Respon pemberian jahe merah (zingiber officinale var rubra) dengan berbagai pengolahan pada ayam broiler yang terinfeksi eimeria tenella Chapter III V

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2015 sampai dengan selesai.
Tahap persiapan dilaksanakan pada awal bulan Januari 2015 bertempat di
Laboratorium Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.
Selanjutnya tahap pelaksanaan penelitian dilakukan selama lima minggu di
kandang percobaan Laboratorium Biologi Ternak Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara Medan dan Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan.

Bahan dan Alat Penelitian
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain ayam pedaging umur 1
hari (DOC) Strain Cobb 500 sebanyak 80 ekor yang berasal dari PT. Charoen
Pokphand Jaya Farm, pakan selama penelitian, Rodalon, Formalin, Etanol,
Methanol, Kalium Bikromat 2-2,5%, Larutan garam jenuh, Larutan gula jenuh,
Vaksin ND Strain Hitchner B1 dan vaksin IBD (Gumboro), Jahe Merah (Zingiber
officinale var Rubra), Isolat Eimeria tenella, Koksidiostat, Larutan CMC
(Carboxyl Methyl Cellulosa), Oil Emersi, Larutan Giemsa 10-20%, Air kran
bersih / Aquades, dan gula merah.


Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain gunting seksi,
scalpel, sarung tangan (gloves), termos es, lumpang porselin (mortar), penapis /
saringan, nampan besar dan kecil, pisau, timbangan analitik (digital), kantong

Universitas Sumatera Utara

plastik, gelas ukur, pipet pasteur, mesin penggiling, oven, sentrifuge, tabung
sentrifuge, alat suntik (spuit), obyek glass, cover glass, cawan petridis, pot salep,
mikroskop, lemari es, alat hitung, kamar hitung (Mc Master), kertas label, spidol,
tissu, labu dan tabung evaporator, rotaryvacum evaporator, termometer untuk
mengetahui suhu kandang, terpal plastik, sekam, kandang percobaan dengan
ukuran 1m x 1m x 1m sebanyak 20 buah, tempat pakan dan minum ayam
sebanyak 20 buah, dan bola lampu pijar (60 Watt) sebanyak 20 buah sebagai
penerang dan pemanas.

Metode Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang diteliti adalah:
KP : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor, tapi tidak

diberi koksidiostat dan jahe merah
KO : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor, dan hanya
diberi koksidiostat
K1

: Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor dan larutan
Jahe merah (serbuk) dengan konsentrasi 1%

K2 : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor dan larutan
Jahe merah (diekstraksi menggunakan ethanol) dengan konsentrasi 1%
K3 : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor dan larutan
Jahe merah (diekstraksi menggunakan air) dengan konsentrasi 1%

Universitas Sumatera Utara

Tabel 7. Kombinasi perlakuan adalah sebagai berikut :
Perlakuan
Ulangan
KP


KO

K1

K2

K3

1

KP1

KO1

K11

K21

K31


2

KP2

KO2

K12

K22

K32

3

KP3

KO3

K13


K23

K33

4

KP4

KO4

K14

K24

K34

Dengan menggunakan 80 ekor ayam, maka masing-masing kombinasi
perlakuan terdiri dari 4 ekor ayam. Adapun metode linear yang digunakan
menurut Hanafiah (2000) adalah:
Yij =  + i+ ij

Dimana:
Yij
=
I
=
J
=

=
i
=
ij
=

hasil pengamatan dari perlakuan tingkat ke-i dan pada ulangan ke-j
perlakuan
ulangan
nilai rata-rata (mean) harapan
pengaruh perlakuan ke-i
pengaruh galat (experimental error) perlakuan ke-i dan ulangan ke-j


Parameter Penelitian
Jumlah ookista Eimeria tenella pada feces ayam
Penghitungan ookista dilakukan dengan menggunakan kamar hitung Mc
Master dengan rumus sebagai berikut :
OPG (N)

=

Ookista hasil pengamatan

x

100

2
Keterangan : OPG =

Ookista Per Gram


Universitas Sumatera Utara

Jumlah lesi yang disebabkan Eimeria tenella pada sekum ayam (SLS)
Skor Lesi Sekum (SLS) ditentukan berdasarkan perubahan patologianatomi berupa derajat kerusakan dari sekum ayam yang terinfeksi menurut
metoda Johson and Reid (1970) yaitu dengan pemberian scoring 0 sampai dengan
+4 seperti berikut ini :
0

= Tidak didapatkan luka dalam dinding usus

+1

= Pada dinding usus didapatkan beberapa ptechie, tebal dinding usus dan
isi usus (feses) normal

+2

= Didapatkan banyak luka (ptechie) pada dinding usus, isi usus bercampur
dengan darah, dan dinding usus, sedikit menebal


+3

= Banyak darah yang telah membeku atau setengah membeku didalam,
dinding usus sangat menebal, feses sedikit atau sama sekali tidak
didapatkan

+4

= Usus sangat membesar, isi usus terdiri dari darah yang telah membeku
atau telah mulai proses perkapuran, sedangkan isi usus yang berupa feses
sedikit. ayam mati karena koksidiosis juga dinilai +4.

Differensiasi leukosit pada sampel darah ayam
Dalam satu preparat ulas darah dihitung 100 Leukosit dan dibedakan jenisjenisnya kemudian dihitung persentasenya.

Pelaksanaan Penelitian
Isolasi Eimeria tenella
Sekum ayam yang terpapar koksidiosis dikoleksi dari lapangan (dari
peternakan ayam di kota Medan) dan diproses dilaboratorium dengan cara sebagai
berikut: sekum-sekum yang mengandung ookista E.tenella diletakkan dalam


Universitas Sumatera Utara

lumpang porselin (mortar), diberi aquades steril secukupnya kemudian digerus
dan dihaluskan secara perlahan-lahan agar tidak merusak ookista. Kemudian
disaring dengan saringan 25 μm. Hasil saringan diberi larutan gula jenuh,
kemudian disentrifuse dengan kecepatan 1500 rpm selama 5-10 menit untuk
diperiksa ookistanya berdasarkan morfologi, ukuran, masa sporulasi lalu diisolasi
(Levine, 1985).

Pembiakan Isolat Eimeria tenella
Setelah mendapat isolat E. tenella, kemudian disporulasikan dengan
penambahan larutan kalium bikromat 2-2,5% 5-10 kali dari sampel (tidak
diperkenankan kedalaman larutan lebih dari 4cm) selama 1-2 hari dalam suhu
kamar (260C – 280C). Tutup cawan Petridis/ gelas dengan sedikit terbuka untuk
memberikan kesempatan udara masuk. Untuk perbanyakan, isolat E.tenella
diinokulasikan pada ayam umur 2 minggu yang bebas koksidia, 6 hari pasca
inokulasi dipanen seperti cara kerja sebelumnya kemudian disimpan dalam lemari
es sampai digunakan.


Pembuatan Larutan Jahe Merah
Dalam pembuatan larutan jahe merah, penelitian ini menggunakan 3
macam pengolahan jahe yang nantinya akan digunakan sebagai larutan. Adapun
bentuk pengolahan jahe yang dimaksud adalah serbuk jahe, ekstrak jahe
menggunakan ethanol, dan ekstrak jahe menggunakan air.
Serbuk Jahe
Jahe merah diperoleh dari Pasar kota Medan. Jahe merah segar dicuci
kemudian disayat tipis-tipis dan dikeringkan dalam oven pada temperatur 370C

Universitas Sumatera Utara

selama 48 jam sampai kering, lalu dibuat serbuk dengan cara digiling (Iskandar et
al, 2000). Larutan dibuat dengan cara yang tertera dalam Farmakope Indonesia,
sehingga diperoleh larutan dengan kepekatan 1 gr serbuk kering dalam 1 ml
(Depkes.RI. 1979 dikutip dari Iskandar et al, 2000). Larutan pekat tadi akan
diencerkan kembali dengan air menjadi 100 ml, sehingga konsentrasi 1% dari
larutan jahe tersebut nantinya akan mengandung 10 mg jahe /ml.
a. Ekstraksi Jahe Menggunakan Ethanol
Rimpang jahe merah segar yang sudah dibersihkan dikeringkan dengan
oven blower (40-60o C) selama 30-36 jam hingga diperoleh jahe kering dengan
kadar air 8-11%. Jahe kering digiling kemudian disaring sehingga dihasilkan
bubuk jahe berukuran 30 mesh. Sebanyak 250 gram bubuk jahe di ekstrak 4 kali
dengan menggunakan pelarut etanol (500 ml). Ekstrak yang diperoleh disaring
dengan kertas saring pada kondisi vakum. Cairan yang diperoleh dimasukkan ke
dalam tabung rotavapor yang telah ditimbang, kemudian disuling dengan
rotaryvacum-evaporator. Penyulingan dihentikan setelah pelarut berhenti
menetes, maka didapatkan oleoresin yang konsistensinya semi padat berwarna
coklat muda sampai dengan coklat tua. Selanjutnya dilakukan penimbangan
terhadap

oleoresin

yang

dihasilkan

dalam

labu

rotavapor.

Untuk

menghomogenkan hasil ekstrak jahe dengan air pada saat pembuatan larutan perlu
penambahan larutan CMC (Carboxyl Methyl Cellulosa) 1%. Perbandingan dosis
serbuk dengan hasil ekstrak adalah 1 : 5. Sehingga Larutan ekstrak jahe merah
menggunakan ethanol dibuat dengan konsentrasi 1% ( 2mg jahe/ ml).

Universitas Sumatera Utara

b. Ekstraksi Jahe Menggunakan Air
Ekstraksi jahe merah menggunakan air sebagai larutan pengekstrak.
Ekstraksi jahe dilakukan terhadap bubuk jahe. Setiap 25 gr bubuk jahe
membutuhkan 125 ml air. Ekstraksi dilakukan sebanyak 4 kali. Untuk
memperoleh ekstrak jahe, filtrat dikeringbekukan sehingga pelarut dan air yang
ada menguap. Larutan ekstrak jahe merah menggunakan air dibuat dengan
konsentrasi 1% (2mg jahe/ml).

Rimpang jahe

Pengeringan

Bubuk jahe 250 gr

Ekstraksi dengan air, empat
kali

Ekstraksi dengan ethanol,
empat kali @ 500ml

Ekstrak air-jahe bubuk

Fraksi terlarut etanol

Penguapan pelarut s/d konstan
Ekstrak ethanol

Gambar 4. Ekstraksi Jahe
Kandang terlebih dahulu didesinfeksi dengan menggunakan rodalon,
kemudian dilakukan fumigasi dengan menggunakan formalin dan dibiarkan

Universitas Sumatera Utara

selama tiga hari. Peralatan kandang dibersihkan dan didesinfeksi sebelum
digunakan (Siagian, 2009).
Uji In Vivo
Pada penelitian ini menggunakan 80 ekor anak ayam pedaging umur satu
hari (DOC) Strain Cobb 500 yang diacak ke dalam 5 perlakuan (KP, KO, K1, K2,
K3) dengan 4 ulangan, dan masing-masing ulangan terdiri atas 4 ekor.
Sebelum DOC dimasukkan kedalam kandang sesuai dengan perlakuan,
dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobot badan awal dari masing-masing
DOC kemudian dilakukan random (pengacakan) pada DOC yang bertujuan
memperkecil nilai keragaman. Lalu DOC dimasukkan sebanyak 4 ekor per
kandang.
Kandang terbuat dari kayu berukuran 1m x 1m x 1m dengan lantai diberi
sekam padi kering (umur 1 hari -14 hari ), dilengkapi dengan tempat pakan dan
minum serta dilengkapi dengan 1 buah lampu pijar berkekuatan 60 Watt untuk
masing - masing kandang.
Sebagai pencegahan terhadap penyakit Tetelo (New Castle Disease)
diberikan vaksinasi ND Strain Hitchner B1 yang dilakukan melalui tetes mata
pada ayam umur empat hari, kemudian vaksinasi IBD (Gumboro) pada umur 12
hari melalui air minum, dan selanjutnya pengulangan vaksinasi ND Strain Lasota
pada umur tiga minggu melalui tetes mata.
Pada umur 23 hari, lima perlakuan ayam (KP,KO,K1,K2,K3) diinfeksi
dengan Eimeria tenella masing-masing sebanyak 10.000 ookista/ekor per oral.
Lima (5) hari pasca diinfeksi Eimeria tenella, diberikan perlakuan berupa larutan
jahe sebanyak 1ml/ekor per oral (K1, K2, K3), dan aquadest (KP) selama 3 hari,

Universitas Sumatera Utara

istirahat (tidak diberi) 2 hari, lalu diberi kembali selama 3 hari (sistem 3-2-3),
begitu juga dengan pemberian koksidiostat Coxymas (sesuai petunjuk dari
PT.Mensana).

Penentuan Jumlah Ookista per Gram Ekskreta
Enam (6) hari pasca diinfeksi Eimeria tenella, ekskreta ayam ditampung
setiap hari. Pada masing – masing perlakuan diambil ekskreta sebanyak 2 sampel
perkandang, kemudian dikoleksi dan dipisahkan berdasarkan perlakuan masingmasing selama 1 minggu. Ekskreta ditimbang sebanyak 1 gram yang kemudian
dilarutkan ke dalam 29 ml larutan garam jenuh, disentrifuge selama 10 menit
dengan kecepatan 1500 rpm. Setelah disentrifuge, bagian atas supernatan (bening)
diambil menggunakan pipet Pasteur kemudian diteteskan pada kedua sisi kamar
hitung Mc Master. Selanjutnya diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran
10 x10 (Alamsari, 2000). Jumlah ookista yang ditemukan dalam sepuluh lapangan
pandang kemudian dihitung, dijumlahkan, lalu dirata-rata.
Penghitungan ookista dilakukan dengan menggunakan kamar hitung Mc
Master dengan rumus sebagai berikut :
OPG (N)

=

Keterangan : OPG =

Ookista hasil pengamatan
2

x

100

Ookista Per Gram

Penentuan SLS (Skor Lesi Sekum)
Skor lesi sekum (SLS) ditentukan berdasar perubahan patologi-anatomi
berupa derajat kerusakan dari sekum ayam yang terinfeksi menurut metoda
Johson and Reid (1970). Hari ke-13 pasca infeksi Eimeria tenella, semua
kelompok

ayam dipotong untuk diambil sekumnya. Kerusakan pada sekum

Universitas Sumatera Utara

ditandai dengan adanya perdarahan yang hebat, penebalan dinding sekum dan
nekrotik. Sebaran nilainya berkisar antara 0-4, dimana nilai skor 0 untuk keadaan
normal dan skor 4 untuk kerusakan sekum yang parah sesuai dengan metode
Johnson dan Reid (1970). Penentuan nilai perlukaan sekum dan produksi ookista
hanya dilakukan oleh satu orang untuk menghindari bias.

Pemeriksaan Differensiasi Leukosit
a. Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan sampel darah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada ayam
umur 27 hari, 30 hari, dan 35 hari, dan pada masing-masing perlakuan diambil 2
sampel perkandang. Pengambilan darah dilakukan pada Vena brachialis.

b. Cara Pembuatan Ulas Darah Tipis
Gelas obyek 1 ditetesi darah sampel, kemudian ujung gelas obyek 2
disentuhkan ke preparat darah pada gelas obyek 1 dan dibiarkan mengalir melalui
ruang kapiler dari gelas obyek 2. Posisi antara kedua gelas obyek membentuk
sudut 450. Dengan segera gelas obyek 2 digeser dengan gerakan langsung dan
dihindari penekanan yang berlebihan. Setelah itu preparat difiksasi dengan
methanol lalu diwarnai dengan Giemsa 10% (Piatina, 2001).

c. Pemeriksaan Sampel Darah
Preparat ulas darah tipis diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran
10 x100 menggunakan minyak emersi. Dalam satu preparat dihitung 100 Leukosit
dan dibedakan jenis-jenisnya (diferensiasi dari leukosit tersebut kemudian
dihitung persentasenya) (Piatina, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Prosedur Kerja

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN

Semua hewan percobaan selama penelitian tidak ada yang mati termasuk
hewan kontrol, karena diinfeksi di bawah lethal dosis (50.000-100.000 ookista).

Ookista per Gram Ekskreta
Ookista merupakan hasil fertilisasi mikrogamet dan makrogamet pada
stadium seksual. Sesudah fertilisasi zigot akan membentuk ookista. Ookista E.
tenella akan keluar bersama ekskreta dalam keadaan belum bersporulasi, dan akan
bersporulasi dalam waktu 1-2 hari setelah mendapatkan oksigen, suhu yang
sesuai, dan lingkungan yang lembab (Tampubolon, 1992). Rata-rata produksi
ookista per gram ekskreta yang ditampung selama tujuh hari pada ayam yang
terinfeksi E.tenella dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rata-rata Produksi Ookista Per Gram (OPG) Ekskreta Pada Ayam Yang
Terinfeksi E.tenella Setelah Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber
officinale var Rubra)
Pengamatan pada hari ke- (pasca infeksi)
Perlakuan

6

7

8

9

10

11

12

KP

9425a

9463

12725a

12950a

11163a

8600a

6363a

KO

3925b

8138

9000a

7800bc

5175b

3350b

2988ab

K1

7888ab

8475

12725a

7950bc

5400b

3675b

4338ab

K2

4025b

4988

3838b

3488c

2875b

3250b

1625b

K3

3725b

7575

9900a

9980ab

7188ab

4675b

3313ab

Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan
berbeda nyata pada taraf (P < 0,05)

Universitas Sumatera Utara

Jumlah ookista (OPG)
14000
12000
KP

10000

KO

8000

K1

6000

K2

4000

K3

2000
0
6

7

8

9

10

11

12

Pengamatan pada hari ke- (pasca infeksi)

Keterangan :
KP = Infeksi E.tenella
KO = Infeksi E.tenella
K1 = Infeksi E.tenella
K2 = Infeksi E.tenella
K3 = Infeksi E.tenella

+
+
+
+

koksidiostat
lar.jahe merah serbuk 1%
lar.jahe merah ekstrak ethanol 1%
lar.jahe merah ekstrak air 1%

Gambar 5. Rata-rata Produksi Ookista Per Gram (OPG) Ekskreta Pada Ayam
Yang Terinfeksi E.tenella Setelah Pemberian Larutan Jahe Merah
(Zingiber officinale var Rubra)
Tabel 8 menunjukkan bahwa pada hari ke-6 pasca infeksi terlihat rata-rata
produksi ookista tertinggi pada perlakuan KP (9425), sedangkan terendah pada
perlakuan K3 (3725). Hasil analisis statistik dengan menggunakan Anava
(Analisis

Varian)

menunjukkan

bahwa

pemberian

larutan

jahe

merah

memberikan pengaruh yang nyata (P0,05) dengan perlakuan larutan
jahe merah 1% (KO=K2=K3).

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya pada hari ke-7 dan ke-8 pasca infeksi, hasil analisis statistik
dengan menggunakan Anava menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
nyata (P>0,05) diantara perlakuan KP,KO,K1,K3. Jumlah ookista keempat
perlakuan mengalami peningkatan. Maudya (1994) menyatakan bahwa pada hari
ke-6 dan ke-7 setelah infeksi produksi ookista akan meningkat kembali karena
pada hari tersebut perdarahan sudah agak berkurang. Namun, keempat perlakuan
tersebut (KP,KO,K1,K3) berbeda nyata (P0,05) dengan perlakuan K1, K2, K3, dan KO diduga karena jumlah ookista
yang diberikan belum cukup untuk memberikan dampak pada ayam pedaging.
Selain itu, hal tersebut dimungkinkan respon tubuh ayam segera membentuk
antibodi sehingga dapat mencegah kerusakan jaringan dan perdarahan pada sekum
ayam pedaging. Hal ini sesuai dengan pendapat (Endang et al, 2000) yang
menyatakan bahwa berat ringannya serangan koksidiosis dipengaruhi oleh jumlah
parasit yang menyerang (dosis infeksi), daya kebal, dan umur induk semang.

Diferensiasi Leukosit
Leukosit atau sel darah putih adalah sel yang memiliki inti dan organel.
Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh. Leukosit
berfungsi untuk melindungi tubuh dari infeksi dan kanker, serta membantu proses
penyembuhan (Corwin, 2000). Kelompok granulosit ditandai dengan terdapatnya
granula didalam sitoplasma , sedang kelompok agranulosit tidak memiliki granula
(Caceci, 1998). Hasil yang diperoleh setelah dilakukan penghitungan diferensiasi
leukosit adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Tabel 10. Rataan Persentase Heterofil, Basofil, Eosinofil, Limfosit, dan Monosit
Pada Ayam Pedaging Yang Diinfeksi Eimeria tenella
Differensiasi Leukosit (%)

KP

KO

Perlakuan
K1

K2

K3

Pasca Infeksi :
Heterofiltn
Basofiltn
Eosinofiltn
Limfosittn
Monosittn

30,63
9,54
10,00
47,34
3,12

33,75
7,50
9,00
47,13
2,62

28,00
8,25
6,50
55,00
2,25

30,75
8,62
7,13
50,13
3,37

44,50
7,75
6,50
39,12
2,13

16,17b
6,00
10,63a
65,00
2,25

22,13ab
5,75
8,12b
61,75
2,25

28a
5,62
4,25c
59,63
2,50

27,37a
4,50
4,50c
60,63
3,00

26,50a
5,50
5,88bc
59,25
2,87

30,50
7,87
9,87
49,88
1,88

35,75
4,25
6,87
50,38
2,75

35,00
4,00
5,00
54,50
1,50

25,63
2,75
5,50
64,50
1,62

36,37
5,25
6,25
50,38
1,75

3 Hari Pasca Pengobatan :
Heterofil
Basofiltn
Eosinofil
Limfosittn
Monosittn
8 Hari Pasca Pengobatan :
Heterofiltn
Basofiltn
Eosinofiltn
Limfosittn
Monosittn
Keterangan : tn = tidak nyata

Heterofil
Pada hari ke-26 (pasca infeksi), hasil analisis statistik menggunakan
Anava menunjukkan bahwa rata-rata persentase heterofil tidak berbeda nyata
(P>0,05) pada setiap perlakuan (Tabel 10).
Pada hari ke-30 (3 hari pasca pengobatan), terjadi perubahan yang nyata
dimana kontrol positif mengalami penurunan jumlah heterofil (Gambar 7). Infeksi
selalu memicu datangnya sel radang ke lokasi infeksi yang bertujuan antara lain
untuk memfagositosis agen penyebab infeksi. Respon akibat peradangan ialah

Universitas Sumatera Utara

migrasi sel-sel pertahanan dari pembuluh darah ke tempat peradangan yang
ditandai dengan akumulasi sel polimorfnukleus dan makrofag (Yellita et al., 2011).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Melvin dan William (1993) bahwa heterofil
muncul di daerah peradangan dalam jumlah yang besar. Heterofil dan makrofag
merupakan bagian utama dari respon imun bawaan (innate) pada unggas (Stabbler
et al., 1994).
Sedangkan pada perlakuan KO,K1,K2,K3 mengalami sedikit penurunan
jumlah heterofil dengan persentase terendah pada KO (22,13%). Jumlah heterofil
pada perlakuan jahe merah (K1,K2,K3) cenderung mendekati nilai normal. Hal ini
terjadi karena heterofil termobilisasi untuk memasuki peredaran darah dari
sumsum tulang (Trilestari, 2001). Kemungkinan lain adalah adanya kandungan
antioksidan dalam jahe yang berkhasiat sebagai anti inflamasi (Friedli, 1997).
Secara umum persentase heterofil normal adalah 27,2% (Sturkie, 1976).
Pada hari ke-35 (8 hari pasca pengobatan), rata-rata persentase heterofil
kembali meningkat, namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata
(P>0,05) pada setiap perlakuan. Rata-rata persentase heterofil terendah pada
perlakuan K2 (25,63%), sedikit dibawah nilai normal. Dari pengamatan ookista
pada hari ke-35 menunjukkan bahwa jumlah ookista pada perlakuan K2 paling
rendah dibandingkan perlakuan lain. Hal ini mengindikasikan bahwa heterofil
yang termobilisasi dari sumsum tulang lebih banyak berada dijaringan daripada di
peredaran darah. Seperti yang dinyatakan oleh Carlson dan Allen (1969) bahwa
sel heterofil aktif memfagosit mikroorganisme baik dalam peredaran darah
maupun didaerah terjadinya inflamasi.

Universitas Sumatera Utara

Heterofil
50
40

KP
KO

30

K1
20

K2
K3

10
0
pasca Infeksi

3 hari pasca diobati

8 hari pasca diobati

Gambar 7. Persentase heterofil pada ayam yang terinfeksi E.tenella setelah
pemberian larutan jahe merah yang diamati selama3 kali
pengambilan (pada ayam umur 26 hari, 30 hari, dan 35 hari)

Basofil
Pada hari ke-26 (pasca infeksi), hasil analisis statistik menggunakan
Anava menunjukkan bahwa rata-rata persentase basofil tidak berbeda nyata
(P>0,05) pada setiap perlakuan (Tabel 10). Persentase jumlah basofil tertinggi
terdapat pada perlakuan KP (9,54%) sedangkan terendah pada perlakuan KO
(7,50%). Secara umum persentase basofil normal adalah 1,7% (Sturkie, 1976).
Pada tahap ini terlihat peningkatan basofil dalam darah. Basofil akan muncul dan
meningkat ketika terjadi infeksi. Basofil berperan sebagai mediator untuk aktifitas
perbarahan dan alergi (Dharmawan, 2002).
Pada hari ke-30 dan ke-35 dimana ayam telah diobati, terjadi penurunan
jumlah basofil yang tidak signifikan pada perlakuan KO,K1,K2,K3 (Gambar 8)
dan secara statistik menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05) pada setiap
perlakuan. Hal ini mungkin dikarenakan kondisi peradangan usus belum
sepenuhnya mereda setelah pengobatan, sehingga memicu untuk timbulnya

Universitas Sumatera Utara

produksi basofil oleh sumsum tulang. Sedangkan jumlah basofil pada perlakuan
KP masih tinggi. Hal ini mungkin terjadi karena pada perlakuan tersebut masih
berlangsung siklus coccidia dan timbul peradangan. Seperti yang dinyatakan oleh
Melvin dan William (1993) bahwa di daerah peradangan, basofil memproduksi
heparin, histamine, bradykinin, serotonin, dan enzim lisosom yang membantu
melawan antigen.
Basofil
12
10
KP
8

KO

6

K1
K2

4

K3
2
0
pasca Infeksi

3 hari post diobati

8 hari post diobati

Gambar 8. Persentase basofil pada ayam yang terinfeksi E.tenella setelah
pemberian larutan jahe merah yang diamati selama 3 kali
pengambilan (pada ayam umur 26 hari, 30 hari, dan 35 hari)

Eosinofil
Pada hari ke-26 (pasca infeksi), hasil analisis statistik menggunakan
Anava menunjukkan bahwa rata-rata persentase eosinofil tidak berbeda nyata
(P>0,05) pada setiap perlakuan (Tabel 10). Persentase jumlah eosinofil tertinggi
terdapat pada perlakuan KP (10,00%) sedangkan terendah pada perlakuan K1 dan
K3 (6,50%). Secara umum persentase eosinofil normal adalah 2–8% dari jumlah
leukosit (Tizard, 1988). Pada tahap ini terlihat adanya peningkatan eosinofil pada

Universitas Sumatera Utara

perlakuan KP dan jumlahnya sudah melebihi batas normal, sedangkan keempat
perlakuan lainnya normal. Hal ini mengindikasikan bahwa pada perlakuan KP
terjadi peradangan sehingga eosinofil tetap berada dalam darah untuk menuju
jaringan tempat terjadinya peradangan (Piatina, 2001).
Pada hari ke-30 (3 hari pasca pengobatan), rata-rata persentase eosinofil
berbeda nyata (P0,05) pada setiap perlakuan (Tabel 10). Persentase jumlah monosit tertinggi
terdapat pada perlakuan K2 (3,37%) sedangkan terendah pada perlakuan K3
(2,13%). Secara umum persentase monosit normal adalah 8,9-10,2% dari jumlah
leukosit (Sturkie, 1976). Pada tahap ini terlihat penurunan jumlah monosit dalam
darah. Hal ini terjadi karena monosit sudah bermigrasi ke dalam saluran
pencernaan tempat terjadinya peradangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Kende
(1982) yang menyatakan bahwa sejumlah faktor kemotaksis berperan pada
monosit dan menyebabkan mereka bermigrasi ke dalam jaringan.

Universitas Sumatera Utara

Pada hari ke-30 dan ke-35 dimana ayam telah diobati, tampak bahwa
jumlah monosit kelima perlakuan (KP,KO,K1,K2,K3) masih dibawah batas
normal (Gambar 11) dan secara analisis statistik menggunakan Anava
menunjukkan bahwa hasil tidak berbeda nyata (P>0,05) pada setiap perlakuan.
Hal ini dikarenakan monosit lebih sedikit di peredaran darah dan lebih banyak
berada disaluran pencernaan tempat terjadinya peradangan. Selama peradangan,
monosit akan membesar, menyebar lebih cepat dan mengalami peningkatan fungsi
metabolik. Monosit sebagai respon peradangan terutama menelan dan membunuh
mikroorganisme dan merupakan garis pertahanan kedua setelah heterofil (Ganong,
1995). Aktifitas fagositosis dari monosit tergantung pada bahan yang akan
difagosit (Tizard, 1988).
Monosit
4
3.5
3

KP

2.5

KO

2

K1

1.5

K2

1

K3

0.5
0
Sebelum diobati

3 hari pasca diobati

8 hari pasca diobati

Gambar 11. Persentase monosit pada ayam yang terinfeksi E.tenella setelah
pemberian larutan jahe merah yang diamati selama 3 kali
pengambilan (pada ayam umur 26 hari, 30 hari, dan 35 hari)

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
a. Penggunaan jahe merah dapat menurunkan produksi ookista, jahe merah yang
diekstraksi menggunakan ethanol lebih baik dibandingkan dengan jahe merah
yang diekstraksi menggunakan air atau dalam bentuk serbuk
b. Penggunaan jahe merah menunjukkan persentase heterofil dan eosinofil
mendekati normal dibandingkan dengan perlakuan kontrol.
c. Pengamatan 13 hari setelah infeksi tidak mempengaruhi nilai perlukaan
sekum, yang berarti bahwa ayam telah mengalami pemulihan.

Saran
Penggunaan jahe merah yang diekstraksi menggunakan ethanol dapat
diaplikasikan untuk pengobatan koksidiosis pada ayam pedaging.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber Officinalle Var Rubra) Dengan Metode Pengolahan Yang Berbeda Terhadap Bobot Karkas Ayam Broiler Yang Terinfeksi Eimeria Tenella

4 75 54

Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber officinale var rubra) dengan Metode Pengolahan Berbeda terhadap Performans Ayam Broiler Yang Terinfeksi Eimeria tenella

3 84 57

Respon pemberian jahe merah (zingiber officinale var rubra) dengan berbagai pengolahan pada ayam broiler yang terinfeksi eimeria tenella

0 0 15

Respon pemberian jahe merah (zingiber officinale var rubra) dengan berbagai pengolahan pada ayam broiler yang terinfeksi eimeria tenella

0 0 2

Respon pemberian jahe merah (zingiber officinale var rubra) dengan berbagai pengolahan pada ayam broiler yang terinfeksi eimeria tenella

0 0 3

Respon pemberian jahe merah (zingiber officinale var rubra) dengan berbagai pengolahan pada ayam broiler yang terinfeksi eimeria tenella

0 0 23

Respon pemberian jahe merah (zingiber officinale var rubra) dengan berbagai pengolahan pada ayam broiler yang terinfeksi eimeria tenella

0 1 6

Respon pemberian jahe merah (zingiber officinale var rubra) dengan berbagai pengolahan pada ayam broiler yang terinfeksi eimeria tenella

0 0 26

Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber officinale var rubra) dengan Metode Pengolahan Berbeda terhadap Performans Ayam Broiler Yang Terinfeksi Eimeria tenella

0 0 11

Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber Officinalle Var Rubra) Dengan Metode Pengolahan Yang Berbeda Terhadap Bobot Karkas Ayam Broiler Yang Terinfeksi Eimeria Tenella

0 0 19