumuman Putusan Pengadilan
Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh
masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas
perbuatan yang dilakukan.Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang
tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah si
pembuatnya tidak dicela.Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu
dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana. 7
7
Ibid, hal. 75
Universitas Sumatera Utara
Pertanggungjawaban pidana adalah sebuah bentuk tanggung jawab yang
harus dilaksanakan oleh seseorang ataupun subyek hukum yang telah melakukan
tindak pidana.Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai
toerekenbaarheid,
criminal
responbility,
criminal
liability.Bahwa
pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang
tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang
terjadi atau tidak.Seorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika
pada waktu melakukan delict,dilihat dari segi masyarakat patut di cela. 8
Menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu :
a. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan
kata lain harus ada unsur melawan hukum (harus ada unsur objektif)
b. Terhadap
pelakunya,
terdapat
unsur
kealahan
dalam
bentuk
kesengajaan atau kealpaan. Sehingga perbuatan tersebut dapat
dipertanggungjawabakan (harus ada unsur subjektif).
Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan.
Jika ia dipidana, tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan
terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan
kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan.Artinya
tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.
Dalam hukum pidana, konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan
konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran
kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktin mens rea dilandaskan pada
8
Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.
Pradnya Paramota : Jakarta, 1997. Hal. 31
Universitas Sumatera Utara
suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran
orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act
does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasa
asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana
seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus
reus),dan ada sikap batin jahat/tersela (mens rea). 9
Setiap orang yang melakukan tindak pidana, haruslah bertanggungjawab
akan perbuatannya. Tidak terlepas apakah pelaku tindak pidana tersebut
merupakan orang yang sudah dewasa, maupun orang yang belum dewasa.Selagi
tidak ada alasan penghapus pidana dalam perbuatannya tersebut, orang yang
melakukan tindak pidana harus dihukum.
2. Pengertian Tindak Pidana pemerkosaan terhadap Anak
Kejahatan merupakan suatu perbuatan kriminal yang dapat dilakukan oleh
seseorang.Pelaku kejahatan tidak hanya merupakan orang dewasa.Anak di bawah
umurpun tidak luput dari perbuatan kejahatan. Sehingga, untuk menanggulangi
kejahatan tesebut, tidak cukup hanya mengetahui apa saja sanksi-sanksi yang
diberikan kepada pelaku tindak pidana. Berbagai upaya preventif juga sangat
dibutuhkan untuk menanggulangi kejahatan tersebut.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam
penjelasan umumnya secara tegas dikatakan bahwaAnak adalah amanah sekaligus
karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam
dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus
9
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas
Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak “Citra Umbara” Bandung
Universitas Sumatera Utara
dijunjung tinggi. Hak Asasi Manusia (HAM) yang termuat dalam Undang-Udang
Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak.
Betapa pentingnya memahami Hukum Anak, dapat disimpulkan dari
konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Pengadilan Anak.
Dimana dikatakan anak adalah bagian dari Generasi Muda, sebagai salah satu
sumber daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan
bangsa.Dalam kedudukan demikian, anak memiliki peranan strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus.Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan
dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial
secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.
Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap
anak diperlukan dukungan, baik menyangkut kelembagaan maupun perangkat
hukum yang mantap dan memadai.Perlindungan anak dilihat dari segi pembinaan
generasi muda. Pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari
Pembangunan Nasional dan juga tercapainya tujuan Pembangunan Nasional, yaitu
masyarakat adil dan makmur serta aman sentosa berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 dengan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
KUHP mengatur anak sebagai korban pidana adalah belum genap berumur 15
(lima belas) tahun sebagaimana yang diatur dalam pasal-Pasal 285,287,290,293,
294, 295, 297 dan lain-lainnya. Pasal itu tidak mengkualisinya sebagai tindak
pidana, apabila dilakukan dengan/ terhadap anak yang belum berusia 15 (lima
belas) tahun.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut ditegaskan bahwa
setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)”
Universitas Sumatera Utara
Begitu juga dalam Pasal 82 ditegaskan bahwa setiap orang yang dengan
sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam
puluh juta rupiah)”
Selain dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak telah menegaskan tentang pemerkosaan terhadap anak sebagaimana telah
penulis paparkan diatas, pada KUHP juga dengan tegas dijelaskan pada Pasal 285
sebagaimanaberikut:
“Barang siapa dengan kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia
di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun penjara.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak
janin dalam kandungan sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.Bertitik tolak
dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, untuk
ini melakukan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan
asas-asas pada Pasal 2 (1) Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagai berikut :
a. Nondiskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan kepentingan;dan Penghargaan
terhadap pendapat anak.
Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak perlu peran
masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia
usaha,
Perlindungan
media
anak
massa,
atau
diusahakan
lembaga
oleh
setiap
pendidikan.
orangtua,
keluarga,masyarakat,pemerintah maupun Negara.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini termuat dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam
usaha perlindungan anak diatur dalamUndang-Undang Nomor.23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yaitu
1. Menghormati dan menjamin hak asasi anak tanpa membedakan suku, agama ,
ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan
kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau ,mental (Pasal 21)
2. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 22)
3. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara
umum bertanggungjawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan anak
(Pasal 23)
4. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat
sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24)
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Pemerintah yang merupakan perpanjangan dari tangan rakyat juga
memiliki
peranan
sangat
penting
dalam
upaya
memutuskan
rantai
kejahatan.Bukan hanya memberikan sanksi yang sangat tegas dan berat kepada
seseorang, melainkan pemerintah seharusnya menjadi tameng bagi masuknya
budaya asing yang bersifat negative.
Peraturan perundang-undangan merupakan aturan tertulis yang menjadi acuan
dasar dalam hukum Indonesia untuk menentukan apakah suatu perbuatan tersebut
merupakan suatu perbuatan pidana atau tidak.Hal tersebut dikarenakan sistem
hukum di Indonesia yang menganut sistem civil law, lebih mengutamakan hukum
Universitas Sumatera Utara
tertulis, dibandingkan dengan hukum yang tidak tertulis.Dalam hukum pidana,
terdapat berbagai macam unsur.
Unsur-unsur tersebut tertuang dalam peraturan-peraturan yang mengatur
mengenai adanya tindak pidana, baik itu kejahatan maupun pelanggaran.Pada
umumnya, unsur- unsur tersebut tertuang dalam peraturan perundang-undangan
pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan memiliki sanksi.Dalam
beberapa rumusan unsur-unsur tersebut ternyata menjadi suatu ciri khas dari
larangan tersebut, sehingga dapat dibedakan dengan jelas dengan perbuatan yang
tidak dilarang.Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsurunsur lahiriah atau fakta oleh perbuatan mengandung kelakuan dan akibat yang
ditimbulkan karenanya Sebuah perbuatan pidana tidak bisa begitu saja dikatakan
perbuatan pidana.
Lamintang menyatakan dalam merumuskan,perbuatan pidana tersebut akan
di kategorikan sebagai Tindak Pidana apabila Mengandung unsur melawan hukum
(wederrechtjek), telah dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja (aan schuldt te
wijten) dan dapat di hukum (strafbaar).
Duet Christine-Cansil menyebutkan dalam Tindak Pidana harus terdapat
Unsur-unsur sebagai berikut :
a. Bersifat Melanggar Hukum
b. Perbuatan Manusia
c. Diancam dengan Pidana
Universitas Sumatera Utara
d. Dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab 10
e. Terjadi karena adanya kesalahan
Sedangkan Moeljatno berpendapat bahwa perbuatan pidana terdiri dari unsurunsur sebagai berikut :
a. Adanya perbuatan
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c. Keadaan tambahan yang memperberat pidana
d. Unsur melawan hukum subjektif dan unsur melawan hukum objektif
Apabila dilihat dari pendapat Sarjana mengenai unsur-unsur pidana
sebagaimana telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana
mengandung unsur formil dan materil. Adapun unsur formil terdiri dari :
a. Adanya perbuatan manusia
Perbuatan manusia (Handeling) yang di maksud adalah perbuatan
manusia pada arti luas. artinya perbuatan manusia yang di maksud tidak
saja melakukan sesuatu .11 selain itu, perbuatan yang dilakukan oleh
badan Hukum,juga di anggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh
manusia sebagaimana maksud dari unsur ini. 12
b. Melanggar peraturan pidana
Terkait dengan perbuatan yang melanggar peraturan pidana atau
melanggar hukum terdapat empat makna yang berbeda-beda yang
masing-masing dinamakan sama, yaitu sebagai berikut :
10
Cansil dan christine Cansil. Pokok-pokok Hukum Pidana, Pradnya paramita : Jakarta, 2007. Hal
48
11
Cansil dan christine,Op.cit
12
Scaffmeister,keijzer dan sutoris, hukum pidana,liberty : Jogjakarta, 1995. hal 27
Universitas Sumatera Utara
1) Sifat melawan hukum formal
Artinya bahwa semua bagian atau rumusan dalam Undang-undang
telah terpenuhi.
2) Sifat melawan hukum materil
Sifat melawan hukum materil yaitu perbuatan tersebut telah
merusak atau melanggar kepentingan hukum yang dilindungi oleh
rumusan delik. dengan kata lain perbuatan tersebut bertentangan
dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
3) Sifat melawan hukum umum
Sifat melawan hukum umum berarti sifat ini sama dengan sifat
melawan hukum secara formil. hanya saja sifat melawan hukum
lebih menuju kepada aturan tak tertulis. dalam arti perbuatan
tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku umum pada
masyarakat,yaitu keadilan.
4) Sifat melawan hukum khusus
Sifat melawan hukum khusus ditemukan dalam Undang-undang,
hanya saja dalam bentuk yang tersirat. Undang-undang tidak
hanya menyebutkan peraturan tersebut secara jelas, akan tetapi
klausul yang terdapat undang-undang tersebut menunjukkan
bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
5) Sifat melawan hukum objektif dan subjektif
Universitas Sumatera Utara
Sifat melawan hukum objektif ini merupakan suatu unsur yang
menunjuk kepada keadaan lahir. sedangkan sifat melawan hukum
subjektif menunjuk kepada perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku. 13
c. Diancam dengan hukuman
Unsur tindak pidana yang tidak kalah penting adalah unsur hukuman atau
pidana. karena setiap perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana diancam dengan hukuman. bentuk pemberian hukuman ini
merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban pidana yang diberikan
kepada pelaku tindak pidana.
F. Metode Penelitian
Sistematika penulisan yang baik dan benar, haruslah menggunakan metode
penelitian yang benar. Adapun penelitian yang digunakan oleh penulis dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan
dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya.Untuk mendapatkan data yang
diperlukan sesuai dengan masalah yang diteliti, maka dalam hal ini penulis
menggunakan metode penelitian yang bila dilihat dari jenisnya dapat digolongkan
kedalam penelitian hukum normatif (yuridis normative). Yaitu merupakan
penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah berbagai peraturan perundang-
13
Moeljanto,Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang
diangkat dalam skripsi. Penelitian yuridis normative ini juga disebut dengan
penelitian hukum doctrinal.
2. Data dan Sumber Data
Data dan sumber data yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah
data sekunder. Adapun data sekunder tersebut diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari semua
dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak
berwenang, yaitu peraturan perundang-undangan. Baik di bidang
hukum pidana dan hukum acara pidana, antara lain Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 J.o Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Perundang-Undangan Lain yang
Berkaitan dengan perlindungan anak.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum pimer, yakni hasil karya para ahli
hukum berupa buku-buku dan pendapat-pendapat para sarjana. Dan
juga termasuk dokumen yang merupakan informasi atau bahan kajian
kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana pemerkosaan, seperti
modul, majalah hukum, dan karya tulis ilmiah.
c. Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan
Universitas Sumatera Utara
hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum,
ensiklopedia dan lain sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam skripsi ini digunakan metode studi pustaka (Library research).
Yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data
sekunder dengan cara menggali sumber-sumber tertulis, baik dari instansi yang
terkait, maupun buku literatur yang ada relevansinya dengan masalah penelitian
yang digunakan sebagai kelengkapan penelitian.
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif yang digambarkan secara
deskriptif, rangkaian kegiatan analisis data dimulai setelah terkumpulnya data
sekunder, kemudian disusun menjadi sebuah pola dan dikelompokan secara
sistematis.Analisis data lalu dilanjutkan dengan membandingkan data sekunder
terhadap data primer untuk mendapat penyelesaian permasalahan yang diangkat.
G. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus
diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa
tahapan yang disebut dengan bab. Dimana masing-masing bab dibagi dalam
beberapa sub bab yang masing-masing bab diuraikan masalahnya secara
tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan
yang lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan
keseluruhan kedalam 5 (lima) bab terperinci. Adapun sistematika penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
BAB I
:
Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang
segala hal yang bersifat umum dalam latar belakang,
kemudian dilanjutkan dengan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,
metode
penelitian,
dan
ditutup
dengan
memberikan
sistematika dari penulisan.
BAB II
:
Bentuk-bentuk kejahatan yang terjadi terhadap anak dibawah
umur menurut Undang-undang Perlindungan Anak No. 23
Tahun 2002 jo Undang-undang No. 35 Tahun 2014, dan
mengenai bentuk perlindungan terhadap anak dibawah umur
yang menjadi korban kejahatan.
BAB III
:
Membahas
mengenai
unsur-unsur
tindak
pidana
pemerkosaan, faktor-faktor penyebab anak di bawah umur
melakukan kejahatan, dan mengenai pertanggungjawaban
pidana anak yang di bawah umur yang melakukan
pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.
BAB IV
:
Membahas mengenai analisis kasus pemerkosaan yang
dilakukan oleh anak di bawah umur terhadap anak di bawah
umur, pada putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor
79/Pid.sus.anak/2015/PN.Mdn.
BAB V
:
Merupakan
bab
terakhir
yang
membahas
mengenai
kesimpulan dan saran. Dalam bab ini akan diuraikan tentang
kesimpulan dari seluruh penulisan yang telah diuraikan dalam
Universitas Sumatera Utara
bab-bab yang sebelumnya sekaligus memberikan saran-saran
terhadap data yang ada.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak, merupakan generasi penerus bangsa yang seharusnya mendapatkan
perlindungan lebih dari pemerintah, maupun orang tua. Anak memiliki kerentanan
terhadap kejahatan dan rentan pula untuk melakukan kejahatan.Sehingga,
perlindungan lebih terhadap anak tidak dapat dikatakan sebagai hal yang
berlebihan.Kerentanan anak dalam kriminalitas, tidak terlepas dari beberapa
faktor seperti pengaruh lingkungan, dan lainnya.Sikap yang belum dewasa dan
belum mampu untuk membedakan yang baik dan buruk, mengakibatkan anak di
bawah umur menjadi sasaran kejahatan pelaku kejahatan.
Kejahatan, merupakan salah satu perbuatan yang bertentangan baik
bertentangan dengan undang-undang, maupun bertentangan dengan norma sosial
yang
ada.
Menurut
Ediwarman,
terdapat
beberapa
pengertian
kejahatan,menuurutpenggunaanya antara lain : 1
1. Secara Praktis
Secara praktis, kejahatan diartikan sebgai pelanggaran atas normanorma agama, kebiasaan, kesusilaan, yang hidup dalam masyarakat.
2. Secara Religius
Secara religius, kejahatan diartikan sebagai pelanggaran atas perintahperintah tuhan.
1
Edi Warman, Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi, Genta
Publishing : Yogyakarta, 2014. Hal. 25
Universitas Sumatera Utara
Setiap pelaku kejahatan atau pelaku yang melakukan tindak pidana, akan
menerima sanksi berupa sanksi pidana. Tujuan diberikan pidana terhadap pelaku
tindak pidana adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana
tersebut.Selain itu, pemberian pidana kepada pelaku kejahatan, merupakan salah
satu bentuk pertanggungjawaban pidana yang harus diderita pelaku tindak
pidana.Pertanggungjawaban
pidana
tersebut
menjadi
salah
satu
bentuk
pertanggungjawaban karena perbuatan yang dilakukannya.
Pidana berasal dari kata straf, yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai
suatu penderitaan yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang
telah
terbukti
bersalah
melakukan
suatu
tindak
pidana. 2 Andi Hamzah
mengatakan, bahwa ahli hukum membedakan istilah hukuman dengan pidana,
yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf. 3Hukuman adalah istilah
umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum
perdata, administrasif, disiplin dan pidana.Sedangkan istilah pidana diartikan
secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana. Menurut
Jan Remmelink, pidana merupakan suatu pembalasan berupa penderitaan yang
dijatuhkan pengusa terhadap seseorang tertentu yang dianggap bertindak secara
salah melanggar aturan pelaku, yang pelanggaran terhadapnya diancamkan
dengan pidana. 4Sanksi pidana tersebut dimaksudkan sebagai upaya menjaga
ketentraman dan pengaturan lebih baik dari masyarakat.
2
Mohammad Ekaputra dan Abulkhair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP dan
Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Terbaru, USU Press : Medan, 2010. Hal. 1
3
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta : Jakarta, 2008. Hal. 27.
4
P.A.F Lamintang, Hukum Penitensir Indonesia, Armico : Bandung, 1984. Dalam
Muhammad Ekaputra dan Abul Khair, Op.cit hal. 7
Universitas Sumatera Utara
Anak yang berada dibawah umur, tidak terlepas dari perbuatan
pidana.Fakta menyebutkan bahwa angka kejahatan yang dilakukan oleh anak
dibawah umur mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.Misalnya pada
kejahatan penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang.Menurut Badan Narkotika
Nasional (BNN) penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak di bawah umur
serta remaja pada tahun 2014 meningkat 50 hingga 60 persen. 5dikarenakan
dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan.
Selain itu, kriminalitas yang berada dilingkungan anak dibawah umur, juga
sering menimbulkan korban terhadap anak yang masih berada dibawah
umur.Anak dibawah umur dianggap belum mampu untuk menentukan yang mana
yang baik dan yang mana yang benar.Antara id dan ego anak yang berada
dibawah umur, belum stabil.Sehingga, anak dibawah umur rentan mengalami
melakukan kejahatan, dan tidak sedikit anak yang berada dibawah umur menjadi
korban kejahatan.
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia memiliki tujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Anak yang merupakan generasi penerus bangsa,
seharusnya dilindungi dari perbuatan-perbuatan yang akan merusak masa depan
anak. Pemerintah Indonesia, dalam rangka untuk melendungi segenap bangsa
Indonesia pada umumnya dan terkhusus melindungi masa depan anak sebagai
generasi bangsa, membentuk instrument hukum berupa peraturan perundangundangan, yang dibentuk sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tersebut.
5
Lidwina E.H, Berita, “Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap Peningkatan
Kenakalan Remaja”, Kompasnia.com, 2014. http://kompasnia.com/lidwinaeka-dampakpertumbuhan-penduduk-terhadap-peningkatan-kenakalan-remaja.html?m=1. Diakses pada tanggal
23 April 2016 pukul 12:59 WIB
Universitas Sumatera Utara
Upaya pemerintah sebenarnya tidak akan mudah terealisasi apabila tidak
didukung oleh peran serta masyarakat. Tidak dapat kita pungkiri, bahwa pengaruh
budaya barat sulit untuk disaring oleh masyarakat Indonesia.Budaya barat dengan
pergaulan bebas dikalangan remaja bahkan dikalangan anak-anak, memberikan
dampak negatif terhadap tumbuh kembang kepribadian remaja maupun anak
dibawah umur. Kurangnya pemahaman religi yang dimiliki anak pada saat ini,
menyebabkan anak akan mudah untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan agama.
Salah satu perbuatan yang berkembang di kalangan remaja maupun anakanak pada saat ini adalah pergaulan bebas, yang mengakibatkan kehamilan pada
wanita remaja ataupun wanita yang masih dibawah umur.Akibat perkembangan
teknologi dan pengaruh budaya barat, banyak sekali terjadi kasus pemerkosaan
yang dilakukan terhadap anak dibawah umur.Anak dibawah umur kerap menjadi
korban pelecehan seksual, dikarenakan kepolosan, serta ketidakpahaman anak,
terhadap akibat
dari perbuatan pelecehan seksual tersebut.yang paling
mengkhawatirkan adalah, terjadi pemerkosaan terhadap anak dibawah umur, yang
mana pelaku pemerkosaan juga merupakan anak dibawah umur.
Tindak pidana pemerkosaan, merupakan perbuatan yang melanggar
norma-norma yang ada dimasyarakat, seperti norma sosial, norma kesusilaan, dan
sebagainya. Salah satu faktor penyebab dari terjadinya tindak pidana pemerkosaan
terhadap anak adalah pergaulan bebas.
Untuk melindungan generasi penerus bangsa, pemerintah mengeluarkan
peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan
Universitas Sumatera Utara
secara hukum terhadap anak dibawah umur dari korban kejahatan. Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak, menjadi salah satu bentuk keseriusan pemerintah dalam
melindungi generasi bangsa.
Dewasa ini, banyak terjadi pergaulan bebas antar remaja yang saling
menjalin hubungan, yang pada akhirnya melakukan hubungan selayaknya
hubungan suami istri. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilakukan
dengan asas suka sama suka. Tidak ada paksaan, ataupun ancaman bagi salah satu
pihak maupun kedua belah pihak untuk melakukan perbuatan tersebut.Perbuatan
yang melanggar kesusilaan tersbut, tidak hanya dilakukan oleh subjek hukum
yang telah dianggap cakap hukum.Perbuatan tersebut faktanya juga dilakukan
oleh anak yang berada dibawah umur atau anak yang belum cakap hukum.Sistem
hukum Indonesia memandang, bahwa perbuatan tersebut tetap termasuk kedalam
klasifikasi kejahatan kesusilaan, yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana
pemerkosaan.
Pada dasarnya, kebijakan hukum pidana memberikan berbagai pilihan
kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan sarana penal maupun sarana
non
penal,
untuk
meminta
suatu
pertanggungjawaban
pidana
kepada
seseorang.Apabila anak yang melakukan suatu tindak pidana, makan sarana non
penal ini lebih efektif digunakan untuk meminta pertanggungjawaban pidana
kepada anak di bawah umur, mengingat upaya negara dalam melindungi
kepentingan anak di bawah umur sebagai generasi penerus bangsa.
Universitas Sumatera Utara
Sistem hukum pidana, dikenal berbagai bentuk delik.Baik delik materil,
delik formil, delik aduan, dan sebagainya.Tindak pidana pemerkosaan, merupakan
salah satu bentuk delik aduan menurut KUHP.Artinya, pelaku pemerkosaanakan
menerima hukuman apabila perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana
pemerkosaan telah diadukan oleh pihak korban kepada pihak yang berwajib.
Lantas, bagaimana ketika perbuatan tersebut dilakukan tanpa ada ancaman
maupun paksaan seperti yang disebutkan dalam KUHP ?.Pada hakikatnya, anak
yang dianggap menjadi korban pemerkosaan maupun anak yang dianggap
melakukan pemerkosaan, sama-sama merupakan anak yang di bawah umur, yang
seharusnya dilindungi, karena pengaruh utama dari hal tersebut adalah faktor
lingkungan, bukan dengan adanya niat jahat pada pelaku.
Berdasarkan permasalahan pemerkosaan yang dilakukan oleh anak
dibawah umur terhadap anak yang dibawah umur, penulis menuangkannya secara
lengkap dan cermat dalam sebuah skripsi yang berjudul :“Pertanggungjawaban
Pidana Pemerkosaan Pelaku Anak di bawah Umur Terhadap Korban Anak
di bawah Umur (studi putusan nomor 79/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Mdn)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah penulis uraikan di atas, yang
menjadi perumusan masalah dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan terkait perlindungan hukum anak pelaku tindak
Pemerkosaan di bawah umur ?
2. Faktor penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pemerkosaan Anak di
Bawah Umur ?
Universitas Sumatera Utara
3. Bagaimana Pertanggungjawaban pidana Anak pelaku tindak pidana
pemerkosaan
Anak
di
bawah
Umur
dalam
putusan
no.79/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Mdn ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui bentuk pengaturan mengenai perlindungan hukum
terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana pemerkosaan.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana
pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.
c. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terkait tindak pidana
pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.
2. Manfaat penulisan skripsi ini adalah :
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis skripsi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian
lebih lanjut untuk berbagai konsep ilmiah yang pada waktunya nanti dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum
pidana.Khususnya dalam mengetahui bagaimana pertanggungjawaban anak yang
di bawah umur yang melakukan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.
b. Manfaat Praktis
Menjadi masukkan dan pengetahuan bagi masyarakat dan para penegak
hukum serta praktisi hukum, mengenai problematika yang terdapat dalam sistem
hukum ada di Indonesia. Serta dapat menjadi bahan perbandingan bagi penulis
lain yang meneliti lebih lanjut dan lebih mendalam.
Universitas Sumatera Utara
D. Keaslian Penulisan
Setelah dilakukan penelitian di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, belum ada terdapat tulisan yang mengangkat tentang
“Pertanggungjawaban Pidana Pemerkosaan Pelaku Anak di bawah Umur
Terhadap
Korban
Anak
di
bawah
Umur
(studi
putusan
nomor
79/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Mdn)” Oleh karena itu penulisan skripsi ini dapat
dikatakan masih original, sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan
secara moral dan akademis.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan
Setiap pelaku tindak pidana, harus mempertanggungjawabkan apa yang
telah dilakukannya. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berupa pemidanaan atau
pemberian sanksi.Pemidanaan dapat dikatakan sebagai penjatuhan pidana
terhadap pelaku pidana.Jan Remmelink mengartikan pemidanaan adalah
pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi penguasa yang
berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu aturan hukum. 6
Bentuk penjatuhan pidana kepada pelaku atau pemidanaan merupakan
bentuk pertanggungjawaban yang harus dijalani oleh pelaku tindak pidana.Tujuan
dari pemidanaan tersebut pada dasarnya adalah untuk memberikan efek jera
kepada pelaku pidana, serta menjaga agar pelaku tindak pidana tidak melakukan
perbuatan pidana kembali untuk kedepannya.
6
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama : Jakata, 2003. Hal. 7. Dalam
Marlina, Hukum Panitensir, PT. Refika Aditama : Bandung, 2011. Hal. 34
Universitas Sumatera Utara
Pemidanaan atau penjatuhan pidana yang merupakan bentuk dari
pertanggungjawaban pidana terhadap seorang pelaku tindak pidana, memiliki
berbagai bentuk sanksi yang merupakan aplikasi dari bentuk pemberian
pertanggungjawaban pidana oleh undang-undang. KUHP yang menjadi acuan
utama dari hukum pidana, pada Pasal 10 menjelaskan mengenai bentuk-bentuk
sanksi pidana yang dapat diberikan kepada pelaku pidana, antara lain :
a. Pidana Pokok
1) Pidana Mati
2) Pidana Penjara
3) Pidana Kurungan
4) Pidana denda
5) Pidana Tutupan
b. Pidana Tambahan
1) Pencabutan hak-hak tertentu
2) Perampasan barang-barang tertentu
3) Pengumuman Putusan Pengadilan
Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh
masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas
perbuatan yang dilakukan.Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang
tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah si
pembuatnya tidak dicela.Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu
dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana. 7
7
Ibid, hal. 75
Universitas Sumatera Utara
Pertanggungjawaban pidana adalah sebuah bentuk tanggung jawab yang
harus dilaksanakan oleh seseorang ataupun subyek hukum yang telah melakukan
tindak pidana.Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai
toerekenbaarheid,
criminal
responbility,
criminal
liability.Bahwa
pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang
tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang
terjadi atau tidak.Seorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika
pada waktu melakukan delict,dilihat dari segi masyarakat patut di cela. 8
Menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu :
a. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan
kata lain harus ada unsur melawan hukum (harus ada unsur objektif)
b. Terhadap
pelakunya,
terdapat
unsur
kealahan
dalam
bentuk
kesengajaan atau kealpaan. Sehingga perbuatan tersebut dapat
dipertanggungjawabakan (harus ada unsur subjektif).
Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan.
Jika ia dipidana, tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan
terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan
kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan.Artinya
tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.
Dalam hukum pidana, konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan
konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran
kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktin mens rea dilandaskan pada
8
Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.
Pradnya Paramota : Jakarta, 1997. Hal. 31
Universitas Sumatera Utara
suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran
orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act
does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasa
asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana
seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus
reus),dan ada sikap batin jahat/tersela (mens rea). 9
Setiap orang yang melakukan tindak pidana, haruslah bertanggungjawab
akan perbuatannya. Tidak terlepas apakah pelaku tindak pidana tersebut
merupakan orang yang sudah dewasa, maupun orang yang belum dewasa.Selagi
tidak ada alasan penghapus pidana dalam perbuatannya tersebut, orang yang
melakukan tindak pidana harus dihukum.
2. Pengertian Tindak Pidana pemerkosaan terhadap Anak
Kejahatan merupakan suatu perbuatan kriminal yang dapat dilakukan oleh
seseorang.Pelaku kejahatan tidak hanya merupakan orang dewasa.Anak di bawah
umurpun tidak luput dari perbuatan kejahatan. Sehingga, untuk menanggulangi
kejahatan tesebut, tidak cukup hanya mengetahui apa saja sanksi-sanksi yang
diberikan kepada pelaku tindak pidana. Berbagai upaya preventif juga sangat
dibutuhkan untuk menanggulangi kejahatan tersebut.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam
penjelasan umumnya secara tegas dikatakan bahwaAnak adalah amanah sekaligus
karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam
dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus
9
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas
Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak “Citra Umbara” Bandung
Universitas Sumatera Utara
dijunjung tinggi. Hak Asasi Manusia (HAM) yang termuat dalam Undang-Udang
Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak.
Betapa pentingnya memahami Hukum Anak, dapat disimpulkan dari
konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Pengadilan Anak.
Dimana dikatakan anak adalah bagian dari Generasi Muda, sebagai salah satu
sumber daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan
bangsa.Dalam kedudukan demikian, anak memiliki peranan strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus.Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan
dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial
secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.
Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap
anak diperlukan dukungan, baik menyangkut kelembagaan maupun perangkat
hukum yang mantap dan memadai.Perlindungan anak dilihat dari segi pembinaan
generasi muda. Pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari
Pembangunan Nasional dan juga tercapainya tujuan Pembangunan Nasional, yaitu
masyarakat adil dan makmur serta aman sentosa berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 dengan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
KUHP mengatur anak sebagai korban pidana adalah belum genap berumur 15
(lima belas) tahun sebagaimana yang diatur dalam pasal-Pasal 285,287,290,293,
294, 295, 297 dan lain-lainnya. Pasal itu tidak mengkualisinya sebagai tindak
pidana, apabila dilakukan dengan/ terhadap anak yang belum berusia 15 (lima
belas) tahun.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut ditegaskan bahwa
setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)”
Universitas Sumatera Utara
Begitu juga dalam Pasal 82 ditegaskan bahwa setiap orang yang dengan
sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam
puluh juta rupiah)”
Selain dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak telah menegaskan tentang pemerkosaan terhadap anak sebagaimana telah
penulis paparkan diatas, pada KUHP juga dengan tegas dijelaskan pada Pasal 285
sebagaimanaberikut:
“Barang siapa dengan kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia
di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun penjara.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak
janin dalam kandungan sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.Bertitik tolak
dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, untuk
ini melakukan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan
asas-asas pada Pasal 2 (1) Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagai berikut :
a. Nondiskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan kepentingan;dan Penghargaan
terhadap pendapat anak.
Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak perlu peran
masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia
usaha,
Perlindungan
media
anak
massa,
atau
diusahakan
lembaga
oleh
setiap
pendidikan.
orangtua,
keluarga,masyarakat,pemerintah maupun Negara.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini termuat dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam
usaha perlindungan anak diatur dalamUndang-Undang Nomor.23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yaitu
1. Menghormati dan menjamin hak asasi anak tanpa membedakan suku, agama ,
ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan
kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau ,mental (Pasal 21)
2. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 22)
3. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara
umum bertanggungjawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan anak
(Pasal 23)
4. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat
sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24)
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Pemerintah yang merupakan perpanjangan dari tangan rakyat juga
memiliki
peranan
sangat
penting
dalam
upaya
memutuskan
rantai
kejahatan.Bukan hanya memberikan sanksi yang sangat tegas dan berat kepada
seseorang, melainkan pemerintah seharusnya menjadi tameng bagi masuknya
budaya asing yang bersifat negative.
Peraturan perundang-undangan merupakan aturan tertulis yang menjadi acuan
dasar dalam hukum Indonesia untuk menentukan apakah suatu perbuatan tersebut
merupakan suatu perbuatan pidana atau tidak.Hal tersebut dikarenakan sistem
hukum di Indonesia yang menganut sistem civil law, lebih mengutamakan hukum
Universitas Sumatera Utara
tertulis, dibandingkan dengan hukum yang tidak tertulis.Dalam hukum pidana,
terdapat berbagai macam unsur.
Unsur-unsur tersebut tertuang dalam peraturan-peraturan yang mengatur
mengenai adanya tindak pidana, baik itu kejahatan maupun pelanggaran.Pada
umumnya, unsur- unsur tersebut tertuang dalam peraturan perundang-undangan
pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan memiliki sanksi.Dalam
beberapa rumusan unsur-unsur tersebut ternyata menjadi suatu ciri khas dari
larangan tersebut, sehingga dapat dibedakan dengan jelas dengan perbuatan yang
tidak dilarang.Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsurunsur lahiriah atau fakta oleh perbuatan mengandung kelakuan dan akibat yang
ditimbulkan karenanya Sebuah perbuatan pidana tidak bisa begitu saja dikatakan
perbuatan pidana.
Lamintang menyatakan dalam merumuskan,perbuatan pidana tersebut akan
di kategorikan sebagai Tindak Pidana apabila Mengandung unsur melawan hukum
(wederrechtjek), telah dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja (aan schuldt te
wijten) dan dapat di hukum (strafbaar).
Duet Christine-Cansil menyebutkan dalam Tindak Pidana harus terdapat
Unsur-unsur sebagai berikut :
a. Bersifat Melanggar Hukum
b. Perbuatan Manusia
c. Diancam dengan Pidana
Universitas Sumatera Utara
d. Dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab 10
e. Terjadi karena adanya kesalahan
Sedangkan Moeljatno berpendapat bahwa perbuatan pidana terdiri dari unsurunsur sebagai berikut :
a. Adanya perbuatan
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c. Keadaan tambahan yang memperberat pidana
d. Unsur melawan hukum subjektif dan unsur melawan hukum objektif
Apabila dilihat dari pendapat Sarjana mengenai unsur-unsur pidana
sebagaimana telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana
mengandung unsur formil dan materil. Adapun unsur formil terdiri dari :
a. Adanya perbuatan manusia
Perbuatan manusia (Handeling) yang di maksud adalah perbuatan
manusia pada arti luas. artinya perbuatan manusia yang di maksud tidak
saja melakukan sesuatu .11 selain itu, perbuatan yang dilakukan oleh
badan Hukum,juga di anggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh
manusia sebagaimana maksud dari unsur ini. 12
b. Melanggar peraturan pidana
Terkait dengan perbuatan yang melanggar peraturan pidana atau
melanggar hukum terdapat empat makna yang berbeda-beda yang
masing-masing dinamakan sama, yaitu sebagai berikut :
10
Cansil dan christine Cansil. Pokok-pokok Hukum Pidana, Pradnya paramita : Jakarta, 2007. Hal
48
11
Cansil dan christine,Op.cit
12
Scaffmeister,keijzer dan sutoris, hukum pidana,liberty : Jogjakarta, 1995. hal 27
Universitas Sumatera Utara
1) Sifat melawan hukum formal
Artinya bahwa semua bagian atau rumusan dalam Undang-undang
telah terpenuhi.
2) Sifat melawan hukum materil
Sifat melawan hukum materil yaitu perbuatan tersebut telah
merusak atau melanggar kepentingan hukum yang dilindungi oleh
rumusan delik. dengan kata lain perbuatan tersebut bertentangan
dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
3) Sifat melawan hukum umum
Sifat melawan hukum umum berarti sifat ini sama dengan sifat
melawan hukum secara formil. hanya saja sifat melawan hukum
lebih menuju kepada aturan tak tertulis. dalam arti perbuatan
tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku umum pada
masyarakat,yaitu keadilan.
4) Sifat melawan hukum khusus
Sifat melawan hukum khusus ditemukan dalam Undang-undang,
hanya saja dalam bentuk yang tersirat. Undang-undang tidak
hanya menyebutkan peraturan tersebut secara jelas, akan tetapi
klausul yang terdapat undang-undang tersebut menunjukkan
bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
5) Sifat melawan hukum objektif dan subjektif
Universitas Sumatera Utara
Sifat melawan hukum objektif ini merupakan suatu unsur yang
menunjuk kepada keadaan lahir. sedangkan sifat melawan hukum
subjektif menunjuk kepada perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku. 13
c. Diancam dengan hukuman
Unsur tindak pidana yang tidak kalah penting adalah unsur hukuman atau
pidana. karena setiap perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana diancam dengan hukuman. bentuk pemberian hukuman ini
merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban pidana yang diberikan
kepada pelaku tindak pidana.
F. Metode Penelitian
Sistematika penulisan yang baik dan benar, haruslah menggunakan metode
penelitian yang benar. Adapun penelitian yang digunakan oleh penulis dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan
dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya.Untuk mendapatkan data yang
diperlukan sesuai dengan masalah yang diteliti, maka dalam hal ini penulis
menggunakan metode penelitian yang bila dilihat dari jenisnya dapat digolongkan
kedalam penelitian hukum normatif (yuridis normative). Yaitu merupakan
penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah berbagai peraturan perundang-
13
Moeljanto,Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang
diangkat dalam skripsi. Penelitian yuridis normative ini juga disebut dengan
penelitian hukum doctrinal.
2. Data dan Sumber Data
Data dan sumber data yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah
data sekunder. Adapun data sekunder tersebut diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari semua
dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak
berwenang, yaitu peraturan perundang-undangan. Baik di bidang
hukum pidana dan hukum acara pidana, antara lain Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 J.o Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Perundang-Undangan Lain yang
Berkaitan dengan perlindungan anak.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum pimer, yakni hasil karya para ahli
hukum berupa buku-buku dan pendapat-pendapat para sarjana. Dan
juga termasuk dokumen yang merupakan informasi atau bahan kajian
kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana pemerkosaan, seperti
modul, majalah hukum, dan karya tulis ilmiah.
c. Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan
Universitas Sumatera Utara
hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum,
ensiklopedia dan lain sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam skripsi ini digunakan metode studi pustaka (Library research).
Yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data
sekunder dengan cara menggali sumber-sumber tertulis, baik dari instansi yang
terkait, maupun buku literatur yang ada relevansinya dengan masalah penelitian
yang digunakan sebagai kelengkapan penelitian.
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif yang digambarkan secara
deskriptif, rangkaian kegiatan analisis data dimulai setelah terkumpulnya data
sekunder, kemudian disusun menjadi sebuah pola dan dikelompokan secara
sistematis.Analisis data lalu dilanjutkan dengan membandingkan data sekunder
terhadap data primer untuk mendapat penyelesaian permasalahan yang diangkat.
G. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus
diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa
tahapan yang disebut dengan bab. Dimana masing-masing bab dibagi dalam
beberapa sub bab yang masing-masing bab diuraikan masalahnya secara
tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan
yang lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan
keseluruhan kedalam 5 (lima) bab terperinci. Adapun sistematika penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
BAB I
:
Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang
segala hal yang bersifat umum dalam latar belakang,
kemudian dilanjutkan dengan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,
metode
penelitian,
dan
ditutup
dengan
memberikan
sistematika dari penulisan.
BAB II
:
Bentuk-bentuk kejahatan yang terjadi terhadap anak dibawah
umur menurut Undang-undang Perlindungan Anak No. 23
Tahun 2002 jo Undang-undang No. 35 Tahun 2014, dan
mengenai bentuk perlindungan terhadap anak dibawah umur
yang menjadi korban kejahatan.
BAB III
:
Membahas
mengenai
unsur-unsur
tindak
pidana
pemerkosaan, faktor-faktor penyebab anak di bawah umur
melakukan kejahatan, dan mengenai pertanggungjawaban
pidana anak yang di bawah umur yang melakukan
pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.
BAB IV
:
Membahas mengenai analisis kasus pemerkosaan yang
dilakukan oleh anak di bawah umur terhadap anak di bawah
umur, pada putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor
79/Pid.sus.anak/2015/PN.Mdn.
BAB V
:
Merupakan
bab
terakhir
yang
membahas
mengenai
kesimpulan dan saran. Dalam bab ini akan diuraikan tentang
kesimpulan dari seluruh penulisan yang telah diuraikan dalam
Universitas Sumatera Utara
bab-bab yang sebelumnya sekaligus memberikan saran-saran
terhadap data yang ada.
Universitas Sumatera Utara