Konsep Keselamatan Bagi Agama Parmalim kelompok TAA Riris
Konsep Keselamatan Bagi Agama Parmalim
1. Pendahuluan
2. Isi
1. Parmalim (Parmalim Merupakan sebuah Agama)
Sebelum terbentuknya agama Malim secara resmi oleh suku Batak, telah ada nilai –
nilai pengajaran keagamaan ditengah – tengah masyarakat Batak. Ajaran – ajaran keagamaan
tersebut diyakini dibawa oleh para utusan Debata Mulajadi Nabolon. Utusan Debata yang
membawa ajaran – ajaran keagamaan tersebut disebut sebagai Malim Debata. Dalam sejarah
kepercayaan orang Batak, ada empat (4) Malim Debata yang diutus ke tengah – tengah
bangsa Batak dalam kurun waktu 400 tahun lamanya. Mereka adalah Raja Uti,
Simarimbulubosi, raja Sisingamangaraja, dan raja Nasiakbagi, dan mereka disebut memiliki
kerajaan Malim di dunia (banua tonga) yang berasal dari Debata Mulajadi Nabolon.1 Pada
masa Raja Uti, Simarimbulubosi, dan Raja Sisingamangaraja, ajaran keagamaan itu masih
belum dirangkai secara struktur layaknya sebuah agama, namun hanya sebatas ritual – ritual
kepercayaan sebagai penghubung manusia dengan Debata. Secara singkat, kehadiran Raja Uti
ke dunia ketika masyarakat Batak mengalami keadaan chaos, dimana diantara mereka terjadi
pertikaian dan kepercayaan mereka terhadap Debata Mulajadi Nabolon menyimpang kepada
penyembahan kepada roh – roh (kepercayaan sipelebegu). Kehadiran Raja Uti
mengembalikan keamanan kehidupan masyarakat Batak sekaligus mengarahkan kembali
kepercayaan mereka kepada Debata Mulajadi Nabolon, dengan membentuk ajaran “marsuhi
ni ampang na opat” (ampang yang bersegi empat atau SUNANO) yang terdiri dari tona,
poda, patik, dan uhum yang diyakini bahwa ajaran tersebut sebelumnya telah ada di Banua
Ginjang.2 setelah masa Raja Uti berakhir, Debata mengutus Tuan Simarimbulubosi sebagai
malim kedua yang melanjutkan pengajaran yang dibawa Raja Uti, ia memantapkan keimanan
masyarakat Batak untuk semakin teguh kepada Debata Mulajadi Nabolon. Namun setelah
ditinggalkan oleh Tuan Simarimbulubosi yang menghadap ke Banua Ginjang, kekacauan
muncul kembali diantara masyarakat Batak yang diakibatkan mereka semakin jauh dari
Debata dan berbuat jahat sehingga masa itu dikenang sebagai masa lumlam (jahiliah). Lalu
kemudian Debata mengutus Sisingamangaraja setelah puluhan tahun masyarakat Batak hidup
dalam kekacauan. Tugas Sisingamangaraja adalah mengisbatkan adat, patik, tona dan uhum.
Secara fisik, yang bernama Sisingamangaraja berjumlah duabelas orang sehingga penyebutan
namanya disebut Sisingamangaraja I – XII. Akan tetapi menurut kepercayaan Malim bahwa
1 Ibrahim Gultom hlm. 92
2 Ibrahim Gultom hlm. 93
roh Sisingamangaraja tersebut hanya satu yakni titisan dari Debata Mulajadi Nabolon. Pada
masa Sisingamangaraja inilah datang penjajahan Belanda yang berhasil membunuh
Sisingamangaraja dalam sebuah peperangan yang berlangsung selama 30 tahun, yang disebut
dengan “Perang Batak”.3 Meski telah dibunuh oleh tentara Belanda (21 Juni 1907), namun
masyarakat Batak menganggap bahwa Sisingamangaraja tidaklah mati namun diyakini
berubah nama menjadi Raja Nasiakbagi yang tiba – tiba muncul setelah peperangan
Sisingamangaraja. Kehadiran Raja Nasiakbagi tidak dikenal seluruh masyarakat Batak, hanya
murid – muridnya saja yang mengenalnya. Pada suatu ketika, Raja Nasiakbagi memberikan
arahan kepada para muridnya dan berkata: “Malim ma hamu”. Maksudnya adalah “Sucilah
kamu atau senantiasalah suci didalam keagamaan”. Dengan adanya pengarahan ini, maka
sejak itulah ajaran yang dibawanya resmi disebut agama Malim (setelah tahun 1907).
Kemudian setelah Raja Nasiakbagi meninggalkan masyarakat Batak, agama Malim
diwariskan kepada seorang muridnya yaitu Raja Mulia Naipospos yang ditugaskan untuk
mempertahankan dan melanjutkan penyiaran agama Malim selanjutnya.4
Agama adalah suatu sistem sosial yang dibuat oleh penganutnya yang berporos
kepada kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai
keselamatan bagi diri pemeluknya. Agama disebut sistem sosial, menunjukkan bahwa agama
merupakan suatu fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem yang dapat
dianalisa, karena terdiri atas peraturan yang dibuat saling berkaitan dan mengarah kepada
pencapaian tujuan. Agama berporos kepada kekuatan non empiris, maksudnya adalah bahwa
agama juga berkaitan dengan kekuatan- kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan
manusia itu sendiri yang diyakini sebagai Roh Tertinggi. Agama juga bertujuan untuk
mencapai keselamatan bagi diri pemeluknya berarti keselamatan di dalam dunia sekarang ini
dan keselamatan di “dunia lain” yang dimasuki manusia nantinya setelah kematian manusia
itu.5 Oleh karenanya, maka agama merupakan suatu sistem yang berkaitan dengan aturan
yang mengarah kepada tujuan tertentu dari penganutnya. Agama dalam konsep orang Batak
dikenal dengan istilah ugamo. Istilah ini kerap kali digunakan oleh penganut Agama Malim.
Agama Malim berasal dari dua kata yakni “ugamo” dan “malim”. Ugamo bermakna ambuambu pelean yang berarti ramuan dari berbagai benda- benda yang dijadikan untuk bahan
sesaji. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “ugamo”. Istilah “malim” bermakna ias
3 Ibrahim Gultom hlm. 94
4 Ibrahim Gultom hlm. 95
5 Hasil Wawancara terhadap Ulu Punguan Parmalim Bah sampuran pada Rabu 10 Mei 2017 dengan Bapak
Marpaung/Br.Aruan
(bersih atau suci). Oleh karena itu, secara etimologi pemahaman mengenai agama Malim
adalah kumpulan ramuan benda- benda yang bersih dan suci. kemudian menurut istilahnya,
agama Malim dapat dipahami sebagai suatu jalan perjumpaan manusia dengan Debata
melalui sesaji yang bersih suci. Istilah “parmalim” berawal dari kata parugamo malim
(pengikut agama Malim). Istilah ini merujuk kepada orang yang mengikuti ajaran Malim dan
juga berkehidupan malim (suci) yang diwujudkan melalui pengumpulan ramuan bendabenda persembahan (sesaji) berdasarkan pada ajaran Debata Mulajadi Nabolon. Disisi lain,
dapat dipahami bahwa adanya agama Malim ini merupakan “jalan pertemuan” dengan
Debata, yang dimaksud adalah melalui agama itulah para penganutnya dapat menjalin
hubungan dengan Debata.6
-
Adat dalam Agama Malim
Sejak zaman dahulu hingga sekarang, adat merupakan bagian dari kehidupan setiap
orang. Bagi orang Batak, memiliki adat (kebiasaan) dapat dijadikan sebagai rujukan
berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat. Pada awalnya, adat ini merupakan suatu
kebiasaan yang dilakukan pada generasi terdahulu, kemudian diwariskan kepada generasi
berikutnya dan hingga pada masa yang sekarang. Adat adalah suatu sikap, tingkah laku,
kebiasaan yang sesuai dengan norma- norma yang duturunalihkan yang mana adat ini
nantinya berkembang menjadi sebuah “hukum” yang mengatur segala aspek kehidupan
manusia walaupun tidak pernah dibuat dalam aturan yang tertulis pada waktu lampau. 7 Bagi
penganut Agama Malim, “adat” tidak hanya sekedar hasil budaya orang Batak terdahulu yang
diturunalihkan secara turun temurun kepada generasi yang ada sekarang. Melainkan,
keberadaan adat ditengah- tengah masyarakat tersebut diyakini berasal dari Debata Mulajadi
Nabolon. Adat ini berasal dari Debata melalui orang – orang yang dipilihNya. Orang yang
terpilih ini diyakini telah menerima konsep dasar dari Debata, yang kemudian konsep dasar
tersebut dirampungkan menjadi butir- butir adat dan “patik” yang kemudian dinamakan
“uhum”.8 Adapun penjabaran dari adat itu sendiri terdiri dari tiga jenis, yaitu9:
1. Adat inti (adat asli); pemahaman adat dalam hal ini mencakup seluruh kehidupan
yang terjadi. Dimana manusia hidup diajari dan dituntun supaya mereka
6 Lih. Ibrahim Gultom, Agama Malim di Tanah Batak, Bumi Aksara, Jakarta 2010: hlm. 198- 199.
7 Hasil Wawancara terhadap Ulu Punguan Parmalim Bah Sampuran pada Rabu 10 Mei 2017 yaiitu Bapak
Marpaung/Br.Aruan
8 ibrahim, 71.
9 Hasil Wawancara terhadap Ulu Punguan Parmalim Bah Sampuran pada Rabu 10 Mei 2017 yaitu Bapak
Marpaung/Br.Aruan
melakukan semua aspek kehidupannya berdasarkan hukum (undang- undang),
mengetahui hal yang baik dan jelek dan bisa juga melakukan hal- hal yang baik
seta menghindari hal- hal yang tidak baik. Formula ini merujuk kepada seluruh
ciptaan yang diberikan adat dan hukum. Mulajadi Nabolon memeteraikan adat
dalam diri orang penganut adat tersebut: “Debata memeteraikan undang- undang
dalam hati mereka, mengenai apa yang baik dan buruk, yang boleh terlarang,
yakni “yang terlarang: (tongha), “jangan” (unang), “tak patut” (na so jadi).
2. Adat na taradat; Adat ini merupakan adat yang dijumpai pada suatu kelompok
yang mana ciri dari adat ini adalah pragmatis. menampung sebanyak mungkin
pemahaman mengenai adat inti dari tradisi nenek moyang, namun hal ini tidak
diaplikasikan melainkan dihadapkan kepada kenyataan kompleks dari kebiasaan
setempat. Adat ini menerimaa unsur dan pengaruh darimanapun, asal saja
disesuaikan dengan tuntutan adat ini. namun tidak heran jika ada kesalahan
perbedaan mengenai adat di tempat satu ke tempat yang lain.
3. Adat na niadathon; adat dalam hal ini berbeda dengan adat inti (adat asli). Adat
ini dipengaruhi oleh peradaban modern sehingga pengaruh budaya modern
tersebut menjadi sebuah kebiasaan yang baru. Dalam praktiknya, yang menjadi
dominan dalam “adat-na-niadathon” ini, bukan lagi adat inti dari nenek moyang,
melainkan munculnya adat baru. Jikalau dulu, ada inti merupakan adat yang sakral
dan pantang jika dilanggar, namun pada masa sekarang adat tersebut telah
disingkirkan dan ditindas oleh adat-na-niadathon.
Dari ketiga penjelasan mengenai adat yang disebutkan itu, maka perhatian dapat
difokuskan kepada adat inti, karena adat inti bersifat “primer”, dan juga adat inti segi
moralitas yang tinggi jika terjadi pelanggaran, maka itu tergolong kepada dosa berat.
Menuruti atau melanggar adat sebagai adat undang- undang (patik) dan hukum adalah
persoalan hidup atau mati. Adat inti termaktub dalam filosofi keagamaan “Adat do ugari na
sinihathon Ompunta Mula Jadi” bukan adat yang dalam arti kategori 2 dan adat dalam arti
kategori 3. Di dalam Agama Malim, terdapat beberapa ajaran dan ibadat yang secara wajib
perlu dilakukan oleh setiap parmalim. Apabila ajaran- ajaran tersebut dilakukan dengan baik
adanya, maka parmalim yang mengamalkan itu disebut telah memiliki apa yang disebut
dengan tondi hamalimon (kesucian jiwa). Maksudnya, pada diri parmalim telah tertanam roh
kesucian dari Debata sebagai akibat dari pengamalan akan ajaran- ajaran yang telah
ditetapkan. Bagi Agama Malim, hal ini merupakan konsep kesucian paling tinggi. untuk tiba
pada fase tersebut, seseorang penganut agama ini harus melalui fase pengamalan terhadap
agama yang dibawahnya, yakni memiliki pikiran dan perasaan yang suci (roha hamalimon)
serta berkehidupan suci (ngolu hamalimon). ini merupakan dua fase pengamalan yang
merujuk kepada “kesucian diri” (tondi hamalimon). Fase- fase pengamalan diri inilah yang
disebut dengan takwa (sebutan peringkat tertinggi dalam kedirian manusia parmalim).
Apabila seseorang telah ada pada hakekat “ketakwaan” tersebut, maka hidupnya terpelihara
dari segala perbuatan dosa karena dirinya tidak pernah lepas dari roha hamalimon itu sendiri.
Dalam setiap kegiatan, dirinya terlepas dari dosa dan perbuatan yang dapat merugikan orang
yang lainnya.10
Seseorang yang telah mampu mengontrol dirinya dari hal- hal yang membuat
pelanggaran atau dosa merupakan orang- orang yang telah membatasi atau menjaga diri
(marsolam diri) setiap saat dimana saja ia berada. Jika ingin ia sampai kepada ketakwaan itu,
maka ia harus mampu marsolam diri, marsolam ngolu, marsolam tondi.Marsolam diri artinya
membatasi diri dari hal- hal menjauhkan diri dari pikiran kotor, pikiran yang menyesatkan,
juga menjauhkan diri dari rencana pikiran yang dapat merusak diri sendiri dan orang lain.
Apabila seseorang telah mampu menguasai dirinya, maka orang yang seperti itu adalah orang
yang telah berpikiran dan berperasaan suci (marroha hamalimon). Hal inilah yang merupakan
awal tindakan penguasaan diri yang menuju kepada keselamatan. Istilah kedua, yakni
marsolam ngolu. Marsolam ngolu memiliki pemahaman akan pembatasan- pembatasan diri
dari segala perbuatan yang menimbulkan dosa. Bagi Agama Malim, orang yang tidak mau
melakukan perintah ajaran agama dan tidak mau melakukan perbuatan yang dilarang agama
merupakan “dosa”. Apabila seseorang dapat membatasi dirinya terhadap tindakan yang
menimbulkan dosa (marsolam ngolu), maka seseorang tersebut dinamakan mangolu
hamalimon (berkehidupan suci). Ketiga adalah marsolam tondi. Marsolam tondi merupakan
pembatasan diri terhadap segala sesuatu rayuan kenikmatan dunia dan menghindari diri dari
segala sesuatu yang dapat mengganggu kekhusukan dalam beribadat. Orang yang melakukan
hal ini, tidah merasa terpaksa dalam melakukan kegiatan ibadat dan berbuat kebaikan kepada
sesamanya manusia.11
10 Ibrahim, 201.
11 Ibrahim, 202.
Seseorang yang telah mampu mengawal pikirannya sendiri (marsolam diri),
membatasi diri supaya terhidar dari dosa (marsolam ngolu), dan juga membatasi diri dari
rayuan duniawi dan berbuat kebaikan (marsolam tondi), seseorang tersebut akan tergolong
kepada tingkat manusia yang paripurna yang disebut dengan martondi hamalimon (berjiwa
kesucian). Ciri orang yang berjiwa kesucian ditandai dengan adanya perasaan yang ingin
berbuat baik kepada banyak orang untuk berbuat kebaikan baik sesama manusia maupun
dalam hal melakukan peribadatan. Setiap melakukan ibadat, seseorang tersebut penuh
keikhlasan dalam menjalaninya. Sikapnya juga menunjukkan bahwa dirinya tidak
terpengaruh oleh rayuan kenikmatan dunia, serta orientasi hidupnya lebih difokuskan kepada
harapan- harapan akan kebahagiaan pada kehidupan kelak yaitu masa setelah kematian (hari
kemudian). Orang yang memiliki tondi hamalimon, diyakini bahwa dirinya telah dibungkus
dengan tondi Debata yang disebut dengan tondi parbadia (roh yang suci). Dirinya terjaga dari
banyak aspek yang mempengaruhi adanya godaan- godaan iblis yang diyakininya tidak akan
bisa merajai dirinya. Jikalau hal yang demikian terus terpelihara sampai kepada masa
hidupnya di dunia ini berakhir, maka tergolonglah dia kepada golongan yang dicintai Debata.
Begitu juga dalam hal sebaliknya, orang yang tingkat kesucian terhadap dirinya rendah
apalagi tidak mau membatasi dirinya (marsolam), maka orang- orang golongan inilah yang
mudah dikuasai oleh iblis sehingga apa yang dilakukan olehnya kerap kali berlawanan
dengan ajaran agama yang menyebabkan dirinya tidak berharga atau kotor (ramun). Dalam
kepercayaan agama Malim, ada dua kehidupan alam yang dijalani oleh manusia, yaitu
kehidupan masa kini dan kehidupan masa mendatang. Kehidupan masa kini adalah kehidupan
yang sedang dijalani oleh manusia sekarang di dunia dengan segala aktivitas kehidupannya,
dan kehidupan masa mendatang adalah kehidupan selepas manusia mati yaitu kehidupan di
akhirat, yang disebut dengan istilah ari paruhuman (hari pengadilan). Dalam perjalanan
hidup di masa kini, manusia harus menjalani kehidupannya dengan patuh terhadap peraturan
dan hukum dari Debata. Segala sesuatunya diyakini harus kembali kepada Debata selaku
pencipta. Dalam mencukupkan segala kebutuhan hidupnya, manusia harus bekerja keras
dalam memuji dan menyembah Debata. Sebelum melangkah kepada kehidupan masa depan,
perlu diketahui bahwa dalam agama Malim diyakini bahwa manusia yang telah mati secara
fisik sebelum masuk pada hari pengadilan (ari paruhuman), roh manusia yang baru mati
tersebut terlebih dahulu ditanyai oleh pesuruh Debata. Memang tidaklah jelas bagaimana
bentuk pelaksanaan hari pengadilan tersebut, tetapi yang jelas bahwa kepercayaan Malim
menyatakan bahwa manusia tidak akan bisa luput atau mengelak daripadanya.
Dalam konsep kehidupan setelah kematian, dalam ajaran agama Malim disebut
sebagai kehidupan tondi (kehidupan roh). Agama Malim menekankan bahwa bagaimana
kehidupan tondi setelah kematian bergantung pada bagaimana kehidupan manusia selama
hidup mereka di dunia. Kebahagiaan tondi kelak akan dicapai apabila manusia selama
hidupnya turut kepada ajaran dan hukum Debata. Hal ini dapat dilihat dari bunyi doa – doa
yang diucapkan pengikut agama Malim, yakni : “tung so tupa be marsangkap manang
mangulahon na pininsang ni patik dohot aturan ni Debata. Marpanghirimon do na mangoloi
jala na mangulahon patik dohot aturan ni Debata. Na dapotsa do sogot hangoluan ni tondi
di Banua Ginjang asing ni ngolu ni diri on” Bunyi doa tersebut dapat dilihat sebagai suatu
pernyataan yang tidak boleh melakukan perbuatan yang dikategorikan melanggar peraturan
dan hukum Debata, bahkan melakukan niat jahat pun tidak boleh. Bunyi doa tersebut juga
bermaksud supaya manusia menyadari betul bahwa kehidupan tondi kelak bergantung pada
kehidupan manusia ketika hidupnya di bumi. Jika manusia menuruti kehendak Debata, maka
akan mendapatkan kebahagiaan tondi, sebaliknya jika pada masa hidupnya manusia berbuat
yang tidak sesuai dengan ajaran dan hukum Debata, maka hukuman akan datang kepadanya
baik semasa hidupnya di bumi maupun kehidupan tondi kelak. Adapun hukuman yang
dialami semasa hidupnya di bumi adalah berupa sakit, kelaparan, kebanjiran, dan malapetaka
lainnya sama ketika dahulu masyarakat Batak jauh dari Debata, dan hukuman setelah
kematian bagi mereka adalah tondi yang ditempatkan pada huta hamatean dan disana akan
dibakar. 12
2. Kristen
Keselamatan dari dan di dalam diri Yesus Kristus hanya karena oleh Anugerah.
Dalam hal pemahaman atas ‘Keselamatan hanya oleh karena Anugerah Kristus’, maka
12 Ibrahim....,110-112
anugerah yang sudah diperoleh manusia tanpa mengikut Yesus secara kongret adalah
anugerah murahan. Keselamatan melalui Anugerah mengarahkan kepada Iman dimana ada
iman di situ ada kasih, kepatuhan, doa dan pertobatan. 13 Keselamatan adalah wujud kasih
Allah yang dinyatakan-Nya kepada umat yakni umat manusia yang sedang diperbudak oleh
kuasa dosa. Keselamatan adalah pemberian Allah yang diberikan dengan cuma-cuma karena
penebusan dalam Kristus Yesus dan ini bukan hasil usaha manusia (Rom. 3:24 bnd Ef.2:8).
Dalam Kekristenan Konsep keselamatan tidak terlepas dari apa yang dinamakan berkat.
Dalam Kekristenan berkat dipahami sebagai karunia Tuhan yang mendatangkan keselamatan
kepada manusia. Berkat yang diberikan kepada seseorang merupakan suatu permohonan
supaya Tuhan berkenan memberikan karuniaNya kepada orang-orang yang dikehendakiNya.
Menurut Kitab Perjanjian Lama, Tuhan memberkati manusia sejak awal penciptaan manusia
(Kej. 1: 28).14 Dalam pengertian lain, berkat dipahami sebagai salah satu di antara pujianpujian bagi Allah, atau kata-kata yang digunakan untuk membuat seseorang atau sesuatu
menjadi kudus. Sebagai contoh misalnya salam Perjanjian Lama dikatakan bahwa berkat
adalah kemurahan yag dikaruniakan Allah, seperti pada waktiu panen (Bnd. Ul. 28:8). Dalam
Perjanjian Baru, berkat atau karunia yang Allah berikan kepada manusia diwujudnyatakan
dengan kehadiran Yesus Kristus di tengah-tengah dunia ini (Bnd. Kis. 3:25).15
Dalam pemikirannya, Rasul Paulus berkata, bahwa kasih karunia merupakan suatu bentuk
perlawanan terhadap usaha manusia untuk memperoleh pahalanya sendiri. “jika hal itu terjadi
karena kasih karunia, maka bukan lagi karena perbuatan, sebab jika tidak demikian, maka
kasih karunia itu bukan lagi kasih karunia” (Rom. 11:6).16 Dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa berkat merupakan anugerah Allah yang juga merupakan hasil inisiatif dari Allah
sendiri. Allah yang kepada ciptaanNya menyatakan kasih karuniaNya berupa berkat yang
sangat konkret dengan kehadiran Yesus Kristus di dunia ini.17 Salah satu dari pokok
pengajaran Martin Luther tentang berkat adalah Sola Gratia, hanya karena anugerah, dan
bukan karena perbuatan manusia, kemudian manusia di selamatkan, tapi karena inisiatif
Allah itu sendiri. Dalam hal ini tentu saja manusia tidak hanya berpangku tangan saja dalam
menerima anugerah dari Allah, melainkan dituntut respon dari manusia itu sendiri atas
inisiatif Allah tersebut sebagai bentuk dari ucapan syukur atas berkat yang Allah berikan
kepada manusia. Melalui penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa Allah terlebih
13 Lih, Dieter Becker, Pedoman dogmatika, BPKGunung Mulia, Jakarta 1996 ; hal 146
14 Heuken. S.J, Ensiklopedi Gereja I, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), Hlm. 163
15 W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2007), Hlm.
16 Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001), Hlm. 139
17 R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta, BPK-Gunung Mulia, 2002), Hlm. 163
dahulu bertindak, kemudian manusia meresponya dalam menjalani kehidupan sehari-hari
sebagai orang yang sudah diberkati oleh Allah, yaitu hidup dalam terang Kristus, anugerah
Allah yang sesungguhnya. Kehidupan yang kekal adalah suatu istilah yang menyatakan suatu
kondisi dimana manusia dimungkinkan untuk hidup selama-lamanya di dalam kebahagiaan
yang tidak terhingga. Kehidupan yang kekal menunjukkan pada mutu kehidupan itu sendiri
dan dan kekekalan bukan sesuatu yang kosong dan tidak nyata. Kehidupan yang kekal tidak
lagi sebatas kepada pemahaman Kronos tetapi Kairos. Kekekalan bukanlah pengingkaran atas
waktu. Namun sebaliknya, pewahyuan Kristen menyatakan bahwa dalam penjelmaan Anak
Allah, Allah dengan bebas dan penuh kasih telah mengambil dan mengenakan temporalitas
manusia, waktu dan perubahan serta telah mengangkat semuanya itu ke dalam
kehidupanNya. Artinya bahwa kekekalan yang diperan sertai oleh orang percaya tidaklah di
luar, di atas, sesudah, atau diseberang waktunya, tetapi tercapai dalam dan dari waktu
manusia itu sendiri. Alkitab memahami kehidupan kekal adalah tentang hidup yang sejati,
tulen, yang sungguh (bnd. 1 Tim. 6:19). Artinya: bahwa kehidupan yang datang dari “Aku”
sama artinya dengan “dari Tuhan”, yang diterima oleh orang percaya karena Roh Kuduslah
yang memuat orang percaya itu lahir kembali ke suasana hidup sorgawi bersama dengan
Yesus Kristus yang adalah HIDUP itu sendiri (bnd. Yoh. 14:6). Karena itu, berbagai bagian
dalam Alkitab menegaskan bahwa kini pun orang percaya sudah mempunyai hidup yang
kekal ketika orang percaya mempunyai persekutuan yang indah dengan Yesus (bnd. Yoh.
17:3), jadi kehidupan kekal itu tidak bersifat eskatologi, namun sekarang pun sudah
dinyatakan. Selanjutnya didalam I Korintus 13:13, Paulus melukiskan keselamatan dalam arti
Kristiani sebagai keutuhan manusia beriman, berharap, dan pengasih dalam Allah, sang
Pencipta, Penebus dan Pembaru. Keadaan selamat dan damai sejahtera (soteria dan eirene)
yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia dihubungkan secara tegas dengan diri Yesus
Kristus dan dengan karya Roh Kudus. Karya keselamatan itu diyakini akan digenapi oleh
Yesus Kristus, yaitu sang Mesias yang dipilih oleh Allah. 18 Keselamatan diberikan sebagai
anugerah dari Allah yang adil, yang berbuat dalam rahmat kepada pendosa yang tidak layak.
Pendosa yang oleh anugerah iman, percaya kepada keadilan Kristus yang telah menebus dia
dengan kematian-Nya dan membenarkan dia oleh kebangkitan-Nya. Allah sendiri yang
membenarkan pendosa yang tidak layak itu (yaitu memperhitungkan baginya keadilan
Kristus yang sempurna), mangampuni dosa-dosanya, mendamaikan dia dengan diri-Nya
sendiri di dalam dan melalui Kristus yang sudah membuat perdamaian melalui darah
salibNya (2 kor. 5:18; Rom. 5:11), mengangkatnya menjadi keluarga (Gal. 4:5 dst.) dan oleh
18 Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2, Kanisius, Yogyakarta 2004, hlm. 141-142
karunia Roh memampukan dia berjalan dalam kehidupan yang baru, sambil semakin
mematikan perbuatan-perbuatan daging (Rom. 8:13) sampai akhirnya dia dijadikan sama
dengan Kristus (Rom. 8:29) dan keselamatannya digenapi dalam kemuliaan (bnd. Fil. 3:21).
Paulus menyimpulkan bahwa manusia dibenarkan hanya oleh Iman di dalam Kristus (Roma
3:26,28; 5:1; Gal. 2:16) yaitu percaya dengan sepenuhnya (seluruh hidup) kepada Anugerah
Allah yang harus dipahami sebagai pemberian yang cuma-cuma. Itu sebabnya Paulus
menyaksikan bahwa Allah yang dipercayai oleh Abraham sebenarnya adalah Allah yang
membenarkan orang yang tidak benar (orang yang tidak layak), bahkan orang yang durhaka
(Roma 4:2-6). Pembenaran individu telah membebaskan keseluruhan dari manusia sehingga
bukan kita yang memiliki pembenaran, melainkan pembenaran yang menguasai kita. Kita
adalah pelayan-Nya (Roma 6:18; 2 Kor. 3:9) dan pembenaran kita adalah sudah nyata dan
diteruskan sampai kepada masa yang akan datang. Pembenaran yang telah dilakukan dari
dulu dan sekarang, namun kita masih menantikan pembenaran akhir (Final Revelation of
God’s Justification)19.
19 Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2, Kanisius, Yogyakarta 2004, hlm. 141-142
1. Pendahuluan
2. Isi
1. Parmalim (Parmalim Merupakan sebuah Agama)
Sebelum terbentuknya agama Malim secara resmi oleh suku Batak, telah ada nilai –
nilai pengajaran keagamaan ditengah – tengah masyarakat Batak. Ajaran – ajaran keagamaan
tersebut diyakini dibawa oleh para utusan Debata Mulajadi Nabolon. Utusan Debata yang
membawa ajaran – ajaran keagamaan tersebut disebut sebagai Malim Debata. Dalam sejarah
kepercayaan orang Batak, ada empat (4) Malim Debata yang diutus ke tengah – tengah
bangsa Batak dalam kurun waktu 400 tahun lamanya. Mereka adalah Raja Uti,
Simarimbulubosi, raja Sisingamangaraja, dan raja Nasiakbagi, dan mereka disebut memiliki
kerajaan Malim di dunia (banua tonga) yang berasal dari Debata Mulajadi Nabolon.1 Pada
masa Raja Uti, Simarimbulubosi, dan Raja Sisingamangaraja, ajaran keagamaan itu masih
belum dirangkai secara struktur layaknya sebuah agama, namun hanya sebatas ritual – ritual
kepercayaan sebagai penghubung manusia dengan Debata. Secara singkat, kehadiran Raja Uti
ke dunia ketika masyarakat Batak mengalami keadaan chaos, dimana diantara mereka terjadi
pertikaian dan kepercayaan mereka terhadap Debata Mulajadi Nabolon menyimpang kepada
penyembahan kepada roh – roh (kepercayaan sipelebegu). Kehadiran Raja Uti
mengembalikan keamanan kehidupan masyarakat Batak sekaligus mengarahkan kembali
kepercayaan mereka kepada Debata Mulajadi Nabolon, dengan membentuk ajaran “marsuhi
ni ampang na opat” (ampang yang bersegi empat atau SUNANO) yang terdiri dari tona,
poda, patik, dan uhum yang diyakini bahwa ajaran tersebut sebelumnya telah ada di Banua
Ginjang.2 setelah masa Raja Uti berakhir, Debata mengutus Tuan Simarimbulubosi sebagai
malim kedua yang melanjutkan pengajaran yang dibawa Raja Uti, ia memantapkan keimanan
masyarakat Batak untuk semakin teguh kepada Debata Mulajadi Nabolon. Namun setelah
ditinggalkan oleh Tuan Simarimbulubosi yang menghadap ke Banua Ginjang, kekacauan
muncul kembali diantara masyarakat Batak yang diakibatkan mereka semakin jauh dari
Debata dan berbuat jahat sehingga masa itu dikenang sebagai masa lumlam (jahiliah). Lalu
kemudian Debata mengutus Sisingamangaraja setelah puluhan tahun masyarakat Batak hidup
dalam kekacauan. Tugas Sisingamangaraja adalah mengisbatkan adat, patik, tona dan uhum.
Secara fisik, yang bernama Sisingamangaraja berjumlah duabelas orang sehingga penyebutan
namanya disebut Sisingamangaraja I – XII. Akan tetapi menurut kepercayaan Malim bahwa
1 Ibrahim Gultom hlm. 92
2 Ibrahim Gultom hlm. 93
roh Sisingamangaraja tersebut hanya satu yakni titisan dari Debata Mulajadi Nabolon. Pada
masa Sisingamangaraja inilah datang penjajahan Belanda yang berhasil membunuh
Sisingamangaraja dalam sebuah peperangan yang berlangsung selama 30 tahun, yang disebut
dengan “Perang Batak”.3 Meski telah dibunuh oleh tentara Belanda (21 Juni 1907), namun
masyarakat Batak menganggap bahwa Sisingamangaraja tidaklah mati namun diyakini
berubah nama menjadi Raja Nasiakbagi yang tiba – tiba muncul setelah peperangan
Sisingamangaraja. Kehadiran Raja Nasiakbagi tidak dikenal seluruh masyarakat Batak, hanya
murid – muridnya saja yang mengenalnya. Pada suatu ketika, Raja Nasiakbagi memberikan
arahan kepada para muridnya dan berkata: “Malim ma hamu”. Maksudnya adalah “Sucilah
kamu atau senantiasalah suci didalam keagamaan”. Dengan adanya pengarahan ini, maka
sejak itulah ajaran yang dibawanya resmi disebut agama Malim (setelah tahun 1907).
Kemudian setelah Raja Nasiakbagi meninggalkan masyarakat Batak, agama Malim
diwariskan kepada seorang muridnya yaitu Raja Mulia Naipospos yang ditugaskan untuk
mempertahankan dan melanjutkan penyiaran agama Malim selanjutnya.4
Agama adalah suatu sistem sosial yang dibuat oleh penganutnya yang berporos
kepada kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai
keselamatan bagi diri pemeluknya. Agama disebut sistem sosial, menunjukkan bahwa agama
merupakan suatu fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem yang dapat
dianalisa, karena terdiri atas peraturan yang dibuat saling berkaitan dan mengarah kepada
pencapaian tujuan. Agama berporos kepada kekuatan non empiris, maksudnya adalah bahwa
agama juga berkaitan dengan kekuatan- kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan
manusia itu sendiri yang diyakini sebagai Roh Tertinggi. Agama juga bertujuan untuk
mencapai keselamatan bagi diri pemeluknya berarti keselamatan di dalam dunia sekarang ini
dan keselamatan di “dunia lain” yang dimasuki manusia nantinya setelah kematian manusia
itu.5 Oleh karenanya, maka agama merupakan suatu sistem yang berkaitan dengan aturan
yang mengarah kepada tujuan tertentu dari penganutnya. Agama dalam konsep orang Batak
dikenal dengan istilah ugamo. Istilah ini kerap kali digunakan oleh penganut Agama Malim.
Agama Malim berasal dari dua kata yakni “ugamo” dan “malim”. Ugamo bermakna ambuambu pelean yang berarti ramuan dari berbagai benda- benda yang dijadikan untuk bahan
sesaji. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “ugamo”. Istilah “malim” bermakna ias
3 Ibrahim Gultom hlm. 94
4 Ibrahim Gultom hlm. 95
5 Hasil Wawancara terhadap Ulu Punguan Parmalim Bah sampuran pada Rabu 10 Mei 2017 dengan Bapak
Marpaung/Br.Aruan
(bersih atau suci). Oleh karena itu, secara etimologi pemahaman mengenai agama Malim
adalah kumpulan ramuan benda- benda yang bersih dan suci. kemudian menurut istilahnya,
agama Malim dapat dipahami sebagai suatu jalan perjumpaan manusia dengan Debata
melalui sesaji yang bersih suci. Istilah “parmalim” berawal dari kata parugamo malim
(pengikut agama Malim). Istilah ini merujuk kepada orang yang mengikuti ajaran Malim dan
juga berkehidupan malim (suci) yang diwujudkan melalui pengumpulan ramuan bendabenda persembahan (sesaji) berdasarkan pada ajaran Debata Mulajadi Nabolon. Disisi lain,
dapat dipahami bahwa adanya agama Malim ini merupakan “jalan pertemuan” dengan
Debata, yang dimaksud adalah melalui agama itulah para penganutnya dapat menjalin
hubungan dengan Debata.6
-
Adat dalam Agama Malim
Sejak zaman dahulu hingga sekarang, adat merupakan bagian dari kehidupan setiap
orang. Bagi orang Batak, memiliki adat (kebiasaan) dapat dijadikan sebagai rujukan
berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat. Pada awalnya, adat ini merupakan suatu
kebiasaan yang dilakukan pada generasi terdahulu, kemudian diwariskan kepada generasi
berikutnya dan hingga pada masa yang sekarang. Adat adalah suatu sikap, tingkah laku,
kebiasaan yang sesuai dengan norma- norma yang duturunalihkan yang mana adat ini
nantinya berkembang menjadi sebuah “hukum” yang mengatur segala aspek kehidupan
manusia walaupun tidak pernah dibuat dalam aturan yang tertulis pada waktu lampau. 7 Bagi
penganut Agama Malim, “adat” tidak hanya sekedar hasil budaya orang Batak terdahulu yang
diturunalihkan secara turun temurun kepada generasi yang ada sekarang. Melainkan,
keberadaan adat ditengah- tengah masyarakat tersebut diyakini berasal dari Debata Mulajadi
Nabolon. Adat ini berasal dari Debata melalui orang – orang yang dipilihNya. Orang yang
terpilih ini diyakini telah menerima konsep dasar dari Debata, yang kemudian konsep dasar
tersebut dirampungkan menjadi butir- butir adat dan “patik” yang kemudian dinamakan
“uhum”.8 Adapun penjabaran dari adat itu sendiri terdiri dari tiga jenis, yaitu9:
1. Adat inti (adat asli); pemahaman adat dalam hal ini mencakup seluruh kehidupan
yang terjadi. Dimana manusia hidup diajari dan dituntun supaya mereka
6 Lih. Ibrahim Gultom, Agama Malim di Tanah Batak, Bumi Aksara, Jakarta 2010: hlm. 198- 199.
7 Hasil Wawancara terhadap Ulu Punguan Parmalim Bah Sampuran pada Rabu 10 Mei 2017 yaiitu Bapak
Marpaung/Br.Aruan
8 ibrahim, 71.
9 Hasil Wawancara terhadap Ulu Punguan Parmalim Bah Sampuran pada Rabu 10 Mei 2017 yaitu Bapak
Marpaung/Br.Aruan
melakukan semua aspek kehidupannya berdasarkan hukum (undang- undang),
mengetahui hal yang baik dan jelek dan bisa juga melakukan hal- hal yang baik
seta menghindari hal- hal yang tidak baik. Formula ini merujuk kepada seluruh
ciptaan yang diberikan adat dan hukum. Mulajadi Nabolon memeteraikan adat
dalam diri orang penganut adat tersebut: “Debata memeteraikan undang- undang
dalam hati mereka, mengenai apa yang baik dan buruk, yang boleh terlarang,
yakni “yang terlarang: (tongha), “jangan” (unang), “tak patut” (na so jadi).
2. Adat na taradat; Adat ini merupakan adat yang dijumpai pada suatu kelompok
yang mana ciri dari adat ini adalah pragmatis. menampung sebanyak mungkin
pemahaman mengenai adat inti dari tradisi nenek moyang, namun hal ini tidak
diaplikasikan melainkan dihadapkan kepada kenyataan kompleks dari kebiasaan
setempat. Adat ini menerimaa unsur dan pengaruh darimanapun, asal saja
disesuaikan dengan tuntutan adat ini. namun tidak heran jika ada kesalahan
perbedaan mengenai adat di tempat satu ke tempat yang lain.
3. Adat na niadathon; adat dalam hal ini berbeda dengan adat inti (adat asli). Adat
ini dipengaruhi oleh peradaban modern sehingga pengaruh budaya modern
tersebut menjadi sebuah kebiasaan yang baru. Dalam praktiknya, yang menjadi
dominan dalam “adat-na-niadathon” ini, bukan lagi adat inti dari nenek moyang,
melainkan munculnya adat baru. Jikalau dulu, ada inti merupakan adat yang sakral
dan pantang jika dilanggar, namun pada masa sekarang adat tersebut telah
disingkirkan dan ditindas oleh adat-na-niadathon.
Dari ketiga penjelasan mengenai adat yang disebutkan itu, maka perhatian dapat
difokuskan kepada adat inti, karena adat inti bersifat “primer”, dan juga adat inti segi
moralitas yang tinggi jika terjadi pelanggaran, maka itu tergolong kepada dosa berat.
Menuruti atau melanggar adat sebagai adat undang- undang (patik) dan hukum adalah
persoalan hidup atau mati. Adat inti termaktub dalam filosofi keagamaan “Adat do ugari na
sinihathon Ompunta Mula Jadi” bukan adat yang dalam arti kategori 2 dan adat dalam arti
kategori 3. Di dalam Agama Malim, terdapat beberapa ajaran dan ibadat yang secara wajib
perlu dilakukan oleh setiap parmalim. Apabila ajaran- ajaran tersebut dilakukan dengan baik
adanya, maka parmalim yang mengamalkan itu disebut telah memiliki apa yang disebut
dengan tondi hamalimon (kesucian jiwa). Maksudnya, pada diri parmalim telah tertanam roh
kesucian dari Debata sebagai akibat dari pengamalan akan ajaran- ajaran yang telah
ditetapkan. Bagi Agama Malim, hal ini merupakan konsep kesucian paling tinggi. untuk tiba
pada fase tersebut, seseorang penganut agama ini harus melalui fase pengamalan terhadap
agama yang dibawahnya, yakni memiliki pikiran dan perasaan yang suci (roha hamalimon)
serta berkehidupan suci (ngolu hamalimon). ini merupakan dua fase pengamalan yang
merujuk kepada “kesucian diri” (tondi hamalimon). Fase- fase pengamalan diri inilah yang
disebut dengan takwa (sebutan peringkat tertinggi dalam kedirian manusia parmalim).
Apabila seseorang telah ada pada hakekat “ketakwaan” tersebut, maka hidupnya terpelihara
dari segala perbuatan dosa karena dirinya tidak pernah lepas dari roha hamalimon itu sendiri.
Dalam setiap kegiatan, dirinya terlepas dari dosa dan perbuatan yang dapat merugikan orang
yang lainnya.10
Seseorang yang telah mampu mengontrol dirinya dari hal- hal yang membuat
pelanggaran atau dosa merupakan orang- orang yang telah membatasi atau menjaga diri
(marsolam diri) setiap saat dimana saja ia berada. Jika ingin ia sampai kepada ketakwaan itu,
maka ia harus mampu marsolam diri, marsolam ngolu, marsolam tondi.Marsolam diri artinya
membatasi diri dari hal- hal menjauhkan diri dari pikiran kotor, pikiran yang menyesatkan,
juga menjauhkan diri dari rencana pikiran yang dapat merusak diri sendiri dan orang lain.
Apabila seseorang telah mampu menguasai dirinya, maka orang yang seperti itu adalah orang
yang telah berpikiran dan berperasaan suci (marroha hamalimon). Hal inilah yang merupakan
awal tindakan penguasaan diri yang menuju kepada keselamatan. Istilah kedua, yakni
marsolam ngolu. Marsolam ngolu memiliki pemahaman akan pembatasan- pembatasan diri
dari segala perbuatan yang menimbulkan dosa. Bagi Agama Malim, orang yang tidak mau
melakukan perintah ajaran agama dan tidak mau melakukan perbuatan yang dilarang agama
merupakan “dosa”. Apabila seseorang dapat membatasi dirinya terhadap tindakan yang
menimbulkan dosa (marsolam ngolu), maka seseorang tersebut dinamakan mangolu
hamalimon (berkehidupan suci). Ketiga adalah marsolam tondi. Marsolam tondi merupakan
pembatasan diri terhadap segala sesuatu rayuan kenikmatan dunia dan menghindari diri dari
segala sesuatu yang dapat mengganggu kekhusukan dalam beribadat. Orang yang melakukan
hal ini, tidah merasa terpaksa dalam melakukan kegiatan ibadat dan berbuat kebaikan kepada
sesamanya manusia.11
10 Ibrahim, 201.
11 Ibrahim, 202.
Seseorang yang telah mampu mengawal pikirannya sendiri (marsolam diri),
membatasi diri supaya terhidar dari dosa (marsolam ngolu), dan juga membatasi diri dari
rayuan duniawi dan berbuat kebaikan (marsolam tondi), seseorang tersebut akan tergolong
kepada tingkat manusia yang paripurna yang disebut dengan martondi hamalimon (berjiwa
kesucian). Ciri orang yang berjiwa kesucian ditandai dengan adanya perasaan yang ingin
berbuat baik kepada banyak orang untuk berbuat kebaikan baik sesama manusia maupun
dalam hal melakukan peribadatan. Setiap melakukan ibadat, seseorang tersebut penuh
keikhlasan dalam menjalaninya. Sikapnya juga menunjukkan bahwa dirinya tidak
terpengaruh oleh rayuan kenikmatan dunia, serta orientasi hidupnya lebih difokuskan kepada
harapan- harapan akan kebahagiaan pada kehidupan kelak yaitu masa setelah kematian (hari
kemudian). Orang yang memiliki tondi hamalimon, diyakini bahwa dirinya telah dibungkus
dengan tondi Debata yang disebut dengan tondi parbadia (roh yang suci). Dirinya terjaga dari
banyak aspek yang mempengaruhi adanya godaan- godaan iblis yang diyakininya tidak akan
bisa merajai dirinya. Jikalau hal yang demikian terus terpelihara sampai kepada masa
hidupnya di dunia ini berakhir, maka tergolonglah dia kepada golongan yang dicintai Debata.
Begitu juga dalam hal sebaliknya, orang yang tingkat kesucian terhadap dirinya rendah
apalagi tidak mau membatasi dirinya (marsolam), maka orang- orang golongan inilah yang
mudah dikuasai oleh iblis sehingga apa yang dilakukan olehnya kerap kali berlawanan
dengan ajaran agama yang menyebabkan dirinya tidak berharga atau kotor (ramun). Dalam
kepercayaan agama Malim, ada dua kehidupan alam yang dijalani oleh manusia, yaitu
kehidupan masa kini dan kehidupan masa mendatang. Kehidupan masa kini adalah kehidupan
yang sedang dijalani oleh manusia sekarang di dunia dengan segala aktivitas kehidupannya,
dan kehidupan masa mendatang adalah kehidupan selepas manusia mati yaitu kehidupan di
akhirat, yang disebut dengan istilah ari paruhuman (hari pengadilan). Dalam perjalanan
hidup di masa kini, manusia harus menjalani kehidupannya dengan patuh terhadap peraturan
dan hukum dari Debata. Segala sesuatunya diyakini harus kembali kepada Debata selaku
pencipta. Dalam mencukupkan segala kebutuhan hidupnya, manusia harus bekerja keras
dalam memuji dan menyembah Debata. Sebelum melangkah kepada kehidupan masa depan,
perlu diketahui bahwa dalam agama Malim diyakini bahwa manusia yang telah mati secara
fisik sebelum masuk pada hari pengadilan (ari paruhuman), roh manusia yang baru mati
tersebut terlebih dahulu ditanyai oleh pesuruh Debata. Memang tidaklah jelas bagaimana
bentuk pelaksanaan hari pengadilan tersebut, tetapi yang jelas bahwa kepercayaan Malim
menyatakan bahwa manusia tidak akan bisa luput atau mengelak daripadanya.
Dalam konsep kehidupan setelah kematian, dalam ajaran agama Malim disebut
sebagai kehidupan tondi (kehidupan roh). Agama Malim menekankan bahwa bagaimana
kehidupan tondi setelah kematian bergantung pada bagaimana kehidupan manusia selama
hidup mereka di dunia. Kebahagiaan tondi kelak akan dicapai apabila manusia selama
hidupnya turut kepada ajaran dan hukum Debata. Hal ini dapat dilihat dari bunyi doa – doa
yang diucapkan pengikut agama Malim, yakni : “tung so tupa be marsangkap manang
mangulahon na pininsang ni patik dohot aturan ni Debata. Marpanghirimon do na mangoloi
jala na mangulahon patik dohot aturan ni Debata. Na dapotsa do sogot hangoluan ni tondi
di Banua Ginjang asing ni ngolu ni diri on” Bunyi doa tersebut dapat dilihat sebagai suatu
pernyataan yang tidak boleh melakukan perbuatan yang dikategorikan melanggar peraturan
dan hukum Debata, bahkan melakukan niat jahat pun tidak boleh. Bunyi doa tersebut juga
bermaksud supaya manusia menyadari betul bahwa kehidupan tondi kelak bergantung pada
kehidupan manusia ketika hidupnya di bumi. Jika manusia menuruti kehendak Debata, maka
akan mendapatkan kebahagiaan tondi, sebaliknya jika pada masa hidupnya manusia berbuat
yang tidak sesuai dengan ajaran dan hukum Debata, maka hukuman akan datang kepadanya
baik semasa hidupnya di bumi maupun kehidupan tondi kelak. Adapun hukuman yang
dialami semasa hidupnya di bumi adalah berupa sakit, kelaparan, kebanjiran, dan malapetaka
lainnya sama ketika dahulu masyarakat Batak jauh dari Debata, dan hukuman setelah
kematian bagi mereka adalah tondi yang ditempatkan pada huta hamatean dan disana akan
dibakar. 12
2. Kristen
Keselamatan dari dan di dalam diri Yesus Kristus hanya karena oleh Anugerah.
Dalam hal pemahaman atas ‘Keselamatan hanya oleh karena Anugerah Kristus’, maka
12 Ibrahim....,110-112
anugerah yang sudah diperoleh manusia tanpa mengikut Yesus secara kongret adalah
anugerah murahan. Keselamatan melalui Anugerah mengarahkan kepada Iman dimana ada
iman di situ ada kasih, kepatuhan, doa dan pertobatan. 13 Keselamatan adalah wujud kasih
Allah yang dinyatakan-Nya kepada umat yakni umat manusia yang sedang diperbudak oleh
kuasa dosa. Keselamatan adalah pemberian Allah yang diberikan dengan cuma-cuma karena
penebusan dalam Kristus Yesus dan ini bukan hasil usaha manusia (Rom. 3:24 bnd Ef.2:8).
Dalam Kekristenan Konsep keselamatan tidak terlepas dari apa yang dinamakan berkat.
Dalam Kekristenan berkat dipahami sebagai karunia Tuhan yang mendatangkan keselamatan
kepada manusia. Berkat yang diberikan kepada seseorang merupakan suatu permohonan
supaya Tuhan berkenan memberikan karuniaNya kepada orang-orang yang dikehendakiNya.
Menurut Kitab Perjanjian Lama, Tuhan memberkati manusia sejak awal penciptaan manusia
(Kej. 1: 28).14 Dalam pengertian lain, berkat dipahami sebagai salah satu di antara pujianpujian bagi Allah, atau kata-kata yang digunakan untuk membuat seseorang atau sesuatu
menjadi kudus. Sebagai contoh misalnya salam Perjanjian Lama dikatakan bahwa berkat
adalah kemurahan yag dikaruniakan Allah, seperti pada waktiu panen (Bnd. Ul. 28:8). Dalam
Perjanjian Baru, berkat atau karunia yang Allah berikan kepada manusia diwujudnyatakan
dengan kehadiran Yesus Kristus di tengah-tengah dunia ini (Bnd. Kis. 3:25).15
Dalam pemikirannya, Rasul Paulus berkata, bahwa kasih karunia merupakan suatu bentuk
perlawanan terhadap usaha manusia untuk memperoleh pahalanya sendiri. “jika hal itu terjadi
karena kasih karunia, maka bukan lagi karena perbuatan, sebab jika tidak demikian, maka
kasih karunia itu bukan lagi kasih karunia” (Rom. 11:6).16 Dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa berkat merupakan anugerah Allah yang juga merupakan hasil inisiatif dari Allah
sendiri. Allah yang kepada ciptaanNya menyatakan kasih karuniaNya berupa berkat yang
sangat konkret dengan kehadiran Yesus Kristus di dunia ini.17 Salah satu dari pokok
pengajaran Martin Luther tentang berkat adalah Sola Gratia, hanya karena anugerah, dan
bukan karena perbuatan manusia, kemudian manusia di selamatkan, tapi karena inisiatif
Allah itu sendiri. Dalam hal ini tentu saja manusia tidak hanya berpangku tangan saja dalam
menerima anugerah dari Allah, melainkan dituntut respon dari manusia itu sendiri atas
inisiatif Allah tersebut sebagai bentuk dari ucapan syukur atas berkat yang Allah berikan
kepada manusia. Melalui penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa Allah terlebih
13 Lih, Dieter Becker, Pedoman dogmatika, BPKGunung Mulia, Jakarta 1996 ; hal 146
14 Heuken. S.J, Ensiklopedi Gereja I, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), Hlm. 163
15 W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2007), Hlm.
16 Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001), Hlm. 139
17 R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta, BPK-Gunung Mulia, 2002), Hlm. 163
dahulu bertindak, kemudian manusia meresponya dalam menjalani kehidupan sehari-hari
sebagai orang yang sudah diberkati oleh Allah, yaitu hidup dalam terang Kristus, anugerah
Allah yang sesungguhnya. Kehidupan yang kekal adalah suatu istilah yang menyatakan suatu
kondisi dimana manusia dimungkinkan untuk hidup selama-lamanya di dalam kebahagiaan
yang tidak terhingga. Kehidupan yang kekal menunjukkan pada mutu kehidupan itu sendiri
dan dan kekekalan bukan sesuatu yang kosong dan tidak nyata. Kehidupan yang kekal tidak
lagi sebatas kepada pemahaman Kronos tetapi Kairos. Kekekalan bukanlah pengingkaran atas
waktu. Namun sebaliknya, pewahyuan Kristen menyatakan bahwa dalam penjelmaan Anak
Allah, Allah dengan bebas dan penuh kasih telah mengambil dan mengenakan temporalitas
manusia, waktu dan perubahan serta telah mengangkat semuanya itu ke dalam
kehidupanNya. Artinya bahwa kekekalan yang diperan sertai oleh orang percaya tidaklah di
luar, di atas, sesudah, atau diseberang waktunya, tetapi tercapai dalam dan dari waktu
manusia itu sendiri. Alkitab memahami kehidupan kekal adalah tentang hidup yang sejati,
tulen, yang sungguh (bnd. 1 Tim. 6:19). Artinya: bahwa kehidupan yang datang dari “Aku”
sama artinya dengan “dari Tuhan”, yang diterima oleh orang percaya karena Roh Kuduslah
yang memuat orang percaya itu lahir kembali ke suasana hidup sorgawi bersama dengan
Yesus Kristus yang adalah HIDUP itu sendiri (bnd. Yoh. 14:6). Karena itu, berbagai bagian
dalam Alkitab menegaskan bahwa kini pun orang percaya sudah mempunyai hidup yang
kekal ketika orang percaya mempunyai persekutuan yang indah dengan Yesus (bnd. Yoh.
17:3), jadi kehidupan kekal itu tidak bersifat eskatologi, namun sekarang pun sudah
dinyatakan. Selanjutnya didalam I Korintus 13:13, Paulus melukiskan keselamatan dalam arti
Kristiani sebagai keutuhan manusia beriman, berharap, dan pengasih dalam Allah, sang
Pencipta, Penebus dan Pembaru. Keadaan selamat dan damai sejahtera (soteria dan eirene)
yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia dihubungkan secara tegas dengan diri Yesus
Kristus dan dengan karya Roh Kudus. Karya keselamatan itu diyakini akan digenapi oleh
Yesus Kristus, yaitu sang Mesias yang dipilih oleh Allah. 18 Keselamatan diberikan sebagai
anugerah dari Allah yang adil, yang berbuat dalam rahmat kepada pendosa yang tidak layak.
Pendosa yang oleh anugerah iman, percaya kepada keadilan Kristus yang telah menebus dia
dengan kematian-Nya dan membenarkan dia oleh kebangkitan-Nya. Allah sendiri yang
membenarkan pendosa yang tidak layak itu (yaitu memperhitungkan baginya keadilan
Kristus yang sempurna), mangampuni dosa-dosanya, mendamaikan dia dengan diri-Nya
sendiri di dalam dan melalui Kristus yang sudah membuat perdamaian melalui darah
salibNya (2 kor. 5:18; Rom. 5:11), mengangkatnya menjadi keluarga (Gal. 4:5 dst.) dan oleh
18 Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2, Kanisius, Yogyakarta 2004, hlm. 141-142
karunia Roh memampukan dia berjalan dalam kehidupan yang baru, sambil semakin
mematikan perbuatan-perbuatan daging (Rom. 8:13) sampai akhirnya dia dijadikan sama
dengan Kristus (Rom. 8:29) dan keselamatannya digenapi dalam kemuliaan (bnd. Fil. 3:21).
Paulus menyimpulkan bahwa manusia dibenarkan hanya oleh Iman di dalam Kristus (Roma
3:26,28; 5:1; Gal. 2:16) yaitu percaya dengan sepenuhnya (seluruh hidup) kepada Anugerah
Allah yang harus dipahami sebagai pemberian yang cuma-cuma. Itu sebabnya Paulus
menyaksikan bahwa Allah yang dipercayai oleh Abraham sebenarnya adalah Allah yang
membenarkan orang yang tidak benar (orang yang tidak layak), bahkan orang yang durhaka
(Roma 4:2-6). Pembenaran individu telah membebaskan keseluruhan dari manusia sehingga
bukan kita yang memiliki pembenaran, melainkan pembenaran yang menguasai kita. Kita
adalah pelayan-Nya (Roma 6:18; 2 Kor. 3:9) dan pembenaran kita adalah sudah nyata dan
diteruskan sampai kepada masa yang akan datang. Pembenaran yang telah dilakukan dari
dulu dan sekarang, namun kita masih menantikan pembenaran akhir (Final Revelation of
God’s Justification)19.
19 Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2, Kanisius, Yogyakarta 2004, hlm. 141-142