Pelimpahan Hak Asuh Anak Di Bawah Umur Kepada Bapak Akibat Perceraian (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor:411/Pdt.G/2012/PN.Mdn)

(1)

PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR KEPADA BAPAK AKIBAT PERCERAIAN

(ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI Nomor:411/Pdt.G/2012/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan

memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana hukum

Oleh

Indri Hafni Paramita Harahap NIM. 100200190

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR KEPADA BAPAK AKIBAT PERCERAIAN

(ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI Nomor:411/Pdt.G/2012/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan

memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana hukum

Oleh

Indri Hafni Paramita Harahap NIM. 100200190

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.hum NIP. 196603031985091001

Pembimbing I Pembimbing II

Dr .H.Hasim Purba,SH,M.hum Dr. Rosnidar Sembiring,SH.,Mhum

NIP. 1966033185081001 NIP. 196602021991032002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

Indri Hafni Paramita Harahap1 Dr. H. Hasim Purba, SH. M.Hum** Dr. Rosnidar Sembiring, SH. M.hum***

Penelitian ini untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Medan dalam memeriksa dan mengadili Putusan Nomor : 411/Pdt.G/2012/PN.Mdn mengenai pelimpahan hak asuh anak akibat perceraian kepada bapak. Dimana menurut hukum seharusnya seorang ibu yang memegang kuasa asuh anak di bawah umur.

Penelitian ini bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum normatif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui penelitian putusan hakim serta penelitian kepustakaan, baik buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, dan sebagainya. Analisis data menggunakan teknik analisis data yang logis. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan maka disimpulkan bahwa yang menjadi dasar hukum pertimbangan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara atas hak asuh anak setelah perceraian kepada bapak adalah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 dimana isi dari pasal-pasal tersebut saling berkaitan dalam penentuan hak asuh anak setelah perceraian kepada bapak.

Hasil penelitian putusan didapati bahwa Hakim dalam memutus melihat faktor-faktor yang menyangkut keadaan individu dari si pemelihara itu secara teliti serta anak yang akan dipelihara; dengan suatu pertimbangan dan melihat secara teliti tentang perbedaan antara kedua orang tua yang menjadi sebab mengapa Pengadilan menjatuhkan pilihannya kepada siibu atai sibapak. Baik ditinjau dari segi faktor kesalahan siapa yang menjadi sebab terjadinya perceraian. Disamping itu juga faktor lingkungan dan kelakuan dari ibu atau bapak tersebut. Demikian juga faktor kemampuan memberi kesempatan yang baik dan memberi kesenangan ditinjau dari segi sosial ekonomi pemeliharaan, umur anak-anak serta jenis kelamin anak-anak-anak-anak, kepastiannya akan pendidikan dan kehidupan yang layak. Maka melihat dari itu Hakim memutus perkara Tetapi atas orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh, tidak dapat dihalangi untuk bertemu anaknya asal tidak menimbulkan kerusakan moral pada si anak itu nantinya. Maka atas pertimbangan tersebut Hakim memutuskan Bapaklah sebagai pemegang hak asuh anak atas Putusan Nomor : 411/Pdt.G/2012/PN.Mdn, dimana si Ibu dinilai Hakim kurang baik apabila diberikan kuasa asuh atas anak Penggugat dan Tergugat.

Baiknya apabila pemerintah lebih aktif memberikan penyuluhan hukum mengenai percereraian,terutama mengenai akibat-akaibatnya terhadap anak agar nantinya tumbuh masyarakat yang sejahtera dan aman serta terhindar dari perceraian karena keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat.

Kata Kunci: Perceraian, Hak Asuh Anak, Hukum Perdata

1

Mahasiswa Fakultas Hukum USU


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala berkat, nikmat, karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang menjadi sumber inspirasi dan motivasi dalam menjalankan hidup ini.

Menjadi suatu kewajiban bagi setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi, dan untuk itu penulis menyusun suatu skripsi yang berjudul “Pelimpahan Hak Asuh

Dibawah Umur Kepada Bapak Akibat Perceraian (Analisis Putusan

Pengadilan Negeri Nomor: 411/Pdt.G/2012/PN.Mdn”.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof.Dr.Runtung, S.H. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H. M.Hum, selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syafruddin, S.H. M.H. D.F.M selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Muhammad Husni, S.H. M.Hum selaku Pembantu Dekan III


(5)

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba S.H. M.Hum selaku Ketua Departemen

Hukum Keperdataan sekaligus juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah memeriksa dan memperbaiki kesalahan-kesalahan pada skripsi ini dan kemudian memberikan pengetahuan serta arahan dan nasehat kepada penulis dalam proses awal hingga akhir skripsi ini.

6. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, S.H. M.hum selaku Dosen Pembimbing

II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan serta memberi saran dan nasehat kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini. 7. Bapak Dr. Mirza Nasution, S.H. M.hum selaku dosen Pembimbing

Akademik saya yang membantu saya menyelesaikan studi dan menyusun rencana studi sejak semester pertama sampai pada saat akhir semester saya ini.

8. Bapak/Ibu para dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dimana penulis menimba ilmu selama ini. 9. Buat papa dan mama tercinta H.M Hanafiah Harahap, S.H. dan Hj.

Kasriati, S.E. M.si yang telah mendidik dan membesarkan penulis

dengan penuh kasih sayang dan kesabaran serta memberikan semangat, motivasi dan dukungan materi kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

10.Buat adik-adikku tersayang M. Andre Aulia Harahap dan M. Ridho

Akbar Harahap yang memberikan semangat selama ini kepada


(6)

11.Kepada Denny Syahri Lubis yang selalu memberikan motivasi dan menemani penulis dalam merampungkan penulisan skripsi ini.

12.Kepada Tantri Ayu, Muhza Lubis A.md, Astrid Nurrahma S.Mn, Dara Reigina, Mutia Ramadhani S.H., Hani Riadho Nst., Tiffany Yessa, dan Prasti Windika Syafitri S.ked. yang memberikan semangat dan bantuan kepada penulis selama ini.

13.Kepada segenap teman-teman kumpulan “Kaca Besar”, teman-teman seperjuangan angkatan 2010 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan teman teman jurusan Keperdataan.

Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat berguna dan dimanfaatkan baik secara teori maupun praktek ilmu hukum. Penulis juga mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang berminat dengan topik skripsi ini guna pendidikan dan penelitian ilmu hukum dimasa mendatang.

Medan, Maret 2014 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 11

C. Tujuan Penulisan ... 11

D. Manfaat Penulisan ... 12

E. Keaslian Penulisan ... 13

F. Metode Penulisan ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN…………. 17

A. Definisi Perceraian ... 18

B. Dasar Hukum Perceraian ... 25

C. Akibat Hukum Perceraian ... 29

D. Hak dan Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orangtuanya……….………... 39

E. Perceraian Menurut Putusan Pengadilan Negeri Nomor 411/Pdt.G/2012/Pn.Mdn……... 42


(8)

BAB III HAK ASUH DAN PEMELIHARAAN ANAK DI BAWAH

UMUR SEBAGAI AKIBAT DARI PERCERAIAN………. 48

A. Pengertian Hak Asuh dan Pemeliharaan Anak Di Bawah Umur ... 48

B. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak yang Masih Di Bawah Umur ... 54

C. Hak Asuh Anak Di Bawah Umur Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak ... . 60

BAB IV HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR KEPADA BAPAK 64 A. Penentuan Tanggung Jawab, Hak Asuh, dan Pemeliharaan Terhadap Anak Di Bawah Umur pada Putusan Pengadilan Negeri No: 411.Pdt.G/2012.Pn.Mdn ... …. 64

B. Pertimbangan Hakim Mengabulkan Tuntutan Hak Asuh Anak yang Diajukan Suami ... 92

C. Hak Menemui Anak-Anak (Droit de Visite) ... 102

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN…... 106

A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 107 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(9)

ABSTRAK

Indri Hafni Paramita Harahap1 Dr. H. Hasim Purba, SH. M.Hum** Dr. Rosnidar Sembiring, SH. M.hum***

Penelitian ini untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Medan dalam memeriksa dan mengadili Putusan Nomor : 411/Pdt.G/2012/PN.Mdn mengenai pelimpahan hak asuh anak akibat perceraian kepada bapak. Dimana menurut hukum seharusnya seorang ibu yang memegang kuasa asuh anak di bawah umur.

Penelitian ini bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum normatif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui penelitian putusan hakim serta penelitian kepustakaan, baik buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, dan sebagainya. Analisis data menggunakan teknik analisis data yang logis. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan maka disimpulkan bahwa yang menjadi dasar hukum pertimbangan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara atas hak asuh anak setelah perceraian kepada bapak adalah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 dimana isi dari pasal-pasal tersebut saling berkaitan dalam penentuan hak asuh anak setelah perceraian kepada bapak.

Hasil penelitian putusan didapati bahwa Hakim dalam memutus melihat faktor-faktor yang menyangkut keadaan individu dari si pemelihara itu secara teliti serta anak yang akan dipelihara; dengan suatu pertimbangan dan melihat secara teliti tentang perbedaan antara kedua orang tua yang menjadi sebab mengapa Pengadilan menjatuhkan pilihannya kepada siibu atai sibapak. Baik ditinjau dari segi faktor kesalahan siapa yang menjadi sebab terjadinya perceraian. Disamping itu juga faktor lingkungan dan kelakuan dari ibu atau bapak tersebut. Demikian juga faktor kemampuan memberi kesempatan yang baik dan memberi kesenangan ditinjau dari segi sosial ekonomi pemeliharaan, umur anak-anak serta jenis kelamin anak-anak-anak-anak, kepastiannya akan pendidikan dan kehidupan yang layak. Maka melihat dari itu Hakim memutus perkara Tetapi atas orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh, tidak dapat dihalangi untuk bertemu anaknya asal tidak menimbulkan kerusakan moral pada si anak itu nantinya. Maka atas pertimbangan tersebut Hakim memutuskan Bapaklah sebagai pemegang hak asuh anak atas Putusan Nomor : 411/Pdt.G/2012/PN.Mdn, dimana si Ibu dinilai Hakim kurang baik apabila diberikan kuasa asuh atas anak Penggugat dan Tergugat.

Baiknya apabila pemerintah lebih aktif memberikan penyuluhan hukum mengenai percereraian,terutama mengenai akibat-akaibatnya terhadap anak agar nantinya tumbuh masyarakat yang sejahtera dan aman serta terhindar dari perceraian karena keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat.

Kata Kunci: Perceraian, Hak Asuh Anak, Hukum Perdata

1

Mahasiswa Fakultas Hukum USU


(10)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang pada umumnya berniat untuk menikah sekali seumur hidupnya saja. Namun pada kenyataannya justru tidak demikian. Tidak sedikit pasangan suami-istri, yang akhirnya harus memilih berpisah alias bercerai. Faktor ketidakcocokan dalam sejumlah hal, berbeda persepsi serta pandangan hidup, paling tidak ,menjadi beberapa penyebab terjadinya perceraian2

Menurut pasal 38 Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa Perkawinan dapat putus karena a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas keputusan Pengadilan.3

Penyebab putusnya perkawinan karena kematian disebabkan oleh karena salah satu dari suami/istri atau bahkan kedua-duanya telah meninggal dunia terlebih dahulu, sehingga pernikahan menjadi putus.

Putusnya perkawinan disebabkan karena terjadinya perceraian disebabkan beberapa hal sebagai berikut yaitu :

a. Zinah.

b. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk.

c. Dikenakan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi, setelah dilangsungkannya perkawinan.

2

Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai. Yogyakarta : Pustaka Yudistia, 2007, hal. 11.

3


(11)

d. Pencederaan berat atau penganiayaan, yang dilakukan oleh salah seorang dari suami istri terhadap yang lainnya, sehingga membahayakan keselamatan jiwa atau mengakibatkan luka-luka yang serius dan membahayakan kesehatan.

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.4

Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan merupakan putusan perkawinan berdasarkan keputusan yang dutetapkan oleh hakim pengadilan. Dan juga disebakan oleh karena salah satu pihak dalam perkara perceraiannya tidak hadir dalam putusan perceraiannya.

Anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut merupakan anak sah sesuai dengan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.5

Dalam suatu lembaga perkawinan telah ditentukan bahwa anak-anak adalah tanggung jawab suami dan istri sebagai bapak dan ibu dari anak-anak tersebut, tanggung jawab ini terus berlangsung sepanjang perkawinan atau sampai anak itu dewasa. Tetapi seperti yang telah penulis utarakan di atas, perkawinan yang dimaksud itu dapat juga menimbulkan masalah bagi anak-anak sebagai akibat dari perceraian kedua orang tuanya. Dan hal ini menjadi masalah pula bagi kedua orang

4


(12)

tua yang bercerai tersebut yaitu anak-anak yang belum dapat menilai kepada siapa mereka akan diasuh, apakah diserahkan kepada bapak atau ibunya.

Pada pasal 41 huruf a Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), yang berbunyi : “ Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya ”.

Menurut ketentuan hukum yang berlaku yaitu Kompilasi Hukum Isam pasal 105 huruf (a) yang berbunyi “ Dalam hal terjadi perceraian pemeliharaan

anak yang belum mumayyiz ( belum berumur 12 tahun )adalah hak ibunya”. dan

paal 156 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : “Akibat Putusnya perkawinan karena perceraian ialah anak yang belum mumayyiz berhak

mendapatkan hadhanah dari ibunya,…..”.6

Dari rumusan dua pasal Kompilasi Hukum Islam tersebut jelaslah bahwa apabila terjadi suatu perceraian dalam rumah tangga, maka hukum menghendaki hak asuh anak yang belum mumayyiz jatuh ketangan ibunya.

Akan tetapi ketentuan pasal 105 huruf (a) dan pasal 156 huruf (a) tersebut bukanlah suatu keharusan dan bersifat mutlak melainkan hanya hal, yang dibatasi ketentuan pasal 156 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah”.

6

Solahudin Pugung, Mendapatkan Hak Asuh Anak & Harta Bersama. Depok : CV. Karya Gemilang, 2011, hal. 38.


(13)

Undang-Undang menghendaki hak asuh anak yang belum mumayyiz jatuh ketangan ibu, namun hal itu bukanlah suatu yang mutlak atau keharusan, karena bisa saja Majelis Hakim dalam suatu persidangan menjatuhkan hak asuh anak yang belum mumayyiz ketangan bapaknya sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Misal, karena ibunya berkelakuan buruk, seperti judi, zinah, boros, dan lain hal sebagainya.7

Ketentuan KHI diatas tidak berlaku kepada semua , karena hanya mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama.

Untuk orang-orang yang bukan beragama Islam atau yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri, karena tidak ada pedoman yang secara tegas mengatur batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkannya, maka hakim dalam menjatuhkan putusannya akan mepertimbangkan antara lain pertama, fakta-fakta yang terungkap dipersidangan ; kedua, bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak; serta argumentasi yang dapat meyakinkan hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut dalam mengurus dan melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut baik secara materi, pendidikan, jasmani dan rohani anak tersebut.

Kepada kedua orang tua hukum memberikan hak yang legal kepada kedua orang tua tersebut untuk melaksanakan pemeliharaan atau perwalian terhadap anak-anak mereka sesudah perceraian. Mereka memiliki hak yang sama ( equality )

untuk melaksanakan segala kepentingan dan tanggung jawab pemeliharaan anak. Akan tetapi hal tersebut dinilai teoritis dan tidak mungkin untuk pelaksanaannya.


(14)

Bagaimana caranya melakukan pemeilharaan secara bersama sama dalam legalitas hak hukum yang sama, sedangkan kedua orang tua tersebut telah bercerai. Dapat dibayangkan hal itu akan membawa percekcokan lagi diantara mereka yang dampaknya akan lebih membawa kesan yang lebih buruk terhadap pertumbuhan psikis anak-anak tersebut.

Dalam rangka mengurangi dampak perceraian terhadap anak setelah fase berpisahnya orang tua mereka. Erat kaitannya dengan kompetensi orang tua untuk mengasuh anak, terutama anak yang masih dibawah umur 12 Tahun ( berdasarkan standar KHI Pasal 105),di Indonesia hanya mengenal Hak Asuh Tunggal ( legal custody) yakni penetapan hak asuh anak baik pihak ayah maupun pihak ibu.

a. Hak Asuh Ibu ( mother custody )

Doktrin aliran psikologi psikoanalis Sigmund Freud yang menempatkan ibu sebagai peran tunggal dengan Oedipus complex adalah salah satu bukti kedekatan anak dengan ibunya. Freud berpendapat bahwa hubungan sang anak dengan ibunya sangat berpengaruh dalam pembentukan pribadi dan sikap-sikap sosial di kemudian hari. Dalam masalah ini seorang ibu memang mudah dilihat berperan penting bagi seorang anak apabila menemui kesulitan-kesulitan mendasar.

Menurut Bowlby dalam The Nature Of Childs Tie To His Mother ( 1990 ),

sikap ketergantungan anak-anak pada ibu terbentuk karena ibu peka menanggapi setiap aktvitas bayi seperti menangis, senyum, menyusu, dan manja. Ibu adalah orang yang pertama dan utama yang menjalin ikatan batin dan emosional dengan anak.


(15)

Pengaruh hasil penelitian psikologi menjadi acuan bagi lembaga yang ingin menyelesaikan sengketa hak asuh dengan memberikan kewenangan yang lebih besar pada pihak ibu, terutama dalam masalah perebutan Hak Asuh Anak di bawah umur.

b. Hak Asuh Ayah ( Father Custody )

Seorang ayah berperan dalam perkembangan anaknya secara langsung. Ayah memgatur serta mengarahkan aktivitas anak. Misalnya mengarahkan anaknya bagaimana cara menghadapi lingkungan dan situasi diluar rumah.8

Pengadilan harus memilih dan menentukan siapa diantara kedua orang tua yang berhak untuk melakukan pemeliharaan. Pengadilan pada hampir semua putusannya telah menjatuhkan pilihan pemeliharaan itu kepada ibu. Pilihan ini berdasarkan pada beberapa ukuran objektif disamping dihubungkan dengan kepentingan anak dihubungkan dengan rasa kemanusiaan dan fakor kontak.

a. Bahwa apabila anak-anak akibat perceraian itu masih berumur kecil yang sedang memerlukan kasih sayang dan belaian yang lemah lembut dan perawatan yang lakukan dengan penuh ketabahan adalah lebih serasi jika pemeliharaan anak tersebut diberikan pada si ibu ditinjau dari segi kemanusiaan apalagi anak tersebut masih menyusui atau berumur 2 atau 3 tahun adalah sesuatu yang menyayat hati kemanusiaan untuk memisahkan anak dengan ibu dalam keadaan pemisahan hidup bukan karena pemisahan disebabkan meninggal.

8


(16)

b. Pada umumnya ibu lebih terikat pada tempat kediaman dibanding dengan ayah yang setiap pagi hingga sore hari hampir selalu sibuk diluar rumah sehingga pencurahan kasih sayang tidak dapat sepenuhnya diberikan oleh ayah, sedangkan ibu lebih banyak tinggal di rumah bersama anak yang menyebabkan pemeliharaan dan ikatan kasih sayang itu setiap saat berlangsung timbal balik antara anak dengan si ibu.9

Perlindungan anak juga berlaku pada pertanggung jawaban hak-hak anak tersebut dari orang tuanya. Hak-hak tersebut meliputi hak-hak untuk dapat hidup, tumbuh,berkembang, mendapatkan kasih sayang orang tuanya. Di kemudian hari anak-anak tersebut juga mendapatkan hak waris dari ayah ibunya. Anak juga memiliki hak untuk menyatakan pendapatnya, hak untuk di dengar ,hak untuk menerima, mencari dan memberikan informasi demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kepatutan dan kesusilaan.

Anak dibawah umur dianggap belum dapat menyampaikan pendapatnya untuk ikut tinggal dengan siapa setelah perceraian kedua orang tuanya. Disinilah kemudian pengadilan memutuskan siapa yang berhak dalam meletakkan kewajiban pemeliharaan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang sesuai dengan keadaan yang nyata. Misalnya tidaklah pantas pengadilan menyerahkan pemeliharaan pada si ibu sekalipun anak tersebut masih kecil jika data-data memperlihatkan moral ibu tidak sesuai sebagai pemelihara yang baik dan sudah dapat diperkirakan bahwa dia akan selalu melalaikan tanggung jawab

9

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Medan : CV. Zahir Trading Co, 1975, hal.163


(17)

pemeliharaan tersebut.10 Ataupun sebelum perceraian atau penyebab perceraian itu disebabkan oleh tingkah laku dan sikap ibu yang dianggap minus, seperti melakukan zinah atau pemabuk dan lain sebagainya. Faktor lingkungan dan kelakuan dari ibu dan ayahnya, faktor kemampuan memberi kesempatan yang baik dan menyenangkan ditinjau dari segi sosial ekonomi pemeilharaan, usia dan jenis kelamin anak, serta kasih sayang yang tampak timbal balik antara kedua orang tua dengan anak-anak dan anak dengan orang tua juga menjadi pertimbangan hakim dalam memutus hak asuh anak tersebut.11

Seperti paparan yang telah saya jelaskan diatas, dalam perkara perceraian yang terjadi antara Krisna Wenny dan Loganaden Jibalen yang dikarunia seorang anak yang bernama J. Akash Dil Radj berusia 7 Tahun. Pernikahan yang mereka bina berjalan 8 Tahun, akan tetapi dengan kehadiran seorang anak sebagai buah hati pernikahan mereka, tetap sering terjadi percekcokan yang disebabkan berbagai hal-hal riskan dalam pernikahan.

Puncaknya adalah ketika si istri melayangkan gugatan perceraian disertai dengan tuntutan hak asuh dan mengenai harta bersama yang didapat selama pernikahan. Tetapi permasalahan yang penulis ingin soroti adalah keputusan hakim menetapkan hak asuh anak dibawah umur kepada ayahnya.

Beberapa faktor penyebab perceraian menjadi pertimbangan majelis hakim dalam memutus kepada siapa anak tersebut diberikan hak pengasuhannya. Dalam kasus perceraian antara Krisna Wenny dan Loganaden Jibalen penyebab perceraian adalah Krisna Wenny menggugat Loganaden Jibalen karena dianggap telah

10


(18)

melakukan kekerasan di dalam rumah tangga . Loganaden Jibalen sebagai tergugat lalu menyampaikan jawaban tertulis sekaligus gugatan rekopensi atas gugatan penggugat Krisna Wenny tersebut. Krisna Wenny yang dinilai tidak setia dan terbukti telah melakukan perselingkuhan ketika masih berstatus sebagai istri sah dari Loganaden Jibalen. Krisna wenny juga pernah ditahan karena terbukti telah melakukan penipuan dan telah meninggalkan rumah untuk kurun waktu cukup lama.

Berdasarkan alasan alasan yang dikemukakan penulis di atas, terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan yang menyangkut keadaan individu dari si pemelihara yang memperlihatkan bagaimana kelakuan kedua orang tua tersebut yang menyebabkan mengapa Pengadilan menjatuhkan pilihan kepada si ayah Loganaden Jibalen.

Sehubungan dengan latar belakang yang penulis paparkan, penulis tertarik mengangkat judul “ Pelimpahan Hak Asuh Anak Dibawah Umur Kepada

Bapak Akibat Perceraian ( Analisis Putusn Pengadilan Negeri Nomor:

411/Pdt.G/2012/PN.Mdn ) .” Sebagai suatu persyaratan untuk mejadi sarjana

hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut :


(19)

1. Bagaimana penentuan tanggung jawab, hak asuh, dan pemeliharaan terhadap anak dibawah umur pada putusan Pengadilan Negeri Nomor 411.Pdt.G/2012/Pn.Mdn ?

2. Apakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan tuntutan hak asuh anak yang diajukan suami ?

3. Apa yang dimaksud dengan hak menemui anak-anak ( Droit de Visite ) ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif :

a. Untuk mengetahui bagaimana penilaian majelis hakim dalam menentukan hak asuh anak dibawah umur akibat perceraian pada putusan Pengadilan Negeri Nomor 411.Pdt.G/2012/Pn.Mdn

b. Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan majelis hakim dalam menentukan hak asuh anak dibawah umur akibat perceraian pada putusan Pengadilan Negeri Nomor 411.Pdt.G/2012/Pn.Mdn

2. Tujuan Subjektif :

a. Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum serta pemahaman aspek hukum dalam teori teori tentang perceraian serta akibat yang timbul dari perceraian tersebut terutama masalah hak asuh anak.


(20)

b. Untuk memberikan pengetahuan kepada penulis tentang bagaimana hakim melihat fakor-faktor yang memberatkan atau meringankan salah satu pihak dari orang tua yang bercerai dalam mendapatkan hak asuh anak.

c. Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

D. Manfaat Penulisan

Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini adalah

1. Secara teoritis penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi mahasiswa yang tertarik pada bidang keperdataan khusunya mengenai masalah yang timbul akibat perkawinan dan perceraian serta dapat dijadkan sebagai bahan referensi bagi perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan adanya tulisan ini kiranya dapat memberikan pengetahuan umum mengenai akibat yang timbul dari perceraian khususnya mengenai hasil putusan mengenai pelimpahan hak asuh anak dibawah umur kepada bapak akibat perceraian ( analisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor 41/Pdt.G/2012/Pn.Mdn ).

2. Secara praktis tulisan ini dapat memberikan jawaban atas masalah yang diteliti, melatih mengembangkan pola piker yang sistematis


(21)

serta mengukur kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan maupun pemikiran penulis serta masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penulisan ini dari awal hingga akhir. Disini penulis memaparkan suatu “ Pelimpahan Hak Asuh Anak Dibawah Umur Kepada Bapak Akibat Perceraian ( Analisis Putusn Pengadilan Negeri Nomor: 411/Pdt.G/2012/PN.Mdn ) .” Skripsi ini belum pernah dibuat oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya. Kalaupun terdapat kesamaan, hal tersebut tidak merupakan suatu kesengajaan dan tentunya dilakukan dengan pendekatan maalah yang berbeda seperti :

Judul Skripsi “ Analisi Yuridis Tentang Perwalian Anak Di bawah Umur Akibat Perceraian ( Studi Kasus Putusan PA No.01/Pdt.G/2010/PA/Klg)”, ditulis oleh Masyitah Dwi Ajeng Wirapuspa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan pembahasan skripsi ini mengenai perwalian hak asuh anak yang putusannya bernomor putusan PA No.01/Pdt.G/2010/PA/klg bukan putusan PN No.411/Pdt.G/2012/Pn.Mdn.

Oleh karena itu, penuisan yang berjudul “ Pelimpahan Hak Asuh Anak Dibawah Umur Kepada Bapak Akibat Perceraian ( Analisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 411/Pdt.G/2012/PN.Mdn ) .” Belum ada dilakukan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(22)

F. Metode Penulisan

Untuk Mencari dan menemukan kebenaran secara ilmiah dan untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam melengkapi bahan-bahan bagi penulisan skripsi, metode yang digunakan penulis dalm penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum doktrinal/normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Yang dimaksud dengan penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hkum yang dilakukan dengan cara meneilit hukum kepustkaan yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti hukum pustaka atau data sekunder yaitu terdiri dri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubunganya dengan masalah yang diteliti.

2. Sifat Penelitian

Sifat Penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah deskritif, yaitu menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisa hukum yang scara jelas dan rinci kemudian analis guna menjawab permaslahan yang diteliti.


(23)

Dalam penulisan hukum ini adalah pendekatan normatif/juridis. Pendekatan ini merupakan metode pendekatan yang mengkopsepsikan hukum sebagai norma, kaidah. Asas, atau dogma-dogma (yang seharusnya).

4. Jenis Data dan Sumber Data

Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data yang meliputi data primer, sekunder, dan tersier yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian seperti buku-buku, literatur, artikel internet, maupun arsip-arsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas.

Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder berupa dokumen publik dan catatan-catatan resmi ( public

documents and official records ). Disamping sumber data yang

berupa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Negara, beberapa jurnal dan buku-buku referensi.

5. Teknik Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data sekunder berupa peraturan perundangan, artikel maupun dokumen lai. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik studi pustaka dan penelitian lapangan

(field research) untuk mengumpulkan dan menyusun data yang

diperlukan.


(24)

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah non statistik. Analisis non statistik ini dilakukan dengan kualitatif. Mengenai kegiatan analisis isi dalam penelitian ini adalah mengklarifikasi pasal-pasal dokumen sampel ke dalam kategori yang tepat. Setelah analisis data selesai, maka hasilnyaakan disajikan secara deskriptif.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hukum adalah untuk memberi gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai penulisan hukum ini, maka berikut ini sistematika yang hendak penulis sajikan :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini disajikan tentang latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

Dalam bab ini menguraikan secara mengenai Perceraian, pengertian dan dasar hukum perceraian, akibat hukum perceraian, hak dan kedudukan anak setelah perceraian orang tuanya, perceraian menurut putusan pengadilan negeri No. 411/Pdt.G/2012/Pn.Mdn. BAB III : HAK ASUH DAN PEMELIHARAAN ANAK DI BAWAH


(25)

Dalam bab ini sebagai landasan teoritis yag bertujuan untuk menunjang bab pembahasan ini terdiri dari pengertian hak asuh anak di bawah umur, tanggung jawab orang tua terhadap anak yang masih di bawah umur , hak asuh anak dibawah umur berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Perlidungan Anak.

BAB IV : HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR KEPADA BAPAK Dalam bab ini dibahas tentang penentuan tanggung tawab, hak asuh dan pemeliharaan anak di bawah umur pada putusan Pengadilan Negeri No. 411.Pdt.G/2012.Pn.Mdn, pertimbangan hakim mengabulkan hak asuh anak yang diajukan suami, hak menemui anak-anak (droit de visite)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang menjadi pokok-pokok pikiran penulis, berdasarkan atas uraian-uraian yang telah dikemukakan dalam skripsi ini sebelumnya.


(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

A. Definisi Perceraian

Perceraian secara terminologi berasal dari kata dasar cerai yang berarti pisah, kemudian mendapat awalan per yang berfungsi pembentuk kata benda abstrak kemudian menjadi perceraian yang berarti hasil dari perbuatan cerai.

Istilah perceraian terdapat dalam pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan fakultatif bahwa “Perkawinan dapat putus karena Kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan”. Jadi secara yuridis perceraian berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkkan putusnya hubungan sebagai suami istri.12

Di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak terdapat definisi yang tegas mengenai perceraian secara khusus.

Sesuai dengan asas perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan, yaitu tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal, seharusnya putusnya perkawinan karena perceraian haruslah dilarang, tetapi pada kenyataannya Undang-Undang Perkawinan tidak menegaskan mengenai larangan tersebut, tetapi cukup dengan mempersukar suatu perceraian yang memutuskan perkawinan.13

Perceraian hanya dibenarkan untuk dalam alasan-alasan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Perkawinan. Berdsarakan pasal 19 PP No. 9

12

Muhammad Syaifudin, Hukum Perceraian : Palembang : Sinar Gravika, 2012 Hal. 15

13

H. Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2010, Hal. 89


(27)

Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa perceraian terjadi karena alasan sebagai berikut :

1. Salah satu pihak berbuat zina, pemadat, penjudi dan lainnya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dua tahun berturut-turut tanpa seizin pihak lain dan tanpa alasan yang sah.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang mengancam jiwa pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang sukar disembuhkam sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

6. Serta antara suami dan isteri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus sehingga tidak ada harapan untuk dirukunkan.

Menurut KUH Perdata pasal 208 disebutkan bahwa perceraian tidak dapat terjadi hanya dengan persetujuan bersama. Dasar-dasar yang berakibat perceraian perkawinan adalah sebagai berikut :

1. Zinah

2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk

3. Dikenakan penjara lima tahun atau hukuman yang berat lagi setelah dilangsungkan perkawinan


(28)

4. Pencederaan berat atau penganiayaan yang dilakukan oleh salah seorang sumai atau isteri terhadap orang lainnya sedemikian rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa atau mendatangkam luka-luka yang membahayakan.

Perceraian menurut Subekti adalah “Penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”. Jadi pengertian perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan baik dengan putusan hakim atau tuntutan Suami atau istri. Dengan adanya perceraian, maka perkawinan antara suami dan istri menjadi hapus. Namun Subekti tidak menyatakan pengertian perceraian sebagai penghapusan perkawinan itu dengan kematian atau yang lazim disebut dengan istilah “cerai mati”.14

Dari ketentuan-ketentuan tentang perceraian dalam Undang-undang Perkawinan (pasal 39 sampai dengan pasal 41) dan tentang tatacara perceraian dalam Peraturan Pelaksana (pasal 14 sampai dengan pasal 36) dapat ditarik sesimpulan adanya dua macam perceraian yaitu :

a. Cerai Talak

Istilah Cerai Talak disebut oleh Penjelasan pasal 14 Peraturan Pelaksanaan. Dan tentang perceraian ini diatur dalam pasal 14 sampai dengan 18 Peraturan Pelaksanaan, yang merupakan penegasan dari pasal 39 Undang-Undang Perkawinan.

Cerai Talak ini hanya khusus untuk yang beragama Islam seperti dirumuskan oleh pasal 14 Peraturan Pelaksanaan sebagai berikut :

14


(29)

“ Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertau dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu”.

Selanjutnya dari pasal 15 sampai dengan pasal 18 dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Setelah Pengadilan menerima surat pemberitahuan itu, Pengadilan mempelajari surat tersebut.

2) Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima surat itu. Pengadilan memanggil suami dan isteri yang akan bercerai itu, untuk meminta penjelasan.

3) Setelah Pengadilan mendapat penjelasan dari suami-isteri, ternyata memang terdapat alasan-alasan untuk bercerai dan Pengadilan berpendapat pula bahwa antara suami-istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka Pengadilan memutuskan untuk mengadakan siding untukn menyaksikan perceraian itu; 4) Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya

alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami dalam sidang tersebut.

5) Sesaat setelah menyaksikan perceraian itu, Ketua Pengadilan member surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut ;


(30)

a) Surat keterangan tersebut dikirimkan kepada Pegawai Pencatatan di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian; b) Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan

di depan sidang Pengadilan.15 b. Cerai Gugat

Cerai Gugat adalah Perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada Pengadilan dan dengan suatu putusan Pengadilan.

Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya tidak menamakan hal ini “Cerai Gugat”, tetapi menyatakan bahwa perceraian ini dengan suatu gugatan. Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan dan tentang bagaimana caranya akan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Peraturan Pelaksanaan dalam Penjelasan pasal 20 menegaskan sebagai berikut : “Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam”. Selanjutnya diatur secara terperinci tentang bagaimana tatacara gugatan perceraian itu oleh Peraturan Pelaksanaan (pasal 20 sampai dengan pasal 36).

Dalam cerai gugat diuraikan sebagai berikut, dimulai dari : a) Pengajuan Gugatan

15

K. Wantjik Saleh , Hukum Perkawinan Indonesia ,Jakarta : Ghalia Indonesia, 1976 , Hal. 39


(31)

Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat atau penggugat.

b) Pemanggilan

Pemanggilan terhadap para pihak ataupun kuasanya, dilakukan setiap kali akan diadakan persidangan. Yang melakukan panggilan tersebut adalah jurusita (Pengadilan Negeri) dan petugas yang ditunjuk (Pengadilan Agama). Pemanggilan harus disampaikan kepada pribadi yang bersangkuta, yang apabila tidak dapat dijumpai, panggilan disampaikan melalui surat atau yang dipersamakan dengannya. Panggilan tersebut harus dilakukan dengan cara yang patut dan sudah diterima oleh para pihak atau kuasanya selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka c) Persidangan

Persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian harus dilakukan oleh Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya urat gugatan di Kepaniteraan.

d) Perdamaian

Ditentukan bahwa sebelum dan selama perkara gugatan belum diputuskan, Pengadilan harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berpekara. Apabila tercapai suatu perdamaian maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan


(32)

alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.

e) Putusan

Walaupun pemeriksaan perkara gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup, tapi pengucapan putusannya harus dilakukan dalam sidang terbuka.

Kapan suatu perceraian itu dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya itu, terdapat perbedaan antara orang yang beragama Islam dan yang lainnya. Bagi yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi yang tidak beragam Islam terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat.

Sebelum diajtuhkan suatu putusan, selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan pihak penggugat dan tergugat, Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk berpisah berlainan rumah, juga dapat menetukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami dan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan serta pendidikan anak, dan barang-barang yang menjadi hak bersama serta hak masing-masing.16

16


(33)

B. Dasar Hukum Perceraian

SUMBER HUKUM MATERIAL PERCERAIAN 1) Faktor Ideal

Pancasila Sebagai Cita Hukum dan Norma Fundamental Negara

Faktor ideal yang determinan dan menjadi sumber hukum material dan menentukan substansi atau isi hukum perceraian dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksananya adalah Pancasila

2) Faktor Kemasyarakatan

Kebutuhan Hukum dan Keyakinan tentang Agama dan Kesusilaan dalam Masyarakat

Menurut Penjelasan UU No. 1 Tahun 1974, sesuai dengan ladasan falsafah Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, maka UU No. 1 Tahun 1974 di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkadung dalam Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, sedangkan di lain pihak harus dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini.17

SUMBER HUKUM FORMAL PERCERAIAN 1) Peraturan Perundang- Undangan

Definisi peraturan perundang-undangan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah:

“Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang


(34)

berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”.

Fungsi peraturan perundang-undangan, menurut J.J.H Bruggink, ialah menetapkan kadiah atau memberikan bentuk formal terhadap kaidah yang diberlakukan kepada para subjek hukum. Secara teoritis, peraturan perundang-undangan merupakan istrumen untuk melakukan positivisasi kaidah yang dilakukan oleh otoritas yang berwenang.18

Putusnya perkawinan diatur dalam Peraturan perundang-undangan . a) Pasal 38 sampai dengan pasal 41 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan .

b) Pasal 14 sampai dengan pasal 36 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 199 KUH Perdata.

c) Pasal 113 sampai dengan pasal 128 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

2) Putusan Pengadilan atau Yurispudensi (Case Law)

Putusan Pengadilan menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah sumber hukum terpenting setelah peraturan perundang-undangan, sebagaimana terfleksi dari pasal 39 ayat (1) yang memuat ketentuan imperatif bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Ini berarti bahwa tidak ada perceraian, jika tidak ada putusan pengadilan. Sebaliknya, tidak ada putusan pengadilan, jika tidak ada perkara perceraian.

18


(35)

Putusan pengadilan mengenai perceraian yang diharuskan oleh Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 dapat menjadi yurispudensi, dalam arti jika semua hakim di pengadilan menggunakan metode penafsiram yang sama terhadap suatu norma-norma hukum perceraian dalam peraturan perundang-undangan dan menghasilkan kejelasan yang sama pula serta diterapkan secara terus menerus dan teratur terhadap perkara atau kasus hukum perceraian yang berlaku umum yang harus ditaati oleh setiap orang seperti halnya undang-undang dan jika perlu dapat digunakan paksaan oleh alat-alat Negara supaya hukum perceraian yang dibentuk oleh hakim di pengadilan tersebut betul-betul ditaati. Hukum perceraian yang terbentuk dari putusan-putusan hakim pengadilan seperti itu dinamakan yurisdpudensi atau hukum dari putusan hakim.19

3) Hukum Adat yang bersumber dari Kebiasaan dalam Masyarakat

(Customary Law)

Hukum adat yang bersumber dari kebiasaan dalam masyarakat yang dipahami sebagai aturan hukum tidak tertulis oleh warga masyarakat, adalah faktor determinan menentukan substansi atau isi hukum perceraian. Kebiasaan harus berproses secara bertahap dan lama, yang terlebih dahulu harus ada perbuatan faktual yang dilakukan secara berulang-ulang, untuk kemudian diikuti sebagian terbesar warga masyarakat dengan kesadaran dan keyakinan yang kuat bahwa perbuatan factual itu memang sesuai dengan pola sikap hidup bersama masyarakat (opinion juris sive necessitaatis), barulah kebiasaan itu menjadi hukum tidak tertulis.


(36)

Substansi atau isi hukum perceraian juga dipengaruhi oleh hukum adat yang bersumber dari kebiasaan dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan kemasyarakat. Sebagai contoh, konsep harta bersama dalam UU No. 1 Tahun 1974, menurut Subekti, didasarkan pola hukum adat. Dalam hukum adat, harta perkawinan lazimnya dipisah-pisahkan dalam 4 (empat) golongan, sebagai berikut :

a. Barang- barang Yang diperoleh suami atau istri secara warisan atau penghibahan dari kerabat (famili) masing-masing dan dibawa ke dalam perkawinan.

b. Barang-barang yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan.

c. Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri sebagai milik bersama.

d. Barang-barang yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu pernikahan.

C. Akibat Hukum Perceraian

a. Akibat Perceraian Dalam Perundangan

Jika kita melihat kembali KUH Perdata (BW) maka disitu dikatakan bahwa “Perkawinan itu bubar karena keputusan perceraian dan pendaftarkan perceraian karena keputusan perceraian itu harus dilakukan ditempat dimana perkawinan itu didaftarkan dan atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu dari mereka. Jika


(37)

perkawinan dilakukan di luar Indonesia maka pendaftaran perceraian harus dilakukan di dalam daftar Catatan Sipil di Jakarta. Apabila pendaftaran itu tidak dilakukan dalam waktu 6 bulan tersebut maka hilanglah kekuatan keputusan perceraian itu dan perceraian tidak dapat digugat lagi atas dasar dan alasan yang sama (pasal 221)”.

Pihak Suami atau isteri yang menang karena gugatannya dikabulkan diperbolehkan menikmati segala keuntungan dari apa yang telah dijanjikan dalam perkawinan itu oleh pihak yang lain, termasuk keuntungan yang dijanjikan kedua belah pihak secara timbal balik (pasal 221). Pihak suami atau istri yang dikalahkan karena perceraian itu kehilangan semua keuntungan dari apa yang telah dijanjikan oleh pihak yang lain dalam perkawinan itu (pasal 223).

Dengan mulai berlakunya perceraian itu tidaklah langsung pihak yang menang dapat menikmati keuntungan itu kecuali pihak yang lain telah wafat (pasal 224). Jika suami atau istri yang menang, tidak mempunya penghasilan yang cukup untuk biaya hidupnya, maka Pengadilan Negeri dapat menetukan sejumlah tunjangan untuk iu dari harta kekayaan pihak yang lain (pasal 225). Kewajiban memberi tunjangan itu berakhir dengan meninggalnya suami atau isteri (pasal 227). Setelah keputusan perceraian berkekuatan pasti, Pengadilan menetapkan terhadap setiap anak


(38)

siapa dari kedua orang tuanya yang harus melakukan perwalian atas anak-anak itu (pasal 229).

Menurut UU No. 1 Tahun 1974, apabila putus perkawinan karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, bekas suami/istri dan harta bersama. Akibat hukum terhadap anak ialah, apabila terjadi perceraian, maka baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisiham mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberikan keputusannya. Akibat hukum terhadap harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat atau hukum yang lainnya (pasal 37), jika tidak ada kesepakatan Hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya. b. Akibat Perceraian Dalam Hukum Adat

Pada umunya menurut hukum adat yang ideal, baik putus perkawinan karena kematian maupun karena perceraian, membawa akibat hukum terhadap kedudukan suami dan isteri, terhadap pemeliharaan, pendidikan dan kedudukan anak, terhadap keluarga dan kerabat dan terhadap harta bersama (harta pencarian), harta bawaan. Harta hadiah/pemberian, warisan dan atau harta peninggalan/pusaka. Segala sesuatunya berdasarkan hukum adat


(39)

yang berlaku masing-masing, dan tidak ada kesamaan antara masyarakat adat yang satu dan yang lain.20

c. Akibat Perceraian Dalam Hukum Agama

Apabila terjadi perceraian antara suami dan isteri menurut Hukum Islam maka akibat hukumnya yang jelas ialah dibebankannya kewajban suami terhadap isteri dan anak-anaknya, yaitu :

1) Memberi Mut’ah (suatu pemberian oleh suami kepada isteri yang dicerainya agar hati isteri dapat terhibur) berupa uang atau barang. 2) Memberi nafkah hidup, pakaian dan tempat kediaman selama bekas

isteri dalam masa idah.

3) Memberi nafkah untuk memelihara dan pendidikan anaknya sejak bayi sampai ia dewasa dan dapat mandiri.

4) Melunasi mas kawin, perjanjian ta’lik talak dan perjanjian lainnya.

Bagi umat Kristen Katolik ketentuan mengenai akibat perceraian dari ikatan perkawinan pada dasarnya tidak ada, oleh karena agama Katolik menolak perceraian. Jika mereka melakukan perceraian sipil maka apa yang diatur dalam KUH Perdata (BW) dapat menjadi pedoman sepanjang belum diatur dalam perundangan nasional. Namun dikarenakan sulitnya mendapatkan keputusan perceraian dari Sri Paus yang mungkin terjadi adalah “perceraian semu”, yaitu suatu perceraian yang tidak memutuskan ikatan


(40)

perkawinan, yang terkenal dalam KUH Perdata dengan sebutan perpisahan dari meja dan tempat tidur (scheding van tafel en bed).

Bagi umat Budha Indonesia akibat putusnya perkawinan karena perceraian, sebagai berikut (Pasal 40 HPAB) yaitu :

1) Baik ayah maupun ibu berkewajiban untuk memelihar dan mendidik anak-anaknya, sebab dalam perceraian tidak adanya istilah bekas ayah atau bekas ibu, ayah tetap menjadi ayahnya anak-anak, ibu tetap menjadi ibunya anak-anak; yang ada hanya istilah bekas suami dan bekas isteri.

2) Semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya, ditanggung sepenuhnya oleh ayah dari anak-anaknya.

3) Dalam hal-hal tertentu, apabila ayah tidak dapat menanggung sepenuhnya atau tidak dapat sama sekali menanggung biaya-biaya pemeliharaan dan pendidikan anaknya, maka oleh Dewan Pandita Agama Budha (Depabudi) setempat dapat menetukan bahwa ibu ikut memikul biaya-biaya tersebut.

Bagi umat hindu tentang akibat perceraian, masalah yang palimg pokok menurut G. Pudja, yang harus diperhatikan ialah masalah tanggung jawab dan tugas yang harus diperhatikan ialah masalah tanggung jawab dan tugas yang harus dilakukan terhadap anak yang lahir dari perkawinan itu, bukan soal harta warisan. Andaikata terjadi juga perceraian di Pengadilan Negeri, sedangkan


(41)

isteri bersangkutan tidak mempunyai anak, maka yang mendapat perhatian hakim ialah yang menyangkut harta atau barang-barang gana gini atau guna kaya (duwe gabro) yang semacam harta pencarian yan seharusnya dibagi antara bekas suami dan istri.

Perceraian adalah peristiwa hukum yang akibatnya diatur oleh hukum, atau peristiwa hukum yang diberi akibat hukum. Perceraian menimbulkan akibat hukum putusnya perkawinan. Selain itu, ada beberapa akibat hukum lanjut dari perceraian sebagaimana diatur dalam Paal 41 UU No. 1 Tahun 1974, sebagai berikut :

1) Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan member keputusannya.

2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Memperhatikan substansi Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, dan mantan suami/istri. Selain itu, perceraian juga mempunyai akibat hukum terhadap


(42)

harta bersama sebagimana diatur dalam Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan bahwa akibat hukum terhadap harta bersama diatur menurut hukum agama, hukum adat, atau hukum yang lain.21

a) Akibat Hukum Perceraian Terhadap Anak

Secara yuridis, kedudukan anak dalam perkawinan diatur dalam Pasal 42 UU No.1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan definitif bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian, menurut ketentuan limitatif dalam pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. ini berarti bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak membenarkan pengakuan terhadap anak diluar perkawinan.22

Walapun di dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 telah ditetapkan persyaratan-persyaratan untuk mempersulit suatu perceraian. Dan terlepas dari akibatnya terhadap suami dan istri, maka akibat yang lebih besar timbul dari suatu perceraian adalah mengenai bagaimana anak-anak tersebut setelah terjadi perpisahan antara kedua orang tuanya.

Dari ketentuan pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 dapat dilihat bahwa kewajiban suami dan istri kepada anak tidak pernah putus dengan perceraian. Keduanya berkepentingan untuk mengurus dan melindungi hak-hak dan kewajiban anak-anak demi kepentingan anak tersebut. Mengenai pembiayan dan hal-hal yang menyangkut materi terhadap si

21

Muhammad Syaifudin , Op.Cit. Hal. 349

22


(43)

anak, kewajiban suami lebih di utamakan mengingat suamilah yang bertanggung jawab dalam menjalankan rumah tangganya dalam kedudukannya sebagai kepala rumah tangga.

Namun apabila pihak suami tidak dapat memenuhi kewajibannya seperti yang dimaksud di atas, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa pihak istri sebagai ibu harus turut memikul biaya tersebut. Tidak sebatas kewajiban memenuhi kebutuhan materi, orang tua berkewajiban untuk memberikan pendidikan formal, pendidikan agama, pendidikan moral dan kasih sayang. Karena pada kenyataannya sering kali anak-anak korban dari perceraian orang tuanya memberikan efek yang sangat mengganggu pertumbuhan fisik dan jiwanya.

Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa akibat terjadinya perceraian tersebut terhadap anak-anak adalah :

a. Orang tua wajib memelihara anak-anaknya hingga anak-anak tersebut dewasa ataupun dapat mandiri demi kepentingan anak tersebut.

b. Kedua orang tua bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak dimana kewajiban ayah lebih di utamakan. c. Kedua orang tua tidak boleh putus memberikan perhatian dan kasih

sayang terhadap anak-anaknya meskipun keduanya telah bercerai. b) Akibat Hukum Perceraian Terhadap Bekas Suami atau Istri

Akibat Hukum Perceraian terhadap bekas suami atau istri menurut Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 ialah Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau


(44)

menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Ketentuan normatif dalam Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 ini mempunyai kaitan dengan Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan normatif bahwa seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku janga waktu tunggu, yang kemudian pasal ini telah dijabarkan dalam Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 yang memuat ketentuan imperatif bahwa bagi seorang janda yang masih datang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak dating bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari. Apabila perkawinan putus, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.23

Dalam hukum Islam, wanita yang telah ditalak oleh suaminya boleh melakukan perkawinan baru dengan laki laki lain setelah massa tunggunya berakhir. Dengan terjadinya perkawinan baru ini, maka hubungan bekas suami istri tersebut telah betul-betul putus, sehingga bekas suami dengan istri tidak berhak lagi menerima nafkah dari bekas suaminya, dan suami tidak berkewajiban lagi memberikan nafkah kepada bekas istrinya. Seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya dan akan menikah lagi dengan wanita lain dapat langsung melangsungkan pernikahan, karena laki-laki tidak mempunya masa tunggu seperti wanita.

Dalam hukum adat pada umumnya membawa akibat hukum terhadap kedudukan suami dan istri, dan juga terhadap keluarga dan kerabat. Tetapi akibat hukum tersebut berbeda berbeda-beda berdasarkan

23


(45)

ketentuan hukum adatnya masing-masing, dan tidak terdapat kesamaan antara masyarakat adat satu dan yang lainnya.

c) Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama

Menurut Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 dan penjelasan pasalnya, akibat hukum perceraian terhadap harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yang mencakup agama, hukum adat atau hukum yang lain. Ini berarti bahwa UU No. 1 Tahun 1974 menyerahkan kepada para pihak (mantan suami dan mantan istri) yang bercerai untuk memilih hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku, dan jika tidak ada kesepakatan, maka hakim di Pengadilan dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.

Penjelasan atas Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 bahwa apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing, mempunyai cakupan lebih luas dari bunyi pasal 37, yang membatasi diri sebagai berikut : Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Pikiran Perpecahan yang ditimbulkan dari pertentangan syarat-syarat umum (putus) dan syarat khas (putus karena perceraian) bertambah karena dijumpai dalam UU No. 1 Tahun 1974 sesuatu ketentuan mengenai harta bersama itu, bila perkawinan putus bukan karena perceraian.

Menurut Mohd. Idris Ramulyo, pada Penjelasan atas Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 (yang sekarang ini) ditunjukan kepada artinya, hukumnya masing-masing, yakni jawabannya hukum agama, hukum adat


(46)

dan hukum lainnya. Konsekuensinya, jika perkawinan putus bukan karena perceraian (bukan karena kematian), maka harta bersama diatur menurut Hukum Agama bekas suami-istri dan jika Agama mereka tidak mempunyai Hukum Agama tentang harta bersama, maka diberlakukan Hukum Adat tentang harta bersama atau bila tidak ada hidup beragama suami istri berbeda tingkat kemasyarakatannya, maka hal-hal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 dan umunya bertentangan dengan demokrasi Pancasila.

Menurut Sudarsono, Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 merupakan suatu kontradiksi dalam sruktur Hukum Perkawinan Nasional. Oleh karena itu, Penjelasan atas Pasal 35 UU No. 1 sekali-kali tidak berguna dengan adanya Pasal 37. Seharusnya Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 diubah menjadi : “Jika perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama dibagi dua antara bekas suami istri”.24

D. Hak dan Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orang Tuanya

Menurut Subekti perkawinan merupakan pertalian yang sah antara laki-laki dengan perempuan. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh laki-laki dan perempuan yang akan menjadi suami istri. Jika sudah mengikatkan diri dalam hubungan perkawinan maka suami istri akan memiliki tanggungan dengan lahirnya anak. Anak dianggap sebagai subjek hukum karena memiliki hak dan kewajiban.

24


(47)

Masalah kedudukan anak diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan, yaitu pada Bab IX Pasal 42 sampai dengan 47. Pasal 42 mengatakan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan di dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sementara perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamayang dan kepercayaannya, serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.25

Anak sah menempati kedudukan (strata) yang paling tinggi dan paling sempurna dimata hukum dibandingkan dengan anak-anak kelompok yang lain, karena anak sah menyandang seluruh hak yang diberikan oleh hukum, antara lain hak waris dalam peringkat yang paling tinggi, diantara golongan-golongan ahli waris yang lain, hak sosial dimana ia akan mendapatkan status terhormat ditengah-tengah lingkungan masyarakat dan hak alimentasi yaitu hak untuk mendapatkan penamaan ayah dalam akta kelahiran dan hak-hak lainnya.26

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ketentuan umum pasal 1 yang menyebutkan “ anak adalah seseorang yang belum berusia 18(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Sedangkan pengertian tentang anak tidak ditemukan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mapun dalam Penjelasannya, begitu juga dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

25

Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia , Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 88

26


(48)

UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 42 mengatakan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Hubungan antara orang tua dengan anak akan timbul apabila dalam keluarga tersebut lahir seorang anak. Hubungan tersebut mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban antara orang tua dan anak.

Akibat adanya perceraian seperti yang dimaksud dalam Pasal 229 (ayat) 1 KUH Perdata “ Setelah memutuskan perceraian, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua atau keluarga sedarah atau semenda dan anak-anak yang dibawah umur, Pengadilan Negeri akan menetapkan siapa dari kedua orang tua yang akan melakukan perwakilan atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orang tua itu dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua, dengan mengindahkan ptutusan-putusan Hakim terdahulu yang mungkin memecat atau melepas mereka dari kekuasaan orang tua. Penetapan itu berlaku setelah hari keputusan perceraian memperoleh kekuatan mutlak. Sebelum itu pemberitahuan tak usah dilakukan dan perlawanan atau permintaan bandingan tak boleh dimajukan. “27

Sesuai dengan bunyi pasal diatas maka dalam hal ini diserahkan kepada hakim untuk menunjuk siapa yang dapat menjadi wali, hanya saja dalam penunjukan ini harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan sepenuhnya perihal kepentingan anak-anak tersebut, kepada siapa anak-anak ini lebih terjamin kepentingannya. Namum demikian pihak yang tidak ditunjuk menjadi wali berhak mengajukan perlawanan dengan alasan-alasan yang tepat.

27


(49)

Kekuasaan orang tua yang dimaksud terhadap diri anak-anak tersebut adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak hak anak tersebut berupa pendidikan dan pemeliharaannya.

Pemeliharaan terhadap anak dimaksudkan adalah upaya dari orangtua untuk memenuhi segala kebutuhan anak baik dari kebutuhan akan pendidikan maupun kebutuhan yang berhubungan dengan jasmani dan rohaninya, seperti perhatian, kesehatan, kasih sayang dan perkembangan tumbuh kembang si anak itu sendiri.

Menurut Soemiyati, jika terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah ibu, atau nenek seterusnya ke atas. Akan tetapi, mengenai pembiayaan untuk penghidupan anak itu, termasuk biaya pendidikannya adalah tanggung jawab ayahnya. Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak iu sudah dapat ditanya kepada siapa dia akan terus ikut. Kalaiu anak tersebut memilih ibunya, maka si ibu tetap berhak mengasuh anak itu, kalau anak itu memilih ikut bapaknya, maka hak mengasuh ikut pindah pada bapak.

Pendapat yang sama dengan pendapat Soemiyati tersebut, dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma, yang menjelaskan bahwa bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak setelah putusnya perkawinan karena perceraian. Jika bapak dalam kenyataannya tidak dapat melaksanakan kewajibannya membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul tanggung jawab membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak itu.


(50)

Memperhatikan penjelasan ahli hukum perceraian sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat dipahami bahwa pasal 41 huruf a UU No. 1 Tahun 1974 adalah wujud normatif dari upaya Negara untuk melindungi hal-hak anak setelah terjadinya perceraian dari perceraian kedua orang tuanya, berlandaskan fungsi Negara hukum mengaku dan melindungi HAM.

Seorang anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan berdasarkan kasih sayang, pelayanan untuk berkembang, pemeliharaan dan perlindungan baik semasa kandungan atau setelah dilahirkan, perlindungan ligkungan hidup yang menghambat perkembangan.28

Hak-hak anak yang dilindungi oleh pasal 41 huruf a UU No. 1 Tahun 1974 dielaskan secara lebih mendalam hak untuk mendapatkan pemeliharaan dan pendidikan dari kedua orang tuanya. Baik ibu atau bapak si anak berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anak yang mereka peroleh selama pernikahan sampai anak tersebut dewasa atau dapat berdiri sendiri. Hak untuk dipelihara ini lebih mengacu kepada pemenuhan kebutuhan secara lahiriah, anak-anak berhak untuk mendapatkan pemeliharaan anggota jasmaninya dari kedua orang tuanya. Peran kedua orang tua dalam menjaga anak-anak mereka dapat berupa pemenuhan sandang, pangan dan papan yang merupakan kebutuhan primer hingga jika memungkinkan pemenuhan kebutuhan tertier. Sedangkan hak untuk mendapatkan pendidikan ini lebih mengacu kepada pembinaan kejiawaan atau rohaniah si anak, pemenuhan kebutuhan ini dapat berupa memberikan pendidikan atau pengajaran ilmu pengetahuan yang terdapat di jenjang sekolah, pendidikan agama, pendidikan kepribadian dan berbagai pendidikan lainnya yang berkaitan

28


(51)

dengan pembinaan dari kejiwaan si anak. Baik pemeliharaan maupun pendidikan, keduanya harus mendapatkan perhatian serius oleh kedua orang tua si anak, walaupun di saat putusan cerai dibacakan oleh hakim di depan sidang pengadilan menjatuhkan hak asuh kepada salah satu pihak, bukan berarti pihak yang tidak diberikan hak asuh tersebut dapat lepas bebas tanggung jawab. Keduanya tetap bertanggung jawab dalam hal pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka.29

Jadi penulis menarik kesimpulan, bahwa konsekuensi yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dari suatu perceraian terhadap anak adalah sebagai berikut :

a. Orang tua berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya hingga anak-anak tersebut dapat berdiri sendiri yang dlaksankan sebesar-besarnya untuk kepentingan si anak.

b. Kedua orang tuanya bertanggung jawab terhadap pengadaan biaya pendidikan dan pemeliharaan anak-anak.

Dengan demikian kedudukan anak tersebut secara hukum tetap dilindungi. Dan perlindungan hukum ini adalah hak anak-anak tersebut yang ditujukan untuk kelangsungan masa depan anak-anak tersebut.

E. Perceraian Menurut Putusan Pengadilan Negeri No.

411/Pdt.G/2012/Pn.Mdn

Seperti yang telah penulis paparkan di penjelasan mengenai sumber hukum formal perceraian menurut putusan Pengadilan, Putusan Pengadilan menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah sumber hukum terpenting setelah peraturan


(52)

undangan, sebagaimana terfleksi dari pasal 39 ayat (1) yang memuat ketentuan imperative bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Ini berarti bahwa tidak ada perceraiab, jika tidak ada putusan pengadilan. Sebaliknya, tidak ada putusan pengadilan, jika tidak ada perkara perceraian.

Putusan pengadilan mengenai perceraian yang diharuskan oleh Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 dapat menjadi yurispudensi, dalam arti jika semua hakim di pengadilan menggunakan metode penafsiran yang sama terhadap suatu norma-norma hukum perceraian dalam peraturan perundang-undangan dan menghasilkan kejelasan yang sama pula serta diterapkan secara terus menerus dan teratur terhadap perkara atau kasus hukum perceraian yang berlaku umum yang harus ditaati oleh setiap orang seperti halnya undang-undang dan jika perlu dapat digunakan paksaan oleh alat-alat Negara supaya hukum perceraian yang dibentuk oleh hakim di pengadilan tersebut betul-betul ditaati. Hukum perceraian yang terbentuk dari putusan-putusan hakim pengadilan seperti itu dinamakan yurisdpudensi atau hukum dari putusan hakim.

Menurut Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975 perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan Negeri. Selanjutnya, putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum berdasarkan Pasal 34 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975.30

30


(53)

Dari penjelasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa perceraian sah terjadi apabila sudah dinyatakan di depan sidang Pengadilan Negeri dengan proses-proses dalam acara persidangan seperti yang penulis paparkan di atas.

Tidak ditemukan definisi mengenai perceraian dalam Putusan Pengadilan Negeri No. 411/Pdt.G/2012/PN.Mdn. Perceraian menurut Putusan Pengadilan Negeri No. 411/Pdt.G/2012/PN.Mdn adalah Putusnya suatu perkawinan yang diakibatkan dinyatakannya Cerai oleh Hakim di depan sidang Pengadilan Negeri Medan. Putusan Pengadilan Negeri No. 411/Pdt.G/2012/PN/Mdn merupakan perkara perceraian antara Krisna Wenny dan Loganaden Jibalen. Putusan ini diputuskan pada tanggal 27 Februari 2013 oleh Majelis Hakim yang memeriksa yaitu Erwin T. Pasaribu, SH. MH (Hakim Ketua Majelis), Leliwaty, SH. MH (Hakim Anggota I) dan Sarpin Rizaldi, SH (Hakim Anggota II), serta Yunita Bangun, SH sebagai Panitera Pengganti.

Hakim Pengadilan Negeri Medan memutuskan perkara perceraian tersebut dikarenakan berbagai alasan yang digugat oleh penggugat dan penggugat rekonpensi. Penggugat menyatakan bahwa hubungan perkawinan antara penggugat dan tergugat tidak lagi mengalami keharmonisan. Pengggugat menuding tergugat selalu melakukan tindakan kasar disertai perkataan kasar kepada penggugat sehingga rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak harmonis dalam berkomunikasi.

Ketidak harmonisan rumah tangga mereka telah mencoba proses perdamaian dengan cara merundingkan masalah ini dengan keluarga besar penggugat dan tergugat. Penggugat dalam surat gugatannya mengatakan bahwa


(54)

penggugat telah diusir dari rumah dan tidak diijinkan tergugat untuk menemui anak kandungnya hasil perkawinan penggugat dan tergugat.

Tergugat dalam gugatan rekonpensinya menyatakan bahwa ketidakharmonisan rumah tangga Penggugat dalam rekonpensi dan Tergugat dalam rekonpensi adalah dikarenakan perbuatan Tergugat dalam rekonpensi sendiri yang selalu curiga kepada Penggugat dalam rekonpensi yang bekerja sebagai supir truk dan menuduh Penggugat dalam rekonpensi tidak setia. Penggugat dalam rekonpensi juga tidak ingin hidup bersama lagi dengan tergugat dalam rekonpensi karena tergugat rekonpensi pernah tertangkap basah sedang berduaan di dalam sebuah kamar hotel tanpa memakai busana hanya mengenakan handuk saja dengan seorang laki-laki yang diduga adalah selingkuhan Tergugat rekonpensi, dan disaksikan dengan beberapa orang saksi . Tergugat rekonpensi juga pernah dijatuhi hukuman penjara karena melakukan penggelapan uang perusahaan tempat Tergugat dalam rekonpensi bekerja.

Setelah kejadian tersebut Pengugat dalam rekonpensi telah merasa dkhianati tergugat dalam rekonpnesi, maka Penggugat dalam rekonpensi sudah tidak lagi ingin hidup bersama dengan tergugat dalam rekonpensi. Untuk tu pada tanggal 10 Maret 2012 Penggugat dalam dalam rekonpensi dan tergugat dalam rekonpensi membuat Surat Kesepakatan Bercerai atas kesepakatan bersama dan ditanda tangani oleh Penggugat dalam rekonpensi dan Tergugat dalam rekonpensi.

Tetapi Majelis Hakim menolak menyatakan sah secara hukum surat kesepakatan bercerai tersebut menimbang bahwa di dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengenal adanya suatu perceraian


(55)

yang terjadi dengan kesepakatan, karena terjadinya suatu pereraian telah diatur dengan jelas di dalam ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu di dalam Pasal 38, Perceraian terjadi karena adanya

1. Kematian; 2. Perceraian;

3. Atas keputusan Pengadilan;

Dari berbagai alasan Penggugat dalam rekonpensi di dapatlah alasan yang dapat dijadikan dasar melakukan perceraian berdasarkan pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan bahwa perceraian terjadi karena alasan salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lainnya yang sukar disembuhkan dan antara suami dan istri terjdi perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus sehingga tidak ada harapan untuk dirukunkan kembali. Maka Majelis Hakim memutuskan Perceraian tersebut bukan atas kesepakatan antara Suami dan Istri tersebut, melainkan atas alasan-alasan yang disampaikan istri melalui surat gugatannya dan alasan-alasan suami atas replik dan gugatan rekonpensinya.

Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan dengan alasan-alasan yang kuat, dan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Walaupun perceraian adalah masalah pribadi baik atas kehendak bersama maupun kehendak salah satu pihak yang tidak perlu adanya campur tangan dari Pemerintah, namun untuk menghindari tindakan kesewenang-wenangan terutama dari pihak


(56)

suami dan juga demi kepastian hukum, maka perceraian harus melalui lembaga Pengadilan.

Bahwa tepatlah keputusan Hakim menyatakan putusnya perkawinan antara Krina Wenny dan Loganaden Jibalen tersebut, dan dinyatakan di depan sidang Pengadilan Negeri Medan sebagai bukti telah dilakukannya perceraian.


(57)

BAB III

HAK ASUH DAN PEMELIHARAAN ANAK DI BAWAH UMUR

SEBAGAI AKIBAT DARI PERCERAIAN

A. Pengertian Hak Asuh Anak Di Bawah Umur

Anak menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak Pasal 1 dapat diurakan sebagai berikut, Anak adalah mereka yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin Bagi mereka yang belum berusia 21 tetapi sudah melakukan perkawinan maka diangap bukan anak-anak lagi, mereka yang sudah berusia 21 tahun atau belum berusia 21 tahun tetapi sudah melakukan perkawinan dianggap telah mempunyai kematangan sosial, kematangan rpibadi dan juga kematangan mental. Batas usia yang dimaksud dapat dikesampingkan sepanjang ditentukan oleh ketentuan perundang-undagam yang bersifat khusus serta mendasarkan pada kenyataan, bahwa seseorang dianggap mampu bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya.31

Sedangkan menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk di dalamnya adalah anak yang masih ada di dalam kandungan .32

Dalam Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan “Belum dewasa ialah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkam sebelum


(58)

mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian.”33

Sedangkan menurut Undang-undang Perkawinan pengertian anak tidak dijelaskan secara jelas, tetapi pada Pasal 7 ayat 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 seorang pria diizinkan kawin (dianggap sudah dewasa dan layak untuk kawin) sesudah mencapai 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita yang sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan terhadap hal ini hanya dapat dimintakan dispensasi.34

Terdapat berbagai pengertian anak dilihat dari aspek hukum sebagai akibat dari tiap-tiap peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tersendiri mengenai umur seorang anak yang dinyatakan belum dewasa.

Ketentuan seorang anak dikatakan di bawah umur atau belum dewasa, atau disebut sebagai anak-anak adalah tergantung masalah atau perbuatan dalam bidang hukum yang mana dan dalam keperluan apa, karena berbeda undang-undang maka berbeda pula penetapan istilah anak-anak.

Kata anak dibawah umur sering dipergunakan untuk menunjukkan anak yang usianya masih sangat muda atau beberapa tahun di bawah batas usia terendah untuk dinyatakan dewasa secara hukum.

Dalam sebuah rumah tangga kehadiran seorang anak merupakan suatu yang tidak bernilai harganya , baik bagi kedua orang tua anak tersebut maupun bagi

33

Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

34


(59)

anggota masyarakat yang lain, sebab anak merupakan asset masa depan sekaligus penerus generasi yang akan datang.

Tetapi terkadang kehadiran seorang anak tidak menjadi suatu pengikat dalam mempertahankan keharmonisan rumah tangga seseorang. Suatu perkawinan tidaklah selalu berjalan mulus dan diliputi berbagai persoalan yang dapat berujung kepada hancurnya rumah tangga tersebut. Perceraian diperbolehkan apabila sudah terjadi pelanggaran terhadap hal-hal yang sangat prinsip di dalam rumah tangga.

Akibat dari perceraian atau boleh dikatakan dampak dari perceraian adalah munculnya masalah baru yaitu hak asuh anak,hak asuh anak merupakan salah satu bagian penting dari sebuah peristiwa hukum akibat perceraian selain masalah harta bersama.

Pada prakteknya mengenai permintaan hak asuh terhadap anak-anak ini biasanya diajukan oleh suami atau istri bersamaan dengan Permohonan Talak apabila suami beragama Islam dan Gugatan Perceraian oleh pihak istri melalui Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri jika para pihak yang berperkara beragama selain Islam.

Apakah yang dimaksud dengan Hak asuh anak. Baik Undang-undng No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam tidak memberikan definisi secara jelas atau pengertian sahih mengenai hal tersebut. Di dalam kedua pasal tersebut disebutkan sebagai berikut: Pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berbunyi “ Akibat putusnya perkawinan karena perceraian” (a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada


(1)

akhlak dan moral si anak itu sendiri, sehingga ada alasan yang dapat dijadikan

penolakan the right of invitation atau hak menemui anak-anak.54

Penguasaan secara hukum atas anak oleh salah satu pihak bukan berarti

menghalangi atau memutus hubungan dengan pihak lain. Penguasaan tunggal atas

anak oleh salah satu pihak bertujuan untuk menempatkan anak bukan sebagai

korban pertikaian. Anak harus diberikan kepastian hukum oleh siapa dia diasuh

agar tidak seperti barang dagangan yang diperbutkan, yang nantinya akan

berdampak secara mental terhadap anak itu sendiri.

Orang tua harus berkomitmen dalam pengasuhan anak setelah perceraian.

Keduanya harus berkerja sama dalam mendidik, menentukan cara pendisiplinan,

menentukan peraturan-peraturan apa yang harus ditaati anak, menentukan waktu

peretemuan, dan menentukan kesepakatan- kesepkatan dalam membesarkan

anak-anak.55

Pasal 2 UU No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak merumuskan

hak-hak anak sebagai berikut : Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan

dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga maupun didalam

asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan

kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa untuk menjadi warga

Negara yang baik anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang

dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan yang

wajar.

54


(2)

Pasal 9 UU No. 4 Tahun 1974 menyebutkan bahwa orang tua adalah yang

pertama tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara

fisik maupun sosial. Sehingga antara orang tua dan anak masih saling

membutuhkan walaupun perkawinan mereka telah putus oleh perceraian.

Permasalahan yang timbul dari pemberian hak asuh anak tersebut ialah

keinginan dari salah satu orang tua yang tidak mendapat hak asuh untutk tetap

dapat bertemu dengan anak-anaknya yang berada di dalam pengasuhan orang tua

yang mendapatkan hak asuh atas anak tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa

pemberian hak asuh kepada salah satu pihak, entah itu diberikan kepada Bapak

atau Ibunya, tidak akan menghilangkan hubungan antara Bapak atau Ibu yang

tidak memiliki hak asuh anak tersebut. Hal tersebut kemudian ditegaskan oleh

Hakim Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara

perceraian antara Krisna Wenny dan Loganaden Jibalen.

Apabila nantinya salah satu orang tuanya mendapat ketidak adilan ataupun

merasa hak anak tersebut diperlakukan tidak adil, misalnya tidak iberikan

kesempatan untuk bertemu, maka dapat ditempuh langkah hukum dengan dasar

UU Perlindungan anak dan untuk keputusannya adalah wewenang dari Majelis

Hakim.

Kemudian agar tidak terjadi penutupan akses anak-orang tua, perlu

mekanisme pemantauan atas pelaksanaan isi putusan pengadilan. Komisi

perlindungan anak dapat berperan dalam ranah itu. Jika terbukti ada pelanggaran,

penulis berpendapat agar diberikan sanksi pidana yang sifatnya memberikan efek


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dengan memperhatikan kembali uraian-uraian yang telah penulis paparkan

terdahulu dalam Bab I sampai dengan Bab IV, sampailah penulis pada bagian

kesimpulan yang merupakan rangkuman dari bab-bab terdahulu yang dianggap

merupakan hal yang terpenting.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :.

1. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh. Mendidik,

memelihara, membina melindungi dan menumbuhkembangkan anak sesuai

dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat serta minatnya.

(Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002). Agar seorang anak dapat

bertumbuh kembang dengan baik, selain harus mendapatkan pemeliharaan

yang baik, juga perlu berada dalam lingkungan yang baik pula.

2. Dalam putusan Nomor 411/Pdt.G/2012/PN/Mdn terdapat beberapa

pertimbangan hakim dalam memutus gugatan cerai Si Istri/Penggugat/Ibu

yang didalamnya terdapat permintaan penetapan hak asuh atas anak mereka

J. Akash Dil Radj yang selama ini berada di dalam pemeliharaan si

Suami/Tergugat/Bapak. Pertimbangan ini kemudian diteliti agar

menghasilkan putusan yang sifatnya adil dan tidak memihak ke pihak


(4)

Majelis Hakim untuk menetapkan si Suami/Tergugat/Bapak sebagai

pemegang kuasa pemeliharaan J. Akash Dil Radj. Putusan ini semata-mata

untuk kepentingan si anak, walaupun secara fitrah seorang Ibu lebih telaten

mengasuh dan mengurus anak, namun dalam kasus ini dilihat beberapa

faktor yaitu, alasan perceraian antara Penggugat dan Tergugat, bukti-bukti

yang didapat di persidangan dan keterangan dari saksi-saksi bahwa si Ibu

atau Penggugat tidak menunjukkan sikap yang baik untuk seorang ibu.

Maka kemudian demi kepentingan si anak, Majelis Hakim memutuskan

untuk memberikan hak asuh anak Penggugat dan Tergugat kepada

Tergugat sebagai Bapak dari anak tersebut.

3. Dalam putusan yang ditetapkan oleh Majelis hakim Pengadilan Negeri

Medan mengenai hak asuh anak J. Akash Dilradj, Tergugat Konvensi atau

Penggugat rekovensi dinyatakan sebagai pemegang hak asuh anak tersebut,

sampai anak tersebut dewasa dan dapat menentukan sikapnya serta

Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonpensi harus member kesempatan

kepada Tergugat Rekonpensi/Penggugat Konvensi selaku ibu kandung dari

anaknya untuk menjenguk dan bertemu anak tersebut dirumah Tergugat

Konvensi/Penggugat Rekonpensi dalam setiap kesempatan.

B. Saran

Sebagai upaya untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera dalam

kehidupan rumah tangga dan dalam hal ini memperoleh anak sebagai keturunan


(5)

perhatian yang baik dari suami dan istri tentang arti dan tujuan dari

dilangsungkannya perkawinan tersebut. Dalam kaitan tersebut, seyogiayanya :

1. Para pihak yang akan melangsungkan perkawinan terlebih dahulu telah

memiliki bekal pengetahuan tentang hak dan kewajiban antara suami dan

istri maupun mengenai peran dan tanggung jawabnya sebagai orang tua

dari anak hasil perkawinan mereka tersebut.

2. Aparat pemerintah diharapkan sebagai pioneer terdepan penegak hukum

yang harusnya lebih aktif mamberikan penyuluhan dan pembinaan hukum,

terutama mengenai aturan-aturan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan, karena didalam Undang-Undang tersebut

terdapat aturan mengenai hak dan kewajiban suami istri, akibat perceraian

dan hak dan tanggung jawab orangtua terhadap anak baik dalam

perkawinan maupun setelah perkawinan tersebut putus karena perceraian.

Hal ini selanjutnya bertujuan agar masyarakat dapat melaksanakan suatu

kehidupan rumah tangga yang sejahtera dan terhindar dari perceraian.dari

kesejahteraan rumah tangga itulah nantinya tumbuh masyarakat yang

sejahtera, aman dan tentram karena keluarga merupakan bagian terkecil


(6)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Hadikusuma, Hilman, H,2007, Hukum Perkawinan Nasional, CV. Mandar Maju, Bandung

Harahap, Yahya M., 1975, Hukum Perkawinan Nasional, CV. Zahir Trading co Medan, Medan

Kamello, Tan, 2011, Hukum Orang dan Keluarga, USU Press, Medan

Malik, Rusli, H., 2000, Memahami Undang-Undang Perkawinan, Penerbit Universitas Trisakti

Marpaung, Happy,1983, Masalah Perceraian, Penerbit Tonis, Bandung

Muhammad, Abdulkadir, 1978, Hukum Acara Perdata, Penerbit Alumni, Bandung

Prinst, Darwin, 1999, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Prawirohamidjojo, Soetojo R. dan Pohan Marthalena, 1986, Hukum Orang dan Keluarga, Penerbit Alumni, Yogyakarta

Prodjohamidjojo, Martiman, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Karya Gemilang, Jakarta

Pugung, Solahudin, 2011, Mendapatkan Hak Asuh Anak dan Harta Bersama, CV. Karya Gemilang, Jakarta

Subekti, 1986, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta