Kampung Susuk (Etnografi Mengenai Kehidupan Pemukim di Pinggiran Kampus)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Coombe, Rosemary J. “The Cultural Life Of Things: Anthropological Approaches To

Law And Society In Conditions Of Globalization”. Amerika: University Washington College.

Delliarnov. “Sejarah Pemikiran Ekonomi”. Jakarta: PT RajaGrafindo. 2005.

Dinariana, D., Santun, R.P.S., Hartrisari, H., Nurisyah, S., dan Tarigan, S.D. “Model

Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Daerah Resapan di Wilayah Jakarta Utara”. Jurnal Menara. 1(8): 1-10. 2007

Dwidjoseput, D. “Ekologi Manusia dan Lingkungan”. Jakarta :Penerbit Erlangga. 1991

Fanny, Anugrah. “Analisis faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian di Kabupaten Tangerang”. Skripsi S1 Jurusan Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Fakultas pertanian Institut Pertanian Bogor. 2005.

Geertz, Clifford. “Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa”. alih bahasa Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.

Geertz, Clifford. “Involusi Pertanian (Proses Perubahan Ekologi di Indonesia”.

Jakarta, Penerbit Bhratara K.A. 1976.

Geertz, Clifford. "Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture". In

The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Books, 1973.

Gufron, M. “Peranan Daerah Resapan Terhadap Sumberdaya Air Di Surabaya

Provinsi Jawa Timur”. Institut Teknologi Surabaya, Surabaya. 2002

Harminto, A.D. “Analisis Kebijakan Tentang Penanganan Alih Fungsi Lahan Kota

Semarang (Daerah Resapan Air di Kelurahan Sambiroto, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang)” [Skripsi]. Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Semarang. 2002.

Ilham, dkk. “Perkembangan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Serta Dampak Ekonominya”. IPB Press. Bogor. 2003.

Iqbal, M dan Sumaryanto. “Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat”. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Volume 5 No. 2, Juni 2007. Bogor. 2007.


(2)

Keesing, Roger M. Antropologi Budaya Jilid I, Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga. 1989.

Keesing, Roger M. Antropologi Budaya Jilid II, Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga. 1989.

Koentjaraningrat. “Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan”. Jakarta : Gramedia.

1974.

Koentjaraningrat. “Metode-metode Penelitian Masyarakat”, Jakarta Gramedia. 1985.

Koentjaraningrat. ” Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). 1987.

Koestoer,dkk.1995.Prespektif Lingkungan Desa Kota. UI Press, Jakarta

Koestoer. Perspektif Lingkungan Desa Kota, Teori dan Kasus, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta. 1997.

Lestari, S. “Analisis Kerugian Banjir Dan Biaya Penerapan Teknologi Modifikasi

Cuaca Dalam Mengatasi Banjir Di Dki Jakarta”. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca. 3(2): 155-159. 2002.

Lestari. “Faktor-faktor Terjadimya Alih Fungsi Lahan”. Dalam Tinjauan Pustaka Universitas Sumatra Utara. 2009.

Prawiro, Ruslan H. “Kependudukan (Teori, fakta dan masalah)”. Bandung : Penerbit Alumni. 1983.

Purwaningsih, Sri, dkk “Pengaruh Keberadaan Perguruan Tinggi Di Tembalang

terhadap Kepedulian Penduduk Desa Sekitar Kampus akan Pendidikan Anak‟.

Laporan Penelitian. Semarang: UNDIP. 1994.

Saifuddin, Achmad Fedyani. “Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma”. Jakarta :Kencana. 2005.

Sanderson, Stephen. Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1995.

Sastrosupomo, Suprihadi. “Menghampiri Kebudayaan”. Bandung : Penerbit Alumni.

1982.


(3)

Suparlan, Dr. Parsudi (penyunting): “Kemiskinan Di Perkotaan, Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan”. Jakarta. Penerbit Sinar Harapan dan Yayasan Obor Indonesia. 1984.

Soekanto, Soerjono 2003. Judul Buku : Sosiologi Suatu Pengantar. Penerbit PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.

Steward, Julian H. Theory of Culture Change: The Methodology of Multilinear Evolution. Urbana: University of Illinois Press. 1955.

Steward, Julian H. “Ecology: Cultural Ecology.” International Encyclopedia of the Social Science. 1972.

Todaro, Michael dan Stephen C Smith. “Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”. Jakarta: Erlangga. 2002.

Utomo. “Pembangunan dan Alih Fungsi Lahan”. Lampung: Universitas Lampung. 1992.

Wahyunto. (Dalam Dalam Tinjauan Pustaka Universitas Sumatra Utara) “Pengertian Alih Fungsi Lahan”. USU. 2001

Widjanarko. “Dampak Alih Fungsi Lahan”.Universitas Sumatra Utara. 2006.

Widiyanti, Ninik. “Masalah Penduduk Kini dan Mendatang”. Jakarta: Pradnya

Paramita. 1987

Wiranata, I Gede A.B “Antropologi Budaya”. Bandung : Penerbit Citra Aditya Bakti.

2011.

Wolf, Eric. Petani “Suatu Tinjauan Antropologis” , Jakarta : Yayasan Ilmu – Ilmu Sosial. 1983.

Yunus, H.S. “Manajemen Kota Perspektif Spasial”, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2005.


(4)

Sumber lain

http://pinterdw.blogspot.com/2012/01/pengertian-lahan.html

http://sosiokita-sosio.blogspot.com/2012/02/penyebaran-penduduk-migrasi.html http://imahagiregion3.wordpress.com/2012/06/04/permasalahan-pertumbuhan-penduduk/

http://muqorobinagungnugroho.wordpress.com/2013/10/31/dampak-negatif-dan-positif-pertumbuhan-penduduk/


(5)

BAB III

KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT KAMPUNG SUSUK

3.1. Kehidupan Pertanian Di Kampung Susuk

Bertani merupakan pekerjaan sampingan warga Kampung Susuk. Sebagian besar yang berprofesi sebagai petani tersebut adalah kaum wanita (istri). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menambah penghasilan keluarga. Sedangkan kaum lelaki (suami) memiliki pekerjaan lain yaitu menarik becak, buruh bangunan, wirausaha, dan lain-lain. Kegiatan bertani di sawah dimulai dari pagi hari hingga sore hari dengan membawa bekal makanan untuk dimakan pada siang hari.

Namun, kebanyakan petani umumnya pulang ke rumah pada siang hari karena jarak sawah ke rumah mereka tidak terlalu jauh. Hasil pertanian dari kegiatan bertani digunakan untuk memenuhi kebutuhan perekonomian keluarga dan bukan merupakan mata pencaharian pokok. Oleh karena itu, para petani di Kampung Susuk telah memiliki kesiapan apabila suatu saat lahan yang dikelola diambil alih oleh pemilik tanah dengan beberapa tujuan diantaranya pembangunan perumahan, jalan dan fasilitas lainnya.

Adapun bentuk mata pencaharian lainnya adalah wirausaha yaitu warung dan toko. Pemilik warung-warung tersebut adalah penduduk setempat yang berasal dari suku Karo dan biasanya menjual kebutuhan sehari-hari. Oleh karena keberadaan


(6)

mahasiswa di daerah ini, maka bentuk usaha yang mendominasi diantaranya terdiri dari toko alat-alat tulis, warung internet, fotokopi, warung nasi dan warung yang menyediakan bahan mentah kebutuhan sehari-hari.

Ibu M.Sembiring (usia 40 tahun, Petani) yang merupakan petani di Kampung Susuk lebih lanjut menjelaskan bahwa :

“ . . . kalau kami para petani di Kampung Susuk ini enggak terlalu khawatirlah bakalan digusur sama pembangunan gedung-gedung baru. Yang penting harganya sepadan kalau dijual. Lagi pula kami pun uda capek bertani sawah ini. Lebih bagus usaha kos-kosan atau laundry. Karena kan lebih menguntungkan . . . ”

Pendapat ibu M. Sembiring tadi merupakan suatu fenomena yang disebut Marvin Harris sebagai materialisme budaya. Marvin Harris sebagai penganjur paling cermat dan sangat teoritis mengenai materialisme budaya, telah mengajukan penafsiran materialisme yang mengisyaratkan adanya rasionalitas tersembunyi, berupa adaptasi ekologis, bagi seperangkat praktek kehidupan budaya, yang pada permukaannya melambangkan ketidakrasionalitasan manusia dalam selubung budaya (Keesing, 1989). Hal ini menegaskan bahwa adanya tujuan tertentu oleh masyarakat dalam melakukan segala hal, meski terkadang hal yang ditonjolkan merupakan sebuah hal yang tidak rasional. Masyarakat Kampung Susuk sebagai petani juga memiliki pilihan-pilihan rasional terhadap langkah kedepan yang akan mereka ambil terkait pemanfaatan lahan pertaniaannya. Apakah keputusan tersebut untuk menjual lahan pertanian tersebut atau tidak itu merupakan suatu proses penafsiran lingkungan mereka.


(7)

Jenis sawah yang dikelola oleh petani di Kampung Susuk adalah sawah tadah hujan. Hal ini berarti bahwa sumber pengairan sawah hanya diperoleh dari air hujan. Petani benar-benar tergantung kepada datangnya hujan untuk menentukan masa tanam. Di Susuk 8 terdapat sebuah sungai kecil yaitu aliran air dari Sungai Sei-Semayam, namun sungai tersebut juga hanya mengalir jika dimusim hujan.

Gambar 1 : Sungai Semayam Yang Mengaliri Persawahan

Sumber : Peneliti

Bapak Sitepu (50 tahun, petani) yang merupakan salah satu petani di Kampung Susuk juga menuturkan bahwa :

“. . . biasanya untuk mengairi sawah kami disini ya cuma mengandalkan air hujan aja sama air irigasi yang ada di sekeliling sawah. Itu makannya petani disini enggak sembarangan untuk menentukan waktu tanam . . .”


(8)

Adaptasi ekologi ini penting dilakukan oleh masyarakat agar dapat survive dengan kondisi lingkungan alamnya. Kenyataan ekologi dimana suatu masyarakat tinggal akan melahirkan suatu budaya tertentu terkait dengan sistem pengelolaan lingkungan alamnya. Bahan-bahan baku dan bentuk-bentuk sosial dasar yang berhubungan dengan upaya masyarakat untuk mempertahankan kehidupannya dan beradaptasi dengan lingkungannya di dalam pendekatan materialisme budaya Marvin Harris dikategorikan sebagai komponen infrastuktur material yaitu terdiri dari teknologi, ekonomi, ekologi dan demografi (Sanderson, 1995, hal: 60).

Jikalau musim kemarau, sungai tersebut juga akan kering. Sungai kecil tersebut hanya bisa dipergunakan oleh petani yang lahannya berada di dekat sungai tersebut. Sekalipun demikian, petani tetap melakukan masa tanam dua kali dalam setahun yaitu setiap bulan Mei dan bulan Oktober. Petani belum pernah mengalami keterlambatan masa tanam yang terlalu lama. Kalaupun terjadi perubahan masa tanam biasanya tidak terlalu jauh berbeda dengan masa tanam seperti biasanya.

Seiring dengan berkembangnya pembangunan pemukiman di Kampung Susuk terkhusus pembangunan kompleks perumahan, luas lahan pertanian semakin lama semakin menyempit. Hal ini juga menyebabkan semakin sedikit jumlah petani di Kampung Susuk karena tidak memiliki lahan lagi untuk dikelola. Jenis tanaman yang ditanam di sawah petani adalah padi. Sekitar 15 tahun yang lalu, petani pernah mencoba menanam palawija setelah panen untuk mengisi kekosongan lahan sampai tiba masa tanam padi berikutnya. Namun, ternyata tanaman tersebut kurang berhasil.


(9)

Gambar 2 : Sawah yang terhimpit perumahan

Sumber : Peneliti

Menurut petani, jenis tanah dan cuaca kurang mendukung untuk menanam palawija di lahan tersebut. Sejak saat itu, petani hanya menggunakan lahan ini untuk menanam padi. Namun, adakalanya petani menanam sayur sawi, kacang kedelai, kacang hijau dan kacang tanah di pinggiran jalan Kampung Susuk dekat lahan mereka. Umumnya tanaman tersebut tidak terlalu banyak dan hanya mereka manfaatkan untuk dikonsumsi keluarga.

Bapak Sitepu lebih lanjut juga menjelaskan :

“ . . . sebenarnya petani juga sudah berusaha untuk mengambil keuntungan semaksimalnya dalam mengolah lahan ini. Cuman, mau gimana lagi petani udah pernah mencoba nanam palawija. Tapi hasilnya tidak sebanding sama capek dan biaya tanamnya . . .”


(10)

Dilihat dari pendekatan materialisme budaya Mevin Harris ( dalam Sanderson, 1995) maka pendapat dari bapak Sitepu dapat digolongkan dalam faktor ekonomi dalam materialisme budaya. Faktor ekonomi adalah apa yang menjadi bentuk adaptasinya misalnya petani, bagaimana sistem ekonomi pada petani terkait dengan barang yang dihasilkan, distribusi dan dipertukarkan. Demikian juga demografi/kependudukan dilihat sebagai komponen dalam infrastruktur material yang akan mempengaruhinya. Dalam hal ini adalah para petani sudah berusaha untuk mendiversifikasi jenis tanamannya. Namun, kendala yang dihadapi memang adalah pendapatan yang tidak maksimal dari jenis tanaman tersebut.

Sejak awal bertani, petani hanya bisa memanen padi satu kali dalam setahun. Pada saat itu petani menanam jenis padi Pulo. Pada saat itu tidak terlalu banyak masalah yang dihadapi petani termasuk diantararnya masalah hama dan penyakit padi. Namun, setelah tahun 1980 petani mulai panen dua kali dalam setahun. Hal ini disebabkan karena petani sudah mulai mengganti jenis bibit mereka dengan bibit padi IR 64. Sejak tahun tersebutlah hama mulai banyak dihadapi para petani padi.

Penerapan aplikasi revolusi pertanian di era orde baru membawa banyak perkembangan teknologi pertanian didalamnya. Teknologi dalam pengertian ini adalah terdiri dari informasi, peralatan, teknik yang dengannya manusia beradaptasi dengan lingkungan fisiknya (Lenski dalam Sanderson, 1995). Teknologi juga bukan hanya berisikan peralatan atau objek yang bersifat fisik atau kongkrit saja tapi juga pengetahuan yang dapat diaplikasikan dengan cara tertentu (Sanderson, 1995).


(11)

Berdasarkan data dari informan dapat dilihat bahwa rata-rata petani bertempat tinggal di Susuk 5 (lima) yaitu sebanyak 57 petani. Pada tahun 2008 saat data tersebut di buat, semua petani yang tertera masih mengelola lahan pertanian. Namun pada saat melakukan wawancara dengan ketua Kelompok Tani, didapati data bahwa petani yang masih terus bertani hanya tinggal 26 petani.

Hal ini disebabkan karena lahan milik 31 petani lagi sudah ditimbun untuk dijadikan bangunan kompleks perumahan. Hampir semua petani yang bertani di Kampung Susuk merupakan petani penyewa. Dari data di atas, hanya 2 (dua) orang petani yang mengelola lahan sendiri yaitu : Jenda Ngenda dan Prorama Ginting. Selebihnya, lahan yang dikelola petani bukanlah milik sendiri melainkan disewa dari PT IRA (BUMI MANSUR) dan pemilik yang lainnya. Pada umumnya lahan yang dikelola petani tidak terlalu luas.

Seorang ketua Kelompok Tani yaitu bapak A.P. (65 tahun) menjelaskan bahwa :

“ . . . kalau disini dek bisa kita hitungnya berapa tahun lagi sawah disini ada. Abis itu rata ini semua nanti dibangun gedung-gedung perkantoran sama perumahan. Karena petani pun nanam padi bukannya banyak kali untungnya. Memang lebih bagus lagi dijual tanahnya itu kalau memang lahannya itu punya dia kan . . .”

Menurut Lenski (dalam Sanderson, 1995) Sumber daya alam, dalam hal ini adalah lahan pertanian berada dalam bentangan tanah yang terus akan mengalami desakkan seiring dengan bertambahnya penduduk dimana masyarakat sebagai


(12)

pengelola lahan. Desakan itu terkait dengan kebutuhan hidup manusia itu sendiri apakah karena bertambahnya penduduk maka diperlukan lahan untuk pemukiman, pertambahan lahan untuk perkantoran atau pemanfaatan lain dalam rangka keberlangsungan hidupnya. Di samping karena ada kebutuhan masyarakat juga ada kepentingan lain yakni dari sudut pandang para pengusaha.

Rata-rata petani hanya mengelola sawah seluas 0,76 Ha. Sistem sewa lahan di Kampung Susuk yaitu setiap kali panen petani harus membayar 10 kaleng padi per seribu meter tanah dan biasanya 10 kaleng padi tersebut dibayar dalam bentuk uang. Namun demikian, adakalanya biaya sewa lahan disesuaikan dengan kondisi hasil panen petani. Jika hasil penen petani tidak terlalu bagus (gagal panen), maka pihak penyewa tanah memberikan keringanan kepada petani.

3.1.2. Sejarah Pertanian Kampung Susuk

Berdasarkan pembagian tanah yang telah dilakukan oleh 50 KK maka kegiatan yang dilakukan selanjutnya adalah pengolahan tanah menjadi lahan persawahan (tingkat penyerapan air yang tinggi), topografinya datar dan berada di daerah aliran sungai. Faktor-faktor yang mendukung areal Kampung Susuk menjadi lahan persawahan diantaranya adalah bulan basah yang lebih banyak dibandingkan bulan kering, kondisi tanah yang lembab Tahun 1950-1952 pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan sistem manual (tenaga manusia) dan jenis tanaman berupa padi darat.


(13)

Tahun 1953-1968 pengolahan sawah sudah dibantu dengan irigasi (tali air) dan membajak menggunakan tenaga hewan (sapi). Irigasi ini berasal dari sungai Bekala yang berada di Simpang Kuala. Namun, pada tahun 1968, ditemukan adanya ledakan yang menyebabkan pecahnya areal pembuangan. Masyarakat mengantisipasi kebocoran tersebut dengan membuat “rocok” atau patok dan penimbunan dengan tanah. Akan tetapi, hal ini tidak bertahan lama karena adanya peluapan air sungai dan menghanyutkan patok dan timbunan tanah. Tahun 1970 pemerintah Kota Medan tidak menghendaki adanya areal persawahan sehingga masyarakat mengubah sistem pertanian menjadi sawah tadah hujan.

Masing-masing KK membentuk cetakan sawah berupa galangan-galangan sawah dengan tujuan untuk menutupi parit-parit aliran air yang dahulu digunakan pada areal perkebunan tembakau. Jenis padi yang digunakan adalah padi lokal yaitu

padi anak bado” dan “padi simbo”. Petani Kampung Susuk dahulu menggunakan

sistem gotong-royong yang dinamakan “aron” dengan jumlah anggota 8-10 orang per kelompok gotong royong. Seiring dengan perkembangan zaman terjadi pengalihan fungsi lahan menjadi lahan pemukiman dan perkebunan sawit di sekitar persawahan. Hal ini berdampak terhadap hasil pertanian sawah petani karena adanya hama pengganggu yaitu tikus yang berasal dari areal perkebunan sawit.

Selain varietas tanaman padi, masyarakat Kampung Susuk juga pernah mencoba menanam tanaman palawija berupa kacang hijau, kacang tanah, akcang kedelai, dan jagung. Namun, kondisi tanah yang lembab (tingkat penyerapan air tinggi) menyebabkan jenis-jenis tanaman ini tidak dapat hidup di lahan tersebut. Hal


(14)

ini disebabkan karena tingkat penyerapan air yang tinggi oleh tanah sehingga terjadi pembusukan akar.

3.1.2. Organisasi Di Bidang Pertanian

Organisasi pertanian/Kelompok Tani pertama kali dibentuk pada tahun 1975. Organisasi ini didirikan oleh walikota di bawah Dinas Pertanian Tingkat I dan II. Adapun kegiatan yang dilakukan berupa kelompok tani nelayan, kelompok tani unggas, kelompok tani hewan dan kelompok tani pangan. Pada tahun 1976 juga dibentuk koperasi masyarakat dengan nama “Loh Ji Nawi”. Namun tidak berfungsi dengan baik karena saham dari anggota tidak berjalan, kurangnya keterlibatan anggota yang dilihat dari kurangnya partisipasi dalam rapat-rapat yang diadakan oleh pengurus koperasi. Kegiatan dari koperasi ini meliputi penerapan tanggal pembibitan dan penanaman secara serentak.

Petani di Kampung Susuk memiliki suatu perkumpulan yaitu Kelompok Tani Harapan yang diketuai oleh Bapak Purba hingga tahun 1997. Kemudian kelompok tani ini berganti nama menjadi Kelompok Tani Mulia dan diketuai oleh Ibu Sabarmin Bangun. Namun, pada saat ini kelompok tani ini kurang berjalan dengan baik. Ketua kelompok tani selalu aktif mendata setiap perubahan luas lahan, jenis tanaman pada petani dan setiap kebutuhan akan pupuk yang nantinya akan dibuat dalam Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK).

Praktek Penyuluh Lapangan (PPL) bersama dengan Ketua Kelompok Tani bekerjasama dan sejalan untuk membantu petani untuk memberikan


(15)

penyuluhan-penyuluhan pertanian kepada masyarakat Kampung Susuk. Adapun kegiatan PPL adalah meninjau kegiatan bertani secara langsung ke persawahan dan membicarakan tentang gangguan dan serangan hama serta gangguan-gangguan pertanian lainnya. Setelah itu, PPL akan memberikan penyuluhan untuk membantu masyarakat dalam mengatasi gangguan-gangguan tersebut. Namun, kegiatan PPL saat ini tidak semaksimal dahulu karena kegiatan penyuluhan dan peninjauan secara langsung ke lapangan tidak lagi dilakukan.

3.2. Kehidupan Tukang Becak

Penduduk daerah Kampung Susuk mayoritas bekerja sebagai tukang becak dan buruh tani. Dikatakan tukang becak karena bila memasuki daerah lokasi daerah Kampung Susuk maka akan langsumg menemukan pangkalan tukang becak yang sedang menunggu sewa di sekitar areal pinggiran jalan. Lain halnya dengan buruh tani, karena daerah Kampung Susuk adalah daerah persawahan walaupun sawah tersebut mereka garap dan menyewa dari orang lain, bukan milik sendiri lagi.

Banyak para pegawai swasta/negeri yang merangkap juga sebagai buruh tani. Selain sawah, ada juga ladang yang mereka garap untuk menanam tanaman jagung, cabai, terong, tebu, singkong, ubi jalar, dan lain sebagainya. Jadi bila memasuki wilayah daerah Kampung Susuk maka akan terlihat seakan-akan berada di daerah pedesaan, karena masih banyak yang menggarap sawah yang merupakan salah satu dari mata pencaharian bagi mereka.


(16)

Lain halnya dengan tukang becak, masyarakat setempat dalam hal ini suku bangsa Karo sebagai masyarakat asli di sini mempunyai aturan dalam menarik becak. Banyaknya para pendatang dari berbagai suku bangsa yang datang dan tinggal di daerah Kampung Susuk membuat mereka juga mencari pekerjaan yang serupa dengan masyarakat setempat. Aturan tersebut bersifat uname law (hukum tak tertulis) bersifat lisan, namun sanksinya sangat berat bila tidak mematuhi peraturan tersebut.

Salah seorang informan yang bernama Feri Andani Zebua (40 tahun) menjelaskan bahwa :

“ . . . aturan yang selama ini ada mau tidak mau harus diikuti oleh kami tukang becak dari Nias. Karena kalau kami tidak mau nurutin aturan yang ada di sini, bisa bahaya nanti . . .”

Aturan tersebut adalah bahwa setiap suku bangsa di luar suku bangsa Karo seperti Nias, Toba, Jawa hanya mempunyai wilayah tarikan di daerah tembok dekat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan di pintu gerbang 4 (empat) USU. Sedangkan suku bangsa Karo boleh bebas mengambil sewa dari wilayah USU. Termasuk wilayah yang ramai, seperti daerah Sumber.

Menurut Coombe (1995) hal tersebut merupakan fenomena penerapan hukum dalam sebuah hubungan kemasyarakatan, dimana ia menjelaskan bahwa :

“ . . . Scholars of law and society have long argued for new paradigms for imagining relationships between law and society, including the necessity to stop conceiving these terms as separate entities that require the expo- sition of relationship as the adequate term of address . . . ”


(17)

Coombe menjelaskan bahwa secara sadar ataupun tidak masyarakat telah membuat aturannya sendiri untuk menjaga kestabilan hubungan antar mereka. Konsep unname law yang terjadi pada masyarakat yang bekerja sebagai tukang becak tersebut merupakan perwujudannya.

Sanksi yang akan digunakan, apabila seseorang tidak menaati peraturan tersebut mereka akan dipukuli, dicaci, diusir dari wilayah Kampung Susuk bila mereka pendatang dan tinggal di daerah tersebut. Ada yang menarik dari peraturan

uname law disini bahwa mereka boleh menarik dari wilayah mana saja seperti

layaknya suku bangsa Karo, apabila mereka menyewa becak mesin suku bangsa Karo. Dari aturan seperti ini terlihat adanya kekuasaan mayoritas kepada minoritas dalam hal ini kekuasaan dalam wilayah mata pencaharian.

Hal tersebut juga dibenarkan oleh informan yang bernama bapak Ginting (40 tahun) yang sudah menarik becak selama 5 tahun. Beliau mengatakan bahwa :

“ . . . aturan itu udah dibikin sejak dulu, karena kalau tidak dibikin begitu pasti penarik becak yang orang Karo berkurang penghasilannya. Karena semakin banyak orang Nias ini yang datang narik becak. Karena kita disini sama-sama nyari nafkah istilahnya, dan kami orang Karo pun orang asli di sini, jadi kami buat lah peraturan itu untuk menjaga biar tidak konflik sesame tukang becak ini . . .”

Aturan tersebut suka tidak suka harus ditaati dan biasanya suku bangsa Nias mentaati hal tersebut. Mereka sadar mereka di sini hanyalah pendatang oleh karena itu, mereka sadar akan status mereka di Kota Medan. Penghasilan yang mereka terima bila mempunyai becak sendiri dalam satu harinya adalah Rp.40.000,-/hari


(18)

sudah termasuk bensin dan lain sebagainya. Lain halnya dengan penghasilan yang menyewa dari orang dan tergantung dari warna plat nomor becak sewaan tersebut.

Jika plat nomer becak warna kuning dikenakan sebesar Rp.25.000,-/hari kepada penyewa dan Rp.20.000,-/hari bila becaknya berplat hitam. Perbedaan tersebut dikarenakan oleh jenis warna plat yang dipakai. Bila warna kuning daerah wilayah tarikannya bisa sampai jalan besar/raya dan sebaliknya untuk becak berplat hitam. Jadi tidak heran bila uang setorannya berbeda karena wilayah tarikannya juga berbeda.

Gambar 3 : Penarik Becak Di Kampung Susuk

Sumber : Peneliti

Aturan-aturan tersebut suku bangsa Nias taati sebagai pola adaptasi mereka dalam memperoleh sumber-sumber ataupun akses-akses. Biasanya dalam pekerjaan


(19)

menarik becak suku bangsa Nias lebih akrab dengan suku bangsa Batak Toba yang lebih sepaham dan asyik diajak untuk kerja sama. Adanya rasa kebersamaan mereka dalam menarik becak, menunggu sewa dan lain sebagainya.

Bila dibandingkan dengan suku bangsa Karo bisa dihitung dengan jari kedekatan antara suku bangsa Karo dengan suku bangsa Nias. Adanya masalah sejarah hidup antara suku bangsa Karo dengan suku bangsa Nias yang membuat mereka tidak bebas untuk berinteraksi maupun dalam hal kerjasama. Itu diakibatkan oleh adanya kekuasaan dalam berinteraksi, jenis mata pencaharian dan lain sebagainya.

Kekuasaan dalam hal mata pencaharian memang sangat menonjol sekali di daerah Kampung Susuk. Suku bangsa Nias memilih mata pencaharian tukang becak diakibatkan sempit atau tertutupnya akses mereka untuk dapat memiilih mata pencaharian di bidang informal lainnya. Dalam mata pencaharian selain para suami, sebagian isteri juga ikut membantu dan anak-anakpun juga mempunyai andil besar dalam membantu perekonomian dalam keluarga.

Banyak para anak-anak suku bangsa Nias membantu para orang tuanya dengan cara mengamen di sekitar wilayah kampus USU. Selain daripada mengamen mereka juga ada yang berprofesi sebagai penyemir sepatu dan lain-lainnya.

3.3. Perkembangan Usaha Kos-Kosan di Kampung Susuk

Kegiatan bisnis merupakan salah satu kegiatan yang umum dilakukan setiap individu, karena dengan berbisnis dapat menghasilkan uang yang diperlukan setiap


(20)

individu untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Dalam melakukan kegiatan bisnis, tiap individu dapat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk berbisnis demi memperoleh keuntungan, termasuk memanfaatkan rumah menjadi lahan bisnis, seperti rumah kost atau yang disebut juga Indekost untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal sementara bagi konsumennya.

Kost atau indekost adalah sebuah jasa yang menawarkan sebuah kamar atau tempat untuk ditinggali dengan sejumlah pembayaran tertentu untuk setiap periode tertentu (umumnya pembayaran per bulan). Kata "kost" sebenarnya adalah turunan dari frasa bahasa Belanda "In de kost". Definisi "In de kost" sebenarnya adalah "makan di dalam" namun bila frasa tersebut dijabarkan lebih lanjut dapat pula berarti "tinggal dan ikut makan" di dalam rumah tempat menumpang tinggal. (id.wikipedia.org/wiki/Indekost)

Menurut kamus besar bahasa indonesia, indekos adalah tinggal di rumah orang lain dengan atau tanpa makan (dengan membayar setiap bulan); memondok. Usaha rumah kost umumnya banyak ditemukan di daerah yang berdekatan dengan pusat kegiatan rutinitas, salah satunya di lingkungan Kampung Susuk sekitar Universitas Sumatera Utara (USU). Karena rumah kost adalah kebutuhan tersendiri bagi mahasiswa USU, maupun mahasiswa universitas lain, bahkan karyawan-karyawan yang bekerja di daerah berdekatan dengan lokasi tersebut. Hal ini membuat permintaan konsumen meningkat sehingga pertumbuhan jumlah usaha rumah kost di daerah tersebut juga meningkat.


(21)

Mahasiswa banyak yang memilih menjadi anak kos disebabkan oleh jarak yang begitu jauh antara keberadaan rumah tempat tinggalnya dengan universitas/kampus tempat dia menempuh pendidikan. Kemudian ada juga faktor keinginan untuk mandiri, rasa ingin bebas tanpa terikat dengan keluarga di rumahnya membuat mahasiswa memutuskan untuk hidup menjadi anak kos. Kebanyakan mahasiswa yang menjadi anak kos ini berasal dari luar kota dan luar daerah.

Hal itulah yang membuat keberadaan anak kos semakin menjamur, terutama pada kawasan disekitar universitas/kampus. Pada kawasan di lingkungan universitas ini lah banyak dijumpai tempat-tempat kos seperti rumah yang disewakan atau dikontrakkan, kamar-kamar kos dan ada juga keluarga yang menyisakan sebagian dari ruang rumahnya untuk disewakan pada anak kos. Mahasiswa pun memiliki banyak pilihan untuk menempati tempat kos sesuai keinginan dan kemampuan ekonomi mereka.

Seorang informan peneliti yang merupakan pemilik kos-kosan di Kampung Susuk yang bernama ibu Heni (34 tahun) menjelaskan bahwa :

“ . . . di Kampung Susuk ini sudah hampir semuanya jadi rumah kos atau pun tempat usaha lainnya. Karena kan masyarakat melihat kalau usaha kos-kosan ini sangat menjanjikan, karena ada USU di samping ini. Jadi otomatis banyak mahasiswa rantau yang butuh tempat tinggal, jadi penduduk sini pun berlomba-lomba lah membangun tempat kos-kosan . . .”

Pada awalnya, usaha rumah kost dipandang sebagai usaha sampingan dimana rumah yang dihuni memiliki beberapa kamar kosong untuk di sewakan. Namun,


(22)

seiring perkembangan zaman dan permintaan yang meningkat, usaha ini kebanyakan menjadi rumah yang khusus dibangun seluruhnya untuk dijadikan kamar-kamar yang nantinya untuk disewakan. Sehingga membuat usaha ini menjadi lebih memiliki prospek penghasilan yang cukup tinggi.

Pengelolaan yang baik pada usaha ini dapat menciptakan suatu usaha bisnis yang berprofitabilitas cukup tinggi, untuk itu perlu diadakannya suatu pengembangan strategi bisnis demi terciptanya hal tersebut. Karena dengan pengelolaan yang baik pada usaha rumah kost ini, dapat meningkatkan pendapatan usaha tersebut. Berdasarkan pengamatan, penulis mencoba untuk mengelompokkan suatu klasifikasi dari usaha rumah kost yang ada di daerah Padang Bulan. Ada pun tujuan penulis dalam pengelompokkan tersebut untuk dapat menganalisa jenis-jenis dari usaha rumah kost yang ada di sekitar daerah tersebut.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mahasiswa dalam memilih kost-kostan adalah desain bangunan, harga sewa, lokasi, fasilias, dan lainnya. Namun faktor yang paling menonjol pada rumah kost yang ada di Kampung Susuk adalah harga sewa yang ditawarkan, diikuti dengan fasilitas yang merupakan faktor yang juga berperan dalam mengelompokkan rumah kost ini. Sehingga faktor-faktor ini digunakan untuk mengklasifikasikan usaha rumah kost, diklasifikasikan sebagai berikut:


(23)

Tabel 11 : Klasifikasi Harga Sewa Rumah Kos

Klasifikasi Usaha rumah kost di Kampung Susuk No. Type Harga Sewa/Bulan Fasilitas Secara Umum

1. Kelas A >Rp.800.000 TV, Meja, Kursi, Lemari, Kasur, AC, Kamar Mandi dalam, Lap. Parkir, CCTV, WiFi, Satpam, Cleaning service, WC/Kamar Mandi Umum, dll.

2. Kelas B Rp.400.000 S/d Rp.800.000

TV, Meja, Kursi, Lemari, Kasur, AC, Kamar Mandi dalam, Lap. Parkir, CCTV, WiFi, Satpam, Cleaning service, WC/Kamar Mandi Umum, dll.

3. Kelas C <Rp.400.000 WC, Kamar Mandi Bersama Sumber : Peneliti

Sesuai dengan tabel diatas, maka dapat dilihat bahwa Kelas A merupakan usaha kost yang harga sewanya tertinggi yaitu lebih dari Rp.800.000/bulan, harga tersebut diikuti dengan fasilitas yg disediakan seperti; TV, meja, kursi, lemari, kasur, AC, kamar mandi didalam kamar yang disewakan. dan memiliki sarana umum, seperti; lapangan parkir, CCTV, WiFi, satpam, cleaning service, dan lainnya di dalam usaha rumah kostnya. Kemudian pada Kelas B, harga sewa yang ditawarkan lebih rendah dari Kelas A. Sedangkan pada Kelas C, memiliki harga sewa paling rendah yaitu kurang dari Rp. 400.000/bulan, diikuti dengan menyediakan kamar kosong tanpa fasilitas kamar dan memiliki sarana umum berupa WC/kamar mandi umum.

Harga-harga sewa yang tertera pada tiap Kelas pada tabel di atas diperhitungkan dalam jangka waktu bulanan. Adapun klasifikasi ini dipertimbangkan dengan diadakannya pengamatan ke beberapa usaha kost di daerah Kampung Susuk,


(24)

kecamatan Medan Selayang, Medan. Tetapi pada kenyataannya cukup banyak pengusaha rumah kost yang berada di daerah sekitar USU kurang memperdulikan masalah pengelolaan yang lebih lanjut untuk mengembangkan usahanya tersebut, sehingga membuat usahanya tertinggal dari pesaingnya.

Sama halnya dalam kasus ini, beberapa usaha rumah kost yang berada di daerah kelurahan Padang Bulan. Banyak dari mereka yang telah cukup lama bergelut dibidang usaha ini, namun tidak melakukan pengembangan terhadap usahanya tersebut. Sehingga usahanya ini memperoleh pendapatan yang sama pada tiap periodenya, dan melewatkan kesempatan untuk menigkatkan pendapatan dari usaha yang berprospek cukup tinggi ini. Oleh karena itu, banyak rumah kost yang berada di daerah kelurahan Padang Bulan masih berada dalam Kelas C.

Di sisi lain telah muncul beberapa usaha rumah kost besar yang didirikan oleh pemilik modal yang besar. Keberadaan rumah kost baru, menjadi pesaing dalam mendapatkan sewa bagi para pengusaha rumah kost kecil yang berada di daerah tersebut. Sehingga dengan begitu usaha rumah kost di Kampung Susuk yang masih berada di Kelas C perlu mengembangkan strategi bisnis, untuk meningkatkan daya saingnya. Sehingga untuk meningkatkannya, perlu dilakukan pengembangan usaha pada masing-masing usaha rumah kost Kelas C tersebut.

Namun, jika dalam pengembangan atau pun pengelolaan usaha tersebut tidak dikelola dengan baik, maka akan berdampak buruk bagi usahanya di masa yang akan datang. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan pengembangan juga pada strategi bisnisnya agar pengembangan usaha yang dilakukan berjalan sukses. Kebanyakan


(25)

Mahasiswa yang memilih untuk bertempat tinggal atau menyewa kamar atau rumah di daerah Kampung Susuk berdekatan dengan kampus dan lebih mudah dijangkau.

Alasan pemilihan tempat kos bagi kebanyakan orang disekitar wilayah kampus adalah karena masalah biaya, ongkos dan jarak. Jarak yang dekat antara tempat kampus dengan kampus tentu menghemat biaya dan hemat ongkos transportasi. Ada juga mahasiswa yang tinggal di kos-kosan karena tempat tinggalnya yang sangat berjauhan dari kampus sehingga mengharuskan mereka untuk tinggal di kos-kosan. Dalam hal ini orang tua mereka memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada anak-anaknya yang menginginkan untuk tinggal di tempat kos, akan tetapi sering kepercayaan yang diberikan oleh orang tua tersebut telah disalahgunakan oleh mereka (mahasiswa).

Namun bagi mahasiswa yang asalnya dari luar kota atau kampung yang memilih tinggal di tempat kos cenderung lebih mudah terpengaruh dengan gaya hidup masyarakat kota, misalnya saja dari cara berpakaian orang kota yang cenderung mengenakan busana-busana seksi dan memiliki alat-alat tekhnologi canggih dan modern sehingga membuat kebiasaannya pun ikut berubah termasuk pola pikir mahasiswa tersebut. Dalam kesehari-hariannya mahasiswa yang tinggal di kos, setelah selesai kuliah dari kampus mereka tidak langsung pulang ke rumah melainkan mereka pergi menyempatkan diri untuk bergabung bersama teman-temannya di suatu tempat seperti nongkrong di kantin dan diluar kampus misalnya di mall, café-café dan lain-lain. Mereka bisa tertawa bersama hingga larut malam.


(26)

Mereka justru lebih senang menghabiskan waktunya untuk berkumpul-kumpul di kos temannya sendiri. Hal ini yang sering peneliti perhatikan kesehari-harian anak kos yang ada di Kampung Susuk. Lingkungan merupakan situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama atau kesadaran beragama individu. Karena dari sinilah kepribadian individu dapat terbentuk, dan mahasiswa dapat menentukan mana lingkungan yang baik sebagai tempat bergaul atau bersosialisasi dengan masyarakat, sehingga mahasiswa mempunyai pegangan agar tidak terbawa arus kedalam pergaulan bebas (Abu Ahmadi, 1979 : 122 ).

3.4. Banyaknya Usaha Laundry Dalam Melihat Peluang Bisnis Di Kampung Susuk

Kemajuan teknologi juga memberikan pengaruh terhadap gaya hidup masyarakat sekarang terutama di kota besar yang mana masyarakat menginginkan agar semua hal yang dilakukan serba praktis dan cepat. Sama halnya dengan mahasiswa yang disibukkan dengan kegiatan perkuliahan mereka yang menuntut mereka terkadang tidak dapat membagi waktu antara pekerjaan kampus dengan pekerjaan rumah. Perubahan gaya hidup yang demikian menyebabkan adanya tuntutan kepraktisan dalam menjawab kebutuhan pribadi mereka, misalnya dalam hal mencuci pakaian dan menyetrika.

Dalam hal ini dengan adanya berbagai macam masalah tersebut, maka perlahan-lahan mulai berkembanglah suatu pelayanan jasa yang memberikan kemudahan dalam hal pencucian pakaian, yang disebut dengan Jasa Laundry.


(27)

Bisnis ini biasanya menjamur di daerah yang banyak terdapat kos-kosan atau rumah kontrakan, dimana penyewa kos atau kontrakan tak sempat atau tak bisa melakukan cuci dan setrika baju sendiri. Dalam penelitian ini usaha laundry ini menjamur di daerah Kampung Susuk.

Gambar 4 : Salah Satu Tempat Usaha Laundry di Kampung Susuk

Sumber : Peneliti

Keberadaan jasa laundry bagi masyarakat dinamis di perkotaan terutama di daerah kontrakan atau kos-kosan sudah merupakan gaya hidup tersendiri, bukan karena malas tetapi mereka memprioritaskan mana yang bisa didelegasikan dan mana yang bisa mereka lakukan sendiri karena faktor tenaga, waktu dan tuntutan hidup. Kota Medan khususnya kawasan Universitas Sumatera utara banyak sekali dihuni oleh mahasiswa yang tentunya sibuk dengan aktifitas masing-masing sehingga tidak


(28)

memiliki waktu yang cukup untuk mencuci pakaian mereka, ditambah lagi dengan kondisi cuaca saat ini yang sering hujan, mengakibatkan pakaian lebih mudah menjadi kotor sehingga mencuci pakaian secara manual akan sulit menjadi kering karena tidak adanya sinar matahari.

Melihat fenomena ini maka banyak pengusaha mulai melirik usaha laundry karena diharapkan dapat memberikan keuntungan serta tingkat pengembalian modal yang tinggi. Maka tidak salah apabila laudry merupakan salah satu bisnis jasa yang pasti akan terus berkembang. Tidak hanya di Medan, di kota-kota besar lainnya pun, pasarnya cukup menggiurkan. Di Jogjakarta misalnya yang tercatat memiliki 300.000 mahasiswa dan pelajar, konon bisa menghasilkan perputaran omset tidak kurang dari Rp 1,5 miliar per bulan dan ini hanya dinikmati 300-an laundry.

Secara garis besar, saat ini berkembang dua jenis binatu berdasarkan model penghitungan biaya. Hal yang terlebih dahulu ada yakni berdasarkan jumlah pakaian per potong, kemudian menyusul model laundry dengan mengitung berat cucian atau laundry kiloan yang belakangan mulai marak. Usaha laundry sebagai alternative mencuci bagi mahasiswa, membuat bisnis ini cukup menjanjikan.

Hampir tiap tempat di daerah Medan khususnya sekitar kampus Universitas Sumatera Utara banyak berdiri usaha-usaha mandiri jasa laundry. Karena teramat banyak nya bisnis ini, hingga konsumen pun di hadirkan dengan banyak pilihan. Apalagi konsumen dari kalangan mahasiwa yang tentu nya mencari harga jasa yang terjangkau bagi kantongnya. Pilihan-pilihan yang ditawarkan antara lain, Misalnya dari harga terjangkau, paket cepat dalam penyelesaian cucian, antar jemput laundry


(29)

hingga kebersihan nya. Banyak laundry yang telah ada sekarang ini, menggunakan cuci mesin. Hal ini di karenakan lebih efisien, lebih cepat, dan tidak memakan banyak tenaga.

Usaha laundry di daerah Universitas Sumatera Utara terutama di Kampung Susuk sangat menjanjikan, namun tidak jarang para pengusaha laundry juga menghadapi hambatan dalam menjalani usaha mereka. Seperti banyaknya kompetitor atau pesaing yang sudah membuka usaha serupa serta waktu yang lebih cepat dalam pengerjaan yang diminta oleh konsumen dan lain sebagainya. Dari gambaran di atas, dapat kita lihat bahwa trend mencuci di laundry sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat, selain dapat meringankan pekerjaan cuci dan setrika, usaha laundry juga memberikan kualitas yang baik dengan harga terjangkau.

3.5. Warkop (Warung Kopi) Sebagai Wadah Pergaulan Masyarakat Kampung Susuk

Warung kopi bagi masyarakat di Medan khususnya di Kampung Susuk merupakan tempat dimana masyarakat berkumpul untuk sekedar melepas lelah, tempat mengawali hari sebelum melaksanakan aktivitas rutin, atau menghabiskan waktu yang dianggap bermanfaat dibandingkan melakukan kegiatan seperti tidur, jalan-jalan tanpa tujuan dan sebagainya. Kebiasaan masyarakat Kampung Susuk yang sering berada di warung kopi menimbulkan opini negatif dari kebanyakan orang ada di Kampung Susuk khususnya kaum perempuan dalam hal ini mahasiswi yang tinggal di Kampung Susuk tersebut.


(30)

Dalam hal ini peneliti mencoba untuk datang langsung dan mengamati sambil menghabiskan waktu di warung kopi melihat bahwa aktifitas di warung kopi merupakan sebuah dinamika yang menjelaskan bahwa disana telah terbentuk berbagai opini publik, salah satunya adalah aktifitas warung kopi terhadap masyarakat di Kampung Susuk. Warung kopi merujuk kepada sebuah organisasi yang secara pokok menyediakan kopi atau minuman panas lainnya. Dari suatu pengamatan langsung, warung kopi banyak memberikan layanan sebagai pusat-pusat interaksi sosial, warung kopi dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berkumpul, berbicara, bermain, menghibur satu sama lain, atau membuang waktu, baik secara individu atau dalam kelompok kecil. Bahkan warung kopi menjadi tempat tidur yang nyaman bagi pengunjungnya. Ngopi adalah ungkapan terhadap orang yang ingin menikmati kopi atau minuman lainnya atau sekedar duduk-duduk diwarung kopi dan mengobrol sesama pengunjung warung kopi.

Melihat kejadian yang ada di warung kopi kini muncul menjadi sebuah identitas yang melekat bagi para penikmatnya, tidak hanya tingkat kenikmatan semata, gaya hidup dan gaya yang khas, tetapi kini fungsinya semakin mendapatkan hati masyarakat. Selain terjangkau harganya, nilai yang nyata di warung kopi juga menjadi hiburan yang tak tergantikan dari kehidupan masyarakat. Bukan hanya di Simalingkar saja warung kopi dijadikan sebagai wadah atau tempat yang nyaman selain rumah untuk berkomunikasi, bersenang-senang, santai ataupun beristirahat sejenak.


(31)

Di lain daerah di kota Medan juga memiliki penilaian tersendiri terhadap warung kopi bahkan di daerah Indonesia lainnya. Warung kopi menjadi tanda yang mengukuhkan keberadaan baru bagi masyarakat, melalui bertemunya beragam orang, suku, agama, lembaga, status sosial dan bahkan identitas yang multikultur. Dalam pandangan yang lebih luas, warung kopi juga bagian dari subkultur yang mempertemukan berbagai budaya dan identitas baru. Tetapi ngopi juga bukan sekadar soal keakraban, didalamnya kerap terjadi pertukaran informasi, wacana, dan pengembangan wawasan, bahkan hiburan sekalipun.

Pada awalnya ngopi “hanyalah aktifitas mengisi waktu luang dan tempat untuk istirahat dari kepenatan”. Namun, perkembangannya kini warung kopi menjadi sebuah tempat yang penting untuk menghabiskan waktu luang maupun waktu beraktifitas sehari-hari. Dari berbagai suku yang berbeda warung kopi memiliki peran yang benar-benar memberikan ruang untuk berkreasi, berdiskusi, hiburan walaupun muncul konflik–konflik kecil didalamnya. Tetapi dalam beberapa hal, warung kopi juga didirikan dengan latar belakang yang berbeda.

Lebih jauh lagi, aktifitas warung kopi ini, membentuk kultur dan kebiasaan baru dalam berbagai sektor kehidupan, misalnya ekonomi dan sosial. Bagi sebagian pecinta kopi, menikmati secangkir kopi mungkin hal yang biasa dilakukan di waktu senggang dan bisa dilakukan dimana saja. Namun bagi kalangan tertentu menikmati kopi bukan hanya bagaimana merasakan sensasi manis dan pahit, tetapi bagaimana muatan yang menyertai aktifitas itulah yang akan berdampak lebih luas. Misalnya para eksekutif muda akan menikmati secangkir kopi dengan menjalankan aktifitas


(32)

dengan relasi bisnisnya. Begitu juga dengan mahasiswa, menikmati secangkir kopi hanya bermakna jika dilakukan di warung kopi yang diselingi dengan diskusi kecil. Orang tua sekalipun menjadikan warung kopi salah satu daya tarik yang tidak lepas dari kehidupan sehari-hari bahkan warung kopi menjadi rumah kedua bagi mereka.

Penikmat kopi juga beragam, mulai dari buruh bangunan hingga para pejabat. Tidak ada sekat dalam hal siapa peminat kopi. Ini membuktikan bahwa warung kopi mempunyai potensi kultural yang dapat menggiring masyarakat ke arah pembauran sosial. Ini tidak lepas dari salah satu manfaat warung kopi yaitu sebagai tempat menemukan ide dan gagasan. Bahkan, bagi para penikmat kopi, warung kopi adalah sumber informasi dan inspirasi.

Bagi pecinta kopi, menikmati kopi dengan racikan sendiri di rumah atau di tempat kerja akan terasa berbeda ketika mereka menikmati kopi di warung kopi. Entah karena racikannya atau suasananya, kita tidak tahu. Tetapi kemungkinan, faktor kejadian ini adalah bagaimana situasi dan kondisi dalam menikmati kopi mempengaruhi rasa dalam ngopi itu sendiri. Dan yang aneh lagi adalah masing-masing warung kopi memiliki kekhasan rasa tersendiri yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.

Berangkat dari realitas itulah, kebiasaan ngopi bagi masyarakat Indonesia bukanlah menjadi sebuah realitas yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Akan tetapi, lebih dari itu ngopi menjadi sebuah gaya hidup (life style) masyarakat. Kebiasaan masyarakat yang seiring waktu telah berubah menjadi kebutuhan masyarakat inilah yang nantinya bisa menjadi sebuah subkultur tersendiri di


(33)

masyarakat Indonesia. Apalagi interaksi sosial yang terjadi di warung kopi membuat suasana menjadi hidup dan malahan membuat betah meskipun terjadi konflik kecil yang mewarnai aktifitas yang ada di warung kopi . Dari obrolan kecil hingga obrolan yang memanas kerap terjadi di warung kopi . Permainan kartu dan catur menjadi hiburan tersendiri bagi penikmat warung kopi untuk mengisi kekosongan. Bahkan tidak jarang orang yang baru pulang kerja menyempatkan waktu nya terlebih dahulu di warung kopi hanya sekedar minum kopi dan ngobrol sesama pengunjung.

Hal yang tak kalah menariknya yaitu keberadaan warung kopi secara tidak langsung mempunyai efek terhadap kegiatan masyarakat di suatu tempat, misalnya dalam hal etos kerja . Memang bila di kaji lebih jauh, tinggi rendahnya etos kerja masyarakat ditentukan oleh pribadi demi pribadi dari masyarakat tersebut. Namun, jika kita mau jujur, keberadaaan warung kopi bagi sebahagian masyarakat akan berakibat turunnya etos kerja. Selain sisi negatifnya, warung kopi juga mempunyai sisi positif. Banyak contoh yang bisa diurutkan sebagai sisi positif warung kopi. Program pemerintah, obrolan politik, obrolan ekonomi, dan sosial dijadikan bahan obrolan dan perdebatan di warung kopi .

Warung kopi pada dasarnya adalah tempat dimana penjual minuman kopi dan pembeli minuman kopi ataupun sesama pembeli minuman kopi bertemu, bubuk kopi dan gula telah diseduh dan dihidangkan di meja, maka warung kopi memperlihatkan peranan dan fungsinya, bukan hanya sekedar mendapatkan segelas kopi yang harganya tiga ribu sampai enam ribu rupiah per gelas . Tetapi juga sebagai suatu


(34)

media interaksi antara sesama pengunjung warung kopi ataupun dengan penjual minuman kopi .

Di pasar atau di toko, penjual dan pembeli ataupun sesama pembeli saling bertemu. Tapi pertemuan dan interaksi berlangsung dalam waktu relatif singkat. Setelah semua selesai belanja dipesan dan dibayar, maka berakhirlah interaksi mereka. Tidak lah demikian halnya dengan di warung kopi, yang antara pembeli dan penjual dan antara sesama pembeli terlibat komunikasi yang relatif panjang, dan bahkan ada kemungkinan perbincangan tersebut terulang lagi untuk esok harinya.

Adanya tenggang waktu yang cukup lama antara penjual dan pembeli dan antara pembeli dan pembeli membuat warung kopi mempunyai keunikan tersendiri. Warung kopi dengan segala kesederhanaannya telah memperlihatkan peranan dan fungsinya sebagai sarana interkasi sosial yang sangat potensial. Fungsi sosial warung kopi sebagai pusat kegiatan ekonomi dapat dilihat dalam perubahan-perubahan yang terjadi dibidang produksi, konsumsi, dan distribusi. Warung kopi dapat juga dikatakan sebagai pusat kebudayaan dalam lingkup yang sederhana, dalam hal ini dapat dilihat pada perubahan-perubahan sosial budaya sebagai akibat dari pembaruan dan pembauran. Dengan demikian terlihat bahwa warung kopi bukan hanya tempat berjual beli semata, namun juga mempunyai fungsi lain bagi masyarakat yang bersangkutan. Alasan-alasan itu lah menjadi daya tarik warung kopi yang begitu mempesona bagi penikmatnya. Dari siang hingga malam warung kopi membuat cerita yang tidak pernah habis untuk di perbincangkan.


(35)

Istilah ruang publik (public space) pernah dilontarkan Lynch Ruang publik diartikan sebagai ruang bagi diskusi kritis yang terbuka bagi semua orang. Pada ruang publik ini, warga privat (private person) berkumpul untuk membentuk sebuah publik dimana nalar publik ini akan diarahkan untuk mengawasi kekuasaan pemerintah dan kekuasaan negara. Ruang publik mengasumsikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Lebih lanjut, ruang publik dalam hal ini terdiri dari media informasi seperti surat kabar dan jurnal. Juga termasuk dalam ruang publik adalah tempat minum dan warung kopi, balai pertemuan, serta ruang publik lain dimana diskusi sosio-politik berlangsung.

Dengan menyebutkan bahwa ruang publik adalah nodes dan landmark yang menjadi alat navigasi didalam kota . Gagasan tentang ruang publik kemudian berkembang secara khusus seiring dengan munculnya kekuatan civil society. Dalam hal ini filsuf Jerman, Jurgen Habermas, dipandang sebagai penggagas munculnya ide ruang publik. Jurgen Habermas memperkenalkan gagasan ruang publik pertama kali melalui bukunya yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere:

an Inquire Into a Category of Bourjuis Society yang diterbitkan sekitar tahun 1989.

Menurut (Koentjaraningrat 1994) masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama.

Dalam menganalisa proses proses interaksi antara individu dalam masyarakat, harus membedakan dua hal yaitu : (1) kontak, dan (2) komunikasi. Kontak antara


(36)

individu juga tidak hanya mungkin pada jarak dekat, misalnya berhadapan muka,namun juga bisa menggunakan alat kebudayaan seperti tulisan,buku ,surat kabar ataupun telepon. Sedangkan komunikasi muncul setelah kontak terjadi (Koentjaraningrat, 2002 : 162).

Sejalan dengan itu Koentjaraningrat memperjelas bahwa (dalam Sartini 2009:30) nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara, alat, dan tujuan pembuatan yang tersedia.

Hal inilah yang peneliti lihat bahwa warung kopi disinyalir sebagai fenomena kultural yang hidup di masyarakat. Fenomena ini sesuai dengan paham budaya yang dikemukakan oleh Spredley (1997) Kebudayaan yang merupakan pengetahuan yang diperoleh dan digunakan manusia untuk menginterpretasikan pengalaman dalam menghadapi dunianya. Di warung kopi merupakan tempat bagi mereka yang berkecimpung disitu sebagai ekspresi dalam menginterpretasi dunia.


(37)

BAB IV

PERKEMBANGAN KAMPUNG SUSUK

4.1. Aspek-Aspek Yang Mendukung Perkembangan Kampung Susuk

Kampung Susuk sebagai daerah yang berada di Kelurahan Tanjung Sari merupakan salah satu daerah yang paling padat jumlah penduduknya di Kecamatan Medan Baru. Perkembangan Kampung Susuk telah mencapai beberapa sektor yakni ekonomi, kependudukan, pendidikan dan sosial budaya. Hal ini tidak terlepas dari beberapa aspek yang mendorongnya. Berikut merupakan beberapa aspek yang mendukung perkembangan Kampung Susuk Tersebut.

4.1.1. Munculnya Kampus USU Dan Pengaruhnya Terhadap Kampung Susuk

Kampus USU merupakan sebuah Universitas Negeri yang berada persis di samping wilayah Kampung Susuk. Berdirinya Kampus USU di samping Kampung Susuk secara drastis menjadi semacam pelecut berkembangnya wilayah Kampung Susuk baik dari segi infrastruktur, kependudukan maupun ekonomi. Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) dimulai dengan berdirinya Yayasan Universitas Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952. Pendirian yayasan ini dipelopori oleh Gubernur Sumatera Utara untuk memenuhi keinginan masyarakat Sumatera Utara khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.


(38)

Pada zaman pendudukan Jepang, beberapa orang terkemuka di Kota Medan termasuk Dr. Pirngadi dan Dr. T. Mansoer membuat rancangan perguruan tinggi Kedokteran. Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah mengangkat Dr. Mohd. Djamil di Bukit Tinggi sebagai ketua panitia. Setelah pemulihan kedaulatan akibat

clash pada tahun 1947, Gubernur Abdul Hakim mengambil inisiatif menganjurkan

kepada rakyat di seluruh Sumatera Utara mengumpulkan uang untuk pendirian sebuah universitas di daerah ini. Pada tanggal 31 Desember 1951 dibentuk panitia persiapan pendirian perguruan tinggi yang diketuai oleh Dr. Soemarsono yang anggotanya terdiri dari Dr. Ahmad Sofian, Ir. Danunagoro dan sekretaris Mr. Djaidin Purba.

Sebagai hasil kerjasama dan bantuan moril dan material dari seluruh masyarakat Sumatera Utara yang pada waktu itu meliputi juga Daerah Istimewa Aceh, pada tanggal 20 Agustus 1952 berhasil didirikan Fakultas Kedokteran di Jalan Seram dengandua puluh tujuh orang mahasiswa diantaranya dua orang wanita. Kemudian disusul dengan berdirinya Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (1954), Fakultas Keguruandan Ilmu Pendidikan (1956),dan Fakultas Pertanian (1956). Pada tanggal 20 November 1957, USU diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Dr. Ir. Soekarno menjadi universitas negeri yang ketujuh di Indonesia.

Pada tahun 1959, dibuka Fakultas Teknik di Medan dan Fakultas Ekonomi di Kutaradja (Banda Aceh) yang diresmikan secara meriah oleh Presiden R.I. kemudian disusul berdirinya Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (1960) di Banda Aceh. Sehingga pada waktu itu, USU terdiri dari lima fakultas di Medan dan dua


(39)

fakultas di Banda Aceh. Selanjutnya menyusul berdirinya Fakultas Kedokteran Gigi (1961), Fakultas Sastra (1965), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (1965),Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (1982), Sekolah Pascasarjana (1992), Fakultas Kesehatan Masyarakat (1993), Fakultas Farmasi (2006), dan Fakultas Psikologi (2007), serta Fakultas Keperawatan (2009).

Pada tahun 2003, USU berubah status dari suatu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi suatu perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Perubahan status USU dari PTN menjadi BHMN merupakan yang kelima di Indonesia. Sebelumnya telah berubah status UI, UGM, ITB dan IPB pada tahun 2000. Setelah USU disusul perubahan status UPI (2004) dan UNAIR (2006).

Kampus USU berlokasi di Padang Bulan, sebuah area yang hijau dan rindang seluas 120 ha yang terletak di tengah Kota Medan. Zona akademik seluas 90 ha menampung hampir seluruh kegiatan perkuliahan dan praktikum mahasiswa. Dari jumlah populasi mahasiswa, karyawan dan dosen ditambah dengan sejarah panjang yang telah dilalui oleh USU tentunya cukup memberikan indikasi bahwa kondisi tersebut seyogyanya akan mempunyai dampak terhadap proses perkembangan wilayah di sekitarnya seperti Kampung Susuk. Sejak didirikan 4 Juni 1952 sampai dengan sekarang, USU adalah merupakan salah satu perguruan tinggi negeri yang menjadi favorit para calon mahasiswa di wilayah Propinsi Sumatera Utara dan sekitarnya.

Selain itu kehadiran suatu institusi atau suatu lembaga pendidikan seperti USU tentu memberikan banyak dampak positif bagi lingkungan sekitarnya. Dampak


(40)

yang dirasakan oleh masyarakat Kampung Susuk selain meningkatnya kualitas SDM, tapi juga adanya multiplier efect dari keberadaan USU terhadap masyarakat sekitarnya. Bentuk multiplier efect keberadaan USU terhadap masyarakat sekitar dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat Kampung Susuk umumnya dan masyarakat yang berdomisili di sekitar USU pada khususnya. Dengan melihat kondisi eksisting wilayah di sekitar kampus USU menunjukkan bahwa beberapa kegiatan ekonomi yang berkembang antara lain adalah unit-unit usaha percetakan, jasa perumahan atau rumah-rumah kos, rumah makan serta jasa-jasa lain.

Hal tersebut pula lah yang terjadi pada masyarakat yang tinggal di Kampung Susuk. Warga masyarakat yang tinggal berdekatan dengan wilayah Kampus USU mengalami dinamika sosial. Dalam sosiologi, dinamika sosial diartikan sebagai keseluruhan perubahan dari seluruh komponen masyarakat dari waktu ke waktu. Keterkaitan antara dinamika sosial dengan interaksi sosial adalah interaksi mendorong terbentuknya suatu gerak keseluruhan antara komponen masyarakat yang akhirnya menimbulkan perubahan-perubahan dalam masyarakat baik secara progresif atau pun retrogresif (Soekanto : 2003)

Pembangunan pada suatu wilayah dapat mendatangkan dampak berupa manfaat yang positif atau juga berupa kemudharatan (dampak negatife), terutama kepada masyarakat yang tinggal di dekat sekitar kegiatan lokasi pembangunan sebagai penerima akibat (dampak.) Dalam hal ini komunitas lokal harus mencari/mendapat peluang agar terjadi penyesuaian terhadap perubahan karena keadaan baru tersebut (Anwar, 1995). Dalam hal ini para petani yang telah mencari


(41)

nafkah dari lahan sawahnya selama bertahun-tahun tentu saja harus mencari pekerjaan lainnya akibat semakin menyempitnya lahan pertanian.

4.1.2. Pertemuan Penduduk Masyarakat Asli Dengan Para Pendatang

Kampung Susuk merupakan salah satu wilayah yang paling padat karena ditinggali oleh para mahasiswa dari berbagai daerah yang kuliah di kampus USU. Jaraknya yang sangat dekat dengan kampus USU membuat banyak mahasiswa yang tinggal di daerah kos-kosan yang ada di Kampung Susuk.

Banyaknya mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia membuat banyak macam suku berbaur dalam kehidupan di Kampung Susuk. Suku Karo menjadi tuan rumah atau diklaim sebagai suku asli yang sudah lama mendiami Kampung Susuk tersebut. Kemudian disusul dengan Batak Toba, Nias, Jawa dan suku lainnya.

Dalam kesehariannya mereka tidak membatasi interaksinya dengan suku lainnya. Bahkan untuk mahasiswa pendatang yang tinggal di Kampung Susuk tidak akan lengkap hidupnya saat kembali ke kampung halamannya tanpa menguasai bahasa Karo. Hal tersebut timbul karena dalam pergaulan sehari-hari mahasiswa dari Karo selalu memakai bahasa Karo dalam berinteraksi dengan teman sesama suku Karo nya. Atau terkadang juga mengeluarkan istilah-istilah dalam bahasa Karo ketika berinteraksi dengan suku lainnya.

Young dan Raymond W. Mack (dalam Soekanto : 2003) mendefenisikan Interaksi Sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis dan menyangkut


(42)

hubungan-hubungan antar individu, baik antara individu dengan kelompok, maupun antara kelompok dengan kelompok. Melalui interaksi akan terjadi perubahan-perubahan yang memungkinkan terbentuknya hal-hal baru sehingga dinamika masyarakat menjadi hidup dan dinamis. Oleh karena itu, interaksi sosial merupakan dasar terbentuknya dinamika sosial yang ada di masyarakat.

Bahasa yang kedengarannya unik di telinga suku pendatang membuat mereka mencoba untuk belajar bahasa Karo. Begitu juga sebaliknya, masyarakat dan mahasiswa Karo juga menyerap berbagai macam pengetahuan dari suku lainnya untuk mereka pelajari dan terapkan. Hal yang menarik adalah bahwa ungkapan atau istilah yang paling sering dihafal oleh para masyarakat dari suku lainnya adalah istilah atau kata-kata kasar dari suku yang memiliki bahasa tersebut.

Satu hal yang menarik juga adalah kondisi Kampung Susuk yang begitu padat ternyata tidak dibarengi dengan penataan dan kebersihan lingkungan yang memadai. Sehingga harga kos di Kampung Susuk menjadi hampir sama dengan kos yang ada di tempat lain yang lebih jauh dari kampus USU. Lingkungan yang kurang bersih membuat Kampung Susuk menerima label sebagai tempat kos yang tidak disukai oleh mahasiswa-mahasiswa kaya ataupun perempuan.

Biasanya mahasiswi akan lebih memilih tinggal di daerah luar Kampung Susuk seperti daerah Pembangunan, Sei Padang dan Sembada sebagai tempat tinggal sementara. Hal ini terjadi karena daerah-daerah tersebut lebih bersih dan terjamin keamanannya. Orang Karo sebagai warga asli juga tidak nyaman dengan keadaan tersebut namun, kondisi lingkungan yang tidak sehat tersebut juga merupakan hasil


(43)

perbuatan dari mahasiswa-mahasiswa pendatang yang tiggal di Kampung Susuk yang tidak mau menjaga lingkungannya.

4.1.3. Alih Fungsi Lahan Dari Lahan Pertanian Menjadi Gedung-Gedung

Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang berdampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan dan juga lingkungan. Seperti yang diketahui daerah Kampung Susuk merupakan daerah langganan bajir di musim hujan. Fungsi sawah di Kampung Susuk bukan hanya untuk keperluan pangan saja, tetapi juga sebagai daerah resapan air. Intensitas alih fungsi lahan di Kampung Susuk masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang beralihfungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi – sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju


(44)

Dalam penelitian ini peneliti melihat bahwa beberapa faktor yang memicu alih fungsi lahan di Kampung Susuk diantaranya : (1) pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering; (2) akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering; (3) daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan. Terutama daerah persawahan masih sangat dekat dengan lingkungan kampus USU sehingga memancing para pengembang untuk membangun gedung-gedung penunjang pendidikan.

Alih fungsi lahan sawah dilakukan secara langsung oleh petani pemilik lahan ataupun tidak langsung yakni oleh perusahaan PT IRA (Bumi Mansur) sebagai pemilik sebagian besar sawah yang sebelumnya diawali dengan transaksi jual beli lahan sawah. Proses alih fungsi lahan sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) jauh lebih tinggi (misalnya untuk pembangunan kawasan industri, kawasan perumahan, dan sebagainya) atau untuk pemenuhan kebutuhan mendasar (prasarana umum yang diprogramkan pemerintah, atau untuk lahan tempat tinggal pemilik lahan yang bersangkutan (Murniningtyas, 2007).


(45)

Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non padi merupakan keputusan yang rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat (Ilham dkk, 2003). Dorongan-dorongan bagi terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian tidak sepenuhnya bersifat alamiah, tetapi ada juga yang secara langsung atau tidak langsung dihasilkan oleh proses kebijaksanaan pemerintah.

Dalam proses alih fungsi lahan, telah terjadi asimetris informasi harga tanah, sehingga sistem harga tidak mengandung semua informasi yang diperlukan untuk mendasari suatu keputusan transaksi. Kegagalan mekanisme pasar dalam mengalokasikan lahan secara optimal disebabkan faktor-faktor lainnya dari keberadaan lahan sawah terabaikan, seperti fungsi sosial, fungsi kenyamanan, fungsi konservasi tanah dan air, dan fungsi penyediaan pangan bagi generasi selanjutnya (Rahmanto dkk, 2008).

Tanah merupakan sumberdaya strategis yang memiliki nilai secara ekonomis. Saat ini, jumlah luasan tanah pertanian di Kampung Susuk tiap tahunnya terus mengalami pengurangan. Berkurangnya jumlah lahan pertanian ini merupakan akibat dari adanya peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk serta aktivitas pembangunan. Hal tersebut mengakibatkan permintaan akan lahan pun meningkat. Pada akhirnya, terjadilah konversi lahan pertanian ke non pertanian seperti perumahan, industri, dan lain sebagainya untuk memenuhi permintaan yang ada.


(46)

Konversi lahan yang terjadi tidak lepas dari kepentingan berbagai pihak seperti pemerintah, swasta dan komunitas (masyarakat). Adapun hal yang dimaksud dengan konversi lahan oleh petani dalam penelitian ini adalah petani yang menjual tanah pertanian miliknya kepada pihak lain, dimana pihak lain yang membeli tanah tersebut menggunakannya untuk fungsi nonpertanian. Dalam hal ini tanah tersebut digunakan untuk perumahan.

4.2. Dampak Negative Dari Perkembangan Kampung Susuk

Dalam kegiatan pembangunan sebagai upaya memajukan bangsa perlu kiranya mengelompokan akibat-akibat dari pembangunan tersebut. Akibat yang berdampak positif memang perlu untuk dipaparkan. Namun, dampak negative dari suatu pembangunan juga harus dicermati. Dalam hingar bingar perkembangan Kampung Susuk sebagai daearah yang padat penduduk dan lengkap sarana dan prasarananya. Ternyata menyimpan berbagai macam cerita yang menarik mengenai dampak positif dan negative akan pembangunan di daerah tersebut. Berikut peneliti akan memaparkan dampak negative pembangunan tersebut di Kampung Susuk.

4.2.2. Perkembangan Kampung Susuk Yang Bersifat Negatif

Banjir dan genangan merupakan masalah umum yang terjadi di berbagai daerah di dunia. Banjir ini terjadi di wilayah perkotaan. Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang selalu mengalami masalah genangan dalam beberapa waktu terakhir. Pemerintah kota telah melakukan berbagai upaya untuk membebaskan kota Medan dari masalah genangan ini. Namun, beberapa daerah di Kota Medan masih


(47)

mengalami genangan setiap kali hujan lebat. Salah satu daerahnya yaitu Kampung Susuk, tepatnya di daerah Kelurahan Padang Bulan Selayang I, Kecamatan Medan Selayang, Medan, Sumatera Utara.

Tidak dapat dipungkiri kalau daerah Kampung Susuk ini merupakan wilayah strategis untuk dibangun kontrakan dan kos-kosan, karena wilayahnya yang dekat dengan Universitas Sumatera Utara (USU) membuat berbagai mahasiswa perantauan memilih tempat tinggal sementaranya di lokasi Kampung Susuk ini. Dengan begitu tidak heran jika banyak yang berlomba-lomba membangun kontrakan dan kos-kosan di daerah ini. Menurut Gufron (2002) Hal ini menimbulkan beberapa masalah lanjutan antara lain: gangguan terhadap lalu lintas kendaraan dan menimbulkan penderitaan bagi masyarakat. Banjir jangka pendek dapat menjadi lebih buruk jika daerah perumahan baru dibangun, karena saluran air yang ada tidak mampu menampung air limpasan hujan.

Tanah-tanah yang produktif diubah menjadi lahan permukiman, pusat perbelanjaan atau pertokoan dan juga hotel. Lahan–lahan tersebut seharusnya adalah sebagai tempat resapan air, layaknya hutan yang ada di daerah pegunungan. Seperti halnya hutan yang telah gundul, daerah resapan air yang ada di kota yang telah banyak berkurang inilah yang menyebabkan banjir. Air hujan yang datang yang seharusnya tidak langsung mengalir ke daerah permukiman tapi diresap oleh tanaman-tanaman yang ada di daeah resapan. Namun, ketika daerah resapan ini hilang, maka air hujan yang datang tidak ada yang tertahan di daerah resapan sehingga begitu saja mengalir ke daerah permukiman menjadi banjir. Banjir inilah


(48)

yang sangat tidak diinginkan oleh semua pihak karena dapat mengakibatkan kerugian material maupun menimbulkan korban jiwa (Indrayasa, dkk., 2008).

Banjir di daerah Kampung Susuk berkaitan erat dengan banyak faktor seperti antara lain, pembangunan fisik yang terus meningkat, kawasan tangkapan air di hulu yang kurang baik, urbanisasi yang terus meningkat, perkembangan ekonomi dan perubahan iklim global. Pembangunan yang terus meningkat di daerah tersebut karena tempatnya yang strategis untuk para mahasiswa Universistas Sumatera Utara. Sehingga para pengusaha kos-kosan menjadi berlomba-lomba membangun kontrakan atau kos-kosan dan terus berlanjut di daerah ini mengingat pendapatan yang diraih cukup menjanjikan.

Tetapi melupakan dampak yang terjadi dari pembangunan yang terus meningkat dan memperkecil ruang terbuka hijau. Hal ini sesuai dengan pendapat Harminto (2012) yang menyatakan Pemanfaatan lahan yang seharusnya digunakan sebagai kawasan untuk daerah resapan air dan umumnya sebagai daerah untuk konservasi ruang hijau malah dijadikan untuk pemukiman penduduk. Hal ini dipicu adanya sikap konsumtif dari setiap orang untuk memenuhi kebutuhan ekonominya dan rasa ingin mendapatkan prestise dari orang lain. Selain itu, adanya dorongan dari pihak plain yaitu kepentingan industrial. Alih fungsi lahan tersebut dipicu oleh adanya pihak yang ingin membuat sebuah perumahan mewah di tengah kota.

Kemacetan juga merupakan masalah yang sangat membuat masyarakat Kampung Susuk menjadi pusing. Banyaknya masyarakat yang menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat membuat jalanan di Kampung Susuk


(49)

menjadi macet parah di jam-jam tertentu seperti pagi hari, tengah hari, dan sore hari. Hal ini terjadi karena luas ruas jalan yang tidak sebanding dengan jumlah kendaraan yang lewat didaerah tersebut. Keadaan ini diperparah lagi dengan kondisi jalan yang berlubang dan tergenang air dikala hujan membuat kesemrawutan jelas terlihat di Kampung Susuk.

Gambar 5 : Kemacetan di Kampung Susuk

Sumber : Peneliti

Berkembangnya Kampung Susuk juga berdampak pada masyarakat yang bekerja di sektor pertanian. Salah seorang pengusaha jasa Laundry di Kampung Susuk yang bernama Jasman Sembiring (55 Tahun) mengaku bahwa dulu dirinya merupakan petani yang bekerja di bekas lahan pertanian yang saat ini sudah menjadi perumahan. Lahan milik Jasman dulunya memiliki luas 2 hektare dan berada tepat


(50)

dipinggir jalan menuju USU. Lahan yang bapak Jasman kelola dulunya adalah milik dirinya sendiri, namun karena bapak Jasman sudah tidak sanggup untuk mengelolahnya, maka lahan tersebut pun dijual sekitar 5 tahun yang lalu.

Menurut bapak Jasman ketika isterinya masih hidup, keluarganya bersama-sama mengelola lahan pertanian tersebut dibantu dua orang anak mereka. Namun, selepas meninggalnya isteri Jasman, dirinya merasa sudah tidak sanggup lagi untuk mengelola lahan pertanian tersebut. Ditambah lagi dengan keadaan dimana dua orang anaknyaorang membutuhkan tambahan biaya karena akan melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Maka hal tersebut semakin menambah beban ekonomi yang ditanggung oleh bapak Jasman dan keluarganya.

“ . . . dulu kami sekeluarga yang mengelola sawah itu, cuman begitu isteri saya meninggal sekitar 6 tahun yang lalu saya pun udah malas lah mau kerja apapun. Ditambah lagi anak-anak saya butuh biaya untuk kuliahnya, itu yang bikin saya bingung mau nyari uang kemana lagi . . .”

Lahan yang sudah tidak dipakai lagi lama-lama akhirnya ditumbui oleh rumput-rumput dan ilalang. Pada akhir tahun 2011 ada seorang pengusaha yang berniat membeli lahan yang dimiliki oleh bapak Jasman dengan harga 1 Milyar. Namun, bapak Jasman menolaknya karena menurutnya dia bisa menjual tanahnya dengan harga yang lebih baik dari pada itu. Akhirnya bapak Jasman menjual tanahnya kepada salah seorang pria keturunan Tionghoa dengan harga 3 Milyar.

“ . . . waktu itu ada orang kita Karo yang pertama nawar tanah saya. Dibilangnya dia mau beli 1 Milyar untuk tanah saya yang 2 hektare. Mana lah mau saya masa tanah dipinggir jalan abis itu lokasinya pun


(51)

pas untuk bisnis dihargai segitu. Terakhir ada orang China yang nawarkan samaku 3 Milyar, ya udalah kulepas aja tanahku. Hasilnya kubangun rumah, kubikin usaha laundry kiloan biar bisa aku makan sama anak-anakku . . .”

Hasil dari penjualan tanah tersebut akhirnya digunakan bapak Jasman untuk membangun rumah baru di daerah Kampung Susuk, membiayai anak-anaknya kuliah dan membuka jasa Laundry kiloan. Bapak Jasman membuka usaha jasa Laundry kiloan karena tidak membuang tenaga yang banyak. Bapak Jasman hanya memonitoring karyawan Laundry nya saja dan mengelola pemasukan dan pengeluaran usahanya. Menurut bapak Jasman dirinya sudah tidak sanggup bila harus bekerja yang berat-berat, maka Jasman lebih memilih membuka usaha Laundry seperti ini. Bapak Jasman merupakan salah seorang diantara beberapa petani yang saat ini sudah menjual lahan pertaniannya dan bekerja di sector lain.

4.2.2. Perkembangan Kampung Susuk Yang Bersifat Positif

Perkembangan Kampung Susuk juga memiliki dampak yang bersifat positif. Salah satunya adalah dari segi ekonomi dimana Kampung Susuk mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat selama kurang lebih 30 tahun belakangan ini. Perkembangan ekonomi ini disebabkan oleh adanya universitas negeri dalam hal ini USU di samping Kampung Susuk tersebut, yang memacu pembangunan sarana-sarana penunjang bagi kehidupan para mahasiswanya.

Hal tersebut juga diikuti oleh respon masyarakat Kampung Susuk yang membangun sarana-sarana tersebut dengan cara mengalihfungsikan lahan-lahan


(52)

pertanian mereka. Satu hal lagi yang menjadi dampak positif adalah dengan hadirnya berbagai mahasiswa dari berbagai daerah membuat Kampung Susuk menjadi daerah padat yang multi etnis. Berbagai keragaman yang berhubungan dengan corak kehidupan sosial budaya masyarakat menjadi suatu hal yang khas ditemui di Kampung Susuk.


(53)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Penelitian

Kesimpulan penelitian ini merupakan jawaban dari rumusan penelitian yang terdapat pada bab I penulisan skripsi, adapun kesimpulan merupakan hasil penelitian lapangan yang didasarkan pada proses observasi dan wawancara penelitian. Adapun kesimpulan penelitian yang berdasarkan rumusan masalah penelitia adalah : bagaimana kehidupan masayarakat di Kampung Susuk, Kelurahan Padang Bulan Selayang I, Kec. Medan Selayang, Medan !

Kehidupan masyarakat di Kampung Susuk mencakup beberapa segmen kehidupan diantaranya kehidupan sosial budaya masyarakat, ekonomi dan juga keagamaan masyarakatnya. Bertani merupakan pekerjaan sampingan warga Kampung Susuk. Sebagian besar yang berprofesi sebagai petani tersebut adalah kaum wanita (istri). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menambah penghasilan keluarga. Sedangkan kaum lelaki (suami) memiliki pekerjaan lain yaitu menarik becak, buruh bangunan, wirausaha, dan lain-lain. Kegiatan bertani di sawah dimulai dari pagi hari hingga sore hari dengan membawa bekal makanan untuk dimakan pada siang hari.


(1)

RIWAYAT HIDUP

Bernama lengkap Mona Helenita

Situmorang,

lahir

di

Kota

Pematangsiantar pada tanggal 24

Januari

1991.

Merupakan

anak

ketujuh dari tujuh bersaudara dari

pasangan M. Situmorang dan R.

Aritonang.

Pada

tahun

2003

menyelesaikan pendidikan dasar di

SDN 121247_Pardomuan Marihat,

Kec. Siantar Marihat. Kemudian

melanjutkan pendidikan ke SLTA

Negeri 1 Pematangsiantar dan lulus

pada

tahun

2006,

melanjutkan

pendidikan ke SMAN 2 Pematangsiantar dan lulus pada tahun 2009.

Dan pada tahun 2009 penulis lulus memasuki salah satu Perguruan

Tinggi Negeri di Sumatera Utara, Medan, yakni di Universitas

Sumatera Utara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan

Antropologi Sosial melalui jalur SNMPTN.


(2)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan dan penyusunan skripsi ini dilakukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial pada bidang antropologi dari Departemen

Antropologi Sosial. Skripsi ini berjudul “Kampung Susuk (Etnografi Mengenai

kehidupan Pemukim Di Pinggiran Kampus)”.

Dalam penulisan skripsi ini banyak tantangan yang dihadapi, hal ini terkait dengan sensitifitas data dari informan yang membuat peneliti akhirnya lebih berhati-hati dalam proses observasi dan wawancara. Namun, untuk proses penulisan peneliti tidak terlalu mendapatkan kendala karena peneliti banyak dibantu oleh dosen dan teman-teman.

Dalam penulisan skripsi ini dilakukan pembahasan secara holistik mengenai Etnografi kehidupan pemukim di pinggiran kampus, peneliti mengambil data dari berbagai macam sumber di lapangan. Masing-masing data berasal dari berbagai narasumber yang berlainan profesi seperti petani, tukang becak mesin, pemilik usaha kos-kosan dan juga pemilik usaha laundry. Pembahasan tersebut diuraikan dari bab I sampai dengan bab V. Adapun penguraian yang dilakukan oleh penulis pada skripsi ini adalah :

Bab I penelitian yang dilakukan ini merupakan deksripsi mengenai latar permasalahan yang dihadapai oleh masyarakat yang tinggal di daerah Kampung Susuk. Pada bagian ini peneliti juga menguraikan kajian teoritis yang dipakai guna menganalisis permasalahan dalam penelitian. Pada bab ini juga dijelaskan urgensi dari dilakukannya penelitian ini.

Bab II merupakan bagian dimana peneliti menggambarkan secara umum lokasi penelitian. Data-data yang disajikan mencakup komposisi penduduk dan juga


(3)

perkembangan yang menyangkut daerah penelitian yaitu Kampung Susuk di Kelurahan Tanjung Sari, Kota Medan.

Bab III merupakan deskripsi mengenai kehidupan ekonomi masyarakat Kampung Susuk. Pada bagian ini peneliti memaparkan bagaimana kehidupan ekonomi masyarakat kampung susuk dengan mengambil beberapa sector pekerjaan seperti sector pertanian, sector transportasi dalam hal ini penarik becak, sector usaha kos-kosan, sector jasa yaitu usaha laundry dan sector bisnis makanan yaitu usaha warung kopi.

Bab IV deskripsi mengenai perkembangan kampung susuk yang mencakup aspek sosial dan budaya masyarakatnya. Sebagaimana diketahui kebanyakan orang yang tinggal di kawasan kampung susuk adalah masyarakat karo sebagai masyarkat asli dan juga mahasiswa rantau yang tinggal sementara dalam masa kuliahnya. Percampuran antara masyarakat asli dan masyarakat pendatang memunculkan interaksi dan hubungan tersendiri di masyarakat kampung susuk.

Bab V memuat kesimpulan dan saran penelitian mengenai pilihan pendidikan pada anak-anak di daerah industri.

Sebagai penutup dari penulisan skripsi ini, dilampirkan pula daftar kepustakaan sebagai penunjang dalam penulisan termasuk juga sumber-sumber lainnya. Dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari para pembaca. Harapan dari penulis, agar skripsi ini dapat berguna bagi seluruh pembaca.

Medan, Januari 2016 Penulis


(4)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN PENGESAHAN ...

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i

ABSTRAK ... ii

UCAPAN TERIMAKASIH... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Tinjaun Pustaka ... 6

1.2.1 Wujud Kebudayaan ... 6

1.2.2. Pinggiran Kota... 8

1.2.3. Pemukiman ... 13

1.2.4. Pola Penyebaran Pembangunan Perumahan dan Permukiman 14 1.2.5. Konsep Antropologi Perkotaan ... 15

1.3 Rumusan Masalah ... 18

1.4 Lokasi Penelitian ... 18

1.5 Tujuan Dan Luas Penelitian ... 19

1.6 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ... 20

1.6.1. Teknik Pengumpulan Data ... 20

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Kondisi Umum Kota Medan ... 23

2.2 Letak Geografis Kelurahan Tanjung Sari ... 27

2.2.1. Tata Guna Tanah ... 28

2.2.2. Struktur Organisasi Kelurahan Tanjung Sari ... 29

2.3 Gambaran Keadaan Penduduk Kelurahan Tanjung Sari ... 30

2.3.1. Jenis dan Mata Pencaharian Penduduk... 34

2.4. Sejarah Singkat Kampung Susuk... 36

2.4.1. Kependudukan dan Komposisi Berdasarkan Suku Bangsa, Agama, dan Pendidikan... 39


(5)

2.4.3. Sarana Dan Prasarana... 46

BAB III KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT KAMPUNG SUSUK 3.1 Kehidupan Pertanian Di Kampung Susuk... 48

3.1.1 Sejarah Pertanian Kampung Susuk... 54

3.1.2 Organisasi diBidang Pertanian... 56

3.2 Kehidupan Tukang Becak ... 57

3.3 Perkembangan Usaha Kos-Kosan di Kampung Susuk ... 60

3.4 Banyaknya Usaha Laundry Dalam Melihat Peluang Bisnis Di Kampung Susuk ... 67

3.5 Warkop (Warung Kopi) Sebagai Wadah Pergaulan Masyarakat Kampung Susuk ... 69

BAB IV PERKEMBANGAN KAMPUNG SUSUK 4.1 Aspek-Aspek Yang Mendukung Perkembangan Kampung Susuk ... 77

4.1.1 Munculnya Kampus USU Dan Pengaruhnya Terhadap Kampung Susuk ... 77

4.1.2 Pertemuan Penduduk Masyarakat Asli Dengan Para Pendatang ... 81

4.1.3 Alih Fungsi Lahan Dari Lahan Pertanian Menjadi Gedung- Gedung ... 83

4.2 Dampak Negative Dari Perkembangan Kampung Susuk ... 86

4.2.1 Perkembangan Kampung Susuk Yang Bersifat Negatif ... 76

4.2.2 Perkembangan Kampung Susuk Yang Bersifat Positif... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 91

5.2 Saran ... 94


(6)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Tata Guna Lahan Tahun 2010... 28

Tabel 2 : Tata Guna Lahan Tahun 2015... 28

Tabel 3 : Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Pendidikan Tahun 2010. 31 Tabel 4 : Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Pendidikan Tahun 2015. 31 Tabel 5 : Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Umum Tahun 2010.... 32

Tabel 6 : Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Umum Tahun 2015.. . 33

Tabel 7 : Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan Khusus Tahun 2010... 33

Table 8. Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan Khusus Tahun 2015 ... 34

Tabel 9. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian tahun 2010 ... 34

Table 10. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Tahun 2015 ... 35

Tabel 11 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa Tahun 2010... 39

Table 12 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa Tahun 2015 ... 40

Tabel 13 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama Tahun 2010 ... 41

Table 14 : Komposisi Penduduk Berdasarkan AgamaTahun 2015 ... 41

Table 15 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin ... 42

Tabel 16 : Sarana Ibadah... 46