Respon pemberian jahe merah (zingiber officinale var rubra) dengan berbagai pengolahan pada ayam broiler yang terinfeksi eimeria tenella

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Pedaging
Ayam pedaging (ayam broiler) telah dikembangkan sejak 50 tahun silam.
Peternakan ayam pedaging di Indonesia baru berkembang pada tahun 1979
(Amrullah, 2004). Ayam pedaging merupakan ayam ras yang memiliki
keunggulan bereproduksi yang lebih tinggi dibandingkan ayam buras. Ayam jenis
ini merupakan hasil budidaya teknologi peternakan melalui berbagai perkawinan
silang dan seleksi yang rumit yang diikuti dengan upaya perbaikan manajemen
pemeliharaan secara terus menerus (Abidin, 2002).
Ayam pedaging merupakan ternak yang penting dalam pemenuhan
kebutuhan protein hewani masyarakat. Permintaan terhadap daging ayam semakin
bertambah seiring dengan meningkatnya penghasilan dan kesadaran penduduk
akan pentingnya protein hewani. Dalam rangka mengembangkan usaha ternak
ayam pedaging , pada umumnya peternak memberikan ransum komersial karena
ransum komersial telah memenuhi standar kebutuhan zat-zat makanan yang telah
ditetapkan (Ahmad et al., 2008).
Umumnya pemeliharaan ayam pedaging dilakukan dalam waktu 5 - 6
minggu dengan berat badan 1,4 - 1,6 kg/ekor, akan tetapi konsumen masih dapat
menerima ayam pedaging dengan berat badan lebih dari itu, misalnya dengan
berat antara 1,8 - 2 kg/ekor. Ayam seberat ini memerlukan pemeliharaan antara

7 - 8 minggu. Ayam pedaging yang dipelihara pada usia tersebut memiliki berat
badan hampir sama dengan berat badan ayam kampung yang berusia satu tahun
(Rasyaf, 2002). Pertumbuhan ayam pedaging dipengaruhi oleh beberapa faktor

Universitas Sumatera Utara

diantaranya makanan (ransum), temperatur lingkungan (berkisar 19° - 21 °C), dan
sistem pemeliharaannya (Rasyaf, 1992).

Koksidiosis
Koksidiosis atau penyakit berak darah merupakan penyakit penting pada
ayam di Indonesia maupun di luar negeri karena sering menimbulkan masalah dan
menyebabkan kerugian yang cukup besar pada usaha peternakan ayam. Kerugian
yang ditimbulkan meliputi kematian, morbiditas yang cukup tinggi, penurunan
efisiensi pakan, pertumbuhan terhambat, penurunan bobot hidup, terlambatnya
masa produksi telur, produksi menurun dan biaya pengobatan yang tinggi
(Tampubolon, 1996).
Infeksi E. tenella pada unggas dapat berjalan akut, berak darah mulai
terlihat pada hari ke 4 - 5 setelah infeksi. Unggas terlihat lesu,sayap menggantung,
bulu kusam, sekitar kloaka kotor oleh feses. Unggas yang bertahan hidup akan

mendapatkan kekebalan setelah hari 7 - 9 pasca infeksi (Levine, 1973).
Koksidiosis pada ayam berlokasi pada dua tempat yaitu di sekum (caecal
coccidiosis) yang disebabkan oleh E. tenella dan di usus (intestinal coccidiosis)
yang disebabkan oleh delapan jenis lainnya (Jordan et al., 2001 ).

Klasifikasi dan Morfologi Eimeria tenella
Filum

:

Apicomplexa

Kelas

:

Sporozoa

Sub Kelas


:

Coceidia

Ordo

:

Eucoceidia

Sub ordo

:

Eimeriina

Universitas Sumatera Utara

Famili


:

Eimeriidae

Genus

:

Eimeria

Spesies

:

E. tenella, E. necatrix, E. maxima, E. brunette, E. acervulina,
E.mitis, E.mivati, E. praecox, dan E. hagani.

Pada ayam terdapat sembilan spesies Eimeria yaitu : Eimeria tenella, E.
necatrix, E. maxima, E. brunette, E. acervulina, E. mitis, E.mivati, E.
praecox, dan E. hagani. Spesies yang paling pathogen pada unggas yaitu E.

tenella, dan E. necatrix (Levine, 1978 dalam Ashadi, 1992). Eimeria memiliki
stadium seksual maupun aseksual pada siklus hidupnya.
1. Ookista
Ookista merupakan hasil fertilisasi mikrogamet dan makrogamet pada
stadium seksual. Sesudah fertilisasi zigot akan membentuk ookista. Bentuknya
bulat telur, licin, dengan ukuran panjang dan lebar yang bervariasi tergantung dari
jenis Eimerianya (Ashadi dan Partosoedjono, 1992). Ookista E. tenella yang
keluar bersama tinja masih dalam keadaan belum bersporulasi, dan akan
bersporulasi dalam waktu 1-2 hari setelah mendapatkan oksigen, suhu yang
sesuai, dan lingkungan yang lembab (Tampubolon, 1992).
Ukuran ookista E. tenella sangat bervariasi, panjang berkisar antara 14-31
mikron, lebar 9-25 mikron, dengan rata-rata panjang 23 mikron dan lebar 19
mikron. Dinding ookista halus, tidak ada mikropil („micropyle‟) pada ujung yang
lebih kecil. Ookista yang disimpan dalam suhu kamar dengan suhu dan
kelembapan yang cukup membutuhkan waktu untuk bersporulasi dalam waktu
kira-kira 48 jam (1-2 hari). Ookista yang telah bersporulasi mempunyai empat
sporokista dan setiap sporokista mempunyai dua sporozoit (Levine, 1985).

Universitas Sumatera Utara


Menurut Levine (1985), ookista yang dikeluarkan bersama tinja terdiri dari
satu sel yang disebut dengan sporon. Sporon membutuhkan O2, temperatur, dan
kelembapan yang cukup untuk berkembang menjadi stadium yang infektif.
Ookista menjadi infektif setelah mengalami proses sporulasi selama 2 hari pada
suhu kamar.

Gambar 1. Ookista dari genus Eimeria yang telah bersporulasi (Levine, 1973)
2. Sporokista
Sporokista merupakan hasil fertilisasi dari ookista. Dinding ookista akan
pecah

oleh

gerakan

mekanik

lambung

unggas


(ventriculus)

sehingga

membebaskan empat sporokista. Sporokista berbentuk oval memanjang dan salah
satu ujungnya lebih runcing dari yang lain (Piatina, 2001). Sporokista memiliki
ukuran 10-15 µl, bersifat transparan dan sitoplasmanya bergranula. Masing–
masing sporokista memiliki dua sporozoit stadium infektif (Tampubolon, 1992).
3. Sporozoit
Sporozoit adalah hasil pelepasan sporokista. Pelepasan sporozoit dari
sporokista dirangsang oleh khemotripsin, zat empedu, dan karbondioksida dalam
usus halus (Levine, 1985). Sporozoit berbentuk seperti koma, ukuran 1,0 x 1,5
µm dan bersifat transparan dengan sitoplasma yang bergranula.

Universitas Sumatera Utara

4. Tropozoit
Tropozoit merupakan hasil perkembangan dari sporozoit yang akan
melakukan proses skizogoni (Trilestari, 2001).

5. Meron / Skizon
Meron/skizon adalah tahap perkembangan tropozoit yang intinya
mengalami pembelahan. Terdapat tiga macam skizogoni, skizogoni aseksual di
dalam sel inang memproduksi sejumlah merozoit. Proses ini dikenal sebagai
merogoni. Ukuran dapat mencapai maksimum 54,0 µm (Piatina, 2001).
6. Merozoit
Merozoit adalah skizon yang telah mengalami pembelahan, umumnya
berukuran 5-10 µm x 1,5 µm dan memiliki granular sekeliling intinya. Merozoit
terlepas dari skizon yang telah masuk (Piatina, 2001).
7. Gametosit
Gametosit adalah bentuk perkembangan dari merozoit generasi ke-2 untuk
selanjutnya berkembang menjadi makrogametosit dan mikrogametosit. Produksi
mikrogamet dan makrogamet dikenal sebagai gametogoni (Levine, 1985).
Makrogamet lebih besar dari mikrogamet dan akan berkembang menjadi gamet
betina. Makrogamet memiliki ukuran hampir sama dengan ookista. Sedangkan
mikrogamet membelah menjadi beberapa mikrogametosit yang berkembang
menjadi gamet jantan dengan bentuk seperti koma, langsing agak membengkok,
pada bagian anterior terdapat flagella sebagai alat geraknya (Tampubolon,1992).
Saat fertilisasi, makrogamet masak akan dibuahi mikrogamet yang akan
membentuk zigot untuk selanjutnya berkembang menjadi ookista.


Universitas Sumatera Utara

Siklus Hidup Eimeria tenella
Eimeria mengalami perkembangan siklus hidup secara lengkap di dalam
dan di luar tubuh inangnya, dan dibagi menjadi siklus aseksual dan siklus seksual.
Siklus hidup ini lebih dikenal dengan tiga stadium, yaitu stadium skizogoni
(merogoni), gametogoni, dan sporogoni. Siklus aseksual merupakan stadium
sporogoni dan skizogoni, siklus seksual meliputi stadium gametogoni. Sporogoni
merupakan stadium pembentukan spora (Tampubolon, 1996). Ookista-ookista
dikeluarkan melalui tinja, dengan ookista berisi satu sel yaitu sporon. Ookista
dalam suatu lingkungan yang lembab, temperatur tinggi, dan jumlah oksigen yang
cocok akan mengalami sporulasi (Marbun, 2006).
Ookista ini mengandung 4 sporokista yang masing-masing mengandung 2
sporozoit. Sesampainya didalam lumen usus, ookista dan sporokista akan rusak
oleh enzim pancreas, sehingga menyebabkan keluarnya sporozoit. Sporozoit
masuk kedalam epitel di sel tumbuh menjadi skizon generasi pertama didalam
mukosa. Skizon generasi pertama menghasilkan 48 lebar 1,5 mikron (Levine
1985). Untuk dapat bersporulasi, ookista membutuhkan kondisi yang optimal,
yaitu lembab, ketersedian oksigen cukup, dan suhu 26.60 - 32.20 C (Ashadi dan

Partosoedjono 1992).
Pada hari ketiga, merozoit-merozoit bebas dari sporozoit dan memasuki
selsel epitel, lalu masing-masing merozoit berkembang menjadi skizon generasi
kedua. Skizon dan merozoit generasi kedua lebih besar daripada skizon dan
merozoit generasi pertama (Levine 1985). Setelah merozoit generasi kedua berada
didalam lumen usus, sebagian besar membentuk gametosit dan sebagian lainnya
memasuki sel epitel untuk membentuk skizon generasi ketiga. Gametosit yang

Universitas Sumatera Utara

terbentuk berdiferensiasi menjadi mikrogametosit (jantan) dan makrogametosit
(betina) (Muafo et al., 2002).
Inti mikrogametosit membelah dan menghasilkan banyak mikrogamet
yang bercambuk dua. Makrogametosit tumbuh membesar tetapi intinya tidak
membelah lalu membentuk makrogamet. Satu makrogamet dan satu mikrogamet
akan membentuk zigot yang berdinding tebal atau ookista yang belum
bersporulasi. Zigot dapat ditemukan didalam epitel pada hari ke tujuh setelah
penularan. Zigot yang terbentuk di epitel akan keluar memasuki lumen usus dan
bersama tinja terbawa keluar tubuh. Di alam bebas ookista mengalami sporogoni,
dan ookista tersebut dihasilkan dalam waktu beberapa hari (Levine, 1985).


Gambar 2. Siklus hidup Eimeria spp (Levine, 1985)

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Stadium endogen Eimeria berdasarkan jenisnya, yaitu sejak ookista
bersporulasi tertelan oleh ayam sampai munculnya ookista baru
dalam tinja (Trilestari, 2001)
Jenis Eimeria

Siklus hidup (hari)

E. tenella

7

E. necatrix

7

E. maxima

7

E. brunette

6

E. acervulina

5

E. mitis

5

E. praecox

4

Patogenitas Eimeria tenella
Koksidiosis pada sekum oleh E.tenella paling sering terjadi pada ayam
muda berumur 4 minggu, karena umur tersebut adalah umur yang paling peka.
Ayam yang berumur 1-2 minggu lebih resisten, walaupun demikian E.
tenella dapat juga menginfeksi ayam yang sudah tua. Ayam yang sudah tua
umumnya memiliki kekebalan imunitas akibat sudah terinfeksi sebelumnya. Pada
umumnya koksidiosis sekum terjadi akibat infeksi berat dalam waktu yang relatif
pendek tidak lebih dari 72 jam. Pada ayam umur 1-2 minggu diperlukan 200.000
ookista untuk menyebabkan kematian, dan diperlukan 50.000-100.000 ookista
untuk menyebabkan kematian pada ayam yang berumur lebih tua. Ookista yang
bersporulasi merupakan ookista yang infektif (Levine, 1985).
Siklus hidup akan berlangsung apabila ookista yang bersporulasi termakan
oleh induk semang yang rentan. Setelah masuk ke dalam saluran pencernaan,
ookista pecah kemudian mengeluarkan sporozoit, yang akan berkembang di dalam

Universitas Sumatera Utara

sel epitel usus dan menyebabkan lesi pada usus dan sekum. Pada Eimeria tenella
perdarahan mulai terlihat pada hari ke-4 setelah infeksi. Kehilangan darah yang
cukup banyak akibat kerusakan mukosa usu dan hemoragi yang hebat pada hari
ke-5 atau ke-6 setelah infeksi, menyebabkan angka kematian sangat tinggi pada
saat ini. Sampai hari ke-7 setelah infeksi, ayam yang kuat dapat sembuh dan
bertahan hidup. Hari ke-8 dinding sekum akan menebal diikuti regenerasi mukosa
dan fibrosis, selanjutnya sembuh beberapa waktu kemudian (Soulsby, 1972 dalam
Piatina, 2001).

Gejala Klinis
Gejala klinis mulai terlihat sekitar 72 jam setelah di infeksi, dimana skizon
generasi kedua menjadi besar dan merozoit keluar dari epitel sehingga terjadi
pendarahan dalam sekum. Pendarahan pada tinja pertama-tama ditemukan pada
hari ke-4 atau hari ke-5 sesudah infeksi. Gejala klinis umum yang tampak pada
ayam yang terinfeksi koksidiosis adalah diare berdarah dan kehilangan darah
merupakan gejala akut dari infeksi E.tenella yang ditandai oleh kelemahan dan
pucat, tinja berdarah berwarna coklat kekuningan, berlendir, sayap menggantung,
bulu kasar / kusam dan kotor, nafsu makan dan minum menurun, lesu dan mata
kadang – kadang tertutup, penurunan produksi telur (pada ayam petelur),
penurunan berat badan, dan terjadi kematian (Alamsari, 2000).

Kekebalan
Koksidiosis merupakan infeksi protozoa intraseluler. Respon kekebalan
induk semang terhadap parasit ini mirip dengan perkembangan perlawanan
terhadap organisme lain seperti bakteri, virus, dan protozoa lain. Infeksi protozoa

Universitas Sumatera Utara

merangsang tanggap kebal berperantara sel (seluler) dan tanggap kebal humoral
(antibodi) (Leni, 2006).
Anak ayam yang tahan terhadap infeksi akut dari ookista yang
bersporulasi dalam jumlah besar akan membentuk antibodi terhadap Eimeria dari
jenis yang sama. Parasit yang menembus epitel lebih dalam dapat menimbulkan
kekebalan lebih besar daripada di superfisial (Jackson et al., 1970).

Darah
Di dalam sistem sirkulasi, darah memegang peranan penting untuk proses
transportasi O2, CO2, dan produk-produk metabolisme yang lain demi
kelangsungan hidup suatu individu. Sepuluh persen dari bobot badan unggas
adalah darah (Pringgodigdoyo, 2008). Darah adalah jaringan khusus yang terdiri
dari plasma darah yang kaya akan protein (55%) dan sel-sel darah (45%). Darah
terdiri dari beberapa unsur seluler antara lain sel darah merah (eritrosit), sel darah
putih (leukosit), dan trombosit (keping darah atau platelet) (Guyton, 1997).
Menurut Leni (2006), fungsi darah adalah sebagai berikut :
1. Pembawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju ke
jaringan tubuh.
2. Pembawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida dari jaringan
ke paru-paru.
3. Pembawa produk buangan dari berbagai jaringan menuju ke ginjal untuk di
ekskresikan.
4. Alat yang mempertahankan sistem keseimbangan dan baffer.
5. Pembawa hormon dan kelenjar endokrin ke organ lain dalam tubuh

Universitas Sumatera Utara

6. Penggumpalan

dan

pembekuan

darah

sehingga

mencegah

terjadinya

kehilangan darah yang berlebihan pada waktu luka.
Gambaran darah ayam normal secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 2
berikut ini.
Tabel 2. Nilai Normal Hematologi Pada Ayam
Parameter
Eritrosit
Total eritrosit
(x106/μl)
Haemoglobin (g/dl)
PCV (%)
MCV (fl)
MCH (pg)
MCHC (%)

Kisaran

Rataan

2.5 - 3.5

3

7.0 - 13.0
22.0 - 35.0
90.0 - 140.0
33.0 - 47.0
26.0 - 35.0

9
30
115
41
29

Leukosit
Total leukosit (/μl)
Heterofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil

12000 - 30000
3000 - 6000
7000 - 17500
150 - 2000
0 - 1000
Jarang

12000
4500
14000
1500
400
-

Persentase distribusi
Heterofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil

15.0 - 40.0
45.0 - 70.0
5.0 - 10.0
1.5 - 6.0
Jarang

28
60
8
4
-

Fibrinogen (g/dl)
Trombosit (x105/μl)
Total protein plasma (g/dl)

0.1 - 0.4
20.0 - 40.0
4.0 - 5.5

0.2
30
4.5

Sumber : Jain (1993).

Universitas Sumatera Utara

Jika tubuh hewan mengalami perubahan fisiologis maka gambaran darah
juga akan mengalami perubahan. Perubahan fisiologis ini dapat disebabkan secara
internal seperti pertambahan umur, status gigi, latihan, kesehatan, stress, siklus
estrus, dan suhu tubuh. Sedangkan secara eksternal misalnya akibat infeksi
kuman, perubahan suhu lingkungan dan fraktura (Guyton, 1996).

Leukosit
Leukosit atau sel darah putih berasal dari bahasa Yunani leuco artinya
putih dan cyte artinya sel (Dharmawan, 2002). Leukosit merupakan unit yang
mobil/aktif dari sistem pertahanan tubuh. Leukosit ini dibentuk sebagian di
sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfe yang kemudian diangkut dalam
darah menuju berbagai bagian tubuh untuk digunakan (Guyton, 1997). Sel darah
putih atau leukosit adalah sel yang memiliki inti dan organel. Sel darah putih
berfungsi untuk melindungi tubuh dari infeksi dan kanker, serta membantu proses
penyembuhan (Corwin, 2000).
Menurut Hartono (1995), leukosit berbeda dengan eritrosit dalam beberapa
hal, antara lain gerakan amoeboid dan mampu keluar dari pembuluh darah rambut
(diapedesis), berfungsi dan mati dalam jaringan ikat, bentuk dan diameternya
beragam, yang jelas lebih besar dari eritrosit dan jumlahnya kurang dari eritrosit.
Jumlah leukosit pada tiap-tiap individu ayam berbeda-beda tergantung pada umur,
jenis kelamin, kondisi tubuh, aktifitas, gizi, dan lingkungan (Sturkie, 1975).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 3. Perbandingan Jumlah Leukosit Berdasarkan Umur Ayam
Perbandingan
Umur
Limfosit

Heterofil

Eosinofil

Basofil

Monosit

0 hari

15,9

72,4

2,5

1,1

8,1

3 hari

38,7

52,7

1,6

0,67

6,4

8 hari

48,3

50,0

0,25

0

1,5

10 hari

68,6

26,7

1,7

0,64

2,3

1 minggu

75

24

0

0

1

2 minggu

66

20,6

3,1

1,9

8,1

6 minggu

69

26

0

1

3

Sumber : Hodges (1997).

Tabel 4. Perbandingan Jumlah Leukosit Berdasarkan Jenis Kelamin Ayam

Perbandingan
Umur
Limfosit

Heterofil

Eosinofil

Basofil

Monosit

Betina dewasa

59,1

27,2

1,9

1,7

10,2

Jantan dewasa

64,6

22,8

1,9

1,7

8,9

Betina White Leghorn

64,0

25,8

1,4

2,4

6,4

Jantan White Leghorn

76,1

13,1

2,5

2,4

5,7

Sumber : Sturkie (1976).

Leukosit dibedakan menjadi dua macam, granulosit dan agranulosit.
Kelompok granulosit ditandai dengan terdapatnya granula di dalam sitoplasma,
sedangkan kelompok agranulosit tidak memiliki granula (Caceci, 1998).
Kelompok granulosit terdiri dari : eosinofil, heterofil, dan basofil. Sedangkan
kelompk agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit (Piatina, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Granulosit
Sel granulosit memiliki granula sitoplasmik mengandung substansi biologi
aktif, yang berperan dalam reaksi peradangan dan alergi dan terdiri dari eosinofil,
heterofil, dan basofil (Caceci, 1998).


Eosinofil
Eosinofil adalah polymorphonuclear eosinophilic granulocyte, dengan

ukuran mirip heterofil (Sturkie 1975). Menurut Campbell (1995) dan Sturkie
(1975), intensitas sirkulasi eosinofil unggas didalam darah lebih kecil
dibandingkan heterofil, dengan jumlah kurang lebih 1,9 % dan paling jarang
ditemukan (Latimer, 2002). Sitoplasma eosinofil berwarna cerah, biru muda
(apabila dibandingkan dengan heterofil, warnanya lebih muda). Granul eosinofil
berwarna lebih terang dibandingkan pada heterofil, karena konsentrasi arginin
yang terkandung didalam granul eosinofil sangat tinggi. Jumlah granul eosinofil
lebih sedikit dibandingkan heterofil. Eosinofil memiliki granul yang kasar, besar
dan mengandung banyak kromatin yang berwarna ungu (Campbell, 1995).
Granul eosinofil mengandung kristal MBP (Major Basic Protein), yang
kaya akan asam - amino, arginine dan lain lain. MBP bersifat toksik bagi parasit.
Granul eosinofil juga mengandung beberapa enzim (lisozim, peroksidase,
protease, lisophospholipase) dan faktor khemotaktik yang menyebabkan aktifnya
eosinofil – eosinofil lain ke daerah yang terinfeksi (Cooper, 1997).
Jumlah eosinofil dalam aliran darah berkisar antara 2-8 % dari jumlah
leukosit. Sel ini berkembang dalam sumsum tulang sebelum bermigrasi ke dalam
aliran darah (Tizard, 1988). Jangka hidup sel ini 3-5 hari. Eosinofil ini berperan
aktif dalam mengatur proses perbarahan dan memfagositosis bakteri, antigen-

Universitas Sumatera Utara

antibodi kompleks, mikoplasma, dan ragi. Sel ini juga mengandung histaminase
yang mengaktifkan histamin dan melepaskan serotonin dari sel tertentu, juga
melepaskan Zn yang menghalangi agregasi trombosit dan migrasi makrofag
(Dharmawan, 2002).


Heterofil
Heterofil disebut juga sel granulosit polimorfonuklear (PMN) yang

dibentuk dalam sumsum tulang dan bermigrasi ke peredaran darah (Caceci, 1998).
Ciri-cirinya antara lain : memiliki gelambir inti 3-5 buah yang dihubungkan
dengan benang kromatin. Jumlah kelambir akan bertambah dengan meningkatnya
umur leukosit. Heterofil pada ayam identik dengan neutrofil yang mengandung
fusiform bodies yang berwarna merah cerah dengan eosin (Widjajakusumah dan
Sikar, 1996).
Heterofil berfungsi dalam merespon adanya infeksi dan mampu ke luar
dari pembuluh darah menuju daerah infeksi untuk menghancurkan benda asing
dan membersihkan sisa-sisa jaringan yang rusak. Pada saat yang sama, sumsum
tulang dirangsang untuk lebih banyak melepaskan heterofil ke dalam darah
(Ganong, 1995). Menurut Tizard (1988), fungsi utama dari sel ini adalah
penghancur bahan asing melalui proses yang disebut fagositosis. Sel leukosit ini
tertarik pada berbagai produk bakteri, berbagai produk yang dilepaskan oleh sel
yang rusak, dan berbagai produk reaksi kekebalan.
Heterofil adalah sel darah putih pertama yang datang ke tempat
peradangan untuk memfagositosis dan menghancurkan mikroorganisme dan sisasisa sel (Corwin, 2000), menggunakan enzim – enzim yang terlepas dan terdapat
didalam granulnya (Cooper, 1997). Enzim yang terdapat didalam granul heterofil

Universitas Sumatera Utara

antara

lain

lisozim

yang

berguna

untuk

mendegradasi

dinding

sel

mikroorganisme, kolagenase yang berguna untuk mendegradasi serat kolagen dari
jaringan matrik mikroorganisme dan enzim yang berguna untuk mencerna
mikroorganisme antara lain glikosidase, protease, nuclease dan myeloperoksidase
(Cooper, 1997).


Basofil
Basofil merupakan bagian yang paling jarang dari granulosit (Caceci,

1998). Basofil adalah granulosit yang bersifat polymorphonuklear basofilik yang
bentuk dan ukurannya hampir sama dengan heterofil (Sturkie and Grimminger,
1976). Basofil adalah leukosit yang jumlahnya paling rendah sekitar 0,5-1,5% dari
seluruh leukosit dalam aliran darah. Basofil unggas memiliki inti yang terletak
ditengah. Nukleus berwarna biru menyala dan terkadang tertutup oleh granul
sitoplasma. Granul sitoplasma basofil bersifat basofilik (Campbell, 1995). Granul
basofil berwarna ungu terang, terkadang merah karena kandungan anion
polisakarida dan heparin. Granul basofil juga mengandung histamin dan beberapa
mediator peradangan yang lain (kemotaktik faktor, protease dan sitokin).
Menurut Dharmawan (2002), sel leukosit ini mengandung heparin,
histamin, asam hialuronat, kondroitin sulfat, serotonin, dan beberapa faktor
kemotaktik. Heparin berfungsi untuk mencegah pembekuan darah, sedangkan
histamin berfungsi untuk menarik eosinoid. Basofil berperan sebagai mediator
untuk aktifitas perbarahan dan alergi, memiliki reseptor immunoglobulin E (IgE)
dan

immunoglobulin

G

(IgG)

yang

menyebabkan

degranulasi,

dan

membangkitkan reaksi hipersensitif dengan sekresi yang bersifat vasoaktif.

Universitas Sumatera Utara

Agranulosit
Agranulosit adalah sel yang tidak memiliki granula. Sel agranulosit lazim
ditemukan dalam darah tepi adalah limfosit dan monosit (Caceci, 1998).


Limfosit
Limfosit adalah suatu sel yang memainkan peranan penting dalam

imunitas dengan fungsi utamanya memproduksi antibodi (Tizard, 1988). Pada
ayam, limfosit paling banyak berperan dan paling banyak jumlahnya yaitu kurang
lebih 66% dari total leukosit (Sturkie, 1995). Morfologi dan fungsi menunjukkan
heterogenitas, memiliki kemampuan untuk merubah bentuk serta ukuran. Limfosit
menyebar dalam jaringan dan organ tubuh, menjalin pertahanan tubuh. Limfosit
kecil merupakan bentuk dewasa sedangkan limfosit besar merupakan bentuk
muda (Hartono, 1995).
Pada umumnya, nukleus dari limfosit menyebar atau terletak ditengah. Inti
dari kromatinnya tebal dan tertutup. Sitoplasma limfosit bersifat basofiliklemah
dan homogen (Campbell, 1995). Populasi limfosit dalam darah ada 2 tipe sel yaitu
sel T dan sel B. Limfosit T diperkirakan proporsinya adalah 70-75% dari seluruh
jumlah limfosit sedangkan limfosit B jumlahnya antara 10-20% dari jumlah
seluruh limfosit. Limfosit B berfungsi sebagai imunitas humoral yang mampu
menyerang antigen dengan memproduksi antibodi. Limfosit T berperan sebagai
sel imunitas yang diperoleh dari pembentukan limfosit teraktivasi yang mampu
menghancurkan benda asing (Sumarni, 2010).


Monosit
Monosit merupakan leukosit terbesar dan berdiameter 15-20 μm dengan

jumlahnya 3-9% dari seluruh sel darah putih (Dharmawan, 2002). Monosit adalah

Universitas Sumatera Utara

leukosit terbesar dengan ukuran 12 – 17 μm yang memiliki bentuk irregular. Inti
sel monosit berbentuk seperti ginjal dan terletak tidak simetris pada sitoplasmanya
(Cooper 1997). Sitoplasma monosit lebih banyak dari limfosit dan berwarna abuabu pucat dengan granul halus, dan terkadang terdapat vakuola dan terdiri atas dua
bagian, terang dan gelap (Campbell, 1995). Intinya berbentuk lonjong seperti
ginjal atau mirip tapal kuda dan jelas memiliki lekuk cukup dalam. Kromatin inti
mengambil warna lebih pucat dari kromatin inti limfosit. Inti memiliki satu
sampai tiga nukleolus (Sumarni, 2010).
Monosit dibentuk dalam sumsum tulang belakang yang akan masuk
kedalam jaringan dalam bentuk makrofag. Monosit tidak bersifat fagositik, tetapi
setelah beberapa jam didalam jaringan sel ini akan berkumpul dan memberntuk
sel yang membesar yang disebut makrofag. Ketika sudah menjadi sel makrofag
maka monosit mampu untuk memfagositosis. Monosit darah tidak pernah
mencapai dewasa penuh sampai bermigrasi ke luar pembuluh darah dan masuk ke
jaringan. Di dalam jaringan, sel ini menjadi makrofag tetap (fixed macrophage)
seperti sinusoid hati, sumsum tulang, alveoli paru-paru, dan jaringan limfoid.
Monosit lebih sering terletak dekat pembuluh darah (Dharmawan, 2002).
Monosit sebagai respon peradangan terutama menelan dan membunuh
bakteri dan merupakan garis pertahanan kedua setelah heterofil (Ganong, 1995).
Aktivitas fagositosis dari monosit tergantung pada bahan yang akan difagosit.
Umur monosit di dalam perifer selama beberapa hari (3-4 hari) (Tizard, 1988).

Jahe (Zingiber officinale)
Jahe

merupakan

salah

satu

jenis

rempah-rempah

yang

banyak

dibudidayakan di Indonesia. Hal ini dikarenakan iklim di Indonesia sangat sesuai

Universitas Sumatera Utara

untuk pertumbuhan jahe, sehingga tanaman jahe dapat tumbuh dengan mudah.
Tanaman jahe dapat tumbuh dengan subur pada ketinggian 200-900m diatas
permukaan laut, dengan lama penyinaran 2,5 - 7 bulan, suhu sekitar 25oC - 30oC,
pengairan lahan tanam yang baik, dan pH tanah sekitar 5 – 5,6 (Patmarani, 2007).

Gambar 3. Jahe Merah (Zingiber officinale var Rubra)

Berdasarkan taksonomi tanaman, Jahe (Zingiber officinale) dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom

:

Plantae

Divisi

:

Pteridophyta

Sub Divisi

:

Angiosperma

Kelas

:

Monocotyledoneae

Ordo

:

Scitamineae

Famili

:

Zingiberaceae

Genus

:

Zingiber

Spesies

:

Zingiber officinale (Murhananto, 2000).

Di beberapa daerah, jahe dikenal dengan nama lokal jahe (Sunda), jae
(Jawa Tengah), jhai (Madura), halia (Aceh), pege (Toba), dan lain-lain (Santoso,
1994).

Universitas Sumatera Utara

Morfologi Jahe Merah ( Zingiber officinale var Rubra )
Tanaman ini merupakan tanaman tahunan dengan batang semu yang
tumbuh tegak. Tanaman ini terdiri atas struktur rimpang, batang, daun, bunga, dan
buah. jahe membentuk rimpang yang ukurannya tergantung pada jenisnya
(Rismunandar, 1988). Tingginya berkisar antara 0,3 – 0,75 meter dengan akar
rimpang yang bisa bertahan lama di dalam tanah. Akar rimpang itu mampu
mengeluarkan tunas baru untuk mengganti daun dan batang yang sudah mati.
Tanaman jahe terdiri dari bagian akar, batang, daun dan bunga (Murhananto,
2000).
Tanaman jahe diperbanyak dengan rhizoma. Rhizoma adalah batang yang
tumbuh dalam tanah, rhizoma akan tumbuh menjadi batang sampai ketinggian 1,5
m dengan panjang daun 5 - 30 cm dan lebar 8 - 20 mm. Rimpang jahe biasanya
memiliki dua warna yaitu bagian tengah (hati) berwarna ketuaan dan bagian tepi
berwarna agak muda. Rimpang jahe berkulit agak tebal membungkus daging
rimpang (jaringan parenchym). Dalam sel daging rimpang, terdapat minyak atsiri
jahe yang aromatis dan oleoresin (Rismunandar, 1988 dalam Patmarani, 2007).
Jahe dipanen ketika batang berubah warna dari hijau menjadi kuning dan kering,
yaitu sekitar umur 9-10 bulan, atau warna agak cokelat sekitar 12 bulan
(Hayati, 2005).
Jahe dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna
rimpangnya yaitu jahe gajah (Zingiber officinale var Roscoe) atau jahe besar, jahe
putih kecil atau jahe emprit (Zingiber officinale var Amarum), dan jahe merah
(Zingiber officinale var Rubra) atau jahe sunti. Jahe gajah berwarna hijau muda,
berbentuk bulat, beraroma kurang tajam, dan berasa kurang pedas, sehingga lebih

Universitas Sumatera Utara

banyak digunakan untuk masakan, minuman, dan asinan. Jahe emprit memiliki
ukuran rimpang kecil, berbentuk sedikit pipih beraroma agak tajam, dan berasa
pedas, sehingga lebih banyak dimanfaatkan sebagai rempah-rempah, penyedap
makanan, dan bahan minyak atsiri (Diniari, 2012).

Kandungan dan Khasiat Jahe Merah ( Zingiber officinale var Rubra )
Jahe merah mengandung komponen minyak yang mudah menguap
(volatile oil), minyak yang tidak mudah menguap (non volatile oil), dan pati. Jahe
mengandung 1-4% volatile oil yang merupakan kandungan aktif untuk
pengobatan. Minyak yang mudah menguap biasa disebut minyak atsiri dan
merupakan komponen pemberi bau yang khas, sedangkan minyak yang tidak
mudah menguap disebut oleoresin merupakan komponen pemberi rasa pedas dan
pahit (Paimin,1999).
Jahe merah mengandung antioksidan yang cukup tinggi dan memiliki
khasiat anti inflamasi. Minyak atsiri jahe merah terdiri dari zingiberol, zingiberen,
n-nonyl aldehida, d-camphen, d-bphellandren, methyl heptanon, sineol, stral,
borneol, linalool, asetat, kaprilat, phenol, dan chavicol. Pada umur panen muda,
kandungan minyak atsirinya tinggi, sedangkan pada umur tua kandungannya
semakin menyusut walau baunya semakin menyengat (Paimin, 1999). Jahe juga
mengandung oleoresin yang lebih banyak mengandung komponen-komponen non
volatil yang merupakan zat pembentuk rasa pedas pada jahe. Kandungan oleoresin
dalam jahe adalah sebesar 5-7%. Umumnya oleoresin jahe tersusun oleh gingerol,
zingeron, shogaol, dan resin. Rasa pedas yang dimiliki jahe disebabkan oleh
adanya gingerol dan shogaol yang dikandunganya dan diketahui bahwa shogaol
dua kali lebih pedas daripada gingerol (Koswara 1995).

Universitas Sumatera Utara

Adapun kadar minyak dan oleoresin jahe dalam rimpang jahe dapat dilihat
pada Tabel 5 berikut ini :
Tabel 5. Kadar Minyak dan Oleoresin Jahe
Tingkat Kematangan
Jahe

Minyak atsiri (%)

Oleoresin (%)

Segar

Jemur

Oven

Segar

Jemur

Oven

Tidak dikupas

2,75

2,41

2,25

11,03

13,42

14,84

Dikupas

2,21

1,94

1,93

7,14

11,65

13,27

Tidak dikupas

3,45

2,69

2,66

12,96

15,68

16,30

Dikupas

2,87

2,40

2,38

11,11

14,15

14,34

Tidak dikupas

4,09

3,56

3,18

19,99

20,98

21,86

Dikupas

8,53

3,04

3,03

17,20

17,48

17,78

Tua

Setengah tua

Muda

Sumber : Ketaren (1985).

Jahe dapat dimanfaatkan secara luas dikarenakan kandungan komponen
dalam rimpangnya sangat banyak kegunaannya, terutama sebagai bumbu masak,
pemberi aroma dan rasa masakan, minuman, serta digunakan dalam industri
farmasi, industri parfum, industri kosmetika dan lain sebagainya (Paimin dan
Murhananto, 1999). Di Indonesia, jahe digunakan sebagai bahan pembuat jamu.
Jahe muda dimakan sebagai lalap, acar, dan manisan (Koswara, 1995).
Komposisi kimia jahe menentukan tinggi rendahnya nilai aroma dan rasa
pedas jahe. Banyak hal yang mempengaruhi komposisi kimia jahe, diantaranya
jenis jahe, tanah tempat tumbuhnya, umur panen, penanganan dan pemeliharaan
tanaman., perlakuan pra-panen, pemanenan, dan pasca pemanenan (Rahmi, 1996).
Adapun komponen kimia jahe (Zingiber officinale) dapat dilihat pada Tabel 6
berikut ini :

Universitas Sumatera Utara

Tabel 6. Komponen Kimia Jahe (Zingiber officinale)
Komponen
Energi (KJ)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Phospat (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (SI)
Thiamin (mg)
Niasin (mg)
Vitamin C (mg)
Serat kasar (g)
Total abu (g)
Magnesium (mg)
Natrium (mg)
Kalium (mg)
Seng (mg)

Jumlah
Jahe Segar

Jahe Kering

184,0
1,5
1,0
10,1
21
39
4,3
30
0,02
0,8
4
7,53
3,70
6,0
57,0
-

1424,0
9,1
6,0
70,8
116
148
12
147
5
5,9
4,8
184
32
1342
5

Sumber : Koswara (1995).

Rhizoma jahe efektif untuk pengobatan nausea, salah pencernan,
kehilangan nafsu makan, dan pencegahan gejala motion sickness. Jahe
meningkatkan sekresi saliva dan cairan lambung serta meningkatkan gerak
peristaltik saluran pencernaan. Aktivitas jahe tersebut disebabkan oleh minyak
volatilnya yang mengandung sesquiterpenes zingeberene dan bisabolone serta
gingerol. Jahe juga memiliki kemampuan untuk pengobatan kimiatif, antiemetik,
antinausea, antiparasitik, dan anti-inflamatory. Gingerol memiliki aktivitas
analgesik, antipiretik, gastroprotektif, kardiotonik, dan antihepatotoksik. Gingerol
juga memiliki efek penghambatan yang potensial pada biosintesis prostaglandin
(Kiuchi et al., 1982).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber Officinalle Var Rubra) Dengan Metode Pengolahan Yang Berbeda Terhadap Bobot Karkas Ayam Broiler Yang Terinfeksi Eimeria Tenella

4 75 54

Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber officinale var rubra) dengan Metode Pengolahan Berbeda terhadap Performans Ayam Broiler Yang Terinfeksi Eimeria tenella

3 84 57

Respon pemberian jahe merah (zingiber officinale var rubra) dengan berbagai pengolahan pada ayam broiler yang terinfeksi eimeria tenella

0 0 15

Respon pemberian jahe merah (zingiber officinale var rubra) dengan berbagai pengolahan pada ayam broiler yang terinfeksi eimeria tenella

0 0 2

Respon pemberian jahe merah (zingiber officinale var rubra) dengan berbagai pengolahan pada ayam broiler yang terinfeksi eimeria tenella

0 0 3

Respon pemberian jahe merah (zingiber officinale var rubra) dengan berbagai pengolahan pada ayam broiler yang terinfeksi eimeria tenella Chapter III V

0 0 29

Respon pemberian jahe merah (zingiber officinale var rubra) dengan berbagai pengolahan pada ayam broiler yang terinfeksi eimeria tenella

0 1 6

Respon pemberian jahe merah (zingiber officinale var rubra) dengan berbagai pengolahan pada ayam broiler yang terinfeksi eimeria tenella

0 0 26

Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber officinale var rubra) dengan Metode Pengolahan Berbeda terhadap Performans Ayam Broiler Yang Terinfeksi Eimeria tenella

0 0 11

Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber Officinalle Var Rubra) Dengan Metode Pengolahan Yang Berbeda Terhadap Bobot Karkas Ayam Broiler Yang Terinfeksi Eimeria Tenella

0 0 19