Penyelesaian Sengketa Pembebasan Tanah Ulayat untuk Pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan Provinsi Sumatera Utara

A. Latar Belakang
Fungsi tanah bagi kehidupan manusia adalah sebagai tempat dimana manusia
tinggal, melaksanakan aktivitas sehari-hari, menanam tumbuh-tumbuhan, hingga
menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi manusia. Tanah bagi kehidupan
manusia memiliki arti yang sangat penting, karena sebagian besar dari
kehidupannya tergantung pada tanah. Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang
Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Sejak lahir sampai meninggal
dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber
kehidupan. Dalam hal ini, tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural,
politik dan ekologis.1
Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Tanah juga menjadi sumber daya yang sangat vital mengingat kedudukannya sebagai
faktor produksi yang sifatnya tetap dan terbatas. Hal tersebut menyebabkan nilainya
semakin meningkat. Kondisi tersebut membuat tanah yang menyangkut hajat hidup
orang banyak dipercayakan pengelolaan dan pengaturannya kepada pemerintah
sebagai representasi dari negara. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah
dipunyai orang dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai
seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan
haknya, sampai di situlah batas kekuasaan negara.2
Pentingnya tanah bagi suatu masyarakat, demikian juga masyarakat adat tidak
dapat dipungkiri lagi bahkan masyarakat adat akan siap mempertaruhkan nyawanya

apabila tanah yang merupakan tempat tinggalnya yang merupakan tumpuan
kehidupannya serta yang mempunyai nilai religius magis terusik dari kehidupannya
atau yang dikenal dalam masyarakat adat sebagai Hak Ulayat.
Menurut Maria Sumardjono untuk menentukan ukuran hak ulayat perlu
ditentukan tiga ciri pokok, yaitu: 1(a) adanya masyarakat hukum adat yang
1
2

Benhard Limbong, Konflik Pertanahan, ( Jakarta : Margaretha Pustaka, 2012), hal 2.
Lihat penjelasan umum UUPA No.5 Tahun 1960, Bagian II.

Universitas Sumatera Utara

memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat; (b) tanah/wilayah dengan
batasan-batasan tertentu yang merupakan subyek hak ulayat; (c) adanya
kewenangan masyarakat hukum untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu
yang ditentukan, oleh karena itu menurut beliau pengakuan hak ulayat adalah
wajar.3
Obyek yang menjadi hak ulayat tidak hanya tanah tetapi meliputi juga hutan
belakar, perairan (sungai-sungai, perairan pantai laut) dan tanaman yang tumbuh

sendiri beserta binatang yang hidup liar. Menurut ketentuan hukum adat hak ulayat
dapat berlaku ke dalam dan berlaku keluar. Berlaku kedalam berarti anggota
masyarakat dapat mengambil keuntungan dari tanah, tumbuh-tumbuhan dan binatang
yang terdapat disitu. Hak ulayat ini mempunyai hubungan yang timbal balik dengan
hak perserorangan, bila hak perorangan kuat, hak ulayatnya melemah. Sebaliknya bila
seseorang yang meninggalkan hak perorangannya, maka hak ulayat berlaku kembali.
Berlaku keluar berarti bahwa orang luar hanya boleh memungut hasil tanah dan lainlain dalam lingkungannya sesudah mendapat ijin dari kepala adat atau masyarakat
dan membayar uang pengakuan.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Perundang-Undangan di
bidang pertanahan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria yang disebut UUPA. UUPA merupakan pedoman pokok
yang mengatur masalah pertanahan. Undang-Undang Pokok Agraria menggunakan
istilah Hak Ulayat (wilayah) untuk menunjukkan pada tanah yang merupakan wilayah
lingkungan masyarakat hukum bersangkutan. UUPA mengakui keberadaan
lingkungan masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Pengakuan terhadap hak ulayat

3

Maria S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi,
(Jakarta : Kompas, 2001), hal 54.


Universitas Sumatera Utara

dilakukan sepanjang menurut kenyatannya masih ada, tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Berbeda dengan Undang-Undang Dasar
1945 sebelum perubahan, UUPA memperkenalkan konsep pengakuan bersyarat, yang
kemudian diikuti secara baku oleh peraturan perundangan sesudahnya.
Lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tersebut kebijakan-kebijakan
pertanahan di era pemerintahan kolonial Belanda mulai ditinggalkan. Undangundang yang disusun di era pemerintahan Presiden Soekarno ini menggantikan
Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip domein verklaring-nya
(semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan
pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik
negara/milik penjajah Belanda). UUPA merupakan produk hukum pada era Orde
Lama yang menghendaki adanya perubahan dan pembaharuan di bidang agraria
dan pertanahan serta menghendaki terwujudnya pembangunan yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan pemerintahan pada saat itu lebih
diupayakan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
sebagaimana telah digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Implementasi
program land reform untuk membatasi luas pemilikan tanah ini dalam
pelaksanaannya ternyata mengalami hambatan. Para tuan tanah berusaha
menghindari ketentuan-ketentuan UUPA dengan berbagai cara. Hal lain yang
menarik dari masalah tanah pada saat itu adalah digunakannya pelaksanaan land
reform.4
Perubahan rezim, yang kemudian merubah politik agrarianya di masa Orde
Baru, memunculkan kondisi-kondisi yang relatif sama bagi petani. UUPA sebagai
peraturan pokok yang mengatur tentang Agraria meskipun tidak pernah dicabut, akan
tetapi kemudian dikeluarkan berbagai peraturan lain, yang tidak mengacu bahkan
bertentangan dengan jiwa dan semangat UUPA itu sendiri. Sejalan dengan perubahan
kebijakan rezim yang lebih menitik beratkan pada pembangunan yang berorientasi

4

Ririn Darini, Sengketa Agraria: Kebijakan dan Perlawanan Dari Masa ke Masa,
(Yogyakarta : Fakultas Ilmu Sosial UNY), hal 8.

Universitas Sumatera Utara


pada pertumbuhan ekonomi yang cepat, maka kebijakan-kebijakan di bidang
pertanahan pun ditujukan untuk mendukung upaya-upaya tersebut. Rezim baru ini
memandang bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi jauh lebih penting
dibandingkan dengan pelaksanaan land reform, sehingga land reform yang dipandang
sebagai instrumen utama dalam mencapai keadilan sosial, tidak mendapatkan tempat
penting pada masa Orde Baru.5
Pada era pemerintahan orde baru terdapat tiga masalah pokok dalam rangka
pelaksanaan UUPA. Tiga pokok permasalahan tersebut adalah pembuatan
peraturan pelaksanaan, penyesuaian kembali beberapa materi peraturan
perundang-undangan tertentu di bidang agraria dan pelaksanaan proses
pembebasan tanah. Pada masa orde baru tuntutan pembangunan nasional
semakin memperbesar kapasitas tuntutan atas tanah dan volume pengambilan
tanah dari masyarakat. Hal ini menjadi masalah karena kriteria kepentingan
umum sebagai alasan pencabutan hak belum diatur dalam peraturan perundangundangan yang proporsional.6

Pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas tanah tidak hanya
dilakukan oleh pemerintah untuk pembangunan berbagai proyek pemerintah,
namun juga diperuntukkan bagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum
oleh pihak swasta tetapi pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk dan cara yang
berbeda. Pemerintah melaksanakan pembebasan, untuk proyek pemerintah atau

proyek fasilitas umum.7
Pemerintah sebagai pengelola secara tidak langsung memiliki kewenangan
untuk mengatur agraria yang dikenal dengan hak menguasai negara. Hak ini
membawa

pemerintah

kepada

peraturan-peraturan

yang

ditujukan

untuk

5

Ifdhal Kasim dan Endang Suhendar, Kebijakan Pertanahan Orde Baru : Mangabaikan

Keadilan Demi Pertumbuhan Ekonomi, dalam Teguh Purnomo, Hukum Dan Sengketa Pertanahan:
Studi Kasus Gerakan Organisasi Petani SeTAM (Serikat Tani Merdeka) dalam Proses Reklaiming di
desa Desa Mulyadadi Kecamatan Cipari Kabupaten Cilacap, Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2005, hal 8.
6
Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah , (Yogyakarta : Total Media ,
2009) hal 175.
7
Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam PengadaanTanah Untuk
Pembangunan, (Jakarta : Sinar Grafika) , 2007, hal 46.

Universitas Sumatera Utara

kesejahteraan rakyat. Salah satunya adalah dalam bentuk perencanaan pembangunan
infrastruktur yang mengatasnamakan kepentingan umum. Pada perkembangannya,
perencanaan pemerintah tersebut sering harus berhadapan dengan hak rakyat yang
menjadi pemilik tanah. Hal tersebut menyebabkan adanya peraturan sepihak yang
sifatnya memaksa karena proyek untuk kepentingan umum yang akan dilakukan tidak
dapat dipindahkan ke tempat lain atau yang lebih dikenal sebagai penggusuran untuk
kepentingan umum.

Kepentingan umum merupakan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan
yang memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain menyangkut perlindungan hak-hak
individu sebagai warga negara, dan menyangkut pengadaan serta pemeliharaan sarana
publik, dan pelayanan kepada publik.8 Kepentingan umum juga dikatakan sebagai
suatu proyek yang dilakukan pemerintah untuk masyarakat dan tidak bertujuan untuk
mencari keuntungan.9 Oleh karena itu tanah memegang peranan yang sangat penting,
bahkan menentukan berhasil tidaknya suatu pembangunan. Kegiatan pembangunan
yang dilaksanakan baik untuk kepentingan umum maupun swasta selalu
membutuhkan tanah sebagai wadah pembangunan. Saat ini, pembangunan terus
meningkat sedangkan persediaan tanah tidak berubah. Keadaan ini berpotensi
menimbulkan sengketa tanah karena kepentingan umum dan kepentingan perorangan
saling berbenturan. Pemerintah menjadi pihak yang wajib dan berwewenang

8

Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya,
(Jakarta : Kompas 2008), hal 244.
9
Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal 208.


Universitas Sumatera Utara

mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang muncul sekaligus
menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa.
Permasalahan yang sering terjadi sengketa pertanahan masih terdapat
permasalahan-permasalahan di bidang pertanahan sebagai akibat dari
peninggalan zaman kolonial Belanda yaitu belum diperolehnya jaminan dan
kepastian hukum hak atas tanah ulayat yang dikuasai oleh perorangan atau
keluarga/kaum sebagai akibat dari tanah-tanah ulayat yang tidak mempunyai
bukti tertulis, maka di dalam proses pensertifikatannya sering terjadi masalahmasalah berupa sengketa, baik dalam hal batas maupun sengketa dalam siapasiapa yang sebenarnya berhak atas tanah tersebut.10
Pada perkembangannya, kepentingan umum ini menjadi suatu permasalahan
yang besar dalam kehidupan masyarakat, yaitu sejak unifikasi dari Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria hingga muncul Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum masih membatasi konsep
kepentingan umum ke dalam suatu daftar kegiatan, tanpa menjelaskan kegiatankegiatan lain yang tidak termasuk dalam daftar kegiatan tersebut.
Pengadaan tanah pada dasarnya dilakukan demi melakukan pelakasanaan
pembangunan, namun dalam melaksanakannya dibutuhkan tanah, sehingga proses
dalam penyediaan tanah dalam rangka pembangunan ini yang disebut proses

pengadaan

tanah.

pembangunan

Berkenaan

kepentingan

dengan

umum,

pengadaan

Pemerintah

tanah
Republik


bagi

pelaksanaan

Indonesia

telah

mengeluarkan beberapa peraturan penting. Diantaranya adalah lahirnya Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 yang di latar belakangi oleh ketentuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok

10

Maria S.W. Sumardjono, Op.cit, hal 1.

Universitas Sumatera Utara

Agraria Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1 yang
berbunyi, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat”.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 merupakan sebuah langkah perbaikan,
karena peraturan perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa
keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Dengan diterbitkannya undangundang tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam
pengadaan tanah. Beberapa permasalahan mendasar dalam proses pengadaan tanah
selama ini antara lain: pertama, belum tersedianya aturan dasar, prinsip, prosedur dan
mekanisme pengadaan tanah; kedua, belum ditetapkannya kelembagaan pengadaan
tanah; ketiga, tidak adanya peraturan khusus pembiayaan pengadaan tanah; dan
keempat, belum jelasnya kriteria kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai
kepentingan umum. Keempat permasalahan tersebut menjadi salah satu penghambat
untuk mencapai tujuan pembangunan untuk kepentingan umum. Dalam melakukan
kegiatan pengadaan tanah, maka untuk memperoleh tanah yang dibutuhkan maka
harus ada ganti kerugian kepada pihak yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Maka sehubungan
dengan itu, pengadaan tanah selalu menyangkut dua sisi demensi yang harus
ditempatkan secara seimbang, yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan
pemerintah.

Universitas Sumatera Utara

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang ditetapkan pada bulan Januari 2012,
merupakan undang-undang yang ditunggu-tunggu. Alasan diterbitkannya UndangUndang Nomor 2 Tahun 2012 karena pelaksanaan pengadaan tanah pada saat ini
masih lambat dalam mendukung pembangunan infrastruktur. Pelaksanaan pengadaan
tanah selama ini masih dilakukan secara ad hoc dan menimbulkan banyak
permasalahan serta belum menjamin kepastian waktu dalam pembebasan tanahnya.
Sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang
mengatur teknis pembebasan lahan, maka pada tanggal 7 Agustus 2012 yang lalu,
Presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Pengkajian Dan Penanganan Kasus Pertanahan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor
71 Tahun 2012 juga diatur keharusan instansi yang memerlukan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum agar menyusun dokumen perencanaan
pengadaan tanah. Karena itu harus disebutkan tujuan rencana pembangunan,
kesesuaian dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), letak tanah, luas tanah
yang dibutuhkan, gambaran umum status tanah, dan perkiraan nilai tanah. Lalu
selanjutnya diserahkan kepada Gubernur yang melingkupi wilayah dimana letak
tanah berada. Selain itu, terdapat pengaturan soal penolakan dari pihak yang berhak
untuk penggantian rugi atas lahan tersebut dan sengketa lahan di pengadilan. Terkait
pengaturan sumber dana pengadaan tanah, termasuk pengadaan tanah berskala kecil

Universitas Sumatera Utara

maupun pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur minyak, gas, dan panas
bumi juga tidak luput diatur didalamnya.
Pengaturan hukum tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan
segala pengaturan yang terkait di Indonesia telah mengalami proses perkembangan
sejak

unifikasi

Undang-Undang

Nomor

5

Tahun

1960

tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA).11 Peraturan
Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan
Pertanahan Nasional mendapatkan mandat untuk melakukan pengkajian dan
penanganan sengketa dan konflik pertanahan dan untuk itu dibentuk kedeputian
khusus untuk menangani mandat tersebut. Untuk menjalankan amanat tersebut,
Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan
Tanah. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan Umum.
Sejumlah peraturan yang tersangkut di dalam pengadaan tanah, dapat
disimpulkan bahwa cara memperoleh tanah dalam pelaksanaan pengadaan tanah,
yakni dengan memberi ganti rugi (cara yang paling utama), melepaskan hak atas
tanah, dan dengan mencabut hak atas tanah. Secara Normatif, semua hak tanah
mempunyai fungsi sosial, itu artinya hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang,
penggunaannya tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi, terlebih lagi apabila
11

UUPA telah mengakhiri dualisme hukum pertanahan di Indonesia, yang dengan tegas telah
mencabut Agrarische Wet (s. 18750-55), kemudian Domein verklaring yang tersebut dalam Pasal 1
Agrarische Besluit. Domein verklaring untuk daerah Sumatera, Keresidenan Manado dan Keresidenan
Borneo, Koninklijk dan buku kedua dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Lihat Konsiderans
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.

Universitas Sumatera Utara

hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan
dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya sehingga bermanfaat, baik bagi
kesejahteraan pemiliknya mapun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara.
Pemerintah sebagai pengelola secara tidak langsung memiliki kewenangan
untuk mengatur agraria yang dikenal dengan hak menguasai negara. Hak ini
membawa

pemerintah

kepada

peraturan-peraturan

yang

ditujukan

untuk

kesejahteraan rakyat. Salah satunya adalah dalam bentuk perencanaan pembangunan
infrastruktur yang mengatasnamakan kepentingan umum. Pada perkembangannya,
perencanaan pemerintah tersebut sering harus berhadapan dengan hak rakyat yang
menjadi pemilik tanah. Hal tersebut menyebabkan adanya peraturan sepihak yang
sifatnya memaksa karena proyek untuk kepentingan umum yang akan dilakukan tidak
dapat dipindahkan ke tempat lain atau yang lebih dikenal sebagai penggusuran untuk
kepentingan umum.
Perubahan menyolok dalam sengketa tanah pada masa orde baru adalah pihakpihak yang bersengketa. Pada periode ini konflik tidak lagi melibatkan petani kecil
atau petani penggarap dengan tuan tanah melainkan antara pihak pemilik tanah
(petani/rakyat) dengan pihak pemilik modal besar dan negara. Negara dapat bertindak
sebagai fasilitator yang memberi dukungan terhadap pemilik modal besar dan bahkan
negara itu sendiri, dengan mengatasnamakan pembangunan, merupakan pihak yang
secara langsung bersengketa dengan rakyat. Sengketa tanah pada era Orde Baru
justru muncul dalam frekuensi yang lebih banyak dengan alasan yang berbeda.
Wilayah sengketa juga semakin meluas, tidak hanya terjadi pada masyarakat
pedesaan tetapi juga pada masyarakat perkotaan. Penggusuran rumah tinggal di

Universitas Sumatera Utara

berbagai kota besar misalnya, yang digunakan untuk keperluan para pemilik modal,
pengembang perumahan-perumahan mewah, maupun sejumlah proyek milik
pemerintah.12 Sengketa tanah terjadi antara pemerintah dengan rakyat karena
kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait di bidang pertanahan. Misalnya,
tidak adanya sinkronisasi antara suatu sektor dengan sektor lainnya. Banyak sekali
peraturan-peraturan yang tidak berjalan, ataupun saling bertabrakan dengan peraturan
lain.13 Setiap pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah, orang-orang atau pejabat
berwenang seharusnya benar-benar memahami peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagai landasan hukum dan teknis pelaksanaan tugas dengan baik, sehingga
pencapaian hasil tidak menimbulkan masalah atau sengketa baru.14
Dalam

penanganan

masalah

pertanahan

telah

memberikan

arahan

menyelesaikan sengketa pertanahan yang berkenaan dengan sumber daya agraria
yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi sengketa tanah di masa
mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas
prinsip-prinsip antara lain memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman
unifikasi hukum, mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam

12

Ririn Darini, Op.cit, hal 9-10.
Maria S.W. Sumardjono, Op.cit, hal 2.
14
Sriyono, Peran Kantor Pertanahan dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan di
Kabupaten Karanganyar, Program Studi Magister Kenotariatan, (Semarang : Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro 2006), hal 18.
13

Universitas Sumatera Utara

penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya
agraria/sumber daya alam, melaksanakan fungsi sosial dan sebagainya.
Tanah ulayat sebenarnya bukan milik pemerintah, dan bukan pula milik orang
tertentu. Tanah ulayat ini diadakan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh
masyarakat, sehingga tiadanya kepemilikan berarti bahwa semua masyarakat boleh
memanfaatkan tanah itu untuk kepentingannya. Biasanya pengelolaan tanah ulayat ini
dimiliki oleh suatu suku atau kelompok adat tertentu, dimana tanah ulayat itu berada.
Oleh karena itu, tanah ulayat biasanya identik dengan tanah milik adat dan
pengaturannya dilakukan oleh masyarakat hukum adat. Karena adat itu berbeda-beda
antara suku yang satu dengan yang lain, maka pengaturan tanah ulayat juga berbedabeda, tergantung dari suku yang menguasai tanah ulayat tersebut. 15 Pengadaan tanah
erat sekali hubungannya dengan pencabutan, pembebasan atau pelepasan hak atas
tanah yang diperlukan baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan
swasta, yang sering kali menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Hal ini
disebabkan karena adanya berbagai kepentingan yang saling bertentangan antara yang
satu dengan yang lainnya.
Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang diselenggarakan oleh
pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga negara demi kepentingan umum,
yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama rakyat, kepentingan bangsa dan

15

Admin, Proses Pengalihan dan Eksistensi Hak Ulayat atas Tanah Adat Suku Wamena
Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua, melalui http://www.skripsi-tesis.com/07/02/proses-pengalihandan-eksistensi-hak-ulayat-atas-tanah-adat-suku-wamena-jayawijaya-provinsi-papua-pdf-doc.html/
diakses pada tanggal 1 Desember 2011, pukul 16.25 WIB.

Universitas Sumatera Utara

negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961 dinyatakan bahwa:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka
Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendengar Menteri Agraria,
Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah
dan benda-benda yang ada di atasnya”.
Memperhatikan ketentuan yang ada pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961 di atas, maka sebelum Presiden mengeluarkan keputusan terhadap tanah
yang akan dicabut hak-hak atasnya, terlebih dahulu mesti dilakukan suatu
permohonan yang diajukan kepada yang berkepentingan seperti yang telah tertuang di
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961.16 Dasar pokok dari UndangUndang No 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah itu adalah ketentuan
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) yang menggariskan untuk
kepentingan umum negara dapat melakukan pencabutan hak atas tanah. Pasal 18
UUPA tersebut selengkapnya sebagai berikut: “untuk kepentingan umum, termasuk
kepentingan bersama dari rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi
ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”.
Pencabutan hak atas tanah adalah berupa suatu tindakan dari pihak
negara/alat-alat perlengkapannya yang dilakukan secara paksa terhadap tanah dan
benda yang ada diatasnya kepunyaan penduduk untuk diserahkan kepada pihak yang
meminta pencabutan itu, sedangkan yang bersangkutan tidak pernah melakukan suatu
pelanggaran hukum ataukah melalaikan suatu kewajiban hukum yang dibebankan
Tri
Asnada,
“Prosedur
Pencabutan
Hak
Atas
Tanah”,
melalui
http://treasnada.blogspot.com/2011/11/prosedur-pencabutan-hak-atas-tanah_18.htm diakses pada
tanggal 5 Mei 2013, pukul 13.00 WIB.
16

Universitas Sumatera Utara

kepadanya, maka untuk itulah diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 20 tahun
1961.
Kegiatan pelaksanaan fisik dari pencabutan hak tesebut baru dapat dilakukan,
apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak mengenai bentuk dan
besarnya ganti rugi telah disepakati, baik mengenai jumlah uang yang akan
diterima atau tempat dan lokasi tanah pengganti dan tempat permukiman
kembali telah disetujui bersama, serta uang ganti rugi telah diterima dengan baik
oleh warga yang terkena pembebasan. Pencabutan atau pembebasan tanah pada
prinsipnya harus dapat memberi manfaat bagi yang membutuhkan tanah dan
pihak masyarakat yang tanahnya dicabut atau dibebaskan. Pengadaan tanah
untuk kepentingan umum dapat terwujud, sehingga pembangunan dapat
dilaksanakan sesuai dengan rencana peruntukan berbagai fasilitas kepentingan
umum. Di samping itu pihak warga masyarakat pemilik tanah dapat diberikan
ganti rugi yang layak, atau dapat diberikan tanah pengganti dan permukiman
kembali sehingga tingkat kehidupan sosial ekonominya dapat menjadi lebih baik
atau setidak-tidaknya tidak menjadi lebih miskin dari sebelum tanah dicabut atau
dibebaskan. Pada akhirnya, kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan dapat
bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.17
Pasal 8 dari Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak
atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya menyebutkan, bahwa bilamana yang
bersangkutan tidak dapat menerima jumlah ganti rugi yang telah ditetapkan dalam
Keputusan Presiden, dia dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi yang
daerah kekuasaannya meliputi letak tempat tanah yang dicabut haknya.18
Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan hukum
antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian ganti rugi
yang besarnya di dasarkan pada musyawarah antara kedua pihak sedangkan
pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara atas
tanah milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa

17
18

Ibid, hal 5.
Sudaryo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hal

89-90.

Universitas Sumatera Utara

yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi
kewajiban hukumnya.
Permasalahan yang terkait dengan pembebasan tanah masyarakat untuk
kepentingan umum senantiasa menimbulkan polemik. Di satu sisi, negara menjamin
kepemilikan sah individu atas tanah, disisi lain pelaksana kekuasaan negara, yakni
pemerintah berkewajiban menjalankan agenda pembangunan infrastruktur fisik yang
seringkali harus mengorbankan nilai kepentingan individu. Kepentingan umum yang
dijabarkan dari fungsi sosial tanah tidak kalah pentingnya dengan kepentingan
individu pemilik yang dijabarkan dari fungsi ekonomi tanah. Artinya pada saat
dibutuhkan demi kepentingan umum, kepentingan individu bisa dikompromikan
bahkan dikalahkan dan hak milik atas tanah harus dilepaskan.19
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961 pada Pasal 4 ayat (2) diatur bahwa
pelepasan tanah ulayat untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang
memerlukan hak guna usaha atau hak pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat
hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu,
sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak
dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga hak guna usaha atau hak pakai
yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan
berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan
sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan
Pasal 2. Pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang
dimiliki pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur pengelolaan barang milik negara/daerah. Pelepasan
objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dikuasai oleh pemerintah
atau dikuasai/dimiliki oleh badan usaha milik Negara/badan usaha milik daerah
dilakukan berdasarkan undang-undang nomor 2 Tahun 2012. Pelepasan objek
pengadaan tanah dilakukan oleh pejabat yang berwenang atau pejabat yang
diberi pelimpahan kewenangan untuk itu.20

Trie Sakti, “Permasalahan Pengadaan Tanah”, melalui http://triesakti.blogspot.com
/20s11/01/permasalahan-pengadaan-tanah-di.html, diakses pada tanggal 22 Juni 2013, Pukul 10.00
WIB.
20
Sudaryo Soimin, Op.cit, hal 57-65.
19

Universitas Sumatera Utara

Masyarakat Nias Selatan merupakan masyarakat yang masih hidup dalam
lingkaran kebudayaan dan adat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan
kekeluargaan. Tanah merupakan wadah untuk mencari dan mempertahankan
keberlangsungan hidupnya. Pentingnya arti tanah dalam kehidupan masyarakat Nias
Selatan menyebabkan sering terjadinya kesalahpahaman yang ujung-ujungnya terjadi
persengketaan. Kepemilikan tanah pada masyarakat adat Nias Selatan yang
didasarkan atas kepemilikan bersama berdasar marga dan kekuasaan sehingga
sekarang masih berlaku, namun karena hukum adat kepemilikan tanah berdasarkan
hak ulayat yang tertuang dalam Avore/Fondrako masih bersifat lisan tidak tertulis
menyebabkan kekuatan hukum adat itu sendiri semakin jauh dari harapan apalagi
dengan keadaan generasi sekarang yang sudah tidak mengerti dengan adat
Avore/Fondrako dan lebih mengunakan jalur hukum kepemilikan tanah menurut
Undang-undang Agraria. Akhir-akhir ini tanah memiliki peranan penting dalam
kehidupan masyarakat Nias Selatan, bahkan tanah dekat pantaipun bernilai sangat
ekonomis. Pentingnya arti tanah tersebut kemudian menimbulkan masalah pertanahan
yang akhir-akhir ini menjadi masalah yang semakin banyak kita jumpai dimana-mana
termasuk wilayah adat Nias Selatan. Sebenarnya masalah tanah telah terjadi jauh
sebelum adanya kemajuan di wilayah kabupaten Nias Selatan, misalnya saja
persengketaan antar desa dalam memperebutkan tanah kekuasaan yang hingga
sekarang masih bisa kita jumpai di daerah pelosok-pelosok Kabupaten Nias Selatan,
dan lain sebagainya.
Awal terjadinya masalah pertanahan di Nias Selatan biasanya terjadi karena
beberapa faktor diantaranya penguasaan lahan produktif yang bukan hak milik.

Universitas Sumatera Utara

Penguasaan akan lahan produktif, ini terjadi ketika tanah yang dahulunya tidak
memiliki nilai namun setelah dikerjakan dan diolah serta menghasilkan menjadikan
tanah itu semakin bernilai. Namun, berharganya tanah tersebut kemudian
menimbulkan adanya konflik kepentingan dan pemanfaatan situasi oleh pihak-pihak
yang ingin memperoleh tanah yang bukan miliknya. Hal ini semakin bermasalah
ketika tanah tersebut hanya diukur berdasarkan tanaman atau tanpa sertifikat dan
kepemilikannya hanya diketahui oleh beberapa saksi yang menandatangani surat
tanah yang dikeluarkan oleh kepala desa. Permasalahan makin rumit ketika yang
menjadi saksi telah meninggal dan hal inilah yang kemudian menjadikan pihak lain
memanfaatkan kesempatan tersebut, karena ia yakin akan menang pada saat adanya
penyelesaian sengketa. Apalagi dalam kehidupan masyarakat Nias Selatan bukti surat
akan tanah itu sendiri hanya diperoleh dari adanya kekuatan hukum lokal diatas
materai, terlebih lagi pada masyarakat yang berada jauh dari pusat perekonomian
masyarakat Nias Selatan, kepemilikan tanah makin tidak jelas karena kepemilikan
tanah masih bersifat bersama berdasarkan atas tanah ulayat. Tanah ulayat dalam hal
ini seperti perladangan baru yang dibuka, otomatis kepemilikannya masih didasarkan
atas kepercayaan bersama dengan warga yang juga sama-sama membuka lahan
disekitar tempat tersebut.
Masalah penjualan tanah yang tidak jelas ukurannya, masyarakat Nias Selatan
dahulunya dalam pembagian harta warisan bahkan dalam penjualan tanah hanya
didasarkan sejauh orangtua melemparkan bibit tanaman, misalnya jika ia
melemparkan bibit tanaman durian sejauh 50 meter maka sejauh itulah tanah yang
akan diperoleh masing-masing anaknya atau jika tanaman itu tumbuh maka tanaman

Universitas Sumatera Utara

tersebutlah yang akan menjadi batas tanaman anak-anaknya satu sama lain. Kondisi
inilah yang akhirnya menjadikan kepemilikan tanah makin rumit, terlebih lagi jika
orangtua yang mewariskan tanah tersebut meninggal dunia, akhirnya meninggalkan
konflik berkepanjangan dalam kehidupan anak-cucunya kelak. Jika dulu sistem
tersebut sah-sah saja berlaku karena tanah di Nias cukup luas, tapi kondisi sekarang
tidaklah menunjang diberlakukannya cara demikian malah lambat laun sistem
tersebut akan punah disebabkan cucu-cucunya yang memperoleh warisan berupa
tanah tidak akan mendapat warisan.
Masyarakat Nias Selatan yang merantau, permasalahan sengketa tanah juga
terjadi karena situasi keluarga. Desakan ekonomi dan kurangnya ketrampilan dalam
mengolah lahan pertanian menjadikan anak-anak dari orangtua yang akan
mewariskan tanah orangtuanya pergi merantau. Keputusan merantau dan tanpa
mengetahui batas tanah dari orangtuanya menjadi masalah di kemudian hari, masalah
juga semakin rumit ketika orangtua si anak tersebut meninggal dunia. Permasalahan
lainnya ketika orangtuanya semasa hidupnya telah menjual beberapa bagian tanahnya
kepada orang lain karena tidak sanggup mengolah maupun karena desakan ekonomi,
hubungannya kelak dengan terjadinya sengketa ketika pihak yang membeli tanah
tersebut memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan. Akibat adanya
pembangunan sangatlah penting bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat Nias
Selatan. Terlebih di era modernisasi yang semakin canggih, pembangunan itu sendiri
mengambil peranan penting. Masalah kemudian timbul ketika terjadinya proses
pembelian tanah didasarkan kepercayaan, janji dan ketidaktahuan hukum oleh si
pemilik lahan. Permasalahan sengketa tanah terjadi ketika suaminya meninggal dunia

Universitas Sumatera Utara

sementara siistri pergi merantau ke desa lain. Hal ini pun dimanfaatkan oleh beberapa
pihak yang merasa bisa mempermainkan situasi tersebut, dengan cara mengambil
secara diam-diam hasil-hasil dari lahan tersebut bahkan menggeser batas tanah agar
kelak tanah tersebut menjadi miliknya.21
Di Indonesia keberadaan hak ulayat ini ada yang masih kental, dan ada yang
sudah menipis serta ada yang sudah tidak ada sama sekali. Akan tetapi eksistensi
tanah ulayat itu sendiri masih diakui. Hal ini dapat dilihat masih adanya pengakuan
terhadap tanah ulayat Kabupaten Nias Selatan sesuai dengan peraturan UUPA.
Adapun bunyi ketentuan yang mengukuhkan eksistensi hak ulayat tersebut adalah:22
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan (hukum) lain yang
lebih tinggi”.
Ketentuan Pasal 3 UUPA tersebut atas dapat diketahui bahwa secara hukum
hak ulayat ini diakui sehingga keberadaannya sah menurut hukum. Oleh karena itu,
hak ulayat masih tetap dapat dilasanakan oleh masing-masing masyarakat hukum adat
yang memilikinya termasuk bagi masyarakat hukum adat yang ada di Kabupaten Nias
Selatan.

Dominiria Hulu, “Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias”,
melalui http://dominiriahulu.wordpress.com, diakses pada tanggal 2 Juli 2013, Pukul 09.00 WIB.
22
Lihat Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, Lembaran
Negara No.104 Tahun 1960.
21

Universitas Sumatera Utara

Pengakuan hak ulayat dalam Pasal 3 UUPA, menjadi dasar yang kuat bagi
kelompok masyarakat adat untuk menguasai, mengatur dan memanfaatkan tanahtanah ulayatnya. Maria23 menyebutkan “eksistensi hak ulayat adalah hal yang wajar
karena hak ulayat masyarakat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum
terbentuknya Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945”. Hal yang sama
dikemukakan oleh Daeng24 bahwa Pasal 2 ayat (4) UUPA ditentukan bahwa hal yang
menguasai atas tanah dari negara, pelaksanaanya dapat dikuasakan kepada daerahdaerah swantara dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional. Hal ini berarti bahwa pemerintah tetap
menghargai hukum adat tanah suatu masyarakat.
Pemerintah Kabupaten Nias Selatan memberikan fokus pada pembangunan
sejumlah infrastruktur penting di daerahnya. Salah satunya adalah melanjutkan
pembangunan Bandara Silambo yang sampai saat ini masih terkatung-katung.
Bandara tersebut merupakan salah satu target Pemerintah Kabupaten Nias Selatan
untuk beroperasi paling lambat 2013.25
Satu persoalan besar yang sedang dihadapi bangsa kita adalah dilema yang
terjadi di bidang penegakan hukum. Di satu sisi kuantitas dan kualitas sengketa
yang terjadi dalam masyarakat cenderung mengalami peningkatan dari waktu ke
waktu. Sedangkan di sisi lain, pengadilan negara yang memegang kewenangan
mengadili menurut undang-undang mempunyai kemampuan yang relatif
terbatas. Terlebih-lebih lagi akhir-akhir ini pengadilan negara sedang dilanda
krisis kepercayaan. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan terjadi berlarut-larut,
karena cukup potensial memicu terjadinya tindakan main hakim sendiri
(eigenrichting) atau peradilan massa, yang dapat menimbulkan kekacauan
23

Maria, Op.cit, hal 55.
Daeng, Op.cit, hal 123.
25
Bupati, Bandara Silambo Nias Selatan di Perkirakan Beroperasi Tahun 2013, melalui
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150257560943594/.html, diakses pada tanggal 1
Desember 2011, pukul 15.20 WIB.
24

Universitas Sumatera Utara

(chaos) dalam masyarakat. Solusinya pengembangan penyelesaian sengketa
alternatif di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.26
Di sisi lain, para investor yang ingin berinvestasi di sektor infrastruktur tidak
berani menanamkan modalnya, karena adanya kekuatiran walaupun proyeknya sudah
disetujui untuk dibangun namun pada saat pembangunannya terhambat oleh persoalan
pembebasan tanah, akibatnya penyelesaian proyek tertunda dan bahkan kemungkinan
tidak dapat dioperasikan, sebagai contoh pembangunan Bandar Udara Silambo
Kabupaten Nias Selatan.
Bandar Silambo Kabupaten Nias Selatan yang digagas dan dimulai
pembangunannya oleh Pemkab Nisel, selain akan mengefektifkan jalur transportasi
juga sebagai terobosan menumbuhkan ekonomi masyarakat. Dengan terciptanya
Bandara sebagai pintu masuk akan merangsang keramaian sekitar Nisel dan
menumbuhkan aktifitas ekonomi bisnis sehingga membuka lapangan kerja bagi
masyarakat sekitar. Sehingga disebutkan, masyarakat dan pemerintah serta pihak lain
selayaknya bersekutu dan peduli agar pembangunan bandara yang terbengkalai saat
ini dapat diteruskan. Bappeda sendiri sebelumnya telah merampungkan sistem
perencanaan bandara dan telah disetujui kementerian perhubungan terkait strategis
wilayah bagi Kepulauan Nias, selanjutnya untuk bidang teknis menjadi tugas Pemkab
melalui Dinas PU Bina Marga. Yang menjadi kendala pembangunan saat ini
disebutkan masalah pelepasan tanah milik warga yang belum seluruhnya rampung,
oleh karena itu diminta masyarakat melihat jernih program pembangunan, yang mana
26

Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Indonesia,
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum,
diucapkan di Hadapan Rapat Terbuka (Medan : Universitas Sumatera Utara Gelanggang Mahasiswa,
USU, 2006), hal 2.

Universitas Sumatera Utara

imbas dari kemajuan kelak akan dirasakan masyarakat sendiri. Imbas positif
keberadaan (eksistensi) bandara, disebutkan akan mempengaruhi sistem pola pikir
masyarakat, mindset yang lebih terpimpin akan tercipta dengan pembauran
masyarakat dengan warga tamu atau pendatang dengan tujuan wisata dan tujuan
lainnya. 27
Pemerintah Kabupaten Nias Selatan memberikan fokus pada pembangunan
sejumlah infrastruktur penting di daerahnya. Salah satunya adalah kelanjutan
pembangunan Bandara Silambo yang sampai saat ini masih terkatung-katung.
Bandara Silambo ditargetkan segera beroperasi karena keberadaan bandara itu akan
memberi akses yang cepat bagi pariwisata Nias Selatan dimana dunia luar dengan
mudah menjangkaunya. Meski dalam rencana pemerintah pusat bandara itu hanya
air

berkelas

strip,

namun

Pemerintah

Kabupaten

Nias

Selatan

akan

mengembangkanya menjadi bandara yang berstandar dan bisa beroperasi secara
komersil. Agar masyarakat bisa bekerjasama dalam menuntaskan pembangunan
bandara itu. Kerjasama yang dibutuhkan, di antaranya, terkait masalah tanah dan
ganti rugi.28

Pembangunan bandar udara Silambo yang diusung Pemerintah Kabupaten
Nias Selatan hingga kini tak ada kabar beritanya. Masalah pembebasan lahan
membuat rencana pembangunan bandara Silambo tersendat. Padahal, pemerintah
27

Harian SIB, Bandara Silambo Nisel Akan Dorong Pertumbuhan Ekonomi Rakyat, melalui
http://hariansib.co/view/Marsipature-Hutanabe/1470/Bandara-Silambo-Nisel-akan-DorongPertumbuhan-Ekonomi-Rakyat, diakses pada tanggal 22 Juni 2013, pukul 7.00 WIB.
28
Nias Online, Pemkab Nisel Targetkan Bandara Silambo Beroperasi, melalui
http://niasonline.net/2011/05/21/pemkab-nisel-targetkan-bandara-silambo-beroperasi-2013-2/html,
diakses pada tanggal 23 Juni 2013, pukul 8.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara

setempat pernah mencanangkan bahwa Oktober 2012 Bandara Silambo itu sudah bisa
dimanfaatkan. Persoalan pembangunan bandara Silambo disebabkan karena sengketa
tanah, sudah tidak cukup hanya dipahami sebagai persoalan sengketa tanah. Sengketa
tanah ini sudah mengandung dimensi sosial ekonomi. Pokok persoalan dalam
pembebasan tanah ini terletak belum terwujudnya musyawarah antara pemerintah
dengan pihak masyarakat adat, atau upaya pemerintah sebagai pengganti tanah ulayat
yang digunakan untuk kepentingan kelangsungan hidup masyarakat di wilayah adat
tersebut.29
Sengketa alih fungsi tanah dalam rangka pembangunan Bandar Udara
Silambo Kabupaten Nias Selatan akan berdampak luas terhadap struktur sosial dan
mobilitas masyarakat Nias Selatan. Kompleksitas dan intensitas perubahan di desa ini
akan berpengaruh pada sosial ekonomi dan perkembangan perilaku masyarakat.
Saran-saran lebih menampakkan aparat dan masyarakat agar dapat memahami akan
kepentingan masing-masing dalam skala kepentingan umum yang lebih luas.
Pemerintah pusat menjadikan Bandara Silambo tersebut sebagai salah satu dari
program pembangunan bandara untuk pulau-pulau terdepan dan daerah rawan
bencana, pembangunannya menggunakan dana APBN. Meskipun pendanaan telah
berlangsung bertahun-tahun, namun sampai saat ini, pembangunan bandara itu tidak
mengalami perkembangan signifikan.
Pembangunan tahap pertama bandara itu dimulai pada 2007 dengan panjang
landasan 1.100 meter dan akan dikembangkan hingga menjadi 1.700 meter dengan
29

Yasniar, Nias Selatan Resmi Menerima Usulan Bandara Udara Silambo, melalui
https://meimanmorandusgulodotcom.wordpress.com, diakses pada tanggal 23 Juni 2013, pukul 8.00
WIB.

Universitas Sumatera Utara

lebar 300 meter. Dengan spesifikasi itu, bandara itu bisa didarati pesawat jenis
Fokker 58. Juga didesain bisa didarati pesawat jenis Hercules untuk keadaan darurat.
Pada awalnya, pembangunan tahap pertama bandara itu membutuhkan Rp. 3,7 miliar
dari Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Nias. Sedangkan pembangunan
tahap kedua, membutuhkan biaya sekitar Rp. 10 miliar yang diharapkan bersumber
dari dana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah/Provinsi. Namun hingga 2009,
data BRR Nias Selatan menunjukkan proyek itu sudah menyerap anggaran hingga
Rp. 27 miliar. Sedangkan pengerjaan tahap ketiga yang akan dilanjutkan oleh
Departemen Keuangan dengan pergantian dari BRR ke RRKN akan menghabiskan
anggaran Rp. 9 miliar.Namun, hingga saat ini, penyelesaian proyek baru mencakup
landasan pacu sepanjang 900 meter. Kegiatan lainnya masih terkendala belum
terbebasnya lahan warga sekitar. Letak bandara Silambo di Desa Botohilitano
Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten
Nias Selatan memberi akses mudah bagi paraturis lokal atau mancanegara untuk
menjangkau Pantai Sorake maupun Pantai Lagundri. Bandara itu juga berjarak sekitar
14 kilometer dari Desa Bawomataluo Kabupaten Nias Selatan. Bahkan, Bandara itu
terlihat jelas dari Desa Bawomataluo, sebagaimana halnya pantai Lagundri dan
Sorake.30
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penulis
berkeinginan untuk melakukan penelitian tentang Penyelesaian Sengketa Pembebasan
Tanah Ulayat untuk Pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan.

30

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

B. Permasalahan
Menyadari akan kompleks dan luasnya permasalahan yang bakal timbul,
karena masalah pembebasan tanah ulayat tidak saja berkaitan dengan aspek yuridis,
akan tetapi juga berkaitan dengan aspek budaya (kearifan lokal), sosiologis dan
ekonomis, untuk itu pada disertasi yang menjadi pokok permasalahan dibatasi pada :
1.

Bagaimana eksistensi tanah ulayat masyarakat hukum adat Nias Selatan diatas
lahan rencana pembangunan lapangan terbang Silambo?

2.

Bagaimana status hukum hak atas tanah pembangunan Bandar Udara Silambo
Kabupaten Nias Selatan?

3.

Mengapa penyelesaian sengketa pembebasan tanah ulayat dalam pengadaan
tanah untuk kepentingan pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias
Selatan belum juga selesai?

C. Asumsi
Berdasarkan hasil analisis dan peninjauan sementara terhadap permasalahan
yang telah dikemukakan di atas, maka penulis dapat berasumsi sebagai berikut :
1. Eksistensi tanah ulayat di Kabupaten Nias Selatan sampai saat ini dianggap masih
eksis khususnya di lokasi pembangunan Bandar Udara Silambo tetapi masih
terdapat warga masyarakat memanfaatkan tanah ulayat tersebut. Hukum Adat
dalam masyarakat Kab. Nias Selatan pada dasarnya dikuasai oleh marga-marga
yang dikenal di daerah tersebut.

Universitas Sumatera Utara

2. Status hukum hak atas tanah rencana pembangunan Bandar Udara Silambo
Kabupaten Nias Selatan, dengan Pemberian hak atas tanah tentu melihat statusnya,
sejauh manakah hak itu akan diberikan dengan melihat kegunaan dan manfaat dari
pada penerimaan hak kepemilikan tanah ulayat tersebut.
3. Penyelesaian sengketa dalam pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan
Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan memerlukan waktu yang cukup
panjang, dikarenakan semua pihak yang berkepentingan diharapkan untuk dapat
bermusyawarah dan bermufakat untuk menemukan win-win solution.

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, adapun tujuan yang
hendak dicapai dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk memahami dan mengetahui eksistensi tanah ulayat di Kabupaten Nias
Selatan.
2. Untuk memahami dan mengetahui karakteristik sengketa pembebasan tanah ulayat
dalam pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan Lapangan Terbang
Silambo.
3. Untuk memahami dan mengimplementasikan penyelesaian sengketa pembebasan
tanah ulayat dalam pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan Bandar
Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan yang belum juga selesai.

E. Manfaat Penelitian
Berbagai hasil temuan yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan akan
dapat memberikan gambaran yang konkrit serta informasi tentang penyelesaian

Universitas Sumatera Utara

sengketa pembebasan tanah ulayat untuk pembangunan Bandar Udara Silambo
Kabupaten Nias Selatan, yang pada gilirannya penelitian ini dapat memberikan
manfaat baik untuk itu secara teoritis maupun secara praktis, antara lain :
1. Secara Teori
a) Sebagai bahan informasi tentang data empiris, baik sebagai bahan dasar bagi
para akademis maupun sebagai bahan perbandingan bagi para peneliti yang
pada gilirannya dapat memberikan andil buat pengembangan Ilmu Hukum pada
umumnya.
b) Menambah khasanah kepustakaan.
2. Secara Praktis
a) Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi Pemerintah
Daerah Kabupaten Nias Selatan. Dinas/Badan terkait dalam menangani
sengketa pertanahan khususnya tanah ulayat, sehingga kebijaksanaan yang
diambil tidak bertentangan dengan adat istiadat yang berlaku.
b) Memberi informasi kepada masyarakat berkenaan dengan pentingnya hadir
suatu komisi yang dapat menyelesaikan sengketa pertanahan yang lebih
integralistik dan komprehensif.

F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori sangat diperlukan dalam penelitian
ilmiah oleh karena kerangka teori merupakan “kerangka-kerangka pemikiran
atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan
(problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin
disetujui atau pun yang tidak disetujui”. Sedangkan teori itu sendiri adalah
penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik, tetapi merupakan

Universitas Sumatera Utara

suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan
dengan pengalaman empiris. Dengan kata lain, teori dalam ilmu pengetahuan
merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang
dijelaskan, dan meskipun suatu penjelasan tampaknya begitu meyakinkan, akan
tetapi harus didukung oleh fakta-fakta empiris agar dapat dinyatakan benar
(valid atau shahih).31
Dalam hal ini, teori berguna untuk :32
a. Menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan;
b. Memberi kerangka orientasi untuk analisis dan pengklasifikasian faktafakta yang dikumpulkan;
c. Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi; dan
d. Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan peneliti tentang gejalagejala yang telah dan sedang terjadi.
Menurut William Chambliss dan Seidman terdapat hubungan antara hukum
dan kekuasaan, di mana kekuatan sosial dan pribadi yang terdapat di masyarakat
keberadaannya menekan lembaga pembuat hukum secara langsung sebagai lembaga
yang membuat hukum dan secara tidak langsung menekan lembag