Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Di Puskesmas Di Kota Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Interaksi Obat
Interaksi obat-obat dapat didefinisikan sebagai respon farmakologis atau
klinis terhadap kombinasi obat berbeda ketika obat-obat tersebut diberikan
tunggal. Hasil klinis interaksi obat-obat dapat dikategorikan sebagai antagonisme,
sinergisme (Tatro, 2009).
Interaksi obat didefinisikan ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya,
atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya
(Stockley, 2008).
Efek dan keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien
yang satu dengan yang lain. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan
pasien terhadap interaksi obat. Pasien yang rentan terhadap interaksi obat antara
lain:
1) Pasien lanjut usia
2) Pasien yang minum lebih dari satu macam obat
3) Pasien yang mempunyai gangguan fungsi hati dan ginjal
4) Pasien dengan penyakit akut
5) Pasien dengan penyakit yang tidak stabil
6) Pasien yang mempunyai karakteristik genetik tertentu
7) Pasien yang dirawat lebih dari satu dokter


(Fradgley, 2003).

2.1.1 Mekanisme interaksi obat
Sepasang interaksi obat terdiri dari obat objek dan obat presipitan. Obat
objek merupakan obat yang dipengaruhi, dan obat presipitan merupakan obat yang

7
Universitas Sumatera Utara

mempengaruhi. Secara umum mekanisme interaksi obat terbagi menjadi dua yaitu
interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik.
2.1.1.1 Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang terjadi bila satu obat
mengubah tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat lain. Hal ini
paling sering diukur dengan perubahan dalam satu atau lebih parameter kinetik,
seperti konsentrasi serum puncak, area di bawah kurva, konsentrasi waktu paruh,
jumlah total obat diekskresikan dalam urin (Tatro, 2009).
Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe:
a. Interaksi pada absorbsi obat

i. Efek perubahan pH gastrointestinal
Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah
obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi
ditentukan oleh kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah
parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah
absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah
daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).
ii. Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek
Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus
untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun
lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam
dosis teraupetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan.
Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dengan kalsium, bismut aluminium,

8
Universitas Sumatera Utara

dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap sehingga mengurangi
efek antibakteri (Stockley, 2008).
iii.Perubahan motilitas gastrointestinal

Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil,
obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi
absorpsi. Misalnya metoklopramid mempercepat pengosongan lambung
sehingga meningkatkan penyerapan parasetamol (asetaminofen) (Stockley,
2008).
iv.Malabsorbsi dikarenakan obat
Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu
penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat
(Stockley, 2008).
b. Interaksi pada distribusi obat
i. Interaksi ikatan protein
setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh
sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak
yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan
sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan
protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap
bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).
ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat
Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh
aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif


9
Universitas Sumatera Utara

membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat
yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat
obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping Central Nervous
System (CNS) (Stockley, 2008).
c. Interaksi pada metabolisme obat
i. Perubahan pada metabolisme fase pertama
Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah
dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi yang lebih
mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan
bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama.
Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi
biokimia, atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat
terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar
dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma selsel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi
tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi
senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya

obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai
glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi
oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).
ii. Induksi Enzim
Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus
dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik
yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim

10
Universitas Sumatera Utara

mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya
(Stockley, 2008).
iii.Inhibisi enzim
Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat
terakumulasi di dalam tubuh. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat
adalah fase oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari
banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat
kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik
interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008).

iv.Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi
Parasetamol dimetabolisme oleh CYP2E1, metronidazole menghambatnya,
sehingga tidak mengherankan bahwa metronidazole meningkatkan efek
parasetamol (Medscape, 2014).
d. Interaksi pada ekskresi obat
i. Perubahan pH urin
Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5)
sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi, yang tidak dapat
berdifusi ke dalam sel tubulus maka akan tetap dalam urin dan dikeluarkan
dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5.
Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam
bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008).
ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal
Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama ditubulus ginjal
dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh, probenesid
mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. (Stockley, 2008).

11
Universitas Sumatera Utara


iii.Perubahan aliran darah renal
Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator
prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi
beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).
2.1.1.2 Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada
sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi
efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik tanpa ada perubahan kadar plasma
ataupun profil farmakokinetik lainnya. Salah satu contoh dari perubahan ini
adalah peningkatan toksisitas digoksin akibat penggunaan diuretik tiazid. Interaksi
farmakologis, yaitu, penggunaan bersamaan dari dua atau lebih obat dengan
tindakan farmakologis yang sama atau menentang (misalnya, penggunaan alkohol
dengan obat antiansietas dan hipnotik atau antihistamin), adalah bentuk interaksi
farmakodinamik (Tatro, 2009).
a. Interaksi aditif atau sinergis
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan
efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika
diberikan dalam jumlah sedang dengan dosis teraupetik normal sejumlah besar
obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan
mengantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik

(misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas dan depresi sumsum tulang
(Stockley, 2008).
b) Antagonisme
Interaksi terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang

12
Universitas Sumatera Utara

berlawanan sehingga mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari
satu atau lebih obat.
2.1.2 Tingkat keparahan interaksi obat
Potensi keparahan interaksi sangat penting dalam menilai risiko dan
manfaat terapi alternatif. Dengan penyesuaian dosis yang tepat atau modifikasi
jadwal penggunaan obat, efek negatif dari kebanyakan interaksi dapat dihindari.
Tiga derajat keparahan didefinisikan sebagai:
a. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek biasanya ringan;
konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu mencolok tapi tidak
signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak
diperlukan. Interaksi dengan tingkat keparahan minor ini risikonya minimal,

untuk itu perlu diambil tindakan yang dibutuhkan untuk mengurangi risiko
(Tatro, 2009).
b. Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika efek yang terjadi
dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan tambahan,
perpanjangan pengobatan dan rawat inap mungkin diperlukan perawatan di
rumah sakit. Interaksi dengan tingkat keparahan moderate biasanya kombinasi
obat dihindari, sebaiknya penggunaan kombinasi tersebut hanya pada keadaan
khusus (Tatro, 2009).
c. Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas
yang tinggi, berpotensi mengancam jiwa atau dapat menyebabkan kerusakan

13
Universitas Sumatera Utara

permanen. Interaksi dengan tingkat keparahan major sebaiknya dihindari karena
lebih besar risikonya dibandingkan keuntungannya (Tatro, 2009).
Strategi pelaksanaan interaksi obat meliputi (Fradgley, 2003):
1) Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi

Jika risiko interaksi pemakaian obat lebih besar daripada manfaatnya maka
harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti
tergantung pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang
berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik.
2) Penyesuaian dosis obat
Jika interaksi obat meningkatkan atau menurunkan efek obat maka perlu
dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi
kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan pada
saat mulai atau menghentikan penggunaan obat yang berinteraksi.
3) Pemantauan pasien
Jika kombinasi yang saling berinteraksi diberikan, maka diperlukan
pemantauan pasien. Keputusan untuk memantau atau tidak tergantung pada
berbagai faktor, seperti karaktteristik pasien, penyakit lain yang diderita pasien,
waktu mulai menggunakan obat yang menyebabkan interaksi dan waktu
timbulnya reaksi interaksi obat.
4) Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya
Jika interaksi obat tidak bermakna klinis atau jika kombinasi obat yang
berinteraksi tersebut merupakan pengobatan optimal, pengobatan pasien dapat
diteruskan.
Profesional perawatan kesehatan perlu menyadari sumber interaksi obat

yang mengidentifikasi kedekatan dan tingkat keparahan interaksi, dan mampu

14
Universitas Sumatera Utara

menggambarkan hasil potensi interaksi dan menyarankan intervensi yang tepat.
Hal ini juga tugas pada profesional kesehatan untuk dapat menerapkan literatur
yang tersedia untuk setiap situasi. Profesional kesehatan harus mampu untuk
merekomendasi secara individu berdasarkan parameter-pasien tertentu. Meskipun
beberapa pihak berwenang menyarankan efek samping yang dihasilkan dari
interaksi obat mungkin kurang sering daripada yang dipercaya, profesional
perawatan kesehatan harus melindungi pasien terhadap efek berbahaya dari obatobatan, terutama ketika interaksi tersebut dapat diantisipasi dan dicegah (Tatro,
2009).
2.2 Tekanan Darah
Tekanan darah adalah kekuatan yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap
satuan luas dinding pembuluh. Tekanan darah dinyatakan dalam satuan millimeter
air raksa (mm Hg). Secara umum tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung
dan tahanan perifer total (Guyton, 2007).
Tekanan darah (BP) = Curah Jantung (CO) x Tahanan Perifer Total (TPR)
Berdasarkan rumus di atas dapat dilihat bahwa tekanan darah akan meningkat
jika curah jantung dan tahanan perifer total meningkat (Guyton, 2007).
2.2.1 Sistem renin – angiotensin – aldosteron: perannya dalam pengaturan
tekanan dan hipertensi
Selain kemampuan ginjal untuk mengatur tekanan arteri melalui
perubahan volune cairan ekstrasel, ginjal juga memiliki mekanisme yang kuat
lainnya untuk mengatur tekanan. Mekanisme ini adalah sistem renin – angiotensin
– aldosteron (Guyton, 2007).

15
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Patogenesis hipertensi (Dipiro, et al., 2008)
Renin adalah suatu enzim protein yang dilepaskan oleh ginjal bila tekanan
arteri turun sangat rendah. Kemudian, enzim ini meningkatkan tekanan arteri
melalui beberapa cara, jadi membantu mengoreksi penurunan awal tekanan
(Guyton, 2007).
Renin disintesis dan disimpan dalam bentuk inaktif yang disebut prorenin
di dalam sel-sel jukstaglomerular (sel JG) di ginjal. Sel JG merupakan modifikasi
dari sel-sel otot polos yang terletak di dinding arteriol aferen, tepat di proksimal
glomeruli. Bila tekanan arteri turun, reaksi intrinsik di dalam ginjal itu sendiri
menyebabkan banyak molekul prorenin di dalam sel JG terurai dan melepaskan
renin. Sebagian besar renin memasuki aliran darah ginjal dan kemudian
meninggalkan ginjal untuk bersirkulasi ke seluruh tubuh. Walaupun demikian,
sejumlah kecil renin tetap berada dalam cairan local ginjal dan memicu beberapa
fungsi intrarenal (Guyton, 2007).

16
Universitas Sumatera Utara

Renin itu sendiri merupakan enzim, bukan bahan vasoaktif. Renin bekerja
secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu globulin yang disebut substrat
renin (atau angiotensinogen), untuk melepaskan peptide asam amino-10, yaitu
angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor yang ringan tetapi
tidak cukup untuk menyebabkan perubahan fungsional yang bermakna dalam
fungsi sirkulasi. Renin menetap dalam darah selama 30 menit sampai 1 jam dan
terus menyebabkan pembentukan angiotensin I yang lebih banyak selama waktu
tersebut (Guyton, 2007).
Beberapa detik hingga beberapa menit setelah pembentukan angiotensin I,
terdapat dua asam amino tambahan yang dipecah dari angiotensin I untuk
membentuk angiotensin II peptide asam amino-8. Perubahan ini hampir
seluruhnya terjadi di paru sementara darah yang mengalir melalui pembuluh kecil
di paru, dikatalisis oleh suatu enzim, yaitu enzim pengubah, yang terdapat di
endotelium pembuluh paru (Guyton, 2007).
Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat, dan juga
mempengaruhi fungsi sirkulasi melalui cara lainnya. Walaupun begitu,
angiotensin II menetap dalam darah hanya selama 1 atau 2 menit karena
angiotensin II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan
jaringan yang secara bersama-sama disebut angiotensinase. Selama angiotensin II
ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua pengaruh utama yang dapat
meningkatkan arteri. Pengaruh yang pertama, yaitu vasokonstriksi di berbagai
daerah di tubuh, timbul dengan cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama di arteriol
dan jauh lebih lemah di vena. Konstriksi di arteriol akan meningkatkan tahanan
perifer total, akibatnya akan meningkatkan tekanan arteri. Konstriksi ringan di

17
Universitas Sumatera Utara

vena-vena juga akan meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung, sehingga
membantu pompa jantung untuk melawan kenaikan tekanan. Pengaruh yang
kedua yang membuat angiotensin meningkatkan tekanan arteri adalah dengan
menurunkan ekskresi garam dan air oleh ginjal. Hal ini perlahan-lahan akan
meningkatkan volume cairan ekstrasel, yang kemudian meningkatkan tekanan
arteri selama berjam-jam dan berhari-hari berikutnya. Efek jangka panjang ini,
yang bekerja melalui mekanisme volume cairan ekstrasel, bahkan lebih kuat
daripada mekanisme vasokonstriktor akut dalam menyebabkan peningkatan
tekanan arteri (Guyton, 2007).
2.3 Hipertensi
Hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi di atas batas normal (120/80
mmHg). Klasifikasi tekanan darah menurut JNC (Joint National Committee) VII
2003 dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII
Klasifikasi

Tekanan Sistolik (mmHg)

Tekanan Diastolik (mmHg)

Normal