Kampung Susuk (Etnografi Mengenai Kehidupan Pemukim di Pinggiran Kampus)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Pertambahan penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti oleh
peningkatan kebutuhan akan ruang. Kota secara geografis selalu mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Namun, tanah yang ada selalu mempunyai luas yang
tetap dan karena secara administratif wilayah kota terbatas, maka dalam
perkembangannya untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah
maka pembangunan akan bergerak kepinggiran kota. Sebagai daerah pemekaran,
sehingga pinggiran kota berada dalam tekanan kegiatan perkotaan yang meningkat
dan berdampak pada perubahan fisik di sekitarnya.
Perluasan sifat kekotaan ini banyak mengubah tata guna lahan di daerah
pinggiran, terutama yang langsung berbatasan dengan kota, akibatnya banyak daerah
hijau yang berubah menjadi pemukiman. Pada perkembangannya, pembangunan ke
arah pinggiran kota mengakibatkan adanya penambahan ruang yang bersifat kekotaan
di daerah pinggiran kota yang disebut dengan perkembangan horizontal sentrifugal
(Yunus :2005),

mengemukakan bahwa perkembangan daerah pinggiran kota


dipengaruhi oleh enam deteremin, yaitu aksesibilitas, pelayanan publik, karakteristik
lahan, karakteristik pemilik lahan, peraturan pemerintah dan inisiatif develover.

1
Universitas Sumatera Utara

Keberadaan kota1 dikenali dengan adanya berbagai macam kondisi dan halhal yang membuat kota menjadi wilayah yang dinamis dan dikenal dengan
heterogen2. Defenisi yang mendukung keheterogenan kota juga dinyatakan oleh
Louis Wirth (dalam Suparlan, 1994) merumuskan kota sebagai “a relatively large,
dense, and permanent settlement of socially heterogenous individuals”. Kota
ditentukan oleh ukurannya yang cukup besar, kepadatan penduduknya dan
heterogenitas masyarakatnya. Sejalan dengan kehidupan kota yang keadaannya begitu
kompleks serta beranekaragam, maka keberadaan kota pun dinamakan heterogen.
Sebagai salah satu daerah otonom berstatus sebagai Ibukota di Provinsi
Sumatera Utara, kedudukan, fungsi, dan peranan Kota Medan cukup penting dan
strategis secara regional. Bahkan Kota Medan sering digunakan sebagai barometer
dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah. Kota Medan juga
sebagai kota sentral ekonomi di Provinsi Sumatera Utara oleh karena itu mempunyai
perkembangan cukup pesat. Seiring perkembangannya, Kota Medan membutuhkan
ruang untuk tempat tinggal penduduk. Hal ini pun mengakibatkan peralihan

(konversi) lahan sangat cepat dan tinggi seperti peralihan lahan pertanian menjadi
rumah pemukim.

1

Menurut Yunus (2005) Kota adalah sebuah istilah atau kata yang sudah sangat populer di kalangan
masyarakat baik masyarakat awam maupun masyarakat yang memperdalam studinya mengenai kota,
karena hal inilah bagi masyarakat awam kata kota ini seolah-olah tidak memerlukan pembahasan lebih
lanjut. Namun, manakala seseorang memasuki wacana ilmiah, pengertian kta ini ternyata tidak
sesederhana yang dibayangkan sebelumnya. Dalam pemahaman awam, sesuatu kota merupakan suatu
tempat yang berasosiasi dengan kompleks pertokoan besar yang berjajar-jajar keramaian lalu lintas
yang luar biasa dan bangunan yang berjubel.
2
Heterogen (keadaan berbagai unsur yang berbeda sifat atau berlainan jenis); kenakeragaman:
masyarakat di kota besar juga membuat perbedaan segala peristiwa. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

2
Universitas Sumatera Utara

Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah

perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti
yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang dapat membawa dampak negatif
terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat
diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor
yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk
yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan
yang lebih baik. Alih fungsi lahan biasanya terkait dengan proses perkembangan
wilayah, bahkan dapat dikatakan bahwa alih fungsi lahan merupakan konsekuensi
dari perkembangan wilayah itu sendiri.
Sebagian besar alih fungsi lahan yang terjadi, menunjukkan adanya
ketimpangan dalam penguasaan lahan yang lebih didominasi oleh para pengusaha
dengan mengantongi izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Tindakan alih fungsi lahan pertanian sebenarnya telah terjadi sejak adanya manusia di
dunia dengan mengenal bermacam-macam sesuatu yang dikehendaki demi
mempertahankan dan memperoleh kepuasan hidupnya seperti sandang, pangan, dan
papan. Namun, kebutuhan itu terus bertambah baik macam, corak, jumlah, maupun
kualitasnya seiring dengan bertambahnya populasi manusia.
Oleh karenanya dengan kebutuhan ini berarti menghendaki lebih banyak lagi
lahan pertanian yang perlu dirubah baik fungsi, pengelolaan, dan sekaligus
menyangkut kepemilikannya. Maka dengan demikian, peranan pembangunan

pertanian pada tahun-tahun mendatang masih terus dibutuhkan. Oleh karena itu, alih

3
Universitas Sumatera Utara

fungsi lahan merupakan keadaan yang akan dan telah menimbulkan berbagai dampak
yang tidak diinginkan, antara lain berkurangnya lahan pertanian. Utomo (1992)
menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami yang melandasi kegiatan kehidupan
dan penghidupan, lahan memiliki dua fungsi dasar yakni :
Fungsi kegiatan budaya; suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk
berbagai penggunaan, seperti pemukiman, baik sebagai kawasan perkotaan maupun
perdesaan, perkebunan, hutan produksi dan lain-lain, Fungsi lindung; kawasan yang
ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup
yang ada, yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah
serta budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya. Clifford Geertz
melakukan penelitian di Mojokuto, kota kecil di bagian Jawa melihat bahwa diantara
lima jenis mata pencaharian utama (petani, pedagang kecil, pekerja tangan yang
bebas, buruh kasar, dan pegawai), petani adalah jenis mata pencaharian yang paling
banyak.
Perlu dicermati pula bahwa penelitian ini bukan terfokus kepada alih fungsi

lahan dari aspek ekologi, melainkan bagaimana perubahan kehidupan masyarakat
pasca dibangunnya pemukiman penduduk demi mendukung kehidupan perkuliahan
terutama di Universitas Sumatera Utara. Daerah yang mengalami perkembangan yang
cukup signifikan tersebut adalah darah Kampung Susuk. Kampung Susuk merupakan
daerah pinggiran yang terletak di Kelurahan Padang Bulan Selayang 1, Kecamatan
Medan Selayang, Kota Medan. Daerah Kampung Susuk merupakan daerah padat
penduduk yang didominasi oleh mahasiswa yang tinggal sementara di rumah-rumah

4
Universitas Sumatera Utara

sewa ataupun tempat kos-kosan. Kepadatan di Kampung Susuk ini mengakibatkan
lahan yang dulunya merupakan lahan pertanian kini sebagian besar sudah menjadi
bangunan–bangunan permanen seperti perumahan, kos-kosan, rumah makan, café,
sekolah/kampus, rumah ibadah, dan perkantoran.
Munculnya bangunan-bangunan seperti perumahan, kos-kosan, café dan
sebagainya tersebut juga mempengaruhi banyak sektor yang ada di daerah tersebut
seperti sector ekonomi, religi, budaya dan sosial. Keberadaan perguruan tinggi di
daerah pinggiran ini tentu saja akan membawa perubahan yang tidak kecil terhadap
daerah sekitar tempat perguruan tinggi tersebut berdiri. Perubahan itu tidak saja

menyangkut satu atau dua aspek kehidupan, tetapi banyak aspek kehidupan akan
terpengaruh dengan keberadaan perguruan tinggi tersebut (Purwaningsih, 1994: 1).
Aspek yang sangat nyata dapat terlihat dan dapat diukur adalah adanya perubahan
tingkat status sosial ekonomi penduduk sekitar. Karena pembangunan perguruan
tinggi di daerah akan diikuti pula pembangunan sarana lainnya, seperti banyak
dibangunnya dan kos-kosan para mahasiswa dari luar daerah. Banyaknya mahasiswa
atau kaum pendatang dari luar daerah akan berpengaruh langsung terhadap pola dan
pandangan hidup penduduk asli daerah tersebut.
Dalam periode terakhir Kampung Susuk dapat dikatakan berada di pinggiran
kampus. Hal ini karena ada dua kampus yang dekat dengank kampus-kampus yaitu
Universitas Sumatera Utara dan Universitas Metodist, juga ada sekolah dan akademi
kebidanan. Keberadaan bangunan sarana pendidikan ini akan sangat berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat di daerah tersebut. Terutama bagi petani Kampung

5
Universitas Sumatera Utara

Susuk yang menjadi dan sebagian menambah penghasilan dari berdagang, penarik
becak, pengusaha, dan lain-lain.
Ditinjau dari segi pendapatan penduduk, menurut hasil penelitian Haribowo

dalam Sri Purwaningsih, dkk (1994: 2) terdapat hubungan yang positif antara
keberadaan perguruan tinggi dengan tingkat kenaikan pendapatan penduduk. Selain
merubah pola kehidupan penduduk di Kampung Susuk juga sangat berpengaruh
terhadap mahasiswa-mahasiwa yang kuliah di kampus tersebut karena dekat dengan
kampus sehingga menjadi tempat pemukiman yang strategis.
Keberadaan

kampus-kampus

di

daerah

ini

juga

telah

mendorong


pembangunan secara fisik di daerah tersebut terutama menjadi menarik bagi
pengusaha-pengusaha untuk membangun “kos” diseputaran Kampung Susuk tersebut.
Melihat latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk mengangkat judul
penelitian yaitu Kampung Susuk (Etnografi Mengenai kehidupan Pemukim Di
Pinggiran Kampus). Keinginan peneliti adalah ingin menggambarkan secara detil
mengenai kehidupan masyarakat di Kampung Susuk yang sangat heterogen.
1.2.Tinjauan Pustaka
1.2.1. Wujud Kebudayaan
Pengertian Kebudayaan secara umum dapat dirumuskan (Koentjaraningrat;
1997) bahwa Masyarakat dan kebudayaan manusia telah berevolusi dengan sangat
lambat dalam 1 (satu) jangka waktu beribu-ribu tahun lamanya, dari tingkat-tingkat
yang rendah melalui beberapa tingkat antara, sampai ke tingkat-tingkat tertinggi.

6
Universitas Sumatera Utara

Kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus
dibiasakannya dengan belajar keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Kemudian
Koentjaraningrat membuat konsep wujud kebudayaan untuk membantu merincikan

pemahaman terhadap bagaimana melihat kebudayaan tersebut. Tiga wujud
kebudayaan menurut Koentjaraningrat, ialah :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya (wujud idéel)
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola
dari manusia dalam masyarakat (wujud kelakuan),
3. Wujud kebudayaan sebagai benda- benda hasil karya manusia (wujud
fisik).
Ketiga wujud dari kebudayaan tersebut di atas, dalam kenyataan kehidupan
masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan ideel dan adatistiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik
pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan
benda-benda budaya fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik itu membentuk suatu
lingkaran hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkaran
alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga
mempengaruhi cara berpikirnya.
Inti kebudayaan terdiri dari sektor ekonomi masyarakat, ciri-ciri itulah yang
“paling dekat dengan kegiatan-kegiatan subsistensi dan tatanan ekonomi” (Steward,
1955; 37). Selanjutnya, “metode” ekologi kebudayaan meliputi analisis :
7
Universitas Sumatera Utara


a. Hubungan antara lingkungan dan teknologi eksploitatif atau
deduktif.
b. Hubungan antara pola-pola “perilaku” dan teknologi eksploitatif.
c. Seberapa jauh pola-pola “perilaku” itu mempengaruhi sektorsektor lain dari kebudayaan (Steward, 1955: 40-41).
Steward mengemukakan tujuan utamanya adalah penjelasan tentang asal-usul
ciri-ciri kebudayaan tertentu. Akan tetapi, pendekatannya adalah; pertama untuk
menunjukkan bagaimana suatu ciri kebudayaan dan ciri lingkungan saling berkaitan
secara fungsional, dan kedua, untuk menunjukkan bahwa hubungan yang samadapat
berulang di daerah-daerah yang secara historis berlainan. Semua orang mengakui
bahwa sebagai manusia memiliki kedudukan yang tinggi bahkan sebagian besar
manusia menganggap sebagai makhluk yang tertinggi. Kedudukam yang tinggi itu
juga telah mengakibatkan munculnya beberapa karya mausia yang hebat dan takkan
ada makhluk lainnya yang sanggup menyamainya. Manusia adalah makhluk yang
ada dan keberadaannya didunia ini untuk mengadakan sesuatu, ataudengan istilah
lebih singkat, manusia ada untuk berbuat. Manusia adalah makhluk yang memiliki
kebebasan dalam hidup, yang mampu berkreasi, bebas dan terbuka, bertanggung
jawab, namun memiliki keterbatasan
1.2.2. Pinggiran Kota
Kota menurut definisi universal adalah sebuah area urban yang berbeda dari
desa ataupunkampong berdasarkan ukuranya, kepadatan penduduk, kepentingan atau

status

hukum.

Beberapa definisi

(secara etimologis)

“kota” dalam bahasa

lain seperti dalam bahasa Cina, kota artinya dinding dan dalam bahasa Belanda
8
Universitas Sumatera Utara

kuno, tuiin, bisa berarti pagar. Jadi dengan demikian kota adalah batas. Selanjutnya
masyarakat perkotaan sering disebut juga urban community. Pengertian masyarakat
kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupanya serta cirri-ciri kehidupanya yang
berbeda dengan masyarakat pedesaan.
Membahas masyarakat perkotaan sebetulnya tidak dapat dipisahkan dengan
masyarakat desa karena antara desa dengan kota ada hubungan konsentrasi penduduk
dengan gejala-gejala sosial yang dinamakan urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk
dari desa kekota. Masyarakat perkotaan merupakan masyarakat urban dari berbagai
asal/desa yang bersifat heterogen dan majemuk karen terdiri dari berbagai jenis
pekerjaan/keahlian dan datang dari berbagai ras, etnis, dan agama.
Mereka datang ke kota dengan berbagai kepentingan dan melihat kota sebagai
tempat yang memiliki stimulus (rangsangan) untuk mewujudkan keinginan. Maka
tidaklah aneh apabila kehidupan di kota diwarnai oleh sikap yang individualistis
karena mereka memiliki kepentingan yang beragam. Lahan pemukiman di kota relatif
sempit dibandingkan di desa karena jumlah penduduknya yang relatif besar maka
mata pencaharian yang cocok adalah disektor formal seperti pegawai negeri, pegawai
swasta dan di sektor non-formal seperti pedagang, bidang jasa dan sebagainya. Sektor
pertanian kurang tepat dikerjakan di kota karena luas lahan menjadi masalah apabila
ada yang bertani maka dilakukan secara hidroponik. Kondisi kota membentuk pola
perilaku yang berbeda dengan di desa, yaitu serba praktis dan realistis.
Ciri-ciri masyarakat kota (urban) antara lain :

9
Universitas Sumatera Utara

1. Kehidupan keagaam berkurang, karena cara berpikir yang rasional dan
cenderung sekuler
2. Sikap mandiri yang kuat dan tidak terlalu tergantung pada orang lain sehingg
cenderung individualistis
3. Pembagian kerja sangat jelas dan tegas berdasarkan tingkat kemampuan/
keahlian
4. Hubungan antar individu bersifat formal dan interaksi antar warga
berdasarkan kepentingan.
5. Sangat menghargai waktu sehingga perlu adanya perencanaan yang matang.
6. Masyarakat cerderung terbuka terhadap perubahan di daerah tertentu (slum)
7. Tingkat pertumbuhan penduduknya sangat tinggi
8. Kontrol sosial antar warga relatif rendah
9. Kehidupan bersifat non agraris dan menuju kepada spesialisasi keterampilan
10. Mobilitas sosialnya sangat tinggi karena penduduknya bersifat dinamis,
memamanfaatkan waktu dan kesempatan, kreatif, dan inovatif.

Sementara itu daerah Kampung Susuk yang menjadi fokus penelitian ini
merupakan daerah pinggiran kota. Daerah pinggiran kota (urban fringer)
didefenisikan sebagai daerah pinggiran kota yang berada dalam proses transisi dari
daerah pedesaan menjadi perkotaan. Sebagai daerah transisi, Kampung Susuk ini
berada dalam tekanan kegiatan-kegiatan perkotaan yang meningkat yang berdampak
pada perubahan fisikal termasuk konvensi lahan pertanian dan non pertanian dengan
berbagai dampaknya. Berikut adalah defenisi pinggiran kota :

10
Universitas Sumatera Utara



Kawasan dimana tata guna lahan rural dan urban bertemu dan mendesak, di
periferi kota modern



Suatu kawasan yang letaknya terletak di luar perbatasan kota yang resmi,
tetapi masih dalam jarak melaju (commuting distance)



Kawasan di luar kota yang penduduknya berkiblat ke kota (urban oriented
residents)



Suatu kawasan pedesaan yang terbuka yang dihuni oleh orang-orang yang
bekerja di dalam kota



Suatu daerah tempat pertemuan orang-orang yang memerlukan kehidupan di
kota dan di desa
Russwurm 1987 (dalam Koestoer 1997) mengatakan bahwa daerah pinggiran

kota mempunyai konotasi yang luas. Secara keruangan dalam batasan fisik, wilayah
ini mencakup radius sekitar 50 km pada suatu kota. Daerah pinggiran kota atau urban
fringe ditandai oleh beberapa karakteristik seperti, peningkatan harga tanah,
perubahan fisik penggunaan tanah, perubahan komposisi penduduk dan tenaga kerja,
serta berbagai aspek sosial lainnya. Jelasnya, pengertian dasar daerah pinggiran kota
termasuk didalamnya suatu region sebagai wilayah peralihan, sebagai tempat
bermukim masyarakat daerah pinggiran kota dan dengan demikian mencakup semua
aspek interaksi, perilaku social, dan struktur fisik secara spasial sistem yang lebih
tinggi, yaitu kota. Jadi, daerah pinggiran kota merupakan bagiab dalam kawasan

11
Universitas Sumatera Utara

sistem konurbasi3 suatu kota. Diantara daerah perkotaan, daerah pedesaan, dan daerah
pinggiran kota, ternyata daerah daerah pinggiran kota memberikan peluang paling
besaruntuk usaha-usaha produktif maupun peluang paling menyenangkan untuk
bertempat tinggal.
Whynne Hammond (dalam Muhlisin:2003) mengemukakan lima alasan
tumbuhnya pinggiran kota sebagai berikut:
1. Peningkatan pelayanan transportasi kota, baik itu berupa pelayanan angkutan
umum ataupun jaringan jalan yang memadai.
2. Pertumbuhan penduduk, diaman pertumbuhan disebabkan oleh berpindahnya
sebagian penduduk dari bagian pusat kota ke bagian pinggiran dan masuknya
penduduk dari pedesaan.
3. Meningkatnya taraf hidup masyarakat.
4. Gerakan pendirian bangunan pada masyarakat. Pemerintah membantu mereka
yang ingin memiliki rumah sendiri melalui pemberian kredit lewat jasa suatu
bank yang ditunjuk.
5. Dorongan dari hakikat manusia sendiri, dimana merupakan sifat dasar
manusia untuk mendapatkan yang terbaik.
Pada wilayah Kampung Susuk kelima alasan di atas juga menjadi faktor yang
mempengaruhi pesatnya pemukiman yang terjadi di wilayah tersebut baik pada
pemukiman teratur maupun pemukiman tidak teratur. Hal ini mengingat daerah

3

Menurut Wikipedia Konurbasi adalah sebuah wilayah perkotaan yang terdiri dari beberapa kota,
yang dikarenakan pertumbuhan populasi dan pengembangan, telah secara fisik menjadi satu wilayah
yang terus membanung.

12
Universitas Sumatera Utara

tersebut berada berbatasan dengan kampus sebagai daerah ideal bagi pemukim di
wilayah tersebut.
1.2.3. Pemukiman
Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaab yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunia dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan (Undang – Undang Republik Indonesia
Nomor 4 tahun 1992 tentang perimahan dan pemukiman Bab I, Pasal 1 ayat 5).
Pemukiman yang dimaksudkan dalam Undang- Undang ini mempunyai lingkup
tertentu yaitu kawasan yang didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama
sebagai tempat tinggal yang dilengkapi dengan prasarana, sarana lingkungan, dan
tempat kerja terbatas untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan sehingga
fungsi pemukiman tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemukiman berarti daerah tempat
bermukim. Pemukiman dapat digambarkan sebagai suatu tempat atau daerah dimana
mereka membangun rumah-rumah, jalan-jalan dan sebagainya guna kepentingan
mereka. Pemukiman yang menempati areal paling luas dalam pemanfaatan tata ruang
mengalami perkembangan yang selaras dengan perkembangan penduduk dan
mempunyai pola tertentu yang menciptakan bentuk dan struktur tata ruang yang
berbedasatu dengan lainnya. Perkembangan pemukiman pada bagian-bagian
kotatidaklah sama, tergantung pada karakteristik kehidupan masyarakat, potensi
sumber daya (kesempatan kerja) yang tersedia, kondisi fisik alami serta fasilitas kota
terutama berkaitan dengan transportasi dan komunikasi.
13
Universitas Sumatera Utara

Pola penyebaran pemukiman di daerah pinggiran kota yang mempunyai sifat
desa – kota ini pembentukannya berakar dari pola campuran antara ciri perkotaan dan
ciri pedesaan. Wilayah pemukiman di daerah perkotaan memiliki memiliki
keteraturan bentuk secara fisik. Artinya sebagian besar pemukiman menghadap
secara teratur kearah kerangka jalan yang ada dan sebagian besarterdiri dari bangunan
permanen.
1.2.4. Pola Penyebaran Pembangunan Perumahan dan Permukiman
Pola penyebaran pembangunan perumahan dan permukiman di wilayah desa
kota menurut Koestoer (1995), pembentukannya berakar dari pola campuran antara
ciri perkotaan dan perdesaan. Ada perbedaan mendasar pola pembangunan
permukiman di perkotaan dan perdesaan. Wilayah permukiman di perkotaan sering
disebut sebagai daerah perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya
sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka jalan yang ada dan
sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok dan dilengkapi
dengan penerangan listrik. Kerangka jalannya pun ditata secara bertingkat mulai dari
jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal. Karakteristik kawasan
permukiman penduduk perdesaan ditandai terutama oleh ketidakteraturan bentuk fisik
rumah. Pola permukimannya cenderung berkelompok membentuk perkampungan
yang letaknya tidak jauh dari sumber air, misalnya sungai. Pola permukiman
perdesaan masih sangat tradisional banyak mengikuti pola bentuk sungai, karena
sungai disamping sebagai sumber kehidupan sehari-hari juga berfungsi sebagai jalur
transportasi antar wilayah. Perumahan di tepi kota (desa dekat dengan kota)
membentuk pola yang spesifik di wilayah desa kota. Pada saat pengaruh perumahan
14
Universitas Sumatera Utara

kota menjangkau wilayah ini, pola permukiman cenderung lebih teratur dari pola
sebelumnya. Selanjutnya pembangunan jalan di wilayah perbatasan kota banyak
mempengaruhi perubahan pola penggunaan lahan dan pada gilirannya permukiman
perdesaan berubah menjadi pola campuran. Ada bagian kelompok perumahan yang
tertata baik menurut kerangka jalan baru yang terbentuk, tetapi dibagian lain masih
ada pulayang tetap berpola seperti sediakala yang tidak teratur dengan bangunan semi
permanen.
1.2.5. Konsep Antropologi Perkotaan
Antropologi diawal perkembangannya memusatkan perhatiannya kepada
masyarakat yang primitif. Perhatian ini timbul karena ada sesuatu yang dianggap
sebagai keganjilan pada tingkah laku masyarakat tertentu, yaitu pada masyarakat
pedalaman-pedalaman. Akan tetapi lama - kelamaan, mereka tidak lagi melihat
tingkah laku itu sebagai sesuatu yang ganjil, melainkan sebagai sesuatu yang masih
dekat dengan alam, dan masih berada dalam tahap perkembangan. Dan pada saat itu
Antropologi memusatkan perhatiannya pada masyarakat tersebut. Karena ternyata
masyarakat primitif itu telah semakin maju dan teradaptasi ke dalam masyarakat
modern, maka perhatian antropologi selanjutnya beralih pada masyarakat pedesaan.
Hampir seluruh aspek kehidupan desa telah diteliti dan diungkapkan. Karena itu,
perhatian para antropolog pada tahap berikutnya, mulai beralih ke kota. Ada beberapa
alasan yang digunakan untuk mengalihkan dan memperluas perhatian mereka ke
kota-kota, yaitu: Pertama, masyarakat kota mempunyai pola-pola budaya dan tingkah
laku, lembaga, pranata, serta struktur sosial yang berbeda dari masyarakat primitif

15
Universitas Sumatera Utara

maupun masyarakat desa. Kedua, terjadinya urbanisasi yang semakin meningkat.
Pada umumnya mereka pergi ke kota tanpa membawa bekal ketrampilan kecuali
tenaga. Setibanya di kota, mereka dapati dirinya berada pada situasi dan kondisi yang
berbeda dari pada sewaktu berada di desa. Ketiga, semakin luasnya pengaruh
kehidupan kota atas kehidupan daerah pedesaan yang berada di sekitarnya, baik
positif maupun negatif. Keempat, semakin merosotnya nilai-nilai manusiawi oleh
berkembangnya teknologi di kota.
Pada awal abad ke-20, antropologi perkotaan mulai dikembangkan oleh
seorang antropolog yang bernama Clifford Geertz, dalam penelitiannya disebuah
daerah yang berada di Jawa Timur yang dalam hasil penelitiannya disamarkan dengan
nama Mojokuto. Dalam penelitiannya itu Gertz mencoba menganalisis sistem
stratifikasi sosial masyarakat Jawa yang didasarklan pada kepercayaannya.
Masyarakat Jawa dalam kaca mata Gertz terbagi dalam tiga golongan yaitu Priayi,
Santri, dan Abangan. Dengan diterbitkannya hasil penelitiannya yang dilakukan
kurun waktu 1940, antropologi perkotaan di Asia umumnya dan di Indonesia mulai
berkembangan. Clifford Geertz (1989:8)
Antropologi perkotaan merupakan dua konsep yang dihubungkan antara
antropologi dan perkotaan. Makna dari konsep antropologi perkotaan adalah
pendekatan-pendekatan antropologi mengenai masalah-masalah yang terjadi di
perkotaan. Pendekatan-pendekatan antropologi mengenai masalah-masalah perkotaan
yang digunakan yaitu : 1.

16
Universitas Sumatera Utara

1. Pedekatan Holistik, yaitu pendekatan yang memahami kebudayan secara
menyeluruh.
2. Pendekatan Emik, yaitu pendekatan yang memandang sudut pandang dari
masyarakat itu sendiri. Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan
sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya
dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, berupa
definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri
3. Pendekatan Etik, yaitu pendekatan yang memandang sudut pandang dari para ahli
4. Pendekatan komperatif, yaitu perbandingan dan membandingkan data dari yang
satu dengan yang lain.
5. Pendekatan Historis, yaitu faktor-faktor dari kesejarahannya seperti sejarah
terbentuknya sesuatu.
Parsudi Suparlan (1984) mengemukakan bahwa kajian utama mengenai
kebudayaan perkotaan dan pranata-pranata sosial yang hidup dan berkembang di kota
yakni :
-

Kehidupan sehari-hari

-

Pola-pola kelakuan

-

Kehidupan komunitas, seperti komunitas supir angkot

-

Kehidupan Ekonomi

-

Hubungan antar sukubangsa dalam perkotaan

-

Kemunculan dan mantapnya golongan-golongan sosial tertentu yang baru
muncul, seperti tiba-tiba munculnya ahli-ahli komputer

17
Universitas Sumatera Utara

-

Hierarki dan stratifikasi sosial

-

Kemiskinan yang terjadi dalam perkotaan

-

Perkumuhan

-

Permasalahan permukiman, rumah dan hunian serta berbagai masalah lain
yang

dapat

dilihat

keberadaan,

hakekat,

dan

kecenderungan-

kecenderungannya yang mengacu pada kondisi-kondisi kota yang
merupakan lingkungan hidup perkotaan.
Masyarakat kota merupakan masyarakat yang anggota-anggotanya terdiri dari
manusia yang bermacam-macam lapisan atau tingkatan, pendidikan dan kebudayaan.
Mayoritas penduduknya hidup berjenis-jenis dan usaha yang bersifat non-agraris.
Sikap kehidupan masyarakat kota cenderung pada individuisme/egoisme yaitu
masing-masing anggota masyarakat berusaha sendiri-sendiri tanpa terikat oleh
anggota masyarakat lainnya, setiap individu melakukan aktivitas dan kegiatannya
dengan sendiri-sendiri tanpa melibatkan anggota masyarakat yang lainnya.
1.3. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
bagaimana kehidupan masayarakat di Kampung Susuk, Kelurahan Padang Bulan
Selayang I, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan !
1.4. Lokasi Penelitian
Untuk membatasi wilayah operasional penelitian maka peneliti menetapkan
Lokasi Penelitian dalam studi ini hanya di daerah Kampung Susuk, Kelurahan

18
Universitas Sumatera Utara

Padang Bulan Selayang I, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan. Saya memilih
daerah ini berdasarkan fakta yang ada bahwa di lokasi tersebut banyak perubahan di
bidang penggunaan lahan yang beralih fungsi menjadi non pertanian.
1.5. Tujuan dan Luas Penelitian
Penetapan tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting karena setiap
penelitian yang dilakukan haruslah mempunyai tujuan tertentu. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui serta menjelaskan tentang kehidupan
pemukim di pinggiran kampus di Kampung Susuk, Kelurahan Padang Bulan
Selayang I, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan, baik secara sosial, ekonomi
maupun budaya serta memberikan saran yang berguna sebagai bahan analisa dan
pedoman bagi pimpinan dimasa yang akan datang.
Dalam karya klasiknya, The Thick Description : Towards an Interpretative
Theory of Culture (1973), Clifford Geertz menyatakan bahwa analisis kebudayaanyang dalam hal ini ia samakan dengan antropologi-bukanlah “ilmu eksperimental
dalam upaya menemukan hukum melainkan kajian interpretif dalam upaya
menemukan hukum melainkan suatu kajian interpretif dalam upaya menemukan
makna” (Greetz, 1973:5).
Luas penelitian yang akan dilakukan terbatas pada pembahasan tentang
perubahan tata guna lahan di Kelurahan Padang Bulan Selayang I, Kecamatan Medan
Selayang, Kota Medan.

19
Universitas Sumatera Utara

1.6. Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
1.6.1. Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal mendeskripsikan tentang kehidupan masyarakat di Kampung
Susuk, maka dilakukan penelitian lapangan sebagai suatu upaya untuk memperoleh
data primer. Selain itu diperlukan juga penelitian dari berbagai sumber kepustakaan
sebagai upaya untuk memperoleh data sekunder. Dalam penelitian kualitatif, untuk
memperoleh data primer tersebut, metode yang digunakan adalah metode observasi
atau pengamatan dan wawancara.
a. Data Primer
Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
penelitian lapangan, yaitu : Metode observasi dilakukan guna mengetahui situasi
dalam konteks ruang dan waktu pada daerah penelitian (Spreadley : 1980). Menurut
penulis, data yang diperoleh dari hasil wawancara saja tidaklah cukup untuk
menjelaskan fenomena yang terjadi, oleh karena itu diperlukan suatu aktivitas dengan
langsung mendatangi tempat penelitian dan melakukan pengamatan. Pengamatan
akan dilakukan pada setiap kegiatan atau peristiwa yang dianggap perlu atau
berhubungan dengan tujuan penelitian.
Metode yang dipakai adalah observasi (partisipasi maupun non-partisipasi)
observasi partisipasi membantu untuk memahami lingkungan dan menilai keadaan
yang terlihat ataupun keadaan yang tersirat (tidak terlihat, hanya dapat dirasakan)
dengan memperhatikan kenyataan atau realitas lapangan, yang mana dalam observasi

20
Universitas Sumatera Utara

jenis ini peneliti tidak hanya sebatas melakukan pengamatan, tetapi juga ikut serta
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dimana penelitian ini dilakukan, seperti
bergabung dalam kegiatan berkumpul warga masyarakat di warung makan ataupun
cafe, hal ini tidak tidak terlalu sulit bagi peneliti dikarenakan peneliti merupakan
pendatang di Kampung Susuk. Observasi diharapkan dapat berjalan dengan baik oleh
karena sebelumnya telah dilakukan pra-penelitian dan peneliti telah membangun
rapport yang baik. Walaupun demikian peneliti akan berusaha berfikir secara objektif
sehingga data yang diperoleh dilapangan adalah benar dan sesuai dengan kenyataan
yang ada dilapangan.
Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (depth
interview) kepada beberapa informan yang sesuai dengan tujuan penelitian.
Wawancara mendalam ini dilakukan dengan mendatangi para individu yang dianggap
mempunyai dan memiliki pengetahuan yang luas dan lengkap tentang sejarah, asalusul, ataupun siapa saja yang bersangkut paut dalam kehidupan masyarakat di
Kampung Susuk. Hal ini perlu dilakukan karena pengetahuan akan sejarah, asal-usul
Kampung Susuk tersebut memberikan sumbangan yang berarti dalam memahami
fakta dan merupakan tema pokok penelitian yang akan dilakukan.
Teknik wawancara juga dilakukan dengan cara komunikasi verbal atau
langsung dengan informan utama maupun informan biasa dengan berpedoman pada
interview guide yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk mendapatkan data konkrit
yang lebih rinci dan mendalam. Perlengkapan yang digunakan pada saat wawancara
adalah catatan tertulis untuk mencatat bagian-bagian yang penting dari hasil

21
Universitas Sumatera Utara

wawancara dan tape recoder serta video kamera yang digunakan untuk merekam
proses wawancara dalam rangka antisipasi terhadap keabsahan data yang diperoleh
ketika melakukan wawancara serta sebagai bahan video lapangan etnografi (field
video ethnography).
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang bersifat tidak langsung, akan tetapi memiliki
keterkaitan fungsi dengan salah satu aspek pendukung bagi keabsahan suatu
penelitian. Data sekunder berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang
berhubungan dengan permasalahan penelitian, data sekunder dalam penelitian ini
adalah : Studi kepustakaan sebagai teknik pengumpul data selanjutnya, dimaksudkan
peneliti sebagai suatu sarana pendukung untuk mencari dan mengumpulkan data dari
beberapa buku dan hasil penelitian para ahli lain yang berhubungan dengan masalah
penelitian guna lebih menambah pengertian dan wawasan peneliti demi
kesempurnaan akhir penelitian ini.

22
Universitas Sumatera Utara