Studi Eksperimental Perbandingan Unjuk Kerja Kompor Bioetanol Gel dengan Membuat Variasi Tempat Pembakaran (Burner) dan Diameter Lubang Udara

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Disain Kompor

Kompor bioetanol gel didesain sesuai keutuhan masarakat urban, yaitu praktis, moderen, murah dan ramah lingkungan. Banyak software yang dapat digunakan dalam mendisain seperti, solidwork, autocad, autodeks inventor, catia,

ansys dan banyak lagi.

2.1.1 Solidwork

Sebagai software CAD, Solidworks dipercaya sebagai perangkat lunak untuk membantu proses desain suatu benda atau bangunan dengan mudah, di Indonesia sendiri terdapat banyak perusahaan manufaktur yang mengimplementasikan perangkat lunak solidworks. Keunggulan solidworks dari

software CAD lain adalah mampu menyediakan sketsa 2D yang dapat diupgrade

menjadi bentuk 3D. Selain itu pemakaiannya pun mudah karena memang dirancang khusus untuk mendesai benda sederhana maupun yang rumit. Inilah yang membuat solidworks menjadi populer dibandingkan dengan software CAD lainnya.

Solidworks banyak digunakan untuk merancang roda gigi, mesin mobil, casing ponsel dan lain-lain. Fitur yang tersedia dalam solidworks lebih easy-to-use dibanding dengan aplikasi CAD lainnya. Solidworks cocok untuk mahasiswa

yang sedang menempuh pendidikan di jurusan tehnik sipil, tehnik industri dan tehnik mesin, karena proses penggunaan solidworks lebih cepat dibanding

vendor-vendor software CAD lain yang lebih dulu ada. Solidworks juga dapat melakukan

simulasi pada desain yang dibuat dengan solidworks.

Analisi kekuatan desain juga dapat dilakukan secara sederhana dengan

solidworks, dan yang paling penting, solidworks dapat membuat disain animasi


(2)

2.2. Bioetanol

Bioetanol adalah etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa yang dilanjutkan dengan proses destilasi. Etanol merupakan kependekan dari etil alkohol (C2H5OH), sering pula disebut grain alcohol atau alkohol. Wujud dari etanol berupa cairan yang tidak berwarna, mudah menguap dan mempunyai bau yang khas. Sifat lainnya adalah larut dalam air dan eter, berat jenisnya adalah sebesar 0,7939 g/mL, dan titik didihnya 78,320ºC pada tekanan 766 mmHg, serta mempunyai panas pembakaran 7093.72 kkal. Etanol digunakan dalam beragam industri seperti sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk minuman keras seperti sake, bahan baku farmasi dan kosmetik, dan campuran bahan bakar kendaraan, peningkat oktan, dan bensin alkohol.

Pemakaian etanol sebagai sumber energi dalam industri dan kendaraan akan sangat mengurangi pembuangan gas CO2 yang mengakibatkan pemanasan global. Cepat atau lambat sumber minyak (fuel source) akan habis karena depositnya terbatas. Minyak bumi merupakan sumber energi yang tidak dapat diperbaharui. Keterbatasan itu mendorong negara industri melirik etanol (biofuel) sebagai sumber energi altenatif. Selain terus-menerus dapat diproduksi oleh mikroorganisme, etanol juga ramah lingkungan.

Beberapa keunggulan dari penggunaan etanol sebagai bahan bakar yaitu[1] : 1. Diproduksi dari tanaman yang dapat diperbarui (renewable).

2. Mengandung kadar oksigen sekitar 35% sehingga dapat terbakar lebih sempurna.

3. Penggunaan bioetanol gel dapat menurunkan emisi gas rumah kaca. Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara hingga tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan


(3)

akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Akibat jumlah gas-gas tersebut telah berlebih di atmosfer, pemanasan global menjadi akibatnya. Untuk mengurangi emisi rumah kaca yaitu dengan mangganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar nabati yaitu bioetanol gel.

4. Pembakaran tidak menghasilkan partikel timbal dan benzena yang bersifat karsinogenik (penyebab kanker). Timbal ditambahkan sebagai bahan aditif pada bensin dalam bentuk timbal organik (tetraetil-Pb atau tetrametil-Pb). Pada pembakaran bensin, timbal organik ini berubah bentuk menjadi timbal anorganik. Timbal yang dikeluarkan sebagai gas buang kendaraan bermotor merupakan partikel-partikel yang berukuran sekitar 0,01 µm. Partikel-partikel timbal ini akan bergabung satu sama lain membentuk ukuran yang lebih besar, dan keluar sebagai gas buang atau mengendap pada kenalpot. Pengaruh Pb pada kesehatan yang terutama adalah pada sintesa haemoglobin dan sistem pada syaraf pusat maupun syaraf tepi. Pengaruh pada sistem pembentukkan Hb darah yang dapat menyebabkan anemia, ditemukan pada kadar Pb-darah kelompok dewasa 60-80µg/100 ml dan kelompok anak > 40 µg/100 ml. Pada kadar Pb-darah kelompok dewasa sekitar 40 µg/100 ml diamati telah ada gangguan terhadap sintesa Hb, seperti meningkatnya ekskresi asam aminolevulinat. Oleh karena itu bioetanol merupakan cara terbaik untuk mencegah hal tersebut.

5. Mengurangi emisi fine-particulates yang membahayakan kesehatan manusia. Pembakaran didalam mesin menghasilkan berbagai bahan pencemar dalam bentuk gas dan partikulat yang umumnya berukuran lebih kecil dari 2 µm. Beberapa dari bahan-bahan pencemar ini merupakan senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik dan mutagenik, seperti etilen, formaldehid, benzena, metil nitrit dan hidrokarbon poliaromatik (PAH). Mesin solar akan menghasilkan partikulat dan senyawa-senyawa yang dapat terikat dalam partikulat seperti PAH, 10 kali lebih besar dibandingkan dengan mesin bensin yang mengandung timbel. Untuk beberapa senyawa lain seperti benzena, etilen, formaldehid, benzo (a)


(4)

pyrene dan metil nitrit, kadar di dalam emisi mesin bensin akan sama

besarnya dengan mesin solar. Emisi kendaraan bermotor yang mengandung senyawa karsinogenik diperkirakan dapat menimbulkan tumor pada organ lain selain paru. Untuk itu Bahan Bakar Nabati (BBN) merupakan cara untuk mengurangi emisi fine-particulates.

6. Mudah larut dalam air dan tidak mencemari air permukaan dan air tanah. Proses destilasi dapat menghasilkan etanol dengan kadar 95%, untuk digunakan sebagai bahan bakar perlu lebih dimurnikan lagi hingga mencapai 99,5% yang sering disebut Fuel Grade Ethanol (FGE). Mengingat pemanfaatan etanol yang beraneka ragam, maka kadar etanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Etanol yang mempunyai kadar 90-96,5% dapat digunakan pada industri, sedangkan etanol yang mempunyai kadar 96-99,5% dapat digunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Etanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan yang harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga etanol harus mempunyai kadar sebesar 99,5-100%. Perbedaan besarnya kadar akan berpengaruh terhadap proses pengolahan karbohidrat menjadi glukosa larut air [4].

2.3. Pembuatan Bioetanol

Bioetanol adalah alkohol yang diperoleh dari fermentasi komponen gula pada biomasa. Hingga saat ini etanol utamanya dibuat dari gula dan tepung biji bijian. Dengan kemajuan teknologi, etanol dapat dibuat dari selulosa biomasa, seperti pohon dan rumput. Selain biokonversi, etanol juga dapat dibuat dari sumber lain, yaitu dengan cara sintesa. Secara umum proses produksi bioetanol diuraikan di bawah ini. Pembuatan bioetanol yang menggunakan bahan baku tanaman yang mengandung pati, dilakukan dengan cara mengubah pati menjadi gula (glukosa) larut air. Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat dan tetes menjadi bioetanol ditunjukkan pada tabel 2.1.


(5)

Tabel 2.1 Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat dan tetes menjadi bioetanol [1].

Bahan Baku Kandungan Gula dalam Bahan Baku

Jumlah Hasil Konversi Bioetanol (liter)

Perbandingan Bahan Baku dan Bioetanol Jenis Konsumsi

( kg )

Ubi kayu 1000 250-300 166.6 6.5:1

Ubi Jalar 1000 150-200 125 8:1

Jagung 1000 600-700 200 5:1

Sagu 1000 120-160 90 12:1

Talas 1000 500 250 4:1

Pengubahan pati menjadi gula dapat dilakukan dengan dua metode yaitu hidrolisa asam dan hidrolisa enzim. Namun, pada saat ini metode yang lebih banyak digunakan adalah dengan hidrolisa enzim. Pada proses pengubahan pati menjadi gula larut air yang menggunakan metode hidrolisa enzim dilakukan dengan penambahan air dan enzim, selanjutnya dilakukan proses fermentasi gula menjadi etanol dengan menambahkan ragi. Reaksi yang terjadi pada proses produksi bioetanol secara sederhana ditunjukkan pada reaksi 1 dan 2 pada gambar 2.1 dibawah ini [1]:

(C6H10O5)n + H2O N C6H12O6 (1)

(pati) enzim (glukosa)

(C6H12O6)n 2 C2H5OH + 2 CO2 (2)

(glukosa) ragi (etanol)

Gambar 2.1 Reaksi Produksi Bioetanol [1].

Secara sederhana teknologi proses produksi bioetanol yang menggunakan bahan baku ubi kayu dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu gelatinasi, sakharifikasi, dan fermentasi. Pada proses gelatinasi ubi kayu dihancurkan kemudian ditambahkan air sehingga akan diperoleh bubur ubi kayu, dimana pati yang


(6)

dihasilkan diperkirakan mencapai 27-30 %. Kemudian pati yang telah diperoleh dari bubur ubi kayu tersebut dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel. Pada umumnya, proses gelatinasi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

1. Bubur pati dipanaskan sampai 130ºC selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai mencapai temperatur 95ºC yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar 15 menit. Kemudian selama sekitar 75 menit, kondisi temperatur 95ºC tersebut dipertahankan, sehingga total waktu yang dibutuhkan mencapai 2 jam. 2. Pati langsung ditambah enzim termamyl, kemudian dipanaskan sampai

mencapai temperatur 130ºC selama 2 jam.

Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan bertahap mempunyai keuntungan, yaitu pada suhu 95ºC aktifitas termamyl merupakan yang paling tinggi, sehingga mengakibatkan ragi cepat aktif. Pemanasan dengan suhu 130ºC pada cara pertama tersebut dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak dengan air dan enzim serta dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan, sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi. Gelatinasi cara kedua, yaitu cara pemanasan langsung (gelatinasi dengan enzim termamyl) pada temperature 130ºC menghasilkan hasil yang kurang baik, karena mengurangi dapat mengurangi aktifitas dari ragi. Hal tersebut disebabkan gelatinasi dengan enzim pada suhu 130ºC akan terbentuk tri-phenyl-furane yang mempunyai sifat racun terhadap ragi. Gelatinasi pada suhu tinggi tersebut juga akan berpengaruh terhadap penurunan aktifitas termamyl, karena aktifitas

termamyl akan semakin menurun setelah melewati suhu 95ºC. Selain itu,

tingginya temperature tersebut juga akan mengakibatkan half life dari termamyl semakin pendek, sebagai contoh pada temperature 93ºC, half life dari termamyl adalah 1500 menit, sedangkan pada temperature 107ºC, half life termamyl tersebut adalah 40 menit. Hasil gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai mencapai temperatur 55ºC, kemudian ditambah SAN untuk proses sakharifikasi dan selanjutnya difermentasikan dengan menggunakan ragi. Ragi yang sering digunakan dalam fermentasi alkohol adalah Saccharomycescerevisiae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap alkohol yang cukup


(7)

tinggi (12-18%), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32ºC [1].

Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi bioetanol. Mekanisme reaksi pada proses fermentasi dapat dilihat pada Gambar 2.2. Pada saat keadaan aerob asam piruvat diubah menjadi asetil-koenzimA. Tetapi karena ragi Saccharomyzes ceraviseze dalam keadaan anaerob, asam piruvat diubah menjadi etanol dengan bantuan piruvat dekarboksilase dan alkohol dehidrogenase melalui proses fermentasi alkohol [1].

Gambar 2.2 Reaksi pengubahan piruvat menjadi alcohol [1].

Bioetanol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya masih mengandung gas-gas antara lain CO2 dan aldehyde. Gas CO2 pada hasil fermentasi tersebut biasanya mencapai 35%, sehingga untuk memperoleh bioetanol yang berkualitas baik, maka bioetanol tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut. Proses pembersihan CO2 dilakukan dengan menyaring bioetanol yang terikat oleh CO2, sehingga dapat diperoleh bioetanol yang bersih dari gas CO2. Pada umumnya bioetanol atau alkohol yang dihasilkan dari proses fermntasi yang mempunyai kemurnian sekitar 30% - 40%, sehingga harus dimurnikan lagi. Agar mendapatkan kadar bioetanol lebih dari 95% dan dapat dipergunakan sebagai bahan bakar, alkohol hasil fermentasi yang mempunyai kemurnian sekitar 30 - 40% tersebut harus melewati proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air [1].


(8)

Destilasi merupakan pemisahan larutan berdasarkan titik didihnya. Titik didih etanol murni adalah 78ºC sedangkan air adalah 100ºC. Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 - 100ºC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap.

Destilasi fraksinasi merupakan pemisahan atau pengambilan uap dari setiap tingkat yang berbeda dalam kolom destilasi. Produk yang lebih berat diperoleh di bagian bawah, sedangkan yang lebih ringan akan keluar dari bagian atas kolom. Dari hasil destilasi ini, kadar bioetanolnya berkisar antara 95-96%. Namun, pada kondisi tersebut campuran membentuk azeotrope, yang artinya campuran alkohol dan air sukar untuk dipisahkan.Untuk memperoleh bioetanol dengan kemurnian lebih tinggi dari 99,5% atau yang umum disebut Fuel Grade

Ethanol, masalah yang timbul adalah sulitnya memisahkan hidrogen yang terikat

dalam struktur kimia alcohol dengan cara destilasi biasa, oleh karena itu untuk mendapatkan Fuel Grade Etanol dilaksanakan pemurnian lebih lanjut dengan cara

azeotropic destilasi.

Untuk menghasilkan anhydrous alcohol, kondisi azeotrope harus dipecahkan dengan bahan pelarut lain. Bahan pelarut yang biasa digunakan adalah benzene atau n-hexane. Cara lain yang umum dipakai adalah desiccants

process dan molecular sieves. Pada proses desiccant, untuk mendapatkan anhydrous alcohol digunakan bahan kimia yang sifatnya stabil yang bereaksi

hanya dengan air, dan tidak bereaksi dengan alkohol. Contohnya adalah kalsium oksida. Reaksi antara CaO dengan air mengeluarkan panas, sehingga perlu rancangan khusus pada kolomnya. Selain itu berbagai macam pati juga dapat dipakai sebagai dessicant. Molecular sieves adalah kristal aluminosilikat, merupakan bahan penyaring yang tidak mengalami hidrasi maupun dehidrasi pada struktur kristalnya. Molekul penyaring ini secara selektif menyerap air, karena lubang kristalnya mempunyai ukuran lebih kecil dibanding ukuran molekul alkohol, dan lebih besar dibandingkan molekul air. Alkohol yang berbentuk cair maupun uap dilewatkan kolom yang berisi bahan penyaring, air akan tertahan dalam bahan tersebut dan akan diperoleh alkohol murni. Biasanya proses ini menggunakan dua kolom, kolom kedua untuk aliran uap alkohol


(9)

sedangkan pada kolom pertama setelah proses dialirkan udara atau gas panas untuk menguapkan air.

Pada industri pembuatan etanol, juga akan diperoleh hasil lain, baik yang dapat dimanfaatkan langsung maupun harus diproses lebih lanjut. Hasil samping tersebut antara lain stillage, karbondioksida, dan minyak fusel.Stillage adalah sisa destilasi yang tertinggal dalam kolom bagian bawah dan masih bercampur dengan air. Stillage tersebut masih banyak mengandung bahan-bahan organik yang tidak terfermentasikan. Stillage dari proses destilasi jumlahnya cukup besar, yaitu 10-13 kali jumlah alkohol yang dihasilkan. Mengingat bahan yang terkandung di dalamnya, maka stillage dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, makanan ternak dan biogas. Sedangkan gas karbondioksida yang dihasilkan selama proses fermentasi biasanya diserap dan dimurnikan kemudian ditekan menjadi bentuk cair. Minyak fosil yang pada prinsipnya merupakan campuran amyl, butyl, isobutyl,

n-propyl dan iso-n-propyl alkohol juga asam-asam, ester maupul aldehid, dapat

digunakan sebagai bahan baku kimia, bahan pelarut dan bahan bakar. Agar lebih jelas, proses pembuatan bioetanol dapat dilihat pada gambar 2.3 di bawah ini [1].

(a) (b)

Gambar 2.3 (a) Proses pembuatan bioetanol dari bahan berpati, (b) Diagram alir proses pembuatan bioetanol dari ubi kayu [1].


(10)

2.4. Mamfaat Bioetanol

2.4.1 Bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan bermotor.

Pada dasarnya etanol dapat diperoleh melalui dua cara. Pertama, etanol yang diperoleh melalui proses fermentasi dengan bantuan mikroorganisme. Kedua, etanol diperoleh dari hasil sintesa etilen. Bioetanol dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Bioetanol banyak digunakan dalam industri minuman, kosmetik dan industri farmasi seperti deterjen, desinfektan dan lain-lain. Alkohol dari produk petroleum atau dikenal sebagai alkohol sintetis banyak dipakai untuk bahan baku pada industri acetaldehyde, derivat acetyl dan lain-lain. Selain bioetanol dikenal pula gasohol, yang merupakan campuran bioetanol dengan premium yang digunakan sebagai bahan bakar. Brazil, Amerika Serikat, Argentina, Australia, Kuba, Jepang, Selandia Baru, Afrika Selatan, Swiss dan lain-lain telah mengunakan bahan bakar alternatif ini untuk digunakan pada kendaraan bermotor.

Campuran bioetanol dan premium dapat divariasikan kadarnya. Misalnya Gasohol BE-10, yang mengandung 10% bioetanol, sisanya premium. Kualitasetanol yang digunakan tergolong fuel grade etanol yang kadar etanolnya 99%. Etanol yang mengandung 35% oksigen dapat meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Rendahnya biaya produksi bioetanol karena sumber bahan bakunya merupakan limbah pertanian yang tidak bernilai ekonomis dan berasal dari hasil pertanian budidaya yang dapat diambil dengan mudah. Dilihat dari proses produksinya juga relatif sederhana dan murah.

Keuntungan lain dari bioetanol adalah nilai oktannya lebih tinggi dari premium sehingga dapat menggantikan fungsi bahan aditif, seperti Metil

Tertiary Butyl Ether (MTBE) dan Tetra Ethyl Lead. Kedua zat aditif tersebut

telah dipilih menggantikan timbal pada premium. Etanol absolut memiliki angka oktan (ON) 117, sedangkan Premium hanya 87-88. Gasohol BE-10 secara proporsional memiliki ON 92 atau setara Pertamax. Pada komposisi ini bioetanol dikenal sebagai octan enhancer (aditif) yang paling ramah lingkungan dan di negara-negara maju telah menggeser penggunaan Tetra Ethyl Lead (TEL) maupun Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE). Hal tersebut terlihat pada tabel 2.2


(11)

Tabel 2.2 Sifat-sifat bahan bakar dari bioetanol, gasholine dan butyl eter [1]

Bioetanol ETBE MTBE Gasoline

Heating value [MJ/kg] 26.8 36.4 35.0 42

Heating value [MJ/I] 21.3 26.9 25.9 32

Octane number (RON) 106 115.118 113.120 92.96 Density at 15ºC [kg/I] 0.79 0.74 0.74 0.76 Visicosity at 20ºC [mm 2/

�]

1.5 1.5 0.7 0.6

Oxygen content [%] 35 16 18 0.2

Fuel Equivalent to Gasoline 0.66 0.83 0.80 1.0

2.4.2 Bioetanol untuk Kompor

Sumber energi fosil di Indonesia khususnya minyak bumi semakin langka. Penggunaan terbesar adalah pada sektor rumah tangga dan komersial, diikuti oleh sektor industri, transportasi, dan bahan baku. Hal ini mendorong pemerintah untuk mulai menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk mencegah habisnya minyak bumi. Salah satu energi alternatif yang bisa dimanfaatkan adalah bioetanol.

Sejak 4 tahun yang lalu pertama kali diperkenalkan hingga sekarang, bioetanol telah mengalami peningkatan dalam penjualannya. Akan tetapi bioetanol tersebut sebagian besar hanya dikonsumsi untuk skala industri. Sedangkan untuk transportasi dan target sektor rumah tangga yaitu penggunaan kompor bioetanol, masih mengalami kendala, terutama kelemahan pada desain kompornya.

Terkait dengan masalah kompor bioethanol, pemerintah telah mengupayakan rencana pengurangan penggunaan minyak tanah untuk keperluan rumah tangga dengan mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai bahan bakar lain.

Menindak lanjuti Inpres tersebut, masyarakat telah mengupayakan bioetanol sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah. Penggunaan bioetanol memerlukan kompor yang berbeda dengan kompor minyak tanah. Kompor


(12)

bioetanol memang belum sepopuler kompor minyak tanah maupun kompor LPG, akan tetapi sampai saat ini banyak pihak yang optimis akan kelangsungan hidup produk tersebut di masa yang akan datang, baik itu untuk perseorangan maupun instansi.

Salah satu keunggulan kompor bioethanol tersebut adalah bahwa kompor ini lebih aman daripada menggunakan kompor gas LPG, karena kompor ini tidak memerlukan tekanan, etanol cukup digantungkan di tempat yang lebih tinggi dari posisi kompor atau dengan low-pressure. Untuk mematikan kompor ini cukup dengan dikecilkan regulatornya dan ditiup pada saat api sudah mengecil, bahkan disiram air pun api sudah mati persis penanganan terhadap kompor minyak tanah. Dari aspek harga juga sangat kompetitif, dasar aturannya adalah Kepmen ESDM No. 3784 Tahun 2014 tanggal 2 Oktober 2014 tentang HIP BBN yang menetapkan formulasinya yaitu Argus FOB Thailand +14%. Atas dasar formulasi itu harga jual bioetanol adalah USD 550/KL atau Rp 7000 per liter. Jika ditambahkan biaya handling, distribusi dan marketing Rp 3000 per liter, maka harga komersialnya Rp 10.000 perliter atau Rp 120,000 untuk 12 liter dan untuk harga subsidinya Rp 5000 per liter atau Rp 15.000 untuk kemasan melon 3 liter. Padahal kalori panasnya labih tinggi ketimbang LPG, karena itu mampu memasak lebih cepat.

Seandainya kompor bioetanol ini digunakan secara masif di republik ini maka akan menimbulkan efek berganda yang akan berimbas langsung kepada kesejahteraan petani. Seandainya singkong digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol, maka akan bergulir kegiatan perekonomian dari petani sampai pengguna energi akhir yaitu para ibu rumah tangga pemakai kompor bioetanol. Dan jika bahan baku etanol tersebut terbuat dari tetes tebu (molasses), maka putaran dana triliunan rupiah itu akan mampu memberdayakan puluhan pabrik gula dan petani tebu yang kini kondisinya rata-rata hidup segan mati tak

mau.

Kelemahan utama beberapa kompor bioetanol produksi lokal seperti: kompor Bionas dari Yogyakarta, kompor Kuwatsu, serta kompor Repindo antara lain kurang efisien, kurang nyaman dan kurang user-friendly bagi penggunanya. Kelemahan tersebut menyebabkan kompor bioetanol masih kurang bisa diterima


(13)

masyarakat hingga saat ini. Karena itu, perlu dikembangkan kompor bioetanol yang lebih berkualitas dan dapat memenuhi kebutuhan penggunanya. Dan itu sangat memungkinkan karena cara kerjanya yang amat sederhana [1].

2.5. Bioetanol Gel

Bahan Bakar Minyak (BBM) sudah menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat. BBM menjadi kebutuhan yang sangat penting dan paling dicari oleh masyarakat. Terutama minyak tanah, hampir semua lapisan masyarakat menggunakan minyak tanah. Namun karena deposit minyak bumi Indonesia hanya tinggal 20 tahun maka harus dicari bahan bakar alternatif lain yang dapat menggantikan minyak tanah.

Bioetanol merupakan bahan bakar alternatif yang bejanaensial karena sumbernya mudah diperbaharui. Namun ada beberapa kendala yang harus dihadapi agar bioetanol dapat digunakan oleh masyarakat secara luas yaitu:

1. Bioetanol hanya diproduksi di daerah tertentu, tidak setiap daerah terdapat produsen bioetanol.

2. Bioetanol yang berbentuk cair beresiko tumpah saat didistribusikan ke daerah lain. Hal ini disebabkan biasanya bioetanol didistribusikan dalam drum-drum yang kurang aman dalam pengangkutannya (jika dibandingkan pengangkutan minyak tanah oleh Pertamina yang dimasukkan dalam tangki).

3. Selain itu, bioetanol yang berwujud cair lebih beresiko mudah tumpah dan mudah meledak karena sifatnya yang volatil. Oleh karena itu bioetanol cair diubah menjadi bioetanol gel yang lebih aman dalam proses pengangkutan dan penggunaannya.

Bioetanol gel memiliki beberapa kelebihan dibanding bahan bakar alternatif lainnya yaitu selama pembakaran gel tidak berasap, tidak berjelaga, tidak mengemisi gas berbahaya, non karsinogenik, non korosif. Bentuknya yang gel memudahkan dalam pengemasan dan dalam pendistribusian. Bioetanol gel sangat cocok digunakan untuk memasak, dibawa pada saat berkemah dan lain-lain.


(14)

Untuk membuat bioetanol gel dibutuhkan pengental berupa tepung, seperti kalsium asetat, atau pengental lainnya seperti xanthan gum, carbopol EZ-3

polymer, dan berbagai material turunan selulosa.

Untuk pengental jenis polimer carboxy vinyl seperti carbopol dibutuhkan air untuk membentuk struktur gel yang diinginkan. Penambahan pengental dan air saat pembuatan bioetanol gel sangat mungkin mempengaruhi sifat fisik bioetanol gel yang dihasilkan. Sifat fisik yang mungkin terpengaruh antara lain flash point, nilai kalor dan viskositas.

Selain dipergunakan untuk campuran bahan bakar bensin premium, bioetanol dapat juga dipergunakan untuk bahan bakar rumah tangga menggantikan minyak tanah.

Pembuatan bioetanol gel dapat dilakukan sebagai berikut: (1) aduk sebanyak 1-5% kalsium asetat yang berbentuk tepung dengan air sebanyak 20% dari jumlah bioetanol; (2) tambahkan 1 liter bioetanol berkadar 70-90% lalu diaduk; (3) tambahkan 5% natrium hidroksida sebagai penyeimbang pH agar tingkat kemasaman mencapai 5-6, kemudian daya aduk diperbesar minimal dengan kecepatan 2.500 rpm; (4) dalam waktu 5 menit bioetanol gel sudah terbentuk.

Dengan bioetanol berbentuk gel, bagi ibu rumah tangga pekerjaan mengisi bahan bakar kompor menjadi lebih praktis. Di samping itu, bentuk kompor untuk bioetanol gel sangat sederhana, bentuknya mirip kompor konvensional karena pada kompor yang tidak bersumbu ini terdapat tempat meletakkan bioetanol gel. Ketika bioetanol gel dikompor habis, api akan padam; penambahan bioetanol gel harus dilakukan saat api telah padam, peletakan maupun penambahan gel dapat dilakukan dengan menggunakan sendok. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemakaian bioetanol gel lebih hemat daripada minyak tanah, daya bakar 200 gram bioetanol gel setara dengan daya bakar 1 liter minyak tanah.

Afrika Selatan merupakan negara pertama yang telah menerapkan pemakaian bioetanol gel secara meluas di masyarakatnya. Sejak tahun 2007 bioetanol gel sudah akrab dipakai sebagai bahan bakar rumah tangga di sana, oleh karena itu Indonesia sebagai negara yang berlimpah agro raw material dengan


(15)

berbagai ragam bahan baku bioetanol, sudah saatnya untuk mulai mengembangkan bioetanol gel.

Dengan bentuk bioetanol gel dapat dibuat bentuk kompor yang sederhana, diharapkan bioetanol dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif rumah tangga oleh masyarakat luas, menggantikan minyak tanah dan gas LPG yang keberadaannya semakin langka dan mahal[1].

Indra Triaswati dan Lani Nurhayanti, Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, melakukan sebuah penelitian mengenai bioetanol gel. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bioetanol dengan kadar 70 %, air, trietanolamine (TEA), carbopol. Peralatan penelitian yang digunakan antara lain statif, klem, beaker glass ukuran 2 liter, pengaduk, motor pengaduk, regulator, gelas ukur 10 ml, gelas ukur 500 ml dan timbangan[2]. Adapun rangkaian alat dapat dilihat pada gambar 2.4

Gambar 2.4 Rangkaian alat uji Bioetanol Gel [2]

Variabel kendali dalam penelitian ini adalah bioetanol 90% massa dari campuran bioetanol gel (400 g bioetanol = 500 ml bioetanol ) dan waktu pengadukan 1 jam Variabel yang dipilih sebagai variabel berubah adalah % carbopol (% massa dari campuran bioetanol gel) (level bawah=0,85%, level tengah=1,05% dan level atas=1,25%), dan % air (% massa dari campuran bioetanol gel) (level bawah=7,5%, level tengah=7,9%, dan level atas=8,3%). Percobaan dirancang dengan metode Central Composite Design menggunakan program STATISTICA 6 dengan jumlah run sebanyak 10 kali.


(16)

Prosedur kerja proses dimulai dengan mengaduk bioetanol dan air sambil menambahkan carbopol dengan perlahan-lahan. Lalu menambahkan

trietanolamine setelah carbopol larut dengan jumlah yang sama dengan carbopol.

Pengadukan dilanjutkan selama 1 jam dan bioetanol gel terbentuk. Kemudian menganalisa flash point, nilai kalor, dan viskositasnya.

Pengaruh Persentase Air dan Carbopol terhadap Flash Point sangat berpengaruh. Bioetanol gel yang dihasilkan dianalisa nilai flash point-nya. Hasil analisa dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut:

Tabel 2.3 Hasil Analisa Nilai Flash Poin [2].

Run Carbopol (%massa) Air (%massa) Flash Point (ºC)

1 0.85 7.5 17.9

2 0.85 8.3 18.6

3 1.25 7.5 18.3

4 1.25 8.3 19.8

5 0.76 7.9 18.7

6 1.33 7.9 19.7

7 1.05 7.33 19.7

8 1.05 8.46 18.8

9 1.05 1.97 20.7

10 1.05 9 21.4

Aplikasi Metode Respon Permukaan menghasilkan persamaan model matematis yang merupakan hubungan empiris nilai flash point dengan variabel percobaan yang diberi kode X1 dan X2 ,dengan X1 adalah persentase carbopol dan X2 adalah persentase air. Dari hasil perhitungan diperoleh persamaan model matematis sebagai berikut :


(17)

Y = 21,050+0,37678 X1-1,06875 X12+0,11590 X2-1,04375 X22+0,200 X1X2 (2.1)

Hasil prediksi dengan persamaan model matematis dibandingkan dengan hasil analisa tersaji dalam tabel 2.4

Tabel 2.4 Perbandingan Hasil Analisa dengan Hasil Prediksi untuk Flash Poin [2].

Run (%) (%) Yo (ºC) Yp(ºC)

1 0.85 7.5 17.9 18.6

2 0.85 8.3 18.6 18.5

3 1.25 7.5 18.3 18.9

4 1.25 8.3 19.8 19.6

5 0.76 7.9 18.7 18.4

6 1.33 7.9 19.7 19.4

7 1.05 7.33 19.7 18.8

8 1.05 8.46 18.8 19.1

9 1.05 1.97 20.7 21.1

10 1.05 9 21.4 21.1

Keterangan :

X1 = Persentase carbopol ( %)

X2 = Persentase air ( %)

Yo = Nilai flash point hasil analisa (℃) Yp = Nilai flash point hasil prediksi (℃)

Data tersebut kemudian diolah dengan metode central composit design dari program Statistica 6 untuk mengetahui pengaruh dari variabel - variabel yang digunakan. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 2.5.


(18)

Gambar 2.5 Diagram Pareto untuk Analisa Flash Point[2]

Dari gambar 2.5 (Pareto Chart) variabel yang berpengaruh adalah carbopol(Q), air(Q). Kedua variabel tersebut dicari kondisi operasi optimumnya dengan menggunakan grafik optimasi 3 dimensi dan grafik kontur permukaan. Grafik optimasi 3 dimensi dan grafik kontur permukaan dari ketiga variabel tersebut bisa dilihat di gambar 2.6 dan 2.7.


(19)

Gambar 2.7 Grafik kontur permukaan untuk nilai flash point [2].

Grafik optimasi dan kontur permukaan di atas menunjukkan pengaruh persentase carbopol dan air terhadap nilai flash point .Terlihat bahwa nilai flash point optimum (21ºC) tercapai pada persentase carbopol 1,09 % dan persentase air 7,9 %. Carbopol merupakan polimer yang bersifat hidrofilik yang dapat menyerap dan menahan air dalam jaringan polimernya. Carbopol akan mengembang dalam air 1000 kali lebih besar dari volume semula dan 10 kali dari diameter semula untuk membentuk struktur gel.

Struktur gel akan menurunkan volatilitas bioetanol sehingga nilai flash point-nya akan naik. Air merupakan materi yang tidak bisa terbakar sehingga keberadaannya dalam bioetanol akan menaikkan nilai flash point bioetanol. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa persentase carbopol dan persentase air mempengaruhi flash point. Bioetanol gel yang dihasilkan dianalisa nilai kalor-nya. Hasil analisa dapat diihat pada tabel 2.5


(20)

Tabel 2.5 Hasil Analisa Nilai Kalor [2].

Run Carbopol (%massa) Air (%massa) Nilai Kalor (cal/g)

1 0.85 7.5 3889,815

2 0.85 8.3 4015.245

3 1.25 7.5 4060.58

4 1.25 8.3 3989.7

5 0.76 7.9 3998.025

6 1.33 7.9 3948.605

7 1.05 7.33 4049.415

8 1.05 8.46 3970.655

9 1.05 1.97 3966.7210

10 1.05 9 4041.99

Dari hasil perhitungan diperoleh persamaan model matematis sebagai berikut :

Y = 41.100+17.754 X1+1631,25 X12 + 818,93 X2 -1.49375 X22-1.900 X1X2 (2.2)

Hasil prediksi dengan persamaan model matematis dibandingkan dengan hasil analisa tersaji dalam tabel 2.6

Tabel 2.6 Perbandingan Hasil Analisa dengan Hasil Prediksi untuk Nilai Kalor [2]

Run (%) (%) Yo (cal/g) Yo (cal/g)

1 0.85 7.5 3889,815 3938.971

2 0.85 8.3 4015.245 4022.981

3 1.25 7.5 4060.58 4055.252

4 1.25 8.3 3989.7 3942.889

5 0.76 7.9 3998.025 3858.328

6 1.33 7.9 3948.605 3983.962

7 1.05 7.33 4049.415 4018.917

8 1.05 8.46 3970.655 3998.823

9 1.05 1.97 3966.7210 4004.355


(21)

Keterangan :

X1 = Persentase carbopol ( %)

X2 = Persentase air ( %)

Yo = Nilai kalor hasil analisa (cal/g) Yp = Nilai kalor hasil prediksi (cal/g)

Data tersebut kemudian diolah dengan metode central composit design dari program Statistica 6 untuk mengetahui pengaruh dari variabel - variabel yang digunakan. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 2.8

Gambar 2.8 Diagram Pareto untuk Analisa Nilai Kalor[2]

Dari gambar 2.8 (Pareto Chart) variabel yang berpengaruh adalah (1) carbopol(L), (2)air(L), carbopol (Q), air(Q), dan 1L by 2L. Dari gambar 5 (grafik pareto) terlihat bahwa tidak ada variabel yang paling berpengaruh terhadap nilai kalor atau kedua variabel sama- sama memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai kalor. Oleh karena itu kedua variabel tersebut harus dicari kecenderungannya dan kondisi operasi optimumnya dengan menggunakan grafik optimasi 3 dimensi dan grafik kontur permukaan. Grafik optimasi 3 dimensi dan grafik kontur permukaan dari ketiga variabel tersebut bisa dilihat digambar 2.9 dan 2.10


(22)

Gambar 2.9 Grafik optimasi 3D % carbopol vs % air untuk nilai kalor

Gambar 2.9Grafik optimasi 3D % carbopol vs % air untuk nilai kalor[2]

Gambar 2.10 Grafik kontur permukaan untuk nilai kalor[2]

Grafik optimasi dan kontur permukaan di atas menunjukkan pengaruh persentase carbopol dan air terhadap nilai kalor .Terlihat bahwa nilai kalor optimum (4000 cal/g) tercapai pada persentase carbopol 1,09 % dan persentase air 7,9 %. Kandungan air pada bioetanol gel berpengaruh pada laju pembakarannya dimana kandungan air pada suatu bahan bakar akan menurunkan nilai kalornya.


(23)

Carbopol juga mempengaruhi nilai kalor. Hal ini disebabkan karena carbopol sebagai gelling agent merupakan gabungan molekul-molekul dan lilitan- lilitan dari polimer molekul yang akan berikatan melalui ikatan silang membentuk struktur jaringan tiga dimensi dengan molekul pelarut terperangkap dalam jaringan ini. Dengan kata lain bioetanol juga ikut terperangkap dalam ikatan polimer molekul carbopol, sehingga kalor yang dihasilkan oleh bioetanol gel semakin menurun, dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa persentase carbopol, persentase air dan interaksi keduanya mempengaruhi nilai kalor.

Pengaruh persentase air dan carbopol terhadap Flash Point. Bioetanol gel yang dihasilkan dianalisa nilai viskositas-nya. Hasil analisa dapat diihat pada tabel 2.7

Tabel 2.7 Hasil Analisa Viskositas [2]

Run Carbopol (%massa) Air (%massa) Viskositas (cps)

1 0.85 7.5 17400

2 0.85 8.3 24900

3 1.25 7.5 55800

4 1.25 8.3 55700

5 0.76 7.9 21400

6 1.33 7.9 72900

7 1.05 7.33 41200

8 1.05 8.46 40600

9 1.05 1.97 40200

10 1.05 9 42000

Dari hasil perhitungan diperoleh persamaan model matematis sebagai berikut :

Y = 41.100+17.754 X1+1631,25 X12 + 818,93 X2 -1.49375 X22-1.900 X1X2 (2.3)

Hasil prediksi dengan persamaan model matematis dibandingkan dengan hasil analisa tersaji dalam tabel 2.8


(24)

Tabel 2.8 Perbandingan Hasil Analisa dengan Hasil Prediksi untuk Viskositas [2]

Run (%) (%) Yo (cps) Yp (cps)

1 0.85 7.5 17400 20764.57

2 0.85 8.3 24900 26202.43

3 1.25 7.5 55800 60072.57

4 1.25 8.3 55700 57910.43

5 0.76 7.9 21400 19254.55

6 1.33 7.9 72900 69470.45

7 1.05 7.33 41200 36954.35

8 1.05 8.46 40600 39270.65

9 1.05 1.97 40200 41100

10 1.05 9 42000 41100

Keterangan :

X1 = Persentase carbopol ( %)

X2 = Persentase air ( %)

Yo = Nilai viskositas hasil analisa (cps) Yp = Nilai viskositas hasil prediksi (cps)

Data tersebut kemudian diolah dengan metode central composit design dari program Statistica 6 untuk mengetahui pengaruh dari variabel - variabel yang digunakan. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 2.11


(25)

Dari gambar 2.11 (Pareto Chart) variabel yang berpengaruh(1) carbopol (L). Kedua variabel tersebut dicari kondisi operasi optimumnya dengan menggunakan grafik optimasi 3 dimensi dan grafik kontur permukaan. Grafik optimasi 3 dimensi dan grafik kontur permukaan dari ketiga variabel tersebut bisa dilihat di gambar 2.12 dan 2.13

Gambar 2.12 Grafik optimasi 3D % carbopol vs % air untuk viskositas [2]

Gambar 2.13 Grafik kontur permukaan untuk viskositas [2]

Grafik optimasi dan kontur permukaan di atas menunjukkan pengaruh persentase carbopol dan air terhadap viskositas .Terlihat bahwa viskositas hanya dipengaruhi oleh carbopol. Namun dari grafik optimasi dan kontur permukaan belum terlihat nilai optimumnya. Hali ini dikarenakan persentase carbopol yang


(26)

digunakan sebagai variabel kurang besar, sehingga nilai viskositas optimum belum tercapai. Oleh karena itu, untuk membuat bioetanol gel dengan nilai viskositas optimum diperlukan persentase carbopol lebih dari 1,4 %. Semakin banyak carbopol yang ditambahkan maka semakin banyak polimer yang saling berikatan membentuk ikatan tiga dimensi yang merangkap molekul pelarut. Carbopol akan mengembang dalam air 1000 kali lebih besar dari volume semula dan 10 kali dari diameter semula. Semakin banyak carbopol maka viskositas bioetanol gel yang dihasilkan akan semakin besar.

Perbandingan Nilai Kalor Bioetanol Cair dan Bioetanol Gel.

Dari hasil pengukuran dengan menggunakan bom kalorimeter didapatkan nilai kalor bioetanol cair adalah 4918,66 cal/g dan nilai kalor bioetanol gel adalah 3992,875 cal/g. Terlihat bahwa terjadi penurunan nilai kalor pada bioetanol. Nilai kalor bioetanol gel lebih kecil daripada nilai kalor bioetanol cair. Hal ini disebabkan pada proses pembuatan bioetanol gel ditambahkan air. Kandungan air pada suatu bahan bakar akan menurunkan nilai kalornya.

Selain itu ditambahkan pula carbopol sebagai gelling agent. Carbopol merupakan gabungan molekul - molekul dan lilitan -lilitan dari polimer molekul yang akan berikatan melalui ikatan silang membentuk struktur jaringan tiga dimensi dengan molekul pelarut terperangkap dalam jaringan ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan nilai kalor pada bioetanol gel disebabkan karena penambahan air dan carbopol.

Flash point dipengaruhi oleh persentase air dan persentase carbopol; nilai

kalor dipengaruhi oleh persentase air, persentase carbopol, dan interaksi keduanya; viskositas dipengaruhi oleh carbopol. Nilai flash point optimum 21 0C dan nilai kalor optimum 4000 cal/g diperoleh pada kondisi operasi persentase air 7,9 % dan persentase carbopol 1,09 %.


(27)

2.6. Jenis-Jenis Kompor Bioetaol

Anil K. Rajvanshi, S.M. Patil dan B. Mendonca (2007) meneliti tentang kompor etanol kadar 50% dengan tekanan 50–150 kPa. Gambar kompor tersebut dapat dilihat pada gambar 2.14. Penelitian dilaksanakan di daerah pedesaan India. Penelitian kompor etanol bertekanan ini menghasilkan efisiensi sekitar 44% - 46%. Biaya operasional dengan menggunakan kompor etanol jenis ini adalah lebih rendah dari biaya operasioal kompor LPG dan kompor minyak tanah.

Gambar 2.14 Kompor Etanol Bertekanan [4]

Stumpf, E. dan Muhlbauer, W. (2002) meneliti tentang kompor minyak tumbuhan. Kompor yang diteliti dapat dilihat pada Gambar 2.15 pada penelitian ini dihasilkan bahwa penggunaan kompor minyak tumbuhan bertekanan ini sangat menguntungkan dan dapat diterima oleh masyarakat di daerah tropis dan subtropis karena sangat mirip dengan kompor minyak tanah.


(28)

Murren, J dan O’Brien, C (2006) meneliti tentang keamanan dan efisiensi konsumsi bahan bakar menggunakan kompor Cleancook di daerah Addis Ababa, Ethiopia. Gambar kompor yang digunakan dapat dilihat pada gambar 2.16 dari penelitian ini didapatkan bahwa kompor Cleancook lebih aman digunakan dari pada kompor dari kerosin dan penggunaan kompor ini mencapai efisiensi 61%, dengan bahan bakar etanol kadar 90%.

Gambar 2.16 Kompor Cleancook[6].

Anil K. Rajvanshi tahun 2009 meneliti tentang penggunaan etanol kadar 58% untuk penerangan menggunakan petromak/lentera. Gambar lentera berbahan bakar etanol 58% tersebut terlihat pada gambar 2.17 dari penelitian ini didapatkan bahwa penggunaan etanol kadar 58% dapat digunakan sebagai bahan bakar petromak/ lentera dengan efisiensi 27%.


(29)

James Robinson, tahun 2006 meneliti tentang perbandingan penggunaan kompor superblue dengan bahan bakar etanol dengan kompor batubara. Gambar kompor superblue dapat dilihat pada Gambar 2.18. Metode yang digunakan untuk menguji efisiensi kompor adalah water boiling test dengan mendidihkan dua liter air. Pada penelitian ini bahan bakar kompor superblue adalah etanol dengan kadar 96%. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa efisiensi kompor superblue lebih tinggi dari kompor batubara. Efisiensi kompor superblue untuk start dingin sebesar 40% dan start panas sebesar 43%, sedangkan untuk kompor batubara untuk start dingin 15% dan start panas sebesar 23%.

Gambar 2.18 (a) Kompor Batubara, (b) Kompor Superblue[8].

Pradana, Rizka Andika; Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) (2012), membuat kompor bioetanol tipe side burner dengan variasi diameter 3 inci dan 2.5 inci, dapat dilihat pada gambar 2.19. Kadar bioetanol yang digunakan dalam penelitian ini adalah 99%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kompor uji dengan firewall 3 inci dan firewall 2.5 inci berturut-turut menghasilkan: daya 2.38 kW dan 1.6 kW; efisiensi 56.57% dan 54.91%; konsumsi bahan bakar spesifik 0.271 kg bahan bakar/kg uap air.jam dan 0.241 kg bahan bakar/kg uap air.jam.


(30)

2.7Proses Pembakaran

Pembakaran merupakan oksidasi cepat bahan bakar disertai dengan produksi panas, atau panas dan cahaya. Pembakaran sempurna bahan bakar terjadi hanya jika ada pasokan oksigen yang cukup. Pada gambar 2.16 menunjukkan beberapa contoh pembakaran. Oksigen (O2) merupakan salah satu elemen bumi paling umum yang jumlahnya mencapai 20,9% dari udara. Bahan bakar padat atau cair harus diubah ke bentuk gas sebelum dibakar. Biasanya diperlukan panas untuk mengubah cairan atau padatan menjadi gas. Bahan bakar gas akan terbakar pada keadaan normal jika terdapat udara yang cukup.

Hampir 79% udara (tanpa adanya oksigen) merupakan nitrogen, dan sisanya merupakan elemen lainnya. Nitrogen dianggap sebagai pengencer yang menurunkan suhu yang harus ada untuk mencapai oksigen yang dibutuhkan untuk pembakaran. Nitrogen mengurangi efisiensi pembakaran dengan cara menyerap panas dari pembakaran bahan bakar dan mengencerkan gas buang. Nitrogen juga mengurangi transfer panas pada permukaan alat penukar panas, juga meningkatkan volum hasil samping pembakaran, yang juga harus dialirkan melalui alat penukar panas sampai ke cerobong. Nitrogen ini juga dapat bergabung dengan oksigen (terutama pada suhu nyala yang tinggi) untuk menghasilkan oksida nitrogen (NOx), yang merupakan pencemar beracun.

Tujuan dari pembakaran yang baik adalah melepaskan seluruh panas yang terdapat dalam bahan bakar. Hal ini dilakukan dengan pengontrolan pembakaran yaitu (1) temperatur yang cukup tinggi untuk menyalakan dan menjaga penyalaan bahan bakar, (2) turbulensi atau pencampuran oksigen dan bahan bakar yang baik, dan (3) waktu yang cukup untuk pembakaran yang sempurna.

Bahan bakar yang umum digunakan seperti gas alam dan propan biasanya terdiri dari karbon dan hidrogen. Uap air merupakan produk samping pembakaran hidrogen, yang dapat mengambil panas dari gas buang. Terlalu banyak atau sedikitnya bahan bakar pada jumlah udara pembakaran tertentu, dapat mengakibatkan tidak terbakarnya bahan bakar dan terbentuknya karbon monoksida. Jumlah O2 tertentu diperlukan untuk pembakaran yang sempurna dengan tambahan sejumlah udara berlebih diperlukan untuk menjamin


(31)

pembakaran sempurna. Walau demikian, terlalu banyak udara berlebih akan mengakibatkan kehilangan panas dan efisiensi [11].

Gambar 2.19 (a) pembakaran sempurna, (b) pembakaran yang baik, (c) pembakaran tidak sempurna [11].

2.8 Perpindahan Panas

Perpindahan panas dapat terjadi melalui 3 cara yaitu [11]: 1. Radiasi

2. Konduksi 3. Konveksi

2.8.1 Radiasi

Radiasi yaitu perpindahan panas melalui gelombang dari zat ke zat lain. Semua benda memancarkan kalor, hal ini terbukti setelah temperatur meningkat. Pada hakekatnya proses perpindahan kalor radiasi terjadi dengan perantaraan foton dan juga gelombang elektromagnet. Proses perpindahan kalor sering terjadi secara serentak. Pada gambar 2.8 menunjukkan perpindahan panas secara radiasi. Misalnya sekeping plat yang dicat hitam yang terkena sinar matahari. Plat akan menyerap sebagian energi matahari yang menyebabkan temperatur permukaan plat menjadi meningkat. Permukaan plat yang temperaturnya tinggi akan terkonduksi kepermukaan plat bagian bawah sehingga bagian bawah plat temperaturnya juga menjadi tinggi. Permukaan bagian atas memiliki temperatur yang lebih tinggi dibandingkan temperatur udara sekeliling, maka jumlah kalor


(32)

akan dikonveksi ke udara sekeliling dan sebagian juga disebarkan secara radiasi [11].

Gambar 2.20 Perpindahan Panas Radiasi

(a) pada permukaan, (b) antara permukaan dan lingkungan [11]

2.8.2 Konduksi

Konduksi adalah proses perpindahan energi dari daerah bersuhu tinggi ke daerah bersuhu rendah didalam satu medium. Dalam aliran panas konduksi, perpindahan energi terjadi karena hubungan molekul secara langsung tanpa adanya perpindahan molekul yang cukup besar. Menurut teori kinetik, suhu elemen suatu zat sebanding dengan energi kinetik rata-rata molekul-molekul yang membentuk elemen itu. Energi yang dimiliki oleh suatu elemen zat yang disebabkan oleh kecepatan dan posisi relatif molekul-molekulnya disebut energi dalam. Jadi semakin cepat molekul-molekul bergerak, semakin tinggi suhu maupun energi dalam elemen zat. Bila molekul-molekul disatu daerah memperoleh energi kinetik rata-rata yang lebih besar daripada yang dimiliki oleh molekul-molekul didaerah yang berdekatan, sebagaimana diujudkan oleh adanya beda suhu, maka molekul-molekul yang memiliki energi yang lebih besar itu memindahkan sebagian energinya kepada molekul-molekul didaerah bersuhu rendah. Perpindahan energi tersebut dapat berlagsung dengan tumbukan elastis (misalnya dalam fluida) atau dengan pembauran (difusi) elektron-elektron yang bergerak lebih cepat dari daerah yang bersuhu tinggi ke daerah bersuhu rendah. Bahan yang dapat menghantar arus listrik dengan sempurna merupakan penghantar yang baik juga untuk kalor dan sebaliknya. Pada gambar 2.9 menunjukkan perpindahan secara konduksi. Misalnya sebatang besi yang salah


(33)

satu ujungnya dipanaskan kedalam api maka kalor akan dipindahkan ke ujung yang dingin [11].

Gambar 2.21 Perpindahan Panas Konduksi dan Difusi Akibat Aktivitas Molekul [11].

2.8.3 Konveksi

Konveksi adalah proses transport energi dengan kerja gabungan dari konduksi panas, penyimpanan energi dan gerakan mencampur. Perpindahan energi dengan cara konveksi dari suatu permukaan yang suhunya diatas suhu fluida sekitarnya berlangsung dalam beberapa tahap. Pertama, panas akan mengalir dengan cara konduksi dari permukaan fluida yang berbatasan. Energi yang berpindah dengan cara demikian akan meningkatkan suhu dan energi dalam partikel-partikel fluida ini. Kemudian partikel-partikel fluida tersebut akan bergerak ke daerah yang bersuhu lebih rendah di dalam fluida dimana partikel- partikel akan bercampur dan memindahkan sebagian energinya kepada partikel- partikel lainnya. Jika suatu plat panas dibiarkan berada diudara sekitar tanpa ada sumber gerakan dari luar, maka udara itu bergerak sebagai akibat terjadinya gradien densitas di dekat plat itu. Peristiwa ini dinamakan konveksi alamiah, sedangkan konveksi paksa jika udara dihembuskan dengan kipas. Beberapa contoh perpindahan panas secara konveksi terlihat pada gambar 2.16 Pada perpindahan panas secara konveksi, energi kalor akan dipindahkan ke sekelilingnya dengan perantaraan fluida [11].


(34)

Gambar 2.22 Perpindahan Panas Konveksi

(a) konveksi paksa, (b) konveksi alamiah, (c) pendidihan, (d) kondensasi [11]

2.8.4 Teori Pembakaran

Pembakaran adalah reaksi kimia, yaitu elemen tertentu dari bahan bakar setelah dinyalakan dan digabung dengan oksigen akan menimbulkan panas sehingga menaikkan suhu dan tekanan gas. Elemen mampu bakar (combustable) yang utama adalah karbon (C) dan hidrogen (H), elemen mampu bakar yang lain namun umumnya hanya sedikit terkandung dalam bahan bakar adalah sulfur (S). Oksigen yang diperlukan untuk pembakaran diperoleh dari udara yang merupakan campuran dari oksigen dan nitrogen. Nitrogen adalah gas lembam dan tidak berpartisipasi dalam pembakaran. Selama proses pembakaran, butiran minyak bahan bakar dipisahkan menjadi elemen komponennya yaitu hidrogen dan karbon dan masing-masing bergabung dengan oksigen dari udara secara terpisah. Hidrogen bergabung dengan oksigen untuk membentuk air dan karbon bergabung dengan oksigen menjadi karbon dioksida. Jika oksigen yang tersedia tidak cukup, maka sebagian dari karbon akan bergabung dengan oksigen dalam bentuk karbon monoksida. Pembentukan karbon monoksida hanya menghasilkan 30% panas dibandingkan panas yang timbul oleh pembentukan karbon dioksida [11].


(35)

2.8.5 Metode Water Boiling Test

Metode Water Boiling Test (WBT) adalah suatu cara uji unjuk kerja tungku dengan cara mendidihkan air yang berada di dalam panci, yang tujuanya untuk mengetahui jumlah energi yang dihasilkan dari bahan bakar yang dipindahkan ke dalam panci yang berisi air.

Pada dasarnya pengujian WBT dibagi menjadi 3 bagian penting yaitu pengujian WBT start dingin, pengujian WBT start panas, dan pengujian WBT simmering. diantaranya adalah [9]:

2.8.5.1Metode Start Dingin

Metode WBT start dingin, yaitu pengujian dilakukan pada saat kompor dalam keadaan dingin, kemudian yang berada di dalam panci dipanaskan sampai airnya mendidih, setelah airnya mendidih kompor dimatikan dan catat waktu yang diperlukan untuk mendidihkan air, massa air yang di uapkan, temperature air setelah mendidih, massa bahan bakar yang tersisa, dan jumlah arang yang terbentuk [9].

Variabel yang diukur secara langsung :

f ci Berat bahan bakar sebelum diuji (gram)

P ci Berat bejana/panci dengan air sebelum tes (gram)

T ci Suhu air sebelum tes (ºC)

t ci Waktu di awal tes (min)

f cf Berat bahan bakar setelah uji (gram)

c c Berat sisa bahan bakar setelah uji (gram)

P cf Berat bejana/panci dengan air setelah uji (gram)

T cf Suhu air setelah uji (ºC)


(36)

2.8.5.2 Metode Start Panas

Metode WBT start panas: yaitu hampir mirip dengan metode WBT start dingin tetapi pengujian dilakukan pada saat kompor dalam keadaan panas [9].

Variabel yang diukur secara langsung f hi Berat bahan bakar sebelum ujian (gram)

P hi Berat Bejana dengan air sebelum tes (gram)

T hi Suhu air sebelum tes (ºC)

t hi Waktu di awal tes (min)

f hf Berat bahan bakar setelah uji (gram)

Variabel yang dihitung

f cm Bahan bakar yang dikonsumsi

(gram)

f

cm

= f

ci

- f

cf ∆ c c Perubahan dalam char selama tahap

uji (gram)

c

c

= c

c

– k

(diasumsikan sama dengan mulai dingin)

f cd Bahan bakar setara dikonsumsi

(gram)

w cv Air menguap (gram)

w cr Air yang tersisa di akhir uji (gram)

∆ t c Durasi fase (min)

t

c

= t

cf

- t

ci

h c Efisiensi termal

r cb Laju pembakaran (gram / min)

SC c Konsumsi bahan bakar spesifik

((gram) bahan bakar / (gram) air) SC T h Konsumsi spesifik Temp-dikoreksi

(bahan bakar gram / gram air) FP c Daya api (Firepower) (W)

cf ci

cv P P

w = −

P P wcr = cf

cf ci cd cb

t

t

f

r

=

P P f SC cf cd c − = hi hf hf hd h T T T P P f SC − ∗ − = 75

(

ci cf

)

cd c t t 60 LHV f FP − ∗∗ =

(

)

(

)

c

cm

cd f 1 1.12 m 1.5 Δc

f = ∗ − ∗ − ∗

(

) (

)

( )

HV L f w 2260 T T P P 4.186 h cd cv ci cf ci c ∗ − + ∗ ∗ − ∗ =


(37)

c h Berat arang dan kontainer setelah uji (gram)

P hf Berat Bejana dengan air setelah uji (gram)

T hf Suhu air setelah ujian (ºC)

t hf Waktu di akhir tes (min)

Variabel yang dihitung f hm

Bahan bakar yang dikonsumsi,

lembab (gram) f hm = f hi - f hf ∆ c h

Perubahan bersih dalam char selama tahap uji (gram) ∆

c h = c c - k (diasumsikan sama dengan

mulai dingin) f hd

Bahan bakar kering setara dikonsumsi (gram)

w hv Air menguap (gram)

w hr

Air yang tersisa di akhir uji (gram)

∆ t h Waktu untuk merebus panci # 1 ∆ t h = t hf - t hi

∆ t T h

Temp -adjusted waktu untuk merebus panci # 1 ∆ t

T

h = (t hf - t hi) x 75 / (T hf - T hi)

h h Efisiensi termal

r hb Laju pembakaran (gram / min)

SC h

Konsumsi bahan bakar spesifik (bahan bakar gram / gram air)

SC T h

Konsumsi spesifik Temp-dikoreksi (bahan bakar gram / air gram s)

FP h Firepower (W)

2.8.5.3 Metode Simmering

Metode simmering: yaitu pengujian dilakukan dengan cara menjaga suhu air yang telah mendidih supaya konstan selama 45 menit, dan suhu tidak boleh

(

)

(

)

h

hm

hd f 1 1.12 m 1.5 Δc

f = ∗ − ∗ − ∗

hf hi

hv P P

w = −

P P whr = hf −

(

) (

)

( )

HV L f w 2260 T T P P 4.186 h hd hv hi hf hi h ∗ − + ∗ ∗ − ∗ = hf hi hd hb t t f r − = P P f SC hf hd h − = hi hf hf hd h T T T P P f SC − ∗ − = 75

(

hi hf

)

hd h t t 60 LHV f FP − ∗∗ =


(38)

naik atau turun lebih dari 3ºC dari suhu air yang telah mendidihkan tadi. Variabel yang diukur secara langsung:

f si Berat bahan bakar yang tidak terpakai saat air mendidih pertama (gram)

P si Berat Bejana dengan air ketika air pertama mendidih (gram)

T si Suhu air pada mendidih (T si = T b) (ºC)

t si Waktu di awal tes tahap didihkan (min)

f sf Berat bahan bakar terbakar yang tersisa setelah uji (gram)

c s Berat arang dan kontainer setelah uji (gram)

P sf Berat Bejana dengan air setelah uji (gram)

T sf Suhu air pada akhir uji (ºC)

t sf Waktu di akhir tes (min)

Variabel yang dihitung : f sm

Bahan bakar yang dikonsumsi, lembab

(gram) f sm = f si - f sf

∆ c s

Perubahan bersih dalam char selama tahap

uji (gram) ∆ c s = c s - k - ∆ c c f sd

Bahan bakar kering setara dikonsumsi (gram)

w sv Air menguap (gram)

w sr Air yang tersisa di akhir uji (gram)

∆ t s Durasi fase (min) ∆ t s = t sf - t si

h s Thermal e fficiency

r sb Laju pembakaran (gram / min)

SC s

Konsumsi bahan bakar spesifik (bahan bakar gram / gram air)

(

)

(

)

s

sm

sd f 1 1.12 m 1.5 Δc

f = ∗ − ∗ − ∗

sf si

sv P P

w = −

P P wsr = sf

(

) (

)

( )

HV L f w 2260 T T P P 4.186 h sd sv si sf si s ∗ − + ∗ ∗ − ∗ = sf si sd sb t t f r − = P P f SC sf sd s − =


(39)

FP s Firepower (W)

TDR Mengubah-down rasio

Tidak ada konsumsi spesifik suhu-dikoreksi dalam tahap mendidih karena tes dimulai pada T b dan perubahan suhu harus dibatasi untuk beberapa derajat.

Hal ini penting untuk diingat bahwa tujuan dari ini bagian dari tes ini adalah untuk menjaga air pada suhu di bawah mendidih, dan salah satu harus menginterpretasikan hasil sesuai. Sedangkan konsumsi tertentu dalam tes daya tinggi (SC cdan SC h) menunjukkan massa bahan bakar yang dibutuhkan untuk

menghasilkan satu liter (atau kilogram) dari mendidihair, konsumsi spesifik pada fase didihkan (SC s) menunjukkan massa bahan bakar diperlukan

untukmenjagasetiap liter (atau kilo) air tiga derajat di bawah suhu mendidih. Ini

tidak secara langsung sebanding, melainkan memberitahu dua ukuran yang berbeda dari kinerja kompor. Hal yang sama berlaku untuk indikator lainnya, seperti tingkat dan daya tembak terbakar.

Hal ini juga penting untuk mengakui bahwa lebih-ketergantungan pada efisiensi termal dapat menyebabkan hasil yang menyesatkan, terutama di fase didihkan. Karena account efisiensi termal untuk panas yang masuk akal serta kerugian menguapkan, itu penghargaan untuk generasi uap. Dalam kebanyakan kondisi memasak, produksi uap berlebih tidak mengurangi waktu memasak, karena suhu di dalam bejana adalah tetap pada titik didih. Dengan demikian, memproduksi kelebihan uap, sementara itu tidak mencerminkan energi bahan bakar dipindahkan ke bejana memasak, tidak selalu merupakan indikator yang baik dari kinerja kompor. Seperti kita menyatakan di tempat lain, kami berharap untuk de-menekankan peran yang dimainkan efisiensi termal dalam diskusi kinerja kompor dan stres lainnya, indikator yang lebih informatif seperti tingkat pembakaran dan konsumsi spesifik pada daya tinggi dan rendah, dan rasio turn-down, yang menunjukkan sejauh mana output daya dari kompor dapat dikendalikan oleh pengguna [9].

(

si sf

)

sd s t t 60 LHV f FP − ∗∗ = s h FP FP DR T =


(40)

2.8.6 Udara Sebagai Salah Satu Faktor Utama Pembakaran Pembakaran yang baik diperlukan lima syarat yaitu [12]:

a. Pencampuran reaktan secara murni. b. Suplai udara yang cukup.

c. Suhu yang cukup untuk memulai pembakaran. d. Waktu yang cukup untuk kelangsungan pembakaran. e. Kerapatan yang cukup untuk merambatkan nyala api.

Hal ini tidak dapat dicapai pada pembakaran yang sebenarnya (aktual) karena itu perlu dicapai pada pembakaran yang sebenarnya (excess

air).Pembakaran yang sempurna akan menghasilkan: CO2, air, dan SO2. Pada

pembakaran yang tidak sempurna disamping produk pembakaran diatas, pada gas asap akan terdapat sisa bahan bakar, gas CO, hidrosil (OH), aldehid (R-CHO) dannitrogen, serta senyawa-senyawa oksida nitrat dan oksida nitrogen. Semua produk pembakaran diatas bersifat polusi kecuali H2O dan N2.

Reaksi pembakaran bahan bakar merupakan reaksi kimia yang berdasarkan pada hukum kekekalan massa yaitu bahwa jumlah massa setiap elemen adalah sama selama reaksi kimia. Jumlah total massa setiap elemen di ruas kanan (produk) dan ruas kiri (reaktan) pada reaksi kimia harus sama. Nilai kuantitas pada analisa pembakaran untuk mengetahui jumlah udara dan bahan bakar dinyatakan dengan Air-Fuel Ratio (AFR) yaitu perbandingan antara massa udara dengan massa bahan bakar [11]:

���

=

��

��

=

(�.�)

(�.�) ……… (2.1) Dimana: ��� = Air-Fuel Ratio

� =massa udara (kg)

� = massa bahan bakar (kg)

� =jumlah mol udara (kmol)

� =jumlah mol bahan bakar (kmol)

� =massa molar udara (kg/kmol)


(41)

Gambar 2.23 Reaksi Kimia Pembakaran

Pembakaran stoichiometri adalah pembakaran dimana bahan bakar terbakar sempurna dengan jumlah udara teori, yaitu apabila [12]:

a. Tidak ada bahan bakar yang belum terbakar (semua unsur karbon C menjadi karbondioksida CO2, dan semua unsur hidrogen H menjadi air H2O).

a. Tidak ada oksigen di dalam produk.

Penyebab proses pembakaran menjadi tak sempurna, dimana ditandai dengan terbentuknya C, H2, CO, OH atau yang lain dalam produk pembakaran :

a. Kekurangan oksigen (O2). b. Kurangnya kualitas campuran.

c. Terjadi dissosiasi (peruraian gas produk karena suhu tinggi).

Pembakaran menunjukan kekurangan udara (lean mixtures) atau pembakaran mengalami kelebihan udara (rich mixtures) pada gas buang dapat ditunjukan dengan perbandingan antara AFRact dengan AFRst dinotasikan λ

(lambda), dirumuskan:

λ

=

AFR

act

AFR

st

dimana nilai λ = rich mixtures


(42)

Prosentase kelebihan udara (excess air) adalah perbandingan antara selisih antara perbandingan udara-bahan bakar actual (A/F)actual, dengan perbandingan

udara-bahan bakar teoritis (A/F)theory, dengan perbandingan udara-bahan bakar

teoritis (A/F)theory.

������ − ���= (�/�)��� −(�/�)�ℎ (�/�)�ℎ

Dimana nilai excess-air = 0,25-0,50 dan untuk nilai maksimal excess-air = 1,00.

Pembakaran yang optimum dapat terjadi ketika jumlah udara yang sesungguhnya harus lebih besar daripada yang dibutuhkan secara teoritis. Analisis kimia gas-gas merupakan metode obyektif yang dapat membantu untuk mengontrol udara yang lebih baik dengan mengukur CO2, atau O2, dalam gas buang menggunakan peralatan pencatat kontinyu atau peralatan Orsat. Pengukuran kandungan gas CO2, dalam gas buang dapat digunakan untuk menghitung udara berlebih (excess-air). Sejumlah tertentu excess-air diperlukan untuk pembakaran sempurna bahan bakar minyak, jika terlalu banyak excess-air mengakibatkan pembakaran yang tidak sempurna.

Penambahan excess-air dapat meningkatkan aliran udara turbulen sehingga akan meningkatkan pencampuran udara dan bahan bakar di ruang bakar mengakibatkan pembakaran akan sempurna. Excess-air akan mempengaruhi jumlah gas CO pada gas buang dan kehilangan panas (heat losses) pembakaran serta akan mempengaruhi efisiensi pembakaran.


(1)

c h Berat arang dan kontainer setelah uji (gram)

P hf Berat Bejana dengan air setelah uji (gram)

T hf Suhu air setelah ujian (ºC)

t hf Waktu di akhir tes (min)

Variabel yang dihitung

f hm

Bahan bakar yang dikonsumsi,

lembab (gram) f hm = f hi - f hf

∆ c h

Perubahan bersih dalam char selama tahap uji (gram) ∆

c h = c c - k (diasumsikan sama dengan

mulai dingin) f hd

Bahan bakar kering setara dikonsumsi (gram)

w hv Air menguap (gram)

w hr

Air yang tersisa di akhir uji (gram)

∆ t h Waktu untuk merebus panci # 1 ∆ t h = t hf - t hi

∆ t T h

Temp -adjusted waktu untuk merebus panci # 1 ∆ t

T

h = (t hf - t hi) x 75 / (T hf - T hi)

h h Efisiensi termal

r hb Laju pembakaran (gram / min)

SC h

Konsumsi bahan bakar spesifik (bahan bakar gram / gram air)

SC T h

Konsumsi spesifik Temp-dikoreksi (bahan bakar gram / air gram s)

FP h Firepower (W)

2.8.5.3 Metode Simmering

Metode simmering: yaitu pengujian dilakukan dengan cara menjaga suhu air yang telah mendidih supaya konstan selama 45 menit, dan suhu tidak boleh

(

)

(

)

h

hm

hd f 1 1.12 m 1.5 Δc

f = ∗ − ∗ − ∗

hf hi hv P P

w = − P P whr = hf −

(

) (

)

( )

HV L f w 2260 T T P P 4.186 h hd hv hi hf hi h ∗ − + ∗ ∗ − ∗ = hf hi hd hb t t f r − = P P f SC hf hd h − = hi hf hf hd h T T T P P f SC − ∗ − = 75

(

hi hf

)

hd h t t 60 LHV f FP − ∗∗ =


(2)

naik atau turun lebih dari 3ºC dari suhu air yang telah mendidihkan tadi.

Variabel yang diukur secara langsung:

f si Berat bahan bakar yang tidak terpakai saat air mendidih pertama (gram)

P si Berat Bejana dengan air ketika air pertama mendidih (gram)

T si Suhu air pada mendidih (T si = T b) (ºC)

t si Waktu di awal tes tahap didihkan (min)

f sf Berat bahan bakar terbakar yang tersisa setelah uji (gram)

c s Berat arang dan kontainer setelah uji (gram)

P sf Berat Bejana dengan air setelah uji (gram)

T sf Suhu air pada akhir uji (ºC)

t sf Waktu di akhir tes (min)

Variabel yang dihitung :

f sm

Bahan bakar yang dikonsumsi, lembab

(gram) f sm = f si - f sf

∆ c s

Perubahan bersih dalam char selama tahap

uji (gram) ∆ c s = c s - k - ∆ c c f sd

Bahan bakar kering setara dikonsumsi (gram)

w sv Air menguap (gram)

w sr Air yang tersisa di akhir uji (gram)

∆ t s Durasi fase (min) ∆ t s = t sf - t si

h s Thermal e fficiency

r sb Laju pembakaran (gram / min)

SC s

Konsumsi bahan bakar spesifik (bahan bakar gram / gram air)

(

)

(

)

s

sm

sd f 1 1.12 m 1.5 Δc

f = ∗ − ∗ − ∗

sf si sv P P

w = −

P P wsr = sf

(

) (

)

( )

HV L f w 2260 T T P P 4.186 h sd sv si sf si s ∗ − + ∗ ∗ − ∗ = sf si sd sb t t f r − = P P f SC sf sd s − =


(3)

FP s Firepower (W)

TDR Mengubah-down rasio

Tidak ada konsumsi spesifik suhu-dikoreksi dalam tahap mendidih karena tes dimulai pada T b dan perubahan suhu harus dibatasi untuk beberapa derajat.

Hal ini penting untuk diingat bahwa tujuan dari ini bagian dari tes ini adalah untuk menjaga air pada suhu di bawah mendidih, dan salah satu harus menginterpretasikan hasil sesuai. Sedangkan konsumsi tertentu dalam tes daya tinggi (SC c dan SC h) menunjukkan massa bahan bakar yang dibutuhkan untuk

menghasilkan satu liter (atau kilogram) dari mendidih air, konsumsi spesifik pada fase didihkan (SC s) menunjukkan massa bahan bakar diperlukan

untuk menjagasetiap liter (atau kilo) air tiga derajat di bawah suhu mendidih. Ini

tidak secara langsung sebanding, melainkan memberitahu dua ukuran yang berbeda dari kinerja kompor. Hal yang sama berlaku untuk indikator lainnya, seperti tingkat dan daya tembak terbakar.

Hal ini juga penting untuk mengakui bahwa lebih-ketergantungan pada efisiensi termal dapat menyebabkan hasil yang menyesatkan, terutama di fase didihkan. Karena account efisiensi termal untuk panas yang masuk akal serta kerugian menguapkan, itu penghargaan untuk generasi uap. Dalam kebanyakan kondisi memasak, produksi uap berlebih tidak mengurangi waktu memasak, karena suhu di dalam bejana adalah tetap pada titik didih. Dengan demikian, memproduksi kelebihan uap, sementara itu tidak mencerminkan energi bahan bakar dipindahkan ke bejana memasak, tidak selalu merupakan indikator yang baik dari kinerja kompor. Seperti kita menyatakan di tempat lain, kami berharap untuk de-menekankan peran yang dimainkan efisiensi termal dalam diskusi kinerja kompor dan stres lainnya, indikator yang lebih informatif seperti tingkat pembakaran dan konsumsi spesifik pada daya tinggi dan rendah, dan rasio turn-down, yang menunjukkan sejauh mana output daya dari kompor dapat dikendalikan oleh pengguna [9].

(

si sf

)

sd

s

t t 60

LHV f

FP

∗∗

=

s h

FP FP DR


(4)

2.8.6 Udara Sebagai Salah Satu Faktor Utama Pembakaran

Pembakaran yang baik diperlukan lima syarat yaitu [12]: a. Pencampuran reaktan secara murni.

b. Suplai udara yang cukup.

c. Suhu yang cukup untuk memulai pembakaran. d. Waktu yang cukup untuk kelangsungan pembakaran. e. Kerapatan yang cukup untuk merambatkan nyala api.

Hal ini tidak dapat dicapai pada pembakaran yang sebenarnya (aktual) karena itu perlu dicapai pada pembakaran yang sebenarnya (excess

air).Pembakaran yang sempurna akan menghasilkan: CO2, air, dan SO2. Pada

pembakaran yang tidak sempurna disamping produk pembakaran diatas, pada gas asap akan terdapat sisa bahan bakar, gas CO, hidrosil (OH), aldehid (R-CHO) dannitrogen, serta senyawa-senyawa oksida nitrat dan oksida nitrogen. Semua produk pembakaran diatas bersifat polusi kecuali H2O dan N2.

Reaksi pembakaran bahan bakar merupakan reaksi kimia yang berdasarkan pada hukum kekekalan massa yaitu bahwa jumlah massa setiap elemen adalah sama selama reaksi kimia. Jumlah total massa setiap elemen di ruas kanan (produk) dan ruas kiri (reaktan) pada reaksi kimia harus sama. Nilai kuantitas pada analisa pembakaran untuk mengetahui jumlah udara dan bahan bakar dinyatakan dengan Air-Fuel Ratio (AFR) yaitu perbandingan antara massa udara dengan massa bahan bakar [11]:

���

=

�� ��

=

(�.�)

(�.�) ……… (2.1)

Dimana: ��� = Air-Fuel Ratio

��

=massa udara (kg)

� = massa bahan bakar (kg)

� =jumlah mol udara (kmol)

� =jumlah mol bahan bakar (kmol)

� =massa molar udara (kg/kmol)


(5)

Gambar 2.23 Reaksi Kimia Pembakaran

Pembakaran stoichiometri adalah pembakaran dimana bahan bakar terbakar sempurna dengan jumlah udara teori, yaitu apabila [12]:

a. Tidak ada bahan bakar yang belum terbakar (semua unsur karbon C menjadi karbondioksida CO2, dan semua unsur hidrogen H menjadi air H2O).

a. Tidak ada oksigen di dalam produk.

Penyebab proses pembakaran menjadi tak sempurna, dimana ditandai dengan terbentuknya C, H2, CO, OH atau yang lain dalam produk pembakaran :

a. Kekurangan oksigen (O2). b. Kurangnya kualitas campuran.

c. Terjadi dissosiasi (peruraian gas produk karena suhu tinggi).

Pembakaran menunjukan kekurangan udara (lean mixtures) atau pembakaran mengalami kelebihan udara (rich mixtures) pada gas buang dapat ditunjukan dengan perbandingan antara AFRact dengan AFRst dinotasikan λ

(lambda), dirumuskan:

λ

=

AFR

act

AFR

st

dimana nilai λ = rich mixtures


(6)

Prosentase kelebihan udara (excess air) adalah perbandingan antara selisih antara perbandingan udara-bahan bakar actual (A/F)actual, dengan perbandingan udara-bahan bakar teoritis (A/F)theory, dengan perbandingan udara-bahan bakar teoritis (A/F)theory.

������ − ���= (�/�)��� −(�/�)�ℎ (�/�)�ℎ

Dimana nilai excess-air = 0,25-0,50 dan untuk nilai maksimal excess-air = 1,00.

Pembakaran yang optimum dapat terjadi ketika jumlah udara yang sesungguhnya harus lebih besar daripada yang dibutuhkan secara teoritis. Analisis kimia gas-gas merupakan metode obyektif yang dapat membantu untuk mengontrol udara yang lebih baik dengan mengukur CO2, atau O2, dalam gas buang menggunakan peralatan pencatat kontinyu atau peralatan Orsat. Pengukuran kandungan gas CO2, dalam gas buang dapat digunakan untuk menghitung udara berlebih (excess-air). Sejumlah tertentu excess-air diperlukan untuk pembakaran sempurna bahan bakar minyak, jika terlalu banyak excess-air mengakibatkan pembakaran yang tidak sempurna.

Penambahan excess-air dapat meningkatkan aliran udara turbulen sehingga akan meningkatkan pencampuran udara dan bahan bakar di ruang bakar mengakibatkan pembakaran akan sempurna. Excess-air akan mempengaruhi jumlah gas CO pada gas buang dan kehilangan panas (heat losses) pembakaran serta akan mempengaruhi efisiensi pembakaran.