PERAN KECENDERUNGAN ADIKSI JEJARING SOSI

PERAN KECENDERUNGAN ADIKSI JEJARING SOSIAL (FACEBOOK ATAU
TWITTER) DALAM MENJELASKAN SELF REGULATED LEARNING PADA
REMAJA
(Studi dilakukan di SMAK Gracia Surabaya)
Adirsti Dyah Indratusti
Mahasiswa: Psikologi / FISIP
Universitas Brawijaya
Malang, Jawa Timur

ABSTRACT
The aiming of this research is for knowing adolescents role addiction againts
facebook and twitter in explaining self regulated learning in adolescents. This research
sample is adolescents ages 15-18 years, male and female, have an account on social
networking facebook and twitter. Data retrieval techniques with purposive sampling. Social
networking addiction variabel and self regulated learning measured using likert scale.
Analys of the data used isi simple regression test using F test and T test. The result is social
networking addiction has a role againts self regulated learning with significance 0,000.
Hypothesis test conducted showed R² values of the data obtained, which amounted to 33,9%
addiction is the role of social networking (Facebook and Twitter) againts self regulated
learning, while the rest 66,1% may caused by the other factor.
Keyword : social networking addiction, self regulated learning, adolescents, facebook or

twitter
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kecenderungan adiksi terhadap
facebook atau twitter dalam menjelaskan self regulated learning pada remaja. Sampel
penelitian ini adalah remaja usia 15 – 18 tahun, laki – laki dan perempuan, memiliki akun
jejaring sosial facebook atau twitter, serta bersekolah di SMAK Gracia Surabaya. Teknik
pengambilan data dengan purposive sampling. Variabel adiksi jejaring sosial dan self
regulated learning diukur menggunakan skala likert. Analisis data yang digunakan adalah uji
regresi sederhana dengan menggunakan uji F dan uji T. Hasilnya adiksi jejaring sosial
memiliki peran terhadap self regulated learning dengan nilai signifikansi 0,000. Uji hipotesis
yang dilakukan menunjukkan nilai R² sebesar 33,9%, yang berartiperan kecenderungan adiksi
jejaring sosial (facebook atau twitter) memberikan sumbangan efektif terhadap self regulated
learning sebesar 33,9%,sedangkan sisanya 66,1% mungkin disebabkan oleh faktor lainnya
yang tidak diteliti oleh peneliti.
Kata kunci : kecenderungan, adiksi jejaring sosial, self regulated learning, remaja, facebook
atau twitter

1

2


PENDAHULUAN
Perkembangan internet di Indonesia semakin berkembang pesat diiringi dengan
berbagai infrastruktur seperti adanya ponsel, laptop dan biaya internet yang terjangkau.
Tingkat antusiasme masyarakat Indonesia khususnya remaja dalam memanfaatkan teknologi
internet ini pun semakin berkembang, baik dengan menggunakan ponsel maupun komputer
(Listiyono, 2013). Jejaring sosial merupakan bagian dari internet yang digunakan sebagai
situs menambah pertemanan. Sebagai gambaran, sekitar 62,5 % pengguna aktif internet di
seluruh dunia yang berusia 16 hingga 54 tahun memiliki akun jejaring sosial (Elia, 2009).
Jejaring sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang
umumnya adalah individu atau organisasi) yang dijalin dengan satu atau lebih tipe relasi
spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, dll. Situs jejaring sosial yang dalam bahasa
Inggris disebut social network sites merupakan sebuah web berbasis pelayanan yang
memungkinkan penggunanya untuk membuat profil, melihat daftar pengguna yang tersedia,
serta mengundang atau menerima teman untuk bergabung dalam situs tersebut. Tampilan
dasar situs jejaring sosial ini menampilkan halaman profil pengguna, yang di dalamnya terdiri
dari identitas diri dan foto pengguna Contoh situs jejaring sosial adalah Facebook, Twitter,
Friendster, Hi5, MySpace, dll (Juditha, 2011).
Jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Friendster dan yang sejenisnya seakan
sudah menjadi suatu keharusan bagi remaja Indonesia untuk memilikinya. Bahkan jika tidak

memilikinya akan dianggap kurang pergaulan dan akan dikucilkan dari komunitasnya
(Listiyono, 2013). Menurut data dari PopSurvey (2012), Indonesia menjadi negara kedua
dengan persentase mencapai 87,5% pengguna jejaring sosial dari total pengakses internet
setelah Brazil dengan persentase mencapai 87,6%, sedangkan data menurut Antara News di
tahun 2012 menyebutkan jumlah pengguna situs jejaring sosial Facebook di Indonesia
tercatat sebagai yang tertinggi ketiga di dunia. Berdasarkan data yang dimiliki Kementerian

3

Komunikasi dan Informatika, total ada 43,06 juta orang yang menggunakan situs jejaring
sosial Facebook sedangkan untuk pengguna Twitter, Indonesia berada di urutan tertinggi
kelima di dunia, dengan 19,5 juta pengguna (Supratiwi, 2012).
Pengaruh positif penggunaan jejaring sosial diantaranya adalah banyak para remaja
yang menggunakan jejaring sosial untuk memasarkan iklannya seperti yang dilakukan oleh
salah

seorang

mahasiswa


pembuat

keripik

pedas

yang

memasarkan

produknya

ke Twitter dan Facebook yang ber merk “Maicih” dan akhirnya asekarang menjadi sebuah
kripik yang sudah tersebar hampir di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Ada juga jejaring
sosial yang digunakan sebagai sarana bertukan informasi, pengetahuan dan untuk berdiskusi
dalam pembuatan komunitas (Listiyono, 2013).
Jejaring sosial juga dapat mempererat tali persaudaraan dimana seseorang dapat tetap
saling berkomunikasi walaupun jaraknya jauh. Jejaring sosial juga dapat digunakan untuk
mencari seorang kerabat, bahkan dalam berita yang ditulis VivaNews, ada suatu kisah seorang
ibu dapat bertemu kembali dengan anaknya setelah 12 tahun berpisah (Firman, 2011).

Jejaring Sosial juga memberikan dampak yang negatif bagi para remaja. Kejahatan
melalui Facebook, khususnya yang menimpa remaja putri semakin mengkhawatirkan.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat sepanjang 2013, ada 37 kasus
kejahatan akibat perkenalan di jejaring sosial Facebook. Terakhir adalah kasus seorang siswi
sekolah menengah pertama (SMP) di Depok, diperkosa secara bergilir oleh teman prianya
yang baru dikenal via Facebook (Sugandi, 2013).
Banyak para remaja yang kecanduan untuk menggunakan jejaring sosial tanpa
mengenal waktu sehingga menurunkan produktifitas dan rasa sosial diantara remaja pun
berkurang. Banyak para remaja yang lebih suka berhubungan lewat jejaring sosial dibanding
dengan bertemu dengan teman-temannya dan yang lebih parah lagi mereka yang kecanduan

4

susah untuk berkomunikasi dengan yang lain. Para pelajar juga lebih sering menggunakan
waktu mereka untuk bermain game yang ada pada salah satu jejaring sosial (Listiyono, 2013).
Dilansir CNN (Mustofa, 2013), sebuah penelitian dilakukan oleh IDC untuk
menghitung seberapa sering pengguna Facebook mengecek akun mereka dalam satu hari.
Dari hasil penelitian tersebut, terkuak fakta bahwa rata-rata para pengguna smartphone
tersebut memeriksa akun Facebook mereka sebanyak 14 kali setiap harinya. Setiap kali
memeriksa akun Facebook tersebut, tiap orang rata-rata menghabiskan waktu sekitar 2 menit.

Kecanduan akan jejaring sosial Facebook ini bukan tidak menimbulkan efek apa-apa.
Menurut penelitian beberapa psikolog, kecanduan Facebook ternyata dapat membuat
psikologis penggunanya sedikit terganggu.
Data dari Mashable (Mustofa, 2013), melaporkan jika pengguna Facebook yang
mengakses akun Facebook-nya secara rutin sampai timbul rasa kecanduan, memiliki resiko
jika kemungkinan di kemudian hari sisi psikologis pengguna tersebut akan terganggu.
Menurut pakar, apabila tingkatan penggunanya sudah mencapai tahap adiksi maka sulit untuk
menghilangkan tingkat kecanduan tersebut. Dibutuhkan proses dan waktu yang cukup lama
untuk menyembuhkannya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cecilie Schou Andreassen, Torbjorn Torsheim,
Geir Scott Brunborg, dan Stale Pallesen dari Department of Psychosocial Science University
of Bergen, Norway yang ditulis dalam Psikologi Zone (2012) mengatakan bahwa siswa yang
berusia lebih muda memiliki potensi lebih besar mengalami kecanduan jejaring sosial seperti
Facebook dibandingkan dengan pelajar yang usianya lebih tua, sedangkan berdasarkan jenis
kelamin, wanita memiliki resiko lebih besar dibanding pria. Penelitian ini mengamati tandatanda perilaku adaptif saat pelajar menggunakan Facebook.
Menurut dosen Psikologi UI, Indiyanti (Usman, 2010) besar pengguna jejaring sosial
terbanyak adalah remaja dan dewasa muda. Dari aspek psikologis, remaja dapat dikatakan

5


masih sangat labil dan mudah terpengaruh. Selain rentan pengaruh buruk, remaja tanpa sadar
dapat terjangkit kecanduan jejaring sosial jika tidak ada tindakan kontrol sedini mungkin.
Indiyanti mengatakan usia remaja sangat rentan akan godaan di internet, terutama terkait
dengan jejaring sosial. Kecenderungan remaja untuk ingin mengikuti trend dan hal-hal lain
yang yang dilakukan teman-temannya begitu besar.
Ditinjau dari faktor kognisi milik Piaget (Afianti, 2010), pada masa remaja, individu
mulai memasuki tahap perkembangan kognitif pada level tertinggi, yaitu operasional formal.
Pada tahap operasional formal, remaja diharapkan mampu mengintegrasikan pengalamanpengalaman masa lalu dengan tantangan di masa kini dan mendatang, serta mampu membuat
rencana untuk masa depan. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat tercermin pada
kemampuan remaja untuk membuat rencana strategi belajar serta target yang ingin dicapai
dalam belajar (Afianti, 2010).
Kemampuan remaja untuk membuat rencana strategi belajar serta target yang ingin
dicapai dalam belajar merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki oleh siswa yang
memiliki self regulated learning. Santrock (Alsa & Komalasari, 2005) mengatakan self
regulated learning menyangkut self generation dan self monitoring pada pemikiran, perasaan,
dan perilaku untuk menjangkau tujuan. Pengaturan diri dalam belajar membuat para siswa
memiliki kontrol dan mendorongnya untuk memperhatikan metode belajarnya. Zimmerman
(Alsa & Komalasari, 2005) menyatakan bahwa self regulated learner adalah siswa yang
secara metakognitif, motivasional dan behavioral merupakan peserta aktif dalam proses
belajar mereka sendiri. Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa self

regulated learning adalah upaya yang dilakukan individu untuk mengatur diri dalam
belajarnya dengan melibatkan kemampuan metakognitif, motivasional dan behavioral
(perilaku) untuk mencapai tujuan (Alsa & Komalasari, 2005)

6

Wolters dkk, (Pratiwi, 2009) menjelaskan bahwa metakognisi merupakan strategi
untuk mengontrol atau meregulasi kognisi yang meliputi macam-macam aktivitas kognitif
dan metakognitif yang mengharuskan individu terlibat untuk mengadaptasi dan mengubah
kognisinya. Strategi pengulangan (rehearsal), elaborasi (elaboration), dan organisasi
(organization) dapat digunakan individu untuk mengontrol kognisi dan proses belajarnya.
Selanjutnya, motivasi merupakan strategi untuk meregulasi motivasi yang melibatkan
aktivitas yang penuh tujuan dalam memulai, mengatur atau menambah kemauan untuk
memulai, mempersiapkan tugas berikutnya, atau menyelesaikan aktivitas tertentu atau sesuai
tujuan. Terakhir adalah perilaku yang merupakan strategi untuk meregulasi perilaku sebagai
usaha individu untuk mengontrol sendiri perilaku yang nampak. Bandura (Pratiwi, 2009)
menjelaskan bahwa perilaku adalah aspek dari pribadi (person), walaupun bukan “self”
internal yang direpresentasikan oleh kognisi, motivasi dan afeksi. Regulasi perilaku meliputi
regulasi usaha (effort regulation), waktu dan lingkungan (time/study environment), dan
pencarian bantuan (help-seeking).

Menurut Santrock (Afianti, 2010), siswa yang mempunyai self regulated learning
menunjukkan

sejumlah

karakteristik.

Pertama,

mengatur

tujuan

belajar

untuk

mengembangkan pengetahuan dan meningkatkan motivasi. Kedua, menyadari hal - hal yang
mempengaruhi kondisi emosional dan mempunyai strategi untuk mengatur emosi agar tidak
mengganggu kegiatan belajar. Ketiga, memantau kemajuan yang mendekati target belajar

secara periodik, memeriksa strategi belajar yang didasarkan pada kemajuan yang dicapai,
mengevaluasi rintangan yang mungkin timbul, dan membuat adaptasi yang diperlukan.
Zimmerman (1990) mengatakan, self regulated learning menempatkan pentingnya
kemampuan seseorang untuk belajar disiplin mengatur dan mengendalikan diri sendiri,
terutama bila menghadapi tugas-tugas yang sulit. Pada sisi lain, self regulated learning
menekankan pentingnya inisiatif karena self regulated learning merupakan belajar yang

7

terjadi atas inisiatif sendiri. Siswa yang memiliki inisiatif menunjukkan kemampuan untuk
mempergunakan pemikiran - pemikirannya, perasaan-perasaannya, strategi dan tingkah
lakunya untuk mencapai tujuan. Dengan demikian dapat dikatakan betapa efektifnya belajar
jika siswa memiliki keterampilan self regulated learning.
Istilah self regulated learning berkembang dari teori kognisi sosial Bandura (Latipah,
2010). Menurut teori kognisi sosial, manusia terbentuk dari aspek pribadi (person), perilaku
(behavior), dan lingkungan (environment). Ketiga aspek ini merupakan aspek – aspek
determinan dalam self regulated learning, karena saling berhubungan secara timbal balik,
dimana person berusaha untuk meregulasi diri sendiri (self regulated), hasilnya berupa
kinerja atau perilaku, dan perilaku ini berdampak pada perubahan lingkungan, dan demikian
seterusnya (Latipah, 2010).

Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial.
Teori belajar sosial

menekankan bahwa lingkungan dihadapkan pada seseorang secara

kebetulan. Lingkungan kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya
sendiri. Bandura (Latipah, 2010) menyatakan bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui
pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari pembelajaran
sosial adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling
penting dalam pembelajaran terpadu (Latipah, 2010).
Berdasarkan uraian yang tercermin dari dinamika psikologis, maka peneliti
mengemukakan hipotesis sebagai berikut:
Ha1

: Kecenderungan Adiksi terhadap jejaring sosial berperan signifikan dalam

menjelaskan self regulated learning remaja SMA, dimana semakin tinggi kecenderungan
adiksi jejaring sosial maka semakin rendah tingkat self regulated learning remaja.

8

METODE
Variabel Penelitiaan
Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini adalah kecenderungan adiksi
jejaring sosial, sedangkan variabel dependen (terikat) dalam penelitian ini adalah self
regulated learning.
Subjek
Penelitian ini menggunakan 65 siswa SMAK Gracia Surabaya yang memiliki akun
facebook atau twitter. Siswa tersebut duduk dikelas X, XI, dan XII dengan kelas IPA dan IPS.
Penyebarannya dilakukan secara merata dan disebarkan kepada siswa laki – laki dan
perempuan.
Alat Ukur
Terdapat dua alat ukur dalam penelitian ini. Alat ukur yang pertama adalah Skala
Kecenderungan Adiksi Jejaring Sosial (Facebook atau Twitter). Alat ukur yang kedua adalah
Skala Self regulated learning. Alat ukur tersebut berupa kuisioner yang telah dibuat oleh
peneliti dan disusun sedemikian rupa menjadi satu kesatuan alat ukur. Data ini disajikan
dalam rentangan tertentu dan subjek hanya harus memilih salah satu kategori yang sesuai
dengan yang dialami oleh subjek, dalam penelitian ini menggunakan skala likert untuk
rentang nilai.
Metode Analisis
Analisis yang dilakukan bertujuan untuk melakukan uji hipotesis. Berdasarkan
penelitian dan tujuan yang akan dicapai, peneliti menggunakan analisis regresi linier
sederhana.

9

HASIL
Teknik analisa dalam penelitian ini menggunakan teknik regresi linier sederhana
dengan pemenuhan uji asumsi klasik/ sebelum dilakukan uji asumsi dan uji hipotesis, perlu
menganalisis deskriptif yang dapat dilihat dalam tabel 1:
Tabel 1. Kategori Skala Kecenderungan Adiksi Jejaring Sosial (Facebook atau Twitter) dan
Skala Self regulated learning
Kategori

Daerah Keputusan

Jumlah Prosentasi

Daerah Keputusan

Jumlah prosentasi

(Kecenderungan Adiksi
Jejaring Sosial)

(Kecenderungan
Adiksi Jejaring Sosial)

(Self regulated learning)

(Self regulated
learning)

Rendah
Sedang
Tinggi

66,15%
33,84%
0%

92,3%
7,7%
0%

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa jumlah siswa dengan kecenderungan adiksi
jejaring sosial (facebook atau twitter) rendah, karena sebagian besar jumlah siswa memiliki
prosentasi sebesar 66,15 % dengan 43 siswa, sehingga dapat disimpulkan bahwa siswa
dengan kecenderungan adiksi jejaring sosial di SMAK Gracia Surabaya mengalami
kecenderungan adiksi jejaring sosial yang rendah, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa
ada pula yang mengalami kecenderungan adiksi berjejaring sosial. Penyajian tabel 1 juga
menjelaskan bahwa self regulated learning di SMAK Gracia Surabaya juga rendah dengan
prosentasi sebesar 92,3% dengan 60 siswa, self regulated learning pada siswa SMAK Gracia
Surabaya termasuk dalam kategori rendah, namun ada beberapa siswa yang termasuk dalam
kategori sedang.
Pencapaian pengujian hipotesis dapat dilakukan dengan pemenuhan dari uji asumsi
klasik yang dijelaskan dalam table berikut ini:

10

Tabel 2. Uji Asumsi Variabel Kecenderungan Adiksi Jejaring Sosial (Facebook atau
Twitter (X) dan Self regulated learning (Y)
Uji Normalitas
(Kolmogorovsmirnov)
Peran variabel X
dalam menjelaskan
variabel Y

Uji K-S

Signifikansi

,955

,321

Uji Linieritas
(Uji F)

Uji
Heteroskedastisitas
(Uji Glejser)

Uji F

Signifikansi

Signifikansi

38,063

0,00

0.752

Tabel 2 menjelaskan bahwa uji asumsi klasik yang dilakukan peneliti terhadap
peranan dari kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dalam menjelaskan
self regulated learning pada remaja dapat terpenuhi karena signifikansi uji normalitas bernilai
0,321 yang berarti bahwa data dari nilai residual variabel kecenderungan adiksi jejaring sosial
(facebook

atau

twitter)

dan

self

regulated

learning

berdistribusi

normal,

uji

heteroskedastisitas yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi 0,752 yang berarti error dari
variabel kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dan self regulated
learning sama atau stabil. Uji linieritas menunjukkan nilai signifikansi yang lebih kecil dari
0,05 yaitu bahwa terdapat hubungan linearitas antara variabel kecenderungan adiksi jejaring
sosial (facebook atau twitter) dan self regulated learning.
Pengujian terhadap peran kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter)
dan self regulated learning perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana hubungan diantara
keduanya yang akan ditampilkan pada tabel 3.
Tabel 3. Uji Korelasi Pearson
variabel kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dalam
menjelaskan self regulated learning

Korelasi
Pearson
--0,582

Sig.
0,000

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa nilai korelasi pearson yang dihasilkan oleh
peneliti bernilai negatif yaitu -0,582 dengan nilai signifikan 0,00. Artinya penelitian ini
memiliki korelasi negatif, yang mana jika

siswa SMAK Gracia Surabaya mengalami

11

kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) tinngi maka self regulated
learningnya rendah, sebaliknya jika kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau
twitter) rendah, maka self regulated learningnya tinggi.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa
terdapat peran kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dalam
menjelaskan self regulated learning yang dapat ditinjau dari tabel 4.

Variabel

Tabel 4. Uji Keberartian
F
Sig.

variabel kecenderungan adiksi jejaring
sosial (facebook atau twitter) dan self
regulated learning

32,312

0.000

R2
0.339

Berdasarkan tabel 4 diperoleh nilai korelasi yang diperoleh berdasarkan nilai R2
senilai 0.339. Artinya, besarnya sumbangsih peran kecenderungan adiksi jejaring sosial
(facebook atau twitter) dalam menjelaskan self regulated learning adalah 33.9% dan besar
pengaruh lain diluar variabel kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dan
self regulated learning sebesar 66.1%.
Berdasarkan tabel tabel 4 ini juga diketahui nilai Fhitung dari residual data sebesar
31,312 dengan signifikansi 0,000. Hasil nilai signifikan ini lebih kecil dari sama dengan 0,05,
oleh karena itu nilai signifikan menunjukkan bahwa terdapat korelasi peran kecenderungan
adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dalam menjelaskan self regulated learning pada
remaja. Persamaan regresi linier sederhana untuk membantu dalam melakukan prediksi
mengenai korelasi peran kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dalam
menjelaskan self regulated learning pada remaja dapat tertinjau di tabel 5.
Tabel 5. Nilai a, b, dan Persamaan Regresi Linier
a
b
Y = a + bX

140,019
0,325
Y = 140,019 0,325X

12

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa nilai a sebesar 140,019 dan nilai b sebesar
sehingga dapat diperoleh persamaan regresi sederhana dari penelitian ini adalah Y =
140,019

0,325X. Makna dari tabel 5 adalah setiap kenaikan 1X (adiksi) maka akan

menurunkan Y (SRL) sebesar 0,33 %, dengan asumsi variabel lain dianggap konstan.
Sehingga self regulated learning dapat diketahui nilainya dengan penilaian terhadap
kecenderungan adiksi jejaring sosial pada remaja. Penilaian yang digunakan untuk
mengetahui terdapat konflik pada kedua variabel peneliti yaitu kecendeungan adiksi jejaring
sosial (facebook atau twitter) dan self regulated learning, peneliti menggunakan uji t tes dari
hasil residual yang terjadi antara dua variabel tersebut dan tertuang pada tabel 6
Tabel 6. Uji t
Residual
Peran kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook
atau twitter) dan self regulated learning

t
20,181

Sig.
0,000

Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai thitung senilai 20,181 dan nilai signifikansi atau
probabilitas sebesar 0,000. Nilai signifikansi yang kurang dari 0,05 menunjukkan tidak ada
konflik yang terjadi dan kedua variabel adalah ekuivalen. Makna tabel 6 menyatakan bahwa
variabel kecendeungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dan self regulated
learning pada remaja tidak terjadi konflik, akan tetapi keduanya bersifat ekuivalen.

DISKUSI
Berdasarkan hasil dari penelitian lapangan yang dilakukan oleh peneliti di SMAK
Gracia Surabaya. Diketahui bahwa kecenderungan adiksi jejaring sosial yang dialami oleh
siswa dan siswi SMAK Gracia Surabaya termasuk dalam kategori rendah. Menurut Papalia
(2007), keinginan untuk memiliki hubungan dengan orang lain ini pada umumnya sangat
besar ketika manusia berada pada tahap perkembangan remaja. Agar mampu mengadakan

13

hubungan dengan orang lain, saat ini manusia telah sangat dimudahkan dalam hal
komunikasi.
Remaja memiliki ketertarikan yang luar biasa terhadap metode komunikasi yang baru
yaitu jejaring sosial. Keberadaan situs jejaring sosial memudahkan penggunanya untuk
berinteraksi secara mudah dengan orang‐orang dari seluruh belahan dunia dengan biaya yang
lebih murah dibandingkan menggunakan telepon (Aleman & Wartman, 2009). Dimana
batasan ruang dan waktu seakan tidak ada lagi.
Pola komunikasi Internet melalui situs pertemanan jejaring sosial seperti
Facebook,Twitter, friendster, dll pada tahap tertentu bisa menimbulkan adiksi yang mungkin
berpengaruh terhadap kehidupan nyata. Beberapa ciri‐ciri orang yang teradiksi terhadap
jejaring sosial, yaitu penggunaan yang berlebihan, kegelisahan ketika tidak mengakses
jejaring sosial dalam interval waktu tertentu, peningkatan toleransi terhadap adiksi jejaring
sosial itu sendiri, dan dampak negatif (termasuk isolasi sosial) (Juditha, 2011).
Facebook dan Twitter merupakan situs yang sederhana, mudah digunakan, dan
mempunyai efek mencandu. Efek mencandu itu bisa disebabkan oleh dua hal utama. Pertama,
karena senang memperoleh teman dan mendapat perhatian dari orang lain. Kedua, senang
menjadi orang yang dikenal dan diakui keberadaannya. Karena itu, akan semakin mudah
menjadi pecandu jejaring sosial di internet bila seseorang memiliki kebutuhan besar akan
perhatian, penghargaan diri, dan pengakuan akan eksistensi dirinya (Widiana & Hidayat,
2004).
Pengujian kecenderungan adiksi jejaring sosial pada remaja menggunakan definisi
operasional dari Internet Addiction Test menurut Young (1996), dimana pengguna jejaring
sosial tidak dapat menghentikan keinginannya untuk online jejaring sosial sehingga
kehilangan kontrol dari penggunaan jejaring sosial. Dimensi yang mewakili dari skala adiksi
jejaring sosial terdiri dari tiga dari enam faktor dalam Internet Addiction Test, yaitu salience,

14

excessive use, neglect study. Salience merupakan aktivitas dimana penggunaan jejaring sosial
adalah hal paling penting dalam kehidupan individu, mendominasi pikiran individu
(preokupasi atau gangguan kognitif), perasaan (merasa sangat butuh), dan tingkah laku
(kemunduran dalam perilaku sosial). Excessive use lebih menjelaskan mengenai penggunaan
berlebihan pada jejaring sosial, sehingga dapat mengganggu aktivitas lain dari penggunnanya.
Indikator dalam excessive use meliputi, waktu berjejaring sosial yang terus bertambah,
kecenderungan tetap online melebihi waktu normal dan terganggunya waktu tidur untuk
melakukan aktivitas jejaring sosial. Neglect study merupakan aktivitas dimana pengguna
jejaring sosial mengabaikan tugas – tugas dan waktu belajar yang dimilikinya hanya untuk
berjejaring sosial. Indikator dalam dimensi neglect study meliputi menunda pengerjaan tugas,
penurunan prestasi dan perilaku berbohong untuk menutupi aktivitas berjejaring sosial.
Terdapat perilaku kecenderungan adiksi jejaring sosial (Facebook atau Twitter) pada
siswa SMAK Gracia tetapi berada dalam taraf yang rendah. Fakta ini didasarkan pada hasil
data di lapangan, diperoleh data sebanyak 43 siswa (66,15%) mengalami kecenderungan
adiksi jejaring sosial yang rendah, hal ini dapat disebabkan karena adanya faktor lain yang
mengurangi kecenderungan adiksi jejaring sosial pada remaja, misal siswa SMAK Gracia
belum memasuki tahap adiksi pada jejaring sosial, kegiatan ekstrakulikuler yang diikuti serta
terpenuhinya tugas – tugas perkembangan remaja.
Kegiatan ekstrakurikuler yang disediakan oleh pihak sekolah juga dapat menjadi
faktor rendahnya kecenderungan adiksi jejaring sosial pada remaja. Kegiatan ekstrakurikuler
merupakan wadah bagi siswa untuk meningkatkan minat dan bakat yang dimiliki, misal
basket, dance, musik, dll. Keberadaan ekstrakurikuler juga dapat mengalihkan perhatian
siswa untuk mengaktifkan jejaring sosial yang dimilikinya, sehingga siswa memiliki kegiatan
untuk mengisi waktu luang.

15

Faktor lain yang dapat mempengaruhi remaja tidak mengalami kecenderungan adiksi
jejaring sosial menurut Monks, dkk salah satunya adalah remaja lebih banyak berada diluar
rumah dan berkumpul bersama teman sebayanya dengan membentuk kelompok dan
mengekspresikan segala potensi yang dimiliki. Kondisi ini membuat remaja sangat rentan
terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap penampilan dan perilaku (Sonia, 2009). Hal
ini juga dapat dilihat dari tugas perkembangan remaja yang diungkapkan Havigurst (Hurlock,
1990), yaitu memilih dan mempersiapkan karier pekerjaan, mengembangkan keterampilan
intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga negara, mencapai tingkah laku
yang bertanggung jawab secara sosial. Ada beberapa remaja yang menghabiskan waktunya
untuk bermain dan berkumpul bersama teman daripada bermain jejaring sosial. Beberapa
remaja lebih memilih menghabiskan waktu untuk hal positif dengan mengembangkan minat
dan potensi yang dimiliki seperti mengembangkan hobi untuk mempersiapkan dirinya
menuju fase kehidupan selanjutnya, dewasa awal.
Adanya fasilitas internet yang dapat diakses dengan mudah pada dunia akademik
dimaksudkan sebagai pendukung kegiatan akademik seperti penelitan dan kemudahan
mengakses perpustakaan internasional. Alasan tersebut mendasari diadakannya jasa internet
didalam

lingkungan

pendidikan

(kampus,

sekolah,

lembaga

bimbingan

belajar).

Kenyataannya 58% siswa mengalami penurunan dalam kebiasaan belajar, penurunan ranking
, membolos atau mendapatkan masa percobaan disebabkan karena pengunaan internet yang
berlebihan (Widiana & Hidayat, 2004). Hal tersebut disebabkan karena siswa mengakses
aplikasi yang tidak relevan dengan pelajaran.
Selain itu, keberadaan facebook juga mendapat sorotan. Sebuah survey yang
dilakukan oleh Ohio University, menyebutkan bahwa mahasiswa yang kerap menggunakan
facebook ternyata menjadi malas dan bodoh. Menurut studi yang mengambil sampel 219
mahasiswa Ohio State University tersebut, semakin sering mahasiswa menggunakan

16

facebook, semakin sedikit waktu mahasiswa belajar dan semakin buruk nilai‐nilai mata
pelajaran mahasiswa. Seperti dikutip Daily Mail, para psikolog melakukan penelitian dan
mengungkap bahwa hasil ujian dari mereka yang belajar sambil main situs jejaring sosial itu
lebih kecil 20 persen dibandingkan rekan mereka yang belajar saja. (Juditha, 2011).
Melihat dari data dan fakta di atas terdapat kemunduran prestasi dalam diri remaja
sejak menggunakan jejaring sosial. Ditinjau dari faktor kognisi milik Piaget, pada masa
remaja, individu mulai memasuki tahap perkembangan kognitif pada level tertinggi, yaitu
operasional formal, dimana remaja diharapkan mampu mengintegrasikan pengalamanpengalaman masa lalu dengan tantangan di masa kini dan mendatang, serta mampu membuat
rencana untuk masa depan. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat tercermin pada
kemampuan remaja untuk membuat rencana strategi belajar serta target yang ingin dicapai
dalam belajar (Afianti, 2010).
Kemampuan remaja untuk membuat rencana strategi belajar serta target yang ingin
dicapai dalam belajar merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki oleh siswa yang
memiliki self regulated learning. Zimmerman (Akhmadi, 2008) mengatakan, Self regulated
learning menempatkan pentingnya kemampuan seseorang untuk belajar disiplin mengatur
dan mengendalikan diri sendiri, terutama bila menghadapi tugas-tugas yang sulit. Pada sisi
lain, self regulated learning menekankan pentingnya inisiatif, karena self regulated learning
merupakan belajar yang terjadi atas inisiatif sendiri. Siswa yang memiliki inisiatif
menunjukkan kemampuan untuk mempergunakan pemikiran - pemikirannya, perasaanperasaannya, strategi dan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan. Dengan demikian dapat
dikatakan betapa efektifnya belajar jika siswa memiliki keterampilan self-regulated learning
(Akhmadi, 2008).
Seharusnya dengan adanya fasilitas jejaring sosial pada internet, remaja dapat
memanfaatkan dengan baik dengan mencari informasi – informasi yang tersedia dan juga

17

mampu bersosialisasi dengan baik dengan oranglain. Namun berdasarkan fakta, banyak
remaja yang terlena dengan kemudahan jejaring sosial dan mengesampingkan tugas utama
sebagai seorang siswa yaitu belajar. Self regulated learning pada remaja dikategorikan dalam
tiga dimensi menurut aspek self regulated learning milik Zimmerman, yaitu metakognisi,
motivasi dan perilaku.
Metakognisi merupakan proses pengambilan keputusan yang meregulasi pilihan dan
menggunakan berbagai macam pengetahuan. Indikator dalam metakognisi meliputi strategi
pengulangan (rehearsal), elaborasi (elaboration), dan organisasi (organization). Motivasi
merupakan aktivitas yang penuh tujuan dalam memulai, mengatur atau menambah kemauan
untuk memulai, mempersiapkan tugas berikutnya, atau menyelesaikan aktivitas tertentu atau
sesuai tujuan. Indikator dalam dimensi motivasi Penguasaan motivasi diri sendiri (mastery
self-talk), peningkatan yang relevan (relevance enhancement), peningkatan minat situasional
(situational interest enhancement), dan konsekuensi diri (self consecuating), sedangkan
perilaku merupakan usaha individu untuk mengontrol sendiri perilaku yang nampak.
Indikator dalam dimensi perilaku regulasi usaha (effort regulation), waktu dan lingkungan
(time/ study environment), dan pencarian bantuan (help-seeking).
Berdasarkan data di lapangan, diperoleh bahwa siswa – siswi di SMAK Gracia
Surabaya termasuk kedalam siswa – siswi yang memiliki self regulated learning rendah. Hal
itu sesuai dengan range daerah keputusan kategori rendah yang berada pada notasi X < 116,7
yang ditentukan berdasarkan norma yang dibuat oleh Azwar (2012). Jumlah siswa kategori
rendah pada self regulated learning mendominasi sebanyak 60 siswa (92,3%) dari 65 siswa
yang dijadikan subjek penelitian. Sedangkan hanya 5 siswa (7,7%) berada dikategori sedang,
dan tidak ada satu siswa yang berada pada kategori tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa
siswa – siswa di SMAK Gracia Surabaya kurang memiliki self regulated learning, meskipun
ada beberapa dari mereka yang memiliki self regulated learning. Dilihat dari data yang

18

diperoleh di lapangan, diperoleh hasil bahwa kecenderungan adiksi jejaring sosial dan self
regulated learning berada pada taraf rendah. Terdapat faktor yang mempengaruhi rendahnya
kedua variabel tersebut, seperti diketahui penelitian menggunakan data self reported dimana
rawan akan data palsu atau ketidak jujuran yang diberikan oleh responden.
Guna melihat hubungan yang terjadi antara variabel kecenderungan adiksi jejaring
sosial dan self regulated learning, maka penggunaan korelasi yang terjadi dapat dilihat
kembali pada tabel 22, yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi didalamnya dengan
melihat nilai signifikansi 0,000 lebih kecil dari nilai 0,05 dan korelasi yang terjadi sifatnya
negatif atau berarti kebalikannya. Maksudnya adalah semakin tinggi kecenderungan adiksi
jejaring sosial (facebook atau twitter) maka semakin rendah self regulated learning pada
remaja. Namun ketika kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) rendah,
maka self regulated learning pada remaja semakin tinggi. Hasil yang diperoleh ini juga
menunjukkan bahwa pendapat yang diajukan peneliti pada hipotesis alternatif dapat diterima,
yakni kecenderungan adiksi terhadap jejaring sosial berperan signifikan dalam menjelaskan
self regulated learning remaja SMA, dimana semakin tinggi kecenderungan adiksi jejaring
sosial maka semakin rendah tingkat self regulated learning remaja tetapi jika semakin rendah
kecenderungan adiksi jejaring sosial maka semakin tinggi tingkat self regulated learning
remaja.
Uji hipotesis yang telah dilakukan oleh peneliti juga menunjukkan terdapat nilai R²
atau kebaikan model regresi yang artinya sumbangan efektif dari data yang diperoleh, yakni
sebesar 33,9%.

yang mana kecenderungan peran adiksi jejaring sosial memberikan

sumbangan efektif sebesar 33,9%

terhadap self regulated learning. Sedangkan sisanya

66,1% disebabkan oleh faktor lainnya yang tidak diteliti oleh peneliti.
Sifat dari linieritas pada penelitian ini maka, persamaan regresi linier sederhana untuk
memberikan prediksi dapat dinilai pada persamaan Y =

, dimana dapat

19

diartikan jika terjadi kenaikan sebesar satu pada kecenderungan adiksi jejaring sosial, maka
dapat menurunkan self regulated learning sebesar 0,33%. Persamaan regresi linier sederhana
yang telah ditemukan ini, dapat membantu dalam memprediksikan besarnya self regulated
learning jika diketahui jumlah skor dari kecenderungan adiksi jejaring sosial.
Diharapkan setelah mengetahui hasil dari penelitian ini, akan memudahkan subyek
dan instansi terkait untuk mengetahui pentingnya meningkatkan dan memperhatikan self
regulated learning yang memiliki banyak manfaat bagi pencapaian kesuksesan dan tujuan
dalam mencapai tujuan dalam menyelesaikan sekolah.

KESIMPULAN
Analisa hasil perhitungan product moment pearson menunjukkan adanya korelasi
negatif dan hipotesis peneliti diterima, artinya penelitian ini memiliki korelasi antara variabel
kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dan self regulated learning yang
mana semakin tinggi kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) maka
semakin rendah self regulated learning, sebalikanya semakin rendah kecenderungan adiksi
jejaring sosial (facebook atau twitter) maka semakin tinggi self regulated learning.
Sumbangan efektif sebesar 0,339 menunjukkan peran kecenderungan adiksi jejaring sosial
(faceboo k atau twitter)memberikan sumbangsih sebesar 33,9% dalam menjelaskan self
regulated learning pada siswa SMAK Gracia Surabaya.
SARAN
Saran peneliti terhadap peneliti selanjutnya, diharapkan agar menambahkan metode
kualitatif karena dianggap mampu mengungkap adiksi jejaring sosial lebih mendalam pada
subjek. Bagi pemilik akun jejaring sosial, baik facebook maupun twitter hendaknya memiliki
time management untuk melakukan aktivitas berjejaring sosial dan kegiatan lainnya. Agar

20

tidak muncul adiksi yang dapat merugikan diri sendiri. Bagi siswa, memiliki strategi belajar
dan target dalam sekolah diperlukan, dengan mencatat dan mengulang kembali dirumah
materi yang diberikan disekolah merupakan ciri dari adanya self regulated learning. Bagi
SMAK Gracia Surabaya, perlu adanya pengawasaan terhadap penggunaan internet terutama
jejaring sosial disekolah. Adanya wi-fi yang diaktifkan, hendaknya dapat dibatasi, seperti
menutup akses untuk mengaktifkan jejaring sosial diwaktu jam pelajaran berlangsung

DAFTAR PUSTAKA
Afianti, R. (2010). Hubungan Antara Self regulated learning (SRL) dengan Kemandirian
pada Siswa Program Akselerasi SMA 1 Purworejo. Thesis. Tidak
Diterbitkan.Universitas Diponegoro.
Agung, M.L. (2010). Facebook, Twitter, Plurk, dalam Satu Genggaman. Yogyakarta: CV.
Andi.
Akhmadi, A. (2008). Menumbuhkan Self regulated learning Siswa (Pendalaman Materi
“Bimbingan Belajar” Diklat Guru Bimbingan Konseling). Jurnal Pendidikan, 6 (1), 19. Diakses tanggal 11/01/2013
Aleman, A. & Wartman, K. (2009). Online Social Networking on Campus: Understanding
What Matters in Student Culture. Taylor & Francis Press.
Alsa, A. (2007). Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian
Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Alsa, A. & Komalasari, A. (2005). Self regulated learning pada Mahasiswa Fakultas
Kedokteran yang Menggunakan Tipe Pembelajaran PBL (Problem Based Learning)
dan SKS (Satuan Kredit Semester). Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Psikologi
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Andina, E. (2010). Studi Dampak Negatif Facebook Terhadap Remaja Indonesia. Jurnal
Aspirasi, 1, (1), 119-146. Diakses tanggal 11/01/2013.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar, S. (2010). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
______. (2012). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bungin, B. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan
Publik serta Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup.

21

Cheng, C.K.E. (2011). The Role of Self - regulated Learning in Enhancing Learning
Performance. Journal Volume 6(1), March. The International Journal of Research and
Review The Hong Kong Institute of Education, Hong Kong
Dirgayuza, S. (2009). Panduan Praktis Mengoptimalkan Facebook. Media Kita : Jakarta
Elia, H. (2009). Kecanduan berinternet dan prinsip prinsip untuk menolong pecandu internet.
Jurnal Veritas,10,(2), 285-299. Diakses tanggal 10/04/2013.
Firman, M. (2011). Berkat Facebook Ibu dan Anak Bertemu Kembali. Diakses melalui
http://teknologi.news.viva.co.id tanggal 24/08/2013 12.37 WIB
Ghozali, I. (2005). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang : Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Ginanjar, D. Slamet, C. & Gunadhi, E. (2012). Perancangan Web Jejaring Sosial Penelusuran
Alumni Sekolah Tinggi Teknologi Garut. Jurnal Algoritma, 09,(11), 1-6. Diakses
23/7/2013.
Hadi, S. (2000). Metodologi Research. Yogyakarta : Andi Offset.
Hijrianti, U.R. (2012). Hubungan Antara Regulasi Diri dalam Belajar dengan Prestasi Belajar
Siswa SMP ( Studi Pada SMP Negeri 4 Malang). Skripsi. Tidak Diterbitkan. Program
Studi Psikologi FISIP Universitas Brawijaya.
Hurlock, E.B., (1999). Psikologi Perkembangan, Suatu Rentang Kehidupan (Terjemahan :
Istiwidayanti dan Soedjarwo). Jakarta : Erlangga.
Hutahaean, H. (2012). Pengaruh Penggunaan Twitter Terhadap Efektivitas Komunikasi
Mahasiswa. Jurnal Pendidikan,26,37-52. Diakses tanggal 15/02/2013.
Idrus, M. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta: Erlangga
Jatmiko, D.F. (2012). Dampak Negatif Jejaring Sosial (Facebook dan Twitter) pada
Mahasiswa. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Universitas Brawijaya Malang
Juditha, C. (2011). Hubungan Penggunaan Situs Jejaring SosialFacebookTerhadap Perilaki
Remajadi Kota Makassar.Jurnal Penelitian IPTEKKOM, 13,(1), 1-21.Diakses tanggal
21/03/2013.
Kartini, R. (2010). Hubungan antara kemampuan self regulated learning dengan
kecenderungan perilaku mencontek siswa. ( studi deskriptif siswa kelas IX SMP negeri
10 Bandung tahun ajaran 2010/2011). Skripsi. Tidak Diterbitkan. Universitas
Pendidikan Indonesia.
Kiralla, L. (2005). Internet Addiction Disorder: A descriptive Study of College Counselors in
Four-Year Institutions. California: ProQuest Information and Learning Company
Kusumaningtyas, R. (2010). Peran Media Sosial Online (Facebook) Sebagai Saluran Self
Disclosure Remaja Putri di Surabaya (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Peran

22

Media Sosial Online (Facebook) sebagai Saluran Self Disclosure Remaja Putri di
Surabaya). Skripsi. Tidak Diterbitkan. Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN
“Veteran” Jawa Timur.
Linska, K. (1994). Drugs And Human Body with Implication for Society. Ipen Sadde River,
New Jersey : Prentice Hall.
Listiyono, E. (2013). Pengaruh jejaring sosial bagi dunia remaja. Diakses melalui
http://bencerdas.web.id tanggal 24/08/2013 11.23 WIB
Latipah, E. (2010). Strategi Self regulated learning dan Prestasi Belajar: Kajian Meta
Analisis. Jurnal Psikologi, 37,(1), 110-128. Diakses tanggal 21/02/2013.
Lin, C. & Atkin, D.(2002). Communication Technology and Society. Cresskill, NJ : Hampton
Press.
Milanie, D. (2010). Motif Mahasiswa Surabaya dalam Menggunakan Situs Twitter di Internet
(Studi Deskriptif Motif mahasiswa Surabaya Dalam Menggunakan Situs Twitter di
Internet).Skripsi. Tidak Diterbitkan. Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN
“Veteran” Jawa Timur.
Monks, F.J., A.M.P. Knoers dan Siti R.(1998). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam
Berbagai Bagiannya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mursyidawati, A. Siswati. Widodo, P.R. (2010). Hubungan Antara Regulasi Diri Dalam
Belajar Dengan Perilaku Mencari Bantuan Akademik Dalam Pelajaran Matematika
Pada Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Di Kota Semarang. Jurnal Pendidikan,
2,(1), 1-17. Diakses tanggal 11/01/2013.
Muslim, E. (2009). Market research. Diakses melalui http://staff.ui.ac.id. Diakses tanggal
12/03/2013
Mustofa, D.Z. (2013). Kecanduan Facebook, Fenomena Lain Jejaring Sosial. Diakses
melalui http://www.merdeka.com tanggal 24/08/2013 12.01 WIB
Nasution, A. (2012). 15 jejaring sosial terpopuler dan 6 situs jejaring sosial terkenal lainnya.
Diakses melalui http://albadrln.wordpress.com tanggal 18/01/2013.
Papalia D. E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2007). Human development (9th edition). New
York: Mc Graw Hill.
Pratiwi, A. (2009). Hubungan Antara Kecemasan Akademis dengan Self regulated learning
pada Siswa Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di SMA Negeri 3 Surakarta.
Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.
Pop Survey . (2012). Terbesar Kedua di Dunia: Pertumbuhan Pengguna Jejaring Sosial
Indonesia. Diakses melalui http://www.popsurvey.net tanggal 24/08/2013 12.12 WIB
Psikologi Zone . (2012). Wanita Lebih Beresiko Kecanduan Facebook. Diakses melalui
http://www.psikologizone.com tanggal 24/08/2013 13.35 WIB

23

Riduwan. (2009). Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian. Bandung: Alphabets.
Rosdaniar. (2008). Hubungan Antara Kesepian dengan Kecanduan Internet (Internet
Addiction Disorder) Pada Mahasiswa. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Program Studi
Psikologi FPSB UII.
Santrok, J. W. (2003). Adolescence (Perkembangan Remaja). Terjemahan.Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Samosir, F. (2008). Attachment style pada mantan pengguna narkoba yang sedang berada di
pusat rehabilitasi. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Satria. (2012). Pengertian penelitian eksplanatori menurut para ahli
http://id.shvoong.com/ tanggal 14/04/2013.

diakses melalui

Sekaran, U. (2003). Research Methods for Business : A Skill Building Approach 2nd Edition..
. New York : John Willey and Son
Sekolah123 . (2011). Jejaring Sosial : Lawan atau Kawan Bagi Remaja?. Diakses melalui
http://sekolah123.com tanggal 25/08/2013, 10.23 WIB
Sonia, V. (2009). Perbedaan depresi ditinjau dari kategori bullying dan jenis kelamin pada
remaja awal. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Psikologi Universitas Sumatra Utara.
Sugandi. (2013). Kejahatan via Facebook, Melibatkan Sindikat Internasional. Diakses
melalui http://rri.co.id tanggal 24/08/2013 11.58 WIB
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2012). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Supratiwi, F. (2012). Pengguna Facebook di Indonesia Tertinggi Ketiga Dunia. Diakses
melalui http://www.antaranews.com tanggal 24/08/2013 11.45 WIB
Usman, A. (2010), Remaja Indonesia Rawan Terjangkit Kecanduan Jejaring Sosial. Diakses
melalui http://m.tribunnews.com tanggal 24/08/2013 12.43 WIB
Yoseptian. (2012). Kebutuhan Afiliasi dan Keterbukaan Diri pada Remaja Pengguna
Facebook. Jurnal Psikologi, 12,(2), 1-10.Diakses tanggal 17/01/2013.
Young, K. S. (1996). Caught in The Net. New York : John Willey & Sons.
Young, K. S & Suler, J. (1998). Intervention for Pathological and Deviant Behavior Within
an Online Community.
Young, K. S & Rodgers, R. C. (1998). Internet Addiction : Personality Traits Asociated whit
Its Development (A Preliminary Analysis). PaperPresented at the 69th annual meeting
ofthe Eastern Psychology Association in April.

24

Wahjuningtyas, R. (2012). Pengaruh Siswa Terhadap Hubungan dan Self regulated
learningdengan Kedisiplinan Siswa. Thesis. Tidak Diterbitkan. Fakultas Psikologi
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Widiana, H.S, Retnowati, S. & Hidayat, R. (2004). Kontrol diri dan kecenderungan kecaduan
internet. Humanitas : Indonesian Psychologycal, 1,(1), 6-16.Diakses tanggal 26/7/2013
Widyanto, L.& McMurran, M. (2004). The Psychomatric Properties of the Internet Addiction
Test. CyberPsychology & Behavior, 7,( 4), 1-8.
Winne, P.H. (1997). Experimenting to Bootstrap Self-Regulated Learning. Journalof
Educational Psychology. 89,(3), 397-410.
Zulkifli L. (2003). Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Zimmerman, B.J. (1990). Self Regulated Learning and Academic Acheivement: an
Overview. Journal Educational psychologist, 25(1), 3-17. Graduate school of the city
university of new york