Hubungan Diet Rendah Serat dengan Kejadian Apendisitis pada Anak di RSUP Haji Adam Malik, Medan Tahun 2014 - 2015

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Serat Pangan 2.1.1. Definisi

Serat pangan, dikenal juga sebagai serat diet atau dietary fiber, merupakan bagian dari tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan tersusun dari karbohidrat yang memiliki sifat resistan terhadap proses pencernaan dan penyerapan di usus halus manusia serta mengalami fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar (Anonim, 2001).

2.1.2. Klasifikasi

Serat pangan diklasifikasikan ke dua kelompok yaitu : a) Serat larut air (soluble dietary fibre)

Komponen yang larut dalam air di saluran pencernaan yang membentuk gel dengan cara menyerap air. Pektin, gum mukilase merupakan kelompok serat larut air. Serat larut air difermentasikan dalam usus besar. Ia meningkatkan produksi asam lemak rantai pendek yang membantu menghindari garam hempedu dari sistem yang akan menurunkan penyerapan kolesterol ditubuh. Jadi serat larut air membantu mengendalikan berat badan, mengurangi resiko penyakit jantung dan memperlambatkan gula darah yang dibutuhkan (Jonathan.W, 1993).

b) Serat tidak larut air (Insoluble dietary fibre)

Komponen yang tidak larut dalam air dan saluran pencernaan. Serat tidak larut air biasanya memiliki kemampuan menyerap air yang tinggi serta pembentukan tinja yang lebih lunak sehingga melewati usus besar dengan cepat dan mudah dengan demikian mengurangi tekanan yang diperlukan untuk eliminasi. Jadi serat tidak larut air mengurangi resiko sembelit, penyakit diverkulitis, varises, wasir, hernia, apendisitis, dan flebitis. Semakin cepat gerakan semakin cepat waktu transit makanan dalam usus besar (Jonathan.W, 1993).


(2)

2.1.3. Jenis-Jenis a) Sellulosa

Sellulosa merupakan sebuah polisakarida yang terdiri dari polimer liniar unit glukosa dengan ikatan β-1,4 , adalah komponen struktural dinding sel. Manusia kekurangan enzim pencernaan untuk memecah β- (1,4) dengan demikian tidak dapat menyerap glukosa dari sellulosa. Sebuah molekul selulosa mengandung 3000 atau lebih unit glukosa. Sellulosa ditemukan pada dinding parenkiem tumbuhan, lebih kurang 30% yang dimodifikasikan secara kimiawi menjadi hancur dan ditambahkan ke makanan sebagai pengawet, penguat rasa, dan agen pengental.

b) Hemisellulosa

Hemisellulosa adalah kelompok polisakarida yang ditemukan di dinding sel tanaman yang mengelilingi selulosa. Polimer ini terdapat dalam bentuk liniar atau bercabang dan terdiri dari glukosa, arabinosa, manosa, xylose, dan asam galacturonic. Molekul ini kecil dibandingkan dengan sellulosa.

c) Pektin

Pektin, yang ditemukan di dinding sel dan jaringan intraseluler di kebanyakan buah-buahan dan berry yang terdiri dari unit galaktosa dengan ramnosa diselingi dalam rantai liniar. Pektin sering memiliki rantai sampingan dari gula netral, dan unit galaktosa dapat diesterifikasi dengan gugus metil, sebuah lender yang memungkinkan untuk viskositasnya. Sementara buah-buahan dan sayuran mengandung 5 sampai 10 persen alami pektin, pektin yang diekstrak dari kulit industri jeruk dan apel. Kulit buah jeruk mengandung 30 persen pektin , kulit apel 15 persen , dan kulit bawang 11 hingga 12 persen . Pektin terkenal karena kemampuannya untuk membentuk gel dalam mempersiapkan selai buah atau jeli.

d) Gum

Gum merupakan tanaman yang terdiri dari berbagai kelompok polisakarida biasanya diisolasi dari biji dan memiliki lender yang kental di komponen dinding


(3)

sel. Guar gum diproduksi daripada penggilingan dari endosperm dari biji guar. Polisakarida utama dalam guar gum adalah galactomannan. Galactomannans sangat kental dan karena itu digunakan sebagai agen pengental dan stabilisator dalam bahan makanan. Beberapa juga digunakan sebagai obat pencahar kerana merupakan zat pembentuk gel yang diperoleh dari rumput laut.

e) B-glukan

β-glukan merupakan polimer polisakarida yang mempunyai ikatan campuran glukosa. Polimer D-glukopiranosa liniar glukosa dengan ikatan β-1,4 terdapat pada jamur, algae, dan tanaman yang lebih tinggi (misalnya, barley dan gandum). β-glukan sangat baik difermentasikan oleh bakteri di usus besar.

f) Resistent starch

Resistant starch merupakan pati yang tidak bisa dicerna secara enzimatik. Salah satu contohnya adalah zat pati yang dibutuhkan di dinding sel tanaman yang tahan terhadap aktivitas enzim amylase. Gelatinisasi dapat mempermudahkan aksesnya terhadap enzim ini. Resistant starch juga bisa terbentuk akibat pengolahan bahan makanan seperti proses pemasakan atau pendinginan atau modifikasi dari zat pati.

g) Chtitin dan Chitosan

Chitin adalah amino-polisakarida yang mengandung β- (1,4) yang tidak larut dalam air dan dapat mengantikan sellulosa pada dinding sel. Chitosan merupakan produk deasetilasi dari chitin. Kedua-dua chitin dan chitosan merupakan komponen eksoskeleton arthropoda (misalnya, kepiting dan lobster) dan sebahagian besar ditemukan di dinding sel jamur. Chitin dan chitosan terutama dikonsumsi sebagai suplemen.

h) Lignin

Lignin merupakan polimer bercabang yang terdiri dari unit-unit fenol dan ditemukan dalam batang tumbuhan dengan ikatan intramolecular yang kuat.


(4)

Lignin merupakan komponen non-karohidrat utama dari serat meskipun tidak termasuk dalam komponen penting dalam makanan manusia kerana umumnya berhubungan dengan jaringan-jaringan keras dan berkayu.Lignin tidak larut dalam air dan tidak difermentasi oleh bakteri usus.

i) Resistant dekstrin

Komponen karbohidrat yang tidak bisa dicerna, dan merupakan sebagai hasil dari pemanasan dan pengobatan enzimatik yang menghasilkan dekstrin yang juga disebut maltodekstrin. Tidak seperti gum, dekstrin memiliki viskositas tinggi yang dapat menyebabkan masalah dalam pengolahan makanan.

j) Psillium

Psillium didapat dari getah tumbuhan berbiji platago ovate yang bersifat hidrofilik dan dapat membentuk gel.

(Hillman LC., 1983)

2.1.5. Sifat- Sifat

a) Adsorption and binding ability

Serat telah diduga menganggu penyerapan mineral karena mengeluarkan ion polisakarida (seperti pektin melalui kelompok karboksil ) dan zat terkait seperti fitat dalam serat sereal telah terbukti invitro untuk mengikat ion logam. Polisakarida tidak memiliki efek pada penyerapan mineral dan elemen jejak sementara zat terkait seperti fitat dapat memiliki efek negatif. Kemampuan berbagai serat untuk menyerap dan bahkan kimia asam empedu mengikat telah diusulkan sebagai mekanisme potensial dimana serat makanan tertentu kaya asam uronic dan senyawa fenolik mungkin memiliki tindakan hipokolesterolemik. Kondisi lingkungan (durasi paparan, pH) bentuk fisik dan kimia dari serat dan sifat asam empedu dapat mempengaruhi kapasitas adsorpsi serat.


(5)

b) Solubility

Kelarutan memiliki efek mendalam pada fungsi serat. Hal ini juga ditetapkan bahwa polisakarida kental larut dapat menghambat pencernaan dan penyerapan nutrisi dari usus. Lebih mendalam (seperti permen karet akasia), kehadiran kelompok-kelompok ion (misalnya pektin metilasi) dan potensi untuk unit antara ikatan posisi (seperti β-glukan dengan campuran β-1-3 dan β-1-4 keterkaitan) meningkatkan kelarutan. Perubahan dari unit monosakarida atau bentuk molekul mereka (α- atau bentuk β) lebih meningkatkan kelarutan.

c) Viscosity

Viskositas cairan secara kasar dapat digambarkan sebagai resistensi terhadap aliran. Secara umum, apabila berat molekul atau panjang rantai serat meningkat, viskositas serat dalam larutan meningkat. Namun, konsentrasi serat dalam larutan, suhu, pH, kondisi pengolahan dan kekuatan ion semua secara substansial tergantung pada serat yang digunakan. Terutama, polimer rantai panjang, seperti gusi (guar gum, permen tragakan) mengikat air yang signifikan dan menunjukkan viskositas solusi tinggi. Namun, secara umum, serat sangat larut, yang bercabang atau polimer rantai yang relatif pendek seperti getah arab memiliki viskositas rendah.

d) Particle size and bulk volume

Ukuran partikel memainkan peranan penting dalam mengendalikan sejumlah peristiwa yang terjadi di saluran pencernaan yaitu waktu transit, fermentasi, dan ekskresi tinja. Kisaran ukuran partikel tergantung pada jenis dinding sel yang terdapat dalam makanan, dan pada tingkat pengelolaan.Ukuran partikel serat dapat bervariasi selama proses di saluran pencernaan sebagai akibat dari mengunyah, menggiling dan degradasi bakteri di usus besar. Kapasitas penyerapan lemak juga dilaporkan meningkat dengan mengalami penurunan ukuran partikel.


(6)

e) Surface area characterictics

Porositas dan permukaan yang tersedia dapat mempengaruhi fermentasi serat makanan (ketersediaan degradasi mikroba di usus besar) sementara regiokimia pada lapisan permukaan dapat memainkan peran dalam beberapa sifat fisiokimia(adsorpsi atau pengingatan beberapa molekul) akuntansi untuk beberapa efek fisiologis serat makanan. Porositas dan permukaan yang tersedia untuk bakteri atau molecular probe seperti enzim yang tergantung pada arsitektur serat, yang ada kaitan dengan asal-usul dan sejarah pengolahannya.

f) Hydration poperties

Sifat hidrasi menentukan sebagian nasib serat makanan dalam saluran pencernaan (induksi fermentasi) dan menjelaskan beberapa efek fisiologis (kantong kotoran dari fermentasi minimal serat makanan).Pembengkakan dan kapasitas retensi air memberikan pandangan umum tentang hidrasi serat dan akan memberikan informasi yang berguna untuk makanan serat tambahan. Penyerapan air memberikan informasi yang lebih lanjut mengenai serat, khususnya yang volume substrat porinya.Ia juga membantu kita untuk memahami tentang perilaku serat dalam makanan atau selama transit usus. Proses, seperti penggilingan, pengeringan, pemanasan atau pemasakan ekstrusi misalnya, modifikasi sifat fisik dari matriks serat dan juga mempengaruhi sifat hidrasi.


(7)

2.1.5. Sumber serat

Serat pangan banyak terdapat pada sayuran dan buah-buahan dan paling mudah dijumpai dalam menu makanan masyarakat. Sebagai sumber serat sayuran dapat dikonsumsi dalam bentuk mentah atau telah diproses melalui perebusan.

Tabel 2.1: Kadar Serat Pangan dalam Sayuran, Buah-buahan, Kacang-kacangan dan Produk Olahannya

Jenis sayuran / Buah – buahan / Kacang - kacangan

Jumlah serat per 100 gram (dalam gram)

Jenis sayuran / Buah – buahan / Kacang - kacangan

Jumlah serat per 100 gram (dalam gram) a. Sayuran Wortel rebus Kangkung Brokoli rebus Labu Jagung manis Kol kembung Daun bayam Kentang rebus Kubis rebus Tomat 3.3 3.1 2.9 2.7 2.8 2.2 2.2 1.8 1.7 1.1 Daun papaya Daun singkong Asparagus Jamur Terong Buncis Nagka muda Daun kelor Sawi brokoli 2.1 1.2 0.6 1.2 0.1 3.2 1.4 2.0 2.0 0.5 b. Buah –buahan

Alpukat Anggur Apel Belimbing Jambu biji Jeruk bali Jeruk sitrun Mangga Melon 1.4 1.7 0.7 0.9 5.6 0.4 2.0 0.4 0.3 Nenas Pepaya Pisang Semangka Sirsat Srikaya Strawberi Pear 0.4 0.7 0.6 0.5 2.0 0.7 6.5 3.0 c. Kacang – kacangan dan Produk olahannya

Kacang kedelai Kacang tanah Kacang hijau Kacang panjang Tauge 4.9 2.0 4,3 3,2 0.7 Kedelai bubuk Kecap kental Tahu Susu kedelai Tempe kedelai 2.5 0.6 0.1 0.1 1.4 Sumber: 1)Food Facts Asia (1999);


(8)

2.1.6. Kebutuhan Serat Pangan

Menurut Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang angka kecukupan gizi yang dianjurkan bagi bangsa Indonesia adalah berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin. Tabel 2.2 dibawah ini memperlihatkan nilai dari jumlah kebutuhann serat untuk anak dan dewasa per hari.

Tabel 2.2 : Kebutuhan Serat pada Anak dan Dewasa dalam Sehari Asupan Serat

Kelompok umur kehidupan

Laki – laki (gram)

Perempuan (gram) 0 - 6 bulan

7 - 11 bulan 1- 3 tahun 4 - 6 tahun 7 - 9 tahun 10 - 12 tahun 13 - 15 tahun 16 - 18 tahun 19 - 29 tahun 30 - 49 tahun 50 - 64 tahun 65 - 80 tahun 80+ tahun 0 10 16 22 26 30 35 37 38 38 33 27 22 0 10 16 22 26 28 30 30 32 30 28 22 20 +3 +4 +4 +5 +6 Hamil Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3 Menyusui 6 bulan pertama 6 bulan kedua


(9)

2.1.7. Manfaat Serat Pangan a) Terhadap konstipasi

Kemampuan serat seperti sellulosa dan pektin dalam mengikat air telah mencegah terjadi konstipasi (sembelit). Feces dengan kandungan air yang rendah akan lebih lama tinggal dalam saluran dan mengalami kesukaran untuk dieksresikan keluar (Andalas, 2007). Serat dengan kemampuan meningkatkan air dalam feces menghasilkan feces yang lembut dan lunak yang akan mengurangkan ketegangan usus untuk kontraksi ketika mengeluarkan feces (Agus S.Ir, 2011). b) Terhadap Diverkulitis

Pada penyakit diverkulitis, sepanjang usus besar terbentuk kantong kecil atau kantung (divertikula). Kantung ini diduga hasil dari tekanan di dalam usus yang menyebabkan bagian kecil dari usus besar untuk " blow -out " pada titik-titik kelemahan untuk membentuk kantong atau diverticula (Williams,1984). Ini dipengaruhi oleh waktu transit makanan dalam usus besar (Andalas, 2007).Jika kotoran tertinggal dalam kantong, lama-kelamaan akan berkembang infeksi. Serat mencegah terjadi tekanan di usus serta mempersingkatkan waktu transit makanan dalam usus besar.Serat juga mencegah disfungsi alat pencernaan seperti wasir, appendicitis dan kanker usus besar (Andalas,2007).

c) Terhadap Kolesterol

Serat tidak larut air tampaknya tidak mempengaruhi kadar kolesterol darah. Meskipun ada kemungkinan adalah bahawa serat dapat mengikat garam empedu (produk akhir kolesterol) kemudian dikeluarkan bersamaan dengan feses. Akibatnya , hati harus memecahkan lebih banyak kolesterol untuk membentuk asam empedu yang diperlukan untuk mencerna lemak dalam makanan . Proses ini bisa menurunkan kadar kolesterol darah (Williams,1984). Beberapa penelitian membuktikan bahwa rendahnya kadar kolesterol dalam darah ada hubungannya dengan tingginya kandungan serat dalam makanan. Secara fisiologis, serat pangan larut air lebih efektif dalam mereduksi plasma kolesterol yaitu Low Density Lipoprotein, serta meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (Andalas,2007).


(10)

d) Terhadap Kanker Usus Besar

Studi epidemiologi dari berbagai populasi, membandingkan insiden penyakit dengan asupan serat makanan, telah menyarankan bahwa diet serat dapat memberikan perlindungan dari kanker usus besar dan rectum (Williams,1984) . Penyebab kanker usus besar diduga karena adanya kontak antara sel-sel dalam usus besar dengan senyawa karsinogen dalam konsentrasi tinggi serta dalam waktu yang lebih lama (Agus S.Ir, 2011).Serat pangan mencegah kanker usus besar dengan meningkatkan ukuran feces dan menyelubungi komponen penyebab kanker didalam feces serta mempersingkatkan waktu lewatnya sisa percernaan pada saluran usus besar yang mengurangi paparan dinding usus terhadap karsinogen (Andalas, 2007).

e) Terhadap Diabetes

Dalam salah satu studi, efek serat pada diabetes dengan menurunkan kebutuhan insulin tercatat pada pasien yang meningkat jumlah makanan kaya serat (Williams, 1984). Kemampuan Serat pangan menyerap air dan mengikat glukosa sehingga mengurangi ketersediaan glukosa menyebabkan terjadinya kompleks karbohidrat dan serat, sehingga daya cerna karbohidrat berkurang. Keadaan tersebut mampu merendahkan kenaikan glukosa darah dan menjadikannya tetap terkontrol (Agus S.Ir, 2011).

f) Terhadap Berat badan dan Obesitas

Makanan dengan kandungan serat pangan yang tinggi dilaporkan dapat mengurangi berat badan. Serat makanan akan tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu relatif singkat sehingga absorpsi zat makanan berkurang. Selain itu, makanan yang mengandung serat yang relatif tinggi akan memberikan rasa kenyang karena komposisi karbohidrat komplek bersifat menghentikan nafsu makan sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi makanan. Makanan dengan kandungan serat pangan yang relatif tinggi biasanya mengandung kalori rendah, kadar gula dan lemak rendah yang dapat membantu mengurangi terjadinya obesitas dan penyakit jantung (Andalas, 2007).


(11)

2.1.8. Kerugian Serat Pangan

Serat pangan selain memberikan manfaat juga memberikan kerugian dari segi absobsi zat gizi serta mempengaruhi aktivitas enzim-enzim protease. Serat pangan menyebabkan ketidak tersediaan (non-availability) beberapa mineral seperti vitamin larut dalam lemak terutama vitamin D dan E. Selain mengurangi zat gizi juga menyebabkan flatulen (Agus S.Ir, 2011).

2.1.9. Penyebab Asupan Serat rendah Pada Anak

Faktor-faktor yang memyebabkan anak tidak mengkonsumsi serat:

a) Memenuhi kesenangan anak yaitu ciri-ciri organoleptik yang dimiliki makanan. Ciri yang dapat dirasakan seseorang melalui indranya mempengaruhi anak untuk menerima atau menolok makanan tertentu : rasa, bau,suhu, penampilan dan tekstur (Khumaidi, 1994).

b) Kebiasaan makan seseorang terbentuk dari proses belajar (learning behavior). Apabila sejak dini orang tua tidak memperkenalkan atau membiasakan makan dengan benar maka hal itu akan terbawa hingga anak dewasa (Kusumawati dan Mutalazimah, 2004).

c) Tingkat pendidikan ikut menentukan atau mempengaruhi mudah tidaknya anak menerima suatu pengetahuan, semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima informasi-informasi makanan (Kusumawati dan Mutalazimah, 2004).

d) Linkungan ekonomi juga menentukan kebiasaan makanan anak. Golongan ekonomi tinggi megkonsumsi cukup serat manakala golongan ekonomi rendah justru mempunyai kebiasaan makan yang memberikan kecukupan untuk mutunya (Khumaidi, 1994) .


(12)

e) Perbedaan bangsa dan suku bangsa mempunyai kebiasaan makan yang berbeda-beda sesuai dengan kebudayaan yang telah dianut turun menurun (Khumaidi, 1994).

f) Teman sebaya juga dapat mempengaruhi kebiasaan mengkonsumsi makanan karena anak menghabiskan kebanyakkan waktu di sekolah sehingga lama-kelamaan akan mengkonsumsi makanan yang dipilih teman (Amulia I, 2012).

g) Iklan makanan pada media massa khususnya televisi juga mempengaruhi kebiasaan konsumsi makanan karena tertarik dengan iklan ditonton oleh anak (Amulia I, 2012).

2.2. Apendisitis

Apendisitis merupakan peradangan pada bahagian appendiks. Apendisitis adalah penyebab utama operasi bedah abdomen pada anak (Jason A.Brodskg, 2013).

Berbagai berperan sebagai faktor pencetusnya yang paling sering adalah infeksi bakteria. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan diet rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis (Sjamsuhidayat, 2005).

Gejala klinis apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi (Sjamsuhidajat, 2005).

Diagnosa apendisitis yang paling sering ditemukan adalah nyeri di kuandran bawah sebelah kanan atau titik McBurney. Pada kondisi pediatrik


(13)

didapatkan perubahan fisik yang lebih berat daripada orang dewasa. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah pemeriksaan labarotorium yaitu penghitungan sel darah komplet serta peningkatan C-Reactive Protein (CRP). Pemeriksaan USG dan CT scan untuk menilai inflamsi dari apendiks dan adanya kemungkinan perforasi (Rao, 1999).

Penatalaksanaan yang dilakukan adalah apendiktomi sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi setelah diagnosa ditegakkan (Smeltzer C.S, 2002).

2.3. Hubungan Diet Serat dengan Kejadian Apendisitis

Serat makanan adalah komponen-komponen dari dinding sel tanaman yang menolak pencernaan dengan enzim terdapat pada saluran cerna. Makanan yang rendah serat menghasilkan feces yang keras dan kering yang susah dikeluarkan dan membutuhkan peningkatan tekanan saluran cerna yang luar biasa untuk mengeluarkannya. Makanan tinggi serat cendurung meningkatkan berat feces, menurunkan waktu transit di dalam saluran cerna. Jenis dan jumlah serat menentukan pengaruh ini. Serat larut air mudah difermentasikan sehingga pertumbuhan dan perkembangan bakteri kolon menyebabkan bertambahnya berat feces. Gas yang terbentuk selama fermentasi membantu gerakan sisa makanan melalui kolon. Manakalan serat tidak larut air tidak mengalami proses fermentasi (Sunita.A, 2002). Serat ini paling banyak mengalami peningkatan berat kerana lebih banyak menyerap air sehingga mempunyai pengaruh laksatif paling besar. Seseorang yang mengkonsumsi sedikit makanan berserat mengalami feces yang kering, keras dan kecil-kecilan yang memerlukan kontraksi otot yang lebih besar untuk mengeluarkannya sehingga hal ini menyebabkan konstipasi. Konstipasi menyebabkan berlaku obstruksi fekalit dalam usus sehingga meningkatkan produksi mucus di saluran pencernaan. Peningkatan produksi mukus akhirnya meningkatkan tekanan intraluminal yang menyebabkan distensi apendiks. Peningkatan tekanan di dinding apendiks meningkatkan tekanan kapiler dan meyebabkan iskemia mukosa dan translokasi bakteri menembus dinding apendiks menyebabkan terjadi inflamasi di apendiks yaitu apendisitis (Hilfi L,2008).


(1)

2.1.6. Kebutuhan Serat Pangan

Menurut Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang angka kecukupan gizi yang dianjurkan bagi bangsa Indonesia adalah berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin. Tabel 2.2 dibawah ini memperlihatkan nilai dari jumlah kebutuhann serat untuk anak dan dewasa per hari.

Tabel 2.2 : Kebutuhan Serat pada Anak dan Dewasa dalam Sehari Asupan Serat

Kelompok umur kehidupan

Laki – laki (gram)

Perempuan (gram) 0 - 6 bulan

7 - 11 bulan 1- 3 tahun 4 - 6 tahun 7 - 9 tahun 10 - 12 tahun 13 - 15 tahun 16 - 18 tahun 19 - 29 tahun 30 - 49 tahun 50 - 64 tahun 65 - 80 tahun 80+ tahun 0 10 16 22 26 30 35 37 38 38 33 27 22 0 10 16 22 26 28 30 30 32 30 28 22 20 +3 +4 +4 +5 +6 Hamil Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3 Menyusui

6 bulan pertama 6 bulan kedua


(2)

2.1.7. Manfaat Serat Pangan

a) Terhadap konstipasi

Kemampuan serat seperti sellulosa dan pektin dalam mengikat air telah mencegah terjadi konstipasi (sembelit). Feces dengan kandungan air yang rendah akan lebih lama tinggal dalam saluran dan mengalami kesukaran untuk dieksresikan keluar (Andalas, 2007). Serat dengan kemampuan meningkatkan air dalam feces menghasilkan feces yang lembut dan lunak yang akan mengurangkan ketegangan usus untuk kontraksi ketika mengeluarkan feces (Agus S.Ir, 2011). b) Terhadap Diverkulitis

Pada penyakit diverkulitis, sepanjang usus besar terbentuk kantong kecil atau kantung (divertikula). Kantung ini diduga hasil dari tekanan di dalam usus yang menyebabkan bagian kecil dari usus besar untuk " blow -out " pada titik-titik kelemahan untuk membentuk kantong atau diverticula (Williams,1984). Ini dipengaruhi oleh waktu transit makanan dalam usus besar (Andalas, 2007).Jika kotoran tertinggal dalam kantong, lama-kelamaan akan berkembang infeksi. Serat mencegah terjadi tekanan di usus serta mempersingkatkan waktu transit makanan dalam usus besar.Serat juga mencegah disfungsi alat pencernaan seperti wasir, appendicitis dan kanker usus besar (Andalas,2007).

c) Terhadap Kolesterol

Serat tidak larut air tampaknya tidak mempengaruhi kadar kolesterol darah. Meskipun ada kemungkinan adalah bahawa serat dapat mengikat garam empedu (produk akhir kolesterol) kemudian dikeluarkan bersamaan dengan feses. Akibatnya , hati harus memecahkan lebih banyak kolesterol untuk membentuk asam empedu yang diperlukan untuk mencerna lemak dalam makanan . Proses ini bisa menurunkan kadar kolesterol darah (Williams,1984). Beberapa penelitian membuktikan bahwa rendahnya kadar kolesterol dalam darah ada hubungannya dengan tingginya kandungan serat dalam makanan. Secara fisiologis, serat pangan larut air lebih efektif dalam mereduksi plasma kolesterol yaitu Low Density Lipoprotein, serta meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (Andalas,2007).


(3)

d) Terhadap Kanker Usus Besar

Studi epidemiologi dari berbagai populasi, membandingkan insiden penyakit dengan asupan serat makanan, telah menyarankan bahwa diet serat dapat memberikan perlindungan dari kanker usus besar dan rectum (Williams,1984) . Penyebab kanker usus besar diduga karena adanya kontak antara sel-sel dalam usus besar dengan senyawa karsinogen dalam konsentrasi tinggi serta dalam waktu yang lebih lama (Agus S.Ir, 2011).Serat pangan mencegah kanker usus besar dengan meningkatkan ukuran feces dan menyelubungi komponen penyebab kanker didalam feces serta mempersingkatkan waktu lewatnya sisa percernaan pada saluran usus besar yang mengurangi paparan dinding usus terhadap karsinogen (Andalas, 2007).

e) Terhadap Diabetes

Dalam salah satu studi, efek serat pada diabetes dengan menurunkan kebutuhan insulin tercatat pada pasien yang meningkat jumlah makanan kaya serat (Williams, 1984). Kemampuan Serat pangan menyerap air dan mengikat glukosa sehingga mengurangi ketersediaan glukosa menyebabkan terjadinya kompleks karbohidrat dan serat, sehingga daya cerna karbohidrat berkurang. Keadaan tersebut mampu merendahkan kenaikan glukosa darah dan menjadikannya tetap terkontrol (Agus S.Ir, 2011).

f) Terhadap Berat badan dan Obesitas

Makanan dengan kandungan serat pangan yang tinggi dilaporkan dapat mengurangi berat badan. Serat makanan akan tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu relatif singkat sehingga absorpsi zat makanan berkurang. Selain itu, makanan yang mengandung serat yang relatif tinggi akan memberikan rasa kenyang karena komposisi karbohidrat komplek bersifat menghentikan nafsu makan sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi makanan. Makanan dengan kandungan serat pangan yang relatif tinggi biasanya mengandung kalori rendah, kadar gula dan lemak rendah yang dapat membantu mengurangi terjadinya


(4)

2.1.8. Kerugian Serat Pangan

Serat pangan selain memberikan manfaat juga memberikan kerugian dari segi absobsi zat gizi serta mempengaruhi aktivitas enzim-enzim protease. Serat pangan menyebabkan ketidak tersediaan (non-availability) beberapa mineral seperti vitamin larut dalam lemak terutama vitamin D dan E. Selain mengurangi zat gizi juga menyebabkan flatulen (Agus S.Ir, 2011).

2.1.9. Penyebab Asupan Serat rendah Pada Anak

Faktor-faktor yang memyebabkan anak tidak mengkonsumsi serat:

a) Memenuhi kesenangan anak yaitu ciri-ciri organoleptik yang dimiliki makanan. Ciri yang dapat dirasakan seseorang melalui indranya mempengaruhi anak untuk menerima atau menolok makanan tertentu : rasa, bau,suhu, penampilan dan tekstur (Khumaidi, 1994).

b) Kebiasaan makan seseorang terbentuk dari proses belajar (learning behavior). Apabila sejak dini orang tua tidak memperkenalkan atau membiasakan makan dengan benar maka hal itu akan terbawa hingga anak dewasa (Kusumawati dan Mutalazimah, 2004).

c) Tingkat pendidikan ikut menentukan atau mempengaruhi mudah tidaknya anak menerima suatu pengetahuan, semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima informasi-informasi makanan (Kusumawati dan Mutalazimah, 2004).

d) Linkungan ekonomi juga menentukan kebiasaan makanan anak. Golongan ekonomi tinggi megkonsumsi cukup serat manakala golongan ekonomi rendah justru mempunyai kebiasaan makan yang memberikan kecukupan untuk mutunya (Khumaidi, 1994) .


(5)

e) Perbedaan bangsa dan suku bangsa mempunyai kebiasaan makan yang berbeda-beda sesuai dengan kebudayaan yang telah dianut turun menurun (Khumaidi, 1994).

f) Teman sebaya juga dapat mempengaruhi kebiasaan mengkonsumsi makanan karena anak menghabiskan kebanyakkan waktu di sekolah sehingga lama-kelamaan akan mengkonsumsi makanan yang dipilih teman (Amulia I, 2012).

g) Iklan makanan pada media massa khususnya televisi juga mempengaruhi kebiasaan konsumsi makanan karena tertarik dengan iklan ditonton oleh anak (Amulia I, 2012).

2.2. Apendisitis

Apendisitis merupakan peradangan pada bahagian appendiks. Apendisitis adalah penyebab utama operasi bedah abdomen pada anak (Jason A.Brodskg, 2013).

Berbagai berperan sebagai faktor pencetusnya yang paling sering adalah infeksi bakteria. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan diet rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis (Sjamsuhidayat, 2005).

Gejala klinis apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang

merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi (Sjamsuhidajat, 2005).


(6)

didapatkan perubahan fisik yang lebih berat daripada orang dewasa. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah pemeriksaan labarotorium yaitu penghitungan sel darah komplet serta peningkatan C-Reactive Protein (CRP). Pemeriksaan USG dan CT scan untuk menilai inflamsi dari apendiks dan adanya kemungkinan perforasi (Rao, 1999).

Penatalaksanaan yang dilakukan adalah apendiktomi sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi setelah diagnosa ditegakkan (Smeltzer C.S, 2002).

2.3. Hubungan Diet Serat dengan Kejadian Apendisitis

Serat makanan adalah komponen-komponen dari dinding sel tanaman yang

menolak pencernaan dengan enzim terdapat pada saluran cerna. Makanan yang rendah serat menghasilkan feces yang keras dan kering yang susah dikeluarkan dan membutuhkan peningkatan tekanan saluran cerna yang luar biasa untuk mengeluarkannya. Makanan tinggi serat cendurung meningkatkan berat feces, menurunkan waktu transit di dalam saluran cerna. Jenis dan jumlah serat menentukan pengaruh ini. Serat larut air mudah difermentasikan sehingga pertumbuhan dan perkembangan bakteri kolon menyebabkan bertambahnya berat feces. Gas yang terbentuk selama fermentasi membantu gerakan sisa makanan melalui kolon. Manakalan serat tidak larut air tidak mengalami proses fermentasi (Sunita.A, 2002). Serat ini paling banyak mengalami peningkatan berat kerana lebih banyak menyerap air sehingga mempunyai pengaruh laksatif paling besar. Seseorang yang mengkonsumsi sedikit makanan berserat mengalami feces yang kering, keras dan kecil-kecilan yang memerlukan kontraksi otot yang lebih besar untuk mengeluarkannya sehingga hal ini menyebabkan konstipasi. Konstipasi menyebabkan berlaku obstruksi fekalit dalam usus sehingga meningkatkan produksi mucus di saluran pencernaan. Peningkatan produksi mukus akhirnya meningkatkan tekanan intraluminal yang menyebabkan distensi apendiks. Peningkatan tekanan di dinding apendiks meningkatkan tekanan kapiler dan meyebabkan iskemia mukosa dan translokasi bakteri menembus dinding apendiks menyebabkan terjadi inflamasi di apendiks yaitu apendisitis (Hilfi L,2008).