Pertanggungjawaban Pidana Pemerkosaan Pelaku Anak Di Bawah Umur Terhadap Korban Anak Di Bawah Umur (studi putusan No. 79 Pid.Sus-anak 2015 PN-Mdn)

BAB II
PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN
A. Dasar Hukum Tentang Tindak Pidana Pemerkosaan Menurut KUHP
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan salah satu
konpilasi aturan hukum pidana yang menjadi pedoman pokok dalam menegakan
hukum pidana materil.KUHP sendiri merupakan hukum yang dibuat oleh Belanda
yang merupakan penjajah di negara Indonesia, dan diberlakukan kembali di
Indonesia dengan asas konkordansi.
KUHP, memberikan aturan terkait bentuk-bentuk pelanggaran, kejahatan
maupun bentuk-bentuk sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana.
Sehingga, dapat disebutkan KUHP ini merupakan salah satu kitab yang berisikan
mengenai kebijakan hukum pidana, yang bersifat umum, karena dewasa ini
beberapa pasal yang ada dalam KUHP sudah dicabut dan tidak diberlakukan lagi
dengan munculnya undang-undang yang mengatur lebih khusus. Undang-undang
tersebut akan dapat mengenyampingkan beberapa pasal di KUHP ini, dengan asas
lex spesialis derogate legi generalis.
KUHP, yang merupakan kitab undang-undang berisikan kebijakan hukum
pidana ini, dalam hal memberikan aturan mengenai perbuatan-perbuatan pidana,
bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat dan memberikan
keadilan kepada setiap pihak.

KUHP mengkategorikan tindak pidana pemerkosaan sebagai kejahatan
terhadap kesusilaan.Dalam hal tindak pidana kesusilaan, termuat berbagai pasal,
salah satunya adalah Pasal 287ayat (1) KUHP sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya
belum 15 tahun atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya
untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan
tahun”.
Pasal 288
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita
yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang
bersangkutan belum waktunya untuk kawin, apabila pebuatan tersebut
mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun
(2)Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana
penjara paling lama delapan tahun
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua

belas tahun.
Pasal 291
(1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan 290
mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama
dua belas tahun;
(2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 2 86, 287, 289 dan
290 mengakibatkan kematisn dijatuhkan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
Perlu diketahui bahwa, delik yang mengatur tindak pidana pemerkosaan
ini menurut KUHP merupakan delik aduan. Artinya, pelaku pemerkosaan baru
akan dapat dipidana, apabila adanya aduan dari korban ataupun keluarga korban
terkait terjadinya tindak pidana pemerkosaan tersebut.
Hanya saja, kelemahan yang ada dalam KUHP adalah, tidak diatur
mengenai perbuatan pemerkosaan tersebut dilakukan dengan membujuk atau
dengan tipu muslihat. Karena, perkembangan yang ada di Indonesia ini, tidak
sedikit kasus pemerkosaan tersebut dilakukan karena adanya bujukan, rayuan, tipu
muslihat, yang dilakukan oleh pelaku, karena adanya hubungan yang bebas antara
pelaku dan korban.

Universitas Sumatera Utara


KUHP membedakan antara pemerkosaan dan pencabulan. Perbuatan
pemerkosaan tersebut akan terjadi apabila terjadinya penetrasi kelamin antara satu
dengan lainnya. Sedangkan perbuatan cabul belum ada penetrasi.Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa perbuatan cabul dan pemerkosaan itu berbeda.
B. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 jo Undang-undang No. 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak
Kejahatan adalah masalah manusia dan gejala sosial karena dapat terjadi
dimana dan kapan saja dalam pergaulan hidup.Naik turunnya angka kejahatan
tersebut tergantung pada keadaan masyarakat, keadaan politik ekonomi, budaya
dan sebagainya.Kejahatan dapat dilihat dari berbagai perspektif.Dalam perspektif
sosiologis kejahatan merupakan suatu perbuatan yang melanggar atau tidak sesuai
dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.Selain itu, kejahatan juga
diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar undang-undang.
Aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, ataupun Lembaga
Peradilan, memiliki kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, untuk
melakukan pemberantasan kejahatan, dan untuk melakukan penegakan hukum.
Tujuan utama dari penegak hukum adalah untuk melindungi masyarakat.Akan
tetapi, sering terjadi perbedaan pandangan atau pendapat para aparatur penegak
hukum untuk menegakan hukum dalam suatu kasus.Sehingga, hukum yang

diterapkan

mengandung

kebenaran

yang

relative,

terkadang

bersifat

subjektif.Akibatnya, masyarakat yang menjadi korban. 14
Dalam masyarakat yang merupakan suatu organisasi publik, tidak hanya
orang dewasa yang kerap menjadi korban kejahatan.Anak dibawah umur menjadi
14

Ediwarman, Jurnal, “Paradoks Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif

Kriminologi di Indonesia”, Jurnal Kriminologi.Vol. 8, 2012.Hal. 39

Universitas Sumatera Utara

sasaran

empuk

menjadi

sasaran

kejahatan

dari

orang

yang


tidak

bertanggungjawab.Berdasarkan data dari Komis Perlindungan Anak (KPAI), pada
tahun 2015 terdapat sekitar 5.000 kasus kekerasan anak.Menurut data dari KPAI,
angka kejadian yang sebenarnya masih lebih tinggi.Sehingga butuh upaya ekstra
dan strategi yang jitu untuk menekan angka kasus kekerasan pada anak, termasuk
perlibatan masyarakat. 15
Anak kerap menjadi korban kejahatan karena anak mudah untuk
dipengaruhi.Anak tersebut juga belum mengetahui bagaimana perbuatan yang
baik dan bagaimana perbuatan yang buruk.Secara teoripun disebutkan bahwa id,
ego dan super ego anak di bawah umur belum stabil.Sehingga, pemerintah,
keluarga dan masyarakat harus melindungi anak dari kejahatan apapun.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-undang Nomor 35
Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, mengatur mengenai perbuatanperbuatan jahat yang dilakukan terhadap anak, dan memberikan sanksi pidana
kepada pelaku tindak pidana terhadap anak di bawah umur. Hal tersebut diatur
dalam BAB XII Tentang Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014.
Pasal 77 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Huruf a dan b berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :
a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami

kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi
sosialnya
b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial”
15

Kompas, Berita, “Menteri Yohana : Terus Meningkat. Kekerasan Pada Anak Bak
Fenomena
Gunung
Es”,
14
Februari
2016.
Http://Nasional.kompas.com/read/2016/02/14/14175531/Menteri.Yohana.Meningkat.Kekerasan.pa
da.Anak.bak.Fenomena.Gunung.es. Diakses pada tanggal 2 Mei 2016. Pukul 11:57

Universitas Sumatera Utara

Bentuk kejahatan yang tertuang dalam Pasal 77 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah perbuatan diskriminasi terhadap

anak dan penelantaran anak. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 77
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, bahwa perbuatan diskriminasi terhadap
anak dan penelantaran terhadap anak akan mengakibatkan rusaknya moril anak,
akan mengakibatkan penderitaan anak, dan juga akan merusak fungsi sosial bagi
anak. Sebenarnya, Undang-undang Dasar 1945 pun telah memberikan jaminan
atau perlindungan bagi setiap masyarakat termasuk anak, dari perbuatan
diskriminasi, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28I ayat (2) Undang-undang
Dasar 1945.Perlindungan yang bersifat diskriminatif tersebut merupakan salah
satu aplikasi perlindungan Hak Asasi Manusia.
Pengertian diskriminasi dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Mansuia tertuang dalam Pasal 1angka 3, yang menyatakan
diskriminasi adalah setiap pembatasan pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku,
ras, etnik. Kelompok, golongan, status, sosial, status ekonomi, jenis kelamin,
bahasa, keyakinan politik, yang berakiba pengurangan, penyimpangan atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan
dasar dalam kehidupan individu maupun kolektif.
Selain itu, Pasal 80 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 juga mengatur
mengenai bentuk kejahatan yang terjadi kepada anak. Pasal 80 ayat (1) berbunyi :
Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman

kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling
banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

Universitas Sumatera Utara

Dalam Pasal 80 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, menyebutkan bentuk kejahatan yang dilakukan adalah
kekerasan,

kekejaman,

ancaman

kekerasan

atau

penganiayaan


terhadap

anak.Sebenarnya KUHP telah mengatur mengenai tindak pidana penganiayaan,
yang tertuang dalam pasal 351 KUHP. Akan tetapi, setelah Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak berlaku, tindakan kekerasan
atau penganiayaan kepada anak di bawah umur, diancam dengan pidana
sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 80 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002. Karena, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 bersifat khusus, dan
mengenyampingkan KUHP yang merupakan peraturan perundang-undangan yang
bersifat umum. Hal tersebut sesuai dengan teori hukum yang menyatakan lex
spesialis derogate legi generali.
Selanjutnya, kejahatan terhadap anak dalam Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak tertuang dalam Pasal 81 ayat (1), yang
berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Dan, pada ayat 2 Pasal 81 Undang-undang Perlindungan anak tersebut,
menyatakan bahwa akan diberikan ancaman pidana yang sama, apabila ada
perbuatan yang

membujuk,

melakukan tipu

muslihat, agar

melakukan

persetubuhan dengannya. Klausul “melakukan persetubuhan” dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana pemerkosaan.

Universitas Sumatera Utara

Sekilas pasal tersebut hampir mirip dengan apa yang disebutkan dalam
KUHP pada Pasal 25 yang merupakan kategori kejahatan terhadap kesusilaan.
Hanya saja, Pasal 81 ayat (1) ini menjadi dasar lex spesialis apabila perbuatan
tersebut dilakukan terhadap anak.Jika dilihat, sanksi pidana yang diberikan kepada
pelaku tindak pidana yang memaksa, melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk bersetubuh dengan anak lebih berat dengan aturan yang telah
ditentukan oleh KUHP.Hal tersebut dikarenakan melihat bahwa yang menjadi
korban adalah anak di bawah umur.Dampak yang ditimbulkan dari perbuatan
tersebut terhadap anak di bawah umur lebih besar. Perbuatan tersebut akan
merusak moral dari anak dan merusak masa depan anak tersebut.
Kejahatan dalam kategori kejahatan kesusilaan ini, juga di atur dalam
pasal 82 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002. Pasal 82 Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Perbedaan yang terdapat antara perbuatan yang tertuang dalam Pasal 81
ayat (1) dan Pasal 82 adalah pada modus perbuatannya. Pada Pasal 81 ayat (1),
modus perbuatan yang diancam pidana adalah perbuatan yang mengancam,
melakukan kekerasan untuk bersetubuh dengan anak.Sedangkan Pasal 82
mengatur lebih luas mengenai kejahatan terhadap kesusilaan, yang memasukkan
unsur melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk melakukan perbuatan cabul.

Universitas Sumatera Utara

Selain cara yang dilakukan, perbedaan yang dapat dilihat adalah perbuatan
yang dilakukannyaa. Pada Pasal 81 ayat (1), perbuatan yang diancam pidana
adalah persetubuhan dengan anak, yang diartikan sebagai suatu tindakan dengan
memasukan alat kelamin pria (penis) ke dalam alat kelamin wanita
(vagina).Persetubuhan yang dimaksud, dapat dikatakan sebagai tindakan
pemerkosaan dalam arti sempit.Sedangkan Pasal 82 mengatur perbuatan yang
lebih luas, yaitu melakukan perbuatan cabul. Perbuatan cabul menurut R. Soesilo
adalah perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan), atau perbuatan yang
keji, dimana semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya
ciuman, meraba anggota kemaluan dan meraba buah dada dan sebagainya. 16
Kejahatan yang terjadi terhadap anak yang di atur dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 adalah kejahatan mengenai eksploitasi anak.Pasal yang
mengatur mengenai eksploitasi anak diatur dalam :
Pasal 83 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, berbunyi :
Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk
diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 84 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, berbunyi :
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
Pasal 85 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, berbunyi :

16

R. Soesilo, Op.cit. Hal. 212

Universitas Sumatera Utara

(1) Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan
tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan
organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan
kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak
sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak
mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 88 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, berbunyi :
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Sebenarnya, mengenai perdagangan manusia ini telah diatur secara
eksplisit oleh Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pada Pasal 6 Undang-undang Nomor 21
Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang
melarang setiap orang untuk melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar
negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi. Pasal
1 ayat 7 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang mendefinisikan eksploitasi sebagai berikut :
“Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang
meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran,kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan, atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan,
pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum
memindahkan atau mentranspalasi organ dan/atau jaringan tubuh atau
memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan baik materil maupun immaterial”.
Jika dilihat Pasal 83, Pasal 84 dan Pasal 85 Undang-undang Nomor 23
Tahun

2002

Tentang

Perlindungan

anak,

merupakan

suatu

perbuatan

Universitas Sumatera Utara

pengeksploitasian anak. Berdasarkan asas hukum lex fosterior derogate legi
priori, tentunya pasal mengenai eksploitasi anak dalam Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 tidak berlaku. Karena Pasal 6 Undang-undang Nomor 21 Tahun
2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, merupakan
undang-undang yang lebih baru. Akan tetapi, Undang-undang Nomor 21 Tahun
2007

Tentang

Pemberantasan

Tindak

Pidana

Perdagangan

Orangtidak

menyatakan peraturan sebelumnya terkait dinyatakan tidak berlaku atau
tidak.Permasalahan ini menjadi ambiguitas dalam aturan hukum mengenai
kejahatan anak.
Selanjutnya, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 juga mengatur
kejahatan yang dikategorikan dalam kejahatan terhadap agama.Anak belum
memiliki pemikiran yang matang dan pengetahuan yang cukup.Sehingga, anak
tersebut harus dilindungi dari tipu muslihat yang mengakibatkan anak tersebut
berpindah agamanya.Bentuk kejahatan ini tertuang dalam Pasal 86 Undangundang Nomor 23 Tahun 2002.
Ketidak matangan anak juga sering dijadikan alat oleh pihak yang tak
bertanggungjawab. Bentuk kejahatan selanjutnya adalah kejahatan yang
memperalat anak secara melawan hukum dengan cara merekrut anak demi
kepentingan militer, yang tertuang dalam pasal 87 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak telah
mengalami perubahan, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 35
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014

Universitas Sumatera Utara

Tentang Perlindungan Anak. Akan tetapi, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014
tidak menambahkan bentuk-bentuk kejahatan yang belum di atur dalam Undangundang Nomor 22 Tahun 2014, dan tidak pula menghapus bentuk-bentuk
kejahatan terhadap anak dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002.
Perbedaannya adalah, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 mengklasifikasikan
bentuk kejahatan terhadap anak dalam satu BAB Tentang Larangan, yang tertuang
dalam Pasal 76A sampai dengan 76J.
Bentuk kejahatan terhadap anak beserta sanksi tindak pidana yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-undang Nomor 35
Tahun 2014, merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memberantas
kejahatan terhadap anak.
Sebagai kaidah atau norma, hukum dapat dirumuskan sebagai himpunan
petunjuk hidup, perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu
masyarakat.Dari definisi dari hukum tersebut, dapat diartikan bahwa hukum
sebagai kaidah bermaksud mengatur tata tertib masyarakat. Di situlah tampak apa
yang menjadi tanda hukum, yaitu perintah atau larangan yang setiap orang
seharusnya mentaatinya. 17
Hukum merupakan suatu kaidah, yang mana merupakan suatu wadah
masyarakat untuk mencari keadilan sehingga tercipta suasana kemakmuran di
kalangan masyarakat.
Manusia yang merupakan zoon politicon, dalam bermasyarakat akan selalu
berhubungan dengan satu sama lain. Setiap manusia tersebut akan berjalan dengan

17

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT. Ichtiar Baru : Jakarta, 1983. Hal. 3

Universitas Sumatera Utara

kehendaknya. Dan terkadang, kehendak dari satu orang akan bertentangan dengan
kehendak orang lain. Maka dari itu perlu sebuah peraturan yang menjadi
barometer dalam mengatur perbuatan mana yang dibenarkan dan perbuatan mana
yang tidak dibenarkan, dan disinilah salah satu peran hukum itu.
Dalam hubungan masyarakat yang terjadi, tidak tertutup kemungkinan
orang akan melakukan kejahatan. Dimana kejahatan tersebut akan banyak
merugikan orang lain. sifat premanisme merupakan sifat yang dimiliki oleh
manusia, yang disebabkan oleh berbagai faktor. Premanisme berarti suatu perilaku
menyimpang yang dilakukan oleh suatu kelompok orang-orang yang melanggar
norma-norma sosial dan norma-norma hukum dalam masyarakat. 18
Tak sedikit dari sifat premanisme yang ada dalam masyarakat, yang
menimbulkan korban.Wanita, anak di bawah umur, bakan lelaki dewasapun kerap
menjadi mangsa dari sifat tercela ini.Sehingga, peranan hukum sangat penting
untuk melindungi masyarakat lainnya.Anak merupakan salah satu korban terbesar
dari sifat premanisme ini.Sehingga, perlu suatu upaya untuk melindungi anak dari
sifat premanisme yang dominan dalam dunia kejahatan.
Anak menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.Anak merupakan anugerah
tuhan yang maha esa. Apabila ditinjau dari segi kebangsaan, anak merupakan
generasi penerus, yang akan memikul beban dan tanggungjawab yang besar
kedepannya. Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-

18

Ediwarman, Op.cit. Hal. 23

Universitas Sumatera Utara

cita bangsa, calon-calon pemimpim bangsa di masa yang akan datang, dan
merupakan sumber harapan dari generasi terdahulu, perlu mendapatkan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar,
baik secara jasmani, rohani, dan sosial. 19
Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan
masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari pentingnya
anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari.Hukum merupakan jaminan bagi
kegiatan perlindungan anak.Arif Gosita mengemukakan, bahwa kepastian hukum
perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah
penyelewengan yang membawa akibat negative yang tidak diinginkan dalam
pelaksanaan perlindungan anak. 20
Pengertian perlindungan anak dapat dirumuskan sebagai berikut : 21
1. Suatu perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. keadilan
ini merupakan keadilan sosial, yang merupakan dasar perlindungan
anak.
2. Suatu usaha bersama melindungi anak untuk melaksanakan hak dan
kewajibannya secara manusiawi dan positif.
3. Suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.
Menurut proporsi yang sebenarnya, secara dimensional perlindungan
anak beraspek mental, fisik, dan sosial. Hal ini berarti bahwa

19

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak (Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia), PT. Refika Aditama : Bandung, 2014. Hal. 40
20
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademi Pressindo : Jakarta, 1989. Hal.19.
Dalam Maidin Gultom, Ibid.
21
Arif Gosita, Jurnal Hukum, “Aspek Hukum Perlindungan Anak dan Konvensi Hak-hak
Anak”, Era Hukum, Jurnal Ilmu Hukum. No. 4/Th.V/April/1999 : Jakarta, 1999. Hal. 264-265.

Universitas Sumatera Utara

pemahaman, pendekatan dan penanganan anak dilakukan secara
integratif, interdisipliner, intersektoral, dan interdepartemental.
4. Suatu hasil interaksi antara pihak-pihak tertentu, akibat adanya suatu
interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhinya. Jadi
perlu diteliti, dipahami, dan dihayati siapa saja yang terlibat sebagai
komponen pada eksistensi perlindungan anak tersebut. selain itu, perlu
juga diteliti, dipahami dan dihayati gejala mana saja mempengaruhi
adanya perlindungan anak. Perlindungan anak merupakan permasalahan
yang rumit

dan sulit

penanganannya, sehingga dalam upaya

penanggulangannya harus dilakukan secara bersama-sama.
5. Dapat merupakan suatu tindakan hukum yang dapat mempunyau akibat
hukum yang harus diselesaikan dengan berpedoman dan berdasarkan
hukum. Perlu adanya pengaturan berdasarkan hukum untuk mencegah
dan menindak pelaksanaan perlindungan anak yang menimbulkan
penderitaan mental, fisik, dan sosial pada anak yang bersangkutan.
Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan
memerhatikan
sendiri.Sehingga

dampaknya

terhadap

usaha

perlindungan

lingkungan
yang

maupun

dilakukan

diri
tidak

anak

itu

berakibat

negative.Perlindungan anak dilaksanakan rasional, bertanggungjawab, dan
bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien. Usaha
perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreativitas, dan
hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berprilaku

Universitas Sumatera Utara

tak terkendali, sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemauuan
menggunakan hak-haknya dana melaksanakan kewajibannya.
Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian, yaitu: 22
1. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi perlindungan
dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan.
2. Perlindungan anak

yang

bersifat

non

yuridis,

yang

meliput i

perlindungan dalam bidang sosial, kesehatan, dan bidang pendidikan.
Dalam upaya perlindungan anak, terdapat dua perumusan tentang
perlindungan anak, yaitu : 23
1. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang
maupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan
pengamanan, penguasaan, pemenuhan kesejahteraan fisik, mental dan
sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak
asasinya.
2. Segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh
perorangan, keluarga, masyaralat, badan-badan pemerintah dan swasta
untuk pengamanan, pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah
dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum menikah,
sesuai

dengan

hak

asasi

dan

kepentingannya

agar

dapat

mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.
Dalam rangka upaya perlindungan anak, sebenarnya menjadi kewajiban
bersama antara keluarga, masyarakat, dan negara.Pasal 20 Undang-undang Nomor
22

Ibid. Hal. 41
Irma Setyowati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara : Jakarta,
1990. Hal.14
23

Universitas Sumatera Utara

23 Tahun 2002 menyebutkan “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan
orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak”.
Dalam mengusahakan perlindungan anak, setiap anggota keluarga,
masyaraka sesuai dengan kemampuan dan dengan berbagai macam usaha dalam
situasi dan kondisi tertentu, tetap menjadi kewajiban dalam melakukan upaya
perlindungan anak, kebahagiaan anak merupakan kebahagian yang melindungi.
Kesejahteraan anak mempunyai pengaruh positif terhadap orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.perlindungan anak bermanfaat bagi
anak dan orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.koordinasi kerja
sama kegiatan perlindungan anak perlu dilakukan dalam rangka mencegah ketidak
seimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan. 24
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
menjadi salah satu bentuk usaha yuridis yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk
melakukan perlindungan terhadap anak dari kejahatan. Dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002, kewajiban-kewajiban negara sebagai organisasi terbesar
kemasyarakatan terhadap perlindungan anak adalah sebagai berikut :
1. Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung

jawab

menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa,
status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau
mental

24

Maidin Gultom, Op.cit. Hal. 46

Universitas Sumatera Utara

2. Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab
memberikan

dukungan

sarana

dan

prasarana

dalam

penyelenggaraan perlindungan anak
3. Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan
kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban
orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung
jawab terhadap anak.
4. Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan
anak.
5. Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan
haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan
tingkat kecerdasan anak
Peranan terpenting dari negara terhadap perlindungan anak adalah dengan
cara memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak. Pemerintah telah membentuk lembaga-lembaga sosial seperti
Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Dalam lembaga sosial tersebut, anak yang
merupakan pelaku kejahatan akan diberikan pelatihan atau kerja-kerja sosial, guna
bekal masa depan si anak.
Selain pemerintah, masyarakat juga memiliki kewajiban dalam melindungi
anak dari korban kejahatan.Maasyarakat merupakan organisasi yang selalu
berhubungan antara satu sama lain. Masyarakat juga menjadi dasar pembentukan
kepribadian seseorang.Sikap dan sifat seseorang, selain dipengaruhi oleh
keluarganya, juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar. Orang yang

Universitas Sumatera Utara

berada dilingkungan yang baik akan memiliki kepribadian yang baik pula. Selain
itu, Orang yang berada di lingkungan yang kurang baik, akan terkontaminasi
dengan lingkungan tersebut.
Pengaruh masyarakat, telah dijelaskan dalam faktor-faktor kejahatan yang
menyebutkan salah satu penyebab orang menjadi jahat adalah faktor lingkungan
(milliu).Penyebab kejahatan selain terletak pada pelakunya sendiri, juga karena
pengaruh lingkungan pergaulannya di tengah-tengah masyarakat.naik turunnya
kejahatan tergantung pada keadaan masyarakat, pergaulan masyarakat begitu pula
keadaan keluarga.Tumbuhnya seseorang dalam pergaulan kelompok yang
melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum, adalah karena individu yang
bersangkutan menyetujui pola perilaku yang melanggar hukum, dibandugn dari
pola perilaku lainnya yang normal. 25
Seharusnya, masyarakat yang baik adalah masyarakat yang dapat
memberikan pengaruh positif terhadap orang lain. Masyarakat bukan hanya
menjadi salah satu faktor anak menjadi jahat.Dalam masyarakat banyak terdapat
kejahatan-kejahatan.Anak, merupakan manusia yang belum memiliki kemampuan
untuk menelaah yang baik dan yang buruk, akan rentan terhadap pengaruh
kejahatan, dan juga rentan menjadi korban kejahatan. Masyarakat yang juga
merupakan organisasi terbesar di suatu negara tersebut, memiliki peranan penting
dalam upaya perlindungan anak.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
menyebutkan masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dalam
25

Ninik Widayanti dan Yulius Wastika, Kejahatan Dalam Masyarakat dan
Pencegahannya, Bina aksara : Jakarta, 1987. Hal. 50

Universitas Sumatera Utara

perlindungan anak.Karena masyarakat adalah sarana pergaulan bagi anak tersebut.
Dalam Pasal 25 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 disebutkan “Kewajiban
dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui
kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak”.
Masyarakat yang dimaksud oleh Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002,
tidak hanya masyarakat yang berada di suatu wilayah.Masyarakat yang dimaksud
merupakan masyarakat dalam arti luas.Pasal 72 ayat (2) menjelaskan bahwa
masyarakat yang berperan dalam perlindungan anak adalah orang perseorangan,
lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya
masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media
masa.
Peran serta masyarakat dalam perlindungan anak dengan cara sebagai
berikut :26
1. Memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenai hak
anak dan peraturan perundang-undangan tentang anak
2. Memberikan masukan dalam perumusan kebijakan yang terkait
perlindungan anak
3. Melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran hak anak
4. Berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan re-itegrasi sosial bagi anak
5. Melakukan pemantauan, pengawasan dan ikut bertanggungjawab
terhadap penyelenggaraan perlindungan anak

26

Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak, Artikel, “Peran Serta Masyarakat Dalam
Perlindungan
Anak”,
KPPA
Provinsi
Kepulauan
Riau,
Diakses
pada
2015.Http://kppadkepri.or.id/2015/07peran-serta-masyarakat-dalam.html?m=1
tanggal 3 Mei 2016. Pukul 09:05 WIB

Universitas Sumatera Utara

6. Menyediakan sarana dan prasarana serta menciptakan suasana kondusif
untuk tumbuh kembang anak
7. Berperan aktif degan menghilangkan pelabelan negative terhadap anak
korban
8. Memberikan ruang kepada anak untuk dapat berpartisipasi dan
menyampaikan pendapat.
Selain masyarakat, peranan terpenting dalam perlindungan anak terdapat
pada orang keluarga dan orang tua. Kewajiban keluarga dan orang tua dalam
melindungi anak, tertuang dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang perlindungan anak sebagai berikut :
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat,
dan minatnya
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya,
atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan
tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga,
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Kejahatan yang sering terjadi terhadap anak dibawah umur adalah
pemerkosaan.Anak tidak memiliki kapasitas untuk melakukan perlawanan
terhadap pelaku pemerkosaan terssebut.Sehingga, anak di bawah umur kerap
menjadi sasaran oknum yang tidak bertanggungjawab.
Peranan masyarakat, negara, orang tua dan keluarga sangat diperlukan
dalam kejahatan yang satu ini.Masyarakat, negara, orang tua dan keluarga,
seharusnya dapat memberikan perlindungan yang lebih kepada anak.Mengingat,

Universitas Sumatera Utara

angka kejahatan terhadap anak, khususnya kejahatan pemerkosaan atau kejahatan
terhadap kesusilaan kian meningkat.
Keluarga, yang merupakan tameng utama untuk melindungi anak dari
korban kejahatan terhadap anak, seharusnya membekali anak tersebut dengan
pendidikan yang cukup, pengetahuan agama yang cukup, dan memberikan
perhatian terhadap anak.
Tidak sedikit kasus pemerkosaan terjadi terhadap anak, dikarenakan
pergaulan anak tersebut terlalu bebas.Globalisasi, menjadi salah satu faktor
pendorong

kejahatan

kesusilaan

tersebut.Orang

tua

perlu

memberikan

pengawasan yang ketat terhadap pergaulan anak.Mengingat, terdapat beberapa
kasus pemerkosaan terjadi terhadap anak di bawah umur, dikarenakan faktor
pergaulan yang terlalu bebas, tanpa ada pengawasan yang ketat dari keluarga dan
orang tua. Anak di bawah umur yang belum memiliki kematangan dalam berfikir,
mempermudah pengaruh-pengaruh negatif akan masuk kedalam otak si anak.
Salah satu contoh kasus adalah kasus pemerkosaan atau Tindak Pidana
Pemerkosaan Pelaku anak di bawah umur terhadap korban anak di bawah umur di
Medan,

pada

Putusan

Pengadilan

Negeri

Medan

Nomor

79/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Mdn. Pada kasus tersebut, Pemerkosaan terhadap anak
di bawah umur, dilakukan oleh anak di bawah umur. Diketahui pada putusan
tersebut bahwa perbuatan tersebut terjadi tanpa adanya paksaan dari pihak
manapun, dan terjadi karena hubungan percintaan dari anak tersebut, serta adanya
pengaruh globalisasi seperti internet.

Universitas Sumatera Utara

Untuk menghindari perbuatan-perbuatan tersebut, disinilah peran orang
tua, keluarga serta masyarakat, untuk melindungi anaknya, bukan hanya dari
kejahatan, melainkan dari dampak negatif globalisasi yang mengakibatkan
timbulnya kejahatan tersebut.Sedangkan peranan dari negara adalah dengan
memberikan fasilitas-fasilitas pendidikan, perlindungan, serta aturan-aturan
normatif

yang

mengancam

perbuatan

tersebut

sebagai

upaya

represif

penanggulangan kejahatan. Namun, pemerintah yang hanya mampu memberikan
fasilitas tidak akan optimal dalam melindungi anak dari korban kejahatan tanpa
adanya dukungan atau partisipasi dari masyarakat, orang tua dan keluarga anak.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pelimpahan Hak Asuh Anak Di Bawah Umur Kepada Bapak Akibat Perceraian (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor:411/Pdt.G/2012/PN.Mdn)

15 223 118

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)

5 97 123

Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Di Bawah Umur ( Studi Putusan PN No. 609/Pid.B/2011/PN Mdn )

3 73 99

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK YANG MASIH DI BAWAH UMUR Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Yang Masih Di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

0 5 19

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK YANG MASIH DI BAWAH UMUR Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Yang Masih Di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

0 6 12

Pertanggungjawaban Pidana Pemerkosaan Pelaku Anak Di Bawah Umur Terhadap Korban Anak Di Bawah Umur (studi putusan No. 79 Pid.Sus-anak 2015 PN-Mdn)

0 0 7

Pertanggungjawaban Pidana Pemerkosaan Pelaku Anak Di Bawah Umur Terhadap Korban Anak Di Bawah Umur (studi putusan No. 79 Pid.Sus-anak 2015 PN-Mdn)

0 0 1

Pertanggungjawaban Pidana Pemerkosaan Pelaku Anak Di Bawah Umur Terhadap Korban Anak Di Bawah Umur (studi putusan No. 79 Pid.Sus-anak 2015 PN-Mdn)

0 0 22

Pertanggungjawaban Pidana Pemerkosaan Pelaku Anak Di Bawah Umur Terhadap Korban Anak Di Bawah Umur (studi putusan No. 79 Pid.Sus-anak 2015 PN-Mdn) Chapter III V

0 0 39

Pertanggungjawaban Pidana Pemerkosaan Pelaku Anak Di Bawah Umur Terhadap Korban Anak Di Bawah Umur (studi putusan No. 79 Pid.Sus-anak 2015 PN-Mdn)

0 0 3