Penyelesaian Sengketa Pembebasan Tanah Ulayat untuk Pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan Provinsi Sumatera Utara Chapter III V

BAB III
STATUS HUKUM HAK ATAS TANAH PEMBANGUNAN BANDAR UDARA
SILAMBO KABUPATEN NIAS SELATAN

A. Status Kepemilikan Tanah
Status tanah adalah status kepastian hukum atas kepemilikan tanah. Di
Indonesia, terdapat ketentuan hukum yang diatur dalam pasal 23 dan 24 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang mensyaratkan adanya alat bukti tertentu yang
dapat dijadikan hak yang dapat dipergunakan bagi seseorang atau badan hukum untuk
dapat menuntut kepada Negara atas tanah yang dipegang atau dimiliki. UUPA Nomor
5 Tahun 1960 juga menjamin setiap pemegang hak atas tanah berhak untuk
memperoleh sertifikat (UUPA pasal 4 ayat 1). Terdapat banyak jenis status di
Indonesia yang diatur dalam undang-undang sesuai fungsinya seperti contohnya hak
milik, hak guna bangunan, hak pakai dan sebagainya.
Mengembalikan tanah kepada masyarakat, maka status tanah tersebut tidak
lagi menjadi tanah ulayat. Dalam hukum agraria nasional tidak terdapat ketentuan
yang mengatur pemberian hak oleh pemerintah dalam bentuk hak ulayat, tapi dalam
bentuk hak milik dan hak-hak lain yang ditentukan dalam UUPA. Pendapat senada
juga disampaikan oleh pihak perusahaan, bahwa perpanjangan HGU adalah hak
perusahaan. Perusahaan memandang konflik atas tanah yang muncul bukanlah


189

Universitas Sumatera Utara

masalah mereka, tetapi masalah pemerintah dan hukum agraria. Perusahaan hanya
mengikuti hukum yang berlaku.199
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dimiliki
seseorang atas tanah. Turun-temurun dalam hal ini, mempunyai arti bahwa hak
milik tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai untuk
pertama kali atas tanah tersebut, tetapi dapat dilanjutkan atau diwariskan kepada
ahli waris apabila pemilik yang sebelumnya meninggal dunia.200
Di satu pihak adanya hak bersama dan di lain pihak adalah untuk kemanfaatan
bersama, sehingga hak atas benda “mandelig” tersebut tidak dapat dipisahkan
hak atas kepemilikan dari halaman untuk kemanfaatan dari apa yang dimaksud.
Di samping itu tuntutan untuk pembagian dari benda mandelig tersebut tidak
dimungkinkan dan atas benda mandelig tersebut dilaksanakan dengan biaya dari
seluruh pemilik bersama yaitu biaya-biaya pemeliharaan, pembersihan dan jika
perlu diperbaharuinya.201
Hak milik ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Sebagai tanda bukti
hak kepada pemegang hak milik diberikan sertifikat hak atas tanah. Tanah yang

telah menjadi hak milik seseorang, maka sang pemegang hak milik boleh
berbuat apa saja atas miliknya tersebut, dengan syarat tindakannya tidak
bertentangan dengan undang-undang atau melanggar hak atau kepentingan orang
lain. Artinya meskipun pemegang hak milik bebas memperlakukan hak miliknya
akan tetapi bersifat tidak mutlak.202
Hal ini ditegaskan oleh pasal 6 UUPA yang menyatakan bahwa semua hak
atas tanah memiliki fungsi sosial. Jadi, hak milik yang dipunyai seseorang tidak boleh
dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau perseorangan, tetapi juga

199

Marcus Colcester, dkk, Tanah yang dijanjikan, Penerbit Forest People Programme,
Perkumpulan sawit Watch dan The World Agroforestry Centre, England-Indonesia, 2006, hal 163.
200
Nurwidiatmo, Hak-hak Atas Tanah, Cetakan Pertama, (Jakarta : Penerbit Balas Pustaka,
1996), hal 4.
201
A.P. Parlindungan, Serba Serbi Hukum Agraria, (Bandung : Penerbit Alumni, 1984), hal
89.
202

Jayadi Setiabudi, Op.cit, hal 13.

Universitas Sumatera Utara

untuk kepentingan masyarakat banyak. Hak milik harus memiliki fungsi
kemasyarakatan, yang memberikan berbagai hak bagi orang lain.203
Terjadinya hak atas tanah menurut hukum adat biasanya bersumber pada
pembukaan hutan yang merupakan tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat.
Cara-cara tersebut kemudian akan diatur supaya tidak terjadi hal-hal yang
merugikan kepentingan umum dan Negara. Sebab, pembukaan hutan yang tidak
teratur dan membabi buta tentu pada gilirannya akan menyebabkan akibat yang
sangat merugikan. Sementara itu hak milik yang terjadi karena penetapan
pemerintah diberikan oleh intansi yang berwenang menurut cara dan dengan
syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan-peraturan pemerintah.
Pemberian hak atas tanah menurut penetapan pemerintah ini diberikan dari tanah
yang semula berstatus tanah Negara.204
Terkuat dalam hal ini, hak milik atas tanah tidak dibatasi oleh waktu. Sampai
kapanpun hak tersebut dapat dimiliki oleh seseorang. Juga dapat dikatakan terkuat
karena hak milik atas tanah tersebut dapat dibuktikan dengan adanya tanda bukti hak,
yang sekarang ini lazim disebut dengan sertifikat tanah.205

Terpenuhnya dalam hal ini, mempunyai arti sebagai berikut :206
1. Hak milik memberikan kekuasaan penuh kepada pemiliknya untuk
mempergunakan tanah sesuai dengan kehendaknya. Jadi, dalam hal ini, tanah
tersebut dapat diperjual belikan, disewakan dan lain-lain tanpa ada pihak yang
bisa mengunggat.
2. Sifat dari penggunaan hak milik juga sangat luas, bisa digunakan untuk usaha
pertanian ataupun untuk didirikan bangunan. Dengan kata lain, diatas hak
milik dapat dibebani oleh hak-hak lain atau bisa juga dikatakan bahwa hak
milik adalah induk dari hak-hak yang lain.

Selain hak-hak tersebut, hak milik atas tanah juga mempunyai sifat-sifat
khusus, yaitu sebagai berikut :207

203

Ibid, hal 14.
Ibid, hal 16.
205
Ibid, hal 5.
206

Ibid.

204

Universitas Sumatera Utara

1. Hak milik atas tanah dapat dijadikan sebagai jaminan utang.
2. Hak milik atas tanah bisa digadaikan.
3. Hak milik atas tanah bisa diperjualbelikan, dihibahkan atau diwasiatkan
dan dapat pula saling dipertukarkan.
4. Hak milik dapat dilepaskan secara sukarela.
5. Hak milik dapat diwakafkan.
Selain itu oleh karena hak menguasai tanah itu hak yang tertinggi, maka Negara
dapat juga mengatur kalau hak-hak yang khusus tadi semuanya berakhir, sesuai
dengan ketika hak-hak terhadap semua tanah itu belum menjadi hak Negara,
maka tanah itu juga kembali kepada Negara kalau hak-hak khusus itu hilang dan
sebagai konsekuensi untuk menentukan dan mengatur hak-hak yang khusus
tanah serta dengan sendirinya kalau ini hilang, tanahnya kembali kepada Negara,
maka harus ada juga kemungkinan, selama hak-hak khusus itu masih ada, untuk
mengakhirkan hak-hak khusus itu, karena hak-hak itu dapat diadakan

berdasarkan kuasa hak menguasai tanah, dapat berakhir sendiri tentunya dapat
juga diakhiri.208
Tanah ulayat merupakan sumber daya dan aset kabupaten Nias Selatan yang
terpenting. Tanah ulayat memiliki nilai ekonomi yang merupakan sumber kehidupan
bagi masyarakat Nias selatan, didalamnya terkandung berbagai potensi sumber daya
alam yang mulai dari kulit bumi yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan pertanian,
hasil hutan dan sampai kedalaman tanah dalam bentuk tanah dan bebatuan. Kulit
bumi atau tanah merupakan asset masyarakat yang selalu dijaga, dipelihara dan
dimanfaatkan secara subsistem dalam kelangsungan kehidupannya. Disamping itu
ditanah ulayat juga melekat nilai-nilai sosial sebagai ikatan, kesatuan sistem
kepemilikan dan pengelolaan bersama masyarakat adat terhadap tanah, yang diyakini
sebagai suatu titipan Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara secara baik.
Masalah kepemilikan tanah erat kaitannya dengan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi masyarakat. Dalam hal ini UUPA yang merupakan hukum
207

Ibid, hal 7.
Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, (Jakarta : Penerbit
PT. Bina Aksara, 1984), hal 124.
208


Universitas Sumatera Utara

dasar pertanahan, mengatur masalah pokok keagrariaan Indonesia secara garis besar.
Berkaitan dengan upaya pemberian kepastian hukum atas hak-hak tanah rakyat, yaitu
kepemilikan tanah pribadi, orang dan badan, UUPA dan PP Nomor 24/1997 tentang
pendaftaran tanah mengisyaratkan adanya jaminan kepastian dan perlindungan
hukum atas kepemilikan hak atas tanah, diantaranya:209
2.

3.

4.

5.

Untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah (pasal 19 ayat UUPA)
Pemerintah menerbitkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat atas kepemilikan tanah bagi tanah yang telah
didaftarkan (pasal 19 ayat 2 c UUPA)
Penegasan bahwa sertifikat adalah tanda bukti hak yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan tanah (pasal 32 ayat 1 PP
Nomor 24/1997)
Kepada masyarakat yang sudah mendaftarkan tanah miliknya, diberikan
sertifikat tanah, agar mereka dapat dengan mudah membuktikan diri sebagai
pemegang hak, dalam rangka untuk mendapatkan jaminan kepastian dan
perlindungan hukum (pasal 4 PP Nomor 24/1997).
Tanah yang telah terdaftar dan diterbitkan sertifikatnya, berhak mengajukan

gugatannya ke Pengadilan. Hak atas tanah dan sertifikat dapat dibatalkan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang berbunyi amar
putusannya menyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau yang pada
intinya sama dengan itu.210
Bagi kesatuan masyarakat hukum adat, UU Kehutanan menghadirkan ketidak
pastian hak atas wilayah adatnya. Padahal, hak kesatuan masyarakat hukum adat atas
wilayah adat merupakan hak yang bersifat turun-temurun. Hak ini bukanlah hak yang
diberikan negara kepada masyarakat adat melainkan hak bawaan, yaitu hak yang lahir


209
210

Jayadi Setiabudi, Op.cit, hal 63-64.
Kurniadi Ghazali, Op.cit, hal 68.

Universitas Sumatera Utara

dari proses mereka membangun peradaban di wilayah adatnya. Sayangnya, klaim
negara atas kawasan hutan selalu dianggap lebih sahih ketimbang klaim masyarakat
adat. Padahal hak masyarakat adat atas wilayah adat yang sebagian besar diklaim
sebagai kawasan hutan oleh negara, selalu jauh lebih dahulu adanya dari hak negara.
Konflik menyangkut kawasan hutan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat akibat
pemberlakuan UU Kehutanan yang banyak terjadi di lapangan, adalah: kesatuan
masyarakat hukum adat dengan perusahaan dan kesatuan masyarakat hukum adat
dengan Pemerintah. Dua bentuk konflik menyangkut kawasan hutan tersebut
menggambarkan bahwa pengaturan tentang kawasan hutan di Indonesia tidak
memperhatikan keberadaan dan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat atas
wilayah adatnya. Padahal kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai sejarah
penguasaan tanah dan sumber dayanya sendiri yang berimbas pada perbedaan basis

klaim dengan pihak lain termasuk Pemerintah (negara) terhadap kawasan hutan.
Dalam kenyataannya, kesatuan masyarakat hukum adat belum memperoleh hak‐hak
yang kuat atas klaimnya tersebut sehingga tidak jarang mereka justru dianggap
sebagai pelaku kriminal ketika mereka mengakses kawasan hutan yang mereka akui
sebagai wilayah adat.
Secara sosiologis, kesatuan masyarakat hukum adat memiliki keterikatan yang
sangat kuat pada hutan dan telah membangun interaksi yang intensif dengan hutan. Di
berbagai tempat di Indonesia, interaksi antara masyarakat adatdengan hutan tercermin
dalam model-model pengelolaan masyarakat adat atas hutan yang pada umumnya
didasarkan pada hukum adat, yang biasanya berisi aturan mengenai tata cara
pembukaan hutan untuk usaha perladangan dan pertanian lainnya, penggembalaan

Universitas Sumatera Utara

ternak, perburuan satwa dan pemungutan hasil hutan. Padahal keberadaan berbagai
praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat adat.
Para warga masyarakat hukum adat mempunyai hak membuka hutan
ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan
pribadi dan keluarganya. Jadi, tidak mungkin hak warga masyarakat hukum adat itu
ditiadakan atau dibekukan sepanjang memenuhi syarat dalam cakupan pengertian

kesatuan masyarakat hukum adat seperti dimaksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Hutan dibedakan dalam dua kelompok. Yakni, hutan negara dan hutan hak. Hutan
hak itu terdiri dari dua, yakni hutan adat (hak ulayat) dan hutan perseorangan/badan
hukum. Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan yang tertinggi seluruhnya
dikuasai oleh negara.211
Putusan Mahkamah konstitusi menunjukkan bahwa pemahaman hukum di
Indonesia masih didominasi oleh paham yang formal legalistik, dalam menjalankan
tugasnya, Mahkamah Konstitusi tidak mendepankan penafsiran sejarah (Historische
interpretatie), baik penafsiran sejarah hukum (Rechtshitorische interpretatie) yang
memahami undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi dalam konteks proses
sejarah yang mendahului dan menyebabkan lahirnya undang-undang tersebut.212
Penguasaan tanah ulayat telah disepakati wilayah serta batas-batasnya oleh
nenek moyang mereka. Tanah ulayat memiliki tanda batas tertentu berupa tandatanda alam seperti aliran sungai dan jenis tanaman tertentu. Ada juga batas-batas
wilayah yang ditandai dengan nama dan cerita sebuah tempat serta cerita-cerita
yang berhubungan dengan kejadian tertentu, misalnya ada nama Sungai Sei Datu
Mahudum yang berarti bahwa tanah yang berada di sekitar daerah hulu hingga
ke hilir sungai itu dikuasai oleh suku Datu Mahudum. Tanah dan hutan memiliki
arti penting bagi kesatuan masyarakat hukum adat Kenegerian Kuntu, tidak
211
212

Nias Online, Op.cit.
Ida Nurlinda, Op.cit, hal 183.

Universitas Sumatera Utara

hanya bernilai ekonomi tetapi juga bermakna lebih luas sehingga nama disebut
pusako tinggi yaitu harta yang benilai tinggi dan bermanfaat sosial budaya untuk
kemakmuran masyarakat. Sebagai pusaka tinggi maka tanah ulayat tidak bisa
dijual. Pengakuan atas eksistensi dan keberadaan hak atas tanah ulayat di
Kabupaten Kampar Provinsi Riau, telah secara tegas diatur dan diakui oleh
pemerintah daerah melalui peraturan daerah, yang di dalamnya tentu saja juga
berlaku atas pengakuan dan penghormatan atas keberadaan dan eksistensi
Pemohon II sebagai salah satu kesatuan masyarakat hukum adat yang masih ada
dan hidup di wilayah Kabupaten Kampar Provinsi Riau. dalam memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya, sebagai pilar hak konstitusional Pemohon II, hutan
adat sebagai salah satu bagian dari wilayah adat merupakan sarana terpenting,
untuk mengembangkan diri dan keluarganya, mempertahankan serta
meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya, demi kesejahteraan diri serta
keluarganya. Dalam rangka memperoleh kembali wilayah adatnya, saat ini terus
melakukan berbagai upaya untuk memperkuat ekstensinya serta mendapatkan
pengakuan sebagai komunitas masyarakat hukum adat. Pemerintah memohon
kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan
mengadili permohonan pengujian pasal-pasal UU Kehutanan terhadap UUD
1945, serta memberi putusan sebagai berikut: menyatakan para Pemohon tidak
memiliki kedudukan hukum (legal standing); menolak permohonan pengujian
para Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan
pengujian para Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).213
Berkenaan dengan syarat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, dalam kenyataannya status dan fungsi hutan dalam masyarakat
hukum adat bergantung kepada status keberadaan masyarakat hukum adat.
Kemungkinan yang terjadi adalah: (1) kenyataannya masih ada tetapi tidak
diakui keberadaannya; (2) kenyataannya tidak ada tetapi diakui keberadaannya.
Jika kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya, maka hal ini
dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat yang bersangkutan. Misalnya,
tanah/hutan adat mereka digunakan untuk kepentingan lain tanpa seizin mereka
melalui cara-cara penggusuran-penggusuran. Masyarakat hukum adat tidak lagi
dapat mengambil manfaat dari hutan adat yang mereka kuasai. Sebaliknya dapat
terjadi masyarakat hukum adat kenyataannya tidak ada tetapi objek hak-hak
adatnya masih diakui. Artinya, berdasarkan sejarah keberadaan mereka pernah
diakui oleh negara, padahal kenyataannya sesuai dengan perkembangan zaman
sudah tidak terdapat lagi tanda-tanda atau sifat yang melekat pada masyarakat
hukum adat. Tanda-tanda dan sifat masyarakat hukum adat yang demikian tidak
boleh dihidup-hidupkan lagi keberadaannya, termasuk wewenang masyarakat
atas tanah dan hutan yang pernah mereka kuasai. Hutan adat dengan demikian
kembali dikelola oleh Pemerintah/Negara. Pengakuan keberadaan masyarakat
hukum adat, tidak bermaksud melestarikan masyarakat hukum adat dalam
keterbelakangan, tetapi sebaliknya mereka harus tetap memperoleh kemudahan
213

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Tanah adat atau ulayat.

Universitas Sumatera Utara

dalam mencapai kesejahteraan, menjamin adanya kepastian hukum yang adil
baik bagi subjek maupun objek hukumnya, jika perlu memperoleh perlakuan
istimewa (affirmative action).214
Mahkamah mempertimbangkan bahwa oleh karena ketentuan yang terdapat
dalam pasal a quo berkaitan dengan Pasal 1 angka 6 dan Pasal 5 ayat (1) UU
Kehutanan maka pertimbangan hukumterhadap dalil permohonan kedua pasal
tersebut mutatis mutandis berlaku terhadap dalil permohonan mengenai Pasal 5
ayat (2) UU Kehutanan. Dengan demikian, dalil para Pemohon beralasan
menurut hukum. Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 5 ayat (3) UU
Kehutanan sepanjang frasa “dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang
menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan
diakui keberadaannya” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 B ayat (2),
Pasal 28 D ayat (1), dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, karena pasal a quo sulit
dipahami, sulit dilaksanakan secara adil, dan mendiskriminasi kesatuan
masyarakat hukum Adat. Mahkamah mempertimbangkanbahwa oleh karena
permohonan pengujian atas ketentuan Pasal 5 ayat (2) dinyatakan beralasan
hukum dan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat maka frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) UU
Kehutanan tidak relevan lagi dan harus pula dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Adapun terhadap frasa “dan hutan adat ditetapkan
sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan
masih ada dan diakui keberadaannya”, Mahkamah berpendapatbahwa frasa
dimaksud sudah tepat sebagai ketentuan yang sejalan dengan ketentuan
konstitusional. Mahkamah telah memberikan pertimbangan hukum terhadap
pengujian
konstitusionalitas.
menurut
Mahkamah,
apabila
dalam
perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi
maka hak pengelolaan hutan adat adalah tepat untuk dikembalikan kepada
Pemerintah, dan status hutan adat pun beralih menjadi hutan negara. Dengan
demikian, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum. Menurut
Mahkamah, keberadaan masyarakat hukum adat, fungsi dan status hutan (adat),
penguasaan hutan, mensyaratkan sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaannya, sehingga seluruh pertimbangan hukum yang telah
disebutkan di atas mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum ini.
Adapun tentang pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan
dengan Peraturan Daerah dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan
Pemerintah.215
Secara umum perusahaan berpandangan bahwa akar dari klaim masyarakat
adat dimulai dengan ketidakjelasan kebijakan pemerintah. Situasi ketidakjelasan ini

214
215

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

menjadi bahan bakar konflik yang dipantik oleh kecemburuan sosial yang timbul dari
perkembangan Pendidikan masyarakat adat yang rendah, cenderung menjadikan
mereka korban dari pemberian ganti rugi yang tidak tepat sasaran, sehingga
menyebabkan perusahaan harus memberikan ganti rugi berkali-kali. Lahan yang di
klaim sebagai tanah ulayat tidak memiliki batas-batas yang jelas. Pada masyarakat
adat menuntut disebabkan karena kesepakatan tidak tercapai di internal mengenai
keberadaan Bandara Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan. Terdapat juga indikasi
kuat, beberapa tokoh-tokoh di masyarakat menggunakan dan mengelola sengketa
sedemikian rupa sehingga menjadi sumber penghasilan mereka. Ketika sengketa telah
menjadi sengketa yang manifes antara perusahaan dengan masyarakat adat dan ketika
sengketa itu diselesaikan dengan jalan negosiasi, terdapat beberapa penyebab kenapa
negosiasi tersebut mengalami hambatan. Persoalan mendasar adalah adanya
perbedaan persepsi dan sudut pandang serta harapan tentang keberadaan perusahaan
di tempat masyarakat adat berada. Sebagian besar dari masyarakat adat memulai
negosiasi dengan pikiran bahwa instansi diperlukan didaerah.
Sistem hak milik tanah di Indonesia boleh dapat dibagi dua bagian yaitu tanah
milik negara dan tanah milik persendirian/swasta. Tanah milik persendirian pada
dasarnya hanya melibatkan tanah yang telah berdaftar dengan jabatan pertanahan.
Bagi tanah yang telah didaftar di bawah jabatan pertanahan pada kebiasaannya
sertifikasi akan dikeluarkan kepada pemilik tanah tersebut. Manakala bagi tanah milik
negara boleh dikategorikan kepada dua yaitu;
1. Tanah negara secara jelasnya ditandai dalam konteks entiti yang jelas.

Universitas Sumatera Utara

2. Tanah negara (state land) pada kebiasaannya tanpa sebarang hak. Ini bermakna
tidak ada tuntutan secara bermilik boleh dilakukan terhadap tanah tersebut.
Mengakhiri

hak-hak

khusus

terhadap tanah itu tergantung kepada

keperluannya, dapat :216
1. Dengan jalan paksaan yaitu pencabutan.
2. Dengan jalan persetujuan, yang dalam kata biasa disebut pembelian, kalau terjadi
menurut kemauan Negara, tetapi kalau terjadi menurut kemauan pihak yang
mempunyai hak khusus itu, jadi sebagai keseimbangan terhadap pencabutan,
disebut pemberian.217
Dengan dilaksanakannya pendaftaran tanah atas tanah tersebut tentu ketika itu
juga diberikan status hukum, berupa hak pada tanah tersebut sesuai dengan hak
yang dimohon. Bila seseorang memohon hak milik, hak guna bangunan atau hak
guna usaha, maka dengan pendaftaran tanah tersebut muncullah status hukum di
atas tanah itu menjadi hak milik, HGB atau HGU atas nama pemohon yang
disetujui. Artinya dengan didaftarkannya tanah seseorang baru ada Hak Milik
atas tanah, HGU atas tanah, HGB atas tanah dan hak-hak lainnya. Kalau tidak
didaftarkan maka tidak ada Hak Milik, HGU, HGB atau Hak Pakai dan lainnya.
Begitu juga atas tanah yang semula sudah ada hak atasnya, bila terjadi
pendaftaran balik nama tentu pula diberikan status kepemilikan baru bagi yang
memohon untuk balik namanya.218
Di Indonesia, status kepemilikan tanah diatur dalam Undang-Undang
Pertanahan No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Terdapat beberapa macam hak
atas tanah yang diatur dalam UU tersebut, antara lain: Hak milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Keseluruhan hak atas tanah ini dibukukan dalam
bentuk Sertifikat yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, yakni Badan

216

Ibid.
Ibid.
218
Mhd Yamin Lubis & Abd Rahim, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi, (Bandung :
Penerbit CV. Mandar Maju, 2012), hal 120-121.
217

Universitas Sumatera Utara

Pertanahan Nasional (BPN). BPN mengeluarkan duplikat kepada pemilik properti,
dikarenakan untuk mencegah adanya risiko yang akan timbul di kemudian hari seperti
sertifikat yang hilang, terbakar, sertifikat ganda.
Berhubungan dengan kemungkinan jatuhnya milik tanah baik yang besar
maupun kecil dalam tangan warga negara yang tidak asli dan mengingat suasana
pada waktu ini. Sekiranya masih perlu diberi waktu dan kesempatan berkembang
untuk mempertimbangkan adanya milik besar bagi warga negara Indonesia yang
tidak asli. Ada kemungkinan adanya perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh
perseorangan, tetapi yang modalnya bukan milik sendiri. Berhubung dengan
kemungkinan ini maka investasi modal asing. Dimana diperlukan, sekiranya
tidak seyogianya dengan jalan demikian, tetapi perlu diatur tersendiri.219
Pada pemberiaan status hak dengan balik nama, tentu haruslah ada perbuatan
hukum di atas hak itu. Perbuatan hukum dimaksud adalah perbuatan pengalihan
dari orang pertama yang telah mendaftarkan hak itu kepada orang kedua (pihak
lain) yang menerima hak atas tanah yang disebut dengan pemindahan hak.
Menurut ketentuan undang-undang pemindahan hak ini mungkin dilakukan
dengan jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, hibah, waris, lelang, merger,
dan pemasukan dalam inbering (lihat Pasal 37 Peraturan Pemerintah nomor 24
Tahun 1997 jo Pasal 2 Peraturan Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2007). Pada tahap
ini peranan PPAT sebagai pencatat perbuatan hukum untuk melakukan
pembuatan akta jual beli, akta sewa menyewa atau akta PPAT lainnya harus
dipenuhi. Sehingga pengalihan ini menjadi sah adanya dan dapat didaftarkan
balik namanya. Dengan adanya akta PPAT inilah nanti akan kembali diberikan
status baru dari permohonan balik nama yang dimohon oleh pihak yang
menerima pengalihan haknya.220
Pendaftaran pertama (awali) maupun pendaftaan balik nama (pendaftaran
berkesinambungan) yang dilakukan di Kantor Pertanahan setempat adalah tetap
pekerjaan administrasi Negara dalam memberikan status hukum atas tanah dimaksud.
Sehingga dengan adanya pemberian status hukum ini di atas tanah yang di daftar. Si

219

Imam Soetiknjo, Proses Terjadinya UUPA, (Yogyakarta : Penerbit Gadjah Mada
University Press, 1987), hal 61-62.
220
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

pemilik dengan pendaftaran ini menerima status hak yang dilindungi oleh negara
sesuai jenis haknya.221
Agrarisch Wet mengemukakan kesempatan orang-orang pribumi untuk
mengubah hak atas tanahnya dari garap atau hak untuk menempati serta
menguasai menjadi hak eigendom menurut hukum eropa. Yang istimewa
ketentuan-ketentuan tentang pernyataan tanah-tanah kosong sebagai domein atau
eigendom Negara, bukan pula kemungkinan pemerintah memberikan hak
erfpacht kepada siapa yang akan mengusahakan dengan investasi-investasi yang
produktif dan bukan pula kemungkinan orang-orang pribumi untuk tetap dapat
meneruskan penguasaan dan pemanfaatan atas tanah-tanah yang selama ini
memang ditempati dan digarapnya (secara turun temurun sekalipun) dan bahkan
dapat mengubah hak ipso facto dan/atau defacto-nya itu menjadi hak yang secara
ipso jure lalu menjadi hak eigendom, melainkan satu ketentuan yang khusus dan
de novo, ialah larangan untuk memindahkan hak ke golongan rakyat yang lain.222
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria yang disebut dengan Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disingkat
UUPA) mengatur hal-hal pokok mengenai penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah di Indonesia. Dualisme hukum tanah nasional telah diakhiri
dengan unifikasi hukum tanah nasional dengan menjadikan UUPA sebagai hukum
tanah nasional. Segala hak yang ada sebelum UUPA berlaku harus dan akan
dikonversi menjadi hak baru yang sesuai menurut UUPA. UUPA telah menetapkan
ketentuan-ketentuan konversi terhadap hak-hak barat (hak tanah yang ditetapkan pada
zaman penjajahan Belanda) maupun hak-hak Indonesia atas tanah sebagaimana diatur
dalam Bagian Kedua UUPA. Dalam pelaksanaan ketentuan konversi, untuk
memperoleh kepastian status pemilik tanah, UUPA menyatakan bahwa hanya
warganegara Indonesia yang dapat menyandang status pemilik tanah. Pelaksanaan

221

Ibid.
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1994), hal 92-93.
222

Universitas Sumatera Utara

konversi (bekas) hak barat ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor
2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA, sedangkan konversi
bekas hak-hak Indonesia menggunakan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria
(PMPA) Nomor 2 Tahun 1962 tentang Ketentuan Mengenai Penegasan Konversi dan
Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia atas Tanah sebagai pedoman.
Dengan ketentuan hukum yang dimuat dalam perundangan ini status hak ulayat
ini di satu sisi masih diakui keberadaannya, namun pada sisi lain hak ulayat
tersebut harus tunduk pada kepentingan nasional yang peringkatnya lebih tinggi.
Dalam pembatasan yang kabur ini Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 atau
(UUPA) sering muncul perbedaan penafsiran sejauh mana hak ulayat ini bisa
diperhitungkan dan dihormati dalam proses pelimpahan hak penguasaan atas
tanah, khususnya yang melibatkan kepentingan negara atau kepentingan lain
yang disahkan oleh negara. Negara bisa menjelaskan hak penguasaannya
berdasarkan segi yuridis dengan perundangan yang ada, namun hak ulayat ini
tidak memiliki ukuran keabsahan hukum yang jelas sejauh tidak bisa dibuktikan
melalui fakta tertulis yang dianggap sah. Dengan demikian hak ulayat Kesultan
Deli dan masyarakat hukum adatnya tetap diakui.223
Untuk mengetahui sumber persoalannya, perlu dijelaskan sistim pemilikan tanah
dengan hak adat tradisional ini (hak ulayat). Sistem penguasaan tanah menurut
hukum adat ini berbeda prinsipnya dengan hukum agraria nasional yang
digunakan oleh negara. Menurut hukum adat, tanah sangat penting
kedudukannya dalam kehidupan masyarakat baik secara sifat maupun fakta yang
ada. Menurut sifatnya, tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang
bersifat tetap atau menguntungkan apabila digarap secara produktif, sehingga
bisa memberikan kehidupan bagi pemiliknya. Bertolak dari sumber kehidupan
ini, maka masyarakat tradisional menganggap tanah sebagai suatu kekayaan yang
sakral (pusaka). Dengan demikian masyarakat tradisional memberikan sifat
religio-magis pada hak penguasaan tanah ini.224
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa hak ulayat
masyarakat hukum adat, selain mengandung hak bersama dan hak perseorangan yang
meliputi aspek hukum perdata juga mengandung adanya kewajibaan mengelola,
mengatur tentang penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya yang
223
224

Arie Sukanti Hutagalung, Op.cit, hal 214.
Ibid, hal 215.

Universitas Sumatera Utara

dilakukan oleh Kesultanan Deli dan kepala adat ataupun para tertua adat yang
beraspekan hukum publik. Maka dengan demikian hukum tanah adat akan meliputi
ketentuan hukum perdata maupun administratif.225
Di samping itu disinyalir adanya kolusi antara masyarakat penggarap dengan
para konglomerat/pengusaha khususnya pengusaha, dimana para pengusaha
memanfaatkan masyarakat untuk memperjuangkan tanah garapan sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada dengan tujuan agar mereka dapat membeli tanah garapan
dari masyarakat penggarap. Di satu sisi masyarakat pun bersedia untuk menjual
tanahnya kepada para

pengusaha. Sedangkan disisi lain para pengusaha dapat

membeli tanah dengan harga yang relatif murah.
Seseorang dapat memperoleh hak atas tanah dengan memenuhi aspek fisik, aspek
yuridis,dan aspek administrasi. Aspek fisik bidang tanah meliputi letak, luas,
batas-batas, dan penggunaan/pemanfaatan tanah. Hal ini lebih menekankan aspek
teknis operasional. Aspek yuridis meliputi status kepemilikan, subjek hak atas
tanah, dan kepentingan pihak ketiga. Aspek ini lebih menekankan legalitas dan
hak perdata pihak lain atas tanah yang bersangkutan. Sedangkan aspek
administrasi meliputi permohonan hak dan data pendukung lain, seperti bukti
pemilikan/penguasaan, riwayat penguasaan tanah, proses penerbitan surat
keputusan hak atas tanah, sampai dengan penerbitan sertifikat.226
Tanah merupakan pemberian dari Tuhan yang mana setiap orang di dunia ini
memiliki bagian masing-masing baik dalam struktur sosial, organisasi atau dalam
kehidupan bermasyarakat. Tanah juga menyediakan makanan dan bahan lainnya
untuk bertahan hidup, dari tanah yang banyak akan menjadi salah satu tolak ukur
kekayaan yang kemudian dengan sendirinya membuat orang tersebut menjadi
terpandang. Umumnya orang yang mempunyai tanah yang luas disebut tuan tanah.
225

Ibid.
Kurnia Warman, dkk, Studi Kebijakan Penguatan Tenurial Masyarakat Dalam
Penguasaan Hutan, (Bogor : Penerbit World Agroforestry Center, 2012), hal 19.
226

Universitas Sumatera Utara

Status tanah yang tidak pasti adalah permasalahan status tanah yang tidak
mempunyai kekuatan badan hukum menjadi permasalahan yang sering kita dengar
akhir-akhir ini. Apalagi dalam kehidupan masyarakat Desa Botohilitano Kecamatan
Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan
bukti surat akan tanah itu sendiri hanya diperoleh dari adanya kekuatan hukum lokal
diatas materai, terlebih lagi pada masyarakat yang berada jauh dari pusat
perekonomian masyarakat Nias, kepemilikan tanah makin tidak jelas karena
kepemilikan tanah masih bersifat bersama berdasarkan atas tanah ulayat. Tanah
ulayat dalam hal ini seperti perladangan baru yang dibuka, otomatis kepemilikannya
masih didasarkan atas kepercayaan bersama dengan warga yang juga sama-sama
membuka lahan disekitar tempat tersebut.
Sejak dulu hingga tahun 2007 Masyarakat Di desa tersebut selalu diurus dan
dijadikan kebun tetapi pada awal tahun 2008, Tanah Hak Milik masyarakat tersebut
di ukur oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Nias Selatan, Camat
Fanayama Kabupaten Nias Selatan dan Kepala Desa Botohilitano kemudian
diratakan oleh Bupati Nias Selatan untuk dijadikan sebagai Bandara Silambo
Kabupaten Nias Selatan.
Tanah-tanah yang diperlukan dalam pembangunan Bandar Udara Silambo
Kabupaten Nias Selatan sebagian besar merupakan tanah pertanian yang merupakan
mata pencaharian dari pemilik tanah atau pemegang hak bersama atas tanah tersebut.
Untuk itu perlu adanya pendekatan yang dapat diterima dan dimengerti masyarakat.
Maka perlu ditanamkan pengertian kepada masyarakat khususnya pemegang hak atas

Universitas Sumatera Utara

tanah bahwa tanah mempunyai fungsi sosial seperti yang ditegaskan dalam Pasal 6
UUPA yang menyatakan “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
Status hukum hak atas tanah pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten
Nias Selatan adalah tanah ulayat/tanah leluhur dan hak kepemilikan atas tanah
masyarakat di Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo
Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan. Masyarakat Desa Botohilitano
Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten
Nias Selatan pada awalnya tanah ulayat merupakan sumber kehidupan dalam rangka
pemenuhan kehidupan, tanah digunakan untuk menghasilkan pertanian namun
kemudian dengan perkembangan perdagangan daerah kemudian tanah mulai ditanami
seperti karet, kelapa dan lain-lain sehingga tanah semakin banyak dimanfaatkan oleh
kelompok masyarakat sendiri dan para pendatang termasuk para penanam modal.
Penggunaan tanah yang semakin meningkat secara ekonomi akan meningkatkan
pendapatan yang diterima oleh masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan
peningkatan produktivitas masyarakat. Namun disisi lain karena berdatangannya
orang di Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo
Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan kepemilikan dan penguna tanah
setiap periode mengalami perubahan sehingga terjadi perubahan status kepemilikan
bersama ke kepemilikan pribadi, suku lain, negara dan para investor sehingga
menimbulkan suatu persoalan ditengah masyarakat Desa Botohilitano Kecamatan

Universitas Sumatera Utara

Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias
Selatan.227
Menurut warga masyarakat Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan
Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan yang tanahnya
terkena pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan, dengan
melakukan musyawarah tersebut memberikan keuntungan tersendiri kepada warga
masyarakat, karena musyawarah tersebut langsung melibatkan semua warga yang
tanahnya terkena proyek dimaksud, sehingga untuk pembicaraan mengenai bentuk
dan konsensi apa yang akan ditempuh secara transparan. Apabila musyawarah
dilakukan tanpa atau hanya melibatkan beberapa orang warga saja, maka apa bentuk
kebijakan yang akan merekaterima menjadi tidak diketahui dengan jelas, dan akan
terbuka peluang terjadinya manipulasi bentuk dan tindakan yang akan diterima228.
Secara umum kepemilikan tanah bagi masyarakat Desa Botohilitano
Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten
Nias Selatan ada dua macam:
1. Secara adat (tanah ulayat/tanah leluhur): ini biasanya diperoleh dari
pembagian harta nenek moyang yang dibagikan secara turun temurun
berdasarkan garis keturunan laki-laki namun kebanyakan belum bersertifikat
secara hukum atau belum terdaftar di Kantor Pertanahan Negara.

Kuasa Dakhi, Wawancara, Si‟ulu mbanua (bangsawan) ketua adat Desa dan Kepala Desa
Hilimaenamolo (Nisel, 16 Desember 2013).
228
Rahmat Kudus Wau, Wawancara Masyarakat di Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama
(Nias Selatan, 16 Desember 2013).
227

Universitas Sumatera Utara

2. Milik pribadi: kepemilikan tanah yang seperti ini, diperoleh dari pembelian
pribadi yang tidak dipengaruhi oleh hukum adat dan biasanya memiliki
sertifikat dari instansi pemerintah terkait sebagai bukti kepemilikan.
Secara khusus pada masyarakat Nias Selatan kepemilikan tanah dibagi atas
empat yakni :
1. Sotano yakni yang mempunyai tanah, biasanya ini masyarakat asli dari desa
tempat tinggalnya
2. Nifotano yakni kepmilikan tanah berdasarkan pemberian dari masyarakat
setempat dimana seseorang ingin tinggal. Jika dulu biasanya ini dikatakan
dengan adat:
-

Ibe‟e famabobo lowi-lowi yakni sebuah ikatan janji bahwasanya ia akan
bertanggungjawab/sepenuh hati memberikan yang terbaik terhadap desa
tempat tinggalnya, jika ada kejadian-kejadian yang mempertaruhkan nama
desa.

-

Famolala bahele-hele dimana jika seseorang telah sah menjadi warga di
desa tersebut dan memiliki tanah maka ia akan diterima untuk bergabung
dengan masyarakat misalnya ke sumur, acara adat dan sebagainya.

3. Nifobanua atau Sowanua yakni seseorang yang telah sah menjadi warga di
desa tempat ia tinggal, contohnya etnis Dawa keturunan Aceh dan
Minangkabau yang telah disahkan secara adat Fondrako Heleduna.
4. Sifatewu yakni pendatang/penumpang yang belum terikat dengan adat
setempat dan tidak memiliki hak atas tanah dan pemerintahan, kecuali kalau

Universitas Sumatera Utara

mereka telah mengikat dirinya dengan hukum adat dengan memenuhi syarat
dan norma tertentu.
Masyarakat Nias Selatan pada zaman dahulu jika ingin meneguhkan
kepemilikan tanahnya maka ia mengadakan suatu kegiatan adat yang disebut Fanaru
o Tano. Adapun hal yang dipersiapkan dalam kegiatan tersebut yakni :
1. Mengundang Siulu/Balugu/siila dan masyarakat adat.
2. Menyiapkan sarigi firo yang merupakan mata uang dari logam pada zaman
Belanda dan sekarang harganya kira-kira 700.000 ribu dan diberikan kepada
Siulu/Balugi.
3. Babi 1 (satu) ekor.
4. Mengundang pihak-pihak yang berbatasan dengan tanahnya
5. Mengundang masyarakat adat di lingkungannya.
Beberapa daerah orang membuka tanah dimulai dengan memberi tanda
“mebali” yaitu tanda akan membuka tanah. Tanda-tanda itu biasanya berupa tanda
silang atau lingkungan rotan atau bambu yang dipasang di atas pohon, atau berupa
dahan kayu yang diikat dengan rotan atau tali ijuk yang ditegakkan di tanah tegalan
(padang rumput, semak belukar) dan nampak dari kejauhan. Dengan memberi tanda
tersebut timbul hak untuk mengusahakan sebidang tanah (hak membuka tanah).229
Apabila tanah tersebut terus dibuka dan dijadikan tanah peladangan yang
ditanami palawija dan lainnya, maka terjadilah hak pakai atau hak
mengusahakan tanah. Apabila tanah tersebut tidak diteruskan mengerjakannya,
sedangkan tanda mebali masih terpasang di atas pohon, maka yang ada adalah
“hak atas pohon”. Untuk menjadikan tanah itu hak milik, maka tanah ladang itu
harus dikerjakan terus menerus, tetapi jika tanah peladangan itu ditinggalkan
229

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Penerbit CV.
Mandar Maju, 2003), hal 223.

Universitas Sumatera Utara

terbengkalai menjadi semak belukar atau menghutan kembali, maka hak
miliknya hilang dan yang masih ada ialah “hak utama” (voorkeursrecht) untuk
mengusahakannya kembali. Hak utama ini akan hilang apabila bidang tanah
tersebut telah menghutan, dan tanah itu kembali menjadi “hak ulayat” desa
(marga, nagari, negara). Hak milik atas tanah peladangan dapat ditingkatkan
menjadi “hak milik tetap” apabila di atas tanah itu ditanami tanam tumbuhan
berupa tanaman keras (pohon buah-buahan, karet, kelapa, kopi dan sebagainya)
yang rapat sehingga menjadi tanah kebun. Di kalangan masyarakat adat jarang
terjadi pemilikan tanah menyewakan tanahnya kepada orang lain di pedesaan,
yang banyak berlaku ialah “hak numpang” atas tanah milik orang lain dengan
membangun perumahan sebagai tempat kediaman, atau menumpang untuk
bertanam tumbuhan palawija tanpa membayar tanah tersebut dengan palawija,
perbuatan ini disebut “tumpang sari”. Hubungan antara pemilik tanah dan
penumpang bersifat kekeluargaan dengan beri memberi, urus mengurus, bantu
membantu.230
Keabsahan dari kepemilikan tanah pada masyarakat Desa Botohilitano
Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten
Nias Selatan juga terlihat dengan adanya kegiatan adat perkawinan dan biasanya
pengesahan secara tidak tertulis tersebut ketika diadakan pada saat pesta adat wamozi
aramba. Wamozi aramba yakni jika seorang laki-laki menikah dan disahkan secara
adat di desanya maka secara otomatis dia akan memiliki hak dalam desa baik dalam
hal kepemilikan tanah warisan orangtuanya maupun hak-hak lain dalam pelaksanaan
musyawarah adat, seperti dalam penyelesaian sengketa, selain itu perkawinan juga
sebagai tanda kepemilikan lahan kepada pihak wanita Nias Selatan yang akan secara
otomatis memiliki tanah dari warisan suaminya, sehingga dalam pengerjaan lahan
ladang, sawah, atau mendirikan rumah di tanah warisan suaminya tidak akan
diganggu gugat oleh masyarakat desa. Hal inilah yang menunjukkan bahwa
perkawinan dalam adat Nias Selatan dapat memberi kemudahan dalam penyelesaian

230

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

sengketa tanah, karena ini akan mendorong adanya ikatan kekerabatan berupa marga
yang kelak dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi.
Hak tersebut biasanya tidak hanya digunakan untuk tanah tempat tinggal,
tetapi juga tanah untuk sawah dan kebun. Hak ini sebenarnya, serupa dengan hak
milik tanah tetapi komunitas lokal mempunyai pengaruh yang lebih besar atas cara
bagaimana tanahtersebut dapat digunakan dan dialihkan. Pada umumnya, di daerah
pedesaan hak milik adat:
1. Hanya dapat dijual bila terlebih dahulu ditawarkan kepada tetangga (dan mungkin
anggota komunitas lainnya).
2. Tidak dapat dijual kepada orang dari luar komunitas (walaupun dapat disewakan
berdasarkan persetujuan warga).
3. Tunduk pada hak untuk mendapatkan akses, yang dimiliki oleh tetangga dan
anggota komunitas lainnya.
4. Secara teori dapat diambil alih oleh komunitas untuk kepentingan komunitas.
Disebutkan dalam penelitian di lapangan, pembatasan hak tersebut lebih
sering dalam bentuk interaksi longgar antara warga dan kepala adat, dari pada sebagai
aturan tetap yang berlaku dalam setiap keadaan. Ada beberapa cara untuk
memperoleh tanah hak milik adat:
1.

Warisan, hibah atau pembelian, atau

2.

Membuka dan mengusahakan tanah di dalam wilayah adat.
Mekanisme adat untuk memperoleh hak milik tanah semacam ini diakui

dalam Undang-undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
penting untuk dicatat, bahwa hak-hak adat melalui membuka dan mengusahakan

Universitas Sumatera Utara

tanah belum tentu sah apabila tanah yang bersangkutan didefinisikan sebagai tanah
negara. Dalam pasal 6 disebutkan :
1. Sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas
tanah menurut UU Pokok Agraria.
2. Merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh
instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata
cara yang berlaku.
Adanya hak-hak lain atas tanah hak milik, maka biasanya ada orang lain atau
suatu persekutuan yang mempunyai hak milik atas tanah itu, disamping hak lain
tadi. Dalam hal ini, yang terwujud dan kelihatan di mata khayalak, yang
merupakan hal lain itu, ialah memakai atau menggarap tanah itu, sedang hak
miliknya seolah-olah terpendam, baik sama sekali maupun untuk sebagian.
Artinya si pemilik harus menerima baik (dulden), bahwa orang lain itu
memperlakukan tanahnya secara yang biasanya diperbuat oleh si pemilik sendiri.
Tetapi, kalau hak lain tadi terhenti, maka hak milik muncul kelihatan terwujud
lagi. Artinya si pemiliklah yang lantas memakai atau menggarap tanah itu atau
pada umumnya memungut hasil dari tanah itu.231
Masyarakat Desa atau petani masih berorientasi pada tanah dan kompetensi
yang digambarkan adalah kepemilikan tanah. Masyarakat Desa Botohilitano
Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten
Nias Selatan terdapat bentuk-bentuk stratifikasi sosial petani yang dapat kita lihat dari
kepemilikan lahan atau tanah pertanian, status sosial, gaya hidup, bentuk rumah dan
pekerjaan.232
Pemilik/Pemegang Hak Atas Tanah di Desa Botohilitano Kecamatan
Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan
231

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Hak Atas Benda, (Jakarta : Penerbit
Intermasa, Cetakan Kelima, 1986), hal 52.
232
Kuasa Dakhi, Wawancara, Si‟ulu mbanua (bangsawan) ketua adat Desa dan Kepala Desa
Hilimaenamolo (Nisel, 16 Desember 2013).

Universitas Sumatera Utara

pada awalnya ngotot tidak mau menyerahkan Hak Atas Tanahnya karena beralasan
tanah

tersebut

merupakan

area

pertanian

yang

digunakan

sebagai

mata

pencahariannya.233
Hukum adat di Indonesia tidak mengenal suatu keadaan, dimana ada orang
perseorangan yang mempunyai hak milik atas tanah disamping orang lain, yang
seketika itu juga mempunyai hak memakai atau hak menggarap atas tanah itu.
Bilamana ada suatu keadaan, seorang mempunyai hak memakai atau hak
menggarap atas sebidang tanah dan dengan terang dapat dikatakan, bahwa
seorang itu bukanlah pemilik tanah itu, maka selalu yang mempunyai hak milik
atas tanah itu, adalah suatu persekutuan kekeluargaan. Kalau seorang pemilik
tanah membutuhkan sejumlah uang tunai untuk keperluannya, ia dapat menjual
tanah itu. Atau kalau ia masih ingin mengharap akan menguasai kembali tanah
tersebut dikemudian hari, ia dapat menggadaikan tanah itu kepada orang lain.
Artinya ia menyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan menerima sejumlah
uang tunai dengan perjanjian dikemudian hari ia berhak menebus kembali tanah
itu dengan membayar sejumlah uang tunai yang sama dengan uang yang ia
terima semula.234
Apabila gadai tanah itu sudah terjadi, berarti ada dua orang bersama-sama
mempunyai hak atas tanah itu, yaitu seorang pemilik dan seorang pemegang
gadai. Wujud hak si pemegang gadai, selama hubungan gadai ini masih ada, si
pemegang gadailah yang menguasai tanah itu secara luas. Ia dapat
mempergunakan tanah itu untuk keperluannya, memahami atau mendiami atau
menyuruh orang lain menggarapnya dengan perjanjian makro atau mempertiga
yakni setengah atau sepertiga hasil panen untuk yang menggarap tanah. Atau ia
juga dapat menyewakan tanah itu kepada orang lain.235
Perbatasan terletak pada kenyataan, bahwa hak milik atas tanah itu masih
terus berada di tangan si pemilik, yang pada saatnya berhak untuk menebusnya
kembali, karena itu sudah selayak-layaknya, kalau si pemegang gadai tidak dapat
menjual tanah itu kepada orang lain.236Dengan adanya hak menebus kembali ini,
dengan sendirinya terbataslah juga hak-hak si pemegang gadai untuk menguasai
233

Usulan Dakhi, Wawancara Masyarakat di Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo
(Nias Selatan, 16 Desember 2013).
234
Ibid, hal 57.
235
Ibid, hal 58.
236
Ibid, hal 58.

Universitas Sumatera Utara

tanah gadaian. Segala penyerahan tanah oleh pemegang gadai kepada orang pihak
ketiga, selalu disertai dengan penegasan akan kemungkinan ditebusnya kembali tanah
itu oleh si pemilik.237
Semua terjadi, kalau si pemegang gadai masih ingin terus memegang gadai tanah
itu. Kalau tidak, karena ia sendiri membutuhkan uang tunai misalnya dan tidak
ingin lagi menguasai tanah itu, ia dapat berbicara dengan si pemilik, apakah si
pemilik bersedia menebus kembali tanah itu. Kalau tidak, si pemegang gadai
akan mencari orang lain yang dapat menolongnya dengan pemberian uang tunai.
Apabila pihak ketiga itu sudah ada yang bersedia, ada dua jalan yang dapat
dilalui oleh si pemegang gadai. Ia dapat menggadaikan lagi tanah itu kepada
orang ketiga ini dengan menyerahkan tanah itu kepadanya dan menerima
sejumlah uang tunai dengan perjanjian, ia sewaktu-waktu berhak menebus tanah
itu lagi dari seorang ketiga tersebut (onderver panding). Jalan kedua, ia
mengoperkan hak gadainya kepada seorang ketiga. Artinya ia menyerahkan juga
tanah itu kepada orang ketiga dan ia menerima sejumlah uang tunai dari seorang
itu, tetapi catatan si pemegang gadai menarik diri dari hubungan hukum terhadap
tanah itu. Kalau ini terjadi, sudah selayaknya si pemilik tanah diminta turut serta
dalam perjanjian ini, agar ia tahu, bahwa untuk selanjutnya ia tidak berhubungan
lagi dengan si pemegang gadai yang semula itu, melainkan dengan seorang
ketiga ini sebagai pemegang gadai baru.238
Alasan-alasan di belakang pengakuan terhadap hak-hak adat atas kawasan
hutan sangat beragam. Salah satu yang penting adalah meningkatnya kesadaran
bahwa tata pemerintahan yang baik dalam sektor kehutanan terkait erat dengan
keadilan sosial, perlindungan budaya dan agama-agama asli, koherensi masyarakat
dan lingkungan politik yang demokratis. Reformasi kebijakan yang dilakukan
bertujuan untuk menjamin kejelasan penguasaan melalui aturan hukum berdasarkan
konsep filosofis dan tata pemerintahan yang mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial,
pemberdayaan dan perlindungan budaya.
Hak-hak masyarakat atas tanah merupakan inti dari keadilan sosial, alasan bagi
jaminan yang lebih luas melalui kepemilikan tanah secara hukum memiliki
237
238

Ibid, hal 58.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

makna melampaui landasan etika dari keadilan sosial, pelestarian nilai-nilai
budaya serta tindakan-tindakan korektif dari kesalahan di masa lalu. Pengelolaan
hutan oleh masyarakat terbukti efektif dalam mengelola dan melestarikan sumber
daya alam secara lebih baik di berbagai wilayah di dunia. Lebih jauh hal tersebut
merupakan mekanisme yang ampuh untuk pemberantasan kemiskinan serta
memperbaiki efisiensi ekonomi.239
Kepemilikan atas aset tanah merupakan faktor kritis dalam pemberantasan
kemiskinan. Di banyak desa-desa miskin di dunia, hutan merupakan sumber
utama penghidupan mereka. Pemberdayaan masyarakat dengan hak kepemilikan
secara hukum sebagai unsur penting adalah salah sa