Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Di Puskesmas Di Kota Medan

(1)

Lampiran 1. Hasil Uji Normalitas Data Antara Variabel Bebas Terhadap Variabel Terikat

Kelompok Usia – Interaksi Obat

Tests of Normality

kelompok usia

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig. Interaksi_Oba

t dimen

sion1

25-55 .475 39 .000 .522 39 .000 56-86 .493 103 .000 .483 103 .000 a. Lilliefors Significance Correction

Kelompok Jumlah Obat – Interaksi Obat

Tests of Normality

kelompok jumlah

obat Kolmogorov-Smirnov

a

Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. Interaksi_Ob

at

dimension1

2 .366 27 .000 .634 27 .000

3 .530 61 .000 .340 61 .000

4 .469 37 .000 .534 37 .000

5-6 .521 17 .000 .385 17 .000 a. Lilliefors Significance Correction


(2)

Lampiran 2. Hasil Analisis Bivariat Beberapa Variabel Bebas Terhadap Kejadian Potensi Interaksi Obat Dengan Menggunakan Uji Chi-square pada Program SPSS Advanced 18.0

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent kelompok usia *

Interaksi_Obat

142 100.0% 0 .0% 142 100.0%

kelompok jumlah obat * Interaksi_Obat

142 100.0% 0 .0% 142 100.0%

kelompok usia * Interaksi_Obat

Crosstab

Interaksi_Obat

Total Tidak ya

kelompok usia 25-55 Count 9 30 39

% within kelompok usia 23.1% 76.9% 100.0% % within Interaksi_Obat 31.0% 26.5% 27.5%

56-86 Count 20 83 103

% within kelompok usia 19.4% 80.6% 100.0% % within Interaksi_Obat 69.0% 73.5% 72.5%

Total Count 29 113 142

% within kelompok usia 20.4% 79.6% 100.0% % within Interaksi_Obat 100.0% 100.0% 100.0%


(3)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .233a 1 .629

Continuity Correctionb .062 1 .803

Likelihood Ratio .229 1 .632

Fisher's Exact Test .645 .394

Linear-by-Linear Association

.231 1 .630

N of Valid Cases 142

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.96. b. Computed only for a 2x2 table

kelompok jumlah obat * Interaksi_Obat

Crosstab

Interaksi_Obat

Total Tidak ya

kelompok jumlah obat 2 Count 12 15 27

% within kelompok jumlah obat

44.4% 55.6% 100.0%

% within Interaksi_Obat 41.4% 13.3% 19.0%

3 Count 6 55 61

% within kelompok jumlah obat

9.8% 90.2% 100.0%

% within Interaksi_Obat 20.7% 48.7% 43.0%

4 Count 9 28 37

% within kelompok jumlah obat

24.3% 75.7% 100.0%

% within Interaksi_Obat 31.0% 24.8% 26.1%

5-6 Count 2 15 17

% within kelompok jumlah obat

11.8% 88.2% 100.0%


(4)

kelompok jumlah obat * Interaksi_Obat (lanjutan)

Total Count 29 113 142

% within kelompok jumlah obat

20.4% 79.6% 100.0%

% within Interaksi_Obat 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 14.924a 3 .002

Likelihood Ratio 14.078 3 .003

Linear-by-Linear Association 3.292 1 .070

N of Valid Cases 142


(5)

Lampiran 3. Data Potensi Interaksi Obat Antihipertensi pada Pasien Hipertensi di puskesmas di kota Medan

NO Nama Obat

Pola Mekanisme Interaksi Obat Tingkat Keparahan Interaksi Obat Jumlah Kasus Mekanisme Interaksi Manajemen

1 Amlodipine - Captopril

Farmakodina mik - aditif

Minor 37 Penghambat Kanal Kalsium (CaCB) dan penghambat ACE mempunyai efek hipotensi aditif selama mengguna-kan kedua obat ini secara bersamaan, diperlukan monitoring dari tekanan darah siste mik selama pemberian, terutama se lama satu hi ngga tiga mi nggu terapi. 2 Amlodipine

-

Simvastatin

Farmakokineti k

Major 15 Amlodipine meningkatkan kadar dari simvastatin. Amlodipine menghambat metabolisme lintas pertama (CYP3A4) dari HMG-CoA Reductase Inhibitor Gunakan al ternatif lain jika ada. Te tapi jika pe mberian pada kedua obat ini ti dak bisa di hindari ma ka manfaat dari terapi kombinasi tersebut ha rus diper-timbangkan dengan hati-hati terha-dap potensi resiko dari kombinasi. Kombinasi kedua obat ini berpoten si meningkat kan terjadi nya miopati atau

rhabdomioli sis. Batasan dosis simvas tatin tidak le bih dari 20


(6)

mg/hari. Atau dapat diganti dengan pravastatin atau gol.statin lainnya yang tidak sama enzim pemetabolis menya dengan simvastatin. 3 Amlodipine

-

Piroksikam

Farmakodina mik - antagonis

Moderate 1 Data mengin-dikasikan bahwa beberapa penghambat Cox meng-urangi efek antihipertensi dari CaCB. Mekanisme ter-kait terhadap sebuah pening-katan tekanan pembuluh

darah, yang mana itu tergantung prostasiklin dan prostanoid vasodilator lainnya. Ketika sebu-ah NSAID diberikan ke pada pasien yang meng-gunakan CaCB, maka akan meng-hasilkan peningkatan tekanan darah. Monitoring untuk meng-ontrol peningkatan tekanan darah direkomend asikan.

4 Amlodipine - Simetidin

Farmakokineti k

Moderate 4 Efek dari amlodipine meningkat. Tidak dapat dijelaskan, tetapi metabolisme hati dari amlodipine menurun. Memantau pasien terhadap perubahan efek dari amlodipine ketika inisiasi, penghentian, atau perubahan dosis dari simetidin. Pengaturan dosis dari amlodipine diperlukan.


(7)

5 Captopril - Glibenklam id

Farmakodina mik - sinergis

Moderate 20 Sementara waktu meningkatkan efek sensitivitas insulin oleh ACE Inhibitor sehingga risiko hipoglikemik meningkat. Amati dengan hati-hati untuk efek hipogli kemik keti ka memulai terapi ACE Inhibitor pada pasien yang menerima terapi sulfonilurea.

6 Captopril - Furosemida

Farmakodina mik - sinergis

Minor 2 Penghambatan produksi angiotensi II oleh ACE Inhibitor dan Efek dari diuretik loop akan mengakibatkan terjadinya hipotensi dan juga dehidrasi. Status cairan tubuh dan berat badan pasien harus di monitoring pada pasien yang menerima diuretik loop ketika ACE Inhibitor dimulai.

7 Captopril - Allopurinol

Unknown Major 8 Belum pasti. Resiko dari reaksi hipersensitif mungkin lebih tinggi ketika allopurinol dan captopril diberikan bersama-sama daripada ketika masing-masing obat diberikan sendirian. Reaksi hi-persensitifit as tidak dapat di-prediksi jika tidak ada riwayat re-aksi obat se-belumnya. Jika mani-festasi dari hipersensitif berkem-bang, kedua obat tidak dilanjutkan. Perawatan langsung untuk mengatur gejala dari reaksi hiper-sensitifitas.


(8)

8 Captopril - Piroksikam

Farmakodina mik - antagonis

Moderate 7 Efek hipotensi dari ACE Inhibitor berkurang. Piroksikam menurunkan efek dari kaptopril dengan antagonis farmakodinamik . NSAIDs menurunkan sintesis prostaglandin vasodilatasi ginjal, dan dengan demikian mempengaruhi cairan homeostasis dan menurunkan efek antihipertensi. Monitoring tekanan darah. Piroksikam jangan dilanjutkan atau gunakan alternatif obat antihiperten si lain jika sebuah interaksi terjadi. Pant au tekanan darah ketika piroksikam dimulai ataupun dihentikan.

9 Captopril - Asam Mefenamat

Farmakodina mik - antagonis

Moderate 6 Asam mefenamat menurunkan efek dari captopril dengan antagonisme farmakodinamik . NSAIDs menurunkan sintesis dari prostaglandin vasodilatasi ginjal, dan dengan demikian mempengaruhi cairan homeostasis tubuh dan mengurangi efek antihipertensi. Monitoring tekanan darah. Asam mefenamat jangan dilanjutkan atau gunakan alternatif obat antihiperten si lain jika sebuah interaksi terjadi. Pant au tekanan darah ketika asam mefenamat dimulai ataupun dihentikan.


(9)

10 Captopril - Antasida

Farmakokineti k

Minor 20 Absorpsi gastrointestinal dari captopril menurun. Antasid dapat menyebabkan efektifitas antihipertensi dari captopril menurun. Jika sebuah interaksi terjadi, pertimbanga nnya yaitu memisahkan atau menjarakka n captopril dari makanan atau dari pemberian antasid 1 hingga 2 jam. 11 Captopril -

Glikazid

Farmakodina mik - sinergis

Moderate 1 Meningkatkan sensitifitas insulin sementara waktu oleh Ace

Inhibitor. Efek berupa resiko hipoglikemik meningkat. Amati dengan hati-hati untuk efek hipoglikemi k ketika memulai terapi ACE Inhibitor pada pasien yang menerima terapi sulfonilurea.

12 Captopril - Natrium Diklofenak

Farmakodina mik - antagonis

Moderate 2 Na diklofenak menurunkan efek dari captopril dengan antagonisme farmakodinamik . NSAIDs menurunkan sintesis dari prostaglandin vasodilatasi ginjal, dan dengan demikian mempengaruhi cairan homeostasis tubuh dan mengurangi efek antihipertensi. Monitoring tekanan darah. Na diklofenak jangan dilanjutkan atau gunakan alternatif obat antihiperten si lain jika sebuah interaksi terjadi. Pant au tekanan darah ketika Na diklofenak dimulai ataupun dihentikan.


(10)

13 Captopril - Ibuprofen

Farmakodina mik - antagonis

Moderate 5 Ibuprofen menurunkan efek dari captopril dengan anta-gonisme farma-kodinamik. NSAIDs menu-runkan sintesis dari prosta-glandin vaso-dilatasi ginjal, dan dengan demi-kian mempeng-aruhi cairan home-ostasis tubuh dan mengurangi efek antihipertensi. Monitoring tekanan darah. Ibuprofen jangan dilanjutkan atau guna-kan alter-natif obat antihiperten si lain jika sebuah interaksi terjadi. Pant au tekanan darah ketika ibuprofen dimulai ataupun dihentikan. 14 Captopril -

Nifedipin

Farmakodina mik - aditif

Minor 3 CaCB dan ACE

inhibitor menyebabkan efek hipotensi aditif. Selagi obat-obat ini sering digunakan bersama-sama, maka sebaiknya dipantau tekanan darah sistemik, terutama selama minggu pertama hingga 3 minggu terapi. 15 Captopril -

Glucovance

Farmakodina mik - sinergis

Moderate 1 Captopril meningkatkan efek dari gliburid dengan farmakodinamik sinergis. Menyebabkan efek hipoglikemik. Interaksi kemungkina n terjadi sehingga pantau kadar glukosa darah secara teratur. 16 Captopril -

Glipiride

Farmakodina mik - sinergis

Moderate 1 Meningkatkan sensitifitas insulin sementara waktu oleh Ace

Inhibitor. Efek berupa resiko hipoglikemik meningkat. Amati dengan hati-hati untuk efek hipoglikemi k ketika memulai terapi ACE Inhibitor


(11)

pada pasien yang menerima terapi sulfonilurea.

17 Captopril - Meloxicam

Farmakodina mik - antagonis

Moderate 1 Melosikam menurunkan efek dari captopril dengan anta-gonisme farma-kodinamik. NSAIDs menurunkan sintesis dari prostaglandin vasodilatasi ginjal, dan dengan demikian mempengaruhi cairan homeostasis tubuh dan mengurangi efek antihipertensi. Monitoring tekanan darah. meloksikam jangan dilanjutkan atau gunakan alternatif obat antihiperten si lain jika sebuah interaksi terjadi. Pan-tau tekanan darah ketika meloksikam dimulai ataupun dihentikan.

18 Furosemida - Asam Mefenamat

Farmakodina mik - antagonis

Minor 1 Asam mefenamat menurunkan efek dari furo-semid dengan antagonis farma-kodinamik. NSAID menurunkan sintesis dari prostaglandin yang bertanggung jawab pada hemodinamik ginjal. Dibutuhkan peningkatan dosis dari diuretik kuat. Pertimbang-kan obat antiinflama-si lain jika diuresis tidak memadai.

19 Hidroklortia zid - Allopurinol

Unknown Major 1 Unknown (tidak

jelas). Pemberian diuretik tiazid bersamaan dengan terapi allopurinol diindikasikan Jika sebuah reaksi hiper-sensitif ter-hadap allo-purinol ber-kembang, penilaian status klinis


(12)

terjadinya peningkatan insiden reaksi hipersensitif terhadap allopurinol. dari pasien diperlukan dalam menentukan agen penyebab tersebut. Perubahan terapi dibutuhkan. 20 Hidroklortia

zid - Piroksikam

Farmakodina mik - antagonis

Minor 1 Efek dari piroksikam dengan cara menghambat pembentukan prostaglandin dan menyebabkan tahanan natrium dan air dengan cara obat asam/anionic berkompetisi terhadap bersihan tubulus ginjal (diuretik tiazid) sehingga menurunkan efek HCT. Pasien yang menerima kedua obat yaitu diuretik dan NSAID, pengaturan diperlukan untuk menghindari dehidrasi dan pantau secara berkala fungsi ginjal pasien dan tekanan darah nya. Jika terjadi insufisiensi ginjal atau hiperkale-mia ber-kembang, maka kedua obat harus dihentikan sampai kondisinya membaik.

21 Nifedipine - Glucovance

Farmakokineti k

Moderate 1 Penggunaan nifedipin bersama-sama dengan metformin, meningkatkan efek dari metformin, yang dapat mengancam jiwa pasien dimana kondisi tersebut dikatakan Jika metformin dan nifedipin harus digunakan bersama-sama, titrasi hati-hati dosis metformin dianjurkan . peningkatan kadar


(13)

asidosis laktat. Nifedipin meningkatkan absorpsi dari metformin. Ini dapat menyebabkan kelelahan, mengantuk, nyeri otot, nafas pendek, sakit perut, sakit kepala. metformin dapat meningkatk an risiko asidosis laktat . pasien harus disarankan untuk memonitor glukosa darah mereka dan segera memberita-hu dokter mereka jika mereka mengalami kemungki-nan tanda asidosis laktat seperti malaise, mialgia, gangguan pernapasan, hiperventila si, lambat atau detak jantung tidak teratur, mengantuk, sakit perut, atau gejala yang tidak biasa lainnya.

22 Nifedipine - Bisoprolol

Farmakodina mik - aditif

Moderate 1 Bisoprolol dan nifedipine mungkin memiliki efek aditif atau sinergis dalam menurunkan tekanan darah dan detak jantung. Hati-hati memantau fungsi jantung pasien yang beresiko besar terhadap efek samping kardiovasku lar.


(14)

23 Valsartan - Simvastatin

Farmakokineti k

Moderate 1 Hasil dari sebuah penelitian in vitro dengan jaringan hati manusia, mengindikasika n bahwa valsartan adalah sebuah substrat dari transporter OATP1B1

uptake hati.

Pemberian bersamaan dengan penghambat OATP1B1 dapat

meningkatkan efek sistemik dari valsartan. Simvastatin merupakan penghambat OATP1B1.

Pantau kedua obat ini jika diberi bersama-sama. Perlu pengaturan dosis dari valsartan.


(15)

(16)

Lampiran 5. Surat Permohonan Izin Penelitian/Pengambilan Data Dari Dinas Kesehatan


(17)

(18)

(19)

(20)

(21)

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Armilawaty., Amalia, H. dan Amiruddin, R. (2007). Hipertensi dan Faktor

Risikonya dalam Kajian Epidemiologi. FKM UNHAS. Hal. 1-6.

Churi, S., Nag, K.A., Umesh, M. (2011). Assesment Of Drug - Drug Interactions In Hospitalised Patients In India. Asian Journal of Pharmaceutical and

Clinical Research. 4(1): 63.

Coylewright, M., Reckelhoff, J.F., dan Ouyang, P. (2008). Menopause and

Hypertension An Age-old Debate. The Department Of Medicine, Johns

Hopkins University School Of Medicine, Baltimore, Md; and Physiology and Biophysics, University Of Mississippi Medical Center, Jackson. Hal. 952-959.

Depkes RI. (2006). Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Dipiro, T.J., Talbert,L.R., Yee, C.G., Matzke, R.G., Wells, G.B., dan Posey, M.L. (2008). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. New York: Mc Graw Hills Company. Hal. 141-142.

Drugs.com. Diakses Desember 2014 Fauci, S.A., Kasper, L.D., Longo, L.D., Braunwald, E., Hauser, L.S., Jameson,

L.J., dan Loscalzo, J. (2008). Harrison's Principles of Internal Medicine. Edisi ketujuh belas. New York: Mc Graw Hills Company. Hal. 1403. Fradgley, S. (2003). Interaksi obat, dalam Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy)

Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien (Aslam M, Tan CK, Prayitno A, Ed). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Kelompok Gramedia. Halaman 119–134.

Gitawati, R. (2008). Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Dalam artikel Media Litbang Kesehatan. 18(4): 175-176.

Guyton, A.C. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi sebelas. Jakarta: EGC Kedokteran. Hal. 172, 233-234.

Handayani, N.Y., dan Sartika, R.A. (2007). Hipertensi Pada Pekerja Perusahaan Migas X di Kalimantan Timur, Indonesia. Makalah Seri Kesehatan In

Press. 17(1): 26-27.

Harianto., Kurnia, R. dan Siregar, S. (2006). Hubungan Antara Kualifikasi Dokter Dengan Kerasionalan Penulisan Resep Obat Oral Kardiovaskuler Pasien Dewasa Ditinjau Dari Sudut Interaksi Obat. Majalah Ilmu Kefarmasian. 3(2): 67.


(23)

James, A.P., Suzanne, O., Barry, L., William, C., Cheryl, D., Joel, H., Daniel, T., Michael, L., Thomas, D., Olugbeng, O., Sidney, C., Smith, J., Laura, P., Svetkey., Sandra, J.T., Raymond, R., Townsend., Jackson, T., Wright, J., Andrew, S.N., dan Eduardo, O. (2014). Evidance-Based Guideline for the

Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8).

Lowa: American Medical Association. Hal. 1-14.

Katzung, B.G. (2001). Farmakologoi dan Terapi. Jakarta: UI Press. Halaman 207, 208, 304, 569.

McCabe, B.J., Frankel, E.H., dan Wolfe, J.J. (2003). Handbook of Food-Drug

Interaction. USA: CRC Press LLC. Hal. 39-40.

Medscape.com. Diakses Desember checker.

NHLBI. (2004). The Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation,and Treatment of High Blood Pressure. USA. Hal. 12-26.

Notoatmojdo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 145-146.

Putu, D.I., Djumiani, S., dan Ikawati, Z. (2008). Kajian Keamanan Pemakaian Obat Antihipertensi Di Poliklinik Usia Lanjut Instalasi Rawat Jalan RS DR Sardjito. Majalah Ilmu Kefarmasian. 5(3): 152-160.

Rahmiati, S., dan Supadmi, W. (2010). Kajian Interaksi Obat Antihipertensi pada Pasien hemodialisis di bangsal Rawat Inap RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta Periode Tahun 2010. Jurnal Ilmiah Kefarmasian. 2(1): 99-110.

Riskesdas. (2013). Hipertensi/Tekanan Darah Tinggi. Kementerian Kesehatan

RI: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Hal. 88-90.

Setiawan, T. (2011). Studi Retrospektif Interaksi Obat Pada Pasien Jamkesmas Di

RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan. Program Studi

Sarjana Farmasi: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Pharmacology. Hal. 44-62.

Setyani, W., Yasin, N.M. dan Puspita, S. (2006). Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Hipertensi Rawat Jalan Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Pemerintah Kota Semarang Periode Maret-oktober 2006.

Media Farmasi Indonesia. 3(1): 170.

Sindhu, M.S., Kannan, B. (2013). Investigating The Factors Affecting Drug-Drug Interactions. International Journal of Pharma and Bio Science. 4(4): 468.


(24)

Stockley, I.H. (2008). Stockley’s Drug Interaction. Edisi kedelapan. Great Britain: Pharmaceutical Press. Hal. 1-9.

Tatro, D.S. (2009). Drug Interaction Facts, San Carlos, California: A Wolters Kluwer Health Inc.

Walker, R., dan Edward, C. (1999). Clinical Pharmacy and Therapeutis. Second

Edition. Hongkong: Adition Wisley longma China United. Hal. 247-248.

WHO. (2013). High Blood Pressure, Global and Regional Overview. World

Health Day 2013.

Wood, A.J.J. (1988). Drug Interactions in Hypertension. Journal of The American


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei deskriptif Cross Sectional yaitu hanya meneliti pada waktu tertentu, data-data yang diteliti dan diolah merupakan data-data temuan dilapangan pada saat ini (Notoatmodjo, 2010).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Pemilihan puskesmas pada pelaksanaan penelitian ini didasarkan kepada jumlah tertinggi kunjungan pasien hipertensi di puskesmas kota Medan. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan kota Medan bahwa kunjungan pasien hipertensi tertinggi di puskesmas yaitu Puskesmas Medan Deli, Puskesmas Helvetia, Puskesmas Darussalam dan Puskesmas Teladan.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2014 - November 2014. Pengambilan data dilakukan pada saat peneliti berkunjung ke puskesmas dan didapatkan data pasien yang menerima obat pada hari peneliti berkunjung. Kunjungan dilakukan setiap dua minggu sekali untuk satu puskesmas.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan diteliti, objek tersebut dapat berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, benda mati serta


(26)

peristiwa dan gejala yang terjadi dalam masyarakat atau di dalam alam (Notoadmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah lembar resep dan catatan pengobatan seluruh pasien hipertensi pada waktu kunjungan penelitian di puskesmas di kota Medan.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel yang dipilih pada penelitian ini harus memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

Kriteria inklusi adalah:

a. lembar resep pasien yang menderita hipertensi yang berumur >18 tahun b. lembar pasien yang mendapat terapi obat antihipertensi

c. mendapat terapi ≥ 2 obat

Kriteria eksklusi adalah lembar resep tidak terbaca atau tidak jelas. 3.4 Definisi Operasional

a. obat antihipertensi adalah obat yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah tinggi atau hipertensi.

b. potensi interaksi obat adalah potensi aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan.

c. interaksi obat adalah situasi di mana suatu zat mempengaruhi aktivitas obat, yaitu meningkatkan atau menurunkan efeknya, atau menghasilkan efek baru yang tidak diinginkan atau direncanakan.

d. interaksi obat–obat adalah interaksi yang terjadi antara obat satu dengan obat lainnya.


(27)

e. frekuensi interaksi adalah jumlah kasus interaksi obat antihipertensi – obat yang terjadi.

f. mekanisme interaksi adalah bagaimana interaksi obat terjadi apakah farmakokinetik, farmakodinamik, atau unknown.

g. jenis obat adalah obat yang berinteraksi.

h. tingkat keparahan interaksi obat adalah minor, moderate, dan major.

i. jumlah obat adalah berapa banyak item obat yang diberikan dalam satu resep, jumlah obat ditentukan menjadi ≥ 2 obat.

j. interaksi unknown adalah interaksi obat yang mekanismenya belum diketahui secara pasti.

k. interaksi farmakokinetik adalah interaksi pada proses absorpsi, interaksi pada proses distribusi, interaksi pada proses metabolisme, interaksi pada proses eksresi.

l. interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang mempunyai khasiat atau efek samping yang serupa atau berlawanan.

3.5 Instrumen Penelitian 3.5.1 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu data dari lembar resep dan catatan pengobatan pasien hipertensi di puskesmas di kota Medan yaitu Puskesmas Medan Deli, Puskesmas Helvetia, Puskesmas Darussalam dan Puskesmas Teladan.

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengambilan data dilakukan dengan mengumpulkan data pasien. Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:


(28)

a. mengelompokkan data lembar resep dan catatan pengobatan pasien berdasarkan kriteria inklusi.

b. mengelompokkan data penggunaan obat pasien meliputi data pasien (usia, jenis kelamin, jumlah obat yang diterima).

c. menyeleksi data berdasarkan ada tidaknya interaksi obat yang terjadi pada data pengobatan dan lembar resep pasien berdasarkan studi literatur.

3.6 Analisis Data

Evaluasi data interaksi obat dilakukan secara teoritik berdasarkan studi literature Drug Interaction Fact (Tatro, 2009), serta digunakan juga situs internet terpercaya dan menggunakan metode statistik deskriptif. Ditentukan frekuensi interaksi obat antihipertensi-obat secara keseluruhan, dihitung juga presentase mekanisme interaksi obat baik yang mengikuti mekanisme interaksi farmakokinetik, farmakodinamik, dan unknown, serta ditentukan jenis-jenis obat yang sering berinteraksi dan tingkat keparahan interaksinya. Analisis data dilakukan secara deskriptif menggunakan uji Chi-Square pada program SPSS versi 18.0.


(29)

3.7 Bagan Alur Penelitian

Adapun gambaran dari pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:

Gambar 3.1 Alur Pelaksanaan Penelitian 3.8 Langkah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk mendapatkan permohonan mengeluarkan Surat Pengantar Izin Penelitian kepada Dinas Kesehatan kota Medan.

Lembar resep dan catatan pengobatan pasien

hipertensi

Pengelompokan data penggunaan obat

pasien

Identifikasi obat yang berpotensi interaksi

Analisis

Penarikan kesimpulan Persentase

potensi interaksi

Obat yang sering berpotensi

interaksi

Mekanisme Interaksi

Tingkat Keparahan


(30)

b. mendapatkan izin dari Dinas Kesehatan kota Medan untuk melakukan penelitian di puskesmas kota Medan yaitu Puskesmas Medan Deli, Puskesmas Helvetia, Puskesmas Darussalam dan Puskesmas Teladan.

c. menghubungi kepala puskesmas yang bersangkutan untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data, dengan membawa surat yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan kota Medan.

d. mengumpulkan data pasien.

e. menganalisis data dan informasi yang diperoleh sehingga didapatkan kesimpulan dari penelitian.


(31)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap 4 puskesmas yang berada di kota Medan periode September – November 2014 yaitu Puskesmas Medan Deli, Puskesmas Helvetia, Puskesmas Darussalam, Puskesmas Teladan diperoleh 142 pasien yang memenuhi kriteria inklusi (Tabel 4.1). Pengamatan diambil dari lembar resep dan catatan pengobatan pasien dari puskesmas.

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

No Karakteristik Subjek Jumlah Resep (n=142) %

1 Jenis Puskesmas

Medan Deli 37 26,06

Helvetia 19 13,38

Darussalam 24 16,90

Teladan 62 43,66

2 Jenis Kelamin

Lk 37 26,06

P 105 73,94

3 Kelompok Usia

25 - 55 Tahun 39 27,46

56 - 86 Tahun 103 72,54

4 Jumlah Obat

Dua obat 27 19,01

Tiga obat 61 42,96

Empat obat 37 26,06

≥ 5 obat 17 11,97


(32)

Karakteristik subjek pada tabel 4.1 terdiri dari empat kelompok. Kelompok pertama yaitu kelompok jenis puskesmas yang merupakan tempat dilakukannya penelitian. Kelompok kedua yaitu kelompok jenis kelamin. Kelompok ketiga yaitu kelompok umur yang dibagi menjadi dua bagian. Pembagian ini didasarkan pembagian umur menurut Departemen Kesehatan dimana untuk kategori dewasa dimulai umur 25 – 55 tahun dan untuk kategori manula dan lansia antara 56 – 86 tahun. Kelompok keempat yaitu kelompok jumlah obat yang digunakan oleh pasien berdasarkan banyaknya obat yang diterima pasien.

Berdasarkan data Tabel 4.1 diatas, hasil pengamatan menunjukkan gambaran bahwa jumlah resep yang paling banyak adalah Puskesmas Teladan dengan 62 (43,66%) jumlah resep diikuti dengan Puskesmas Medan Deli 37 (26,06%) jumlah resep, Puskesmas Darussalam 24 (16,90%) jumlah resep dan Puskesmas Helvetia 19 (13,38%) jumlah resep.

Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas lembar resep yang diterima merupakan lembar resep untuk pasien perempuan yaitu 105 (73,94%) jumlah resep. Berdasarkan kelompok usia, lembar resep yang diterima mayoritas untuk pasien berusia 56 - 86 tahun yaitu 103 (72,54%) jumlah resep. Berdasarkan jumlah obat, lembar resep yang diterima paling banyak mengandung tiga jenis obat yaitu 61 (42,96%) jumlah resep.

Berdasarkan tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa pasien yang mengalami hipertensi lebih banyak wanita daripada laki-laki. Hal ini dikarenakan bahwa wanita lebih rentan mengalami hipertensi akibat pengaruh hormon yang dimilikinya. Pada dasarnya, seiring dengan bertambahnya usia wanita terutama 25 tahun keatas akan mengalami peningkatan produksi hormon seksualnya. Namun,


(33)

ketika mendekati usia 40 tahun maka kemampuan produksi hormon tersebut akan semakin berkurang. Ini disebut dengan masa menopause (masa terhentinya siklus menstruasi). Wanita dalam masa menopause ditemukan memiliki tekanan darah sistolik lebih besar daripada laki-laki dengan usia yang sama. Menopause dihubungkan dengan pengurangan pada estradiol dan penurunan perbandingan rasio estrogen dan testosterone. Hal ini mengakibatkan disfungsi endothelial dan menambah indeks masa tubuh yang menyebabkan kenaikan pada aktivasi saraf simpatetik yang kerap kali terjadi pada wanita yang mengalami menopause. Aktivasi saraf simpatetik ini akan mengeluarkan sekresi renin dan angiotensin II. Disfungsi endotelial ini akhirnya meningkatkan kesensitifan terhadap garam dan kenaikan endotelin. Tidak hanya itu, kenaikan angiotensin dan endotelin dapat menyebabkan stress oksidatif yang akhirnya berujung pada hipertensi (Coylewright, dkk., 2008).

Tabel 4.2 Klasifikasi Pasien Yang Mengalami Hipertensi Berdasarkan JNC VII

No Kategori Jumlah Pasien %

1 Pre-Hipertensi 26 18,31

2 Hipertensi Stage 1 58 40,85

3 Hipertensi Stage 2 58 40,85

Total 142

Berdasarkan The Seventh Report of The Joint National Committee On

(JNC VII) kategori tekanan darah untuk orang dewasa adalah Pre-Hypertension

120-139/80-89; Hypertension Stage 1 140-159/90-99; Hypertension Stage 2 ≥160/≥100 (NHLBI,2004). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh jumlah pasien yang mengalami hipertensi yang paling banyak adalah kategori Hypertension


(34)

Stage 1 dan Stage 2 dengan persentase 40,85% (Tabel 4.2). Pada JNC VII

pengkategorian tekanan darah dibagi menjadi empat tingkatan berdasarkan nilai dari tekanan darah seseorang yaitu normal, pre-hipertensi, hipertensi stage 1 dan hipertensi stage 2. Sedangkan pada JNC VIII lebih kepada manajemen terapi hipertensi berdasarkan Evidence Based Medicine (EBM), komplikasi penyakit, ras dan riwayat penderita hipertensi. Namun, klasifikasi tekanan darah yang dirilis oleh JNC VIII pada tahun 2013 masih merujuk klasifikasi tekanan darah JNC VII (James, dkk., 2014).

Menurut JNC VII pengobatan pasien pre-hipertensi cukup dengan terapi non farmakologi yaitu perubahan pola hidup. Namun berdasarkan tabel 4.2 diatas, pasien pre-hipertensi yang ada di puskesmas mendapatkan terapi farmakologi. Hal ini di karenakan pasien pre-hipertensi tersebut merupakan pasien kunjungan berulang ke puskesmas yang merupakan pasien hipertensi stage 1 atau 2 yang tekanan darahnya sudah stabil. Pasien yang tekanan darahnya sudah stabil tetap mendapatkan terapi farmakologi untuk mengontrol tekanan darahnya.

4.2 Potensi Interaksi Obat Antihipertensi

Berdasarkan analisis terhadap 142 resep pasien, ditemukan adanya potensi interaksi obat antihipertensi didalam resep sebanyak 113 (79,57%) resep dan tidak berinteraksi sebanyak 29 (20,43%) resep. Gambaran umum kejadian potensi interaksi obat secara keseluruhan puskesmas ditunjukkan pada Tabel 4.3.


(35)

Tabel 4.3 Potensi Interaksi Obat Antihipertensi

No Kriteria Subjek

Total Pasien (n=142)

Berinteraksi % Tidak

Berinteraksi % 1 Kelompok Usia

25 - 55 tahun 56 - 86 tahun

30 83 21,13 58,45 9 20 6,34 14,08

113 79,57 29 20,43

2 Jumlah Obat Dua obat Tiga obat Empat obat ≥ 5 obat

15 55 28 15 10,56 38,73 19,72 10,56 12 6 9 2 8,45 4,23 6,34 1,41

113 79,57 29 20,43

Berikut adalah bentuk diagram batang potensi interaksi obat hasil persentase (%) antara kelompok usia terhadap total pasien (Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Grafik hasil persentase potensi interaksi obat (%) antihipertensi pada kelompok usia terhadap total pasien n = 142

Berikut adalah bentuk diagram batang potensi interaksi obat hasil persentase (%) antara jumlah obat terhadap total pasien n = 142 (Gambar 4.2).

21.13 58.45 6.34 14,08 0 20 40 60 80

25-55 tahun 56-86 tahun

Berinteraksi Tidak Berinteraksi Kelompok usia

T er h ad ap t ot al p as ie n n = 142 ( %)


(36)

Gambar 4.2 Grafik hasil persentase potensi interaksi obat (%) antihipertensi pada jumlah obat terhadap total pasien n = 142

Berdasarkan gambar diatas (Gambar 4.1 dan 4.2) serta Tabel 4.3, Potensi interaksi obat antihipertensi yang terjadi pada 113 resep menggambarkan bahwa Potensi interaksi obat lebih banyak terjadi pada pasien dengan kelompok umur 56 - 86 tahun yaitu 83 (58,45%) resep dibandingkan pasien dengan kelompok umur 25 - 55 tahun 30 (21,13%) resep dan potensi interaksi obat lebih banyak terjadi pada pasien yang menerima 3 jenis obat yaitu 55 (38,73%) resep dibandingkan pasien yang menerima dua obat 15 (10,56%) resep, empat obat 28 (19,72%) resep dan ≥ 5 obat 15 (10,56%) resep.

Pada gambar 4.2 diatas, potensi interaksi obat terhadap jumlah obat terlihat pasien yang mendapat terapi tiga obat lebih banyak mengalami kejadian potensi interaksi. Hal ini dikarenakan jumlah resep yang diperoleh oleh peneliti lebih banyak pasien dengan tiga obat dari pada empat obat maupun lebih dari lima obat, sehingga potensi terjadinya interaksi pada pasien dengan tiga obat lebih

10.56 38,73 19,72 10,56 8,45 4,23 6,34 1,41 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Dua obat Tiga obat Empat obat ≥5 obat

Berinteraksi Tidak berinteraksi

Jumlah obat T er ha da p t o ta l pa sie n n = 142 (%)


(37)

banyak. Karena pada dasarnya pasien yang semakin banyak menggunakan obat akan semakin berpotensi mengalami interaksi.

Adanya interaksi ini dapat berhubungan sebagai adanya respon farmakologi atau klinik pada pemberian kombinasi obat yang memberikan efek berbeda ketika diberikan bersamaan (Tatro, 2009). Monitoring terkait efek yang mungkin ditimbulkan oleh karena interaksi obat ini sangat diperlukan. Interaksi obat merupakan salah satu DRPs yang mempengaruhi terapi pasien. Interaksi

obat dapat terjadi tetapi interaksi obat tidak selalu berakibat merugikan secara

klinis, namun banyak juga interaksi yang mempunyai efek potensial pada

sebagian pasien (Rahmiati, dkk., 2010).

Frekuensi potensi interaksi obat antihipertensi yang dilakukan di keempat puskesmas ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di poliklinik usia lanjut instalasi rawat jalan RS Dr Sardjito yogyakarta pada kajian keamanan pemakaian obat antihipertensi, yaitu terdapat 41,3% pasien menerima kombinasi antihipertensi yang terjadi potensi interaksi, 8,7% diantaranya mempunyai gejala klinis yang diperkirakan berkaitan dengan kemungkinan berkembangnya efek interaksi obat (Putu, dkk., 2008). Berdasarkan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa angka kejadian potensi interaksi obat antihipertensi lebih tinggi di puskesmas daripada di rumah sakit. Beberapa studi memperkirakan kejadian interaksi obat berkisar antara 2,2% sampai 30% pada pasien yang ada di rumah sakit dan 9,2% sampai 70,3% pada pasien rawat jalan (Walker dan Edwards, 1999).

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Gittawati pada interaksi obat dan beberapa implikasinya, menyatakan profil keamanan suatu obat seringkali baru didapatkan setelah obat tersebut sudah digunakan cukup lama dan secara luas di


(38)

masyarakat, termasuk oleh populasi pasien yang sebelumnya tidak terwakili dalam uji klinik obat tersebut. Informasi mengenai seberapa sering seseorang mengalami risiko efek samping karena interaksi obat, dan seberapa jauh resiko efek samping dapat dikurangi diperlukan jika akan mengganti obat yang berinteraksi dengan obat alternatif. Memperkirakan kemungkinan efek samping yang akan terjadi dapat dilakukan dengan mengetahui bagaimana mekanisme interaksi obat sehingga dapat dilakukan antisipasi (Gittawati, 2008).

4.3 Kejadian Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Berdasarkan Pola Mekanisme Interaksi Obat dan Tingkat Keparahan Interaksi Obat

Berdasarkan analisis terhadap 113 resep pasien yang mengalami potensi interaksi obat ditemukan 140 kasus potensi interaksi, terdiri dari 23 jenis potensi interaksi obat antihipertensi (Tabel 4.4).

Tabel 4.4 Jenis Kejadian Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Berdasarkan Pola

Mekanisme Interaksi Obat dan Tingkat Keparahan Interaksi Obat

No Nama Obat Pola Mekanisme

Interaksi Obat

Tingkat Keparahan Interaksi Obat

Jumlah kasus 1 Amlodipine - Captopril Farmakodinamik Minor 37 2 Amlodipine - Simvastatin Farmakokinetik Major 15 3 Amlodipine - Simetidin Farmakokinetik Moderate 4 4 Amlodipine - Piroksikam Farmakodinamik Moderate 1 5 Captopril - Glibenklamid Farmakodinamik Moderate 20 6 Captopril - Antasida Farmakokinetik Minor 20

7 Captopril - Allopurinol Unknown Major 8

8 Captopril - Piroksikam Farmakodinamik Moderate 7 9 Captopril - Asam

Mefenamat

Farmakodinamik Moderate 6 10 Captopril - Ibuprofen Farmakodinamik Moderate 5 11 Captopril - Nifedipin Farmakodinamik Minor 3


(39)

Tabel 4.4 Jenis Kejadian Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Berdasarkan Pola Mekanisme Interaksi Obat dan Tingkat Keparahan Interaksi Obat (Lanjutan).

12 Captopril - Natrium Diklofenak

Farmakodinamik Moderate 2 13 Captopril - Furosemida Farmakodinamik Minor 2 14 Captopril - Glikazid Farmakodinamik Moderate 1 15 Captopril - Glucovance Farmakodinamik Moderate 1 16 Captopril - Glipiride Farmakodinamik Moderate 1 17 Captopril - Meloxicam Farmakodinamik Moderate 1 18 Furosemida - Asam

Mefenamat

Farmakodinamik Minor 1

19 Hidroklortiazid - Allopurinol

Unknown Major 1

20 Hidroklortiazid - Piroksikam

Farmakodinamik Minor 1

21 Nifedipine - Glucovance Farmakokinetik Moderate 1 22 Nifedipine - Bisoprolol Farmakodinamik Moderate 1 23 Valsartan - Simvastatin Farmakokinetik Moderate 1

Total 140

Tabel 4.5 Jumlah Obat Antihipertensi Yang Mengalami Potensi Interaksi

No Nama Obat Jumlah (n=140) %

1 Captopril 77 55

2 Amlodipine 57 40,71

3 Hidroklortiazid 2 1,43

4 Nifedipine 2 1,43

5 Furosemida 1 0,71

6 Valsartan 1 0,71

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh obat antihipertensi yang sering mengalami potensi interaksi adalah kaptopril 55% dan Amlodipine 40,71% (Tabel 4.5). Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Rahmiati pada kajian interaksi obat antihipertensi pada pasien hemodialisis di bangsal rawat inap RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode tahun 2010, diperoleh obat antihipertensi yang sering mengalami potensi


(40)

interaksi adalah kaptopril. Hal ini karena kaptopril merupakan obat yang paling umum digunakan untuk hipertensi. Obat antihipertensi yang paling banyak digunakan pada pasien hemodialisis adalah ACEI, CCB, dan diuretik (Rahmiati, 2010).

Jenis kejadian potensi interaksi paling banyak yang melibatkan kaptopril adalah Captopril - Glibenklamid, Captopril - Antasida dan Captopril -Allopurinol. Jenis kejadian potensi interaksi paling banyak yang melibatkan Amlodipine adalah Amlodipine - Captopril, Amlodipine-Simvastatin dan Amlodipine - Simetidin.

Tabel 4.6 Jenis Mekanisme Interaksi Obat Antihipertensi Subjek Penelitian

No Mekanisme Interaksi Obat Jumlah Kasus %

1 Interaksi Farmakodinamik 90 64,29

2 Interaksi Farmakokinetik 41 29,29

3 Interaksi Unknown 9 6,43

Total 140

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh persentase mekanisme interaksi obat farmakodinamik 64,29%, farmakokinetik 29,29% dan unknown 6,43% (Tabel 4.6). Pada interaksi farmakodinamik jenis kejadian potensi interaksi obat paling banyak adalah Amlodipine - Captopril dan Captopril - Glibenklamid dan pada interaksi farmakokinetik jenis kejadian potensi interaksi obat paling banyak adalah Captopril - Antasida dan Amlodipine - Simvastatin. Hasil dari penelitian ini tidak berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Setyani mengenai evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien hipertensi rawat jalan di instalasi farmasi rumah sakit umum pemerintah Kota Semarang periode maret -oktober 2006 bahwa terdapat pasien yang mengalami interaksi obat sebanyak 56 resep (47,86%) dari 117 resep dengan 76 kasus terbagi menjadi 31 kasus


(41)

(40,79%) interaksi farmakodinamik, 27 kasus (35,53%) interaksi farmakokinetik dan 18 kasus (23,68%) interaksi unknown (Setyani, dkk., 2006).

Tabel 4.7 Tingkat Keparahan Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Pada Subjek Penelitian

No. Tingkat Keparahan Potensi

Interaksi Jumlah Kasus %

1 Minor 64 45,71

2 Moderate 52 37,14

3 Major 24 17,14

Total 140

Tingkat keparahan interaksi juga dapat memberikan pengetahuan tentang prioritas monitoring pasien. Sebuah interaksi termasuk kedalam tingkat keparahan

minor efek biasanya ringan; konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu

mencolok tetapi seharusnya tidak secara signifikan mempengaruhi hasil terapi, pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009). Kejadian potensi interaksi kategori minor yang banyak terjadi pada penelitian ini adalah Amlodipine-Captopril diketahui potensi interaksi ini yaitu menyebabkan efek hipotensi aditif, manajemen untuk potensi interaksi ini yaitu dilakukannya

monitoring tekanan darah sistemik. Interaksi kategori moderate menyebabkan

penurunan status klinis pasien. Pengobatan tambahan, perpanjangan pengobatan, dan rawat inap mungkin diperlukan perawatan di rumah sakit (Tatro, 2009). Kejadian potensi interaksi kategori moderate yang banyak terjadi adalah Captopril-Glibenklamid, diketahui dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemik karena captopril meningkatkan sensitifitas insulin, manajemen yang dilakukan berupa amati dengan hati-hati untuk gejala dari hipoglikemik ketika kedua obat ini diberikan secara bersamaan kepada pasien (Tatro, 2009). Interaksi kategori major adalah mengancam jiwa atau kerusakan permanen (Tatro, 2009). Kejadian potensi


(42)

interaksi kategori major yang banyak terjadi dalam penelitian ini adalah Amlodipine - Simvastatin diketahui kadar simvastatin dalam darah meningkat karena amlodipine menghambat metabolisme lintas pertama dari simvastatin, manajemen yang dilakukan berupa gunakan alternatif obat lain jika ada tetapi jika pemberian pada kedua obat ini tidak bisa dihindari maka manfaat dari terapi kombinasi harus dipertimbangkan dengan hati-hati terhadap potensi risiko dari kombinasi karena kombinasi dari kedua obat ini dapat meningkatkan efek samping terjadinya rabdomiolisis (kerusakan jaringan otot yang menyebabkan terlepasnya serat-serat otot ke dalam pembuluh darah dan masuk ke dalam urin yang dapat berakibat terjadinya gagal ginjal) (Drugs.com, 2014).

Efek interaksi obat ada yang tidak dikehendaki dan ada yang dikehendaki. Interaksi obat yang tidak dikehendaki mempunyai implikasi klinis jika obat indeks memiliki batas keamanan sempit; mula kerja (onset of action) obat cepat, terjadi dalam waktu 24 jam; dan dampak interaksi bersifat serius atau berpotensi fatal dan mengancam kehidupan. Sebagai contoh pasien yang mendapatkan ACEi bersama diuretik hemat kalium menyebabkan terjadinya hiperkalemia yang mengancam kehidupan (Gittawati, 2008).

Adakalanya penambahan obat lain justru diperlukan untuk meningkatkan atau mempertahankan kadar plasma obat-obat tertentu sehingga diperoleh efek teraupetik yang diharapkan. Penambahan obat lain diharapkan dapat mengantisipasi atau mengantagonis efek obat yang berlebihan, mencegah perkembangan resistensi, meningkatkan kepatuhan dan menurunkan biaya terapi karena mengurangi regimen dosis obat yang harus diberikan. Sebagai contoh kombinasi antara prokainamid sebagai antiaritmia dengan simetidin, prokainamid


(43)

memiliki waktu paruh singkat dan simetidin akan memperpanjang waktu paruh prokainamid dan memperlambat eliminasinya. Dengan demikian frekuensi pemberian dosis prokainamid sebagai antiaritmia dapat dikurangi dari 4-6 jam menjadi setiap 8 jam/hari, sehingga kepatuhan dapat ditingkatkan (Gittawati, 2008).

4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Potensi Interaksi Obat Antihipertensi

4.4.1 Faktor Usia

Berdasarkan faktor usia, kejadian potensi interaksi obat terhadap total usia lebih banyak terjadi pada pasien berusia 56-86 tahun yaitu 80,58% dengan tidak terjadi potensi interaksi sebesar 19,42% (Tabel 4.8).

Tabel 4.8 Kejadian Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Usia Subjek Penelitian

Usia

Potensi Interaksi Obat

Nilai P Terjadi Potensi

Interaksi

Tidak Terjadi Potensi Interaksi Jumlah

% terhadap total usia

Jumlah % terhadap total usia

25 - 55 tahun 30 76,92 9 23,08

0,629

56 - 86 tahun 83 80,58 20 19,42

Total 113 29

Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan Chi-Square Test antara variabel usia dengan kejadian potensi interaksi obat menunjukkan keduanya tidak bermakna secara statistik (nilai p > 0,05), sehingga dalam penelitian ini faktor usia tidak berhubungan dengan kejadian potensi interaksi obat. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian dari Setiawan pada pasien rawat jalan dan rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan,


(44)

dimana dalam penelitiannya nilai p = 0,01 yang berarti bahwa faktor usia mempengaruhi potensi interaksi (Setiawan, 2011).

Berikut adalah bentuk diagram batang potensi interaksi obat hasil persentase (%) antara kelompok usia terhadap total usia (usia 25 - 55 tahun n = 39; usia 56 - 86 tahun n = 103)(Gambar 4.3).

Gambar 4.3 Grafik hasil persentase potensi interaksi obat (%) antihipertensi antara kelompok usia terhadap total kelompok usia

Berdasarkan gambar 4.3 diatas potensi interaksi obat pada kelompok usia terhadap total usia pasien paling banyak pada umur 56 - 86 tahun yaitu 80,58% sedangkan pasien dengan kelompok umur 25 - 55 tahun potensi interaksinya sebesar 76,92%. Meskipun keduanya menunjukkan bahwa semakin bertambahnya usia maka terjadinya potensi interaksi obat semakin besar namun keduanya memiliki hubungan yang tidak bermakna. Hal ini dapat dijelaskan karena pasien yang berada di puskesmas mendapatkan terapi yang sama meskipun usia pasien tersebut berbeda dan juga pada pemberian obat dengan penyakit penyerta pun diberikan guideline yang sama meskipun usia berbeda. Hal ini dikarenakan

76,92 80,58

23,08

19,42

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

25-55 tahun 56-86 tahun

Berinteraksi Tidak Berinteraksi Kelompok usia

T

ot

al

ke

lo

m

po

k

u

si

a


(45)

pemberian obat-obatan atau resep yang diberikan oleh dokter harus disesuaikan dengan Formularium Nasional yang telah ditetapkan dan umumnya obat-obat yang digunakan adalah obat generik. Maka dari itu, interaksi yang terjadi tidak berpengaruh terhadap faktor usia.

4.4.2 Faktor Jumlah Obat

Berdasarkan faktor jumlah obat, kejadian potensi interaksi obat terhadap total jumlah obat lebih banyak terjadi pada pasien yang menerima tiga jenis obat yaitu 90,16% dengan tidak terjadi potensi interaksi sebesar 9,84% (Tabel 4.9). Tabel 4.9 Kejadian Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Jumlah Obat Subjek

Penelitian

Jumlah Obat

Potensi Interaksi Obat

Nilai P Terjadi Potensi Interaksi Tidak Terjadi Potensi

Interaksi Jumlah

% terhadap total jumlah

Obat

Jumlah

% terhadap total jumlah

obat

Dua obat 15 55,56 12 44,44

0,002

Tiga obat 55 90,16 6 9,84

Empat obat 28 75,68 9 24,32

≥5 obat 15 88,24 2 11,76

Total 113 29

Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan Chi-Square Test antara variabel jumlah obat dengan kejadian potensi interaksi obat menunjukkan keduanya bermakna secara statistik (nilai p < 0,05), sehingga dalam penelitian ini jumlah obat berhubungan dengan kejadian potensi interaksi obat. Besarnya masalah interaksi obat, terutama dapat meningkat secara bermakna pada populasi masyarakat tertentu sejalan dengan bertambah banyaknya jumlah obat yang


(46)

dikonsumsi secara bersamaan setiap hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Churi terhadap penilaian dari interaksi obat-obat pada pasien rumah sakit di india yang menyatakan dua faktor yang mempengaruhi frekuensi dari potensi interaksi obat-obat berdasarkan korelasi analisis, salah satunya adalah jumlah obat yang diresepkan kepada pasien, hasil menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara potensi interaksi obat dengan jumlah obat (p < 0.01) (Churi, dkk., 2011).

Berikut adalah bentuk diagram batang potensi interaksi obat hasil persentase (%) antara kelompok jumlah obat terhadap total jumlah obat (dua obat n = 27; tiga obat n = 61; empat obat n = 37; ≥ 5 obat n = 17)(Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Grafik hasil persentase potensi interaksi obat (%) antihipertensi antara kelompok jumlah obat terhadap total kelompok jumlah obat Berdasarkan gambar 4.4 diatas potensi interaksi obat antara kelompok jumlah obat terhadap total jumlah obat paling banyak pada pasien yang mendapatkan tiga obat 90,16% sedangkan pasien yang mendapatkan 2 jenis obat sebesar 55,56%, empat jenis obat sebesar 75,68% dan ≥ 5 jenis obat sebesar 88,24%. Meskipun potensi interaksi obat paling banyak terjadi pada pasien yang

55,56 90,16 75,68 88,24 44,44 9,84 24,32 11,76 0 20 40 60 80 100

Dua obat BerinteraksiTiga obat Tidak berinteraksiEmpat obat ≥5 obat Jumlah obat T ot al ke lo m po k jum la h o ba t (%)


(47)

mendapatkan tiga jenis obat namun secara keseluruhan semuanya itu memiliki hubungan yang bermakna. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa dengan bertambahnya jumlah obat yang digunakan maka potensi untuk timbulnya interaksi obat semakin meningkat. Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan Sindhu pada penyelidikan faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi obat-obat menyatakan insiden dari interaksi obat-obat 40% terjadi pada pasien yang menerima 5 obat dan 80% terjadi pada pasien yang menerima 7 atau lebih obat (Sindhu, dkk., 2013). Pemberian obat lebih dari satu macam yang lebih dikenal dengan polifarmasi ini disamping dapat memperkuat kerja obat (potensiasi), juga dapat berlawanan (antagonis), menggangu absorpsi, mempengaruhi distribusi, mempengaruhi metabolisme, dan mengganggu ekskresi obat yang disebabkan oleh terjadinya interaksi obat (Harianto, 2006).


(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan antara lain: a. terdapat potensi interaksi obat pada pemberian obat antihipertensi di

puskesmas di Kota Medan.

b. frekuensi potensi interaksi obat antihipertensi-obat di puskesmas di kota Medan tinggi yaitu 79,57%.

c. pola mekanisme interaksi yang terjadi yaitu farmakodinamik (64,29%), farmakokinetik (29,29%) dan unknown (6,43%); jenis obat antihipertensi yang berinteraksi yaitu Captopril, Amlodipine, Hidroklortiazid, Nifedipine, Furosemida dan Valsartan; tingkat keparahan interaksi yang terjadi yaitu

minor (45,71%), moderate (37,14%) dan major (17,14%).

d. faktor yang mempengaruhi potensi interaksi obat dilihat dari adanya hubungan yang bermakna adalah jumlah obat (P < 0,05) yaitu P = 0,002 sedangkan usia tidak berhubungan dengan terjadinya potensi interaksi obat karena P = 0,629. 5.2Saran

a. disarankan kepada dokter untuk lebih memperhatikan penggunaan obat-obat yang berpotensi mengalami interaksi terutama dengan tingkat keparahan

major seperti Amlodipine – Simvastatin dan Captopril – Allopurinol.

b. disarankan kerjasama antara dokter dan apoteker lebih ditingkatkan dalam menangani permasalahan interaksi obat yang dapat mempengaruhi hasil terapi pasien.


(49)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Obat

Interaksi obat-obat dapat didefinisikan sebagai respon farmakologis atau klinis terhadap kombinasi obat berbeda ketika obat-obat tersebut diberikan tunggal. Hasil klinis interaksi obat-obat dapat dikategorikan sebagai antagonisme, sinergisme (Tatro, 2009).

Interaksi obat didefinisikan ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya (Stockley, 2008).

Efek dan keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien yang satu dengan yang lain. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan pasien terhadap interaksi obat. Pasien yang rentan terhadap interaksi obat antara lain:

1) Pasien lanjut usia

2) Pasien yang minum lebih dari satu macam obat

3) Pasien yang mempunyai gangguan fungsi hati dan ginjal 4) Pasien dengan penyakit akut

5) Pasien dengan penyakit yang tidak stabil

6) Pasien yang mempunyai karakteristik genetik tertentu

7) Pasien yang dirawat lebih dari satu dokter (Fradgley, 2003). 2.1.1 Mekanisme interaksi obat

Sepasang interaksi obat terdiri dari obat objek dan obat presipitan. Obat objek merupakan obat yang dipengaruhi, dan obat presipitan merupakan obat yang


(50)

mempengaruhi. Secara umum mekanisme interaksi obat terbagi menjadi dua yaitu interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik.

2.1.1.1 Interaksi farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang terjadi bila satu obat mengubah tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat lain. Hal ini paling sering diukur dengan perubahan dalam satu atau lebih parameter kinetik, seperti konsentrasi serum puncak, area di bawah kurva, konsentrasi waktu paruh, jumlah total obat diekskresikan dalam urin (Tatro, 2009).

Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe: a. Interaksi pada absorbsi obat

i. Efek perubahan pH gastrointestinal

Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).

ii. Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek

Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis teraupetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dengan kalsium, bismut aluminium,


(51)

dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap sehingga mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008).

iii.Perubahan motilitas gastrointestinal

Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi. Misalnya metoklopramid mempercepat pengosongan lambung sehingga meningkatkan penyerapan parasetamol (asetaminofen) (Stockley, 2008).

iv.Malabsorbsi dikarenakan obat

Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley, 2008).

b. Interaksi pada distribusi obat i. Interaksi ikatan protein

setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul -molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya -molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).

ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat

Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif


(52)

membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping Central Nervous

System (CNS) (Stockley, 2008).

c. Interaksi pada metabolisme obat

i. Perubahan pada metabolisme fase pertama

Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).

ii. Induksi Enzim

Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim


(53)

mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008).

iii.Inhibisi enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008).

iv.Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi

Parasetamol dimetabolisme oleh CYP2E1, metronidazole menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa metronidazole meningkatkan efek parasetamol (Medscape, 2014).

d. Interaksi pada ekskresi obat i. Perubahan pH urin

Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus maka akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008).

ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal

Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama ditubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. (Stockley, 2008).


(54)

iii.Perubahan aliran darah renal

Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).

2.1.1.2 Interaksi farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Salah satu contoh dari perubahan ini adalah peningkatan toksisitas digoksin akibat penggunaan diuretik tiazid. Interaksi farmakologis, yaitu, penggunaan bersamaan dari dua atau lebih obat dengan tindakan farmakologis yang sama atau menentang (misalnya, penggunaan alkohol dengan obat antiansietas dan hipnotik atau antihistamin), adalah bentuk interaksi farmakodinamik (Tatro, 2009).

a. Interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dengan dosis teraupetik normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas dan depresi sumsum tulang (Stockley, 2008).

b) Antagonisme


(55)

berlawanan sehingga mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat.

2.1.2 Tingkat keparahan interaksi obat

Potensi keparahan interaksi sangat penting dalam menilai risiko dan manfaat terapi alternatif. Dengan penyesuaian dosis yang tepat atau modifikasi jadwal penggunaan obat, efek negatif dari kebanyakan interaksi dapat dihindari. Tiga derajat keparahan didefinisikan sebagai:

a.Keparahan minor

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek biasanya ringan; konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu mencolok tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan. Interaksi dengan tingkat keparahan minor ini risikonya minimal, untuk itu perlu diambil tindakan yang dibutuhkan untuk mengurangi risiko (Tatro, 2009).

b.Keparahan moderate

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika efek yang terjadi dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan tambahan, perpanjangan pengobatan dan rawat inap mungkin diperlukan perawatan di rumah sakit. Interaksi dengan tingkat keparahan moderate biasanya kombinasi obat dihindari, sebaiknya penggunaan kombinasi tersebut hanya pada keadaan khusus (Tatro, 2009).

c.Keparahan major

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas yang tinggi, berpotensi mengancam jiwa atau dapat menyebabkan kerusakan


(56)

permanen. Interaksi dengan tingkat keparahan major sebaiknya dihindari karena lebih besar risikonya dibandingkan keuntungannya (Tatro, 2009).

Strategi pelaksanaan interaksi obat meliputi (Fradgley, 2003): 1) Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi

Jika risiko interaksi pemakaian obat lebih besar daripada manfaatnya maka harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti tergantung pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik. 2) Penyesuaian dosis obat

Jika interaksi obat meningkatkan atau menurunkan efek obat maka perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan pada saat mulai atau menghentikan penggunaan obat yang berinteraksi.

3) Pemantauan pasien

Jika kombinasi yang saling berinteraksi diberikan, maka diperlukan pemantauan pasien. Keputusan untuk memantau atau tidak tergantung pada berbagai faktor, seperti karaktteristik pasien, penyakit lain yang diderita pasien, waktu mulai menggunakan obat yang menyebabkan interaksi dan waktu timbulnya reaksi interaksi obat.

4) Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya

Jika interaksi obat tidak bermakna klinis atau jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan optimal, pengobatan pasien dapat diteruskan.

Profesional perawatan kesehatan perlu menyadari sumber interaksi obat yang mengidentifikasi kedekatan dan tingkat keparahan interaksi, dan mampu


(57)

menggambarkan hasil potensi interaksi dan menyarankan intervensi yang tepat. Hal ini juga tugas pada profesional kesehatan untuk dapat menerapkan literatur yang tersedia untuk setiap situasi. Profesional kesehatan harus mampu untuk merekomendasi secara individu berdasarkan parameter-pasien tertentu. Meskipun beberapa pihak berwenang menyarankan efek samping yang dihasilkan dari interaksi obat mungkin kurang sering daripada yang dipercaya, profesional perawatan kesehatan harus melindungi pasien terhadap efek berbahaya dari obat-obatan, terutama ketika interaksi tersebut dapat diantisipasi dan dicegah (Tatro, 2009).

2.2 Tekanan Darah

Tekanan darah adalah kekuatan yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding pembuluh. Tekanan darah dinyatakan dalam satuan millimeter air raksa (mm Hg). Secara umum tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer total (Guyton, 2007).

Tekanan darah (BP) = Curah Jantung (CO) x Tahanan Perifer Total (TPR) Berdasarkan rumus di atas dapat dilihat bahwa tekanan darah akan meningkat jika curah jantung dan tahanan perifer total meningkat (Guyton, 2007).

2.2.1 Sistem renin – angiotensin – aldosteron: perannya dalam pengaturan tekanan dan hipertensi

Selain kemampuan ginjal untuk mengatur tekanan arteri melalui perubahan volune cairan ekstrasel, ginjal juga memiliki mekanisme yang kuat lainnya untuk mengatur tekanan. Mekanisme ini adalah sistem renin – angiotensin – aldosteron (Guyton, 2007).


(58)

Gambar 2.1 Patogenesis hipertensi (Dipiro, et al., 2008)

Renin adalah suatu enzim protein yang dilepaskan oleh ginjal bila tekanan arteri turun sangat rendah. Kemudian, enzim ini meningkatkan tekanan arteri melalui beberapa cara, jadi membantu mengoreksi penurunan awal tekanan (Guyton, 2007).

Renin disintesis dan disimpan dalam bentuk inaktif yang disebut prorenin di dalam sel-sel jukstaglomerular (sel JG) di ginjal. Sel JG merupakan modifikasi dari sel-sel otot polos yang terletak di dinding arteriol aferen, tepat di proksimal glomeruli. Bila tekanan arteri turun, reaksi intrinsik di dalam ginjal itu sendiri menyebabkan banyak molekul prorenin di dalam sel JG terurai dan melepaskan renin. Sebagian besar renin memasuki aliran darah ginjal dan kemudian meninggalkan ginjal untuk bersirkulasi ke seluruh tubuh. Walaupun demikian, sejumlah kecil renin tetap berada dalam cairan local ginjal dan memicu beberapa fungsi intrarenal (Guyton, 2007).


(59)

Renin itu sendiri merupakan enzim, bukan bahan vasoaktif. Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu globulin yang disebut substrat renin (atau angiotensinogen), untuk melepaskan peptide asam amino-10, yaitu angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor yang ringan tetapi tidak cukup untuk menyebabkan perubahan fungsional yang bermakna dalam fungsi sirkulasi. Renin menetap dalam darah selama 30 menit sampai 1 jam dan terus menyebabkan pembentukan angiotensin I yang lebih banyak selama waktu tersebut (Guyton, 2007).

Beberapa detik hingga beberapa menit setelah pembentukan angiotensin I, terdapat dua asam amino tambahan yang dipecah dari angiotensin I untuk membentuk angiotensin II peptide asam amino-8. Perubahan ini hampir seluruhnya terjadi di paru sementara darah yang mengalir melalui pembuluh kecil di paru, dikatalisis oleh suatu enzim, yaitu enzim pengubah, yang terdapat di endotelium pembuluh paru (Guyton, 2007).

Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat, dan juga mempengaruhi fungsi sirkulasi melalui cara lainnya. Walaupun begitu, angiotensin II menetap dalam darah hanya selama 1 atau 2 menit karena angiotensin II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan jaringan yang secara bersama-sama disebut angiotensinase. Selama angiotensin II ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua pengaruh utama yang dapat meningkatkan arteri. Pengaruh yang pertama, yaitu vasokonstriksi di berbagai daerah di tubuh, timbul dengan cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama di arteriol dan jauh lebih lemah di vena. Konstriksi di arteriol akan meningkatkan tahanan perifer total, akibatnya akan meningkatkan tekanan arteri. Konstriksi ringan di


(60)

vena-vena juga akan meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung, sehingga membantu pompa jantung untuk melawan kenaikan tekanan. Pengaruh yang kedua yang membuat angiotensin meningkatkan tekanan arteri adalah dengan menurunkan ekskresi garam dan air oleh ginjal. Hal ini perlahan-lahan akan meningkatkan volume cairan ekstrasel, yang kemudian meningkatkan tekanan arteri selama berjam-jam dan berhari-hari berikutnya. Efek jangka panjang ini, yang bekerja melalui mekanisme volume cairan ekstrasel, bahkan lebih kuat daripada mekanisme vasokonstriktor akut dalam menyebabkan peningkatan tekanan arteri (Guyton, 2007).

2.3 Hipertensi

Hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi di atas batas normal (120/80 mmHg). Klasifikasi tekanan darah menurut JNC (Joint National Committee) VII 2003 dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII

Klasifikasi Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Pre Hipertensi 120-139 80-89

Stadium I 140-159 90-99

Stadium II ≥160 ≥100

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Berdasarkan etiologi patofisiologinya hipertensi dapat dibedakan menjadi hipertensi primer (esensial) yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi


(61)

2.3.1 Hipertensi primer (esensial)

Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial (hipertensi primer). Literature lain mengatakan, hipertensi esensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.

Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam satu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenic dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga didokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitrit oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen (Depkes RI, 2006).

2.3.2 Hipertensi sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikan tekanan darah seperti kortikosteroid, estrogen, NSAID, antidepresan dan lain-lain. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau


(62)

mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006).

2.4 Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan utama pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ target seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner atau penyakit ginjal kronik. Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan:

2.4.1 Terapi non farmakologi

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup. Modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi (Depkes RI, 2006).

Modifikasi gaya hidup yang penting terlihat menurunkan tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan moril (Depkes RI, 2006).

2.4.2 Terapi farmakologi

Menurut JNC VII obat-obat antihipertensi baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini (Depkes RI, 2006). Pilihan terapi hipertensi menurut JNC VII terlihat pada gambar 2.2.


(63)

Gambar 2.2 Algoritma pengobatan hipertensi menurut JNC VII (Dipiro, et al., 2008).

Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII adalah <140/90 mmHg untuk pasien dengan tanpa komplikasi, <130/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit diabetes, jantung koroner dan ginjal kronis, serta <120/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit disfungsi ventrikel kiri (Dipiro, et al., 2008). Komplikasi penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh hipertensi seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner, infark miokard dan stroke memiliki algoritma terapi yang berbeda seperti terlihat pada Gambar 2.3.


(64)

Gambar 2.3 Algoritma terapi hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit (Dipiro, et al., 2008).

Menurut JNC VIII (2013), target penurunan tekanan darah berbeda-beda pada pasien hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit dan ras penderita hipertensi seperti terlihat pada Gambar 2.4.


(65)

2.5 Obat antihipertensi

Antihipertensi adalah obat-obatan yang digunakan untuk hipertensi. Pembagian kelompok obat antihipertensi adalah sebagai berikut:

2.5.1 Diuretik

Diuretik adalah suatu zat yang meningkatkan laju pengeluaran volume urin melalui kerja langsung terhadap ginjal. Diuretik dibagi menjadi lima golongan obat yaitu:

a. Diuretik lengkungan (loof of henle), disebut juga diuretik kuat karena bekerja di ansa henle bagian asenden pada nefron ginjal. Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na+, K+ dan Cl- di ansa henle dan tubulus distal, mempengaruhi sistem co-transport ion Cl- yang menyebabkan meningkatnya ekskresi air. Obat-obat yang termasuk diuretik kuat adalah furosemida, asam etakrinat dan bumetamida.

b. Diuretik tiazid, yaitu obat lini pertama untuk mengobati hipertensi tanpa komplikasi. Diuretik ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na+ dan Cl- di tubulus distal. Efeknya lebih lemah dan lambat tetapi lebih lama dibanding diuretik kuat. Obat-obat yang termasuk diuretik tiazid adalah hidroklorotiazid, politiazid, indapamid, klortaridon dan siklotiazid.

c. Diuretik osmotik, yaitu obat yang bekerja pada tiga tempat di nefron ginjal, yakni tubuli proksimal, ansa henle dan duktus koligentes. Golongan obat ini bekerja dengan menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya. Obat-obat golongan diuretik osmotik adalah mannitol, sorbitol, gliserin, dan isosorbid.


(66)

d. Diuretik hemat kalium, diuretik ini dibagi dua berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu diuretik penghambat aldosteron dan penghambat saluran ion natrium. Aldosteron menstimulasi reabsorpsi natrium dan eksresi kalium. Proses ini dihambat oleh diuretik penghambat aldosteron, yaitu: spironolakton dan eplerenon. Ketika direabsorpsi, natrium akan masuk melalui kanal natrium tetapi hal ini dihambat oleh penghambat saluran natrium, yaitu: triamteren dan amilorid.

e. Diuretik penghambat enzim karbonik anhidrase, golongan obat ini bekerja pada tubuli proksimal dengan cara menghambat reabsopsi bikarbonat melalui penghambatan enzim karbonik anhidrase. Enzim ini berfungsi meningkatkan ion hidrogen pada tubulus proksimal yang akan bertukar dengan ion natrium di lumen. Penghambatan enzim ini akan meningkatkan ekskresi natrium, kalium, bikarbonat dan air. Obat-obat dari golongan ini adalah asetazolamid dan diklorofenamid. Efek samping diuretik umumnya berupa hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual (Depkes RI, 2006).

2.5.2 Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEi)

ACEi menurunkan produksi angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin, dan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis melalui penurunan curah jantung dan dilatasi pembuluh arteri akibat berkurangnya jumlah angiotensin II di dalam darah. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah kaptopril, enalapril, ramipril, lisinoril. Golongan obat ini efektif digunakan sebagai terapi tunggal maupun terapi kombinasi dengan golongan diuretik, penghambat reseptor alfa dan antagonis kalsium. Efek samping dari golongan obat


(67)

ini adalah gangguan fungsi ginjal, batuk kering, dan dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan gangguan ginjal kronis (Fauci, et al., 2008). 2.5.3 Antagonis kalsium

Antagonis kalsium bekerja menurunkan tahanan vaskular dan menurunkan kalsium intraseluler. Ion kalsium di jantung mempengaruhi kontraktilitas otot jantung. Kelebihan ion ini akan menyebabkan kontraksi otot jantung meningkat sehingga akan meningkatkan tekanan darah. Antagonis kalsium bekerja menghambat ion kalsium di ekstrasel sehingga kontraktilitas jantung kembali normal. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah verapamil, diltiazem, nifedipin dan amlodipin. Penggunaan tunggal maupun kombinasi, obat ini efektif menurunkan tekanan darah. Untuk terapi hipertensi golongan obat ini sering dikombinasikan dengan ACEi, penyekat beta, dan penyekat alfa (Fauci, et al., 2008).

2.5.4 Penghambat reseptor angiotensin (ARB)

ARB bekerja dengan cara menghambat ikatan antara angiotensin II dengan reseptornya . Golongan obat ini menghambat secara langsung reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang terdapat di jaringan. AT1 memediasi efek angiotensin II yaitu vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan kontriksi arteriol eferen glomerulus. Penghambat reseptor angiotensin tidak menghambat reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2). Jadi, efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan dan penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh selama penggunaan obat ini. ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan ACEi karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEi.


(68)

Sama halnya dengan ACEi, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik (Depkes RI, 2006).

2.5.5 Penghambat reseptor beta (β blocker)

Penghambat β menurunkan tekanan darah melalui penurunan curah jantung akibat penurunan denyut jantung dan kontraktilitas. Mekanisme utama penghambat β adalah menghambat reseptor β1 pada otot jantung sehingga secara langsung akan menurunkan denyut jantung. Penghambat β dibedakan menjadi penghambat β selektif dan non selektif. Penghambat beta selektif hanya memblok reseptor β1 dan tidak memblok reseptor β2. Penghambat beta non selektif memblok kedua reseptor baik β1 maupun β2. Adrenoreseptor β1 dan β2 terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkosentrasi pada organ-organ dan jaringan tertentu. Reseptor β1 lebih banyak pada jantung dan ginjal, dan reseptor β2 lebih banyak ditemukan pada paru-paru, liver, pankreas, dan otot halus arteri. Perangsangan reseptor β1 menaikkan denyut jantung, kontraktilitas, dan pelepasan renin. Perangsangan reseptor β2 menghasilkan bronkodilatatasi dan vasodilatasi. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat β yang kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat β yang nonselektif seperti propanolol, metoprolol dan asebutolol pada pasien asma, PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes (Depkes RI, 2006).

Penggunaan β blocker non selektif akan menyebabkan bronkospasme pada

penderita asma karena pada saluran pernafasan terdapat reseptor β2 yang

berfungsi sebagai vasodilator. Pada penderita diabetes, β blocker akan

meningkatkan kadar glukosa darah melalui penghambatan reseptor β2 di hati.


(1)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 3

1.3 Perumusan Masalah ... 4

1.4 Hipotesis ... 4

1.5 Tujuan Penelitian ... 5

1.6 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Interaksi Obat ... 7

2.1.1 Mekanisme Interaksi Obat ... 7

2.1.1.1 Interaksi farmakokinetik ... 8


(2)

2.1.2 Tingkat Keparahan Interaksi Obat ... 13

2.2 Tekanan Darah ... 15

2.2.1 Sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron: Perannya dalam Pengaturan Tekanan dan Hipertensi ... 15

2.3 Hipertensi ... 18

2.3.1 Hipertensi Primer (Esensial) ... 19

2.3.2 Hipertensi Sekunder ... 19

2.4 Penatalaksanaan Hipertensi ... 20

2.4.1 Terapi Non Farmakologi ... 20

2.4.2 Terapi Farmakologi ... 20

2.5 Obat Antihipertensi ... 23

2.5.1 Diuretik ... 23

2.5.2 Penghambat Enzim Pengubah Angiotensin (ACEi) ... 24

2.5.3 Antagonis kalsium ... 25

2.5.4 Penghambat Reseptor Angiotensin (ARB) ... 25

2.5.5 Penghambat Reseptor Beta (β blocker) ... 26

2.5.6 Penghambat Reseptor Alfa (α blocker) ... 27

2.5.7 Agonis α2 Sentral ... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

3.1 Jenis Penelitian ... 28

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28


(3)

3.3.2 Sampel ... 29

3.4 Defenisi Operasional ... 29

3.5 Instrumen Penelitian ... 30

3.5.1 Sumber data ... 30

3.5.2 Teknik pengumpulan data ... 30

3.6 Analisis Data ... 31

3.7 Bagan Alur Penelitian ... 32

3.8 Langkah Penelitian ... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian ... 34

4.2 Potensi Interaksi Obat Antihipertensi .. ... 37

4.3 Kejadian Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Berdasarkan Pola Mekanisme Interaksi Obat dan Tingkat Keparahan Inter- aksi Obat ... 40

4.4 Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Potensi Interaksi Obat Antihipertensi ... 45

4.4.1 Faktor usia ... 45

4.4.2 Faktor Jumlah Obat ... 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

5.1 Kesimpulan ... 51

5.2 Saran ... ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(4)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan JNC VII ... 18 Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian ... 34 Tabel 4.2 Klasifikasi pasien yang mengalami hipertensi berdasarkan JNC

VII ... 36 Tabel 4.3 Potensi interaksi obat antihipertensi ... 37 Tabel 4.4 Jenis kejadian potensi interaksi obat antihipertensi berdasar-

kan pola mekanisme interaksi obat dan tingkat keparahan interaksi obat ... 41 Tabel 4.5 Jumlah obat antihipertensi yang mengalami potensi interaksi .. 42 Tabel 4.6 Jenis mekanisme interaksi obat antihipertensi subjek

penelitian ... 42

Tabel 4.7 Tingkat keparahan potensi interaksi obat antihipertensi pada

subjek penelitian ... 43 Tabel 4.8 Kejadian potensi interaksi obat berdasarkan usia pasien sub-

jek penelitian ... 46 Tabel 4.9 Kejadian potensi interaksi obat berdasarkan jumlah obat


(5)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat ... 4 Gambar 2.1 Patogenesis hipertensi ... 16 Gambar 2.2 Algoritma pengobatan hipertensi menurut JNC VII ... 21 Gambar 2.3 Algoritma terapi hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit ... 22 Gambar 2.4 Algoritma dan target tekanan darah pengobatan

hipertensi ... 22 Gambar 3.1 Alur pelaksanaan penelitian ... 32 Gambar 4.1 Grafik hasil persentase potensi interaksi obat (%) antihiper-

tensi antara kelompok usia terhadap total pasien ... 38 Gambar 4.2 Grafik hasil persentase potensi interaksi obat (%) antihiper-

tensi antara jumlah obat terhadap total pasien ... 38 Gambar 4.3 Grafik hasil persentase potensi interaksi obat (%) antihiper-

tensi antara kelompok usia terhadap total usia pasien ... 47 Gambar 4.4 Grafik hasil persentase potensi interaksi obat (%) antihiper-


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Hasil uji normalitas data antara variabel bebas terhadap

variabel terikat ... 56 Lampiran 2 Hasil analisis bivariat beberapa variabel bebas terhadap

kejadian potensi interaksi obat dengan menggunakan uji Chi-Square pada program SPSS Advanced Statistics 18.0 ... 57 Lampiran 3 Data potensi interaksi obat antihipertensi pada pasien

hipertensi di puskesmas di kota Medan ... 60 Lampiran 4 Surat permohonan izin penelitian dari fakultas ... 70 Lampiran 5 Surat permohonan izin penelitian/pengambilan data dari

dinas kesehatan ... 71 Lampiran 6 Surat keterangan selesai penelitian Puskesmas Medan Deli . 72 Lampiran 7 Surat keterangan selesai penelitian Puskesmas Helvetia ... 73 Lampiran 8 Surat keterangan selesai penelitian Puskesmas Darussalam .. 74 Lampiran 9 Surat keterangan selesai penelitian Puskesmas Teladan ... 75 Lampiran 10 Surat Ethical Clirens ... 76